To see the other types of publications on this topic, follow the link: Bandung (Indonesia). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Journal articles on the topic 'Bandung (Indonesia). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Bandung (Indonesia). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Pasaribu, Parlindungan. "KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA." Yuriska : Jurnal Ilmiah Hukum 2, no. 2 (October 19, 2017): 46. http://dx.doi.org/10.24903/yrs.v2i2.198.

Full text
Abstract:
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan unsur utusan daerah dan merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2), Pasal 22C dan Pasal 22D, setelah mengalami perubahan. Adapun gagasan semula dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah adalah untuk menggantikan sistem perwakilan satu kamar menjadi dua kamar, namun dalam perjalanannya tidak diberikan kewenangan yang mamadai untuk menjalankan funngsi lembaga perwakilan daerah. Kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah diharapkan dapat secara optimal memperjuangkan aspirasi daerah-daerah, tetapi ternyata Undang-Undang tidak memberikan kewenangan yang mamadai kepada Dewan Perwakilan Daerah untuk mempresentasikan kepentingan daerah, yaitu fuingsi legislasi, pengawasan maupun anggaran tidak diberikan sepenuhnya , karena DPD hanya dapat mengajukan rancangan Undang-Undang yang kemudian diserahkan kepada DPR, begitu juga tentang anggaran harus menyampaikan kepada DPR agar ditindak lanjuti, sehingga DPD tidak berwenang untuk membahasnya, walaupun juga dapat menjalin hubungan dengan lembaga negara lainnya tetapi tidak seperti DPR, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keberadaan DPD tidak merupakan salah satu kamar dalam lembaga perwakilan yang dapat memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi merupakan lembaga yang berdiri sendiri, dan mempunyai fungsi berbeda dengan DPR.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Riyanto, Agus. "PENATAAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA MENUJU STRONG BICAMERALISM." Jurnal Cahaya Keadilan 4, no. 2 (October 31, 2016): 1. http://dx.doi.org/10.33884/jck.v4i2.929.

Full text
Abstract:
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga baru hasil amandemen UUD 1945. DPD dilahirkankarena mempunyai gambaran kedepannya untuk checks and balances antar lembaga-lembaga negara. Hal inibertujuan agar lembaga-lembaga negara lebih efektif dibandingkan pada masa Orde Baru. Di Indonesia,Dewan Perwakilan Rakyat biasanya disingkat dengan (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah yang sering disingkat dengan (DPD) merupakan representasi rakyat Indonesia yang memiliki fungsi legislatif, anggarandan pengawasan, agar terwujudnya negara Indonesia yang demokratis dan sejahtera. Dalamimplementasinya, meskipun merupakan lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui Pemilu, namunfungsi dan kewenangan DPD masih lemah dari pada DPR (vide Pasal 22D UUD 1945). Realitaskonstitusional seperti ini memerlukan pemikiran lebih lanjut terkait bagaimana dua lembaga ini dapatberfungsi lebih ideal dan saling melengkapi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Ruliah, Ruliah. "Penataan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem dalam Ketatanegaraan di Indonesia." Halu Oleo Law Review 2, no. 1 (June 6, 2018): 387. http://dx.doi.org/10.33561/holrev.v2i1.4197.

Full text
Abstract:
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat , Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat ketimpangan kewenangan antara DPD dan DPR. Pada Undang-Undang tersebut, DPR diberikan kewenangan untuk dapat memutuskan perundang-undangan melalui persetujuan bersama dengan presiden. Sedangkan pada Dewan Perwakilan Daerah tidak terdapat pasal pada UUD 1945 mengenai kewenangan DPD RI untuk dapat memutuskan perundang-undangan seperti halnya DPR RI melainkan hanya fungsi legislasi DPD yang sekedar memberi pertimbangan saja. Kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif dalam rangka pembentukan Undang-Undang menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah terbatas baik dilihat dari bentuk kelembagaan maupun dilihat dari lingkup kewenangannya. Oleh karena itu adanya pembatasan terhadap bentuk kewenangan dibidang legislasi tersebut, yaitu hanya terhadap mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas, dan memberikan pertimbangan, adalah jelas merupakan penyimpangan dari status dan kondisi yang dikehendaki dari pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan lembaga perwakilan. Model ideal penataan kewenangan DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang ke depan meliputi: penerapan Sistem Bikameral Efektif, Penguatan Kewenangan DPD RI melalui Interpretasi Yudisial, dan Reformasi Kewenangan Legislasi DPD.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Noviawati, Evi. "PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA." Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 7, no. 1 (March 1, 2019): 75. http://dx.doi.org/10.25157/jigj.v7i1.2139.

Full text
Abstract:
Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilihan umum (pemilu) yang merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin melalui pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung serta memilih wakil anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan melalui azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Perkembangan politik hukum pemilu dari masa ke masa mengalami pergeseran yang signifikan.Pemilu dianggap sebagai bentuk nyata dari demokrasi serta wujud paling konkret dari partisipasi masyarakat dalam ikut serta dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, sistem dan penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan yang demokratis
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Rochmawanto, Munif. "PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA MPR, DPR, DAN DPD DALAM MEWUJUDKAN SISTEM KETATANEGARAAN YANG BERKEDAULATAN RAKYAT." Jurnal Independent 2, no. 1 (June 1, 2014): 1. http://dx.doi.org/10.30736/ji.v2i1.14.

Full text
Abstract:
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen, sistem parlemen di Indonesia adalah satu kamar (monocameral), meski terdapat dua badan perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam sistem parlemen ini kekuasaan legislasi diletakkan kepada DPR bersama-sama Presiden. Seiring dengan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sistem satu kamar tersebut berubah menjadi sistem parlemen dua kamar (bicameral), yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal ini berarti bahwa kekuasaan legislasi berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).Perubahan mendasar terjadi pada Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi “Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, berubah menjadi “Kedaulatan Rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan yang sangat mendasar terhadap Pasal 1 ayat (2) telah menimbulkan reaksi keras dari Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok purnawirawan ABRI dan akademisi yang menentang rumusan itu. Mereka menilai perubahan itu telah mengubah dasar “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pennusyawaratan atau perwakilan”, dan meniadakan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Tetapi pandangan tersebut ditolak oleh sebagaian kelompok lain, bahwa eksistensi MPR tidak akan hilang tetapi berubah fungsi sebagai forum, dan bukan lagi sebagai lembaga. Karena forum, maka MPR tidak perlu lembaga, tetapi hanya merupakan sidang gabungan (joint sesion) antara DPR dan DPD, yang dirumuskan dalam pasal 2 (Rancangan perubahan Keempat). MPR mengubah diri sebagai parlemen bicameral.Keywords : Pembagian Kekuasaan, Sistem Ketatanegaraan, Berkedaulatan Rakyat
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Toro, Iswan. "REFLEKSI TERHADAP HUBUNGAN LEGISLASI: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH." Jurnal Wacana Hukum 24, no. 2 (February 9, 2019): 15. http://dx.doi.org/10.33061/1.jwh.2018.24.2.2714.

Full text
Abstract:
AbstractThe journey of the Regional Representative Council (DPD) in the constitution is considered to still not compensate for the dynamics of proliferation of legislation. The reason is that the function of the DPD with the DPR in the field of legislation has been tugging and there has been intense competition in the formation of legislation, on the one hand the existence of the DPR as an institution holding a legislative function born earlier is considered to dominate the formation of legislation. On the other hand, the existence of the DPD as a new institution that is also given a legislative function, its authority is considered to be too small when compared to the authority of the DPR in the process of establishing legislation. Even the DPD is considered to add to the problem of over regulation in Indonesian legislation. Borrowing the term Richard Susskind mentions that hyper regulations or obesity are legal and over regulation. This situation led to the implementation of the DPD's legislative function not being optimal because it tends to be half-hearted. In other words, the existence of the DPD as the holder of legislative power is still under the shadow of the DPR, so it has not been taken into account in the process of establishing legislation in Indonesia, even though it has been corrected by the Constitutional Court through Decision of the Constitutional Court Number 92/PUU-X/2012 and Decision Constitutional Court Number 15/ PUU-XIII/2015, but the decision was ignored.AbstrakPerjalanan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam ketatanegaraan dianggap masih belum mengimbangi dinamika proliferasi legislasi. Penyebabnya adalah fungsi DPD dengan DPR di bidang legislasi mengalami tarik ulur dan terjadi persaingan ketat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, di satu sisi keberadaan DPR sebagai lembaga pemegang fungsi legislasi yang lahir lebih dahulu dianggap mendominasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Sisi lain, keberadaan DPD sebagai lembaga baru yang juga diberi fungsi legislasi, kewenangannya dianggap masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan kewenangan DPR dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahkan DPD dianggap akan menambah permasalahan over regulasi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Meminjam istilah Richard Susskind menyebutkan bahwa hyper regulations atau obesitas hukum dan over rugulation. Keadaan tersebut menyebabkan pelaksanaan fungsi legislasi DPD tidak optimal karena cendrung setengah hati. Dengan kata lain, keberadaan DPD sebagai pemegang kekuasaan legislasi masih di bawah bayang-bayang DPR, sehingga belum diperhitungkan dalam proses pembentukan perundang-undangan di Indonesia, walaupun sudah diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXIII/2015, namun putusan tersebut tidak dihiraukan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Ginting, Eriko Fahri, and Dian Agung Wicaksono. "Dualisme Kewenangan Pengawasan Rancangan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Daerah." Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14, no. 3 (November 2, 2020): 403. http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2020.v14.403-418.

Full text
Abstract:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, telah memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap Perda dan rancangan Perda. Hal tersebut mengindikasikan adanya dualisme kewenangan evaluasi rancangan Perda antara Pemerintah Pusat dengan DPD. Penelitian ini berfokus menjawab pertanyaan: (a) bagaimana kewenangan pengawasan rancangan Peraturan Daerah dalam sistem hukum Indonesia? (b) bagaimana implikasi dualisme pengawasan rancangan Peraturan Daerah terhadap kepastian hukum pengawasan rancangan Peraturan Daerah dan pengaturan kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi domain pemerintahan daerah? Penelitian ini bertujuan untuk menelaah konstruksi pengawasan rancangan Perda dan implikasi dualisme pengawasan rancangan Perda antara DPD dan Pemerintah Pusat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundangan-undangan dan literatur terkait dengan pengawasan rancangan Perda, khususnya terkait evaluasi rancangan Perda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan pengawasan rancangan Perda oleh DPD secara normatif telah memperluas lingkup rancangan Perda yang dapat dievaluasi, dengan beberapa catatan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Alfath, Tahegga Primananda. "Kajian Dukungan Keahlian dan Staff Ahli di Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia." E-JURNAL THE SPIRIT OF LAW 2, no. 2 (September 12, 2016): 49–64. http://dx.doi.org/10.33121/tsl.v2i2.474.

Full text
Abstract:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Pewmusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) menjadi babak baru dalam perkembangan Hukum Tata Negara di Indonesia, khususnya terhadap format kelembagaanya. Penguatan kewenangan DPD memiliki tantangan tersendiri dalam kondisi internalnya dalam hal ini adalah sumber daya manusianya (dukungan keahlian dan staff ahli). Jika kewenangan yang dimiliki DPD tidak dibarengi dengan kapabilitas DPD dalam menjalankan tugas dan fungsi, maka sekuat apapun kewenangan yang dimiliki DPD akan menjadi hal yang percuma. Peningkatan kapabilitas DPD dalam menjalankan tugas dan fungsinya menjadi sebuah wacana yang urgen untuk diteliti dan dikeluarkan solusi atas hal tersebut. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis-empiris, dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), kemudian diteruskan dengan menemukan masalah (problem-finding), kemudian mengidentifikasi masalah (problem-identification), dan kemudian mencari penyelesaian dari masalah (problem-solution). Maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis. Teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif, yaitu memberikan pemaparan peran dan fungsi DPD RI, kemudian kondisi kekinian anggota DPD RI dalam menjalankan peran dan fungsinya kemudian dianalisis dan dicari sebuah kesimpulan. Kata Kunci: Kewenangan, Prinsip Check and Balances, Tugas dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Subiyanto, Achmad Edi. "Pemilihan Umum Serentak yang Berintegritas sebagai Pembaruan Demokrasi Indonesia." Jurnal Konstitusi 17, no. 2 (August 19, 2020): 355. http://dx.doi.org/10.31078/jk1726.

Full text
Abstract:
Pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden setelah Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Pemilihan Umum diselenggarakan secara serentak. Namun demikian terdapat kelemahan dalam penyusunan kebijakan pelaksanaan Pemilihan Umum serentak. Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya diikuti oleh proses penyusunan kebijakan berbasis bukti dengan data yang kuat dan berdasarkan simulasi terhadap penyelenggaraan. Dengan demikian, beban penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat diidentifikasi sejak awal dan langkah-langkah untuk meminimalisasi resiko dapat dipikirkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian yang tidak kalah penting adalah perlu dievaluasi mengenai persoalan integritas penyelenggara atau peserta Pemilihan Umum, misalnya dengan memperketat sistem rekrutmen, sehingga dapat mewujudkan Pemilihan Umum serentak yang berintegritas di masa yang akan datang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Rudiansyah, Bambang. "MEMAKSIMALKAN FUNGSI LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM BICAMERAL DI INDONESIA." SOSIOHUMANITAS 21, no. 1 (August 20, 2019): 22–26. http://dx.doi.org/10.36555/sosiohumanitas.v21i1.993.

Full text
Abstract:
Bicameral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambar praktik pemerintahan legeslatif terdiri dari dua kamar. Di Indonesia sistem bicameral diwujudkan dengan membentuk lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga wakil rakyat (legislatif). Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan suatu gambaran tentang bagaimana memaksimalkan fungsi legislasi DPD yang masih dirasa lemah perannya dalam sistem bicameral di Indonesia. Kajian yang digunakan adalah kajian literatur yang menghasilkan suatu gagasan berpikir. Gagasan yang dihasilkan adalah gagasan berdasarkan kajian literatur atau menghimpun gagasan-gagasan berdasarkan literatur yang ada. Adapun gagasan mengenai memaksimalkan fungsi legislasi ialah kesatuan anggota DPD dalam melaksanakan fungsinya, meningkatkan kinerja anggota DPD dalam fungsi legislasi, komunikasi (lobi-lobi politik). Gagasan tersebut juga harus didukung oleh suatu kebijakan dan kultur politik yang mengedepankan kesejetraan rakyat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Muin, Fathul Muin. "DPD RI DALAM DIMENSI KELEMBAGAAN DAN KEWENANGAN." Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (April 12, 2021): 1. http://dx.doi.org/10.24269/ls.v5i2.3680.

Full text
Abstract:
Dalam perkembangan ketatanegaraan pasca amandemen terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945, melahirkan lembaga-lembaga yang baru sebagai amanat dari konstitusi. Keberadaan DPD RI dalam pasal 22C UUD NRI 1945 merupakan bagain dari kelembagaan parlemen di Indonesia, tetapi Pasal 22D Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa hasil pengawasan DPD RI menjadi bahan pertimbangan DPR RI. Hal ini yang menjadi ketidakseimbangan kedudukan lembaga Negara di parlemen Indonesia. selain itu penafsiran terhadap pengawasan yang dimiliki DPD hanya terbatas memberikan pertimbangan. Sehingga pasal 249 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daera hdalam rangka pengawasan perda oleh DPD RI hanya sebatas dalam bentuk rekomendasi. Sehingga kewenangan yang di miliki oleh DPD RI menjadi sub kewenangan DPR RI.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Isanto, Alfian Pradana, Achmad Teguh Wibowo, and Mohammad Khusnu Milad. "Perancangan Sistem Informasi Monitoring Tim Sukses untuk Strategi Pemenangan Caleg Menggunakan Framework ITIL Versi 3." Techno.Com 19, no. 1 (February 27, 2020): 34–44. http://dx.doi.org/10.33633/tc.v19i1.2758.

Full text
Abstract:
Pemilihan Umum (pemilu) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peran tim sukses pada pemilu sangat penting karena dapat mendukung elektabilitas pada partai atau calegnya. Pada kenyataan dilapangan seringkali tim sukses tidak melaksanakan tugasnya dan proses pelaporan tugas yang tidak didukung data yang valid menjadikan dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung pada partai atau caleg. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat analisis perancangan sistem informasi monitoring tim sukses untuk strategi pemenangan caleg menggunakan framework ITIL versi 3. Analisis perancangan yang dilakukan menggunakan proses Event Management, didapatkan hasil yaitu sistem informasi monitoring berbasis web dengan dukungan koordinat yang membantu proses monitoring data dan menunjang validitas data. . Penggunaan sistem informasi monitoring dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran pada partai/caleg terkait baik secara langsung maupun tidak langsung.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Widiandono, Erwin. "PERANAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BLITAR DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH." Jurnal Supremasi 6, no. 1 (April 22, 2018): 1. http://dx.doi.org/10.35457/supremasi.v6i1.382.

Full text
Abstract:
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan salah satu sumber hukum pidana positif, oleh karena UU tersebut merumuskan Bab Ketentuan Pidana mulai Pasal 75 sampai dengan Pasal 79. Berdasarkan ketentuan pidana tersebut akan dapat diindetifikasi perbuatan-perbuatan apa saja yang merupakan tindak pidana penanggulangan bencana. Lebih lanjut, apabila ada yang melakukan perbuatan yang dilarang itu maka aparat peradilan pidana (polisi, jaksa, hakim, dan pemasyarakatan) akan melakukan penindakan dan penjatuhan pidana. Dengan demikian, UU No. 24 Tahun 2007 telah melakukan kriminalisai terhadap beberapa perbuatan yang terkait dengan masalah kebencanaan. Namun, sekalipun telah diundangkan bukan berarti persoalan telah selesai. Kebijakan kriminalisasi dalam UU No. 24 tahun 2007 tetap harus dianalisis guna mengantisipasi perbuatan-perbuatan kriminal sehubungan dengan penanggulangan bencana di Indonesia. Kajian yang dapat digunakan dalam rangka menganalisis kebijakan kriminalisasi dalam UU No. 24 tahun2007 adalah kajian politik hukum pidana.Kata kunci: Ketentuan Pidana, Kriminalisasi, Tindak Pidana PenanggulanganBencana, Politik Hukum Pidana.Pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah disertai dengan pemberian kekuasaan yang lebih besar bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) dalam menjalankan fungsi Legislasi, namun diharapkan dengan Otonomi Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mampu meningkatkan peran pembuatan peraturan daerah yang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat di daerah. Transisi di tingkat daerah seharusnya diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui penyusunan Peraturan Daerah yang berorientasi terutama untuk melakukan perubahan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel dan partisipatif serta melindungi potensi dan kearifan lokal (Local Wisdom) yang ada didaerahnya. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Blitar lebih banyak berasal dari eksekutif daripada legislatif, hal ini menunjukkan bahwa pergeseran tersebut belum dibarengi dengan peningkatan baik kualitas maupun kuantitas peraturan daerah dari inisiatif DPRD.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Anwar, Rully Khairul, and Diah Fatma Sjoraida,. "DIMENSI SOSIAL DALAM PELAYANAN ASPIRASI MASYARAKAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT." TEMALI : Jurnal Pembangunan Sosial 1, no. 1 (June 28, 2018): 21–32. http://dx.doi.org/10.15575/jt.v1i1.2376.

Full text
Abstract:
Penelitian ini membahas kinerja dewan perwakilan rakyat daerah dalam melayani penyaluran aspirasi masyarakat di Jawa Barat, Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan setting alamiah di mana ada banyak perilaku dan peristiwa yang terjadi. Penelitian ini juga menggali struktur, regulasi dan prosedur kelembagaan yang bisa memiliki dampak yang signifikan pada penyaluran aspirasi oleh masyarakat. Studi ini menemukan bahwa dalam rangka untuk melaksanakan fungsi mereka sebagai wakil-wakil terpilih, para anggota dewan provinsi selalu menyediakan diri mereka untuk melayani masyarakat. Dari segi dimensi sosial, semua layanan dilakukan dalam banyak cara yang merepresentasikan rakyat itu sendiri. Meski begitu, sebagian orang masih meragukan signifikansi cara-cara tersebut bagi perkembangan kondisi demokratis. Karena ketika di kantor DPRD, pihak penyalur suara rakyat hanya berhadapan dengan pihak secretariat DPRD, terutama bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Trijono, Rachmat. "DEMOKRASI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945 DALAM PERSPEKTIF LEGISLASI." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no. 3 (December 31, 2013): 343. http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v2i3.64.

Full text
Abstract:
Indikator mengkualifikasikan praktek demokrasi Indonesia adalah fungsi lembaga perwakilan rakyat yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Semakin lembaga perwakilan rakyat tersebut berfungsi, maka Indonesia semakin demokratis. Persoalan yang diteliti dan dijawab adalah bagaimana demokrasi Indonesia pasca amandemen dalam perspektif pembentukan undang-undang. Penelitian ini mempergunakan metode penelitian normatif, yang bersifat deskriptif, dengan menggunakan bahan pustaka yang berupa data sekunder sebagai sumber utamanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia pada masa pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 belum dapat dikatakan sebagai negara yang demokratis. Untuk itu ke depan diharapkan dengan amandemen kelima UUD NRI Tahun 1945, Indonesia akan lebih demokratis.<p>Indicator to qualify the practice of Indonesia democracy is the function of the parliament that is House of Representative (DPR) and Local Representative (DPD). The more function of parliament, so the more democratic in Indonesia. The problem which are researched and answered is how democracy in Indonesia after the amendment in the law making perspective. This research is used in normative research method, descriptive, by using library materials in the form of secondary data as the main source. The results of the research showed that Indonesia in the period after constitution (UUD NRI 1945) amendment cannot be said to be a democratic state. For the future it is expected by the fifth constitution amendment, Indonesia will be more democratic.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Warjiati, Sri. "Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945." al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 2, no. 2 (October 1, 2012): 185–207. http://dx.doi.org/10.15642/ad.2012.2.2.185-207.

Full text
Abstract:
Abstract: The article discuss the changes of indonesian political system in indonesia after the amendment of Indonesian Constitution of 1945 with the focus of the amendments of legislative, eecutive and judicative bodies. Legislative amendments is located in the emergence of a new body called DPD (Dewan Perwakilan Daerah of Regional Representative Assembly) as a part of MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat or People’s Consulatation Assembly) alongside DPR (Dewan Perwakilan Rakyat or House of Representative). Such amendment is basically a modifictaion of bicameral system as that of the United States’ political system. Executive body amendments lies on direct election of president, limitation of presidential tenure up to two tenures of five years, and likeliness of presidential impeachment in case of breaking law and constitution. Amendment on judicative body is obviously apparent in the creation of Constitutional Court alongside the Supreme Court and Judicial comission which is in charge of safeguarding the judgeship profession.Kata Kunci: Amandemen, UUD, dan System Ketatanegaraan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Hardjaloka, Loura. "STUDI DINAMIKA MEKANISME PILKADA DI INDONESIA DAN PERBANDINGAN MEKANISME PILKADA NEGARA LAINNYA." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 4, no. 1 (April 30, 2015): 59. http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v4i1.48.

Full text
Abstract:
Frasa ” dipilih secara demokratis ” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 selalu ditafsirkan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat. Untuk memahami tafsiran sesungguhnya, tulisan ini akan membahas mengenai tafsiran ketentuan tersebut terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah, disamping itu akan dibahas pula dinamika pemilihan kepala daerah (termasuk di daerah istimewa) di Indonesia dari masa ke masa, dan perbandingan sistem pemilihan kepala daerah di negara lainnya. Melalui penelitian yuridis normatif, diketahui bahwa secara konstitusional makna frasa tersebut dapat diartikan dalam bentuk pemilihan langsung dan pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah di Negara lain pada dasarnya juga pernah diterapkan di Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan kisruh yang terjadi beberapa lalu terkait pemilihan kepala daerah di Indonesia melalui pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memunculkan isyarat bahwa rakyat lebih puas dengan pemilihan langsung. Sebaliknya di daerah istimewa Yogyakarta, rakyat lebih puas untuk tetap menetapkan turunan Sultan yang menjadi pemimpin mereka. Dengan demikian, alangkah baiknya pemerintah memperhatikan aspirasi rakyat sebelum mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah untuk meminimalisir terjadinya kisruh.<p>The phrase ”shall be elected democratically” in Article 18 paragraph (4) of the 1945 Constitution of Indonesia is always interpreted that regional leaders shall be elected directly by the people. According to that, this paper will discuss the provisions interpretation about election system for regional leaders, the dynamic system in the local election for regional leaders (including in special regions) in Indonesia, and comparison with other countries. Through normative juridical research, the constitutional meaning of the phrase can be interpreted both as direct election and election by the Local Council. The local election for regional leaders in other countries basically has been applied in Indonesia. However, based on the protest that occurred related to the election by the Local Council gave us a sign that people prefer direct election. Unlike in Yogyakarta, as a special region in Indonesia, the Yogya’s people prefer to be led by Sultan’s descendant. Thus, in the future, government should understand people’s will before changing the election system for regional leaders to minimize conflicts.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Nurita, Cut, and Muhammad Ridwan Lubis. "TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIANNYA BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM WILAYAH SUMATERA UTARA." Jurnal Ilmiah METADATA 1, no. 2 (August 13, 2020): 17–40. http://dx.doi.org/10.47652/metadata.v1i2.2.

Full text
Abstract:
Dengan diaturnya masalah tindak pidana Pemilihan Umum baik dalam KUH. Pidana maupun dalam UU No. 8 Tahun 2012 menunjukkan bahwa Pemilihan Umum itu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Juga disadari, bahwa yang yang sangat penting adalah jika Pemilihan Umum tersebut bebas dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Berdasarkan pembahasan maka ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemilu dalam KUHP adalah apabila melakukan ancaman kekerasan, merintangi seseorang melakukan hak pilihnya, melakukan penyuapan terhadap seseorang dengan maksud agar tidak menjalankan hak pilihnya, melakukan penipuan yang menyebabkan hak pilih seseorang menjadi tidak berharga, melakukan pemalsuan identitas dan melakukan penipuan yang menyebabkan hasil pemungutan suara menjadi lain seolah-olah suara-suara yang diberikan sah. Pertanggungjawaban dan penyelesaian tindak pidana kampanye di luar prosedur dalam UU No. 8 Tahun 2012 dan mekanisme penyelesaian dalam UU No. 8 Tahun 2012 yang dilakukan Yenny Pardede dan Ety Mulyati dinyatakan telah melakukan tindak pidana melanggar perkara kampanye Pemilu Pasal 270 dan Pasal 274 sebagaimana diatur dalam Pasal 137 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Hidayatullah, M. Syarif. "Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Kasus Pada Pemilihan Umum Serentak Nasional Tahun 2019)." Jurist-Diction 3, no. 3 (April 13, 2020): 1067. http://dx.doi.org/10.20473/jd.v3i3.18638.

Full text
Abstract:
Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan sehingga menimbulkan konsekuensi adanya pembagian kekuaasaan dari pusat ke daerah. Setiap daerah akan memiliki pemerintahan daerah sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) marupakan salah satu unsur pemerintahan daerah bersama-sama dengan kepala daerah. Pada gelaran pemilihan umum serentak nasional tahun 2019, DPRD merupakan salah satu kontestan. Keikutsertaan DPRD patut dipertanyakan jika melihat kedudukan DPRD yang sejatinya bagian dari unsur pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, menjadi menarik apabila menjelaskan kedudukan sejatinya DPRD dalam pemerintahan di Indonesia dengan keterkaitan DPRD dalam kontestasi pemilihan umum serentak nasional tahun 2019 serta menjelaskan alternatif model pemilu DPRD yang sesuai dengan bentuk negara.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Puspa Rani, Nabella. "PENGARUH DEMOKRASI TERHADAP PERUBAHAN MEKANISME PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)." Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan 13, no. 2 (February 23, 2016): 28. http://dx.doi.org/10.35967/jipn.v13i2.3226.

Full text
Abstract:
The hallmark of a state of democracy is the implementation of the general election.The system was based on the implementation of the elections of the form ofdemocracy there , either directly or indirectly (representatives) .The state of theunity of the republic of indonesia as an archipelago is one of the state an adherentof the popular sovereignty, namely democracy pancasila .So that all the activitiesof the state and government shall not contravene with the values of philosophypancasila and still consider the constitution state that is the Undang Undang Dasar1945.Keywords: Democracy, Local Election, Pancasila
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Triningsih, Anna. "POLITIK HUKUM KEWENANGAN KONSTITUSIONAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PROSES LEGISLASI PASCA PUTUSAN MK NOMOR 92/PUU-X/2012." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 4, no. 3 (December 31, 2015): 365. http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v4i3.11.

Full text
Abstract:
<p>Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai memiliki problem substantif/materil akibat materi muatannya bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meliputi dikuranginya kewenangan DPD untuk dapat mengajukan (Rancangan Undang-Undang) RUU, dikuranginya kewenangan DPD untuk membahas RUU dan dikuranginya kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan UU MD3 nyata-nyata tidak menghormati putusan MK yang diberi mandat UUD NRI 1945 sebagai lembaga penafsir dan penjaga konstitusi, dengan tidak menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan MK ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan lembaga negara yang telah ditunjuk konstitusi untuk mengawal kemurnian pelaksanaan konstitusi. Penelitian ini menggunakan metode normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan konsep ( conceptual approach ), dan pendekatan historis ( historical approach ). Ketidaktaatan penyusunan UU MD3 pada putusan MK merupakan pengingkaran UUD NRI 1945 dan perkembangan ini merupakan langkah mundur reformasi. Pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden harus segera melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan berpijak pada rambu-rambu konstitusional Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.</p><p>Law Number 17 Year 2014 on the People’s Consultative Assembly, House of Representatives, Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives (MD3 Law) after the decision of the Constitutional Court (MK) is considered to have a substantive problem due to the substance that is contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (the 1945 Constitution), which resulted in the constitutional loss of Regional Representatives Council (DPD), including the reduction of DPD authority to propose draft bills, to discuss draft bills and the reduction in its authority as the regional representative institution. This shows that the drafting of MD3 Law is obviously not respecting the decision of the Court that is mandated by the 1945 Constitution as the interpreter and guardian institution of the constitutional, by not respecting, obeying and implementing MK’s decision which indicates non-compliance with the decision of the state institution that has been designated to guard the purity of the constitution implementation of the constitution. This study uses normative method with statute approach, conceptual approach and a historical approach. The noncompliance of the drafting of MD3 Law towards the MK’s decision is a denial of MK and this development is a step back of Reformation. The legislators, in this case, the House of Representatives (DPR) and the President should immediately amend the Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of Laws and Regulations based on the MK’s Decision No. 92/PUU-X/2012. </p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Ansori, Mhd. "Pelaksanaan Hak Mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan Hak Imunitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah." Wajah Hukum 3, no. 2 (October 19, 2019): 148. http://dx.doi.org/10.33087/wjh.v3i2.61.

Full text
Abstract:
There are several opinions regarding the function of the Regional People Representative Assembly, according to Jimly Asshiddiqie "the function of legislation or regulation in its concrete form is manifested in the function of forming regulations that bind citizens" and Bagir Manan said "the budget function is the right to participate in setting regional annual budgets". In practice, in formulating legislation including the formulation and formulation of regional regulations, Regional People Representative Assembly often has difficulties in generating initiatives to draft Regional Regulations that will become a policy in the administration of government and development. According to Bagir Manan in his book explaining the right of immunity namely the immunity rights of a member of the House of Representatives from certain legal processes, unless the immunity is dated or abandoned. To analyze how the application of the concept of the implementation of rights proposes a draft regional regulation and immunity rights for members of the Regional Representatives Council in Indonesia. the type of research used is normative juridical research, namely research focused on examining the application of rules or norms in positive law. This research uses "conceptual approaches, legislative approaches, and historical approaches".
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Renaldi, Faiza, Alfin Dhuhawan Bagja, and Gunawan Abdillah. "Determining and Clustering Potential Legislative Candidate in West Java District Using K-Nearest Neighbors Algorithm." KnE Social Sciences 2, no. 4 (June 13, 2017): 35. http://dx.doi.org/10.18502/kss.v2i4.865.

Full text
Abstract:
Indonesia held its first general election in 1955 to elect legislatures from all provinces. The latest was held in 2014, which elected 560 members to the People's Representative Council (Dewan Perwakilan Rakyat, DPR) and 128 to the Regional Representative Council (Dewan Perwakilan Daerah, DPD). The PRC was elected by proportional representation from multi-candidate constituencies/districts. Currently, there are 77 constituencies in Indonesia, each of which returns 3-10 Members of Parliament based on population. Under Indonesia's new multi-party system, no party has been able to secure an outright victory; hence, selecting the right candidate for the right constituencies has been a major effort for all participating parties. Many combinations have been tried; popularities, intelligence, public figures, ‘putera daerah’ are all variables that can only show a fraction of winning pattern where no general conclusion can be drawn. This research used data mining techniques to create an unfound pattern, and to suggest which particular legislative candidate is most suitable for which constituency. Using 11 West Java constituencies (11 clusters), K-Nearest Neighbors (K-NN) algorithms, we found out that an 83.33% accuracy using data from 2014 general election.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Chairiyah, Sri Zul. "Peran Perempuan dalam Mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah dalam rangka menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN di Kota Tangerang Selatan." Jurnal Inada: Kajian Perempuan Indonesia di Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar 2, no. 2 (February 1, 2020): 158–84. http://dx.doi.org/10.33541/ji.v2i2.1365.

Full text
Abstract:
Abstrak: Rendahnya angka keterpilihan perempuan di lembaga Legislatif di Indonesia masih menjadi kajian menarik oleh beberapa kelompok sampai sekarang, sebut saja diantaranya yaitu kelompok pegiat gender. Salah satu lembaga legislatif di Indonesia yang memiliki masalah dengan angka rendahnya keterpilihan perempuan adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat. Sejak hadirnya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam pasal 65 UU nomor 12 tahun 2003 yaitu tentang penetapan kuota 30% keterwakilan politik perempuan di legislatif sebagai affirmative action dalam pemilu 2004 sampai sekarang, faktanya kebijakan tersebut masih belum mampu meningkatkan jumlah keterpilihan perempuan di lembaga legislatif. Selama 3 periode pemilu, jumlah laki-laki masih diatas jumlah perempuan. Bahkan angka kritis 30% untuk perempuan di lembaga legislatif pun tidak tercapai. Sejauh ini, angka maksimal keterpilihan perempuan yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat hanya berjumlah 7 orang dari total keseluruhan sebanyak 65 orang. Tentunya, affirmative action perlu mengalami perbaikan lagi, sampai akhirnya kebijakan itu dapat menjadi solusi terhadap krisis perempuan dalam politik. Dari berbagai faktor penyebab tidak tercapainya tujuan peningkatan perempuan di lembaga legislatif, sepertinya butuh pembedahan kasus yang lebih mendalam lagi. Gunanya agar kebijakan yang dihasilkan lebih tepat sasaran, efektif dan efisien. Sedangkan manfaat akhirnya adalah dapat menjadi masukan untuk pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan affirmative action yang sukses meningkatkan angka perempuan di lembaga legislatif di Indonesia pada umumnya dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat khususnya. Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif dengan teknik komparatif. Adapun beberapa konsep dan teori yang dipergunakan yaitu konsep affirmative action, teori keterwakilan politik perempuan, dan konsep bias gender. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala masih rendahnya keterwakilan politik perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat disebabkan oleh faktor keuangan yang dimiliki calon, stereotype, gender, budaya patriarki dan lemahnya kemampuan caleg perempuan dalam politik serta modal komunikasi yang belum baik. Ada tiga hal untuk membuat kesuksesan terhadap kebijakan affirmative action yaitu pertama perbaikan dari aspek peraturan, kedua, perbaikan dari aspek perempuan calon dan ketiga adalah perbaikan dari pola pemikiran masyarakat.Kata kunci: Perkembangan Keterwakilan Politik Perempuan, Studi Komparatif, Affirmative Action, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera BaratAbstract: The low number of women elected at legislative institutions in Indonesia is still an interesting study by several groups until now, including the gender activist group. One of the legislative institutions in Indonesia that has problems with the low number of women being elected is the Regional Representative Council of the Province of West Sumatra. Since the introduction of a special temporary government policy for women/affirmative action (2004 elections) until now, the fact is that the policy has not been able to increase the number of women elected in the legislature. During the 3 election periods, the number of men was still above the number of women. Even the 30% critical figure for women in the legislature was not reached. So far, the maximum number of women elected in the Regional Representative Council of West Sumatra Province is only 7 people out of a total of 65 people. Of course, affirmative action needs to be improved again, until finally the policy can be a solution to the crisis of women in politics. Of the various factors that have not achieved the goal of increasing women in the legislature, it seems that more in-depth cases are needed. The point is that the resulting policies are more targeted, effective and efficient. While the final benefit is that it can be input for the government in the process of making a successful affirmative action policy that increases the number of women in the legislative body in Indonesia in general and the Regional Representative Council of West Sumatra Province in particular. This study uses qualitative methods with comparative techniques. Some of the concepts and theories used are the concept of affirmative action, the theory of women's political representation, and the concept of gender bias. The results showed that the constraints of the low political representation of women in the Regional Representatives Council of West Sumatra Province were caused by financial factors owned by candidates, stereotypes, gender, patriarchal culture and the weak ability of female candidates in politics and lack of communication capital. There are three things to make a success of the affirmative action policy, namely the first improvement from the aspect of regulation, second, the improvement from the aspect of a prospective woman and third is the improvement of the community's mindset.Key words: Women Political Representation, Comparative Study, Affirmative Action, Regional Representative Council of the Province of West Sumatra
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Pardede, Marulak. "IMPLIKASI SISTEM PEMILIHAN UMUM INDONESIA." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 3, no. 1 (April 30, 2014): 85. http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v3i1.58.

Full text
Abstract:
Dasar hukum pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang diatur dalam undang-undang, sejak bergulirnya era reformasi sampai saat ini selalu mengalami perubahan. Setiap perubahan undang-undang pemilu selalu dilakukan sebelum penyelenggaraan pemilu dengan alasan sebagai hasil evaluasi penyelenggaraan pemilu pada periode sebelumnya. Perubahan undang-undang pemilu juga selalu dilakukan satu paket perubahan dengan undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang partai politik, paket perubahan undang-undang ini juga biasa disebut paket perubahan undang- undang politik. Kelemahan pada legislasi dan regulasi menyebabkan sejumlah ketentuan yang memunculkan penafsiran berbeda dalam pelaksanaannya. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas menjadi terbuka penuh, menunjukan regulasi penyelenggaraan pemilu yang belum sempurna. Melalui pelaksanaan pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden/Wakil Presiden tahun 2014 ini, diharapkan dapat menjadi tumpuan perubahan untuk menjadi lebih baik. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimanakah pelaksanaan sistem pemilihan umum di Indonesia; serta bagaimana dampak pelaksanaan sistem pemilihan langsung di Indonesia. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan analisis data kualitatif disimpulkan bahwa dampak dari sistem pemilihan langsung di Indonesia telah melahirkan tindak pidana korupsi dan politisi korup. Oleh karenanya dimasa mendatang sistem pemilihan umum ini perlu ditinjau ulang.<p>The legal basis for the implementation of election in Indonesia, as outlined in the Law, since the reform era until now, always changing. Any changes to the election law, always made before the election for next period run. And changes in election law justified as evaluation for the election results in the previous period. Changes in election law also always carried as a package of changes to electoral administration law and the law of political parties, commonly this package of changes also called the package of changes in political law. Weaknesses in legislation and regulation led to a number of provisions which is rise different interpretations in its implementation. The Constitutional Court (MK) verdict that cancelled limited open proportional election system to be fully open, shows that election regulations are rudimentary. Through this parliament, the House of Representatives and the President / Vice President election in 2014, we’re expect to become the foundation of change for the better election system. The problems need to research are: How does setting of legal basis for the implementation of election s in Indonesia? How does evaluation of election systems in Indonesia? How the implication of implementation election system directly in Indonesia? Using normative juridical method with descriptive type and method of qualitative data analysis can be described the negative impact of election system directly in Indonesia has causing corruption action and corrupt politicians. Therefore, in the future, this election system need to be reviewed.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Yuherman, Arief RahmanTanjung. "ANALISA YURIDIS TERHADAP KEPUTUSAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA TERKAIT DENGAN HUBUNGAN PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan No. 19/PID.SUS.TPK/2015/PN.Bdg)." SUPREMASI Jurnal Hukum 2, no. 1 (April 20, 2019): 22–33. http://dx.doi.org/10.36441/supremasi.v2i1.108.

Full text
Abstract:
Peraturan hukum di Indonesia dilaksanakan menurut asas legalitas yang merupakan salah satu prinsip utama yang menjadi dasar dalam penyelengaraan pemerintah dan kenegaraan yang berbasis hukum. Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun dalam pelaksanaannya tidak tertutup kemungkinan Pemerintah daerah yang melakukan pelanggaran dalam membuat keputusan yang terjadi dalam kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, yang terindikasi dalam pelanggaran tindak pidana. Bahkan pelanggaran tersebut dapat terindikasi sebagai tindak pidana korupsi. Rumusanmasalahpenelitian 1. Mengapa Pertimbangan Hakim dalam putusan membebaskan terdakwa dalam perkara Nomor 19/pid.sus.TPK/2015/PN.Bdg ? 2. Apakah sebagai pejabat tata usaha yang diberi wewenang namun tidak menjalankan kewenangan tersebut dengan semestinya tidak menjadi unsur penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi ? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan inventarisasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Pratidina, Ayudia, and Tomy Michael. "UJI MATERI PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 20 TAHUN 2018 OLEH MAHKAMAH AGUNG." Mimbar Keadilan 12, no. 1 (February 1, 2019): 35. http://dx.doi.org/10.30996/mk.v12i1.2165.

Full text
Abstract:
Pemilihan Umum di Indonesia akan diadakan pada tahun 2019. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, Dewan Perwakilan RakyatDaerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Karena dianggap melanggar hirarki peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi sehingga beberapa pasal dari peraturan tersebut dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung. Di negara Republik Indonesia, salah satu kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan UUD RI 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara RI maka wewenang Mahkamah Agung adalah untuk menguji dan mengadili uji materi pada tingkat pertama dan terakhir. Setelah memeriksa dan mengadili uji materi tersebut maka Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang dituangkan di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 46P/HUM/2018 di mana putusannya bersifat final. Keputusan tersebut adalah bahwa pasal-pasal di dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Dan DPRD Daerah Kabupaten/Kota yang diujimaterikan tidaklah berkekuatan hukum dan tidaklah dapat diberlakukan secara umum. Kendala terbatasnya waktu untuk mengadili dan menguji materi yang dihadapi oleh Mahkamah Agung karena Pasal 55 UU RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK dapat diatasi melalui surat pemberitahuan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 24/HK.06/9/2018, tanggal 12 September 2018 kepada Mahkamah Agung bahwa penundaan pemeriksaan tidak perlu dipertahankan dan pemeriksaan uji materi dapat dilanjutkan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Lapau, Buchari. "Diharapkan Dewan Perwakilan Rakyat Berperan Sebagai Inisiator Memberdayakan Pelayanan Kesehatan Primer Untuk Kesejahteraan Masyarakat." Jurnal Kesehatan Komunitas 2, no. 3 (November 1, 2013): 108–12. http://dx.doi.org/10.25311/jkk.vol2.iss3.55.

Full text
Abstract:
Di Indonesia masalah kesehatan masih tinggi, yang perlu diatasi dengan Pelayanan Kesehatan Primer (PKP) yang efektif, efesien dan bermutu. Departemen kesehatan telah menetapkan pelaksanaan MDG (millenium development goals) yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan makalah ini membahas bagaimana seharusnya dapat menciptakan pelayanan kesehatan primer termasuk pencapaian MDG yang efektif, efisien dan bermutu. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan tinjauan kepustakaan tentang upaya kesehatan, MDG, pengambilan keputusan berdasarkan bukti, pembiayaan kesehatan, desentralisasi pelayanan kesehatan, dan pendidikan tinggi kesehatan masyarakat. Di samping itu dibahas kaitan peranan DPR dengan masalah yang ditemukan. Disimpulkan bahwa pemerintah seakan-akan hanya mementingkan pencapaian MDG dari pada pelayanan kesehatan primer, pengambilan keputusan berdasarkan bukti belum berjalan, alokasi pembiayaan untuk pelayanan kesehatan primer yang bersifat preventif dan promotif jauh lebih kurang daripada pelayanan kesehatan kuratif, dalam desentralisasi pelayanan kesehatan penguasa di daerah cenderung mengangkat pejabat kesehatan yang tidak selalu berasal dari lulusan pendidikan kesehatan, dan lulusan pendidikan kesehatan masyarakat belum mampu mengelola pelayanan kesehatan yang menghasilkan informasi dan bukti untuk pengambilan keputusan. DPR belum menggunakan peranannya sebagai pembuat undang-undang dan pengawasan untuk mengatasi masalah tersebut. Disarankan supaya dibuat rencana strategis pelayanan kesehatan primer untuk mencapai tujuannya termasuk MDG bidang kesehatan untuk mengahasilkan informasi dan bukti dalam rangka menciptakan pelayanan yang efektif dan efesien dan bermutu; secara bertahap memprioritaskan pelayanan kesehatan preventif dan promotif dari pada kuratif; penguasa daerah supaya selalu mengangkat pejabat kesehatan dari lulusan pendidikan kesehatan; merencanakan dan menerapkan kurikulum yang mengarah kepada pelayanan berdasar bukti untuk pendidikan kesehatan masyarakat. DPR RI seharusnya berinisiatif sesuai dengan fungsinya supaya saran-saran tersebut diatas dapat direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Lapau, Buchari. "Diharapkan Dewan Perwakilan Rakyat Berperan Sebagai Inisiator Memberdayakan Pelayanan Kesehatan Primer Untuk Kesejahteraan Masyarakat." Jurnal Kesehatan Komunitas 2, no. 3 (November 1, 2013): 108–12. http://dx.doi.org/10.25311/keskom.vol2.iss3.55.

Full text
Abstract:
Di Indonesia masalah kesehatan masih tinggi, yang perlu diatasi dengan Pelayanan Kesehatan Primer (PKP) yang efektif, efesien dan bermutu. Departemen kesehatan telah menetapkan pelaksanaan MDG (millenium development goals) yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan makalah ini membahas bagaimana seharusnya dapat menciptakan pelayanan kesehatan primer termasuk pencapaian MDG yang efektif, efisien dan bermutu. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan tinjauan kepustakaan tentang upaya kesehatan, MDG, pengambilan keputusan berdasarkan bukti, pembiayaan kesehatan, desentralisasi pelayanan kesehatan, dan pendidikan tinggi kesehatan masyarakat. Di samping itu dibahas kaitan peranan DPR dengan masalah yang ditemukan. Disimpulkan bahwa pemerintah seakan-akan hanya mementingkan pencapaian MDG dari pada pelayanan kesehatan primer, pengambilan keputusan berdasarkan bukti belum berjalan, alokasi pembiayaan untuk pelayanan kesehatan primer yang bersifat preventif dan promotif jauh lebih kurang daripada pelayanan kesehatan kuratif, dalam desentralisasi pelayanan kesehatan penguasa di daerah cenderung mengangkat pejabat kesehatan yang tidak selalu berasal dari lulusan pendidikan kesehatan, dan lulusan pendidikan kesehatan masyarakat belum mampu mengelola pelayanan kesehatan yang menghasilkan informasi dan bukti untuk pengambilan keputusan. DPR belum menggunakan peranannya sebagai pembuat undang-undang dan pengawasan untuk mengatasi masalah tersebut. Disarankan supaya dibuat rencana strategis pelayanan kesehatan primer untuk mencapai tujuannya termasuk MDG bidang kesehatan untuk mengahasilkan informasi dan bukti dalam rangka menciptakan pelayanan yang efektif dan efesien dan bermutu; secara bertahap memprioritaskan pelayanan kesehatan preventif dan promotif dari pada kuratif; penguasa daerah supaya selalu mengangkat pejabat kesehatan dari lulusan pendidikan kesehatan; merencanakan dan menerapkan kurikulum yang mengarah kepada pelayanan berdasar bukti untuk pendidikan kesehatan masyarakat. DPR RI seharusnya berinisiatif sesuai dengan fungsinya supaya saran-saran tersebut diatas dapat direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Siahaan, Yansen. "AKUNTANSI FORENSIK DI INDONESIA." SULTANIST: Jurnal Manajemen dan Keuangan 1, no. 1 (August 15, 2018): 67–70. http://dx.doi.org/10.37403/sultanist.v1i1.11.

Full text
Abstract:
Akuntansi forensikmencuat di Amerika ketika berhasil diterapkan untuk membantu penangkapan Al Capone, seorang mafia AS yang bermarkas di Chicago. Bisnis hitam Al Capone yang bergerak di bidang prostitusi, judi, dan penjualan alkohol berjalan mulus dengan menutup peluang adanya tindakan hukum atas dirinya dengan cara menyuap agen-agen Federal, polisi lokal, politisi, dan wartawan.Di Indonesia akuntansi forensik mencuat berkat keberhasilan Pricewaterhouse Coopers salah satu Kantor Akuntan The Big Four dalam membongkar kasus Bank Bali. Ketikaitu Indonesia sedang menjajaki kemungkinan untuk meminjam dana dari IMF danWorld Bank untuk mengatasi krisis keuangan yang semakin parah. Temuan ADDP ini sungguh mencengangkan karena perbankan kita telah melakukan penggelembungan aset (overstatement) sebesar 28%-75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%. Temuan window dressing ini segera membuat pasar Indonesiapanik yang pada gilirannya berujung 16 bank swasta dilikuidasi. Terdapat pemberitaan yang bertubi-tubi mengenai penyuapan kepada oknum penegak hukum, oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, oknum pimpinan pemerintah pusat dan daerah, oknum komisioner, dan lain sebagainya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Tahir, Erdin. "Analisis Keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia." Halu Oleo Law Review 3, no. 2 (September 19, 2019): 157. http://dx.doi.org/10.33561/holrev.v3i2.8169.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk memahami keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan HAM dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, dengan fokus analisis terhadap keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan yang Dibentuk di Daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mendasarkan pada data sekunder. Hasil penelitian diperoleh bahwa kehadiran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut, dimana dalam Pasal 4 Permenkumham disebutkan bahwa rancangan peraturan perundang-undangan yang dibentuk di daerah disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM sebagai pembina perancang melalui Kepala Kantor Wilayah untuk dilakukan pengharmonisasian, aturan ini menunjukkan bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan harmonisasi tidak memperhatikan serta melemahkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian juga mengesampingkan semua tahapan proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Sehingga dengan hadirnya Permenkumham tersebut menjadi tidak selaras dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 serta terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 23 Tahun 2014.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

WIDIANI, HELMI. "KINERJA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014." JURIDICA : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani 2, no. 2 (May 12, 2021): 21–38. http://dx.doi.org/10.46601/juridica.v2i2.184.

Full text
Abstract:
In the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, it was mandated that the regional government has the authority to regulate and manage its own affairs according to the principle of autonomy. Regions have the right to form their own legal products (Perda). The DPRD has three functions, one of which is the function of legislation, namely the function of making regional regulations with regional heads. The DPRD together with the Regional Government must form a good local regulation and in accordance with the conditions of the local community. In Lombok East Regency, the performance of the Lombok East DPRD is considered optimal in the formulation of regional regulations Qualitative research approach. Type of empirical juridical research. Research location of the Lombok East Regency DPRD building. Data collection using interviews and documentation. Data processing techniques use descriptive methods. The conclusions of this study are Lombok East Regency DPRD in the process of drafting the Lombok East Regency Regulation, it can be concluded that the performance of the Lombok East Regency DPRD in the process of drafting the Regional Regulation has not gone well, because of the 5 aspects used in the field to become analysis
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Septian, Ilham Fajar, and Muldan Halim Pratama. "PROSPEK PENERAPAN SISTEM DISTRIK THE FIRST PAST THE POST DALAM PEMILIHAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS DEMOKRASI INDONESIA." Majalah Hukum Nasional 49, no. 1 (July 30, 2019): 1–28. http://dx.doi.org/10.33331/mhn.v49i1.91.

Full text
Abstract:
Pemilihan umum (pemilu) adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Dalam menjalankan pemilu tersebut, dibutuhkan sistem pemilu yang menunjang berjalannya demokrasi dan sesuai dengan karakteristik negara tersebut. Indonesia saat ini menerapkan sistem pemilu proporsional daftar PR terbuka. Sistem proporsional ini diberlakukan semenjak Indonesia merdeka yang telah diwariskan Belanda. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya hingga saat ini, sistem ini dikritik karena berbagai alasan, utamanya dalam membangun relasi antara wakil dan konstituennya. Oleh karena hal tersebut, sejak reformasi, aspirasi-aspirasi untuk menerapkan sistem distrik the first past the post (FPTP) sudah digaungkan. Artikel ini bertujuan untuk membahas bagaimana prospek penerapan sistem tersebut di Indonesia dan dampaknya bagi kualitas demokrasi Indonesia jika diterapkan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, komparatif, dan deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa sistem FPTP mempunyai prospek untuk diterapkan dalam Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia karena mampu menyelesaikan masalah-masalah perwakilan yang ada. Selain itu, dampak terhadap kualitas demokrasi Indonesia dari sistem ini adalah berdampak positif berupa meningkatkan relasi antara wakil dan konstituennya, tetapi juga bisa berdampak negatif berupa tidak terwakilinya suara-suara masyarakat dalam distrik yang memilih partai dengan sedikit basis dukungan dalam daerah tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Yuliyanto, Yuliyanto. "Transformasi Model Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 17, no. 1 (March 29, 2017): 57. http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2017.v17.57-73.

Full text
Abstract:
Pemilihan Kepala Daerah Serentak gelombang pertama sudah dilaksanakan, tapi masih banyak permasalahan dalam pelaksanaannya. Rumusan masalah yang akan dibahas adalah: (1) bagaimana perubahan mendasar dari pelaksanaan Pilkada serentak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015?; (2) apa dampak positif dan negatif pelaksanaan Pilkada serentak yang telah diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015?; dan (3) bagaimanakah model pelaksanaan Pilkada serentak yang ideal dalam upaya penguatan demokrasi di Indonesia. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemangku kepentingan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, sedangkan jenis penelitiannya adalah yuridis sosiologis, dengan teknik pengumpulan data studi dokumen dan wawancara. Dari hasil penelitian merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat agar melakukan Perubahan/Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; (2) Komisi Pemilihan Umum agar membuat peraturan mengenai mekanisme uji publik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Kamela, Hurian, and Dyah Setyaningrum. "Do Political Factors Affect Financial Performance in Public Sector?" Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia 5, no. 2 (September 28, 2020): 202–9. http://dx.doi.org/10.23917/reaksi.v5i2.11002.

Full text
Abstract:
Purpose: The implementation of regional autonomy in Indonesia has been regulated based on Laws of the Republic of Indonesia No 23 of the year 2014 concerning the responsibility given by the central government of the regional government to govern its own region. This is defined as regional autonomy. The government has appointed the members of Regional Legislative Councils (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - DPRD) to perform monitoring function on the regional government. There are several political factors which affect this monitoring function, one of which is due to the members of Regional Legislative Council originating from various parties. There is one component which makes up financial performance, which is the Locally-Generated Revenue (Pendapatan Asli Daerah - PAD). High locally-generated revenue gives us a clear description on a region’s success in improving its regional income and therefore being independent from the central government. In the year 2015, the compositition of the party supporting the regent/mayor was equal. Whereas in the year of 2016, the composition has changed, due to regional elections taking place on some cities or districts in Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Hantoro, Novianto Murthi. "URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG HAK ANGKET DPR RI (THE URGENCY OF MAKING THE LAW ON THE RIGHT OF INQUIRY OF THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF THE REPUBLIC OF INDONESIA)." Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan 8, no. 2 (November 1, 2017): 177–94. http://dx.doi.org/10.22212/jnh.v8i2.1052.

Full text
Abstract:
Prior to the decision of the Constitutional Court (MK), the implementation of the right to inquiry was regulated in two laws, namely Law No. 6 of 1954 on the Establishment of the Rights of Inquiry of the House of Representatives (DPR) and Law No. 27 of 2009 on MPR, DPR, DPD, and DPRD. Through proposal for judicial review, MK decided the Law on the Rights of Inquiry was null and void because it was not in accordance with the presidential system adopted in the 1945 Constitution. Today, the exercise of the right of inquiry is only based on Law on MPR, DPR, DPD, and DPRD. Nonetheless, the Amendment of Law No. 27 of 2009 into Law No. 17 of 2014 could not accommodate some substances of the null and void Law on the Rights of Inquiry. The urgency of the formulation of the law on the right to inquiry, other than to carry out the Constitutional Court’s decision; are to close the justice gap of the current regulation; to avoid multi-interpretation of the norm, for example on the subject and object of the right of inquiry; and to execute the mandate of Article 20A paragraph (4) of the 1945 Constitution. The regulation on the right to inquiry shall be formulated separately from the Law on MPR, DPR, DPD and DPRD, with at least several substances to be discussed, namely: definition, mechanisms, and procedure, as well as examination of witnesses, expert, and documents. AbstrakSebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pelaksanaan hak angket diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR (UU Angket) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Melalui permohonan pengujian undang-undang, MK membatalkan keberlakuan UU Angket karena sudah tidak sesuai dengan sistem presidensial yang dianut dalam UUD 1945. Pelaksanaan hak angket saat ini hanya berdasarkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Penggantian UU No. 27 Tahun 2009 menjadi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ternyata tidak mengakomodasi beberapa substansi UU Angket yang telah dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat urgensi untuk membentuk Undang-Undang tentang Hak Angket DPR RI. Urgensi tersebut, selain sebagai tindak lanjut putusan MK, juga untuk menutup celah kekosongan hukum pada pengaturan saat ini dan untuk menghindari multi-interpretasi norma, misalnya terhadap subjek dan objek hak angket. Pengaturan mengenai hak angket perlu diatur di dalam undang-undang yang terpisah dari UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dengan materi muatan yang berisi tentang pengertian-pengertian, mekanisme, dan hukum acara. Pembentukan Undang-Undang tentang Hak Angket diperlukan guna memenuhi amanat Pasal 20A ayat (4) UUD 1945.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Wijayanto, Dody Eko. "HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA." Jurnal Independent 2, no. 1 (June 1, 2014): 40. http://dx.doi.org/10.30736/ji.v2i1.17.

Full text
Abstract:
Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 18 mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang berhak menetapkan peraturan daerah atau peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sebab Pemerintahan daerah merupakan sendi dari negara kesatuan yang demokratis dan keberadaannya merupakan bentuk pengakuan terhadap karakteristik atau ciri khas masing-masing wilayah negara, serta merupakan cerminan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.Pengaturan penyelenggaraan otonom daerah tertuang dalam Undang-undang No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 1 angka (2) UU No.32 tahun 2004 menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, baik atau buruknya tata pemerintahan ditentukan dengan cara bagaimana tata pemerintahan tersebut dikembangkan atas dasar prinsip efisiensi dan efektifitas, partisipasi, responsifitas, kesamaan dimuka hukum keadilan dan orientasi pada konsensus. Jika tata pemerintahan yang diselenggarakan mengabaikan nilai-nilai di atas maka dapat dikatakan bahwa tata pemerintahan tersebut buruk. Dalam UU No.32 tahun 2004, terdapat ketentuan Pemerintahan Desa sebagai satu kesatuan dalam UU No.32 tahun 2004, ditinjau dari politik pernerintahan, memasukan pemerintahan desa dalam UU No.32 tahun 2004 mempunyai makna penting sebab sebagai salah satu bentuk pemerintahan daerah, desa sudah semestinya mendapatkan segala status dan kedudukan, beserta berbagai unsur pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten, atau kotaKeywords : Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Pembentukan Peraturan Desa
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Muktar, Muktar, Ridwan Ibrahim, and Syukriy Abdullah. "PENGARUH KOMPETENSI, PENGETAHUAN TENTANG ANGGARAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SERTA PENGALAMAN TERHADAP KINERJA PENGAWASAN KEUANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN (DPRK) BENER MERIAH, ACEH." JURNAL PERSPEKTIF EKONOMI DARUSSALAM 4, no. 2 (July 1, 2019): 213–30. http://dx.doi.org/10.24815/jped.v4i2.12574.

Full text
Abstract:
AbstractThis study aims to examine the influence of competence, knowledge of the budget, education and training as well as experience on the performance of the the representative council (DPRK) in the supervision of regional finance at the Bener Meriah Regency, Aceh, Indonesia. The data of this study were collected by distributing the questionnaires to the all members of the DPRK at the Bener Meriah Regency. The study found that; 1) the competence, knowledgeof the budget, education and training as well as experience influenced performance of the DPRK in supervision of the local finance of the Bener Meriah Regency; 2) the competence affected the performance of DPRD in supervision of local finance of Bener Meriah Regency, 3) Knowledge of the budget affected (DPRK) in the financial supervision of the Bener Meriah Regency; 4) the education and training affected theDPRK performance in supervision of local finance of the Bener Meriah Regency; and 5) the experience affected the DPRK performance in supervision of local finance of the Bener Meriah Regency.Keywords: Competence, knowledge of the budget, education and training, experience, the representative council (DPRK) performance.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kompetensi, pengetahuan tentang anggaran, pendidikan dan pelatihan serta pengalaman di DPRD terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah Kabupeten Bener Meriah. Penelitian ini merupakan penelitian pengujian hipotesis dengan sumber data yang dikumpulkan dengan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota DPRD di Kabupaten Bener Meriah dengan responden berjumlah 25 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Kompetensi, pengetahuan tentang anggaran, pendidikan dan pelatihan serta pengalaman di DPRD berpengaruh secara bersama-sama terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah Kabupaten Bener Meriah, (2) Kompetensi berpengaruh terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah Kabupaten Bener Meriah, (3) Pengetahuan tentang anggaran berpengaruh terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah Kabupaten Bener Meriah, (4) Pendidikan dan pelatihan berpengaruh terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah Kabupaten Bener Meriah, dan (5) Pengalaman di DPRD berpengaruh terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah Kabupaten Bener Meriah.Kata kunci: kompetensi, pengetahuan tentang anggaran, pendidikan dan pelatihan, pengalaman, kinerja DPRD
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Lumban Tobing, Muhammad Syareza, and Bambang PS Brodjonegoro. "Faktor Politik dalam Alokasi Dana Antarpemerintah Indonesia." Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 13, no. 2 (January 1, 2013): 143–58. http://dx.doi.org/10.21002/jepi.v13i2.436.

Full text
Abstract:
The intergovernmental transfer system currently applied in Indonesia is intended to prevent the intervention of political powers. However, there are indications of political determinants behind central government transfers to sub-national governments. In order to prove the existence of these political factors, this research utilizes empirical panel data models of Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Dekonsentrasi and Tugas Pembantuan using political variables. Results show that while there are no signicant political variables in the DAU and Dana Dekonsentrasi models, there is a political determinant behind the amount of Dana Tugas Pembantuan, where a higher seat share for the Golkar party representing a province in the national parliament will entitle the province to a relatively higher share of the Dana Tugas Pembantuan.AbstrakSistem transfer antarpemerintah di Indonesia dibuat dengan tujuan mencegah campur tangan politik terhadap sistem transfer pemerintah. Namun begitu, terdapat indikasi keberadaan determinan politik dalam menentukan transfer pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Untuk membuktikan keberadaan faktor-faktor politik tersebut, digunakan model data panel yang berusaha menunjukkan determinan politik pada Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Hasil studi menemukan bahwa tidak ada campur tangan politik dalam menentukan transfer DAU dan Dana Dekonsentrasi, namun ditemukan determinan politik pada Dana Tugas Pembantuan, di mana provinsi yang memiliki proporsi kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Partai Golkar yang lebih tinggi mendapatkan Dana Tugas Pembantuan yang lebih besar.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Camila, Cahaya, Ricky Akbar, M. Imam Sutria, Nilam Suri, and Syifa Chairunnissa D. A. "VISUALISASI PERBANDINGAN APBD DAN REALISASI ANGGARAN KABUPATEN/KOTA SE-SUMATRA BARAT MENGGUNAKAN TABLEAU PUBLIC." Jurnal Teknologi Informasi MURA 10, no. 2 (December 6, 2018): 75. http://dx.doi.org/10.32767/jti.v10i2.390.

Full text
Abstract:
AbstrakAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD tiap daerah yang ada di Indonesia tidak merata, sehingga juga terjadi kesenjangan pertumbuhan tiap daerah Indonesia, termasuk pada Sumatra Barat. Seiring dengan perkembangan teknologi, data APBD Kabupaten/Kota Se-Sumbar dapat di analisis dengan mengolah dan mengaturnya dengan banyak cara salah satunya yaitu Business intelligence (BI). Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Tableau Public. Tableau Public adalah perangkat lunak bisnis intelijen yang mudah untuk digunakan, terutama dalam hal membuat visualisasi data, analisis data, dan pelaporan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah visualisasi perbandingan nilai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dengan nilai realisasi serta perbandingannya ditiap kota/kabupaten di Sumatra Barat. Dengan hasil tersebut, diharapkan pemerintah Sumatra Barat lebih bijak dalam mengambil keputusan. Kata kunci— Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Business intelligence (BI), Tableau Public, Kesenjangan Abstract Regional Revenue and Expenditure Budget (APBD) is the annual financial plan of local government in Indonesia approved by the Regional House of Representatives. APBD each region in Indonesia is uneven, so there is also a growth gap each region of Indonesia, including in West Sumatra. Along with technological developments, data APBD District / City in West Sumatra can be analyzed by processing and managing it in many ways one of them is Business intelligence (BI). In this research, data analysis is done by using Tableau Public application. Tableau Public is a business intelligence software that is easy to use, especially in terms of creating data visualization, data analysis, and reporting. The results of this research is the visualization of the comparison of the values of the Local Budget, with the realization as well as the comparison in each city/regency in West Sumatra. With these results, the West Sumatra government is expected to be wiser in making decisions. Keywords— Regional Budget (APBD), Business Intelligence (BI), Tableau Public, Gaps
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Mulyani, Tri. "KAJIAN NORMATIF MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945: SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN." Hukum dan Masyarakat Madani 6, no. 1 (January 14, 2016): 75. http://dx.doi.org/10.26623/humani.v6i1.855.

Full text
Abstract:
<p>Negara Indonesia adalah Negara hukum, artinya bahwa negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Sifat dari negara hukum hanya dapat ditunjukkan apabila alat-alat perlengkapan negara yaitu lembaga-lembaga negara bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Lembaga Tinggi Negara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Lembaga Tinggi Negara yang nama, fungsi dan kewenanganya dibentuk berdasarkan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: Presiden dan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sehubungan dengan dasar pembentukan Lembaga Tinggi Negara adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan telah mengalami amandemen 4 kali maka struktur dan hubungan mereka dalam menjalakan tugas pemerintahan dari sebelum dan sesudah amandemen tentunya juga mengalami perubahan. Dengan pendekatan <em>yuridis normatif</em>, dan uraian yang diskriptif analisis, ditemukan jawaban bahwa struktur lembaga negara beserta hubungan diantara lembaga negara telah mengalami pergeseran setelah dilakukan amandemen. Pada dasarnya hubungan diantara lembaga negara tidak banyak mengalami perubahan. Namun perubahan itu justru tampak dalam struktur lembaga negaranya. Sebelum amandemen struktur lembaga negara terdiri dari MPR sebagai lembaga tertinggi, Presiden, DPR, DPA, BPK dan MA. Namun setelah dilakukan amandemen lembaga negara berkembang yaitu MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK. Perbedaanya ada dipoint pengapusan istilah lembaga tertinggi, sehingga semua menjadi lembaga tinggi negara.</p><p> </p><p class="Default"><em>Indonesia is a country of law, meaning that the country as the law is the basis of state power and the implementation of the power in all its forms is done under the rule of law. The nature of the state law can only be shown if the scientific equipment is state state institutions and bound to act according to the rules that have been set. State Agency referred to in this research is the State Agency name, function and an arbitrary set up under the Constitution or the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, namely: President and Vice-President, People's Consultative Assembly, the House of Representatives, Regional Representatives Council, The Supreme Court, the Constitutional Court, and the Supreme Audit Agency. In connection with establishing the State Agency is the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, and has undergone amendments 4 times the structures and their relationship to run the task of the government before and after the amendment would also change. With normative juridical approach, and a description of the descriptive analysis, found the answer that the structure of state institutions as well as the relationship between the state institutions have experienced a shift after the amendment. Basically the relationship between the state institutions has not changed much. But it is precisely looked into the institutional structure of the country. Prior to the amendment of the structure of state institutions consist of the Assembly as the highest institution, President, Parliament, DPA, BPK and MA. However, after the amendment of the developing state institutions, namely the MPR, DPR, DPD, President, Supreme Court, Constitutional Court, and the CPC. No difference dipoint term elimination highest institution, so all became state institutions. </em></p><p class="Default"><em> </em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Ulum, Muhammad Bahrul. "HOW DEMOCRACY IS ELECTION? REASSESSING ARTICLE 18 (4) OF THE 1945 CONSTITUTION AND ITS IMPLICATION TO THE REGIONAL HEAD ELECTION IN INDONESIA." Jurnal Hukum dan Peradilan 8, no. 2 (August 5, 2019): 315. http://dx.doi.org/10.25216/jhp.8.2.2019.315-332.

Full text
Abstract:
This paper aims to reassess the term “elected democratically” in Article 18 (4) of Indonesia’s revised 1945 Constitution which resulted in the competing interpretation over the appropriate method for selecting heads of regional governments in Indonesia. In fact, the flexibility of such a term was challenged and negotiated to formulate an appropriate mechanism to select heads of regional governments. In 2004, the Constitutional Court concluded that the legislative body was the ultimate institution to interpret “elected democratically” so that this institution can opt whether a regional head election or an indirect election to define such a term. While the regional head election was applied, including its dispute settlements over electoral results to the Constitutional Court, this Court considered a different argument. In 2013, the Constitutional Court reinterpreted such an article by highlighting that the regional head election should be exempted from the general election subjected to Article 22E (2) of 1945 Constitution. In 2014, President Yudhoyono’s rejection from his agreement after the enactment of the Selection of Heads of Regional Governments Bill put further juridical contentions in which the President finally revoked the adoption of the regional head voting by the Regional People’s Representative Council or Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). As a consequence, the regional head election has been re-adopted and this regional election has remained to be expected to improve the performance of local democracy. The introduction of this direct election model at the regional level, however, questions the important role of political parties because the adoption of this election was substantially to answer public distrust against them. In particular, the debate whether political parties work becomes intense after non-party candidates are allowed to contest to this election.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Adhani, Hani. "Menakar Konstitusionalitas Syari’at Islam dan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh." Jurnal Konstitusi 16, no. 3 (October 8, 2019): 606. http://dx.doi.org/10.31078/jk1638.

Full text
Abstract:
Salah satu point penting yang diatur dalam perjanjian Helsinki terkait dengan penegakan hukum di Aceh adalah diberlakukannya Qanun dengan tujuan untuk menghormati tradisi sejarah Islam dan adat istiadat rakyat Aceh yang mayoritas muslim. Selain itu, untuk mensinergikan antara Qanun dengan pengadilan, maka di Provinsi Aceh dibentuk suatu sistem peradilan Syar’iyah yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi yang tetap merupakan bagian dari sistem peradilan Republik Indonesia. Pembentukan Pengadilan Syar’iyah di Provinsi Aceh merupakan salah satu upaya untuk membuat kekhususan sebagaimana diatur dalam perjanjian Helsinki pada tahun 2005. Namun, dalam dataran teknis pengaturan manajemen pengadilan Syar’iyah juga masih terkendala khususnya oleh karena adanya dua aturan hukum yang berlaku yaitu Qanun yang dibuat oleh Dewan Perwakilam Rakyat Daerah Provinsi Aceh dan undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat beserta Presiden. Hal tersebut berakibat Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur tentang teknis pengaturan pengadilan Syar’iyah dan pembuatan Qanun juga banyak di lakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisa tentang efektifitas pemberlakukan Qanun dan pengadilan Syar’iyah di Provinsi Aceh pasca di undangkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Adapun tulisan ini dibuat dengan menggunakan metode penulisan normatif dengan pendekatan studi historis dan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadilan Syar’iyah yang telah dibentuk di Provinsi Aceh meski pada awalnya mengalami kendala namun dapat berjalan baik. Adanya kekhususan yang diberikan kepada Provinsi Aceh merupakan bagian dari upaya untuk menjalankan amanat konstitusi khususnya Pasal 18B UUD 1945.Kata kunci: Qanun, Pemerintahan Aceh, Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Konstitusi. Abstract One crucial point stipulated in the Helsinki agreement related to law enforcement in Aceh is the enactment of the Qanun with the aim of respecting Islamic historical traditions and the customs of the Acehnese people who are predominantly Muslim. Besides, to synergise between the Qanun and the court, in the Province of Aceh a Syar'iyah justice system was formed which was impartial and independent, including a high court which remained part of the judicial system of the Republic of Indonesia. The establishment of the Shariah Law in Aceh Province was one of the efforts to make it specific as stipulated in the Helsinki agreement in 2005. However, in the field of technical management of the Syariah court management is also still constrained especially due to the existence of two applicable laws namely the Qanun made by the Aceh Province Regional People's Representative Council and laws made by the House of Representatives and the President. This resulted in the Law on the Government of Aceh governing the Syar'iyah court and the Qanun being judged by the Constitutional Court. This paper aims to analyse the effectiveness of the implementation of Qanun and the Syar'iyah court in Aceh Province after the enactment of the Law on the Governing of Aceh. The writing is made using normative writing methods with historical study approaches, and case study approaches. The results of the study showed that the Syar'iyah court which had been formed in the Aceh Province even though initially had problems but could work well. The specificity given to the Aceh Province is part of an effort to carry out the mandate of the constitution, especially Article 18B of the 1945 Constitution.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Edmund, Edmund. "Klub Olahraga di Kawasan Kapuk, Jakarta." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) 2, no. 1 (June 16, 2020): 987. http://dx.doi.org/10.24912/stupa.v2i1.6783.

Full text
Abstract:
Jakarta is a large city that has a population of 10,374,235 people on 661.52 km² land, which shows that Jakarta is a very densely populated area in Indonesia. As the capital and as a big city, it certainly has a density of routine activities that can lead to boredom and suppress the mentality of the people who live or come to work. These things should become the attention of the government.To overcome these problems, it is necessary to have a place that can facilitate the community to rest, communicate, and entertain themselves from the busyness that is the main activity of the people in the big cities, called as the third place. With limited time and technological advances, people become lazy to interact and exercise. The issue of the lack of sports facilities in the Jakarta area is also a concern for the Jakarta government. The Regional Representative Council (DPRD) highlighted the lack of sports facilities and infrastructure in Jakarta. People in Indonesia who realize the importance of exercising and doing it are only 27.61%, this figure is a fairly low number compared to that in other countries. With a typology approach to use of space and combined with conventional methods, design can provide good use of space for the community. By creating a new container for sports facilities combined with the concept of third place, it is expected that people can be aware of the importance of interacting, exercising and maintaining physical and non-physical health. AbstrakJakarta merupakan kota besar yang memiliki jumlah penduduk sebesar 10.374.235 jiwa dengan luas wilayah 661.52 km², hal ini menunjukkan bahwa kota Jakarta merupakan daerah yang sangat padat akan penduduknya di Indonesia. Sebagai Ibukota dan sebagai kota besar pasti memiliki kepadatan akan aktivitas rutin yang dapat menimbulkan kejenuhan dan menekan mental masyarakat yang tinggal maupun yang datang untuk bekerja. Hal-hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan adanya sebuah tempat yang dapat mewadahi masyarakat untuk beristirahat, berkomunikasi, dan menghibur diri dari kesibukan yang menjadi aktivitas utama masyarakat di kota besar yang disebut sebagai the third place. Dengan keterbatasan waktu dan kemajuan teknologi, masyarakat menjadi bermalas-malasan untuk berinteraksi dan berolahraga. Isu mengenai kurangnya fasilitas olahraga di wilayah Jakarta juga menjadi perhatian pemerintah Jakarta. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyoroti kurangnya sarana dan prasarana olahraga di Jakarta. Masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya berolahraga dan menjalaninya hanya sebesar 27.61%, angka tersebut merupakan angka yang cukup rendah dibandingkan dengan negara lain. Melalui pendekatan tipologi untuk kegunaan ruang dan dipadukan dengan metode konvensional, desain dapat memberikan kegunaan ruang secara baik untuk masyarakat. Dengan menghadirkan sebuah wadah sarana olahraga baru yang di gabungkan dengan konsep third place diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya berinteraksi, berolahraga dan menjaga kesehatan fisik maupun non fisik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Andriyansyah, M. Fahrudin. "PERAN PARTAI POLITIK LOKAL DALAM PENYELANGGARAAN OTONOMI KHUSUS DI ACEH." Yurispruden 3, no. 1 (January 31, 2020): 24. http://dx.doi.org/10.33474/yur.v3i1.4862.

Full text
Abstract:
AbstactAs a national organization, political parties are considered to have failed in carrying out their roles and functions, especially in the implementation of regional autonomy. The existence of political parties that are only national in nature with structures centered in the center often makes the party's orientation ignore local interests. The neglect was due to the institutionalization of political parties so far as merely structuring relations. This pattern positions politicians in political parties in the region as subordinates of the same party politicians at the national level. The failure of political parties in the implementation of regional autonomy can be interpreted as necessary to regulate a new party system in Indonesia. One of them is by separating between national political parties and local political parties in the regions. This means that with the policy of regional autonomy, it must be accompanied by political autonomy through local political parties. Therefore this study will look at the role of local political parties that have existed in Aceh in the implementation of special autonomy and at the same time see whether local political parties have played a role or not in the implementation of special autonomy in Aceh. Local political parties, especially the Aceh Party in 2014 obtained the highest number of seats in the Aceh People's Representative Council (DPRA) compared to national political parties, so the Aceh Party had a strategic position as the leader of the DPRA and the leadership of a number of DPRA equipment. The role of local political parties can be seen through the role of the faction of local political parties in the DPRA, especially the Aceh Party faction, which is related to the role of legislation, budgeting and Controling. The Aceh Party faction has played a role in organizing special autonomy in Aceh AbstrakSebagai organisasi yang bersifat nasional, partai politik dirasa telah gagal dalam menjalankan peran dan fungsinya, terutama di dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Keberadaan partai politik yang hanya bersifat nasional dengan struktur yang berpucuk di pusat kerap kali membuat orientasi partai mengabaikan kepentingan lokal. Pengabaian itu dikarenakan pelembagaan partai politik selama ini dimaknai sebagai hubungan strukturalisasi semata. Pola ini memposisikan politisi partai politik di daerah sebagai sub ordinat politisi partai yang sama di tingkat nasional. Tidak berjalannya partai politik dalam penyelengaraan otonomi daerah dapat dimaknai bahwa perlu untuk mengatur sistem kepartaian baru di Indonesia. Salah satunya adalah dengan melakukan pemisahan antara partai politik nasional dengan partai politik lokal yang ada di daerah. Artinya dengan adanya kebijakan otonomi daerah maka harus dibarengi dengan adanya otonomi politik melalui partai politik lokal. Oleh karena itu penelitian ini akan melihat peran partai politik lokal yang telah ada di Aceh dalam penyelenggaraan otonomi khusus sekaligus melihat apakah partai politik lokal telah berperan atau tidak di dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh. Partai politik lokal terutama Partai Aceh pada tahun 2014 memperoleh jumlah kursi terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dibandingkan dengan partai politik nasioanal, sehingga Partai Aceh memiliki posisi strategis sebagai pimpinan DPRA dan pimpinan sejumlah alat kelengkapan DPRA. Peran partai politik lokal dapat dilihat melalui peran Fraksi Partai politik lokal yang berada di DPRA terutama Fraksi Partai Aceh, yaitu berkaitan dengan peran legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (Controling). Fraksi Partai Aceh telah berperan dalam penyelenggaran otonomi khusus di Aceh.Kata Kunci: Partai Politik Lokal, Otonomi Khusus, Partai Aceh, DPRA
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Eddyono, Luthfi Widagdo. "Wacana Desentralisasi Partai Politik: Kajian Original Intent dan Pemaknaan Sistematik UUD 1945." Jurnal Konstitusi 14, no. 1 (July 24, 2017): 81. http://dx.doi.org/10.31078/jk1414.

Full text
Abstract:
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 salah satunya bermaksud untuk memperkuat peran dan kedudukan partai politik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum perubahan UUD 1945, frasa “partai politik” tersebut sama sekali tidak ada dalam naskah UUD 1945. Penguatan kedudukan partai politik tersebut terlihat pada Pasal 6A dan Pasal 8 UUD 1945 yang terkait dengan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan pemberian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik (Pasal 24C UUD 1945), termasuk kedudukan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD (Pasal 22E UUD 1945). Secara kumulatif, frasa “partai politik” hanya enam kali disebutkan dalam UUD 1945. Walaupun demikian, berdasarkan original intent, sangat terasa upaya untuk memperkuat peran strategis partai politik sebagai sarana penunjang demokrasi konstitusional yang diupayakan terkonsolidasi secara berkesinambungan.Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji original intent perubahan UUD 1945 terkait dengan peran dan kedudukan partai politik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk dengan kebutuhan adanya desentralisasi partai politik di Indonesia. Hasilnya adalah jika dikaitkan dengan desentralisasi peran dan tanggung jawab partai politik di tingkat pusat kepada partai politik di tingkat daerah, tidak terdapat original intent yang terkait dengan hal tersebut, akan tetapi jika dikaitkan dengan Pasal 18 UUD 1945 yang berkenaan dengan Pemerintahan Daerah, maka pemaknaan sistematis UUD 1945 tentu saja meliputi desentralisasi peran partai politik tersebut. Apalagi berdasarkan ketentuan normatif konstitusi, partai politik juga mempunyai kewenangan untuk mencalonkan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Oleh karena itu, pengaturan mengenai desentralisasi peran dan tanggung jawab partai politik perlu dinormakan dalam format Undang-Undang agar moralitas konstitusional desentralisasi hubungan pusat dan pemerintahan daerah dapat terjadi dan terkonsolidasi dengan baik. Dengan demikian, partai politik diharapkan mampu menjalankan perannya sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik (political socialization), pengatur konflik (conflict management) dan akhirnya menjadi sarana rekruitmen politik (political recruitment) baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.Amendment to the 1945 Constitution which was conducted in 1999-2002 intends to strengthen the role and position of political parties in the Indonesian state administration system. Before the change of the 1945 Constitution, the phrase “political party” was completely absent in the text of the 1945 Constitution. The strengthening of the political party’s position was seen in Article 6A and Article 8 of the 1945 Constitution related to the nomination of the pair of presidential and vice presidential candidates and the authority of the Constitutional Court to decide upon the dissolution of political parties (Article 24C of the 1945 Constitution), including the status of political parties as participants in the general election of members of the DPR and DPRD (Article 22E of the 1945 Constitution). Cumulatively, the phrase “political party” is only mentioned six times in the 1945 Constitution. However, based on the original intent, it is felt the efforts to strengthen the strategic role of political parties as a supporting the consolidation of constitutional democracy.This paper is intended to examine the original intent of the 1945 Constitution about the role and position of political parties in the Indonesian state administration system, including the need for decentralization of political parties in Indonesia. The result is there is no original intent relating the decentralization of roles and responsibilities of political parties at the central level to political parties at the regional scale, but if associated with Article 18 of the 1945 Constitution with respect to local Government, the systematic The 1945 Constitution, of course, covers the decentralization of the role of the political party. Moreover, based on the normative provisions of the law, political parties also have the authority to nominate members of the regional legislature. Therefore, the regulation on the decentralization of the roles and responsibilities of political parties should be formalized in the Law so that constitutional morality of the decentralized central and local government relations can occur and be consolidated well. Thus, political parties are expected to play their role as a means of political communication, political socialization, conflict management and eventually become a means of executive recruitment both at the central and regional levels.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Jaya, Febri. "PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA PEREMPUAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DALAM OMNIBUS LAW." Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (November 25, 2020): 1886. http://dx.doi.org/10.24843/ks.2020.v08.i12.p06.

Full text
Abstract:
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk memberikan penjelasan terkait bentuk-bentuk perlindungan hukum hak-hak pekerja perempuan pasca revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Adapun fenomena yang ada pasca pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 05 Oktober 2020 adalah terdapat berbagai penolakan masyarakat terhadap Omnibus Law tersebut. Salah satu alasan penolakan masyarakat yang mendorong aksi demokrasi di berbagai daerah di Indonesia. Adapun salah satu persoalan yang menjadi isu yang ditolak oleh masyarakat melalui demonstrasi tersebut adalah penghapusan hak-hak perempuan. Jenis Penelitian yang digunakan dalam menulis artikel ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Melalui kajian normatif, Peneliti bermaksud untuk melakukan kajian perlindungan hukum bagi hak-hak pekerja perempuan pasca revisi undang-undang ketenagakerjaan dalam pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Sebagai hasil kajian, peneliti menemukan bahwa hak-hak yang menjadi obyek demonstrasi masyarakat tidak seluruhnya benar. Adapun penyebaran informasi-informasi tidak tepat secara massif dan terstruktur menyebabkan pemahaman yang keliru di masyarakat. Sehingga terjadi demonstrasi penolakan terhadap Omnibus Law yang salah satu pembahasannya adalah perlindungan pekerja perempuan dalam Klaster Ketenagakerjaan. Meskipun penegasan penegakan hak-hak perempuan seharusnya ditegaskan kembali dalam revisi undang-undang tersebut, seperti keharusan pemberian hak-hak pekerja perempuan pada Usaha Kecil dan Mikro yang cukup sering terabaikan. The purpose of writing this article is to provide a related explanation of forms of legal protection for women workers after revision of Law Number 13 Year 2003 Concerning Employment in Law Number 11 Year 2020 About Job Creation. As for the existing phenomena after the ratification of the Draft Law on Job Creation by the government on October 5, 2020, there have been various public objections to the omnibus law. One of the reasons for the community’s refusal to encourage democratic action in the various region in Indonesia. One of the issues that became an issue that was rejected by the community through the demonstration was the elimination of women’s rights. The type of research used in writing this article is a type of normative legal research. Though a normative study, the researcher intends to conduct a study of legal protection for the rights of women workers after the revision of the labor law in the ratification of the Work Creation Regulation. As a result of the study, the researcher found that the rights that were the object of community demonstration were not entirely correct. Meanwhile, the massive and structured dissemination of inaccurate information has lead to a misunderstanding in society. So there was a demonstration against the omnibus law, one of which was discussed was the protection of women workers in the employment cluster. Although the affirmation of women’s rights should be reaffirmed in the revision of the law, such as the necessity of grant the right of women workers at Small and Micro Enterprises which is quite often neglected.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Mahendra, Yusril, Renni Anggraini, and Alfa Taras Bulba. "PRIORITAS PENINGKATAN JALAN DI KABUPATEN PIDIE JAYA BERBASIS ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)." TERAS JURNAL 11, no. 1 (April 1, 2021): 191. http://dx.doi.org/10.29103/tj.v11i1.430.

Full text
Abstract:
<p align="center"><strong>Abstrak</strong></p><p class="11daftarpustaka"> </p><p class="11daftarpustaka">Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pidie Jaya, telah mengusulkan peningkatan jalan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia sebanyak 5 ruas untuk ditingkatkan pada tahun 2021 dengan total biaya sebesar Rp. 16.731.593.750. Usulan peningkatan jalan tersebut di tahun 2021 tidak dapat ditingkatkan semua, karena adanya keterbatasan anggaran. Keterbatasan anggaran disebabkan adanya <em>refocusing</em> anggaran untuk penanganan <em>Corona Virus Disease </em>2019 (Covid 19) di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kriteria yang dominan perlu dipertimbangkan dalam peningkatan jalan di Kabupaten Pidie Jaya dan menganalisis urutan prioritas peningkatan jalan di Kabupaten Pidie Jaya berdasarkan kriteria kerusakan jalan, biaya peningkatan, dan tata guna lahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kuantitatif melalui kuesioner.Data primer yang digunakan adalah data kuesioner. Pengumpulan data kuesioner dilakukan dengan menjumpai langsung keberadaan responden.Responden dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 5 <em>stakeholders</em> yaitu Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pidie Jaya, Kepala Bidang Perencanaan Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pidie Jaya, Kepala Bidang Perhubungan Jalur Darat Dinas Perhubungan Kabupaten Pidie Jaya, Anggota Komisi D Bidang Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Pidie Jaya, dan Akademisi Universitas Syiah Kuala. Kriteria yang ditinjau adalah kerusakan jalan, biaya peningkatan, dan tata guna lahan. Alternatif yang ditinjau adalah Jalan Blang Dalam – Jurong Teungoh, Jalan Jeulanga Barat – Jeulanga Mata Ie, Jalan Simpang Pertanian – Cot Trieng – Rungkom, Jalan Trienggadeng – Panton Beurasan – Cubo, dan Jalan Meurandeh Alue – Asan Kumbang – Blang Miroe.Teknik analisis data digunakan statistik deskriptif dan <em>Analytical Hierarchy Process</em> (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria yang dominan perlu dipertimbangkan dalam peningkatan jalan adalah kriteria biaya peningkatan dengan nilai rata-rata gabungan eigen sebesar 0,49. Prioritas peningkatan jalan berdasarkan kriteria kerusakan jalan, biaya peningkatan, dan tata guna lahan adalah Jalan Meurandeh Alue - Asan Kumbang - Blang Miroe sebagai prioritas 1 dengan bobot sebesar 0,38 dan Jalan Trienggadeng - Panton Beurasan - Cubo sebagai prioritas 2 dengan bobot sebesar 0,25.</p><p class="11daftarpustaka"> </p><p class="11daftarpustaka">Kata kunci: <em>prioritas, kerusakan jalan, biaya peningkatan, tata guna lahan</em><em></em></p><p class="11daftarpustaka"> </p><p><em> </em></p><p align="center"><strong>Abstract</strong></p><p align="center"><strong> </strong></p><p class="11daftarpustaka">The Public Works Office of Pidie Jaya Regency has proposed 5 sections to increase the road to the Ministry of Public Works and Public Housing of the Republic of Indonesia to be upgraded in 2021 with a total cost Rp. 16,731,593,750. All of the proposed road improvements in 2021 cannot be upgraded, due to budget constraints. The budget limitation is due to refocusing the budget for handling Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) in Indonesia. This study aims to analyze the dominant criteria that need to be considered in road improvement in Pidie Jaya Regency and to analyze the order of priority for road improvement in Pidie Jaya Regency based on the criteria for road damage, improvement costs, and land use. This study uses a quantitative method approach through a questionnaire. The primary data used is questionnaire data. The questionnaire data was collected by directly seeing the respondents. Respondents in this study were assigned as many as 5 stakeholders, namely the Head of the Bina Marga Division of the Public Works Office of Pidie Jaya Regency, the Head of the Planning for Facilities and Infrastructure of the Regional Development Planning Agency of Pidie Jaya Regency, the Head of the Land Line Transportation Division of the Pidie Jaya Regency Transportation Service, a Member of the Commission D Development Sector Pidie Jaya Regency People's Representative Council, and Syiah Kuala University Academics. The criteria reviewed are road damage, cost of upgrading, and land use. The alternatives reviewed are Jalan Blang Dalam - Jurong Teungoh, Jalan Jeulanga Barat - Jeulanga Mata Ie, Jalan Simpang Pertanian - Cot Trieng - Rungkom, Jalan Trienggadeng - Panton Beurasan - Cubo, and Jalan Meurandeh Alue - Asan Kumbang - Blang Miroe. The data analysis technique used descriptive statistics and Analytical Hierarchy Process (AHP). The results show that the dominant criterion that needs to be considered in road improvement is the cost of improvement criteria with a combined average eigenvalue of 0.49. Road improvement priorities based on the criteria for road damage, improvement costs, and land use are Meurandeh Alue - Asan Kumbang - Blang Miroe Road as priority 1 with a weight of 0.38 and Jalan Trienggadeng - Panton Beurasan - Cubo as priority 2 with a weight of 0.25.</p><p class="11daftarpustaka"> </p><p class="11daftarpustaka">Keywords: <em>Priority, road damage, cost of improvement, land use</em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Ratu, Sulkaris S. Lepa. "HAKIKAT HAK ANGKET ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA." Mimbar Keadilan, August 1, 2017, 209. http://dx.doi.org/10.30996/mk.v0i0.2194.

Full text
Abstract:
Hak angket merupakan hak Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, maka dalam perkembangannya hak angket dapat digunakan untuk kepentingan golongan politik. Permasalahannya bagaimana kedudukan hak angket dan akibat hukum penerapan hak angket. Dengan kajian penelitian hukum normatif dapat disimpulkan bahwa hak angket merupakan hak konstitusional dan akibat hukum yaitu pemerintah (eksekutif) wajib untuk melaksanakan hasil hak angket. Sebagai saran yaitu penerapan hak angket yang termaktub dalam Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5568) diubah menjadi ‘’Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 3/4 (tiga per empat) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 2/3 (dua per tiga) jumlah anggota DPR yang hadir’’, Dewan Perwakilan Rakyat lebih memperhatikan kejelasan norma dalam pengertian hak angket, serta masyarakat agar cermat mengamati kebijakan, dan hasil hak angket dapat dijadikan sebagai alat bukti.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Suryani, N. Lilis. "PENGARUH MOTIVASI DAN KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA." JENIUS (Jurnal Ilmiah Manajemen Sumber Daya Manusia) 1, no. 1 (October 26, 2017). http://dx.doi.org/10.32493/jjsdm.v1i1.651.

Full text
Abstract:
ABSTRAK Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi (X1) terhadap kinerja (Y) di Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi (X2) terhadap kinerja (Y) di Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi (X1) dan kompetensi (X2) terhadap kinerja (Y) di Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia secara simultanMetode penelitian menggunakan penelitian deskriptif dengan teknik survey. Pendekatan analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif, jenis statistik yang dipakai dalam penelitian adalah statistik nonparametrik. Sampel penelitian berjumlah 100 responden.Faktor motivasi dan kompetensi bersama-sama mepunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja karyawanSekretariat Jendral Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, dari tabel dapat dilihat bahwa R Square diperoleh sebesar 0,750 atau 75 %, hal ini dapat dijelaskan bahwa varibel motivasi dan kompetensi secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja karyawanSekretariat Jendral Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan sisanya 25 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti seperti Intensif pegawai dan lain sebagainya. Dan sesuai dengan rumusan masalah maka besarnya pengaruh motivasi dan kompetensi terhadap kinerja secara simultan yiatu sebesar 75 %. model regresi berganda yang diperoleh : Y= 0,587 + 0,477 X1 + 0,546 X2dari data-data tersebut didapat bahwa faktor kompetensi yang mempunyai kontribusi yang paling besar pengaruhnya terhadap kinerja karyawanSekretariat Jendral Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, jika faktor motivasi konstan, maka kenaikan sebesar satu-satuan pada kompetensi menghasilkan kenaikan kinerja sebesar 0,546 satuan. Kata kunci : Motivasi, Kompetensi, Kinerja
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography