Academic literature on the topic 'AFMIR'

Aims. The composition of comets and asteroids sheds light on the formation and early evolution of the solar system. The study of micrometeorites containing large concentrations of carbonaceous material (i.e. ultra-carbonaceous antarctic micrometeorites, UCAMMs) allows for unique information on the association of minerals and organics at surface of icy objects (comets) to be obtained. Methods. In this work we map the organic matter of UCAMMs collected in the Antarctic snow, at sub-wavelength spatial scales using the Atomic Force Microscope InfraRed (AFMIR) technique. The sample preparation did not involve any chemical pretreatment to extract organic matter. The AFMIR measurements were performed on a limited spectral coverage (1900–1350 cm−1) allowing chemical functional groups to be imaged at spatial scales relevant to the study of micrometeorites. Results. The AFMIR images reveal the variability of the functional groups at very small scales and the intimate association of carbon- and oxygen-bearing chemical bonds. We demonstrate the possibility to potentially separate the olefinic and aromatic C=C bonding in the subcomponents of the UCAMM fragment. These variations probably originate in the early mixing of the different reservoirs of organic matter constituting these dust particles. The measurements demonstrate the potential for analysing such complex organic-matter – mineral association at scales below the diffraction limit. The development of such studies and extension to the full infrared range spectral coverage will drive a new view on the vibrational infrared analysis of interplanetary material.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan tepung roti afkir dalam ransum tehadap kualitas telur ayam ras. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2019 di Kota Bengkulu. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) 5 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan terdiri dari P0 : ransum kontrol 0% tepung roti afkir, P1 : 10% tepung roti afkir, P2 : 20% tepung roti afkir, P3 : 30% tepung roti afkir, P4 : 40% tepung roti afkir. Variabel yang diamati adalah berat telur, warna yolk, indeks kuning telur, indeks putih telur, haugh unit, tebal kerabang, dan kedalaman rongga udara. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) jika berpengaruh nyata (P<0,05) maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukan bahwa, penggunaan tepung roti afkir level 10%, 20%, 30%, dan 40% dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap berat telur (P> 0,05), indeks yolk, indeks albumein, Haugh Unit, tebal kerabang, dan rongga udara, namun berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna yolk dengan skor cenderung menurun. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung roti afkir dalam ransum dari level 20% atau lebih dapat menurunkan warna yolk, tetapi tidak menurunkan berat telur, indeks indeks yolk, indeks albumen, haugh unit, tebal kerabang dan ronggga udara.

Pemanfaatan susu afkir sebagai makanan tambahan dalam pakan dipercaya dapat menambah bobot badan dibandingkan dengan tanpa tambahan susu afkir. Susu afkir merupakan susu sapi dalam kemasan yang direjek oleh pabrik dengan kondisi fisik dan nutrisi yang masih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian susu afkir dalam pakan standar CP-550 selama 30 hari terhadap kadar Kolesterol total, High Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL) dan Trigeliserida (TG) anak babi persilangan (Duroc-Pietrain) jantan lepas sapih umur 30 hari. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari tiga perlakuan dan sembilan ulangan, dengan total 27 sampel babi. Kelompok babi sebagai kontrol diberi pakan standar (P0), kelompok babi yang diberi pakan standar dengan penambahan susu afkir 5% (P1), dan kelompok babi yang diberi pakan standar dengan penambahan susu afkir 10% (P2). Data hasil pemeriksaan dianalisis menggunakan uji Two Way ANOVA, untuk melihat pengaruh antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil analisis baik pada hari ke-15 dan ke-30 perlakuan menunjukan bahwa pemberian susu afkir 5% tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol total, HDL, dan LDL, sedangkan pada trigeliserida terjadi penurunan secara nyata. Pemberian 10% tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol total, HDL, dan LDL, sedangkan pada trigliserida terjadi peningkatan secara nyata. Waktu atau lama pemberian susu afkir berpengaruh sangat nyata terhadap kadar kolesterol, HDL, dan Trigliserida, sedangkan terhadap LDL tidak berpengaruh nyata. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan susu afkir dalam pakan 5% dapat digunakan tanpa meningkatkan profil lipid babi secara nyata, namun bila konsentrasi diberikan 10% dapat meningkatkan trigeliserida secara nyata.

Penelitian bertujuan untuk memanfaatkan hasil sampingan karkas sapi dan meningkatkan nilai guna serta mengevaluasi tingkat kesukaan konsumen melalui uji nilai kesukaan dan uji fisik. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Haluoleo, Kendari pada bulan Februari sampai bulan Maret 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas N1= daging ayam ras petelur afkir 100% dan otak sapi 0%, N2= daging ayam ras petelur afkir 90% dan otak sapi 10%, N3= daging ayam ras petelur afkir 80% dan otak sapi 20%, dan N4= daging ayam ras petelur afkir 70% dan otak sapi 30%. Variabel penelitian meliputi uji fisik (pH dan susut masak) dan uji sensorik (warna, aroma, tekstur, rasa, keempukan dan penampakan umum). Hasil penelitian menunjukan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai pH dan susut masak nugget dimana subtitusi otak sapi pada nugget daging ayam petelur afkir hingga 30% meningkatkan nilai pH dan menurunkan susut masak serta tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap nilai kesukaan nugget. Otak sapi dapat digunakan hingga 30% dalam pembuatan nugget daging ayam petelur afkir. Kata kunci: Nugget, Kualitas fisik, Tingkat kesukaan, Daging ayam dan Otak sapi

Susu sebagai suplemen makanan sering digunakan oleh peternak untuk meningkatkan pertumbuhan. Untuk menekan biaya produksi, diperlukan bahan pakan alternatif yang murah dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, maka digunakanlah susu afkir yaitu susu sapi dalam kemasan yang telah ditolak oleh pabrik dengan kondisi fisik dan nutrisi yang masih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian susu afkir pada konsentrasi 5% dan 10% dalam campuran pakan terhadap jumlah eritrosit, kadar hemoglobin (Hb), dan nilai Packed Cell Volume (PCV) anak babi crossbreed jantan lepas sapih. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 9 ulangan, dengan total 27 sampel darah. Kelompok ternak babi sebagai kontrol (P0) yang diberi pakan standar (CP-550), kelompok ternak babi yang diberi pakan standar (CP-550) dikombinasikan dengan susu afkir 5% (P1), dan kelompok ternak babi yang diberi pakan standar (CP-550) dikombinasikan dengan susu afkir 10% (P2). Data hasil pemeriksaan dianalisis menggunakan uji sidik ragam (ANOVA), untuk melihat pengaruh antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan. Pemberian susu afkir dengan konsentrasi 5% (P1) dalam pakan dapat meningkatkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin secara nyata dan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai PCV, serta pemberian susu afkir dengan konsentrasi 10% (P2) tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai PCV pada anak babi crossbreed jantan lepas sapih.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk olahan daging ayam petelur afkir yaitu bakso dengan nilai gizi sesuai dengan standar nasional produk olahan dan untuk mengevaluasi daya suka konsumen terhadap bakso ayam petelur afkir yang menggunakan filler lokal Sulawesi Tenggara melalui uji organoleptik. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah P1= daging ayam petelur afkir 60% dan tepung sagu 25%, P2= daging ayam petelur afkir 60% dan tepung ubi kayu 25%, dan daging ayam petelur afkir 60% dan tepung talas 25%. Variabel penelitian meliputi uji kualitas fisik (susut masak dan pH), uji organoleptik (warna, aroma, tekstur, kekenyalan, dan rasa), dan uji kimia (kadar air, protein, lemak, dan abu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan bahan filler lokal tidak berpengaruh nyata ( p>0,05) terhadap susut masak, kadar air, lemak, tekstur, kekenyalan, dan rasa bakso akan tetapi berpengaruh nyata ( p<0,05) terhadap pH bakso, kadar protein, abu dan warna bakso. Disimpulkan bahwa perlakuan terbaik didapat pada penambahan tepung sagu dan ubi kayu yang banyak disukai panelis.Kata kunci: Bakso Ayam, Filler Lokal, Kualitas Fisik, Organoleptik dan Kimia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perendaman daging itik afkir pada ekstrak kulit buah carica terhadap keempukan dan susut masak daging. Materi yang digunakan adalah itik Tegal betina afkir umur 96 minggu sebanyak 10 ekor dan kulit buah carica sebanyak 4 kg. Metode penelitian dilakukan secara eksperimental, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diuji adalah daging dada itik afkir direndam pada ekstrak kulit buah carica 20% selama 0 menit (1 detik) (P0), 30 menit (P1), 60 menit (P2), dan 90 menit (P3). Variabel yang diukur adalah keempukan dan susut masak daging. Hasil penelitian menghasilkan rataan keempukan daging dari perlakuan P0, P1, P2, dan P3 masing-masing adalah 0,0353; 0,0434; 0,0504; dan 0,0560 mm/g/detik. Rataan susut masak daging dari perlakuan P0, P1, P2, dan P3, masing-masing adalah 32,53%; 33,65%; 34,77%; dan 35,86%. Perendaman daging itik afkir pada ekstrak kulit buah carica dengan konsentrasi 20% berpengaruh sangat nyata (P

Abstrak -- Semangka (Citrullus Vulgaris) merupakan buah yang hampir ada disetiap daerah di Indonesia. Hasil panen buah semangka yang dijual biasanya berukuran sedang (±2 kg) dan besar (≥2 kg), sedangkan yang berukuran kecil (≤ 2 kg) kurang termanfaatkan dan dijual dengan harga relatif murah. Semangka dalam ukuran kecil ini dapat dikategorikan kedalam semangka afkir, yaitu semangka yang umur panen serta tingkat matangnya telah cukup tetapi ukurannya kecil, sehingga kurang termanfaatkan dan memiliki harga jual yang rendah. Salah satu alternatif pengolahan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai jual dan memperpanjang umur simpan semangka ini adalah dengan pembuatan Nata de Citrullus. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan harga jual dan memperpajang umur simpan semangka afkir, serta mengetahui nilai gizi nata de citrullus. Dalam penelitian ini dilakukan analisis gizi nata semangka afkir. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nata dari semangka afkir ini mengandung protein 62,3%, air 99,03 %, abu 0,26 %, lemak 0,27 % dan karbohidrat 29,1 %. Sedangkan untuk kandungan antioksidannya setelah dilakukan pengujian terdapat 18,28 mg kandungan antioksidan didalam Nata de Citrullus.

Le sujet de thèse porte sur l’étude de l’accumulation de vésicules de TriAcylGlycérol (TAG) chez Streptomyces, une bactérie du sol filamenteuse utilisée dans l’industrie pour sa production d’antibiotiques. Le TAG est un précurseur direct du bio-diesel puisqu’il permet, suite à une transestérification, l’obtention de glycérol et de bio-diesel.L’objectif principal de la thèse est de regarder l’effet de la source de carbone présente dans le milieu nutritif sur la production de TAG par la bactérie lors d’études cinétiques afin de trouver des souches sur-productrices. Deux sources de carbone sont utilisés : Le glucose, source de carbone classique généralement utilisé en microbiologie, et le glycérol qui est un « déchet » de l’industrie. Afin de suivre le contenu lipidique, une première étude globale utilisant un spectrophotomètre infra-rouge (IR), nous a permis de suivre l’évolution de la production de TAG par la bactérie au sein de notre milieu de culture lors d’études cinétiques de 96h. Il a été montré, par exemple, que pour la souche sauvage S. lividans, la source de carbone introduite (glucose ou glycérol) n’a pas d’influence observable sur la production de TAG par la bactérie au cours de la cinétique. Cependant, la technique FTIR nous donne uniquement une information globale sur la production de TAG mais ne nous donne aucune indication sur l’évolution des vésicules à l’intérieur de la bactérie au cours du temps. C’est pourquoi une deuxième étude, plus locale, à l’aide d’un nanoIR, couplage entre un Microscope à Force Atomique (AFM) et un laser IR pulsé permet de localiser au sein de la bactérie les vésicules lipidiques. Cela permet d'observer la dynamique de production du TAG et d'obtenir des pistes sur le métabolisme de production par la bactérie
Streptomyces is a genus of Gram+ filamentous soil bacteria well known for their ability to produce antibiotics and other molecules useful as therapeutic or phytosanitary agents in medicine or agriculture. Under specific growth conditions some strains can store an excess of carbon into TriAcylGlycerols (TAGs), a direct Bio-diesel precursor. Streptomyces is thus an interesting canditate to generate bio-oils by fermentation. In this study, our goal is to evaluate, at the subcellular scale, the size/shape and localization of storage lipid inclusions in different Streptomyces strains (such as Streptomyces lividans (TK24), Streptomyces coelicolor (M145)…).In a previous study, the global TAGs content of those strains was easily and precisely quantified using infrared (IR) spectroscopy and thin layer chromatography revealing among other things that S. coelicolor has a very low TAGs content whereas S. lividans has an high TAG content. This was possible since TAG molecules show a specific response in the mid-infrared (IR) region, quite distinct from that of the other cellular constituants.Triacylglycerols posses several absorption bands in IR. In particular we can easily distinguish the band of the C=O stretching of the esters at 1741 cm-1 from the amide I band (protein signature) of the bacterium.For the study of the local repartition of TAG inside the cells, a combination of atomic force microscopy and infrared spectroscopy was employed in order to create sub-cellular chemical maps that allow label-free identification of TAG inclusions in Streptomyces cytoplasm using their specific absorption properties at 1741 cm-1. AFM-IR is a user-friendly benchtop technique that enables infrared spectroscopy with a spatial resolution well below conventional optical diffraction limits. It acquires IR absorption imaging with lateral resolution down to 100 nm.This technique coupled with classical FTIR measurements constitutes a powerful tool to study TAG metabolism in Streptomyces and can be easily used to control the rate of lipid accumulation during the fermentation process. Hence, the AFM-IR technique is likely to provide new insights into the constitution of the fatty inclusions and the role of TAGs in the morphological and metabolic differentiation processes that characterize Streptomyces developmental cell cycle

Hfq est une protéine bactérienne qui a un rôle pleiotropique. La principale fonction de la protéine Hfq bactérienne consiste à répondre aux stress que peut rencontrer la bactérie lors d’un changement environnemental, en utilisant essentiellement un contrôle post-transcriptionnel. La protéine, par sa capacité à interagir avec les ARN et notamment les petits ARN non codant, permet ainsi une régulation rapide de l’expression génétique. En outre la protéine interagit aussi avec l’ADN qu’elle aide à se structurer. Les mutations dans le gène qui code pour Hfq ont des effets pleïotropes (déterminant plusieurs caractères phénotypiques).D’un point de vue structural, la protéine adopte un repliement de type Sm, caractérisé par un oligomère toroïdal reposant sur la formation d’un feuillet β continu à 30 brins. Cependant, outre cette région Sm N-terminale, Hfq possède également une région C-terminale (CTR) de taille et de séquence variables selon les bactéries. Mon travail de thèse a porté sur l’analyse de cette région CTR chez la bactérie Escherichia coli. Cette région a en effet la capacité de former une structure de type amyloïde : structures auto-assemblées in vivo, à proximité de la membrane interne et dans le nucléoïde.Par l’utilisation de diverses techniques physico-chimiques (microscopie moléculaire, spectroscopie et microscopie infrarouge, dichroïsme circulaire et diffusion aux petits angles), mon travail a consisté à caractériser l’assemblage de cette région de Hfq ainsi que les facteurs l’influençant en particulier la présence d’acide nucléique. Une partie de mon travail de thèse a aussi consisté à mettre en place une méthode d’imagerie corrélative innovante permettant d’analyser la signature chimique et morphologique d’une fibre amyloïde unique. Mon travail a enfin porté sur l’analyse de l’effet de composés inhibant l’agrégation de la structure amyloïde, ce qui pourrait constituer une piste pour développer une nouvelle classe d’antibiotiques
Hfq is a pleiotropic bacterial protein that determines several phenotypic characteristics. Its main function is to facilitate responses to stresses that bacteria may encounter during environmental changes, mainly by using post-transcriptional genetic control. The protein, by its capacity to interact with RNA, in particular small non-coding RNA, enables a rapid regulation of gene expression. In addition, the protein also interacts with DNA and compacts it. From a structural point of view, the protein adopts an Sm-like fold, characterized by a toroidal oligomer formed by a continuous 30-stranded β-sheet. Besides its conserved N-terminal Sm domain, Hfq also possesses a C-terminal region (CTR) that can vary in size and sequence between bacteria. My PhD work focused on the analysis of this CTR region in Escherichia coli bacteria. Indeed, this region has the capacity to form an amyloid structure. This structural dynamic is related to the formation of self-assembled structures in vivo, in the proximity of the inner membrane and in the nucleoid.Using various physicochemical techniques (molecular microscopy, spectroscopy and infrared microscopy, circular dichroism and small angle X-ray scattering), my work consisted in characterizing the assembly of this region of Hfq, as well as the factors influencing its assembly (in particular, the presence of nucleic acids). A part of my work consisted in setting up an innovative correlative–imaging method to analyze the chemical and morphological signature of a single amyloid fibre. Finally, my work focused on the analysis of the effect of compounds that inhibit the aggregation of the amyloid structure, which could constitute a new way to develop a novel class of antibiotics

Actividad formativa equivalente a tesis (magíster en derecho con mención en contratación comparada e internacional)
En los últimos años, diversos pronunciamientos jurisprudenciales norteamericanos recaído en el caso Oracle American Inc. v. Google Inc., han llamado la atención de la industria tecnológica, sobre sí el código declarativo y las SSO de las interfaces de aplicación (Application Programming Interface, en sus siglas en inglés APIs) empleadas para el desarrollo del sistema operativo Android, en su condición de elementos distintos al código fuente, también estaban protegidas por el copyright. Una decisión que apoyó esta postura de que sí estaban protegidas hizo que un Juzgado de Distrito conociera sobre el fair use (uso justo en español), o no de las interfaces. Este caso falló a favor de Google declarando que la implementación del código declarativo y sus secuencias, estructura y organización de las 37 APIs de Java, propiedad de Oracle efectivamente fue un uso justo, siendo clave dentro de la interoperabilidad de los programas informáticos y de la innovación.

Starke elektronische Korrelationen und die daraus resultierenden vielfältigen Phänomenen sind Gegenstand der modernen Festkörperphysik. Solche Korrelationen finden sich in den verschiedensten Systemen vom Isolator über die Halbleiter bis hin zu Metallen. In dieser Arbeit werden die durch Korrelationen hervorgerufenen Phänomene in zwei niederdimensionalen Übergangsmetalloxiden und zwei intermetallischen Verbindungen mithilfe der HF-ESR untersucht. Die Elektronenspin-Resonanz (ESR) nutzt als lokale Messmethode den Spin der Elektronen als Sonde, um die magnetischen Eigenschaften im Umfeld des Elektrons und die Wechselwirkungen (WW) mit anderen Elektronen zu erforschen. Mit stärker werdenden Elektron-Elektron (EE)-Korrelationen kommt es (unter anderem) zu einer Verbreiterung der Resonanz, sodass, um die Resonanz zu beobachten, höhere Frequenzen bzw. größere Felder als in kommerziellen ESR-Spektrometern erreichbar, nötig sind. Mit der in dieser Arbeit genutzten Hochfeld/Hochfrequenz-Elektronenspin-Resonanz (HF-ESR) mit einem frei durchstimmbaren Frequenzbereich von $\nu=\vu{20- 700}{GHz}$ kann speziellen Fragestellungen nachgegangen werden, bei denen die Anregungsenergien im Bereich von $h\nu$ liegen oder Resonanz-Effekte bei hohen Felder beobachtet werden sollen. CaCu$_2$O$_3$ zeigt die gleiche Kristallstruktur wie \chem{SrCu_2O_3}, einem Lehrbuchbeispiel für eine 2-beinige Spin\textfrac{1}{2}-Leiter mit einem nichtmagnetischen Grundzustand und einer großen Spinlücke zum ersten angeregten Zustand. \chem{CaCu_2O_3} zeigt dagegen überraschenderweise einen antiferromagnetischen (AFM) Grundzustand mit einer relativ hohen Übergangstemperatur. Um der Ursache der AFM-Ordnung auf den Grund zu gehen, wurde eine kombinierte Studie der Magnetisierung und der HF-ESR an einer Reihe von Zn-dotierten \chem{CaCu_2O_3} durchgeführt. Im Gegensatz zum Sr-Material sind die \chem{Cu_2O_3}-Leiter-Ebenen durch einen geringeren Sprossenwinkel leicht gewellt, desweiteren zeigt \chem{CaCu_2O_3} eine nichtstöchiometrische Zusammensetzung \chem{Ca_{1- x} Cu_{2+x}O_3}, mit einem Überschuss von Cu von $x\sim 0.16$ im nichtmagnetischen \chem{Cu^{1+}}-Zustand, welches auf Ca-Plätzen sitzt. Wir werden zeigen, dass (i) die Extra-Spins im undotierten Material \emph{nicht} in den Ketten sitzen, sondern auf regelmäßigen Zwischengitterpositionen. Sie rekrutieren sich aus dem überschüssigen \chem{Cu^{1+}}, dessen Position in der Nähe einer O-Fehlstelle instabil wird, sich verschiebt und den Zustand in ein magnetischen \chem{Cu^{2+}} ändert, (ii) dass durch die Position der Extra-Spins eine Kopplung übernächster Spin-Leitern zustande kommt, welche die Frustration der Spin-Leitern aufhebt und einen AFM-Grundzustand mit solch hoher Übergangstemperatur erlaubt und (iii) dass diese Position der Extra-Spins die zusätzliche schwache kommensurable Spinstruktur erklären kann, die im AFM- Zustand neben der inkommensurablen Spinstruktur der Leiter-Spins beobachtet wurde. Das einfach geschichtete Manganat \textbf{LaSrMnO$_4$} ist ein zweidimensionaler Vertreter der Übergangsmetalloxide. In diesem Material gibt es starke Korrelationen zwischen dem orbitalen und dem magnetischen Freiheitsgrad, sodass die AFM-Ordnung unterhalb von $T_N\sim\vu{125}{K}$ mit einer ferro-orbitalen Ordnung der \chem{Mn^{3+}} $3d$-Orbitale einhergeht. Mithilfe der HF-ESR konnte die temperaturabhängige Mischung der $3d$-Orbitale direkt bestimmt und damit die Theorie der ferro-orbitalen Ordnung quantitativ bestätigt werden. Im AFM geordneten Zustand, unterhalb von $T_\text{stat}\sim\vu{40}{K}&lt;T_N$ wurde eine starke feldabhängige Reduktion der Mikrowellen-Transmission beobachtet, deren Frequenzabhängigkeit ein direkter Hinweis auf ferromagnetische (FM) Polaronen ist, die durch die WW von zusätzlichen Ladungsträgern mit den AFM-geordneten Grundspins entstehen. GdNi$_2$B$_2$C Die intermetallische Verbindungen der Nickelborkarbide $R\chem{Ni_2B_2C}$ ($R$ - Seltene Erdmetalle) zogen seit der Entdeckung von Supraleitung in einigen dieser Verbindungen große Aufmerksamkeit auf sich. Sie zeigen hochkomplexe magnetische Phasendiagramme mit einem Wechselspiel zwischen Supraleitung und der damit konkurrierenden AFM-Ordnung mit unterschiedlichsten Spinstrukturen. Ein Grund für diese Komplexität ist die starke magnetische Anisotropie, die durch die Aufspaltung des $J$-Multipletts der $f$-Orbitale der $R$ im Kristallfeld hervorgerufen wird. Das nicht supraleitende \chem{GdNi_2B_2C} erhielt als Modell-System viel Aufmerksamkeit, da \chem{Gd^{3+}} mit einer halbgefüllten $4f$-Schale keine magnetische Anisotropie zeigen sollte. Die vorgestellte ESR-Studie an \chem{GdNi_2B_2C} wird jedoch zeigen, dass dieser vermeintlich reine Spinmagnet eine ungewöhnlich starke magnetische Anisotropie besitzt, die sich auf die hochkomplexe Bandstruktur zurückführen lässt. Das Einbeziehen dieser Resultate in die Modellierung des Systems wird helfen, die Abweichungen zwischen Modell und Realität zu erklären. YbRh$_2$Si$_2$ In diesem schwere-Fermionen-System, indem die magnetischen Yb ($4f$) ein regelmäßiges Kondo-Gitter aufbauen, konkurrieren die EE-WW und die Ruderman-Kittel-Kasuya-Yosida-(RKKY)-WW miteinander, sodass in diesem Material durch die Veränderung eines angelegten Magnetfelds $B$ und der Temperatur $T$ der Zustand von einer AFM-Ordnung, zu einem (paramagnetischen) Schweres-Fermion- (LFL) bzw. Nicht-LFL-Verhalten (NFL) eingestellt werden kann. Unterhalb der Kondo-Temperatur führt eine starke Hybridisierung von $4f$-Elektronen mit Leitungselektronen zu einer deutlichen Verbreiterung der ansonsten atomar-scharfen $4f$-Zustände, sodass die Entwicklung einer schmalen Elektronen-Spin-Resonanz im Kondo-Zustand von \chem{YbRh_2Si_2} sehr überraschend war. Da die bisher veröffentlichten ESR-Messungen vollständig im NFL-Bereich lagen, werden in dieser Arbeit HF-ESR-Daten vorgestellt, die einen tieferen Einblick in die Physik dieser Resonanz erlauben, da sie einen $B-T$-Bereich abdecken, in dem ein Übergang zum LFL-Bereich stattfindet. Die gemessenen $B$- und $T$-Abhängigkeiten der ESR-Parameter im NFL- und im LFL-Bereich weisen darauf hin, dass das Resonanz-Phänomen in \chem{YbRh_2Si_2} als Resonanz schwerer Fermionen betrachtet werden muss
Strong electronic correlation and the resultant phenomena are object of interest in the modern solid state physics. Such correlation can be found in totally different systems from insulators and semiconductors to metals. This thesis presents HF-ESR studies of such phenomena in two low dimensional transition metal oxides and two intermetallic compounds. In ESR the electron spin is used as a local probe to measure the interaction between electrons and the magnetic properties nearby. With increasing electron-electron (EE) interaction the resonance becomes broader, so higher frequencies and higher magnetic fields as usual in commercial available ESR devices are needed to study strong EE interactions. With the used HF-ESR device with a frequency range $\nu=\vu{20-700}{GHz}$ special questions can be investigated where the excitation energies are in the order of $h\nu$ or the resonance effects in high magnetic fields can be explored. \textbf{CaCu$_2$O$_3$} have the same crystal structure as \chem{SrCu_2O_3}, a textbook example for a 2-leg spin-\textfrac{1}{2}-ladder with a nonmagnetic groundstate and a spin gap separating the excited state. Surprisingly \chem{CaCu_2O_3} shows an antiferromagnetic (afm) ground state with a relatively high transition temperature. To get a deeper insight in the unexpected afm ordering a combined magnetization and HF-ESR study was performed on a set of Zn-doped \chem{CaCu_2O_3} samples. Contrary to the Sr-compound in \chem{CaCu_2O_3} the \chem{Cu_2O_3}-ladder-layers are buckled due to a reduced rung angle. Furthermore it is a nonstoichiometric compound \chem{Ca_{1- x} Cu_{2+x}O_{3- \delta}}, with an excess of Cu in the order of $x\sim 0.16$ which is in the nonmagnetic \chem{Cu^{1+}}-state, sitting close to Ca-sites and a deficiency of oxygen $\delta\sim 0.07$. With this study one can show that (i) in the undoped compound the extra-spins, responsible for the magnetic Curie-Weiss-behavior, do not sit in the chains, they are sitting on low-symmetry interstitial sites. They recruit themselves from excess \chem{Cu^{1+}}, where the position becomes unstable close to a O-vacancy so they shift to a interstitial site and become \chem{Cu^{2+}}, (ii) the interstitial site of the extra-spins couple n.n. ladders inside a layer with a direct afm exchange path which lifts the frustration of the spin-ladders so that a afm order with such a high ordering temperature can happen and (iii) the regular interstitial site of the extra-spins explains the weak commensurate spin structure additionally found to the incommensurate spin structure of the ladder-spins in the afm ordered state The single layered manganate \textbf{LaSrMnO$_4$} is a two dimensional member of the transition metal oxides. In this compound a strong correlation between the orbital and magnetic degree of freedom can be found, so that the afm ordering below $T_N\sim\vu{125}{K}$ comes along with a ferro-orbital ordering of the \chem{Mn^{3+}} $3d$-Orbitals. With HF-ESR we have measured the temperature dependent mixing of the $3d$-orbitals and proved quantitatively the theory of ferro-orbital ordering. In the afm ordered state below $T_\text{stat}\sim\vu{40}{K}&lt;T_N$ a strong field dependent decrease of the microwave transmission was observed. The frequency dependence of this phenomena could be explained by ferromagnetic polarons resulting from the interaction of additional charge carriers with the afm ordered spins. \textbf{GdNi$_2$B$_2$C} The intermetallic borocarbides $R\chem{Ni_2B_2C}$ ($R$ - rare earth metal) attract much attention due to the mutual interaction of superconductivity and afm ordering with complex phase diagrams. One reason for this complexity is the strong magnetic anisotropy coming from the splitting of the $J$-multiplets of the $R$'s $f$-orbitals in the crystal field. The nonsuperconducting \chem{GdNi_2B_2C} was widely explored because \chem{Gd^{3+}} with a half filled $4f$-shell should show no anisotropic behavior. The HF-ESR study on this system showed, that the assumed pure spin magnet have a uncommonly strong anisotropy which could be ascribed to a highly complex band structure. Involving this new information will help to adjust the model to the reality. YbRh$_2$Si$_2$ In this heavy fermion system where the magnetic Yb ($4f$) built up a regular Kondo-lattice here is a competition between electron-electron- and the Ruderman-Kittel-Kasuya-Yosida-(RKKY) interaction. Thats why in this compound a afm ordered state, a (paramagnetic) heavy fermion (LFL) and a non-Fermi-liquid behavior can be established by changing the magnetic field $B$ and/or the temperature $T$. Below the Kondo-temperature $T^*$ a strong hybridization between the conduction electrons and the $4f$-electrons leads to a strong broadening of the otherwise atomic sharp $4f$-states. Thats why the observation of a small electron spin resonance below $T^*$ was very surprising. Because the yet published ESR-measurements are fully in the NFL-state, we performed HF-ESR measurements to study a $B-T$ area where a NFL-LFL crossover appears to get a deeper inside of the physics behind this resonance. The behavior of the measured $T$- and $B$-dependences indicate that this resonance phenomena in \chem{YbRh_2Si_2} is a resonance of heavy fermions

碩士
國立交通大學
環境工程系所
103
In the present study, an anaerobic fluidized bioreactor combined with an anaerobic fluidized membrane bioreactor (AFBR-AFMBR) was used to for treat municipal wastewater at ambient temperature. The objectives of this study were to evaluate the start-up time and the performance using zeolite as carriers and the performance of the AFBR-AFMBR. During the start-up period, the reactor system was operated in semi-continuous mode and at a hydraulic retention time (HRT) of 1 d and an organic loading rate (OLR) of 1 g/m3/d with influent chemical oxygen demand (COD) of 1000 mg COD/L (made by synthetic wastewater). The reactor system reached to steady state with a pH level of 7, COD removal efficiency higher than 90% and 1 L/d of the steady biogas production. The microorganisms were successfully attached onto the carrier. Thereafter, the reactor system was changed to continuous mode operation at 3.5 h of total HRT for treating municipal wastewater (73 to 220 mg COD/L) at ambient temperature ranged from 20 to 35oC. The reactor performance reached to 70 to 90% of COD removal, 96% of total suspended solids (TSS) removal and 0.13 L CH4/g CODremoved of specific methane production. The membrane module in AFMBR can be continuously used for 333 d at a flux of 10 LMH without chemical cleaning. Besides, the reactor system only needed 0.015 kWh/m3 of pumping energy requirement and can generate 0.0024 kWh/m3 of methane energy. The above results revealed that the AFBR-AFMBR is a high efficiency energy-saving system for treating municipal wastewater.

碩士
中國醫藥大學
中國醫學研究所
96
CD28, a T-cell transmembrane receptor, is one of key factors to activate the immune responses via the secretion of interleukin-2 from T-cell and can be considered as a possible pathway related to autoimmune diseases. In the study, a pharmaceutical screening method, AFTIR (After Flowing Through Immobilized Receptor) was applied to search blockers from herbal medicines to inhibit the immune response from CD28. The results show that Echinacea and Schisandra possess effective components to block CD28 from binding to its ligand CD80 and the bioassay indicates that the fractions of these herbs have significant immuno-suppressive responses in T-cell. Furthermore, an active compound, cynarin, from Echinacea has been identified and can downregulate CD28-dependent IL-2 expression in T-cells. With the observations above, cynarin of Echinacea and effective fraction of Schisandra can be used in the future as potential agents for curing auto- immune diseases.

碩士
中國醫藥大學
中國醫學研究所碩士班
96
The number of diabetes patients is growing fast all over the world. Previous reports showed that lowering blood glucose levels may delay the occurrence of diabetes. Western medicines in clinical treatment of diabetes use oral hypoglycemic agents include α-glucosidase inhibitors which can effectively reduce postprandial blood glucose levels. In this study, AFTIR technology via the immobilization of α-glucosidase on chip was used to find several effective herbal extracts and has been verified as an effective method via finding the epicatechin gallate from green tea. Furthermore, the results show that Taxus blocks epigallocatechin gallate and α-glucosidase with blocking ratio of 35.9% and the activity of inhibiting α-glucosidase is significant. With the observations above, Taxus can therefore be a potential agent used for curing the diabetes patients in the future.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai gizi bakso dengan bahan dasar daging itik petelur afkir. Materi penelitian terdiri dari daging itik petelur afkir, tepung tapioka, putih telur, bawang putih, bawang merah, garam, lada, monosodium glutamat, sodium tripolifosfat, dan es. Nilai gizi bakso dihitung berdasarkan angka kecukupan gizi bakso yang mengacu pada rata-rata kecukupan energi bagi penduduk Indonesia per orang per hari yaitu sebesar 2.150 kkal, protein total 60 g, lemak total 67 g, dan serat pangan 30 g dengan takaran saji 50 g dengan jumlah bakso sebanyak 5 butir. Sampel diuji dengan 3 kali ulangan. Data hasil perhitungan nilai gizi bakso dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengkonsumsi bakso daging itik petelur afkir berdasarkan angka kecukupan gizi dengan takaran saji 50 g dapat memenuhi kebutuhan harian lemak 18,21%, protein 8,84%, dan serat pangan 0,18%.