Siga este enlace para ver otros tipos de publicaciones sobre el tema: Delik.

Artículos de revistas sobre el tema "Delik"

Crea una cita precisa en los estilos APA, MLA, Chicago, Harvard y otros

Elija tipo de fuente:

Consulte los 50 mejores artículos de revistas para su investigación sobre el tema "Delik".

Junto a cada fuente en la lista de referencias hay un botón "Agregar a la bibliografía". Pulsa este botón, y generaremos automáticamente la referencia bibliográfica para la obra elegida en el estilo de cita que necesites: APA, MLA, Harvard, Vancouver, Chicago, etc.

También puede descargar el texto completo de la publicación académica en formato pdf y leer en línea su resumen siempre que esté disponible en los metadatos.

Explore artículos de revistas sobre una amplia variedad de disciplinas y organice su bibliografía correctamente.

1

Sarip, Sarip. "Memaknai Delik Dan Delik Tata Negara". DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum 4, n.º 1 (30 de julio de 2019): 189–210. http://dx.doi.org/10.30596/dll.v4i2.3128.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
2

Windayani, Tisa y Nugroho Adipradana. "Proporsionalitas Pasal 79 Huruf C UU No.29/2004 Tentang Praktek Kedokteran Dan Pasal 360 KUHP Dikaitkan Dengan Unsur Kesalahan Terdakwa". Jurnal Panorama Hukum 4, n.º 2 (30 de diciembre de 2019): 146–59. http://dx.doi.org/10.21067/jph.v4i2.3860.

Texto completo
Resumen
Ajaran kesalahan dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana terbagi menjadi dua yaitu kesengajaan dan kelalaian. Kedua hal ini berbeda secara prinsip sebagai unsur tindak pidana subyektif. Kesengajaan menurut doktrin von Hirsch layak dijatuhi hukuman lebih berat daripada kelalaian. Berbagai macam delik yang ada juga menegaskan pembedaan bobot dan jenis ancaman sanksi dua kesalahan ini. Praktik kedokteran sangat beresiko menimbulkan penderitaan bagi pasien, terutama jika tidak dilakukan secara profesional. Dalam Hukum Pidana Indonesia terdapat delik-delik terkait praktik ini. Dalam delik-delik tersebut, terdapat unsur delik kelalaian yang memiliki ancaman hukuman lebih berat justru daripada delik kesengajaan. Keadaan ini menunjukkan desain perumusan delik dan ancaman hukuman yang tidak proporsional. Kata Kunci: Kesengajaan, Kelalaian, Proporsionalitas, Praktik Kedokteran.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
3

Handoko, Duwi. "Klasifikasi Dekriminalisasi dalam Penegakan Hukum di Indonesia". Jurnal HAM 10, n.º 2 (27 de noviembre de 2019): 145. http://dx.doi.org/10.30641/ham.2019.10.145-160.

Texto completo
Resumen
Penelitian ini memfokuskan kajian mengenai periodisasi dan klasifikasi dekriminalisasi terhadap pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder yang disajikan secara kualitatif. Dekriminalisasi terhadap delik-delik dalam KUHP pada periode setelah reformasi memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan dekriminalisasi pada periode sebelum reformasi. Setelah reformasi, dibentuk lembaga yang berwenang melakukan dekriminalisasi terhadap delik, baik delik yang terdapat di dalam KUHP maupun delik yang terdapat di luar KUHP. Terdapat empat klasifikasi dekriminalisasi dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu dekriminalisasi bukan murni, dekriminalisasi murni, dekriminalisasi murni sebahagian, dan dekriminalisasi bersyarat. Bukan murni berarti suatu delik masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum (legal). Murni berarti suatu delik sudah tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum (tidak legal atau tidak sah). Murni sebahagian berarti suatu delik masih tetap berlaku dan tetap memiliki kekuatan hukum (legal atau sah) terhadap unsur perbuatan pidana yang masih berlaku. Bersyarat berarti menegaskan syarat tertentu dalam hal berlakunya suatu delik secara legal
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
4

Anjari, Warih. "EKSISTENSI DELIK ADAT DAN IMPLEMENTASI ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA MATERIIL INDONESIA". Masalah-Masalah Hukum 46, n.º 4 (24 de febrero de 2018): 328. http://dx.doi.org/10.14710/mmh.46.4.2017.328-335.

Texto completo
Resumen
Asas legalitas dan penerapan delik adat dalam hukum pidana materiil merupakan dua hal yang bersifat kontradiktif. Asas legalitas bersifat formalistik (positivistik) sedangkan delik adat bersifat sosiologis. Apabila keduanya dilaksanakan bersamaan maka harus ditemukan titik singgung agar dapat berjalan seiring. Dalam praktek, delik adat diakomodir dalam yurisprudensi pengadilan dan revisi KUHP di Indonesia. Permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah eksistensi delik adat dalam hukum pidana materiil Indonesia?; dan Bagaimanakan konsep asas legalitas untuk KUHP Indonesia yang dapat mengakomodir delik adat ? Delik adat diakui dalam hukum formal Indonesia. Untuk mengakomodir delik adat, maka asas legalitas diperluas penerapannya, yang meliputi asas legalitas formal dan material. Penerapan asas legalitas material dengan syarat: kontekstual; pidana yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan Pancasila; pembatasan subyek hukum; bersifat premum remedium dalam kasus tertentu.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
5

Reksodiputro, Mardjono. "TINJAUAN TERHADAP PERKEMBANGAN DELIK-DELIK KHUSUS DALAM MASYARARAT YANG MENGALAMI MODERNISASI". Jurnal Hukum & Pembangunan 15 (13 de junio de 2017): 104. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol15.no0.1181.

Texto completo
Resumen
Di Indonesia juga diperluas kemungkinan penuntutan terhadap korporasi. Tidak saja dalam hal delik ekonomi (seperti yang telah ada) tetapi juga dalam delik-delik yang menyangkut (bertujuan melindungi) kesejahteraan (warga) masyarakat. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini peraturan-peraturan dalam bidang kesehatan (makanan, minuman, obat-obatan) dan bidang perlindungan lingkungan hidup. Dalam usaha pemerintah untuk menata suatu sistem perekonomian yang berintikan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat, maka harus dicegah dan ditindak akibat-akibat merugikan yang disebabkan oleh perbuatan kalangan dagang dan industri yang mengabaikan standar yang telah ditetapkan. Menurut sistem ini maka suatu korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal saja dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan itu. Akan tetapi sistem inipun masih menimbulkan kesulitan, disebabkan oleh pasal 47 dan 91 WvSr Ned. (55 dan 103 KUHP). Pasal 47 mengatur tentang pembuat, yang berdasarkan pasal 91 berlaku pula untuk pembuat peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Yang menjadi masalah adalah bahwa pembuat peraturan yang lebih rendah itu tidak dapat memanfaatkan sistem ini. Karena itu dalam tahun 1965 Belanda mencantumkan pasal baru, yaitu 50a, dalam WvSr-nya.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
6

Santoso, Topo. "Masalah Delik Perzinahan di Indonesia Dewasa Ini". Jurnal Hukum & Pembangunan 25, n.º 2 (29 de abril de 1995): 154. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol25.no2.475.

Texto completo
Resumen
Masalah delik kesusilaan tampaknya tetap menjadi sorotan banyak pihak, terutama kalangan hukum pidana dan kriminolog. Khusus mengenai delik perzinahan (overspel) permasalahan berkisar pada cakupan ada atau tidaknya unsur telah menikah serta masalah lainnya seperti perlu tidaknya mempertahankan delik aduan. Hal ini sering memberikan gambaran seolah-olah kepentingan individu pelaku zinah lebih ditonjolkan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Karangan ini mencoba membahas permasalahan delik perzinahan dalam Rancangan KUHP nasional.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
7

Supriatin, Hj Ukilah y Iwan Setiawan. "PERSEPSI MENGENAI HUKUM PIDANA ADAT". Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 4, n.º 2 (6 de junio de 2017): 198. http://dx.doi.org/10.25157/jigj.v4i2.323.

Texto completo
Resumen
Warisan budaya Indonesia, yang tertuang dalam berbagai bentuk baik berupa adat istiadat maupun tradisi (intangible) yang terungkap dalam masyarakat adat, sudah selayaknya diapresiasi oleh peneliti agar lebih mampu menghayati makna warisan budaya tersebut. Yang memiliki daya tarik komoditi wisata budaya Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang tidak tertulis maupun tertulis yang memiliki sanksi.Hukum Pidana Adat memiliki pengertian delik Adat, beberapa delik adat, sifat hukum delik Adat, cara penyelesaian delik adat.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
8

Sari, Indriana Dwi Mutiara, Handias Gita y Anggita Doramia Lumbanraja. "ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP DELIK PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN". Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, n.º 2 (29 de mayo de 2019): 171–81. http://dx.doi.org/10.14710/jphi.v1i2.171-181.

Texto completo
Resumen
Delik Perbuatan Tidak Menyenangkan diatur dalam KUHP, mengandung unsur adanya paksaan dan kekerasan. Pasal KUHP mengenai delik ini sering dijadikan sebagai dasar hukum penuntutan pada kasus penghinaan atau pencemaran nama baik. Namun seiring waktu dalam penerapan hukum dari pasal ini sering dianggap sebagai pasal karet, karena untuk menjelaskan pengertian perbuatan tidak menyenangkan sangatlah subjektif tergantung dari masing-masing individunya. Artikel ini membahas tentang kebijakan hukum pidana mengenai delik perbuatan tidak menyenangkan saat ini (ius constitutum) dan dimasa mendatang (ius constituendum) dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan spesifikasi penelitian berupa deskriptif analisis. Kebijakan hukum pidana mengenai delik perbuatan tidak menyenangkan yang saat ini telah diatur dalam KUHP telah mengalami pengurangan frasa pada isi pasalnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi karena tidak bisa diukur secara pasti perbuatan apa saja yang masuk dalam delik tersebut, sehingga dapat menimbulkan peluang kesewenang-wenangan baik dari pelapor maupun pihak penegak hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak serta merta membuat perubahan besar pada kebijakan hukum pidana mengenai delik perbuatan tidak menyenangkan. Hal ini terlihat dari belum diaturnya delik ini secara khusus dalam RUU KUHP. Maka demi kepastian hukum, perlu adanya perbaikan pada kebijakan hukum pidana mengenai delik perbuatan tidak menyenangkan yang perlu diakomodir di dalam RUU KUHP.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
9

Adhial Fajrin, Yaris, Ach Faisol Triwijaya y Yuridika Prawira Rachmadi. "Reformulasi Delik Ideologi dalam Perspektif Pembaruan Hukum Pidana Indonesia". Kertha Patrika 42, n.º 3 (31 de diciembre de 2020): 288. http://dx.doi.org/10.24843/kp.2020.v42.i03.p05.

Texto completo
Resumen
Sistem hukum pidana Indonesia mengenal adanya berbagai macam tindak pidana, di antaranya tindak pidana yang berkaitan dengan larangan terhadap penyebarluasan ideologi-ideologi tertentu, atau yang bisa disebut dengan istilah delik ideologi. Delik ideologi ini berkaitan dengan penyebaran ideologi Komunisme, Marxis-Leninisme yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kelam Negara Indonesia. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis formulasi rumusan delik ideologi dalam hukum positif Indonesia serta untuk mengkaji delik ideologi tersebut dari aspek pembaruan hukum pidana Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, karena permasalahan yang diangkat beranjak dari sistem norma hukum pidana yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi rumusan tindak pidana ideologi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Rancangan KUHP (RKUHP) memiliki rumusan yang tidak jauh berbeda. Rumusan delik ideologi tersebut memiliki problematika yuridis khususnya dari aspek unsur perbuatan, jenis, dan objek tindak pidana. Maka dari itu perlu dilakukan reformulasi delik ideologi di dalam RKUHP, dengan memperhatikan arah politik hukum pidana Indonesia yang berbasiskan pada nilai-nilai Pancasila.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
10

Adhyanti Mirzana, Hijrah. "KEBIJAKAN KRIMINALISASI PERS DALAM UNDANG-UNDANG PERS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA". LAW REFORM 2, n.º 1 (1 de septiembre de 2006): 60. http://dx.doi.org/10.14710/lr.v2i1.12232.

Texto completo
Resumen
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Namun demikian dalam pelaksanaannya, hak ini tentu harus mendapat pembatasan dari rambu-rambu hukum (dalam hal ini hukum pidana) agar hak tersebut tidak mengganggu kepentingan integritas teritorial dan keamanan publik, tidak meningkatkan kekacauan dan kejahatan, pengungkapan informasi yang dirahasiakan, melanggar otoritas dan kebebasan kekuasaan kehakiman, melanggar hak-hak reputasi manusia lainnya serta melindungi kesehatan dan moral publik. Kriminalisasi pers dalam UU Pers maupun dalam KUHP sudah bukan merupakan masalah, karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga diatur dan dapat dikriminalisasikan oleh ketentuan-ketentuan Internasional dan UU Pers atau KUHP negara lain. Oleh karena itu, untuk pembaharuan hukum pidana dimasa mendatang, perlu dilakukan pengkajian mengenai kebijakan formulasi delik. Kebijakan formulasi delik ditempuh dengan secara tegas menyebutkan pembatasan yang bersifat represif bagi kebebasan pers, yaitu berupa aturan-aturan dan penciptaan delik-delik pers serta harus menetapkan kualifikasi delik dari tindakan-tindakan yang dikriminalisasikannya, sehingga apabila terjadi pelanggaran UU Pers, ketentuan pidana tersebut dapat dioperasionalkan. Kebijakan formulasi delik juga dapat ditempuh dengan melakukan rumusan ulang (rephrase) terhadap delik pers dalam KHUP, sebagaimana KUHP Belanda yang melakukan harmonisasi rumusan delik dengan ketentuan-ketentuan Internasional. Kata Kunci : Kebijakan Kriminalisasi Pers, Undang-Undang Pers, Kitab Undang-Undang Hukum pidana
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
11

Purnamasari, Andi Intan. "DEKRIMINALISASI TINDAK PIDANA : MEMBEDAH KEADILAN BAGI TERPIDANA DAN MANTAN TERPIDANA". Gorontalo Law Review 2, n.º 1 (30 de abril de 2019): 13. http://dx.doi.org/10.32662/golrev.v2i1.531.

Texto completo
Resumen
Perkembangan Hukum di Indonesia, senantiasa mengalami perubahan. Begitu juga dengan Hukum Pidana. Salah satu hal substansial yang mengalami perubahan dalam Hukum Pidana adalah terjadinya perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Perkembangan Hukum Pidana yang terjadi memungkinkan dilakukan dekriminalisasi terhadap delik. Seperti Pasal 134,136 bis 137, 154, 155, 209,210, 387,388, 415 sampai dengan 420, 423, 425, 435 dan beberapa pasal lainnya. Sementara itu, Pasal 1 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan paling ringan bagi terdakwa. Subyek Hukum Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah terdakwa, begitu juga bila terjadi dekriminalisasi maka Subyek Dekriminalisasi adalah Terdakwa. Terjadinya dekriminalisasi terhadap delik didasarkan oleh adanya pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis, sehingga peraturan dapat berubah. Dengan adanya perubahan paradigma terhadap suatu delik. Maka, perubahan ini sepatutnya juga dirasakan oleh para Terpidana maupun mantan terpidana. Status terpidana dan mantan terpidana yang disandang oleh seseorang namun delik yang dilakukan tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana, sudah tentu harus mendapat perhatian khusus. Tulisan ini mengangkat isu Keadilan bagi Terpidana dan mantan terpidana atas delik yang dilakukan bukan lagi menjadi delik hukum. Metode yang digunakan yaitu secara Normatif berdasarkan pendekatan Kepustakaan.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
12

Yahya, Nur. "DELIK HARTA KEKAYAAN DALAM KUHP". Perspektif 2, n.º 1 (30 de abril de 1997): 41. http://dx.doi.org/10.30742/perspektif.v2i1.129.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
13

Bayraktar, Şenol, Yusuf Sıyambaş y Yakup Turgut. "Delik delme prosesi: bir araştırma". SAÜ Fen Bilimleri Enstitüsü Dergisi 21, n.º 2 (1 de abril de 2017): 124. http://dx.doi.org/10.16984/saufenbilder.296833.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
14

Latupeirissa, Julianus Edwin, Jacob Hattu y Elias Zadrach Leasa. "Penanganan Tindak Pidana Yang Dikualifikasi Delik Aduan". JURNAL BELO 5, n.º 2 (17 de mayo de 2020): 21–33. http://dx.doi.org/10.30598/belobelovol5issue2page21-33.

Texto completo
Resumen
Laporan dan aduan merupakan hal yang berbeda, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada delik biasa dan delik aduan, delik biasa dapat dilaporkan oleh semua orang namun dalam delik aduan tidak dapat diadukan semua orang, dalam perkara pidana Nomor 6/Pid.B/2018/PN.Drh yang disidangkan pada Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu Seram Bagian Barat, saudara HW didakwakan Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas adulan yang dilakukan oleh AA. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui apa akibat hukum jika penaganan delik aduan dengan aduan yang tidak sah, metode yang digunakan adalah metode penelitan hukum yuridis normatif, hasil dari pembahasan diketahui saudara saksi AA tidak mengadukan langsung perbuatan HW namun lewat pengacara, namun dalam aduan tersebut pengacara tidak mencantumkan surat kuasa dari AA, tentunya surat kuasa tersebut cacat, dan fakta persidangan tidak ada dasar aduan yaitu surat kuasa dari korban kepada pengacara, akibat hukumnya adalah hakim menolak tuntutan jaksa (neit ontvankelijk verklaring van het OM) atau H W Alias H untuk dapat dituntut pidana seharusnya gugur atau putusan lepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) hal ini dapat dilihat dalam Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kesimpulannya dalam tindak pidana yang dikualifikasinya delik aduan, wajib ada aduan jika tidak ada maka tuntutan jaksa ditolak atau putusan pengadilan lepas dari tuntutan hukum.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
15

Latupeirissa, Julianus Edwin, Jacob Hattu y Elias Zadrach Leasa. "Penanganan Tindak Pidana Yang Dikualifikasi Delik Aduan". JURNAL BELO 5, n.º 2 (17 de mayo de 2020): 21–33. http://dx.doi.org/10.30598/belovol5issue2page21-33.

Texto completo
Resumen
Laporan dan aduan merupakan hal yang berbeda, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada delik biasa dan delik aduan, delik biasa dapat dilaporkan oleh semua orang namun dalam delik aduan tidak dapat diadukan semua orang, dalam perkara pidana Nomor 6/Pid.B/2018/PN.Drh yang disidangkan pada Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu Seram Bagian Barat, saudara HW didakwakan Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas adulan yang dilakukan oleh AA. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui apa akibat hukum jika penaganan delik aduan dengan aduan yang tidak sah, metode yang digunakan adalah metode penelitan hukum yuridis normatif, hasil dari pembahasan diketahui saudara saksi AA tidak mengadukan langsung perbuatan HW namun lewat pengacara, namun dalam aduan tersebut pengacara tidak mencantumkan surat kuasa dari AA, tentunya surat kuasa tersebut cacat, dan fakta persidangan tidak ada dasar aduan yaitu surat kuasa dari korban kepada pengacara, akibat hukumnya adalah hakim menolak tuntutan jaksa (neit ontvankelijk verklaring van het OM) atau H W Alias H untuk dapat dituntut pidana seharusnya gugur atau putusan lepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) hal ini dapat dilihat dalam Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kesimpulannya dalam tindak pidana yang dikualifikasinya delik aduan, wajib ada aduan jika tidak ada maka tuntutan jaksa ditolak atau putusan pengadilan lepas dari tuntutan hukum.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
16

Swardhana, Gde Made. "Kebijakan Kriminal Dalam Menghadapi Perkembangan Kejahatan Cyber Adultery". KERTHA WICAKSANA 14, n.º 2 (23 de julio de 2020): 87–95. http://dx.doi.org/10.22225/kw.14.2.1844.87-95.

Texto completo
Resumen
Salah satu masalah yang sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sedang diungkapkan adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex, salah satu kajian terhadap Cyber Adultery. Permasalahan dalam artikel ini adalah: (1). Apakah cyber adultery dapat dijaring dengan ketentuan pidana mengenai delik perzinahan? (2). Bagaimanakah kebijakan kriminal dalam menghadapi perkembangan kejahatan cyber adultery di masa mendatang? Dalam penelusuran tulisan ini digunakan metode penelitian hukum normative, yakni membahas persoalan norma yang masih kabur dalam pengertian bahwa ketentuan KUHP hanya mengisyaratkan adanya perzinahan secara riil. Namun bagaimana dengan perilaku yang dilakukan melalui cyber atau dunia maya. Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Namun tidaklah mudah menetapkan batas-batas atau ruang lingkup delik kesusilaan karena pengertian dan batas-batas kesusliaan itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Terlebih karena hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal, sehingga pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana merupakan delik kesusilaan. Secara yuridis, delik kesusilaan menurut KUHP yang berlaku saat ini terdiri dari dua kelompok tindak pidana yaitu kejahatan kesusilaan. Ketentuan hukum pidana positif yang terkait dengan tindak pidana di bidang kesusilaan termasuk cyber adultery, antara lain terdapat dalam : (a) KUHP; (b) UU No 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi; (c) UU Pers (UU No. 40/1999); (d) UU Penyiaran (No. 32/2002); dan (e) UU Perfilman (No. 8/1992). Dari berbagai UU tersebut, ketentuan hukum pidana dapat dikaitkan atau terkait dengan masalah kesusilaan. Walaupun adultery, sex, porno dilakukan di alam maya (cyberspace).
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
17

Amrani, Hanafi. "Urgensi Perubahan Delik Biasa Menjadi Delik Aduan dan Relevansinya terhadap Perlindungan dan Penegakan Hak Cipta". Undang: Jurnal Hukum 1, n.º 2 (11 de marzo de 2019): 347–62. http://dx.doi.org/10.22437/ujh.1.2.347-362.

Texto completo
Resumen
This article discusses two main issues: first, what is the urgency of the change in nature of offences from ordinary offence to be complaint offence in the copyright law; second, how is the relevance of the change in the nature of the offense to protect and enforce copyright. The urgency of changes in offenses is usually an offense against complaints because copyright is an exclusive right that is personal and civil rights. This personal and civil right indicate the absolute right of the creator or the copyright holder to the results of their work, including the right to report or not to infringe their copyright. Therefore conceptually this personal and civilian nature emphasizes the alignment of mindset that the complaint offence is more appropriately applied to copyright infringement. Whereas the relevance of complaint offence for protection and enforcement of copyright can be seen from the significant role of the creator or copyright holder in the law enforcement process. The creator or copyright holder can play an active role in providing information and evidence of copyright infringement so that the law enforcement process becomes more effective and efficient. Abstrak Artikel ini membahas dua permasalahan pokok: pertama, apa urgensi perubahan delik biasa menjadi delik aduan dalam Undang-undang Hak Cipta; kedua, bagaimana relevansi perubahan sifat delik tersebut terhadap perlindungan dan penegakan hukum hak cipta. Urgensi perubahan delik biasa menjadi delik aduan adalah karena hak cipta merupakan hak eksklusif yang bersifat personal dan keperdataan. Sifat personal dan keperdataan ini mengindikasikan adanya hak mutlak dari pencipta atau pemegang hak cipta atas hasil karya ciptanya, termasuk hak untuk melaporkan atau tidak atas pelanggaran hak ciptanya. Oleh karena itu secara konseptual sifat personal dan keperdataan ini lebih mengedepankan keselarasan pola pikir bahwa delik aduan lebih tepat diterapkan terhadap pelanggaran hak cipta. Sedangkan relevansi delik aduan terhadap perlindungan dan penegakan hak cipta dapat dilihat dari peran yang signifikan dari pencipta atau pemegang hak cipta dalam proses penegakan hukum. Pencipta atau pemegang hak cipta dapat berperan aktif dalam memberikan keterangan dan bukti-bukti dari pelanggaran hak cipta tersebut sehingga proses penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
18

Martono, Budi Santoso. "TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA". SUPREMASI HUKUM 16, n.º 1 (27 de agosto de 2020): 80–98. http://dx.doi.org/10.33592/jsh.v16i1.720.

Texto completo
Resumen
Berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional tidak tertutup kemungkinan ada ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang datang dari manapun dan oleh siapapun dengan berbagai motifnya. Berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan tersebut harus bisa ditanggulangi melalui kegiatan intelijen negara. Agar efektif dalam menanggulangi permasalahan tersebut oleh undang-undang intelijen negara dicantumkan ketentuan normatifnya dalam salah satu Bab tersendiri Ketentuan Pidana. Dalam pasal-pasal ketentuan pidana tersebut akan terinci unsur-unsurnya yakni siapa subyek atau aktor atau pelakunya, apa yang dilakukan dan konsekwensi perbuatannya tersebut yakni menerima sanksi atau hukumannya, Bertolak dari pemikiran di atas dapat dirumuskan permasalahan, yang sekaligus akan memandu penulis untuk membahas masalah yang dirasakan oleh publik sebagai suatu fakta yang harus dicarikan solusinya, sebagai berikut : a. Siapakah subyek hukum pelaku tindak pidana intelijen negara yang ditentukan dalam hukum positif undang-undang intelijen negara.b. Delik-delik apa saja yang ditentukan dalam hukum positif undang-undang intelijen negara. c. Bagaimana sanksi atau hukuman yang ditentukan dalam hukum positif undang-undang intelijen negara. Hasil analisis terhadap permasalahan diatas diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : Subyek hukum pelaku tindak pidana yang ditentukan dalam hukum positif Undang-UndangNomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori sebagai berikut : Pertama, Setiap orang; Kedua, Badan Hukum; Ketiga, Personel Intelijen Negara, dibagi dalam 3 (tiga) variasi kondisi : 1). Dalam keadaan biasa; 2). Dalam keadaan perang; 3. Melakukan penyadapan. Delik intelijen negara terdapat 3 (macam) kategori delik yakni yakni: a. 3 (tiga) perbuatan pidana masuk dalam Delik Menjalankan undang-undang (bocornya keintelijenan dan penyadapan); b. masing-masing satu perbuatan pidana masuk kategori macam delik yang sengaja (rahasia intelijen negara) c. aspek jenis sanksi atau hkuman yang dibagi dalam 4 (empat) jenis hukuman, yakni 1). sanksi tunggal, 2). sanksi kumulatif, 3) sanksi alternatif dan 4), sanksi alternatif kumulatif, maka dalam Undang-undang ini, maka semua delik intelijen negara masuk dalam kategori sanksi kumulatif alternatif.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
19

Hadana, Erha Saufan y Beri Rizqi. "KONSEP KEADILAN TERHADAP DELIK PEMBUNUHAN (Analisis Komparatif Hukum Islam dan KUHP)". LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum 9, n.º 2 (4 de enero de 2021): 318. http://dx.doi.org/10.22373/legitimasi.v9i2.8518.

Texto completo
Resumen
ABSTRAKKajian ini membahas mengenai delik pembunuhan yang merupakan perbuatan yang menjatuhkan hak asasi manusia oleh karenanya delik pembunuhan ini diatur dalam KUHP sebagai suatu tindak pidana terhadap nyawa manusia. Pengaturan tentang delik pembunuhan ini diatur dalam Al Qur’an dan dipertegas oleh hadits, keduanya mengatur tentang jenis delik pembunuhan, sanksi, serta bagaimana pelaksanaan hukuman. Meskipun masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, hukum yang diterapkan adalah hukum peninggalan Belanda, yang pada kenyataannya berbeda sekali dengan hukum Islam. Sehubungan dengan hal diatas, metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi pustaka (library research) terhadap Al Qur’an, Hadits, KUHP serta peraturan perundang-undangan yang lainnya. Kemudian secara komparatif penulis membandingkan beberapa konsep dalam hukum positif dan hukum Islam yang ada kaitannya dengan permasalahan untuk mendapatkan konsep hukum yang lebih mendekati kebenaran. Dari hasil penelitian disimpulkan Hukum pidana positif menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang universal, namun untuk memberikan rasa keadilan sangat ditentukan oleh putusan hakim, tanpa dimintai pertimbangan dari pihak keluarga korban. Hukum pidana Islam menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan memberikan rasa keadilan yang seimbang dengan menempatkan keluarga korban sebagai unsur penentu dalam menjatuhkan hukuman pidana mati terhadap pelaku pidana pembunuhan. Penjatuhan hukuman mati atau dibebaskan dari hukuman mati didasarkan pada itikad baik keluarga korban. Kata Kunci: Keadilan, Delik Pembunahan, Hukum Islam, KUHP
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
20

Sjawie, Hasbullah F. "Delik Perzinahan menurut KUHP dan Perkembangannya". Jurnal Hukum & Pembangunan 26, n.º 1 (29 de febrero de 1996): 27. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol26.no1.499.

Texto completo
Resumen
Penulis artkel ini, mengulas masalah delik perzinahan dalam tinjauan KUHP serta perkembangannya. Hasbullah sangat mencemaskan maraknya prostitusi di Indonesia, terutamadi kota-kota besar. Prostitusi sekarang ini bisa berkembang demikian pesat karena prostitusitelah dianggap sebagai suatu "ladang bisnis" yang menguntungkan. Penulis berpendapatbahwa ketentuan hukum tentang perzinahan harus diperbaharui dan harus benar-benarmencerminkan aspirasi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, dia mengusulkan agar aturan hukum pidana tentang perzinahan lebih diperketat lagi dalam KUHPNasional yang akan datang.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
21

Satriadi, Satriadi. "Delik Santet Dalam Konstruksi RUU-KUHP". Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam 5, n.º 2 (16 de julio de 2020): 123–37. http://dx.doi.org/10.35673/ajmpi.v5i2.807.

Texto completo
Resumen
This study discusses witchcraft (santet) as one of the controversial offenses in the Criminal Code Bill. Socially, witchcraft (santet) is believed to be an act that can harm people, narrate, or even kill people. However, based on the principle of legality and the difficulty of proving, acts of witchcraft (santet) cannot be criminalized so it is not uncommon for people accused of being witchcraft (santet) to due of process of law. To analyze and understand the offense of witchcraft (santet) in the construction of the Draft Bill of the Criminal Code, this study utilizes normative legal research methods whose data are obtained through a literature study. The results showed that witchcraft (santet) as a criminal act was constructed into the category of the formal offense whose proof did not lead to the presence or absence of magical power possessed by someone, but criminalized was a criminal offense committed, namely a person who intentionally announced he had supernatural powers, offered his services in undertaking harm to others in the form of illness, death or mental or physical suffering.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
22

Nurdin, Nazar. "DELIK PENODAAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA". International Journal Ihya' 'Ulum al-Din 19, n.º 1 (7 de septiembre de 2017): 129. http://dx.doi.org/10.21580/ihya.18.1.1745.

Texto completo
Resumen
Criminal Law and Article 27-28 of the Law on Information and Electronic Transactions constitute a legal instrument to ensnare a perpetrator of religious blasphemy. This article is a legal research with a normative-empirical approach. The findings indicate that: first, judges' consideration in the case of defamation of Islam contained in the decision Number: 80 / Pid.B / 2015 / PN Bna, Number: 10 / Pid.Sus / 2013 / PN.Pt and Number: 06 / Pid.B / 2011 / PN.TMG is more looking at the impact of criminal acts committed. However, in its implementation the three decisions are not entirely based on the applicable law rules, including the decision based on the provisions in Law No. 1 of 1965 on Prevention and or Defamation of Religion, but adopted an unwritten source of law from the Fatwa of Indonesian Council of Ulama. Another implementation is in the case of religious blasphemy at the community level tended to be followed by very severe punishment to the perpetrators. Secondly, religious blasphemy is not mentioned in detail in Islamic legal literature. If the perpetrators of desecration of a Muslim, Islamic law tend to refer to the perpetrators as kafir. Whereas if the perpetrator is a non-Muslim, one cannot be included in the category of apostasy (riddah). Categorization as a kafir does not necessarily make the Muslims punished jarimah had (hudud). Therefore, punishment takzir can be an alternative punishment that can be applied to the perpetrators of religious blasphemy, both Muslims and non-Muslims<br />---<br /><br />Tindak pidana penodaan agama yang termanifestasikan dalam pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pasal 27-28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan satu instrumen hukum untuk menjerat seorang pelaku penistaan agama. Artikel ini merupakan penelitian hukum dengan pendekatan normatif-empiris. Hasil temuan menunjukkan bahwa: <em>pertama</em>, pertimbangan majelis hakim dalam perkara penodaan agama Islam yang termuat dalam putusan Nomor: 80/Pid.B/2015/PN Bna, Nomor: 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt dan Nomor: 06/Pid.B/2011/PN.TMG lebih melihat kepada dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pidana yang dilakukan. Namun dalam implementasinya tiga putusan tidak seluruhnya berlandaskan aturan hukum yang berlaku, termasuk mendasarkan putusan pada ketentuan dalam UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan atau Penodaan Agama, tetapi mengadopsi sumber hukum tidak tertulis dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Implementasi lainnya ialah dalam kasus penodaan agama yang ramai di tingkat masyarakat cenderung diikuti hukuman amat berat kepada para pelaku. <em>Kedua</em>,penodaan agama tidak disebutkan secara rinci dalam literatur hukum Islam. Jika pelaku penodaan seorang Muslim, hukum Islam cenderung menyebut pelaku sebagai kafir. Sementara jika pelaku seorang non-Muslim, seorang tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori murtad (<em>riddah</em>)<em>. </em>Kategorisasi sebagai kafir tidak lantas menjadikan Muslim dihukum jarimah had (hudud). Oleh karena itu, pidana takzir bisa menjadi hukuman alternatif yang bisa diterapkan kepada para pelaku penodaan agama, baik Muslim maupun non-Muslim
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
23

Hardiago, David. "DELIK POLITIK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA". Jurnal Hukum & Pembangunan 50, n.º 4 (31 de mayo de 2021): 908. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2859.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
24

Zulkarnaen, Ahmad Hunaeni, Kristian Kristian y M. Rendi Aridhayandi. "Kebijakan Formulasi Delik Agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Baru". Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 3, n.º 1 (27 de diciembre de 2018): 27. http://dx.doi.org/10.22515/al-ahkam.v3i1.1338.

Texto completo
Resumen
Tulisan ini akan membahas kebijakan formulasi delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi tahun 2015. Hal ini menjadi penting karena sila pertama dari Pancasila sebagai falsafah hidup, jiwa, pandangan, pedoman dan kepribadian bangsa Indonesia sekaligus menjadi falsafah bangsa dan Negara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini berarti, Indonesia adalah salah satu negara berTuhan dan memiliki filosofi Ketuhanan yang mendalam serta menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kedudukannya sebagai Negara hukum khususnya Negara hukum Pancasila (sebagai religious nation state), agama menempati posisi sentral dan hakiki dalam seluruh kehidupan masyarakat yang perlu dijamin dan dilindungi (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahkan agama dan kerukunan hidup antarumat beragama (sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan, memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara) dicantumkan sebagai hal yang penting dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Oleh karena itu, wajar jika Negara memasukan atau menjadikan agama sebagai salah satu delik didalam hukum positifnya. Pengaturan mengenai delik agama ini dipandang penting karena penghinaan (atau cara-cara lainnya) terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dapat membahayakan perdamaian, kerukunan, ketentraman, kesejahteraan (baik secara materil maupun spirituil), keadilan sosial dan mengancam stabilitas dan ketahanan nasional. Agama juga dapat menjadi faktor sensitif yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Atas alasan tersebut juga tulisan ini dibuat sebagai salah satu sumbangsih pemikiran dalam rangka mengetahui rumusan delik agama dan kelemahan-kelemahan yang ada didalamnya sehingga dimasa yang akan datang, dapat dilakukan pembaharuan. Diluar adanya pro-kontra dimasukannya delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, Hasil penelitian, menunjukan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengacu kepada perkembangan “blasphemy” di Inggris atau perkembangan “Godslasteringswet” di Belanda. Kriminalisasi delik agama di Indonesia didasarkan pada religionsschutz theorie (teori perlindungan agama), gefuhlsschutz theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan) dan friedensschutz theorie (teori perlindungan perdamaian atau teori perlindungan ketentraman umat beragama). Dalam RKUHP, delik agama ini dirumuskan dalam 8 pasal yang terbagi menjadi 2 kategori yakni: Tindak Pidana Terhadap Agama (yang mencakup penghinaan terhadap agama dan penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama) dan Tindak Pidana Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (yang mencakup gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan dan perusakan tempat ibadah). Kebijakan formulasi delik agama tersebut masih banyak mengandung kelemahan sehingga akan berpengaruh terhadap tahap aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia. Dalam kaitannya dengan delik agama, penggunaan sanksi pidana tentu harus memperhatikan rambu-rambu penggunaan pidana dan harus dilakukan dengan tujuan melakukan prevensi umum dan prevensi khusus. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan kebijakan formulasi RKUHP versi tahun 2015 khususnya yang berkaitan dengan delik agama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder dan dilakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan undang-undang, perbandingan hukum, sejarah hukum, asas hukum dan teori hukum.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
25

Rozah, Umi y Erlyn Indarti. "DELIK ZINA : UNSUR SUBSTANSIAL DAN PENYELESAIANNYA DALAM MASYARAKAT ADAT MADURA". Masalah-Masalah Hukum 48, n.º 4 (16 de octubre de 2019): 366. http://dx.doi.org/10.14710/mmh.48.4.2019.366-375.

Texto completo
Resumen
Kehidupan masyarakat Madura ditopang prinsip religius dan komunal yang digunakan dalam menyepakati perbuatan yang dilarang dan mekanisme penyelesaiannya. Permasalahan artikel ini adalah unsur substansial dalam delik zina menurut masyarakat madura dan mekanisme penyelesaian delik zina dalam masyarakat adat madura. Tujuan penelitian mengetahui unsur substansial delik zina menurut masyarakat madura, dan mengetahui mekanisme penyelesaiannya. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan sociolegal research, dengan Informan ditentukan menggunakan purposive sampling. Hasil penelitian : 1. Unsur substansial perbuatan zina terdiri atas : persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, keduanya atau salah satunya terikat perkawinan, persetubuhan kedua pelakunya atau salah satu pelakunya tidak terikat perkawinan . 2. Penyelesaian perbuatan zina pada masyarakat Madura melalui carok, yaitu pembunuhan untuk mempertahankan martabat dan harga diri keluarga.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
26

Nurahman, Adiansyah y Eko Soponyono. "KEBIJAKAN FORMULASI KETENTUAN PIDANA DALAM DELIK KESUSILAAN (PERZINAHAN) YANG BERBASIS NILAI KEADILAN RELIGIUS". LAW REFORM 15, n.º 1 (27 de mayo de 2019): 42. http://dx.doi.org/10.14710/lr.v15i1.23354.

Texto completo
Resumen
Sila pertama menunjukan bahwa Indonesia adalah negara yang mengakui adanya Tuhan, oleh sebab itu, sebagai negara yang religius, maka aturan ketentuan pidana tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan hukum yang hidup di masyarakat. Penelitian ini membahas ketentuan pidana dalam delik kesusilaan (perzinahan) yang berlaku saat ini telah berbasis nilai keadilan religius dan kebijakan formulasi ketentuan pidana yang berkeadilan religius. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan analisa kualitatif,. Hasil penelitian bahwa ketentuan pidana dalam delik kesusilaan yang berlaku saat ini belum berlandaskan nilai keadilan religius. Kebijakan formulasi ketentuan pidana yang berkeadilan religius dalam delik perzinahan dilakukan dengan mempeluas makna zina yang ada dalam ketentuan pidana dengan merujuk pada kitab suci (Al-Quran).
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
27

Adhari, Ade. "Kebijakan Formulasi Kualifikasi Yuridis terhadap Delik dalam Undang-Undang yang Lahir dalam Kurun Waktu 2014-2015". Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni 1, n.º 1 (10 de mayo de 2017): 20. http://dx.doi.org/10.24912/jmishumsen.v1i1.331.

Texto completo
Resumen
Dinamika produk perundang-undangan legislatif tahun 2014-2015 menunjukkan adanya perkembangan penggunaan hukum pidana sebagai sarana guna menanggulangi kejahatan. Hal ini terlihat dengan banyaknya undang-undang yang memuat ketentuan pidana. Namun sayangnya, kebijakan formulasi ketentuan pidana tersebut mengandung masalah yuridis. Salah satu masalah yuridis yang ada disebabkan karena tidak ditetapkannya kualifikasi yuridis berupa kejahatan atau pelanggaran dalam delik yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut. Tidak ditetapkannya kualifikasi yuridis menyebabkan aturan umum dalam Buku I KUHP tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana di luar KUHP. Untuk itu ke depan, pembentuk undang-undang harus menetapkan kualifikasi yuridis berupa kejahatan atau pelanggaran, guna menjembatani berlakunya aturan umum dalam KUHP terhadap delik-delik yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP.Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana, Kebijakan Formulasi, Kualifikasi Yuridis
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
28

Bahar, Muhamad Ghifari Fardhana. "IMPLIKASI PENGGUNAAN KATA KONJUNGSI “DAN” SERTA “ATAU” DAN “MELAWAN HUKUM” DALAM PEMIDANAAN". CREPIDO 3, n.º 1 (31 de julio de 2021): 13–21. http://dx.doi.org/10.14710/crepido.3.1.13-21.

Texto completo
Resumen
Bahasa memiliki peran yang sangat vital dalam hukum, hal ini dikarenakan dalam pembentukan hukum diperlukan bahasa. Bahasa hukum memiliki karakteristik berupa pernyataan, memerintah, melarang, dan membolehkan. Dalam membaca bahasa hukum (undang-undang) perlu memaknainya sebaik mungkin. Tulisan ini menilik tentang cara merumuskan delik dan memaknai kata konjungsi dan, atau, serta melawan hukum dalam delik pidana. Maka, artikel ini bertujuan untuk memberi kejelasan fungsi kata dan, atau, serta melawan hukum agar tidak terjadi miskonsepsi gramatikal dalam membentuk perundang-undangan pidana kedepannya. Konjungsi kata dan serta atau menimbulkan polemik tersendiri ketika memaknai delik pidana. Para sarjana hukum harus memperhatikan kata dan serta atau karena terkadang kata-kata tersebut memiliki makna dan fungsi yang berbeda. Selain itu, kata melawan hukum pun perlu diperhatikan karena dapat berimplikasi terhadap pembuktian di persidangan.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
29

Lisdayanty, Lisdayanty. "Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Pengungkapan Delik Pembunuhan Di Wilayah Hukum Polrestabes Makassar". Phinisi Integration Review 2, n.º 2 (21 de agosto de 2019): 271. http://dx.doi.org/10.26858/pir.v2i2.10005.

Texto completo
Resumen
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat terhadap Visum Et Repertum dan kekuatan Visum Et Repertum dalam pengungkapan delik pembunuhan di wilayah polrestabes Makassar. Selain itu juga untuk mendalami faktor penghambat pembuatan Visum Et Repertum dalam pengungkapan delik pembunuhan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi serta analisis data yang dilakukan melalui reduksi data, display dan verifikasi data. Temuan penelitian menunjukkan, 1) Persepsi Masyarakat terhadap Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam pengungkapan delik pembunuhan menolak dengan alasan telah mengiklaskan, rasa kasihan dengan jenazah, menganggap tindakan tersebut tidak manusiawi, dan faktor agama. 2). Kekuatan Visum Et Repertum memiliki kekuatan yang mutlak, namun Visum Et Repertum tidak mutlak dilakukan disetiap kasus pembunuhan. Kekuatan pembuktian Visum Et Repertum merupakan alat bukti yang sempurna tentang apa saja yang tercantum didalamnya. Visum Et Repertum tidak bisa berdiri sendiri karena setiap putusan pemidanaan harus tetap didasarkan dengan minimal dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim.3) penghambat pembuatan Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam pengungkapan delik pembunuhan yaitu adanya opini masyarakat tentang pengambilan organ-organ tubuh mayat yang dilakukan dokter forensik.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
30

Sari, Rizka Ferdiana. "Delik Wanprestasi Jual Beli Online perspektif Hukum Pidana Islam". Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam 3, n.º 2 (22 de marzo de 2018): 426–53. http://dx.doi.org/10.15642/aj.2017.3.2.426-453.

Texto completo
Resumen
Abstract: This article discusses perspective of Islamic criminal law on breach of contract in online trading. Initially, breach of contract is an act in which someone cannot fulfil obligation with or without purpose. Breach of contract is punishable as a fraud if there is a party feel victimized and the breacher act irresponsibly. From perspective Islamic criminal law, the application of breach of contract in online trading is considered jarîmah ta’zîr and punishable with imprisonment, lashing as well as fine. This was practiced by second rightly guided caliph Umar ibn Khattab to those who did fraudulent acts. Ta’zir is a crime in which not textual reference is found. Keywods: Breach of contract, online trading, Islamic criminal law Abstrak: Artikel ini membahas tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap delik wanprestasi terhadap jual beli online. Pada mulanya wanprestasi merupakan kegiatan ingkar janji yang seseorang tidak dapat memenuhi kewajibannya, baik disengaja atau tidak disengaja. Wanprestasi ini dapat dipidanakan atas delik penipuan apabila yang bersangkutan merasa dirugikan dan pihak wanprestasi tidak ada iktikad baik terhadapnya dan memilih jalur pidana dan wanprestasi ini dapat dipidanakan dengan tidak melupakan unsur-unsur yang terkadung di dalam delik penipuan. Dalam tinjauan hukum pidana Islam, penerapan hukum kepada para pelaku delik wanprestasi terhadap jual beli online shop adalah jarîmah ta’zîr yang berupa pengasingan, cambukan serta denda yang harus dibayarkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat Umar ibn Khattab kepada pelaku penipuan, karena ta’zîr merupakan hukuman yang dijatuhkan dan kadarnya ditentukan oleh penguasa negara yang tidak diatur dalam Alquran dan sunnah. Kata kunci: Delik wanprestasi, jual beli online, hukum pidana Islam.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
31

Hidaya, Wahab Aznul. "Delik Penganiayaan Terhadap Anak di Kota Makassar". JUSTISI 6, n.º 1 (18 de enero de 2020): 35. http://dx.doi.org/10.33506/js.v6i1.778.

Texto completo
Resumen
Suatu perlakuan yang dianggap sebagai suatu tindakan yang semena-mena ialah tindak kejahatan terhadap orang. Pada dasarnya kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan pelakunya dapat dikenakan pidana. Yang mana salah satunya adalah tindak Penganiayaan. Baik yang dilakukan terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Beberapa perbuatan atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan mengganggu keserasian hidup bersama, salah satunya adalah penganiayaan terhadap anak yang mana hampir setiap hari banyak diberitakan di media massa maupun elektronik lainnya. Kasus-kasus penganiayaan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, merupakan fenomena tersendiri, mengingat dimana seseorang adalah individu yang memiliki emosi yang masih sangat stabil, maka penanganan kasus penganiayaan terhadap anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari Hukum acara pidana yang berlaku dalam masyarakat.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
32

Putra Rozi, Zulfiqar Bhisma. "PERKEMBANGAN DELIK ZINA DALAM YURISPRUDENSI HUKUM PIDANA". Veritas et Justitia 5, n.º 2 (27 de diciembre de 2019): 286–301. http://dx.doi.org/10.25123/vej.3612.

Texto completo
Resumen
This article examines the concept of adultery as regulated in Article 284 of the Criminal Code. Behind this penal ruling is the intention to protect the sanctity of marriage contracts. Outside the purview of this article is extra marital sex. The author main argument is that Judges using their authority to extract and formula existing unwritten society’s appraisal and judgment on extra-marital sex. The purpose of which is to make possible penalization of couples considering guilty of committing extra marital sex. A study of existing laws and regulations, plus relevant court judgments will be undertaken, to explore the possibility of changing and extending the concept of zina (adultery) to encompass also extra-marital sex.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
33

Syahroni, Muh Arief, M. Alpian y Syofyan Hadi. "PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI". DiH: Jurnal Ilmu Hukum 15, n.º 2 (11 de julio de 2019): 124–33. http://dx.doi.org/10.30996/dih.v15i2.2478.

Texto completo
Resumen
Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewijslast) secara terbatas di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dianggap sebagai instrumen luar biasa disebabkan karena cara ini menyimpang dari prinsip umum hukum pidana yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dengan meletakkan beban pembuktian kepada terdakwa, maka asas yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi ini pun beralih dari praduga tidak bersalah (presumption of innocence) menjadi praduga korupsi (presumption of corruption) atau praduga bersalah (presumption of guilt). Penerapan pembalikan beban pembuktian terbalik ini adalah salah satu sarana dan merupakan suatu terobosan hukum dalam konteks pembaharuan hukum pidana yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Pengimplementasian sistem ini diharapkan mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian yang dihadapi selama ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang cenderung dilakukan dengan sangat rapi dan menyeluruh. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dasar hukum pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan mengunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Sedangkan pengumpulan bahan dilakukan dengan studi dokumen kemudian bahan hukum tersebut penyusun uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penjelasan yang sistematis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi hanya terbatas dilakukan terhadap delik pemberian (gratification) yang berkaitan dengan suap (bribery), dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam pasal 2 sampai dengan pasal 16 beban pembuktiannya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
34

Hendardi, Hendardi. "Kejahatan Politik di Indonesia". Jurnal Hukum & Pembangunan 27, n.º 1 (26 de febrero de 1997): 15. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol27.no1.524.

Texto completo
Resumen
Apa yang dapat kita saksikan sekarang Orde Baru telah memanfaatkan produk-produk hukumyang dihasilkan dari keadaan darurat. Mereka telah menempuh jalur hukum berdasarkanprinsip-prinsip yang masih disesuaikan dengan keadaan darurat atau zaman kolonial. Dengan begitulah Orde Baru mempertahankan delik-delik politik di Indonesia. Selama ini tak ada upaya mereka untuk menyempurnakan atau mengubahnya. KUHP sepenuhnya masih sebagai warisan kolonial. Artikel ini membahas dan menyoroti berbagai segi dari kejahatan politik di Indonesia, baik segi yuridis maupun segi-segi non yuridis.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
35

Budiyanto, Budiyanto. "Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Delik Adat". Papua Law Journal 1, n.º 1 (25 de octubre de 2018): 81–100. http://dx.doi.org/10.31957/plj.v2i2.582.

Texto completo
Resumen
Penyelesaian suatu tindak pidana melalui peradilan formal (Pengadilan Negeri) umumnya masih dirasakan kurang memberikan rasa keadilan bagi korban. Bahkan seringkali masih menyimpan ketidakpuasan (dendam) dari korban (keluarga korban) atas hukuman atau sanksi pidana yang telah dijatuhkan kepada pelaku oleh pengadilan. Keadilan restoratif merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat diterapkan dalam menyelesaikan delik adat, yang umumnya penyelesaiannya digagas oleh pelaku untuk menyelesaikan kasusnya secara damai bersama korban (keluarganya). Metode peneltian yang digunakan berupa penelitian hukum empiris (socio legal research). Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian delik adat di Papua pada dasarnya dilakukan dengan menerapkan konsep keadilan restoratif, yaitu ide penyelesaiannya dilakukan oleh pelaku kepada korban atau keluarga korban. Apabila tidak berhasil, akan diselesaikan melalui keluarga pelaku dan keluarga korban, atau melalui kepala suku/Ondoafi, atau melalui peradilan adat. Konsep keadilan restoratif ini diterapkan dalam penyelesaian delik adat semata-mata sebagai upaya untuk memulihkan penderitaan yang dialami korban dan untuk memperbaiki keseimbangan kosmis yang terganggu dalam masyarakat.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
36

Santoso, Tri y Emi Puasa Handayani. "Studi Komparasi Hukum Pertanggung Jawaban Pidana Delik Perdagangan Orang Ditinjau dari KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang". DIVERSI : Jurnal Hukum 3, n.º 2 (8 de junio de 2018): 218. http://dx.doi.org/10.32503/diversi.v3i2.167.

Texto completo
Resumen
Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan manusia merupakan tanggung jawab Negara, pemerintah daerah beserta seluruh komponen masyarakat. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Diperlukan kajian perbandingan (studi komparasi) antara KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tindak pidana perdagangan manusia menurut kedua perspektif hukum tersebut, sehingga dapat tercapai suatu hasil yang objektif dan sesuai dengan tujuan penelitian. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pertanggung jawaban pidana delik perdagangan orang dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang serta bagaimana komparasi hokum pertanggung jawaban pidana delik perdagangan orang dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pertanggung jawaban pidana delik perdagangan orang dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang serta untuk menganalisa komparasi hukum pertanggung jawaban pidana delik perdagangan orang dalam KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jenis atau tipologi penelitian ini menggunakan jenis penelitian legal research dengan pendekatan perbandingan hukum. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan serta bahan hukum sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka tentang tindak pidana perdagangan manusia melalui studi kepustakaan dan studi peraturan perundang-undangan.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
37

DEMİREL, Mehmet Yasin y İbrahim KARAAĞAÇ. "Sürtünmeli Delik Delme Prosesi ve Prosesin Başlıca Uygulamaları". El-Cezeri Fen ve Mühendislik Dergisi 4, n.º 2 (31 de mayo de 2017): 234–48. http://dx.doi.org/10.31202/ecjse.292088.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
38

KARAKUŞ, Hatice. "DELİK BORU TÜRKİYE'DEKİ AKADEMİSYEN KADINLAR ÜZERİNE BİR ANALİZ". Journal of Academic Social Science Studies 12, Number: 53 (1 de enero de 2016): 533–56. http://dx.doi.org/10.9761/jasss3635.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
39

Wahidin, Samsul. "Delik Pers dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen". Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 8, n.º 16 (16 de octubre de 2001): 157–65. http://dx.doi.org/10.20885/iustum.vol8.iss16.art10.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
40

Maharani, Alifia Swatika. "Penyertaan Dalam Delik Jabatan Pada Tindak Pidana Korupsi". Jurist-Diction 3, n.º 4 (28 de junio de 2020): 1311. http://dx.doi.org/10.20473/jd.v3i4.20208.

Texto completo
Resumen
Tindak Pidana Korupsi yang terkait dengan kerugian negara pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada faktanya selalu melibatkan dua orang pelaku atau lebih, terkhusus melibatkan pihak pejabat dan pihak swasta. Kedua pihak tersebut bekerjasama mencapai satu tujuan yang sama untuk mendapatkan keuntungan bersama secara melawan hukum. Tindak Pidana yang melibatkan dua orang dan dilakukan secara bersama-sama dalam tindak pidana korupsi identik dengan bentuk turut serta antara pejabat dengan swasta sebagaimana Pasal 55 ayat (1) kesatu bentuk ketiga KUHP. Secara faktual, kedudukan dan kualitas antara pejabat dengan swasta tidaklah sama. Tindak Pidana Korupsi dengan bentuk penyalahgunaan kewenangan ataupun melawan hukum dalam jabatan tidaklah mungkin dilakukan oleh orang atau pihak-pihak yang tidak memiliki jabatan. Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak akan terjadi jika tidak ada pelaku yang notabene tidak mempunyai jabatan atau kewenangan. Apakah mungkin seorang pelaku yang tidak mempunyai kualitas sebagai pejabat dapat dipersamakan dengan pelaku yang mempunyai jabatan dan atau kewenangan. Apakah Penyertaan bentuk turut serta dalam Pasal 55 KUHP dapat diterapkan pada delik yang melibatkan antara pejabat dan swasta. Tulisan ini mengkaji dengan memfokuskan pembahasan kepada konsep dan ajaran penyertaan dan pembantuan Tindak Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi yang terkait dengan kerugian negara. Apakah penerapan Pasal 55 KUHP bentuk turut serta pada Tindak Pidana Korupsi telah sesuai dengan konsep penyertaan ataukah tidak. Serta bagaimana pula kedudukan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 yang mengkualifikasikan bentuk pembantuan Pasal 56 KUHP sebagai pelaku.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
41

Rasyid, Fitri Pratiwi. "KAJIAN RELEVANSI DELIK ADUAN PADA IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA". Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 32, n.º 2 (15 de octubre de 2020): 212. http://dx.doi.org/10.22146/jmh.51060.

Texto completo
Resumen
AbstractLaw enforcement efforts against copyright infringement in Indonesia are regulated as a complaint offense under Article 120 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. Complaint offense implementation had connected with one consideration suggested that the officials having difficulty to distinguish between an original work and a copy. Referring to normative study that has been conducted, the complaint offense is irrelevant since it restricts law enforcement capacity of providing copyright protection. Appropriately, to protect creators and/or copyright holders whose rights have been violated, the officials should take an action without waiting for a complaint about the presence of copyright infringement.IntisariUpaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta di Indonesia diatur sebagai delik aduan berdasarkan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Delik aduan berlaku dengan salah satu pertimbangan bahwa aparat penegak hukum kerap sulit membedakan ciptaan yang asli dengan tiruannya. Bersumber pada pengkajian normatif yang telah dilakukan, delik aduan tidak relevan diterapkan karena membatasi ruang gerak penegakan hukum dalam memberikan pelindungan hukum untuk berkarya. Sepatutnya, untuk melindungi pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang dilanggar haknya, aparat penegak hukum dapat bertindak tanpa harus menunggu aduan pada pelanggaran hak cipta yang terjadi.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
42

Sihotang, E. "SANKSI ADAT DAN PIDANA YANG BERBARENGAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK KAITANNYA DENGAN ASAS NEBIS IN IDEM (Studi Di Desa Adat Tanglad, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung)". Mimbar Keadilan 12, n.º 2 (10 de julio de 2019): 211. http://dx.doi.org/10.30996/mk.v12i2.2477.

Texto completo
Resumen
Hukum adat sebagai aturan yang mengatur perbuatan dan tingkah laku dalam hubungan kemasyarakatan, timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat (masyarakat Indonesia), yang dipertahankan sebagai penjaga tata tertib hukum. Dalam hukum adat dikenal istilah delik adat yang artinya segala perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat yang jika dilanggar akan mendapatkan reaksi adat atau sanksi adat. Tujuan adanya reaksi adat atau sanksi adat adalah untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan pembersihan (maprayascita) dan lain sebagainya. Namun adakalanya delik adat yang dilakukan seseorang juga sekaligus menjadi delik pidana dalam hukum formal seperti misalnya kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur. Sehingga selain pelakunya diberikan sanksi adat oleh desa adat, secara berbarengan dikenai juga sanksi pidana oleh Negara karena kasusnya ditangani Polisi. Sehingga pada akhir cerita ternyata pelakunya dihukum sebanyak 2 (dua) kali terhadap perbuatan yang sama. Jika dikaitkan dengan sebuah asas hukum yang kita kenal dengan asas nebis in idem (diatur di dalam Pasal 76 ayat (1), ayat (2) KUHP) yang artinya seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
43

Dimas, Asrullah, Muhammad Hasrul y Hijrah Adhyanti Mirzana. "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ADVOKAT ATAS INTERPRETASI OBSTRUCTION OF JUSTICE". Jurnal Hukum dan Kenotariatan 5, n.º 2 (27 de mayo de 2021): 308. http://dx.doi.org/10.33474/hukeno.v5i2.10901.

Texto completo
Resumen
Penelitian ini bertujuan menganalisis batasan delik obstruction of justice pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi agar advokat dalam hal ini memiliki perlindungan hukum yang jelas dalam perkara tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.Adapun hasil dari penelitian ini yaitu karakteristik Obstruction Of Justice, menyatakan 3 (tiga) unsur penting yaitu Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings);Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings); Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent), Selanjutnya obstruction of justice merupakan delik materikl, sehingga delik tersebut mengindahkan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan, yakni perbuatan tercegah, terintangi atau tergagalkannya suatu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang yang sedang dilaksanakan mengakibatkan lambatnya proses Peradilan sehingga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang sederhana , cepat dan biaya ringan. Selain dari hak imunitas advokat sebagai bentuk perlindungan hukum seharusnya delik obstruction of justice disematkan pada delik pidana materil bukan delik formil sehingga penekanan kasus tersebut adalah akibat dari perbuatan itu, seyogyanya untuk menilai perbuatan Officium Nobille maka peninjauannya pada akibat agar interpretasi dari kata mencegah,merintangi,dan menghalangi tidak sebatas perbuatan semata melainkan ada akibat yang ditimbulkan. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Advokat, Obstruction of justice This study aims to analyze the limits of the offense obstruction of justice in Law Number 21 of 2001 which is concerning about the Corruption so that advocates in this case have the clear legal protection in cases of criminal acts of the corruption. This study uses a normative legal research method. The results of this study are the characteristics of the Obstruction of Justice, which states 3 (three) important elements, namely that action causes pending judicial proceedings; the perpetrator knows his actions or is aware of his actions (knowledge of pending proceedings) ); The perpetrator commits or attempts deviant actions with the aim of disrupting or intervening in the legal process or administration (acting corruptly with intent). Furthermore, the obstruction of justice is a material offense, so that the offense ignores any consequences arising from the act, namely actions are prevented, obstructed or failed to occur. ongoing investigations, prosecutions and trial hearings have resulted in the slow process of the judiciary so that it is not in accordance with the principles of a simple, fast and low cost trial. Apart from the right of an advocate's immunity as a form of legal protection, the obstruction of justice offense should be attached to a material criminal offense not a formal offense so that the emphasis of the case is the result of that act. and hindering is not just an act, but there are the consequences itself.Keyword: legal protection, advocate , Obstruction of justice
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
44

Amin, Mhd. "KEJAHATAN KORPORASI: SUATU TINJAUAN TENTANG BENTUK KEJAHATAN DAN TANGGUNG JAWABNYA". SUPREMASI HUKUM 15, n.º 1 (1 de octubre de 2019): 23–31. http://dx.doi.org/10.33592/jsh.v15i1.243.

Texto completo
Resumen
Dengan penguasaan kehidupan ekonomi yang begitu kuat, maka tidak mengherankan, jika korporasi dapat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan “Ipoleksosbudhankam” (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan). Beberapa aspek kondisi Ipoleksosbudhankam tersebut di samping mewarnai gejala sosial umum yang rutin dan wajar, juga melahirkan bentuk-bentuk kejahatan korporasi. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pandangan terhadap subyek delik yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang. Korporasi/badan hukum dianggap bukan sebagai subyek delik, bila terjadi suatu perbuatan melawan hukum, maka penguruslah yang harus bertanggungjawab. Di Negara Belanda sendiri persoalan tentang dapat atau tidaknya suatu korporasi dipertanggungjawabkan, juga telah mengalami perdebatan yang sengit antara pemerintah dan DPR yang pada akhirnya melahirkan doktrin yang intinya badan hukum tidak dapat dipidana.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
45

Suhendar, Suhendar. "UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TINDAK PIDANA KORUPSI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016". Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 7, n.º 1 (14 de septiembre de 2017): 101. http://dx.doi.org/10.32493/jdmhkdmhk.v7i1.594.

Texto completo
Resumen
ABSTRAKUnsur kerugian keuangan Negara dalam hukum pidana: tindak pidana korupsi, sebagaimana pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengalami pada mulanya merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Demikian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 menguatkan konsepsi demikian. Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengubah secara radikal makna konstitusional unsur kerugian keuangan Negara tersebut menjadi delik materil: menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian hilangnya unsur (bestandeel) “dapat” pada kata “merugikan keuangan atau perekonomian Negara” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi akan berdampak signifikan terhadap penuntutannya, sehubungan unsur sebagai nama kumpulan bagi apa yang disebut bestandeel (bestanddelen van het delict) adalah bagian-bagian yang terdapat dalam rumusan delik yang harus dibuktikan, harus dicantumkan di dalam surat tuduhan dan bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan kata lain hakim harus memutuskan suatu vrijspraakKata Kunci : Unsur Kerugian Keuangan Negara, Putusan Mahakamah Konstitusi dan Hukum Pidana.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
46

Adri, Saidil. "PENENTUAN KRITERIA DELIK ADAT OLEH MASYARAKAT ADAT MELAYU ROKAN HILIR". Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum 3, n.º 1 (31 de enero de 2020): 99–108. http://dx.doi.org/10.36085/jpk.v3i1.1209.

Texto completo
Resumen
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan Untuk mengetahui penentuan kriteria delik adat oleh masyarakat adat melayu Rokan Hilir. Salah satu daerah yang ada di provinsi Riau yang memiliki masyarakat adat yakni kabupaten Rokan Hilir, dalam masyarakat adat melayu Rokan Hilir memiliki cara pandang berbeda dalam menentukan apakah suatu perbuatan masuk dalam kategori perbuatan tercela, atau disebut dengan istilah delik adat. Dalam perumusannya, yang menjadi acuan dalam proses apakah suatu perbuatan masuk dalam delik adat ada ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu yang disebut dengan kriteria. Penelitian ini adalah jenis penelitian sosiologis yuridis, yaitu studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu uraian yang dilakukan terhadap data yang terkumpul dengan menggunakan kualitas dari data atau tidak menggunakan angka-angka tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pendapat pukar hukum. Selanjutnya peneliti menerangkan dengan jelas dan rinci melalui interpretasi data dengan menghubungkan keterkaitan data yang satu dengan yang lainnya dan dianalisa berdasarkan teori hukum maupun ketentuan hukum yang berlaku dan pendapat para ahli, untuk kemudian menarik kesimpulan dengan cara deduktif yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke masalah yang bersifat khusus.Kata kunci: kriteria; delik adat; masyarakat adat; melayu rokan hilirABSTRACTThis study aims to determine the determination of the criteria for customary offense by the indigenous people of Malay Rokan Hilir. One of the regions in Riau province that has indigenous peoples is Rokan Hilir district. In the adat community, Malay Rokan Hilir has a different perspective in determining whether an act is categorized as a despicable act, or referred to as adat delik. In the formulation, which becomes a reference in the process of whether an act is included in the adat offense there is a measure on which to base an assessment or determination of something called a criterion. This research is a type of juridical sociological research, namely empirical studies to find theories about the process of occurrence and about the process of working of law in society. The method of approach used in this study is a qualitative analysis that is a description of the data collected using the quality of the data or not using numbers but based on laws and regulations and legal exchange opinions. Furthermore, researchers explain clearly and in detail through data interpretation by linking the data linkages with one another and analyzed based on legal theory and applicable legal provisions and opinions of experts, to then draw conclusions by deductive means of drawing conclusions from things that are of a nature general to specific problems.Keywords: criteria; customary delict; culture; rokan hilir malay
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
47

KARAKOÇ, Mehmet. "Baskılı Devre Kartlarındaki Delik Alanlarının Görüntü İşleme Teknikleri Kullanılarak Tespit Edilmesi ve Potansiyel Delim Güzergâhının Genetik Algoritmalar ile Eniyilemesi". Süleyman Demirel Üniversitesi Fen Bilimleri Enstitüsü Dergisi 22, n.º 1 (14 de agosto de 2017): 336. http://dx.doi.org/10.19113/sdufbed.39274.

Texto completo
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
48

Kurniawan, Efendik, Ahmad Heru Romadhon, Indri Ayu Kusumawardani, Zakaria Zakaria y Akhmad Rudi Iswono. "Formulasi Kebijakan Concreto in Abstracto UU ITE". Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, n.º 1 (31 de mayo de 2020): 64. http://dx.doi.org/10.24843/jmhu.2020.v09.i01.p05.

Texto completo
Resumen
The focus of this research study aims to reaffirm the contents of article 45 paragraph (5) of the ITE Law related to complain offenses which are considered confusing in providing clear definitions and obscurity of legal certainty which can hinder the law enforcement process for justice seekers if there is a dispute in cyberspace. This type of research is normative legal research, descriptive using deductive reasoning. From the results of the discussion, this study shows that the complaint offense listed in the ITE Law which is abstract in nature is blurred if the complaint does not have a more concrete explanation of the meaning of the complaint. So that the Judicial Review needs to review the contents of the article. Policy formulation UU ITE No. 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions which was last amended by Act No. 19 of 2016 specifically with the interaction of social change and changes in law today address alignments on the one hand in the interests of a group. Fokus dalam studi penelitian ini bertujuan untuk menegaskan kembali isi pasal 45 ayat (5) UU ITE terkait dengan delik aduan yang dirasa membingungkan dalam memberikan definisi yang jelas serta terkaburnya sebuah kepastian hukum yang dapat menghambat proses penegakkan keadilan hokum bagi pencari keadilan apabila ada sengketa di ruang cyber space. Tipe Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, deskriptif dengan mengunakan penalaran deduktif. Dari hasil pembahasan penelitian ini menunjukkan bahwa delik aduan yang tercantum dalam UU ITE yang bersifat abstrak menjadi kabur apabila delik aduan ini tidak mempunyai penjelasan yang lebih konkrit dari arti delik aduan tersebut. Sehingga dirasa perlu Judicial Review mengkaji lagi muatan pasal tersebut. Formulasi kebijakan UU ITE No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 khususnya dengan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum dewasa ini menujukan keberpihakan pada satu sisi dalam kepentingan suatu golongan.
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
49

Susilo, Adhi Budi. "Renewal of Criminal Law Politics Relating to Justice Based On Justice". Walisongo Law Review (Walrev) 1, n.º 2 (30 de octubre de 2019): 155. http://dx.doi.org/10.21580/walrev.2019.1.2.4803.

Texto completo
Resumen
<p>Copyright is a high reality of various values, including economic value, this is because copyright that is born of copyright, taste, and intention is able to color the development of human life through objects born from the copyright process. However, in its development various copyrights were not considered in this country. The rise of piracy on song copyrights for example, is only able to benefit the perpetrators of piracy of song copyright economically. The research method used is a juridical legal research method of analysis with the object of research studies aimed at the laws and regulations relating to copyright and principles - applicable legal principles. Substantially, the material changes in Law No. 28 of 2014 is related to the change of type of criminal offense from ordinary offense to complaint offense and in the meantime there are not many creators who can seek justice about it. The results of the research are increasingly unfair with the existence of Clause 112 to Clause 119 of Law Number 28 of 2014 changing copyright offenses to complaint offenses that increasingly marginalize the rights of the creators of copyrighted works in this country. Therefore it is necessary to have a joint discussion related to the political development of criminal law related to copyright offenses.</p><p> </p><p class="IABSSS">Hak Cipta adalah suatu realitas yang tinggi akan berbagai nilai, termasuk didalamnya nilai ekonomis, hal ini dikarenakan hak cipta yang lahir dari cipta, rasa, dan karsa mampu mewarnai perkembangan kehidupan umat manusia melalui benda yang lahir dari proses cipta tersebut. Namun dalam perkembangannya berbagai hak cipta tidaklah diperhatikan di negara ini. Maraknya pembajakan akan hak cipta lagu misalnya, hanya mampu menguntungkan bagi oknum pelaku pembajakan hak cipta lagu tersebut secara ekonomis, Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis analisis dengan objek kajian penelitian yang ditujukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak cipta dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Secara substansial, materi perubahan dalam UU No. 28 Tahun 2014 adalah yang berkaitan dengan perubahan jenis tindak pidana dari delik biasa menjadi delik aduan serta sementara itu pihak pencipta tidak banyak yang dapat mengupayakan keadilan akan hal itu. Hasil dari penelitian semakin bertambah tidak adil dengan adanya Pasal 112 hingga Pasal 119 Undang-Undang Nomer 28 Tahun 2014 merubah delik hak cipta menjadi delik aduan yang semakin memarjinalkan hak dari pencipta suatu karya cipta di negara ini. Oleh sebab itu perlu adanya pembahasan bersama terkait pembangunan politik hukum pidana terkai delik hak cipta.</p>
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
50

Susilo, Adhi Budi. "Renewal of Criminal Law Politics Relating to Justice Based On Justice". Walisongo Law Review (Walrev) 1, n.º 2 (18 de octubre de 2019): 157. http://dx.doi.org/10.21580/walrev.2019.2.2.4803.

Texto completo
Resumen
<p>Copyright is a high reality of various values, including economic value, this is because copyright that is born of copyright, taste, and intention is able to color the development of human life through objects born from the copyright process. However, in its development various copyrights were not considered in this country. The rise of piracy on song copyrights for example, is only able to benefit the perpetrators of piracy of song copyright economically. The research method used is a juridical legal research method of analysis with the object of research studies aimed at the laws and regulations relating to copyright and principles - applicable legal principles. Substantially, the material changes in Law No. 28 of 2014 is related to the change of type of criminal offense from ordinary offense to complaint offense and in the meantime there are not many creators who can seek justice about it. The results of the research are increasingly unfair with the existence of Clause 112 to Clause 119 of Law Number 28 of 2014 changing copyright offenses to complaint offenses that increasingly marginalize the rights of the creators of copyrighted works in this country. Therefore it is necessary to have a joint discussion related to the political development of criminal law related to copyright offenses.</p><p> </p><p class="IABSSS">Hak Cipta adalah suatu realitas yang tinggi akan berbagai nilai, termasuk didalamnya nilai ekonomis, hal ini dikarenakan hak cipta yang lahir dari cipta, rasa, dan karsa mampu mewarnai perkembangan kehidupan umat manusia melalui benda yang lahir dari proses cipta tersebut. Namun dalam perkembangannya berbagai hak cipta tidaklah diperhatikan di negara ini. Maraknya pembajakan akan hak cipta lagu misalnya, hanya mampu menguntungkan bagi oknum pelaku pembajakan hak cipta lagu tersebut secara ekonomis, Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis analisis dengan objek kajian penelitian yang ditujukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak cipta dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Secara substansial, materi perubahan dalam UU No. 28 Tahun 2014 adalah yang berkaitan dengan perubahan jenis tindak pidana dari delik biasa menjadi delik aduan serta sementara itu pihak pencipta tidak banyak yang dapat mengupayakan keadilan akan hal itu. Hasil dari penelitian semakin bertambah tidak adil dengan adanya Pasal 112 hingga Pasal 119 Undang-Undang Nomer 28 Tahun 2014 merubah delik hak cipta menjadi delik aduan yang semakin memarjinalkan hak dari pencipta suatu karya cipta di negara ini. Oleh sebab itu perlu adanya pembahasan bersama terkait pembangunan politik hukum pidana terkai delik hak cipta.</p>
Los estilos APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
Ofrecemos descuentos en todos los planes premium para autores cuyas obras están incluidas en selecciones literarias temáticas. ¡Contáctenos para obtener un código promocional único!

Pasar a la bibliografía