Pour voir les autres types de publications sur ce sujet consultez le lien suivant : Koinfekcia.

Articles de revues sur le sujet « Koinfekcia »

Créez une référence correcte selon les styles APA, MLA, Chicago, Harvard et plusieurs autres

Choisissez une source :

Consultez les 49 meilleurs articles de revues pour votre recherche sur le sujet « Koinfekcia ».

À côté de chaque source dans la liste de références il y a un bouton « Ajouter à la bibliographie ». Cliquez sur ce bouton, et nous générerons automatiquement la référence bibliographique pour la source choisie selon votre style de citation préféré : APA, MLA, Harvard, Vancouver, Chicago, etc.

Vous pouvez aussi télécharger le texte intégral de la publication scolaire au format pdf et consulter son résumé en ligne lorsque ces informations sont inclues dans les métadonnées.

Parcourez les articles de revues sur diverses disciplines et organisez correctement votre bibliographie.

1

Nyoko, Yuneti Octavianus, I. Wayan Gede Artawan Eka Putra et Anak Agung Sagung Sawitri. « Hubungan Karakteristik Demografi, Klinis dan Faktor Risiko Terinfeksi HIV dengan Koinfeksi HIV/TB di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Denpasar ». Public Health and Preventive Medicine Archive 2, no 2 (1 décembre 2014) : 95. http://dx.doi.org/10.15562/phpma.v2i2.131.

Texte intégral
Résumé :
Latar belakang dan tujuan: Infeksi HIV meningkatkan risiko terserang penyakit tuberkulosis (TB) dan sebaliknya infeksi TB meningkatkan progresifitas HIV. Di Bali, koinfeksi TB pada pasien HIV/AIDS mengalami peningkatan dari 26% di tahun 2012 menjadi 30% di tahun 2013. Penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan terjadinya koinfeksi HIV/TB masih terbatas di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi, klinis dan faktor risiko terinfeksi HIV dengan koinfeksi HIV/TB di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali. Metode: Disain penelitian adalah cross-sectional menggunakan data sekunder pasien HIV/AIDS yang menerima terapi antiretroviral (ARV) tahun 2002-2012. Variabel bebas adalah karakteristik demografi: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status bekerja, keberadaan pengawas minum obat; variabel klinis: kadar hemoglobin, berat badan, kadar CD4; dan faktor risiko terinfeksi HIV. Status koinfeksi HIV/TB sebagai variabel tergantung. Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat (chi-square) dan multivariat (cox regression).Hasil: Dari 531 pasien yang dianalisis sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (57,6%) serta berumur ≥31 tahun (50,8%). Kejadian koinfeksi HIV/TB dijumpai pada 5,5% pasien. Analisis multivariat menunjukkan variabel yang secara independent berhubungan terhadap terjadinya koinfeksi HIV/TB adalah kadar CD4 awal ≤200 cell/mm3 (PR=10,34; 95%CI: 1,39-76,69; p=0,022) dan faktor risiko terinfeksi HIV melalui IDU (PR=3,27; 95%CI:1,56-6,88;p=0,002). Simpulan: Pasien yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 ≤200 cell/mm3 dan terinfeksi HIV melalui IDU berhubungan dengan koinfeksi HIV/TB.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
2

Janocha-Litwin, Justyna, Anna Szymanek-Pasternak et Krzysztof Simon. « Coinfection HCV /HIV – current HCV therapeutic options ». Forum Zakażeń 5, no 1 (29 avril 2014) : 43–47. http://dx.doi.org/10.15374/fz2014001.

Texte intégral
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
3

Mariana, Nina, Siti Maemun et Adria Rusli. « Profil Pasien Kandidiasis Oral dengan Koinfeksi Tuberkulosis-HIV di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso ». Indonesian Journal of Infectious Diseases 3, no 1 (5 novembre 2017) : 8. http://dx.doi.org/10.32667/ijid.v3i1.27.

Texte intégral
Résumé :
AbstrakLatar belakang: Kandidiasis oral banyak dijumpai pada pasien koinfeksi Tuberkulosis-Human Immunodefiency Virus (TB-HIV) dan meningkatkan morbiditasnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui profil pasien kandidiasis oral pada pasien koinfeksi TB-HIV di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso.Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang. Data penelitian didapatkan dari status rekam medik pasien kandidiasis oral dengan koinfeksi TB-HIV pada periode Januari 2011 hingga Mei 2014 di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien koinfeksi TB-HIV yang belum mendapat ARV (naive ARV) tetapi telah mendapat OAT yang yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 68 pasien.Hasil: Dari 62 pasien kandidiasis oral dengan koinfeksi TB-HIV yang belum mendapat terapi antiretroviral (ARV) didapat terbanyak laki-laki sekitar 74,6 %, usia produktif kurang dari 40 tahun (82,3%) dan pada stadium III sebesar 61,3 %, stadium IV sebesar 38,7 %. Hasil hitung CD4 terbanyak kurang dari 200 sel/μ. Rata-rata pasien menderita TB paru sebesar 72,6 %.Kesimpulan: Profil pasien kandidiasis oral dengan TB-HIV ditemukan terbanyak pada laki-laki dengan usia produktif pada stadium III dan IV, serta hasil hitung sel CD4 terbanyak kurang dari 200sel/μ.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
4

Shofia, Lailatis, Bagus Hermansyah, Enny Suswati, Dini Agustina, Diana Chusna Mufida et Muhammad Ali Shodikin. « Hubungan antara Higiene Perorangan dan Kejadian Koinfeksi Cacingan pada Penderita Tuberkulosis ». Sriwijaya Journal of Medicine 4, no 1 (7 mars 2021) : 55–60. http://dx.doi.org/10.32539/sjm.v4i1.153.

Texte intégral
Résumé :
Tuberkulosis (TB) dan cacingan merupakan penyakit infeksi dengan jumlah penderita yang banyak di Indonesia. Tingginya prevalensi cacingan di Indonesia memungkinkan terjadinya koinfeksi STH pada pasien TB paru yang menyebabkan imunitas anti M. tuberculosis menurun sehingga respon terhadap pengobatan tuberkulosis menjadi tidak maksimal. Cacingan salah satunya dipengaruhi oleh higiene perorangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara higiene perorangan dan kejadian koinfeksi cacingan pada penderita TB di Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain analitik cross sectional. Populasi yang digunakan adalah pasien TB di Kecamatan Tempurejo dalam periode waktu September – Oktober 2019. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa hasil wawancara dan hasil pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses dilakukan menggunakan metode sedimentasi dan floatasi. Analisis data dilakukan menggunakan uji Fisher. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian koinfeksi cacingan pada pasien TB di Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember sebesar 9,67% dan disebabkan oleh dua spesies STH yaitu A. lumbricoides (66,7%) dan Hookworm (33,3%). Higiene perorangan responden terdiri atas higiene baik (64,5%) dan higiene buruk (35,5%), dimana 66,7% kejadian koinfeksi cacingan terjadi pada responden dengan higiene perorangan buruk. Hasil uji Fisher menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara higiene perorangan dengan kejadian koinfeksi cacingan pada pasien TB di Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember (p-value sebesar 0,281).
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
5

Kurniawati, Sri Agustini, Teguh H. Karjadi et Rino A. Gani. « Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hepatitis C pada Pasangan Seksual Pasien Koinfeksi Human Immunodeficiency Virus dan Virus Hepatitis C ». Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2, no 3 (31 janvier 2017) : 133. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v2i3.78.

Texte intégral
Résumé :
Pendahuluan. Pencegahan transmisi hepatitis C pada pasangan seksual pasien koinfeksi HIV/HCV merupakan upaya penatalaksanaan hepatitis C. Namun demikian, belum ada data prevalensi hepatitis C dan faktor yang berhubungan dengan transmisi hepatitis C pada pasangan seksual pasien koinfeksi HIV/HCV di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh data tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi hepatitis C dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hepatitis C pada pasangan seksual pasien koinfeksi HIV/HCV.Metode. Studi potong lintang pada pasangan heteroseksual pasien koinfeksi HIV/HCV yang berobat di Pokdisus RSCM. Faktor yang diteliti meliputi penggunaan narkotika suntik, transfusi darah, status HIV, penggunaan kondom, jumlah hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, tipe hubungan seksual dan hitung CD4+ pasien koinfeksi HIV/HCV. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara secara terpisah dan pemeriksaan darah antiHCV total dan antiHIV. Analisis statistik dilakukan dengan uji chi-square dan Fisher dan regresi logistik menggunakan program SPSS.Hasil. Selama periode Mei-Agustus 2008, diperoleh 119 subyek penelitian pada rentang usia 19-39 tahun (median 26 tahun) dan 95,8% diantaranya berjenis kelamin perempuan. Didapatkan prevalensi hepatitis C sebesar 10,1%. Hasil analisis bivariat kelompok subyek nonpengguna narkotika suntik didapatkan status HIV reaktif dan hubungan seksual nonvaginal berhubungan dengan kejadian hepatitis C. Pada hasil analisis multivariat didapatkan hanya tipe hubungan nonvaginal yang berhubungan dengan kejadian hepatitis C (adjusted RP 8,051; IK95% 1,215-53,353).Simpulan. Prevalensi hepatitis C pada pasangan seksual pasien koinfeksi HIV/HCV sebesar 10,1%. Tipe hubungan nonvaginal dan status antiHIV positif dapat meningkatkan risiko terjadinya kejadian hepatitis C sebesar 8 kali. Dibutuhkan studi lanjutan dengan sampel yang lebih besar dan desain yang lebih baik untuk menentukan transmisi seksual hepatitis C.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
6

Yusra, Elisda, Efrida Efrida et Elmatris Sy. « Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pemulihan Respons Imun Penderita HIV-1 yang Mendapat Terapi Antiretroviral di RSUP Dr. M. Djamil Padang ». Jurnal Kesehatan Andalas 7, no 3 (10 décembre 2018) : 436. http://dx.doi.org/10.25077/jka.v7.i3.p436-442.2018.

Texte intégral
Résumé :
Beberapa faktor telah diteliti berhubungan dengan pemulihan respons imun penderita HIV, diantaranya faktor demografi, faktor klinis, dan faktor pengobatan. Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki hubungan karakteristik klinis dengan pemulihan respons imun penderita HIV-1 yang mendapat terapi antiretroviral di RSUP Dr. M. Djamil. Ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional dengan metode purposive sampling. Pemulihan respons imun dinilai dari jumlah sel T CD4 setelah ≥1 tahun terapi antiretroviral. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien HIV yang berobat di Poliklinik Voluntary Conseling and Testing (VCT) RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2010-2016. Besar sampel adalah sebanyak 70 penderita HIV. Hasil penelitian ini mendapatkan 40 subjek penelitian berada pada stadium III 85,9% dan stadium IV 71,4% tidak mengalami pemulihan respons imun. Riwayat koinfeksi lain sebanyak 68,6% tidak mengalami pemulihan respons imundiantaranya 13 subjek penelitian yang memiliki riwayat koinfeksi lain, 11 (84,6%) tidak terjadi pemulihan respons imun. Sebanyak 57 subjek penelitian yang tidak memiliki riwayat koinfeksi lain, sebanyak (64,9%) juga tidak terjadi pemulihan respons imun. Hasil uji Chi-Square didapatkan stadium klinis saat terdiagnosis (p=0,002), faktor risiko penularan (p=0,036), dan koinfeksi lain (p=0,204). Simpulan penelitian ini bahwa faktor-faktor yang terbukti berhubungan dengan pemulihan respons imun penderita HIV adalah stadium klinis saat terdiagnosis dan faktor risiko penularan, sedangkan yang tidak berhubungan adalah riwayat koinfeksi lain.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
7

Yusra, Elisda, Efrida Efrida et Elmatris Sy. « Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pemulihan Respons Imun Penderita HIV-1 yang Mendapat Terapi Antiretroviral di RSUP Dr. M. Djamil Padang ». Jurnal Kesehatan Andalas 7, no 3 (10 décembre 2018) : 436. http://dx.doi.org/10.25077/jka.v7i3.899.

Texte intégral
Résumé :
Beberapa faktor telah diteliti berhubungan dengan pemulihan respons imun penderita HIV, diantaranya faktor demografi, faktor klinis, dan faktor pengobatan. Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki hubungan karakteristik klinis dengan pemulihan respons imun penderita HIV-1 yang mendapat terapi antiretroviral di RSUP Dr. M. Djamil. Ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional dengan metode purposive sampling. Pemulihan respons imun dinilai dari jumlah sel T CD4 setelah ≥1 tahun terapi antiretroviral. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien HIV yang berobat di Poliklinik Voluntary Conseling and Testing (VCT) RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2010-2016. Besar sampel adalah sebanyak 70 penderita HIV. Hasil penelitian ini mendapatkan 40 subjek penelitian berada pada stadium III 85,9% dan stadium IV 71,4% tidak mengalami pemulihan respons imun. Riwayat koinfeksi lain sebanyak 68,6% tidak mengalami pemulihan respons imundiantaranya 13 subjek penelitian yang memiliki riwayat koinfeksi lain, 11 (84,6%) tidak terjadi pemulihan respons imun. Sebanyak 57 subjek penelitian yang tidak memiliki riwayat koinfeksi lain, sebanyak (64,9%) juga tidak terjadi pemulihan respons imun. Hasil uji Chi-Square didapatkan stadium klinis saat terdiagnosis (p=0,002), faktor risiko penularan (p=0,036), dan koinfeksi lain (p=0,204). Simpulan penelitian ini bahwa faktor-faktor yang terbukti berhubungan dengan pemulihan respons imun penderita HIV adalah stadium klinis saat terdiagnosis dan faktor risiko penularan, sedangkan yang tidak berhubungan adalah riwayat koinfeksi lain.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
8

Trasia, Reqgi First. « Covid-19 dan Koinfeksi Penyakit Parasit ». Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine 7, no 1A (28 août 2020) : 298–303. http://dx.doi.org/10.36408/mhjcm.v7i1a.471.

Texte intégral
Résumé :
LATAR BELAKANG: Kondisi pandemi, kasus Covid-19 semakin meningkat, manifestasi klinis seperti demam, batuk, diare, muntah, sakit kepala, mialgia dan kelelahan, mungkin sulit untuk membedakan COVID-19 dari spektrum penyakit dengan manifestasi serupa, seperti malaria dan cacingan, terutama di daerah endemik. Di Indonesia belum ada artikel yang membahas Covid-19 dengan koinfeksi malaria dan cacing. TUJUAN: Tujuan penulisan ini adalah menelaah dampak klinis infeksi Covid-19 dengan komorbid infeksi parasit yaitu malaria dan kecacingan. METODE: Penelusuran kepustakaan 154 jurnal, terdapat 4 jurnal yang relevan. DISKUSI: Manifestasi klinis malaria yang parah terjadi karena respon proinflamasi yang meningkat, hal yang sama terjadi dalam banyak kasus COVID-19. Koinfeksi Malaria dan COVID-19 dapat menyebabkan respons pro-inflamasi yang berlebihan, manifestasi klinis lebih parah dan prognosis buruk. Berdasarkan imunopatogenitas dari infeksi cacing di daerah endemis, dikhawatirkan hal tersebut akan meningkatkan keparahan gejala Covid-19 pada pasien dengan koinfeksi cacing. KESIMPULAN: Pada kasus Covid-19 yang diikuti dengan koinfeksi malaria menunjukkan keparahan manifestasi klinis akibat peningkatan respon inflamasi. Diduga bahwa respon imun hospes terhadap cacing akan memberikan dampak klinis yang lebih berat pada kasus Covid-19. Kata kunci: Covid-19, koinfeksi, malaria, cacingan, penyakit parasit BACKGROUND: The condition of the Covid-19 pandemic where the number of cases is increasing. Clinical manifestations such as fever, cough, diarrhea, vomiting, headache, myalgia and fatigue, it may be difficult to distinguish COVID-19 from the spectrum of diseases with similar manifestations, such as malaria and intestinal worms, especially in endemic areas. Indonesia there are no articles discussing Covid-19 with malaria and worm coinfection. OBJECTIVE: The purpose this article is to review the clinical impact of Covid-19 infection with comorbid parasitic infections, in this case malaria and worms. METHOD: Search the literature of 154 journals, there are 4 journals that are relevant DISCUSSION: The severe manifestations of malaria occur because of an increased proinflammatory response, the same thing happens in many cases of COVID-19. Malaria coinfection and COVID-19 can then cause excessive pro-inflammatory responses, severe manifestations and a poor prognosis. In addition, based on immunopathogenicity from worm infections in endemic areas, it is feared that this will increase the severity of Covid-19 symptoms in patients with worm co-infection. CONCLUSION: In the case of Covid-19 followed by co-infection with malaria, it shows the severity of clinical manifestations due to increased inflammatory response. Tobe assumed that the host's immune response to worms will have a more severe clinical impact in the Covid-19 case. Keywords: Covid-19, coinfection, malaria, intestinal worms, parasitic diseases
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
9

Pónyai, Katinka, Zsolt Kelemen, Éva Nemes-Nikodém, Eszter Ostorházi, Lászlóné Vörös, Ferenc Rozgonyi, Péter Nyirády, Viktória Várkonyi, Sarolta Kárpáti et Márta Marschalkó. « Paraffinoma of the penis – STD coinfections analysis ». Bőrgyógyászati és Venerológiai Szemle 89, no 2 (29 avril 2013) : 39–45. http://dx.doi.org/10.7188/bvsz.2013.89.2.1.

Texte intégral
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
10

Arief Dafitri, Ibnu, Irvan Medison et Dessy Mizarti. « Laporan Kasus TB paru koinfeksi HIV/AIDS ». YARSI Medical Journal 28, no 2 (13 août 2020) : 021–31. http://dx.doi.org/10.33476/jky.v28i2.1420.

Texte intégral
Résumé :
TB paru merupakan penyakit infeksi yang sering dijumpai di Indonesia. TB paru masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia, dengan harapan di tahun 2030 kasus TB paru dapat dieradikasi secara tuntas. Bersamaan dengan kasus TB paru yang belum tuntas, infeksi HIV/AIDS masih cukup tinggi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Infeksi HIV/AIDS dapat memperberat kondisi klinis pasien TB paru itu sendiri. Mendiagnosis kasus TB paru pada pasien dengan HIV/AIDS pada prinsipnya tidak berbeda dengan kasus TB paru tanpa konfeksi HIV/AIDS. Pemeriksaan standar pada kasus TB paru berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi berupa pemeriksaan sputum BTA dan tes cepat molekular untuk mengetahui adanya kuman yang telah resisten terhadap obat rifampisin. Pemeriksaan radiologi tetap diperlukan untuk membantu diagnosis TB paru, terutama pada pasien–pasien yang sukar mengeluarkan sputumnya. Pemeriksaan radiologi juga bermanfaat untuk melihat luasnya lesi paru yang diakibatkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dan penyakit oportunistik lain yang menyerang paru penderita dengan konfeksi HIV/AIDS. Pemberian obat Anti Retro Viral (ARV) pada kasus ini sebaiknya dimulai dalam waktu 2 minggu setelah pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
11

Rosamarlina, NFN, Farida Murtiani, Tri Yuli Setianingsih et Debby Permatasari. « Profil Pasien Suspek Koinfeksi TB pada HIV di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso Tahun 2015 ». Indonesian Journal of Infectious Diseases 3, no 1 (5 novembre 2017) : 14. http://dx.doi.org/10.32667/ijid.v3i1.28.

Texte intégral
Résumé :
AbstrakLatar belakang : Dampak pandemi Human Immunodefiency Virus (HIV) di dunia akan menambah permasalahan Tuberkulosis (TB). Koinfeksi TB dengan HIV merupakan tantangan besar dalam program pengendalian kedua penyakit tersebut. Kedua penyakit ini dan penyebabnya dapat saling berinteraksi dan mempengaruhi epidemiologi masing-masing. Maka diperlukan beberapa penelitian untuk mengetahui besarnya angka kejadian koinfeksi TB-HIV dan juga profil dari pasien koinfeksi TB-HIV.Metode : Penelitian ini adalah penelitian diskriptif dengan desain potong lintang. Pengambilan data primer dengan instrument Case Report Form (CFR) dilakukan selama 3 bulan sejak September – November 2015. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien suspek TB pada HIV dan HIV non TB sebanyak 38 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.Hasil : Jumlah pasien HIV pada periode September – November 2015 hanya 10 pasien yang TB-HIV. Dari 38 pasien suspek TB-HIV sebagian besar berusia < 35 tahun (52,6%) dan berjenis kelamin laki-laki (73,7%), menunjukkan Gejala klinis pasien suspek TB-HIV terbanyak adalah demam (94.7%), batuk (100%), batuk berdahak (89,5%), berkeringat malam hari (86,8%), mudah lelah (97,4%), gangguan tidur (86,8%), berat badan turun (100%), infeksi opportunistik candidiasis oral (60.5%) dengan hasil foto rontgen terbanyak yaitu Tb Paru (44,7%). Hasil apusan sputum pertama 84,2% BTA negative, apusan kedua 76,3% BTA negative dan apusan ketiga 86,8% BTA negative. Gambaran CD4 pada pasien TB-HIV 73,7% dengan CD4 < 100 sel/mm3.Kesimpulan : Sulit menentukan pasien koinfeksi TB pada pasien HIV tanpa dilengkapi pemeriksaan penunjang Foto Rontgen dan pemeriksaan CD4.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
12

Kadir, Nursin Abd, Nurhayana Sennang et Hardjoeno . « ANALISIS CD4 PADA PENATALAKSANAAN PASIEN KOINFEKSI HIV-TB ». INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY 16, no 1 (17 mars 2018) : 11. http://dx.doi.org/10.24293/ijcpml.v16i1.991.

Texte intégral
Résumé :
The Human Immunodeficiency Virus (HIV) epidemic has increased the burden of tuberculosis (TB) among young adults, especially in populations where the prevalence of TB infection is high like Indonesia. TB is the most common opportunistic infection on HIV patients(50%) in developing countries. CD4 also known as T helper lymphocytes are coordinators of body`s immune response, and it has beendeclining in HIV infection and be worsened by TB infection. CD4 count are standard laboratory marker of disease progression to followupandprognosisantiretroviraltherapyinHIVinfection.AimstoseethevalueofCD4countofHIV-TBco-infectedpatientsbeforeandafterantituberculosistogetherwithantiretroviraltherapy.AlongitudinalstudywasconductedbycollectingsecondarydatafromthemedicalrecordandtheresultsofClinicalPathologyLaboratoryofHIV-TBco-infectedpatientsatWahidinSudirohusodoHospitalperiodJuly2007–August2008.DatawereanalyzedbyWilcoxonSignedRankTestandMannWhitneyTestwitha=0.05.Totalsamples(n)were20patients(14patientswithcontinoustherapyand6uncontinoustherapy).WefounddifferentmeansbetweenCD4countbeforeandafterTherapy.CD4countbeforetherapywas71.15±81.04andaftertherapywas114.95±109.71(p=0.089)withWilcoxonSignedRankTest.Theanalyzedwerecontinuedbydividedsamplesincontinousgroupcomparedwithuncontinousgrouptherapy.TheresultshowedtheCD4alterationincontinousgroupwas853.8%anduncontinousgroupwas-56.6%wherep=0.000(MannWhitneytest).CD4counthasincreasedsignificantlyinHIV-TBco-infectedpatients8.5foldfromCD4baselinewithcontinoustherapyandtheuncontinous one has decreased 0.5 fold from CD4 baseline.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
13

Fitri, Alfiani Zukhruful, et Clara Alverina. « FOTOTERAPI 405NM BLUE LIGHT LASER SEBAGAI ALTERNATIF TERAPI GONORE KOINFEKSI KLAMIDIASIS RESISTEN ANTIBIOTIK ». JIMKI : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia 9, no 1 (12 juillet 2021) : 69–76. http://dx.doi.org/10.53366/jimki.v9i1.301.

Texte intégral
Résumé :
Pendahuluan: Gonore atau kencing nanah merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae, umumnya menyerang mukosa genital. Insidensi gonore tidak sedikit, WHO menyebutkan 87 juta kasus baru di tahun 2016. Adapun kasus koinfeksi Chlamydia trachomatis sekitar 10-40%. Menurut WHO 2018, disebutkan bahwa 70% negara melaporkan resistensi antimikroba karena N. gonorrhoeae. Tidak hanya itu, belakangan juga ditemukan resistensi sefalosporin generasi ketiga di 10 Negara. Metode: Studi literatur ini ditujukan untuk mengetahui potensi terapi alteratif gonore koinfeksi klamidiasis yang resisten antibiotik. Sitasi yang digunakan berasal dari jurnal ilmiah di Google Scholar, PubMed, dan publikasi WHO dari tahun 2015-2020. Pembahasan: Antimicrobial blue light (aBL) merupakan jenis terapi untuk mengendalikan infeksi bakteri yang resisten antibiotik didasarkan pada penggunaan cahaya. Mekanisme aBL dengan panjang gelombang 405 nm adalah dengan menginaktivasi mikroba melalui efek sitotoksik dan genotoksik melalui fotosensitizer endogen pada mikroba. Hal tersebut kemudian menyebabkan kerusakan membran sel serta inaktivasi faktor virulensi bakteri, baik N. gonorrhoeae dan C. trachomatis. Simpulan: Fototerapi 405 nm Blue Light Laser dapat menjadi alternatif terapi non farmakologis untuk pengobatan gonore baik infeksi tunggal maupun disertai koinfeksi klamidiasis. Adapun kelebihannya antara lain, mudah digunakan, tidak invasif, membutuhkan durasi yang cukup singkat, memiliki selektivitas yang tinggi sehingga tidak merugikan sel epitel vagina, dan tidak ada resistensi terhadap penggunaan fototerapi ini.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
14

Hidayah, Noor, Anggun Putri Yuniaswan et Sinta Murlistyarini. « Laporan Kasus : KOINFEKSI MORBUS HANSEN MULTIBASILER DAN TUBERKULOSIS PARU ». Majalah Kesehatan 8, no 1 (31 mars 2021) : 47–53. http://dx.doi.org/10.21776/ub.majalahkesehatan.2021.008.01.6.

Texte intégral
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
15

Febrina, Dia, Dartri Cahyawari, Nina Roslina, Rasmia Rowawi et Pati Aji Achdiat. « Neurosifilis Asimtomatik Pada Pasien Sifilis Sekunder Dengan Koinfeksi Human Immunodeficiency Virus ». Syifa' MEDIKA : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan 8, no 1 (2 février 2019) : 1. http://dx.doi.org/10.32502/sm.v8i1.1353.

Texte intégral
Résumé :
Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan invasi sawar darah otak oleh Treponema pallidum yang umumnya terjadi pada pasien sifiis koinfeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV). Neurosifilis umumnya terjadi pada sifilis tersier, tetapi dapat pula terjadi pada stadium lainnya, termasuk stadium sekunder. Diagnosis neurosifilis asimtomatik ditegakkan apabila didapatkan serum venereal disease research laboratory (VDRL) yang positif tanpa tanda dan gejala neurologis disertai satu dari karakteristik berikut pada pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS): (1) jumlah leukosit > 10/mm3; (2) protein total > 50 mg/dL; (3) hasil VDRL reaktif. Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 35 tahun dengan sifilis sekunder koinfeksi HIV tanpa ditemukannya tanda dan gejala neurologis. Kecurigaan neurosifilis pada pasien ini disebabkan oleh kegagalan terapi pada sifilis sekunder, status HIV dengan jumlah CD4+ 106/mm3, dan serum VDRL 1:256. Diagnosis neurosifilis pada laporan kasus ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS yang menunjukkan hasil VDRL yang reaktif, peningkatan jumlah leukosit dan protein total. Pasien ini diberikan penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid yang diberikan secara intramuskular selama 14 hari. Pada pasien sifilis koinfeksi HIV dapat dicurigai neurosifilis apabila ditemukan salah satu karakteristik berikut: (1) tidak terjadi penurunan titer VDRL setelah terapi benzatin penisilin; (2) serum VDRL/rapid plasma reagin (RPR) ? 1:32; (3) jumlah CD4+ < 350 sel/mm3. Kegagalan terapi pada sifilis sekunder dapat disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum pada sistem saraf pusat. Simpulan, dilaporkan satu pasien usia 35 tahun dengan neurosifilis asimtomatik yang diberikan terapi penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid selama 14 hari. Pemeriksaan serum VDRL pada bulan ketiga pasca terapi belum mengalami penurunan titer.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
16

Naully, Patricia Gita, et Sitti Romlah. « Deteksi Gen sHBsAg sebagai Penanda Koinfeksi Hepatitis B pada Pengidap HIV ». Jurnal Kesehatan 10, no 2 (13 septembre 2019) : 236. http://dx.doi.org/10.26630/jk.v10i2.1381.

Texte intégral
Résumé :
<p>Bandung is the city with the highest number of Human Immunodeficiency Virus (HIV) sufferers in West Java. HIV patients often have co-infection with Hepatitis B Virus (HBV). This condition can increase the risk of cirrhosis, liver cancer, and death. Co-infection status can be detected by the presence of the HBsAg gene amplified using the nested Polymerase Chain Reaction (nested PCR) method. This study aimed to decide the number of HBV co-infection cases with the sHBsAg gene as a marker and factor influencing the presence of the gene in HIV patients in Bandung. This research used 50 human samples domiciled in Bandung which have been infected with HIV and never had a hepatitis test. Taking blood specimens was done on the people who had signed the informed consent. The detection of the sHBsAg gene started with genomic DNA isolation. Moreover, the purity and concentration of DNA isolation results were measured by the Nanodrop. The amplification process of the sHBsAg gene was done twice using two pairs of the specific primary. The amplification results were visualized by agarose electrophoresis method. Then, the data collected was analyzed by a logistic regression method. The laboratory results showed that 18 people (36%) had HIV-HBV co-infection, marked by the presence of the sHBsAg gene in their blood. Unsafe sexual activity, syringe drug use, and a vaccination profile were factors that significantly influence (p&lt;0.05) on this co-infection.</p>
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
17

Mihalik, Noémi, Béla Tamási, András Bánvölgyi, Lívia Herczeg, János Szlávik, Márta Marschalkó et Béla Tóth. « Prevalence of HIV and venereal co-infections in the Hungarian National STD Center, the role of dermato-venerologists’ ». Bőrgyógyászati és Venerológiai Szemle 97, no 2 (6 mai 2021) : 77–81. http://dx.doi.org/10.7188/bvsz.2021.97.2.2.

Texte intégral
Résumé :
Incidence of HIV-infection is increasing in Hungary, due to antiretroviral therapy AIDS related mortality remained low. Delayed diagnosis of HIV infection remains a challenge, co-infection of HIV and other STIs is common. Authors present here the prevalence of HIV-gonorhoea, HIV-syphilis, HIV-neurosyphilis and HIV-lymphogranuloma venereum coinfections in the Hungarian National STD Center among 01.01.2015-31.12.2020.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
18

Luthariana, Lies, Teguh H. Karjadi, Irsan Hasan et C. Martin Rumende. « Faktor Risiko Terjadinya Hepatotoksisitas Imbas Obat Antituberkulosis pada Pasien HIV/AIDS ». Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 4, no 1 (30 mars 2017) : 23. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v4i1.109.

Texte intégral
Résumé :
Pendahuluan. Hepatotoksisitas imbas antituberkulosis (OAT) banyak didapatkan pada pasien HIV/AIDS. Beberapa faktor risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas obat seperti alkoholisme, infeksi hepatitis B maupun C, abnormalitas transaminase, status gizi kurang, penggunaan beberapa obat hepatotoksik secara bersamaan, banyak didapatkan pada pasien-pasien tersebut. Dengan karakteristik pasien HIV/AIDS yang berbeda dengan di negara lain maka diperlukan penelitian tersendiri tentang risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien tersebut di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien HIV.Metode. Desain penelitian ini adalah studi retrospektif kasus-kontrol dengan matching usia, jenis kelamin, regimen OAT dan konsumsi alkohol. Faktor risiko yang diteliti adalah koinfeksi hepatitis C, hepatitis B, konsumsi obat hepatotoksik lainnya, dan abnormalitas nilai awal SGPT dan atau billirubin total.Hasil. Pada penelitian ini diperoleh 33 kasus dan 33 kontrol. Proporsi subjek dengan koinfeksi hepatitis C sebesar 82% pada kasus dan 76% pada kontrol, sedangkan proporsi subjek dengan koinfeksi hepatitis B sebesar 18% pada kasus dan 6% pada kontrol. Subjek dengan nilai SGPT awal meningkat didapatkan pada kelompok kasus sebesar 51,5% dan pada kontrol sebesar 12%. Sementara itu, proporsi subjek yang menggunakan obat hepatotoksik lainnya sebesar 54,5% pada kasus dan 42,4% pada kontrol. Pada analisis bivariat, hanya nilai SGPT awal yang meningkat yang berhubungan dengan kejadian hepatotoksisitas imbas OAT (OR=7,5; IK95% 1,72-32,80; p < 0,05).Simpulan. Nilai SGPT awal yang meningkat dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien HIV/AIDS sebesar 7,5 kali. Tidak didapatkan hubungan koinfeksi hepatitis C, hepatitis B dan penggunaan obat hepatotoksik lainnya dengan kejadian hepatotoksisitas imbas OAT pada pasien HIV/AIDS.Kata Kunci: hepatotoksisitas imbas OAT, HIV/AIDS, tuberkulosis Risk Factors of Antituberculosis Induced-Hepatotoxicity among HIV/AIDS PatientsIntroduction. Antituberculosis (ATT) induced hepatotoxicity is commonly found among HIV/AIDS patients. Several risk factor related to drug-induced hepatotoxicity such as alcoholism, hepatitis B or hepatitis C infection, abnormal baseline aminotransferase/bilirubin, poor nutritional status and concomitant hepatotoxic drugs consumption, are usually found in these patients. This study was conducted to evaluate risk factor of ATT-induced hepatotoxicity in HIV/AIDS patients. Methods. This is a case control retrospective study with matching of age, sex, antituberculosis regimen, and alcohol consumption. Risk factors evaluated are hepatitis C and hepatitis B coinfection, concomitant hepatotoxic drugs consumption, abnormal baseline aminotransferase and or bilirubin.Results. We collected data of 33 cases and 33 controls We found 82% subjects in case group and 76% subjects in control group have hepatitis C coinfection; 18% subjects in case group and 6% subjects in control group have hepatitis B coinfection. Fifty four point five percent (54.5%) subjects in case group and 42.4% subjects in control group consume other hepatotoxic drugs. Elevated baseline ALT level was found in 51.5% subjects in case group and 12% subject in control group. Bivariate analysis showed that the risk of hepatotoxicity was higher in patients with elevated baseline ALT level (OR=7.5; 95% CI 1,7232,80; p < 0,05).Conclusions. Elevated baseline ALT level will increase antituberculosis drug induce hepatotoxicity risk up to 7.5 times. There were no association between hepatitis C, hepatitis B, concomitant hepatotoxic drugs consumption and antituberculosis drug-induced hepatotoxicity in HIV/AIDS patients.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
19

Bratanata, Joyce, Rino Alvani Gani et Teguh Haryono Karjadi. « Proporsi Infeksi Virus Hepatitis B Tersamar pada Pasien yang Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ». Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2, no 3 (31 janvier 2017) : 126. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v2i3.77.

Texte intégral
Résumé :
Pendahuluan. Infeksi hati kronik merupakan penyebab penting morbiditas serta mortalitas di antara penderita HIV positif pada pemakaian highly active antiretroviral therapies (HAART). Penyakit hati kronik dapat terjadi mulai dari infeksi tersamar sampai karsinoma hepatoselular. Kejadian VHB tersamar sering ditemukan pada pasien dengan kondisi imunosupresi seperti HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya proporsi hepatitis B tersamar, hitung CD4+, transmisi IVDU, proporsi hepatitis C dan proporsi anti-HBc yang positif pada koinfeksi hepatitis B tersamar pada pasien HIV/AIDS di RSCM.Metode. Studi potong-lintang dilakukan pada pasien HIV yang berobat di Pokdisus dan ruang rawat inap RSCM dengan pengambilan sampel secara consecutive. Kriteria inklusi adalah pasien HIV dengan hasil HBsAg negatif dan belum pernah mendapat terapi antiretroviral. Subjek dengan hasil HBsAg negatif dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-HBc, anti-HCV dan HBV DNA dengan teknik double step (nested) polymerase chain reaction (PCR) secara kualitatif dengan sensitifitas mencapai 102 kopi genom per mililiter serum. Ekstraksi HBV DNA menggunakan High Pure Viral Nucleic Acid Kit ® (Roche Diagnostics). Primers yang digunakan pada nested PCR berasal dari HBV-DNA S gene. Amplifikasi nested PCR dilakukan sebanyak dua putaran.Hasil. Selama bulan Desember 2008 – Januari 2009 diperoleh 58 subjek HIV. Pada akhir penelitian didapatkan 57 pasien memenuhi kriteria inklusi (68,4% laki-laki, usia 26-35 tahun sebanyak 68,4%, penularan HIV/AIDS melalui penggunaan jarum suntik secara bersama-sama 42,1%, hubungan seks 36,8%, dan keduanya 21,1%) dilakukan evaluasi adanya hepatitis B tersamar. Proporsi anti-HBc positif pada penderita HIV sangat tinggi (91,2%). Proporsi hepatitis B tersamar didapatkan pada 5 dari 57 subjek (8,8%). Proporsi hepatitis B tersamar lebih banyak didapatkan pada subjek dengan hitung CD4+ < 200 sel/μL (80%), risiko penularan IVDU (60%) dan hasil anti-HBc positif (80%). Proporsi koinfeksi hepatitis C dengan hepatitis B tersamar relatif lebih sedikit yaitu 40%.Simpulan. Proporsi hepatitis B tersamar didapatkan 8,8%. Proporsi hepatitis B tersamar lebih banyak didapatkan pada subjek dengan hitung CD4+ < 200 sel/μL (80%), risiko penularan IVDU (60%) dan hasil anti-HBc positif (80%). Proporsi koinfeksi hepatitis C dengan hepatitis B tersamar relatif lebih sedikit yaitu 40%. Keterbatasan penelitian ini adalah sensitivitas dari metoda PCR yang digunakan untuk mendeteksi DNA VHB dan dilakukan hanya satu kali pada setiap subjek. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sensitivitas PCR yang lebih tinggi dan jumlah sampel yang memadai untuk menentukan karakteristik dan hubungan berbagai faktor dengan kejadian infeksi virus hepatitis B tersamar pada pasien HIV.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
20

EJT, Syarifah Miftahul, Zuraida Zuraida et Roza Mita Aaly Ramadhan. « Prevalensi Tuberkulosis Paru Pada Penderita HIV Di RSKO Jakarta Periode Januari 2016−Desember 2017 ». Anakes : Jurnal Ilmiah Analis Kesehatan 5, no 2 (30 septembre 2019) : 152–61. http://dx.doi.org/10.37012/anakes.v5i2.343.

Texte intégral
Résumé :
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada infeksi HIV. Koinfeksi HIV−TB sekarang ini merupakan penyebab mortalitas utama di dunia dikarenakan oleh agen infeksius tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana prevalensi tuberkulosis paru pada penderita HIV di RSKO Jakarta periode Januari 2016−Desember 2017.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien HIV dan tuberkulosis di RSKO Jakarta periode Januari 2016−Desember 2017.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam periode tersebut jumlah penderita HIV sebanyak 108 orang dan terdapat 21 orang penderita HIV dengan koinfeksi tuberkulosis paru. Didapatkan prevalensi tuberkulosis paru pada penderita HIV di RSKO Jakarta periode Januari 2016−Desember 2017 sebesar 19,4%. Dari pola distribusi data didapat bahwa 47,6% penderita HIV−TB paru berusia produktif antara 36−45 tahun dan lebih banyak di derita oleh laki−laki sebesar 76,2%. Dari hasil penelitian ini didapatkan responden lebih patuh pada pengobatan sebesar 76,2%.Prevalensi tuberkulosis paru pada penderita HIV di RSKO Jakarta periode Januari 2016−Desember 2017 adalah sebesar 19,4%. Kelompok usia yang mempunyai prevalensi tinggi menderita HIV−TB paru di RSKO Jakarta periode Januari 2016−Desember 2017 adalah usia 36−45 tahun yaitu sebesar 47,6%. Jenis kelamin yang mempunyai prevalensi tinggi menderita HIV−TB paru di RSKO Jakarta periode Januari 2016−Desember 2017 adalah laki−laki yaitu sebesar 76,2%. Pasien HIV−TB paru di RSKO Jakarta periode Januari 2016−Desember 2017 76,2% patuh untuk berobat. Kata Kunci : HIV, tuberkulosis
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
21

Jasirwan, Chyntia Olivia Maurine. « Infeksi Komorbid Virus Hepatitis B Tersamar dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) ». Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2, no 3 (31 janvier 2017) : 125. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v2i3.76.

Texte intégral
Résumé :
Infeksi virus hepatitis B (VHB) dapat bermanifestasi dalam berbagai kondisi mulai dari asimtomatik (karier), hepatitis kronik, sirosis hati, sampai karsinoma hepatoseluler. Sampai saat ini VHB telah menyebabkan infeksi kronik pada 240 juta orang dan 75 % di antaranya berada di Asia.1 Insiden infeksi VHB dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia saat ini sangat meningkat.2-4 Infeksi virus hepatitis B (VHB) kronik 3-6 kali lebih sering pada pasien dengan HIV positif dibandingkan dengan HIV negatif. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa kecenderungan seorang pasien HIV untuk terinfeksi VHB tersamar dikaitkan dengan jumlah hitung CD4+ yang rendah, transmisi infeksi parenteral pada pengguna narkoba suntik, dan koinfeksi dengan hepatitis C.5
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
22

Cielniak, Iwona, et Ewa Siwak. « Single-agent therapies based on emtricitabine / tenofovir alafenamide and sofosbuvir in the treatment of patients with HIV/HCV co-infection - review of current knowledge ». Zakażenia XXI wieku 2018, no 6 (28 décembre 2018) : 277–83. http://dx.doi.org/10.31350/zakazenia/2018/6/z2018050.

Texte intégral
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
23

Cielniak, Iwona, et Ewa Siwak. « Wysoka skuteczność i bezpieczeństwo terapii ombitaswir/parytaprewir/rytonawir±dazabuwir±rybawiryna u chorych z koinfekcją HIV/HCV – od badań klinicznych do real-life ». Forum Zakażeń 8, no 4 (novembre 2017) : 299–304. http://dx.doi.org/10.15374/fz2017050.

Texte intégral
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
24

Kurniawati, Rery. « ANALISIS PELAKSANAAN LAYANAN HIV/AIDS DI KLINIK VCT RSUD ADJIDARMO KABUPATEN LEBAK TAHUN 2014 ». Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan) 1, no 2 (30 novembre 2014) : 125–38. http://dx.doi.org/10.36743/medikes.v1i2.134.

Texte intégral
Résumé :
Pintu masuk layanan HIV/AIDS adalah melalui deteksi dini terhadap faktor risiko HIV/AIDS. Satu-satunya cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah dengan melakukan tes HIV.Dengan demikianakan meningkatkan cakupan penemuan kasus-kasus HIV/AIDS sehingga dapat segera dilakukan upaya-upaya pencegahan penyebaran virus, pengobatan dan dukungan. RSUD Adjidarmo adalah rumahsakit rujukan di wilayah Kabupaten Lebak.Rumahsakit ini telah melakukan upaya-upaya pendeteksian kasus HIV melalui klinik VCT yang diresmikan pada bulan Oktober 2010. Tujuan: melakukan analisis terhadap pelaksanaan layanan HIV/AIDS di klinik VCT RSUD Adjidarmo Kabupaten Lebak tahun 2014. Desain: analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Subjek penelitian adalah pelaksana program HIV/AIDS RSUD Adjidarmo. Metodologi: desain penelitian adalah kualitatif dengan metode wawancara mendalam (indept interview). Subyek penelitian adalah petugas (penanggungjawab kegiatan dan konselor) di klinik VCT RSUD Adjidarmo.Topik kajian dalam penelitian ini adalah pelaksanaan layanan di klinik VCT meliputi gambaran kasus, hambatan, dan peluang dalam pelaksanaan layanan kasus HIV/AIDS di RSUD Adjidarmo. Hasil: layanan VCT bersifat pasif hanya menunggu rujukan dari klien yang dirawat di RSUD Adjidarmo yang mempunyai faktor risiko dan gejala AIDS. Layanan yang pasif ini terus berlangsung sampai dengan tahun 2014.Hal tersebut dikarenakan sarana, prasarana, dan petugas di klinik yang belum tersedia secara memadai.Klien yang terdeteksi HIV+ pada umumnya sudah memasuki tahap AIDS dan mendapatkan infeksi oportunistik.Pada awal diresmikan klinik VCT yaitu sejak Oktober 2010, pendanaan kegiatan-kegiatan HIV/AIDS didanai oleh Global Fund.Akan tetapi seiring berjalannya waktu, sejak awal tahun 2013bantuan tersebut tidak ada lagi. Sebagian besar klien adalah rujukan karena infeksi Tuberkulosis.Berdasarkan pernyataan dari dokter RS jumlah klien dengan koinfeksi TB-HIV sebesar 60% dari total HIV+ yang terdeteksi.Besarnya kasus koinfeksi TB-HIV ini meningkatan risiko kematian yang lebih besar pada klien. Hambatan: belum tersedianya sarana, prasarana, dan petugas yang memadai; Klinik VCT terbatas hanya melayani konseling dan tes HIV, sedangkan layanan CST untuk beberapa obat khusus contoh kasus pada pasien yang mengalami alergi obat masih belum tersedia; dana yg semula bergantung pada bantuan luar (Global Fund) sekarang tidak ada lagi; program HIV/AIDS belum menjadi prioritas di pemerintah daerah setempat. Peluang peningkatan layanan: mengintegrasikan layanan TB-HIV sebagai masalah terbesar pada penemuan kasus HIV/AIDS di RSUD Adjidarmo, petugas dilatih deteksi faktor risiko HIV pada klien TB dan melakukan PICT. Harapannya kajian ini menjadi dasar untuk advokasi pada pihak-pihak yang mempunyai peran penting di pemerintahan, pihak swasta, maupun organisasi masyarakat agar memberikan dukungan dalam peningkatan layanan HIV/AIDS.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
25

Bisara, Dina, Oster Suriani Simarmata, Novianti Novianti et Felly Philipus Senewe. « SITUASI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS-TUBERKULOSIS DI KABUPATEN MERAUKE 2018 : ANCAMAN PADA UMUR PRODUKTIF ». Jurnal Kesehatan Reproduksi 10, no 1 (31 décembre 2019) : 1–9. http://dx.doi.org/10.22435/kespro.v10i1.1711.

Texte intégral
Résumé :
Abstract Background: Pulmonary tuberculosis is the most serious opportunistic infection in HIV/AIDS subjects and is a major cause of mortality and morbidity in developing countries. Objective: To describe the results of HIV / TB examination in Merauke District Hospital Method: Study design is cross-sectional using data from “Studi evaluasi deteksi kasus TBC dengan alat tes cepat molekuler di Indonesia tahun 2018”. Descriptive data analysis is applied based on secondary data of PLWHA patients who visited Merauke District Hospital to examine Mycobacterium tuberculosis (MTB). Results: The proportion of PLWHA was almost three times higher (8.5%) compared to other 43 health facilities (3,0%). The highest proportion of PLWHA is productive age of 15-54 years (94.9%) and male (54.5%). The proportion of children (aged <15 years) with HIV is six times higher (3%) compared to other 43 health facilities (0,5%). The results of MTB with molecular rapid tests in 43 health facilities is higher in PLWHA compared to non-PLWHA (34.4%:32.0%), and the opposite is true for Merauke District Hospital (22.2%:29.4%). Conclussion: HIV epidemic in Merauke has been on the general population particularly in productive and children category. This high level of HIV has an impact on increasing transmission to children and HIV-TB co-infection. Keywords: HIV, HIV-TB co-infection, reproductive age, children, RSUD Merauke Abstrak Latar belakang: Tuberkulosis paru adalah salah satu infeksi oportunistik yang paling serius pada HIV/AIDS dan merupakan penyebab utama kematian dan morbiditas di negara-negara berkembang. Tujuan: Diperoleh gambaran hasil pemeriksaan HIV-TB di RSUD Merauke. Metode: Disain studi adalah potong lintang menggunakan data “Studi evaluasi deteksi kasus TB dengan alat tes cepat molekuler (TCM) di Indonesia tahun 2018”. Analisis deskriptif data sekunder pasien HIV yang berkunjung ke RSUD Merauke yang diperiksa MTB. Hasil: Proporsi ODHA di RSUD Merauke hampir tiga kali lebih tinggi (8,5%) dibandingkan dengan 43 fasilitas kesehatan lainnya (3,0%). Persentase tertinggi adalah pada umur produktif 15-54 tahun (94,9%) dan laki-laki (54,5%). Proporsi anak (<15 tahun) dengan HIV enam kali lebih tinggi (3,0%) dibandingkan dengan 43 fasilitas kesehatan lainnya (0,5%). Hasil pemeriksaan konfirmasi bakteriologi MTB dengan TCM pada 43 fasilitas kesehatan tinggi pada ODHA dibanding non ODHA (34,4%:32,0%), dan situasi sebaliknya pada RSUD Merauke (22,2%:29,4%). Kesimpulan: Epidemi HIV di Merauke sudah mencapai tingkat populasi umum, terutama pada kelompok produktif dan anak. Tingginya angka HIV akan berdampak pada tingginya penularan pada anak dan koinfeksi HIV-TB. Kata kunci: HIV, HIV koinfeksi TB, umur produktif, anak, RSUD Merauke
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
26

Purwaningsih, Uni, Agustin Indrawati et Angela Mariana Lusiastuti. « PATOGENESIS KO-INFEKSI PENYAKIT FISH TUBERCULOSIS DAN MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA PADA IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) ». Jurnal Riset Akuakultur 10, no 1 (31 mars 2015) : 99. http://dx.doi.org/10.15578/jra.10.1.2015.99-107.

Texte intégral
Résumé :
Penyakit fish tuberculosis dan Motile Aeromonas Septicemia (MAS) merupakan penyakit potensial pada budidaya ikan gurame. Infeksi kedua penyakit tersebut dimungkinkan terjadi dalam waktu yang bersamaan walaupun etiologi kedua jenis penyakit tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perjalanan kedua penyakit tersebut dalam waktu yang bersamaan ketika menginfeksi gurame uji dengan melihat perubahan parameter hematologi, pola kematian, dan histopatologi. Gurame uji yangdigunakan berukuran 25-30 g dengan dosis infeksi berdasarkan dosis LD50 bakteri A. hydrophila 108 cfu dan LD50 M. fortuitum 107 cfu. Gejala klinis akibat infeksi M. fortuitum mulai terlihat pada hari ke-14 ditandai dengan penurunan nafsu makan dan hari ke-18 mulai terlihat nodul dalam ukuran 0,1-0,2 mm pada permukaan tubuh. Sedangkan infeksi A. hydrophila menunjukkan gejala klinis luka pada bekas injeksi dan terlihat pembengkakan pada rongga perut mulai 24-48 jam pascainfeksi. Respons fisiologis tubuh ikan gurame terhadap adanya ko-infeksi ditunjukkan dengan nilai hemoglobin, hematokrit, persentase komponen sel darah putih yang berbeda (P<0,05) dengan kontrol. Perubahan histopatologi pada perlakuan koinfeksi menunjukkan adanya kongesti, peradangan, nekrosis, melano macrofag center, dan gramuloma yangbersifat multifocal pada organ hati, ginjal, dan limpa.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
27

Asshiddiq, M. Rafli Febri. « Pengaruh Pemberian Asiklovir dalam Menurunkan Progresifitas dan Transmisi HIV ». Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada 12, no 2 (31 décembre 2020) : 591–96. http://dx.doi.org/10.35816/jiskh.v12i2.357.

Texte intégral
Résumé :
Latar belakang : Epidemi HIV/AIDS memberikan tantangan berat bagi pembangunan dan kemajuan sosial. HIV merupakan virus yang ditularkan terutama melalui hubungan seksual, jalur intravena yang digunakan secara bersamaan, dan transmisi ibu ke anak yang dapat terjadi saat proses kelahiran ataupun menyusui. HIV terutama disebabkan karena infeksi HIV-1 atau HIV-2, retrovirus yang tergolong dalam famili retroviridae, genus Lentivirus. Pengobatan dengan terapi anti-retroviral memberikan hasil efektif dan telah membantu menjaga kesehatan bagi mereka dengan infeksi HIV namun angka mortalitas terkait HIV tetap tinggi. Upaya pencegahan dilakukan untuk menurunkan angka mortalitas maupun morbiditas terkait HIV. Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah pemberian asiklovir namun hal ini masih kontroversial. Asiklovir adalah agen yang digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV). Tujuan : Mengetahui peran dari asiklovir dalam menurunkan transmisi penularan HIV. Metode : Menggunakan studi letarute dari junal baik nasional maupun internasional dengan meringkas topik pembahasan dan membandingkan hasil yang disajikan dalam artikel. Hasil : Koinfeksi HIV dengan HSV dapat meningkatkan laju transmisi dan progresifitas penyakit. Pengobatan utama untuk herpes simpleks adalah dengan asiklovir. Asiklovir dengan dosis 2x400 mg dan valasiklovir dengan dosis 2 x 500 mg berperan dalam mengurangi progresifitas penyakit. Asiklovir mempunyai efek anti-HIV secara langsung. Namun asiklovir tidak menurunkan laju transmisi dari HIV itu sendiri. Kesimpulan : Asiklovir berperan dalam menurunkan angka kematian dan progresifitas HIV menjadi AIDS dengan adanya efek anti-HIV secara langsung.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
28

Herlina, Herlina, Sucahyo Adi Nugroho, Sri Istiani et Farah Gina Arifah. « Gambaran Kejadian TB Aktif Pada ODHA Dengan Pemberian ARV Di RSPI Prof. Dr.Sulianti Saroso Tahun 2006-2016 ». Indonesian Journal of Infectious Diseases 5, no 1 (30 décembre 2019) : 29. http://dx.doi.org/10.32667/ijid.v5i1.61.

Texte intégral
Résumé :
Latar Belakang: TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Infeksi HIV mengakibatkan penurunan imunitas tubuh yang progresif, sehingga infeksi TB laten akan cenderung berkembang menjadi TB aktif serta penyebaran kuman TB yang meluas tidak mampu dicegah oleh sistem imunitas tubuh. Keberadaan koinfeksi TB menambah beban bagi ODHA. Tujuan studi ini memperoleh gambaran kejadian TB aktif pada ODHA dengan pemberian ARV di RSPI-SS tahun 2006 -2016. Metode: Desain cross sectional dengan teknik Non Probability Sampling. Penelitian dilakukan di RSPI-SS. Sumber data menggunakan status rekam medik dan buku monitoring Pokja HIV-AIDS. Sampel adalah pasien HIV yang mendapatkan ARV dan terdiagnosis TB serta memiliki hasil laboratorium BTA yaitu sebanyak 40 pasien. Hasil: Dari 40 ODHA yang telah mendapatkan ARV dan terdiagnosis TB sebagian besar yaitu 22 (55%) dengan BTA Positif. Pasien dengan hasil BTA positif didominasi kelompok umur 18-35 Tahun yaitu 15 (83.3%), berjenis kelamin laki-laki yaitu 13 (72,2%), pendidikan SLTA yaitu 13 (72,2%), bekerja yaitu 10 (55,6%), berdomisili di DKI Jakarta yaitu 14 (77,8%), dan faktor risiko IDU/NAPZA suntik yaitu 9 (52,9%). Hasil pemeriksaan CD4 awal < 350 sel/mm3 sebagian besar negatif BTA yaitu sebanyak 22 (55%). ODHA yang tidak patuh pengobatan dan positif BTA sebanyak 6 (33.3%). Kesimpulan: ODHA cenderung terinfeksi TB. Hasil pemeriksaan BTA pada ODHA sebagian besaar dengan hasil positif.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
29

Permana, Septian Adi, Adhrie Sugiarto, Muhammad Husni Thamrin, Purwoko Purwoko, Arifin Arifin et Eko Setijanto. « Ko-infeksi Jamur pada COVID-19 dengan Terapi Steroid ». JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 12, no 3 (1 novembre 2020) : 49–56. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v12i3.34150.

Texte intégral
Résumé :
Latar belakang: Ko-infeksi jamur pada pasien Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) acapkali terjadi. Hal itu dikarenakan kegagalan sistem imun karena infeksi COVID-19 maupun karena pengobatan anti inflamasi yang diberikan.Kasus: Seorang laki-laki 39 tahun dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS) berat akibat infeksi COVID-19 dan disertai dengan ko-infeksi jamur. Pasien ini mendapatkan pengobatan steroid dari awal masuk dan pada hari ke-6 hasil kultur sputumnya menunjukkan adanya ko-infeksi jamur. Pasien ini memiliki komorbid berupa riwayat diabetes mellitus. Dari pemeriksaan fisik ditemukan dispnea, takipnea, takikardia sejak hari pertama. Dari hasil laboratorium menunjukkan angka leukosit, high sensitivity c-reactive protein (HsCRP), serum glutamic oxaloacetic (SGOT), gula darah, d-dimmer, lactat dehydrogenase (LDH) dan limfosit netrophyl ratio (LNR) yang tinggi. Pada pasien ini didapatkan rasio PaO2 / FiO2 rendah dan procalcitonin (PCT) yang normal. Dari kultur sputum ditemukan adanya infeksi jamur dan dari hasil rontgen toraks (CXR) menunjukkan pneumonia bilateral. Pasien ini dirawat dengan terapi standar dan mendapatkan dexametason 5 mg / 8 jam, setelah kultur sputum menunjukkan infeksi jamur, pasien juga mendapat mycafungin untuk pengobatan jamurnya.Diskusi: Kecurigaan terhadap ko-infeksi jamur pada pasien COVID-19 yang mendapatkan terapi steroid dalam jangka waktu lama maupun adanya penyerta diabetes harus dipikirkan. Penggunaan terapi anti jamur empiris pun acapkali diperlukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.Kesimpulan: Infeksi COVID-19 memiliki risiko terjadinya ko-infeksi, salah satunya adalah infeksi jamur. Insiden koinfeksi jamur diperberat dengan pemberian pengobatan steroid dan riwayat diabetes mellitus.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
30

Ratunanda, Susanti, Eddy Harjadi S et Eka Ulfah R. « KORELASI ANTARA JUMLAH TROMBOSIT, JENIS Plasmodium sp, DAN DERAJAT MALARIA PADA PASIEN MALARIA ». Medika Kartika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 4 No 3 (30 juin 2021) : 267–79. http://dx.doi.org/10.35990/mk.v4n3.p267-279.

Texte intégral
Résumé :
Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengancam jiwa di Indonesia terutama pada kelompok risiko tinggi yang disebabkan oleh Plasmodium sp. Malaria digolongkan menjadi malaria tanpa komplikasi dan derajat berat. Trombositopenia terkait dengan risiko hemoragik pada penderita malaria. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui korelasi antara jumlah trombosit dan jenis Plasmodium sp. dengan derajat malaria dan jumlah trombosit dengan jenis Plasmodium sp. pada pasien malaria yang dirawat inap di Rumah Sakit Dustira Cimahi (RS Dustira). Penelitian cross-sectional ini menggunakan analisis uji Chi Square dan Pearson pada pasien malaria dengan atau tanpa komplikasi yang mempunyai hasil pemeriksaan hitung trombosit dan jenis Plasmodium sp., tanpa koinfeksi pada periode penyakit yang sama. Data diambil dari bagian rekam medik dan laboratorium RS Dustira periode 2014-2017. Dari 59 subyek yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan penderita malaria terbanyak pada kelompok umur 26–45 tahun (62,7%) dan berjenis kelamin laki-laki (96,6%). Sebanyak 46 penderita malaria (78%) mengalami trombositopenia dengan jumlah trombosit rerata 110.000 mm/m3. Mayoritas Plasmodium sp. penyebab infeksi malaria adalah P. vivax (72,9%). Tidak terdapat hubungan bermakna antara jumlah trombosit dengan derajat penyakit malaria (p = 0,537, R = 0,082), hubungan bermakna antara jenis Plasmodium sp. dengan derajat penyakit malaria (p = 0,03, R = 0,375) dan tidak ada hubungan bermakna antara jumlah trombosit dengan jenis Plasmodium sp. (p = 0,133, R = 0,198). Hasil tidak bermakna dalam penelitian ini dapat disebabkan karena tidak diketahui data baseline jumlah trombosit dan riwayat pengobatan pasien malaria sebelumnya.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
31

Musdalifah, NFN, Ratna Djuwita, Adria Rusli et Mondastri Korib. « Gambaran Kegagalan Perbaikan CD4 Pasien Koinfeksi TB-HIV Berdasarkan Jarak Waktu Pemberian Antiretroviral Pasca Obat Anti Tuberkulosis di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso ». Indonesian Journal of Infectious Diseases 3, no 2 (6 novembre 2017) : 1. http://dx.doi.org/10.32667/ijid.v3i2.31.

Texte intégral
Résumé :
AbstrakLatarbelakang : Memulai terapi Antiretroviral (ARV) lebih awal berisiko menimbulkan interaksi Obat Anti TB (OAT) dengan ARV, efek samping obat, keracunan akibat obat, tantangan kepatuhan minum obat dan terjadinya Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS).Metode : Penelitian ini menggunakan design penelitian kohort restrospektif dengan follow-up selama satu setengah tahun. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso Tahun 2016. Populasi studi adalah pasien Ko-infeksi TB-HIV yang naive ART dan tercatat pada rekam medis periode Januari 2010 - November 2014. Data pasien diperoleh dari rekam medis pasien dengan kriteria inklusi sampel adalah pasien usia ≥15 tahun, mendapat OAT minimal 2 minggu sebelum ART dimulai, dan memiliki data hasil pemeriksaan CD4 sebanyak dua kali dengan total sampel sebanyak 164 orang.Hasil : Probabilias kumulatif kegagalan perbaikan CD4 pasien ko-infeksi TB-HIV sebesar 14,43%. Hazard rate kegagalan perbaikan CD4 pada pasien yang memulai terapi ARV 2-8 minggu setelah OAT dibandingkan dengan yang menunda terapi ARV 8 minggu setelah OAT masing-masing 767 per 10.000 orang tahun dan 447 per 10.000 orang tahun (p=0,266).Kesimpulan : Hazard rate kegagalan perbaikan CD4 pada pasien yang memulai terapi ARV 2-8 minggu setelah OAT lebih tinggi dibandingkan dengan hazard rate pada pasien yang menunda terapi ARV 8 minggu setelah OAT. AbstractBackground : Starting Antiretroviral Treatment (ART) earlier was assosiated to pharmacologic interactions, side effect, high pill burden, treatment interruption, and Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS).Methods : This study used cohort restrospective design with one and half year time to follow up. This study was conducted from May to June 2016 at Infectious Disease Hospital Sulianti Saroso. Study population were TB-HIV coinfected patients, noted as a naive ART patient in medical records from january2010-november 2014. A total 164 patients ≥ 15 years old, had ATT 2 weeks before ART and had minimum 2 CD4 sell count laboratorium test results.Result : The cumulative probability of CD4 response failure among TB-HIV co-infected patients was 14,43%. Hazard rate of CD4 response failure was 767 per 10.000 person year in early ART (2-8 weeks after OAT) versus 474 per 10.000 person year in delayed ART (8 weeks after OAT) (p=0,266).Conclusion : Hazard CD4 repair failure rate in patients who started ARV therapy 2-8 weeks after OAT higher than the hazard rate in patients who deferred antiretroviral therapy 8 weeks after OAT.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
32

Fathurrohim, Fathurrohim, Silvia Tri Widyaningtyas et Budiman Bela. « Pengklonaan Plasmid Rekombinan gp125-gp36 Human Immunodeficiency Virus tipe 2 (HIV-2) untuk Pengembangan Sistem Diagnostik HIV-2 ». Jurnal Biotek Medisiana Indonesia 8, no 1 (18 décembre 2019) : 59–66. http://dx.doi.org/10.22435/jbmi.v8i1.2584.

Texte intégral
Résumé :
AbstractFrom 36.9 million people infected by the Human Immunodeficiency Virus (HIV) at the end of 2018 in the whole world, 1-2 million are infected by HIV-2. Accurately diagnostic is required to ensure whether an individual has been infected HIV-1, HIV-2, or HIV-1 and HIV-2 co-infection. HIV-2 diagnostic error using rapid diagnostic tests (RDT) frequently occurs. Misdiagnostic of HIV-2 infection may cause treatment failure which leads to the development of Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). In this study, expression plasmid pQE80L-gp125-gp36 HIV-2 that can produce recombinant antigen gp125-gp36 HIV-2 was successfully constructed and verified properly. The antigen is based on multiepitope, immunodominant and sustainable properties obtained by bioinformatics study. Plasmid pQE80L-gp125-gp36 HIV-2 may be used to produce recombinant antigens that benefit to detect anti-HIV-2 antibodies in an individual. AbstrakDari 36,9 juta individu yang terinfeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada akhir tahun 2018 di seluruh dunia, terdapat sekitar 1 – 2 juta individu yang terinfeksi dengan HIV-2. Diagnostik yang akurat diperlukan untuk menentukan apakah suatu individu telah terinfeksi HIV-1, HIV-2 atau koinfeksi HIV-1 dan HIV-2. Kesalahan diagnostik HIV-2 menggunakan rapid diagnostic tests (RDT) sering sekali terjadi. Misdiagnosis infeksi HIV-2 dapat menyebabkan kegagalan pengobatan yang berujung pada perkembangan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Pada penelitian ini plasmid pQE80L-gp125-gp36 HIV-2 pengekspresi antigen rekombinan gp125-gp36 HIV-2 telah berhasil dikonstruksi dan terverifikasi dengan baik. Antigen tersebut berbasis multiepitop, immunodominan dan bersifat lestari yang didapatkan dari studi bioinformatik. Plasmid pQE80L-gp125-gp36 HIV-2 dapat digunakan untuk memproduksi antigen rekombinan yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi antibodi anti HIV-2 pada suatu individu.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
33

Maemun, Siti, Syahrizal Syarif, Adria Rusli et Renti Mahkota. « Gambaran Ketahanan Hidup (Kesintasan) Satu Tahun Pasien Koinfeksi TB-HIV Berdasarkan Waktu Awal Pengobatan Antiretroval (ARV) pada Fase Lanjut di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso Periode Januari 2011-Mei 2014 ». Indonesian Journal of Infectious Diseases 3, no 2 (6 novembre 2017) : 11. http://dx.doi.org/10.32667/ijid.v3i2.32.

Texte intégral
Résumé :
AbstrakLatar Belakang : Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan jenis retrovirus yang menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan Acquired Immunodefiency Syndrome (AIDS),. Kehadiran kuman TB menyebabkan progresivitas kasus ko-infeksi TB-HIV bertambah buruk sehingga mengancam jiwa penderitanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesintasan satu tahun pasien ko-infeksi TB-HIV berdasarkan waktu awal pengobatan ARV.Metode : Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2013-2015. Sumber data yang digunakan berasal dari penelusuran pada register pra ARV dan ARV, Form TB 01, buku monitoring ARV, monitoring farmasi ARV, pelacakan ikhtisar ARV dan status rekam medis. Pengumpulan data melibatkan petugas Pokja HIV/AIDS dan dokter (validasi diagnosa dan kovariat) yang di blind atas hipotesis penelitian.Hasil : Probabilitas ketahanan hidup kumulatif satu tahun pasien ko-infeksi TB-HIV yang mendapatkan awal pengobatan ARV di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso periode Januari 2011-Mei 2014 adalah 81,5%. Probabilitas ketahanan hidup pasien TB-HIV berdasarkan waktu awal menunjukan bahwa ketahanan hidup satu tahun pada pasien yang mendapatkan pengobatan ARV pada fase intensif adalah 89,1% dan pada pasien yang mendapatkan pengobatan ARV pada fase lanjut adalah 74,5%.Kesimpulan : Pasien ko-infeksi TB-HIV yang mendapatkan ARV pada fase intensif cenderung memiliki probalitas ketahanan hidup yang lebih besar di tahun pertama dibandingkan pasien ko-infeksi TB-HIV yang mendapatkan ARV pada fase lanjut. Abstract Background : Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a type of retrovirus that infects the human immune system that causes Acquired Immunodefiency Syndrome (AIDS). The presence of TB germs cause progression of cases of co-infection of TB-HIV getting worse so threatening sufferers. This study aims to reveal the one-year survival rate of patients co-infected TB-HIV based on time start of antiretroviral treatment.Methods : This study used a retrospective cohort design in RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso years 2013-2015. The data used comes from searches on the register of pre ARV and ARV form, TB Form, the book ARV monitoring, monitoring of pharmaceutical drugs, ARV overview and status tracking of medical records. The data collection involves the officer HIV / AIDS and the doctor (validation diagnosis and covariates) were in blind on the research hypothesis. Results : The cumulative probability of survival for one year patients co-infected TB-HIV get antiretroviral treatment early in RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso period January 2011-May 2014 was 81.5%. The probability of survival for patients of TB-HIV based on the initial time showed that one-year survival in patients receiving antiretroviral treatment in the intensive phase was 89.1% and in patients receiving antiretroviral treatment in advanced phases was 74.5%.Conclusion : Co-infected TB-HIV patients get antiretroviral drugs in the intensive phase tend to have a probability of survival is greater in the first year compared to co-infection TB-HIV patients get antiretroviral drugs in the advanced phase
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
34

Novita, Hessy, Desy Sugiani, Taukhid Taukhid et Tuti Sumiati. « DUPLEX POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK DETEKSI SIMULTAN KOI HERPESVIRUS DAN Aeromonas hydrophila PADA IKAN MAS (Cyprinus carpio) ». Jurnal Riset Akuakultur 15, no 1 (20 février 2020) : 59. http://dx.doi.org/10.15578/jra.15.1.2020.59-67.

Texte intégral
Résumé :
Koi herpesvirus (KHV) dan Aeromonas hydrophila adalah patogen yang dapat mengkoinfeksi ikan mas secara bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode duplex polymerase chain reaction (dPCR), deteksi simultan untuk diagnosis KHV dan bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan mas. Dua pasang primer yang menargetkan sekuen spesifik SphI dan gen aerolisin, yang sering digunakan untuk mendeteksi KHV dan A. hydrophila dalam uji reaksi tunggal PCR dan menghasilkan target pita PCR 290 bp dan 417 bp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode duplex PCR dapat mendeteksi ganda infeksi KHV dan A. hydrophila pada ikan mas dan metode ini lebih efektif mendeteksi dua patogen secara bersamaan dalam satu reaksi PCR pada suhu pradenaturasi, 94°C selama dua menit, denaturasi pada suhu 95°C selama satu menit, annealing pada suhu, 55°C selama satu menit, dan 72°C selama satu menit, dengan 30 siklus amplifikasi dan final extention pada suhu 72°C selama lima menit. Metode dPCR untuk deteksi simultan kedua patogen adalah salah satu metode yang dapat diaplikasikan untuk deteksi koinfeksi virus dan bakteri dalam satu reaksi PCR.Koi herpesvirus (KHV) and Aeromonas hydrophila are pathogens that can co-infect common carp. This study aimed to develop a duplex polymerase chain reaction (dPCR) method to detect KHV and Aeromonas hydrophila in common carp simultaneously. Two pairs of primers targeted the specific sequences of SphI and aerolysin genes, often used in detecting KHV and A. hydrophila, in a single PCR reaction test and produced target bands of PCR 290 bp and 417 bp. This proposed method was more effective in simultaneously detecting the two pathogens in one PCR reaction at pre-naturation temperature of 94°C for two minutes, denaturation at 95°C for one minute, annealing at temperature, 55°C for one minute, and 72°C for one minute, with 30 cycles of amplification and final extension at 72°C for five minutes. The findings showed that the duplex PCR method could be used to double detect KHV and A. hydrophila infection in common carp. The duplex PCR method for simultaneous detection of both pathogens is one method that can be applied for the detection of co-infection of viruses and bacteria in a PCR reaction.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
35

Febrianto, Firsta Wahono, Deby Kusumaningrum et Arifa Mustika. « HUBUNGAN PENURUNAN KADAR CD4 DENGAN POLA KEPEKAAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS TERHADAP RIFAMPISIN PADA PASIEN KO-INFEKSI TB-HIV DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA ». Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 19, no 1 (1 avril 2019) : 5–9. http://dx.doi.org/10.24815/jks.v19i1.18044.

Texte intégral
Résumé :
Abstrak. Latar belakang Mycobacterium tuberculosis banyak menimbulkan masalah kesehatan yang kompleks. Salah satu penyakit yang ditimbulkan adalah Tuberkulosis (TB). Obat untuk mengatasi Tuberkulosis disebut Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Namun, sudah banyak Mycobacterium tuberculosis yang mengalami resistensi ganda terhadap obat lini pertama tersebut yang disebut MDR-TB (Multi-drug Resistant TB). Peningkatan kasus MDR-TB kemungkinan disebabkan oleh salah satu faktor risiko TB yaitu infeksi HIV (ko-infeksi TB-HIV). Sayangnya, ada tidaknya hubungan dari infeksi HIV, yang menurunkan kadar CD4, dengan pola kepekaan dari Mycobacterium tuberculosis terhadap Rifampisin di Indonesia belum diketahui secara pasti.Tujuan: Mengetahui hubungan penurunan kadar CD4 dengan pola kepekaan Mycobacterium tuberculosis terhadap Rifampisin pada pasien ko-infeksi TB-HIV di RSUD Dr. Soetomo SurabayaMetode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional menggunakan studi analitik dengan rancangan cross-sectional. Diperoleh 32 sampel dari rekam medis pasien ko-infeksi TB-HIV di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 1 Januari - 31 Desember 2016. Data dianalisis dengan uji Chi Square menggunakan aplikasi SPSS.Hasil Penelitian dan Pembahasan: Hasil uji Chi Square antara penurunan kadar CD4 dan pola kepekaan Mycobacterium tuberculosis terhadap RIfampisin menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan (p=0,544).Kesimpulan: Diperoleh hubungan yang tidak signifikan antara penurunan kadar CD4 (200 sel/mm3) dengan resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap Rifampisin pada pasien koinfeksi TB-HIV di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Januari-Desember 2016.Kata Kunci: ko-infeksi TB-HIV, Mycobacterium tuberculosis, resisten Rifampisin, CD4. Abstract. Background: Rifampicin-resistance Tuberculosis (TB) case rate is increasing every year, particularly in Indonesia. It is probably caused by the infection of Human Immunodeficiency Virus (HIV) on Tuberculosis patient, called TB-HIV co-infection. However, the association between HIV infection, which can cause decreasing of CD4, and Rifampicin-resistance Mycobacterium tuberculosis in TB-HIV co-infection patients is still not clearly yet. Objective: This study was undertaken to analyze the association between CD4 decreasing and Rifampicin resistance in TB-HIV co-infection patients of Dr. Soetomo General Hospital Surabaya.Methods: A retrospective research with cross-sectional method of TB-HIV co-infection patients’ medical record at Medical Record Center of Dr. Soetomo General Hospital Surabaya from 1 January to 31 December 2016 with 32 samples.Result: Chi Square test shows that there is no association (p=0,544) between CD4 decreasing and Rifampicin-resistance Mycobacterium tuberculosis in TB-HIV co-infection patients of Dr. Soetomo General Hospital Surabaya.Conclusion: There is no association between CD4 decreasing and Rifampicin-resistance Mycobacterium tuberculosis in TB-HIV co-infection patients.Keywords: TB-HIV co-infection, Mycobacterium tuberculosis, Rifampicin resistance, CD4.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
36

Setiawaty, Vivi, Maretra Anindya Puspaningrum, Arie Ardiansyah Nugraha et Daniel Joko Wahyono. « Deteksi Virus Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Rumah Sakit (Studi Pendahuluan dengan Uji Fast-Track® Diagnostik) ». Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 28, no 4 (31 décembre 2018) : 257–62. http://dx.doi.org/10.22435/mpk.v28i4.257.

Texte intégral
Résumé :
Abstract Acute respiratory infections (ARI) is the leading cause of morbidity and mortality in the world and Indonesia. Information on the virus that causes ARI is still limited. The aim of this study was to detect the virus that causes ARI hospitalized cases in three sentinel surveillance hospitals of severe ARI. Laboratory testing of 30 nasal and throat swab specimens from ARI hospitalized cases at Deli Serdang Hospital, Wonosari Hospital and Kanudjoso Djati Hospital during August - September 2016. Laboratory testing were carried out at the Virology Laboratory of the Center for Biomedical Research and Development and Basic Health Technology. This research is a preliminary study using Fast-Track Diagnostics multiplex Real-time RT-PCR to detect 21 viruses. The viruses that have been detected are Human Metapneumovirus (21.2%), Human Parainfluenza Virus 1 (12.1%), Influenza B (6.1%), Human Coronavirus-OC43 (6.1%), Human CoronavirusNL63 (6.1%), Human Parainfluenza Virus 2 (3.0%), Human Rhinovirus (3.0%), and Human Adenovirus (3.0%). Of the 17 samples that tested positive for viruses, 14 of them were single cases of infection while the other three were cases of co-infection between Human Coronavirus-NL63 and Human Parainfluenza Virus 1, Human Metapneumovirus with Human Coronavirus-OC43, and Human Adenovirus with Human Rhinovirus. The most detected virus from ARI hospitalized cases are the Human Metapneumovirus. Abstrak Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit menular yang menjadi penyebab utama 1 morbiditas dan mortalitas di dunia dan Indonesia. Informasi virus penyebab ISPA masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi virus penyebab kasus ISPA rawat inap di tiga rumah sakit sentinel surveilans ISPA berat. Pemeriksaan pada 30 spesimen swab hidung dan tenggorok dari kasus ISPA rawat inap di RSUD Deli Serdang, RSUD Wonosari, dan RS Kanudjoso Djati selama bulan Agustus–September 2016. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Virologi Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan menggunakan FastTrack Diagnostics multiplex Real-time RT-PCR untuk mendeteksi 21 virus. Virus-virus yang berhasil dideteksi adalah Human Metapneumovirus (21,2%). Human Parainfluenza Virus 1 (12,1%), Influenza B (6,1%), Human Coronavirus-OC43 (6,1%), Human Coronavirus-NL63 (6,1%), Human Parainfluenza Virus 2 (3,0%), Human Rhinovirus (3,0%), dan Human Adenovirus (3,0%). Dari 17 sampel yang dinyatakan positif mengandung virus, 14 diantaranya merupakan kasus infeksi tunggal sedangkan tiga lainnya merupakan kas us koinfeksi antara Human Coronavirus-NL63 dengan Human Parainfluenza Virus 1, Human Metapneumovirus dengan Human Coronavirus-OC43, dan Human Adenovirus dengan Human Rhinovirus. Virus yang paling banyak terdeteksi dari spesimen kasus ISPA rawat inap adalah Human Metapneumovirus.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
37

Akmal Izwar, Sri Nuryati, Rahman et Rini Purnomowati. « Isolation, identification, and pathogenicity tests of pathogenic bacterial associated with black body syndrome in white barramundi Lates calcarifer B. » Jurnal Akuakultur Indonesia 19, no 1 (5 mai 2020) : 39–49. http://dx.doi.org/10.19027/jai.19.1.39-49.

Texte intégral
Résumé :
ABSTRACTThis study aimed to obtain the pathogenicity of isolated bacteria from maribund barramundi Lates calcarifer with black body syndrome (BBS). Moribund barramundi was collected from the Center for Mariculture Development (BBPBL), Lampung Province. Five of pathogenic bacteria were found, i.e. Pseudomonas stutzeri L01, Vibrioharveyi, Bacillus cereus, Salinococcus roseus, and Pseudomonas stutzeri L02. The bacteria were tested for LD50 to obtain two types of high virulent bacteria to be used for the pathogenicity test. P. stutzeri L01 and V. harveyi were the most virulent bacteria with a bacterial density of 107 CFU/mL. Both bacteria were used for pathogenicity test with three treatments: injection of P. stutzeri L01, V. harveyi, mix P. stutzeri L01 and V. harveyi, and phosphatebuffered saline as control. Clinical symptoms showed a blackened body, bleeding under the belly, and inactive. Mortality of fish injected with P. stutzeri L01, V. harveyi and mix P. stutzeri L01 and V. harveyi was 53.33%, 55.00%, and 58.33%, respectively. Erythrocyte and hemoglobin in all treatments were not significantly different (P>0.05). However, there was significantly different in the total leukocytes of mixed P. stutzeri and V. harveyitreatment (P<0.05). In conclusion, P. stutzeri L01, V. harveyi and mix of them resulted in black body syndrome (BBS) disease. Coinfection of P. stutzeri L01 and V. harveyi produce higher mortality than single infection.Keywords: barramundi, black body syndrome, histopathology, pathogenicityABSTRAKPenelitian ini bertujuan mendapatkan patogenisitas bakteri dari ikan kakap putih L. calcarifer yang memiliki gejala black body syndrome (BBS). Ikan diambil dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL), Lampung. Lima jenis bakteri patogen ditemukan, yaitu Pseudomonas stutzeri L01, Vibrio harveyi, Bacillus cereus, Salinococcus roseus, dan Pseudomonas stutzeri L02. Bakteri diuji LD50 untuk mendapatkan dua jenis bakteri virulen tinggi yang akan digunakan untuk uji patogenisitas. P. stutzeri L01 dan V. harveyi adalah bakteri paling virulen dengan kepadatan bakteri 107 CFU/mL. Uji patogenisitas dengan tiga perlakuan: injeksi P. stutzeri L01, V. harveyi, campuran P. stutzeri L01 dan V. harveyi, serta phosphate-buffered saline sebagai kontrol. Gejala klinis menunjukkan tubuh menghitam, perdarahan di bawah perut, dan pergerakan tidak aktif. Mortalitas ikan yang disuntik dengan P. stutzeri L01, V. harveyi dan campuran P. stutzeri L01 dan V. harveyi masing-masing sebesar 53,33%, 55,00%, dan 58,33%. Eritrosit dan hemoglobin pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun, ada perbedaan yang signifikan dalam total leukosit perlakuan campuran P. stutzeri L01 dan V. harveyi(P<0,05). P. stutzeri L01, V. harveyi dan campuran P. stutzeri L01, V. harveyi dapat menyebabkan black bodysyndrome (BBS). Koinfeksi P. stutzeri L01 dan V. harveyi menghasilkan mortalitas lebih tinggi daripada infeksi tunggal.Kata kunci: barramundi, black body syndrome, histopatologi, patogenisitas
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
38

Kurniawan, Farid, Samsuridjal Djauzi, Evy Yunihastuti et Pringgodigdo Nugroho. « Faktor Prediktor Kegagalan Virologis pada Pasien HIV yang Mendapat Terapi ARV Lini Pertama dengan Kepatuhan Berobat Baik ». Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 4, no 1 (4 septembre 2017) : 29. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v4i1.110.

Texte intégral
Résumé :
Pendahuluan. Pada negara dengan keterbatasan sumber daya, pengukuran viral load (VL) sebagai prediktor efektivitas terapi antiretroviral (ARV) tidak selalu mudah untuk diakses oleh pasien HIV yang mendapat terapi ARV. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, kepatuhan berobat (adherens) diketahui merupakan faktor penting terhadap supresi VL HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor prediktor kegagalan virologis pada pasien HIV yang mendapat terapi ARV lini pertama sesuai paduan ARV terbaru dengan kepatuhan berobat yang baik di Indonesia.Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien HIV rawat jalan dewasa di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta yang memulai terapi ARV lini pertama selama periode Januari 2011-Juni 2014. Pasien HIV dengan kepatuhan berobat baik yang mempunyai data VL 6-9 bulan setelah mulai terapi ARV dimasukkan sebagai subjek penelitian. Kegagalan virologis dinyatakan sebagai nilai VL ≥400 kopi/mL setelah minimal 6 bulan terapi ARV dengan kepatuhan berobat baik. Usia awal terapi ARV, faktor risiko penularan HIV, stadium klinis HIV menurut World Health Organization (WHO), koinfeksi HIV-TB, jumlah CD4 awal terapi, peningkatan jumlah CD4, kadar hemoglobin dan indeks massa tubuh awal terapi, perubahan berat badan selama terapi, dan basis paduan terapi ARV merupakan variabel yang diteliti pada penelitian ini. Hasil. Terdapat 197 pasien sebagai subjek penelitian ini. Kegagalan virologis ditemukan pada 21 pasien (10,7%). Peningkatan CD4 <50 sel/mm3 setelah minimal 6 bulan terapi merupakan prediktor kegagalan virologis (p = 0,003; OR 5,802, 95% CI= 1,842-18,270). Terdapat peningkatan risiko kegagalan virologis pada pasien dengan terapi ARV berbasis NVP pada saat VL diperiksa, namun tidak bermakna secara statistik (p = 0,060; OR 2,756; 95% CI= 0,958-7,924). Simpulan. Peningkatan CD4 <50 sel/mm3 setelah minimal 6 bulan terapi dapat memprediksi kegagalan virologis pada pasien yang mendapat terapi ARV lini pertama dengan kepatuhan berobat yang baik. Kata Kunci: kegagalan virologis, terapi ARV lini pertama, viral load Predictors of Virological Failure in HIV Patients Receiving First Line Antiretroviral Therapy with Good AdherenceIntroduction. Antiretroviral therapy (ART) effectively suppress HIV replication. Viral load (VL) measurement is better predictor than clinical or immunological criteria to evaluate success or failure of ART. However, in country with limited resources, viral load measurement is not easily accessible by HIV patients receiving ART. Therefore, it is necessary to know which factors that can predict virological failure. In previous studies, adherence was an important factor for suppression of HIV viral load. This study is aimed to know predictors of virological failure in HIV patients receiving recent first line ART regimen with good adherence in Indonesia. Methods. A retrospective cohort study was conducted among adult HIV patients in Out-patient Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital that started ART during periode of January 2011-June 2014. HIV patients with good adherence that had viral load data 6-9 months after initiation of ART were included in this study. Virological failure was defined as viral load ≥ 400 copies/mL after minimum of 6 months therapy with good adherence. Age at starting ART, risk factor for HIV infection, HIV clinical stage, HIV-TB co-infection, baseline CD4 value, CD4 count increase, baseline hemoglobin level and body mass index, weight changes during therapy, and ART based regimen were analyzed in this study. Results. A total of 197 patients were included in this study. Virological failure was found in 21 patients (10,7%). CD4 increase <50 cell/mm3 after minimum 6 months of ART was predictor of virological failure (p = 0,003; OR 5,802, 95%CI 1,842-18,270). Conclusion. CD4 increase <50 cell/mm3 after minimum 6 months therapy can predict virological failure in HIV patients receiving first line ART with good adherence.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
39

Korompis, Charly M. M., Triomega F. X. Sengkey, Shienty Gaspersz et J. Niode. « Penyakit Adamantiades-Behcet Koinfeksi dengan Herpes Genital ». JURNAL BIOMEDIK (JBM) 10, no 2 (11 juillet 2018). http://dx.doi.org/10.35790/jbm.10.2.2018.20092.

Texte intégral
Résumé :
Abstract: Adamantiades-Behcet (AB) disease is a rare multi-systemic inflammatory disorder with unknown cause. It is characterized by recurrent mucocutaneous ulcer in the mouth and genitalia, and mostly affects the age group of 20 to 30 ys. Genital lesion of AB must be differentiated from others caused by sexually transmitted disease, such as genital herpes. Co-infection of AB with genital herpes is very rare. We reported a male 72-year old, came with painful ulcers in the mouth and genital area since a week before visit. Symptoms were recurrent since three years ago. History of arthritis, recurrent headache, eye and skin lesions were denied. Patient was sexually promiscuous. Physical examination revealed multiple ulcers on the labium oris sized 0.5cm-1cm, irregular border, base covered by fibrin tissue, associated with erosion and crust. Multiple ulcers were also found on penile glans, sized 0.1x1x0.2 cm, irregular border, with pus and necrotic tissue. The ulcers were punched out. Pathergy test and anti HSV-1 IgM were negative meanwhile anti HSV-1 IgG, anti HSV-2 IgM as well as anti HSV-2 IgG were positive. Acyclovir 200mg 5x/day for five days, triamcinolone acetonide lotion bid for the mouth ulcer, NaCl 0,9% dressing applied tid for 30 minutes, and fucidic acid cream bid were given and the symptoms improved after 10 days. The prognosis was bonam for ad vitam and dubia for ad functionam and ad sanationam. Conclusion: The diagnosis of AB was based on the International Criteria for Behcet Disease, with a total score of 4 for the recurrent ulcer in mouth and genital area. The positive result of anti HSV-1 IgG, anti HSV-2 IgM and anti HSV-2 IgG supported the coinfection with genital herpes. This coinfection of AB and genital herpes was the first reported in Manado. Immunosenescence was a possible risk factor of the recurrent genital herpes. Symptomatic and antiviral treatment improved the symptoms with possible recurrent genital herpes.Keywords: Adamantiades-Behcet, genital herpes, coinfectionAbstrak: Penyakit Adamantiades-Behçet (AB) merupakan kelainan inflamasi multisistemik yang tidak diketahui penyebabnya dengan manifestasi mukokutan tersering berupa ulkus berulang pada mulut dan genital. Penyakit ini terutama terjadi pada usia 20-30an. Lesi genital pada AB perlu dibedakan dengan ulkus genital akibat infeksi menular seksual termasuk herpes genitalis. Koinfeksi AB dan herpes genitalis jarang terjadi. Kami melaporkan kasus seorang laki-laki, usia 72 tahun, dengan keluhan luka di bibir dan kelamin yang nyeri sejak 1 minggu lalu, bersifat hilang-timbul selama 3 tahun terakhir. Riwayat nyeri sendi, sakit kepala berulang, serta kelainan kulit disangkal. Terdapat riwayat promiskuitas yang tinggi. Pada pemeriksaan fisik di regio labialis oris ditemukan ulkus multipel, diameter ±0,5-1 cm, tepi tidak teratur, dasar tertutup jaringan fibrin, dengan erosi dan krusta. Di regio glans penis ditemukan ulkus multipel, ukuran bervariasi ± 1x2x0,2cm, tepi tidak teratur, dasar tertutup pus dan jaringan nekrotik, terdapat punch out dan erosi. Tes patergi negatif. Pemeriksaan anti HSV-1 IgM (-), anti HSV-1 IgG (+), anti HSV-2 IgM dan IgG (+). Terapi asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari, salep triamsinolon asetonid 2 kali oles, kompres terbuka NaCl 0,9% 3 x30 menit/hari, krim asam fusidat 2 kali oles, memberikan perbaikan klinis setelah 10 hari pengobatan. Prognosis quo ad vitam bonam, quo ad functionam, quo ad sanationam ad dubia. Simpulan: Pada kasus ini, diagnosis AB ditegakkan berdasarkan International Criteria for Behcet Disease yaitu ditemukannya ulkus berulang di mulut dan di genital, masing-masing mendapat nilai 2, sehingga nilai total ialah 4. Ditemukannya anti HSV-1 IgG, anti HSV-2 IgG dan IgM positif, menunjang diagnosis tambahan herpes genital (rekuren). Koinfeksi AB dengan herpes genital baru pertama kali dijumpai di Manado. Keadaan immunosenescence kemungkinan menjadi faktor pencetus terjadinya rekurensi herpes genital. Pasien sembuh dengan terapi simtomatis dan antivirus, meskipun kemungkinan rekurensi dapat terjadi lagi.Kata kunci: Adamantiades-Behcet, herpes genital, koinfeksi
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
40

P, Dwiputra Yogi, Dewi Dian S, AAA Yuli Gayatri, Made Susila Utama, Agus Somia et Tuti Parwati M. « Karakteristik pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis pada poliklinik VCT RSUP Sanglah ». Medicina 50, no 2 (8 août 2019). http://dx.doi.org/10.15562/medicina.v50i2.275.

Texte intégral
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
41

Normaningtyas, Widhiasari, Muhammad Ali Shodikin, Angga Mardro Raharjo, Dini Agustina, Diana Chusna Mufida et Yunita Armiyanti. « Hubungan Kejadian Ko-Infeksi Soil-Transmitted Helminths pada Pasien Tuberkulosis dengan Jumlah Eosinofil di Kecamatan Kalisat Kabupaten Jember ». Journal of Health Sciences 13, no 2 (21 août 2020). http://dx.doi.org/10.33086/jhs.v13i2.1462.

Texte intégral
Résumé :
Abstrak: Tuberkulosis (TB) menjadi masalah kesehatan utama baik lingkup global maupun nasional. Tuberkulosis menyebabkan status gizi kurang baik. Status gizi yang kurang baik dapat disebabkan oleh infeksi kronis, salah satunya infeksi cacing usus terutama Soil-Transmitted Helminths (STH). Ko-infeksi STH pada pasien TB selain mempengaruhi status gizi, juga akan mempengaruhi respon imun pasien. Respon imun pada pasien ko-infeksi STH akan menghambat respon imun Th 1 dalam melawan TB serta akan didapatkan peningkatan eosinofil (eosinofilia). Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah eosinofil pada pasien tuberkulosis terhadap ko-infeksi STH di Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain analitik cross sectional. Populasi yang digunakan adalah pasien TB di Kecamatan Kalisat dalam periode waktu September – Desember 2019. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa hasil pemeriksaan darah dengan metode hitung jenis dan hasil pemeriksaan feses menggunakan metode sedimentasi dan floatasi. Analisis data dilakukan menggunakan uji Fisher. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian koinfeksi STH pada pasien TB di Kecamatan Kalisat Kabupaten Jember sebesar 3,6% dan disebabkan oleh Hookworm. Hasil uji Fisher menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah eosinofil dengan kejadian koinfeksi STH pada pasien TB di Kecamatan Kalisat Kabupaten Jember dengan nilai p-value 1,000. Kata kunci: Tuberkulosis, Soil-Transmitted Helminths, Eosinofilia
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
42

Putranto, Michael, Maarthen C. P. Wongkar et Cerelia Sugeng. « Profil Pasien Tuberkulosis Paru dengan Penyakit Ginjal Kronik yang Dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2017 – Oktober 2018 ». e-CliniC 6, no 2 (30 juillet 2018). http://dx.doi.org/10.35790/ecl.6.2.2018.22113.

Texte intégral
Résumé :
Abstract: Patients with chronic kidney disease (CKD) have increased risk of tuberculosis compared to patients with normal renal function. This is due to impaired cell-mediated immunity, imunosupressive medication, HIV infection, and diabetes mellitus (DM). Uremia is also associated with immunodeficiency in CKD patients due to functional abnormality of neutrophils, reduced T and B cell function, and impaired monocyte and monocyte-derived dendritic cell function. This study was aimed to obtain the profile of TB patients associated with CKD at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado This was a descriptive retrospective study using medical record data of CKD patients with TB co-infection within one-year. The results showed that of 1369 CKD patients, 32 patients had coinfection with TB (2.34%). The majority of patients were males (81%); 62.5% were in the age range of 46-65 years old. Most of them worked as agricultural farmer (28%). Forty-four percent of the patients had CKD stage 5; 11 of them did not undergo dialysis. Most CKD patients were caused by NSAID nephropathy (65%). Conclusion: The majority of TB patients associated with CKD were males, aged 45-65 years, and worked as farmers. The major cause of CKD was NSAID nephropathy. Most patients suffered from CKD stage 5, some did not undergo dialysis.Keywords: chronic kidney disease, lung tuberculosis Abstrak: Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai peningkatan risiko tuberkulosis (TB) dibanding pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Hal ini terkait dengan penurunan cell-mediated immunity, pengobatan imunosupresif, koinfeksi human immune-deficiency virus (HIV), dan diabetes melitus (DM). Uremia juga berhungan dengan imuno-defisiensi pada PGK yang disebabkan oleh abnormalitas fungsional dari neutrofil, penurunan fungsi sel T dan B dan terganggunya fungsi monosit dan sel dendritik turunan monosit. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil pasien TB paru disertai PGK yang dirawat di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2017-Oktober 2018. Jenis penelitian ialah deskriptif retroskpektif menggunakan data rekam medik pasien PGK dengan koinfeksi TB paru selama satu tahun. Hasil penelitian mendapatkan 1369 pasien PGK; 32 pasien dengan koinfeksi TB paru (2,34%). Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki (81%), berada pada rentang usia 46-65 tahun (62,5%), dan bekerja sebagai petani (28%). Sebesar 44% dari pasien dengan PGK derajat 5; 11 diantaranya non-dialisis. Paling banyak disebabkan oleh nefropati OAINS (65%). Simpulan: Mayoritas pasien PGK di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado berjenis kelamin laki-laki, berusia 45-65 tahun, dan bekerja sebagai petani. Penyakit penyebab PGK-nya terbanyak ialah nefropati OAINS. Mayoritas pasien PGK dengan derajat 5, sebagian di antaranya non dialisis.Kata kunci: penyakit ginjal kronik, tuberkulosis paru
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
43

Sianturi, Elfride Irawati, et Rusnaeni Rusnaeni. « PROFIL PASIEN KO-INFEKSI TUBERCULOSE-HIV DI RSUD DOK II JAYAPURA Tuberculosis-HIV Co-infection Profile in DOK II Hospital Jayapura ». Indonesian Journal of Applied Sciences 7, no 2 (21 août 2017). http://dx.doi.org/10.24198/ijas.v7i2.3036.

Texte intégral
Résumé :
AbstrakPapua adalah daerah yang memiliki angka prevalensi HIV-AIDS tertinggi di Indonesia. Infeksi TB adalah infeksi oportunistik terbanyak yang menyerang pasien HIV-AIDS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapatkan pengobatan obat anti tuberculosis (OAT) di klinik VCT RSUD Dok II Jayapura selama periode Januari 2011 hingga September 2012. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif. Data diambil dari rekam medik, kartu TB 01 dan hasil mikrobiologis pasien koinfeksi TB-HIV yang mengambil OAT di klinik VCT RSUD Dok II Jayapura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35 dari 124 pasien adalah pasien default yang mengalami efek samping obat dan tidak memiliki Pengawas Minum Obat (PMO). Efek samping obat TB menjadi kendala selama pengobatan sehingga peranan PMO yang berasal dari keluarga inti mampu membantu pasien menyelesaikan pengobatan TB tersebut. Kata kunci: AIDS, pengawas minum obat (PMO), rifampisin, tuberculosis, AbstractPapua shows the highest prevalency rate of HIV-AIDS in Indonesia and almost 60% people who live with HIV develop tuberculosis (TB), hence TB is the most common opportunistic infection in HIV patients. This study was aimed to know and to describe the profile of TB-HIV co-infection patients among TB patients according to clinical symptoms and the side effects of FDC (Fixed Dose Combination) drugs. Methods used was descriptive study taken from medical record of 124 TB-HIV co-infection patients in Dok II Jayapura hospital, Papua during January 2011 – September 2012. Results showed that 35 of 124 patients indicated side effect of antituberculosis risk default when they did not undergo drug monitoring therapy. The patients should be controlled by his/her family to help them through all the side effects of antituberculose drugs to complete the treatment. Keywords: AIDS, drug monitoring therapy, rifampicin, tuberculosis
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
44

Yuliana, Yuliana. « Hubungan antara Infeksi Cacing Usus dan Tuberkulosis ». Jurnal Kedokteran Meditek, 22 mars 2019. http://dx.doi.org/10.36452/jkdoktmeditek.v24i67.1686.

Texte intégral
Résumé :
Cacing usus masih sering diabaikan meskipun prevalensi kecacingan tinggi. Hal ini dikarenakan kurangnya edukasi mengenai beratnya konsekuensi infeksi cacing ini. Begitu juga dengan Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Distribusi geografik kedua penyakit ini saling tumpang tindih, sehingga koinfeksi sering terjadi. Respons imun tubuh terhadap dua penyakit ini ternyata saling bertolak belakang. Infeksi cacing usus merangsang respons imun Th2 dan Treg. Kedua respons ini akan menekan imunitas Th1, yang diperlukan sebagai kontrol dari infeksi Mtb. Kondisi ini membuat kedua penyakit ini bisa menginfeksi satu individu di waktu yang bersamaan. Hal ini membuat penduduk di daerah endemis lebih rentan terhadap kedua penyakit ini. Dalam artikel ini, penulis mencoba membahas kedua penyakit ini dan respons tubuh terhadap mereka. Kata kunci : infeksi cacing usus, tuberkulosis, respon imun
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
45

Олейник, А. Ф., Ч. Г. Реватхи et В. Х. Фазылов. « Osobennosti techeniya sochetannoj infekcii VICH/SARS-CoV-2 v usloviyah pandemii ». Osobennosti techeniya sochetannoj infekcii VICH/SARS-CoV-2 v usloviyah pandemii, no 2021(1) (février 2021). http://dx.doi.org/10.24075/vrgmu.2021.004.

Texte intégral
Résumé :
Izvestno, chto nekotorye gruppy pacientov tyazhelo perenosyat COVID-19. V obzore predstavleny poslednie dannye ob osobennostyah techeniya COVID-19 u pacientov, inficirovannyh virusom imunodeficita cheloveka (VICH). Ustanovleno, chto u lyudej s VICH, nahodyashchihsya na nepreryvnoj antiretrovirusnoj terapii (ARVT), imeyushchih podavlennuyu virusnuyu nagruzku i chislo CD4+-T-limfocitov bolee 200 kletok/mkl, risk zarazheniya i techenie COVID-19 sopostavimy s takovymi v obshchej populyacii. Pacienty s VICH-infekciej demonstriruyut men'shuyu chastotu gospitalizacij, chem ozhidalos', chto predpolozhitel'no mozhet byt' svyazano s bessimptomnym techeniem COVID-19 na fone slabogo immunnogo otveta u etih bol'nyh. Krome togo, sravnitel'no legkoe techenie zabolevaniya u pacientov s koinfekciej, vyzvannoj VICH/SARS-CoV-2, mozhet byt' svyazano s primeneniem ARVT. Nesmotrya na otsutstvie protektivnogo dejstviya ARVT v otnoshenii zarazheniya virusom SARS-CoV-2, issledovateli predpolagayut, chto ARVT mozhet stabilizirovat' immunnyj otvet u koinficirovannyh pacientov, chto prepyatstvuet progressirovaniyu zabolevaniya do tyazhelyh form.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
46

Gajić, Bojan Gajić, Danica Bogunović, Branislav Vejnović, Milorad Mirilović et Zoran Kulišić. « ZASTUPLJENOST DIROFILARIA IMMITIS, BORRELIA BURGDORFERI, ANAPLASMA SPP. I EHRLICHIA SPP. KOD NEVLASNIČKIH PASA NA PODRUČJU BEOGRADA ». ВЕТЕРИНАРСКИ ЖУРНАЛ РЕПУБЛИКЕ СРПСКЕ 16, no 2 (19 avril 2017). http://dx.doi.org/10.7251/vetj1602002g.

Texte intégral
Résumé :
Bolesti pasa koje se prenose vektorima predstavljaju oboljenja virusne,bakterijske ili parazitske etiologije, koja se najčešće prenose hematofagnimartropodama, komarcima i krpeljima.Cilj ovog rada bio je da se ispita prisustvo infekcija čiji se uzročnici prenosekomarcima (DiroGilaria immitis) i krpeljima (Borrelia burgdorferi, Anaplasmaphagocytophilum/A. platys, Ehrlichia canis/E. ewingii) kod nevlasničkih pasa nateritoriji Beograda.U periodu od septembra do decembra 2015. godine sakupljeno je 86 uzoraka krviod klinički zdravih nevlasničkih pasa iz različitih beogradskih opština. Svi uzorcitestirani su modiNikovanim Knott-ovim testom i komercijalnim SNAP® 4Dx Plus®Test-om.Infekcija izazvana barem jednim od ispitivanih uzročnika ustanovljena je kod27,91% pasa. Najzastupljeniji uzročnik bila je D. immitis, koja je dijagnostikovanakod 17,44% životinja. Na prisustvo antitela protiv Anaplasma spp. pozitivno je bilo9,30% pasa, dok je 2,33% jedinki bilo seropozitivno na B. burgdorferi, odnosno naEhrlichia spp. Koinfekcije sa dva patogena zabeležene su kod 3,49% pasa.Rezultati ovog istraživanja pokazuju da su nevlasnički psi na teritoriji gradaBeograda izloženi delovanju različitih vrsta zoonoznih uzročnika koji se prenosekomarcima i krpeljima, zbog čega treba preduzeti odgovarajuće mere za suzbijanjeovih artropoda.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
47

Azhar, Fariq. « Aplikasi Bioflok yang dikombinasikan dengan Probiotik untuk Pencegahan Infeksi Vibrio parahaemolyticus pada Pemelihaaran Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) ». Journal of Aquaculture Science 3, no 1 (5 juin 2018). http://dx.doi.org/10.31093/joas.v3i1.38.

Texte intégral
Résumé :
Budidaya udang yang dilakukan dengan sistem intensif ternyata banyak menimbulkan permasalahan. Adanya masalah penyakit di udang yang disebabkan oleh bakteri, virus, ataupun koinfeksi merupakan masalah yang harus ditangani. Penggunaan probitik dan bioflok merupakan salah satu cara untuk mengatasi penyakit yang ada. Selain itu, kombinasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan performa sistem imun udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan bioflok yang dikombinasikan dengan probiotik terhadap sistem imun udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang di uji tantang dengan V. parahaemolyticus. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan. Perlakuan yang diberikan yaitu penambahan probiotik komersil dalam media budidaya dengan sistem bioflok pada pakan berupa kontrol negatif (tanpa probiotik + tanpa bioflok) (1), kontrol positif (media budidaya bioflok dan tanpa penambahan probiotik) (2), probiotik I + bioflok (3), probiotik II + bioflok (4), dan probiotik III + bioflok (5).. Hasil yang diperoleh untuk performa performa sistem imun udang. terbaik pada perlakuan 4 (probiotik II + bioflok) dengan hasil SR sebesar 76,67%, THC sebesar 9,7 x 106 ml-1, dan total jumlah bakteri sebesar 1.59 x 107. Kata kunci: Udang vaname, Probiotik, Bioflok, Sistem Imun.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
48

Hartanto, Felix, et Prima Kartika Esti. « PENINGKATAN ENZIM TRANSAMINASE PADA KUSTA ». Media Dermato Venereologica Indonesiana 46, no 3 (9 septembre 2019). http://dx.doi.org/10.33820/mdvi.v46i3.72.

Texte intégral
Résumé :
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronik yang mengenai kulit dan sistem saraf perifer dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yaitu bakteri tahan asam dan bersifat intraseluler obligat. Seiring berkembangnya ilmu kedokteran saat ini, kusta dianggap sebagai sebuah penyakit sistemik dan organ hepar menjadi salah satu yang terlibat dalam proses patologis penyakit kusta. Komplikasi gangguan fungsi hepar akibat penyakit kusta selama ini kurang mendapat sorotan, padahal gangguan fungsi hepar secara teoritis hampir pasti menyertai setiap penderita kusta, terutama pada saat timbul reaksi ENL. Pada kenyataannya, gangguan fungsi hepar yang ditandai dengan peningkatan enzim transaminase dapat terjadi akibat berbagai penyebab, yaitu efek samping obat yang bersifat hepatotoksik, koinfeksi kusta dengan virus hepatitis, pembentukan granuloma di hepar dari proses patologis penyakit kusta, ataupun akibat dari proses imunologik reaksi ENL yang melibatkan organ hepar.Tulisan ini mencoba untuk mengupas lebih dalam tetang peningkatan enzim transaminase yang terjadi pada penyakit kusta. Pengetahuan tentang hal ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam penegakan diagnosis dan mendukung penanganan pasien secara menyeluruh.Kata kunci: kusta, enzim transaminase, eritema nodosum leprosum, drug induced liver injury, granuloma
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
49

Febrianto, Firsta Wahono, Deby Kusumaningrum et Arifa Mustika. « Hubungan penurunan kadar CD4 dengan pola kepekaan mycobacterium tuberculosis terhadap rifampisin pada pasien Ko-Infeksi Tb-HIV di RSUD dr. Soetomo Surabaya ». Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 19, no 1 (1 avril 2019). http://dx.doi.org/10.24815/jks.v19i1.9133.

Texte intégral
Résumé :
Latar Belakang: Mycobacterium tuberculosis banyak menimbulkan masalah kesehatan yang kompleks. Salah satu penyakit yang ditimbulkan adalah Tuberkulosis (TB). Obat untuk mengatasi Tuberkulosis disebut Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Namun, sudah banyak Mycobacterium tuberculosis yang mengalami resistensi ganda terhadap obat lini pertama tersebut yang disebut MDR-TB (Multi-drug Resistant TB). Peningkatan kasus MDR-TB kemungkinan disebabkan oleh salah satu faktor risiko TB yaitu infeksi HIV (ko-infeksi TB-HIV). Sayangnya, ada tidaknya hubungan dari infeksi HIV, yang menurunkan kadar CD4, dengan pola kepekaan dari Mycobacterium tuberculosis terhadap Rifampisin di Indonesia belum diketahui secara pasti.Tujuan: Mengetahui hubungan penurunan kadar CD4 dengan pola kepekaan Mycobacterium tuberculosis terhadap Rifampisin pada pasien ko-infeksi TB-HIV di RSUD Dr. Soetomo SurabayaMetode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional menggunakan studi analitik dengan rancangan cross-sectional. Diperoleh 32 sampel dari rekam medis pasien ko-infeksi TB-HIV di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 1 Januari - 31 Desember 2016. Data dianalisis dengan uji Chi Square menggunakan aplikasi SPSS.Hasil Penelitian dan Pembahasan: Hasil uji Chi Square antara penurunan kadar CD4 dan pola kepekaan Mycobacterium tuberculosis terhadap RIfampisin menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan (p=0,544).Kesimpulan: Diperoleh hubungan yang tidak signifikan antara penurunan kadar CD4 (200 sel/mm3) dengan resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap Rifampisin pada pasien koinfeksi TB-HIV di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Januari-Desember 2016.
Styles APA, Harvard, Vancouver, ISO, etc.
Nous offrons des réductions sur tous les plans premium pour les auteurs dont les œuvres sont incluses dans des sélections littéraires thématiques. Contactez-nous pour obtenir un code promo unique!

Vers la bibliographie