Academic literature on the topic 'Biosklo'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the lists of relevant articles, books, theses, conference reports, and other scholarly sources on the topic 'Biosklo.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Journal articles on the topic "Biosklo"

1

Karolina, Cut Meutia, Eni Maryani, and Dian Wardiana Sjuchro. "Developing an alternative media for visually impaired audiences: ‘Bioskop Harewos’ Bandung." Jurnal Studi Komunikasi (Indonesian Journal of Communications Studies) 5, no. 1 (February 16, 2021): 134. http://dx.doi.org/10.25139/jsk.v5i1.2451.

Full text
Abstract:
Bioskop Harewos is a cinema in the Bandung, West Java, intended for visually impaired audiences. This research focused on efforts to uncover the existence of Bioskop Harewos for the visually impaired and the model of watching films of visually impaired audiences in Bioskop Harewos. The research method was a qualitative case study using several theories and concepts for alternative media. This research collected various data from cinematographers, cinema managers, and Bioskop Harewos team and audiences through interviews. The results showed that Bioskop Harewos is an alternative media for visually impaired audiences in Bandung to watch films in cinemas. Even with the ‘Harewos’ system, the Bioskop Harewos had fulfilled the visually impaired audiences’ demands to watch films in the cinema. The technical limitations of Bioskop Harewos did not reduce the value of entertainment for visually impaired audiences.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Andrianawati, Aida, Hendi Anwar, Amany Fidinillah, and Chintya Sagita Goestien. "Studi Komparasi Desain Meubel Ruang Tunggu Terhadap Kenyamanan Pengunjung Bioskop XXI Bandung Indah Plaza Dengan CGV Bandung Electronik Center." Arsir 2, no. 2 (January 11, 2019): 80. http://dx.doi.org/10.32502/arsir.v2i2.1300.

Full text
Abstract:
Industri hiburan pada era modern merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam menyeimbangkan hidup. Terutama untuk masyarakat urban dengan tingkat perekonomian menengah keatas yang pola hidupnya sangat sibuk. Industri hiburan adalah salah satu fasilitas yang banyak dipergunakan untuk melepaskan kepenatan. Salah satu industri hiburan yang sering dikunjungi masyarakat urban bioskop. Bioskop merupakan pertunjukkan yang diperlihatkan dengan gambar (film) yang disorot sehingga dapat bergerak. Bioskop juga dapat diartikan sebagai tempat untuk menonton pertunjukkan film dengan menggunakan layar lebar, dimana gambar dari film diproyeksikan ke layar dengan menggunakan proyektor. (Badan Pusat Statistik, 2016). Bioskop banyak sekali jenisnya akan tetapi bioskop di Kota Bandung ada dua jenis yaitu XXI dan CGV. Bioskop XXI dan CGV ini mempunyai karakter yang berbeda baik dari segi interior, fasilitas pengunjung maupun jenis filmnya. Dalam penelitian ini akan membahas masalah interior, terutama desain meubel dari kedua jenis bioskop tersebut. Hal ini sangat menarik untuk dijadikan studi komparasi mengingat desain meubel di ruang tunggu merupakan fasilitas yang sangat penting karena berpengaruh terhadap kenyamanan pengunjung. Metodologi penelitian yang akan dipakai adalah deskriptif kualitatif. Studi komparasi ini akan mengambil desain meubel ruang tunggu, menganalisa dari perbedaannya dan menyimpulkan hasil akhir yang berkaitan dengan penggayaan desain serta pengaruhnya terhadap kenyamanan pengunjung bioskop.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

; Caecilia S. Wijayaputri, Amyra Salsabila Alwi. "STUDI KUALITAS SINEMATIK DALAM BIOSKOP METROPOLE." Riset Arsitektur (RISA) 5, no. 03 (April 2, 2021): 223–39. http://dx.doi.org/10.26593/.v5i03.4737.223-239.

Full text
Abstract:
Abstrak Film dan arsitektur adalah dua bentuk seni taktil yang bergantung pada beberapa indera manusia sekaligus untuk dapat dinikmati. Walaupun begitu, kesamaan antara arsitektur dan film seringkali diabaikan ketika mendesain atau mengapresiasi sebuah objek arsitektur. Dengan melakukan studi mengenai hubungan film dengan arsitektur, ditemukan bahwa ada kualitas-kualitas pada arsitektur yang berdasar pada konsep-konsep pada perfilman yang dapat memperkaya dan memanipulasi ruang tempat manusia beraktivitas. Kualitas-kualitas unik ini disebut sebagai kualitas sinematik. Namun, melihat ruang lewat sinema dapat memberikan kesan yang berbeda dibanding mengalami ruang secara langsung. Kesamaan dan perbedaan ini berasal dari pengalaman sinematik yang berbeda pada waktu mengalami ruang secara fisik dengan mengalami ruang lewat film yang sudah disunting. Untuk memahami topik sinematik dalam arsitektur lebih lanjut, dilakukan studi pada objek arsitektur Bioskop Metropole. Objek arsitektur ini unik karena Bioskop Metropole pernah menjadi latar tempat utama pada film roman-komedi Janji Joni. Penampilan bioskop di dalam film tersebut dan penampilan bioskop di dunia nyata mungkin memiliki perbedaan, dan kualitas sinematik adalah penentu perbedaan tersebut Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahu kualitas sinematik di bioskop Metropole, bagaimana kualitas sinematik tersebut memengaruhi representasi ruang-ruang Bioskop Metropole dalam film Janji Joni, dan kualitas sinematik apa saja yang ada pada Bioskop Metropole. Metode yang digunakan adalah deksriptif kualitatif, dengan data dari studi literatur dan observasi objek di lapangan. Studi ini mencapai kesimpulan bahwa terdapat kualitas-kualitas sinematik tertentu pada Bioskop Metropole, walaupun dalam derajat yang berbeda dengan yang ditunjukan dalam film Janji Joni. Kata Kunci: sinematik, kualitas sinematik, Janji Joni, Jakarta
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Ageza, Gorivana, Aquarini Priyatna, and R. M. Mulyadi. "Bioskop di Mal: Konsumsi dan Komodifikasi dalam Budaya Urban." Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya 10, no. 2 (September 10, 2018): 399. http://dx.doi.org/10.30959/patanjala.v10i2.385.

Full text
Abstract:
Di kota Bandung, hampir semua mal memiliki bioskop, dan sebaliknya, tidak ada bioskop di luar mal. Artikel ini akan memaparkan konsekuensi dari keberadaan bioskop di mal. Artikel ini disusun berdasarkan observasi lapangan dan studi pustaka, yang kemudian ditafsirkan secara hermeneutika dengan pendekatan teori kritis. Observasi lapangan dilakukan di dua bioskop terbesar di Kota Bandung yakni CGV Cinemas mal Paris van Java dan Ciwalk XXI mal Cihampelas Walk. Fenomena bioskop di mal menunjukkan bahwa kehidupan urban menyebabkan komodifikasi ruang dan pengalaman. Berbelanja di mal dan menonton film di bioskop mal mengarahkan warga urban untuk melakukan konsumsi, serta memaksimalkan keuntungan yang didapat oleh mal dan bioskop. In Bandung city, virtually all shopping malls list movie theaters among their venue. Conversely, there is no movie theater located out of shopping mall. This article explains consequences of movie theater in shopping malls. This article is written based on field observation and literature study, which then was interpreted hermeneutically, using critical theory approach. Field observations were conducted at two biggest movie theaters in Bandung’s shopping malls, which are CGV Cinemas in Paris van Java Mall and Ciwalk XXI in Cihampelas Walk Mall. This phenomenon indicates that urban life causes commodification on space and experience. Both the act of shopping and watching movies in shopping malls lead urban people to a consumptive lifestyle while maximizing the revenues of both shopping malls and movie theaters.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Erwantoro, Heru. "BIOSKOP KELILING PERANANNYA DALAM MEMASYARAKATKAN FILM NASIONAL DARI MASA KE MASA." Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya 6, no. 2 (June 1, 2014): 285. http://dx.doi.org/10.30959/patanjala.v6i2.200.

Full text
Abstract:
AbstrakFilm masuk ke Hindia Belanda untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Desember 1900 dalam format bioskop keliling. Bioskop keliling ternyata mampu eksis dari masa ke masa karena ada faktor yang mendukung keberadaannya. Melalui pendekatan historis, penelitian ini mencoba untuk menelusuri perjalanan bioskop keliling dari masa ke masa dan peranannya dalam perfilman nasional. Penelitian ini memiliki arti yang signifikan bagi perkembangan perfilman nasional. Dari penelitian ini terungkap bahwa: (1) eksistensi bioskop keliling ditentukan oleh motif ekonomi dan motif politik. Secara ekonomis, bioskop keliling menjual jasa pemutaran film langsung ke konsumennya secara massal dan murah, namun tetap menjanjikan keuntungan secara finansial. Motif politik menjadikan film sebagai instrumen politik, namun demikian motif politik ini membuat eksistensi bioskop keliling semakin kokoh; (2) bioskop keliling merupakan mesin peredaran film nasional yang sangat efektif di dalam memasyarakatkan film nasional ke tengah-tengah masyarakat. Melalui bioskop keliling mimpi film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri secara realistik dapat terwujud. Anggapan yang selama ini dipahami oleh kalangan perfilman bahwa menjadi tuan rumah di negeri sendiri hanya dapat dicapai dengan cara menguasai bioskop yang permanen, mewah dan yang berada di kota-kota berakibat mengubur potensi besar yang dimiliki bioskop keliling. AbstractThe first time of movie come to the Dutch East Indie in December 5th 1990 on cinema circumference. Cinema circumference exists from time to time since there are factors that support the existence. Through historical approach, the research tries to browse the cinema trip around from time to time and its role in national film. The research has a significant means in the developing of national film. From the result, it can be seen that (1) the existences of cinema circumference decided by the economic motif and political motif. Economically, cinema circumference sells the screening services directly to consumers in bulk and cheap, but still promising benefit financially. Political motives make the film as a political instrument; however it makes the existence of a political motive theater sturdy. (2) Cinema circumference is the main power of national film which is very effective in promoting national film to society. Through national movie theaters, the dream to be a host on their own country can realistically be realized. The assumption, that hosts in their own country can only be achieved by means of holding a permanent cinema master, luxurious, and located in cities is burying large potential of circumference cinema.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Safitra, Febriartha Dwi Wahyu, Ni Kadek Yuni Utami, and Ni Wayan Ardiarani Utami. "REDESAIN INTERIOR NEW STAR CINEPLEX TIMBUL JAYA PLAZA DI KOTA MADIUN." Jurnal Patra 2, no. 1 (May 2, 2020): 19–26. http://dx.doi.org/10.35886/patra.v2i1.83.

Full text
Abstract:
Febriartha Dwi Wahyu Safitra1, Ni Kadek Yuni Utami 2, Ni Wayan Ardiarani Utami3 1,2,2Sekolah Tinggi Desain Bali, Denpasar,Bali - Indonesia e-mail: febrisafitra97@gmail.com1 A B S T R A C T Movie theater is one of public entertainment designed to give a good quality audio-visual and services to people who would like to spend their time to watch a movie. The purpose of this redesign is to increasing the quality of services provided into movie theater, also to attracting public interest of Indonesian movie world by serving a good facilities and accommodation of watching movie activities. The process of collecting information data by doing an observation to site location at the movie theater, and do an interviewed with one of the staff, also one of customer at the movie theater. The result of those observation will be analyzed using qualitative analyses method and glass box method by listing what people’s demand as for services and facilities should be provide at movie theater, to figuring what rooms that needed, as well as theme and concept for the design. The conclusion is Futuristic Entertainment applied as theme and concept at theater’s interior redesign has a hope will become the new face of the Movie Theater as of facing high business competition among movie theater industry also to calibrate the Industry 4.0 era where internet based at most of life aspect, nowadays. Key words : movie theater, movie, watching, services, public, Futuristic, Entertainment, redesign, interior A B S T R A K Bioskop merupakan salah satu tempat sarana hiburan untuk menonton film yang dirancang memberikan kualitas audio-visual yang baik dan kegiatan pelayanan dalam meningkatkan kenyamanan dalam menonton film. Tujuan dari redesain interior ini untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pada bioskop, serta meningkatkan minat masyarakat untuk menghargai perfilman di Indonesia dengan memberikan fasilitas dan sarana yang baik dalam kegiatan menonton film. Proses pengumpulan data dilakukan dengan observasi ke lokasi site bioskop tersebut dan melakukan wawancara pada salah satu pegawai bioskop, serta salah satu pengunjung dari bioskop. Hasil dari observasi tersebut kemudian di analisa menggunakan metode analisa kualitatif dan metode desain glass box, dengan mendata pelayanan yang harus disediakan pada area bioskop, untuk mengetahui kebutuhan ruang, serta tema dan konsep dalam redesain interior. Simpulan redesain pada interior bioskop menggunakan tema dan konsep Futuristic Entertainment, yang mana dari tema dan konsep tersebut akan memberikan wajah baru untuk menghadapi persaingan bisnis bioskop yang semakin tinggi dan sekaligus menyesuaikan era Industry 4.0 sekarang, dimana Internet based pada hampir segala aspek kehidupan. Kata Kunci: bioskop, film, menonton, pelayanan, masyarakat, Futuristic, Entertainment, redesain, interior. PENDAHULUAN Di digital era seperti sekarang ini, menonton film menjadi salah satu pilihan sarana hiburan bagi masyarakat untuk melepas penat maupun kebosanan akan rutinitas sehari-hari. Cerita-cerita dalam film dapat diadaptasi dari novel, dokumentasi ilmiah, autobiografi, sejarah dari sebuah peristiwa, maupun dari kisah nyata seseorang yang menarik untuk diangkat ke dalam sebuah film, sehingga sebuah film pun juga dapat menjadi media visual informasi bagi masyarakat luas. Sekarang ini bioskop sebagai tempat pemutaran film-film sudah banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilihat dari jumlah layar bioskop yang semakin bertambah, sekaligus berpengaruh pada pertambahan jumlah penonton Indonesia. Menurut data GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia), jumlah layar bioskop di Indonesia terus bertambah dalam dekade terakhir, pada tahun 2008 tercatat ada 574 layar, kemudian terus bertambah menjadi 1518 layar pada 2017, bertambah lagi menjadi 1774 pada 2018, dan hingga pada per 13 Mei 2019, bertambah 87 layar, sehingga total jumlah menjadi 1861 layar bioskop. Di Kota Madiun sendiri terdapat 2 bioskop yang beroperasi yaitu New Star Cineplex (NSC) Timbul Jaya Plaza dan CGV*Blitz, dari kedua bioskop terdapat perbedaan dari segi fasilitas, jumlah pengunjung bioskop, dan juga desain yang diterapkan. Berdasarkan data survey pengunjung pada Goggle Trend yang diambil dari bulan September – November 2019, menunjukkan perbedaan signifikan jumlah pengunjung antara bioskop NSC Timbul Jaya Plaza Madiun dengan bioskop CGV*Blitz, dimana jumlah pengunjung di bioskop NSC Timbul Jaya Plaza cenderung lebih rendah dari bioskop CGV*Blitz. Gambar 1. Data perbadingan jumlah pengunjung bioskop [Sumber : Google Trend, 2019] Kurang nya pembaharuan dari segi fasilitas dan desain pada interior bioskop NSC Timbul Jaya Plaza Madiun juga menjadi salah satu faktor sepinya pengunjung pada bioskop. Gambar 2. Keadaan eksisting bioskop NSC Timbul Jaya Plaza Madiun [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Maka dari itu di dalam makalah ini akan dibahas redesain interior dari bioskop dengan menggunakan tema dan konsep Futuristic Entertainment yang bertujuan memberikan suasana baru pada bioskop untuk menghadapi persaingan bisnis bioskop yang semakin ketat seiring pertumbuhan jumlah layar bioskop yang semakin meningkat setiap bulannya dan era Industry 4.0 yang semakin canggih, selain itu pembaharuan dari segi desain dan hiburan dapat menarik perhatian pengunjung untuk datang ke bioskop NSC ini. METODE PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data Terdapat dua data pada metode ini, yaitu Data Primer dengan dilakukan pengumpulan informasi-informasi melalui wawancara pada salah satu staff bioskop dan salah satu pengunjung bioskop. Data Sekunder dengan mengumpulkan data informasi dari berbagai sumber referensi akurat. Metode ini diyakini dapat memberikan data yang akurat, dan dapat memberikan gambaran jelas permasalahan pada bioskop. 2.2 Metode Analisa Data Metode Analisa Data pada redesain ini menggunakan metode kualitatif. Metode dengan pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang di gunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat deskripsi. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitianya di lakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting). Dimana untuk hasil desainnya lebih bersifat umum, fleksibel serta berkembang dan muncul dalam proses penelitian. Kesimpulannya desain hanya digunakan sebagai asumsi untuk melakukan penelitian sehingga desain harus bersifat fleksibel dan terbuka. 2.3 Metode Desain Metode yang digunakan pada redesain ini yaitu metode glass box, dimana metode yang menggunakan parameter yang terukur, sesuai dengan fakta dan telah dianalisisa secara mendalam serta sistematis. Sehingga metode desain menggunakan sistem ini hasilnya diharapkan mampu rasional sehingga memenuhi standar kenyamanan. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Lokasi Site Bioskop ini berlokasi di Jalan Pahlawan Kav. 46 – 48, Mangu Harjo, Kota Madiun. Untuk akses ke bioskop tersebut sangatlah mudah, karena bangunan Timbul Jaya Plaza sendiri berada tepat dipinggir jalan raya dan berada di tengah kota Madiun sebagai pusat perekonomian kota tersebut sehingga mudah untuk ditemukan. Dari lokasi tersebut dapat dihasilkan data berupa eksisting dari bioskop tersebut. 3.2 Tema dan Konsep Menentukan tema dan konsep merupakan langkah awal dalam meredesain suatu interior. Hal ini akan memberikan gambaran yang jelas suatu ruangan dari segi bentuk, warna, dan material yang akan digunakan, sehingga memiliki visual yang menarik. Tema yang diaplikasikan pada redesain ini adalah Futuristic, Futuristik sendiri merupakan tema desain yang berorientasi pada masa depan, dengan banyak menggunakan bentukan yang tidak lazim, dan jarang diterapkan pada furniture pada umumnya. Dalam tema futuristik yang akan diterapkan pada redesain ini memiliki karakteristik dan ciri-ciri tersendiri, seperti tampilan artistik namun memiliki bentuk sederhana, elegant modern, dan dengan nuansa ruangan yang penuh dengan permainan lampu. (a) (b) Gambar 3. (a) Ruangan tema futuristic (b) aksen garis lampu pada garis pada furniture futuristic [Sumber : pinterest, 2020] Konsep yang diplikasikan pada redesain ini adalah Entertainment. Konsep ini mengambil elemen dari bioskop ini sendiri yaitu sebagai tempat hiburan yang sekaligus memberikan kesan dan pengalaman terbaik untuk menonton film bagi pengunjungnya. Dari tema dan konsep akan muncul suatu skema warna yang akan banyak diterapkan pada interior, yaitu cyan, hitam dan putih. Untuk material, banyak akan diterapkan menggunakan bahan stainless steel, aluminium, dan kaca tempered glass. 3.3 Scheme Color Dalam setiap konsep desain ruangan, terdapat warna-warna yang akan secara dominan muncul dalam pengaplikasiannya. Pada tema ini akan memiliki skema warna : Gambar 4. Scheme Color Redesain Bioskop New Star Cineplex Timbul Jaya Plaza Madiun [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] 3.4 Visualisasi tema dan konsep Tema dan konsep yang akan diterapkan pada interior adalah Futuristic Entertainment pada bagian lantai, dinding, ceiling/plafond, furniture, ruangan, dan fasilitas pada bioskop. Lantai Area lantai bioskop yang akan diterapkan adalah lobby bioskop dan area ruang teater. a) Lobby Gambar 5. Lantai Karpet [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Pada bagian lobby bioskop, diaplikasikan karpet sebagai lapisan penutup lantai, dan aksen garis lampu untuk futuristic look yang mengelilingi area ruangan lobby, selain sebagai aksen, penggunaan garis ini berfungsi sebagai garis emergency ketika keadaan darurat terjadi, yang akan menyala untuk menuntun pengunjung ke arah pintu keluar. b) Ruang Teater Gambar 6. Lantai Ruang Teater [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Area ruang teater diberikan lapisan karpet tile, dengan hidden lamp pada bagian tangga teater. Hidden lamp pada tangga selain berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi penonton, sekaligus sebagai lampu emergency, penunjuk jalan ketika dalam keadaan darurat. Dinding Area yang akan diterapkan yaitu pada dinding lobby, ruang tunggu dan ruang teater. a) Lobby Gambar 7. Dinding Lobby [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Dinding lobby menggunakan bentuk yang simetris, asimetris dan banyak menggunakan permainan hidden lamp untuk menyesuaikan konsep futuristik pada ruangan. b) Ruang Tunggu Gambar 8. Dinding Ruang Tunggu [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Pada area dinding ini di aplikasikan bentuk simetris organic berbentuk honeycomb, bentuk ini menjadi focal point di salah satu sudut area ruang tunggu sebagai futuristic look. c) Ruang Teater Gambar 9. Dinding Ruang Teater [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Dinding pada ruang teater, diterapkan backdrop untuk menambah kesan futuristik dalam ruangan, dan sebagai menambah pencahayaan ruangan. Ceiling/Plafond Area yang diterapkan yaitu pada lobby, ruang teater, dan lorong Exit Ruang Teater 2. a) Lobby Gambar 10. Plafond Ruang Lobby [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Pada area lobby menggunakan drop ceiling yang terdapat hidden lamp di dalamnya mengelilingi lampu gantung. Penggunaan ceiling ini untuk memberikan tambahan pencahayaan dan menambah estetika futuristik pada ruangan. b) Ruang Teater Gambar 11. Plafond Ruang Teater [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Ceiling pada area bioskop terdapat lampu pada setiap garis nya untuk memberikan futuristic look pada ruangan. Selain itu ceiling pada area ini sedikit diberikan bentuk lengkungan sebagai pengatur akustik audio ruangan. c) Lorong Exit Teater 2 Gambar 12. Plafond area lorong exit teater 2 [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Area lorong exit diaplikasikan plafon kaca dengan ceiling yang tinggi, ukuran ruang lorong yang sempit, tidak ingin memberikan kesan claustrophobic pada pengunjung sehingga penggunaan plafond kaca memberikan kesan ruang yang lebih lapang, dan banyak penggunaan permainan lampu untuk memberikan daya tarik pada pengunjung. Furniture Gambar 13. Bentuk Desain [sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Furniture pada area lobby memiliki bentuk yang berbeda dan memiliki bentukan yang simple. Furniture pada konsep ini banyak menggunakan LED strip yang mengikuti garis bentuknya, selain sebagai penambahan pencahayaan pada ruangan, sekaligus menambah estetika pada ruangan. Ruangan Bioskop Salah satu ruangan yang diterapkan tema dan konsep ini yaitu area lorong exit teater 2. Gambar 14. Area Lorong Exit Teater 2 [sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Permainan lampu dan penempatan permainan cermin pada ruangan, untuk memberikan suasana fun dan eye catching pada para pengunjung, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Fasilitas Bioskop Fasilitas ini sebagai pelayanan yang diberikan oleh bioskop kepada pengunjung yang datang. a) Penggunaan teknologi terbaru pada bioskop. (Proyektor NEC NC3200S) Pengaplikasian proyektor versi ini akan memberikan kualitas gambar video 2K – 4K dan kontras warna yang jernih, sehingga akan memanjakan mata para penonton film. b) Audio berkualitas Dolby Atmos Pengaplikasian audio berkualitas Dolby Atmos akan memberikan kualitas suara yang lebih jernih, dan tampak realistis, sehingga memberikan pengalaman menonton yang menyenangkan. c) Fasilitas pendukung yang berbasis Smart Technology Pengaplikasian fasilitas yang telah mendukung Smart Technology selain mempermudah aktivitas agar lebih efisien, juga akan menarik pengunjung untuk datang, mencoba fasilitas baru yang belum pernah mereka coba. d) Online Based and Self-Service activity Pada era industry 4.0 sekarang ini, hampir segala aspek kegiatan sehari-hari barbasis pada internet, dan online dimana hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kegiatan masyarakat agar lebih efisien. Dari keunggulan tersebut juga dapat diterapkan pada fasilitas hiburan publik seperti pada bioskop. Pemesanan tiket film tidak perlu lagi harus datang mengantri ke bioskop, cukup memesan tiketnya via online. Jika pun tidak sempat memesan tiket online bisa langsung memesan tiket on the spot, dengan self-service pada ticket box, yang telah disediakan layanan pemesanan tiket. Selain pelayanan pemesanan tiket film, kegiatan ini juga akan diterapkan pada pemesanan makanan di cinema café. Pengunjung dapat memesan makanan secara online melalui aplikasi sebelum menonton, ataupun on the spot. Sistem pembelian on the spot memiliki 2 cara, yaitu memesan sebelum menonton, atau ketika sedang menonton film. Pesan makanan sebelum menonton dapat dilakukan di cinema café dengan sistem self-service, pemesanan ketika sedang menonton dapat dilakukan melalui layanan customer service yang di install pada setiap kursi penonton, layanan ini terhubung langsung pada cinema café yang nantinya akan dibawakan makanan/minuman nya ke dalam ruang teater oleh pegawai cinema café. Material Bahan Material yang digunakan disesuaikan dengan tema dan konsep yang akan diterapkan pada bioskop. Penggunaan material logam seperti stainless steel, aluminum, dan besi banyak digunakan pada ruang interior, hal ini untuk memberikan kesan glossy pada ruangan. (a) (b) (c) Gambar 15. (a) Aluminum (b) Stainless Steel (c) Besi [Sumber : google, 2020] Selain itu penggunaan bahan kaca tempered glass dan cermin untuk memberikan reflective, bersih, sederhana, dan elegan. (a) (b) Gambar 16. (a) Kaca Tempered Glass (b) Kaca Cermin [Sumber : google, 2020] Lalu adanya penambahan material akustik, seperti rockwool dan gypsum digunakan pada area ruang teater sebagai pengaturan akustik pada ruangan. (a) (b) Gambar 17. (a) Kaca Tempered Glass (b) Kaca Cermin [Sumber : google, 2020] 3.5 Branding Branding pada New Star Cineplex ini bertujuan untuk mengenalkan desain logo baru pada bioskop ini, dengan tampilan yang berbeda dengan dengan sebelumnya menyesuaikan dengan konsep baru pada bioskop. Logo (a) (b) Gambar 18. (a) Logo Before (b) Logo After [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Desain dari logo baru ini menyesuaikan dengan tema yang diterapkan pada ruang bioskop, yaitu futuristik dengan skema warna hitam, putih dan cyan. Font pada “New Star” dan “Cineplex” dirubah untuk mendukung tema menjadi lebih modern. Bentuk bintang dari logo sebelumnya masih tetap dipertahankan dan sedikit diberikan pembaharuan dari segi warna logo, untuk identitas diri dari bioskop tersebut. Tiket Film Gambar 19. Desain tiket bioskop [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Desain tiket film ini terinspirasi oleh desain tiket film yang ada di Korea Selatan. Setiap tiket film terdapat gambar poster dari film yang ingin ditonton, bertujuan sebagai kenang-kenangan dan menambah daya tarik pecinta film bioskop yang gemar mengoleksi tiket film yang sudah ditonton. Interface pada aplikasi online Gambar 20. Interface pada aplikasi online [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Pada desain aplikasi bioskop ini menyesuaikan dengan tema pada bioskop, sehingga dibuat simple agar mudah pengoperasian nya oleh masyarakat. 3.6 Hasil Desain Berikut beberapa hasil desain penerapan dari tema dan konsep pada bioskop Façade Gambar 21. Façade bioskop [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Lobby Gambar 22. Lobby bioskop [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Ruang Teater Gambar 23. Ruang Teater [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] Lorong Exit Teater 2 Gambar 24. Ruang Teater [Sumber : dokumentasi pribadi, 2020] SIMPULAN Bioskop New Star Cineplex (NSC) Timbul Jaya Plaza kota Madiun, bioskop ini berada di area pusat perbelanjaan (mall), dimana NSC merupakan salah satu tenant yang menjadi pendukung perputaran ekonomi pada area mall tersebut. Sayang, kurangnya minat pengunjung untuk datang ke bioskop, sedikit menghambat perputaran tersebut. Persaingan akan bisnis tempat pemutaran film semakin ketat, dimana setiap bulannya jumlah bioskop semakin bertambah dan hal ini menjadi tantangan bagi pengusaha bisnis bioskop untuk tetap mempertahankan usahanya. Maka dari itu, dari pihak pengelola harus tetap terus melakukan inovasi, perawatan, dan peningkatan fasilitas yang terdapat pada bioskop. Selain itu penerapan konsep Futuristic Entertainment ini bertujuan memberikan fasilitas hiburan yang bernuansa masa depan, sehingga dapat mengimbangi persaingan bisnis tempat bioskop yang semakin berkembang setiap bulannya. Apalagi di era Industry 4.0 sekarang ini dimana segala aspek didasari oleh teknologi internet dan online harus dapat diterapkan dalam segala hal, termasuk pada bioskop sebagai media hiburan masyarakat untuk memperluas jangkauan nya. DAFTAR PUSTAKA A. Wicaksono, D. Kharisma, dan S. Sastra. Ragam Desain Interior Modern. Cibubur, Jakarta Timur: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup). 2014. A. Wicaksono, dan E. Tisnawati. Teori Interior. Cibubur, Jakarta Timur: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup). 2014. P. Satwiko. Fisika Bangunan 1. Yogyakarta: CV Andi Offset. 2004. L. Doelle. 1972. Environmental Acoustics. New York, NY: Reprinted with permission from McGraw-Hill Book Company. 1972. W. Swasty. A-Z Warna Interior: Rumah Tinggal. Cibubur, Jakarta Timur: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup). 2010. V. Leiwakabessy. 2013. “LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN CINEMA AND FILM LIBRARY DI YOGYAKARTA, no. 3, http://e-journal.uajy.ac.id/3395/3/2TA13281.pdf, (Diakses pada 11 Desember 2019) Tim CNN Indonesia. 2019. “Jumlah Layar Bioskop Indonesia Mulai Kejar Korea Selatan”, Jakarta, 16 Mei. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190516152929-220-395469/jumlah-layar-bioskop-indonesia-mulai-kejar-korea-selatan, Diakses pada 11 Desember 2019) Dekoruma, Kania. 2018. “8 Ciri Desain Futuristik, Gaya Desain Interior Masa Depan” Jakarta, 27 April. https://www.dekoruma.com/artikel/66939/gaya-desain-futuristik, (Diakses pada 11 Desember 2019) D. Agasbrama. 2014. “Konsep Desain Interior Futuristik” Jakarta, 15 Mei, https://interiorudayana14.wordpress.com/2014/05/15/konsep-desain-interior-futuristik/, (Diakses pada 11 Desember 2019) N. Khmairah, S. Wahyuning. 2017. “KAJIAN KARAKTERISTIK PENCAHAYAAN BUATAN PADA BIOSKOP (STUDI KASUS : CINEMACITRA XXI,MALL CIPUTRA,KOTA SEMARANG)” MODUL 17, no. 1(2017): 75-77. http://dx.doi.org/10.14710/mdl.17.2.2017.75-77, (Diakses pada 11 Januari 2020
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Ueda, Minoru, Yukio Sumi, and Ken-ichiro Hata. "Establishment of Bioskin Bank." Annals of Plastic Surgery 42, no. 5 (May 1999): 574. http://dx.doi.org/10.1097/00000637-199905000-00026.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Suwarto, Dyna Herlina. "ANALISIS SEGMENTASI PENONTON BIOSKOP YOGYAKARTA." INFORMASI 46, no. 2 (December 29, 2016): 215. http://dx.doi.org/10.21831/informasi.v46i2.12248.

Full text
Abstract:
After the long period of the cinema industry decline, the number of audience who visit cinema increases significantly. However, the research to examine the phenomena of audience segmentation is very few. Therefore the study aim is to investigate cinema audience segmentation in Yogyakarta on the basis of the aspects that affects the audience film choice. Furthermore the mix-method approach combining qualitative and quantitative method in sequence was employed to attain the research objective. For the first step, three focus group discussions that involve 20 informants. The second step, survey was conducted involving 454 respondents. The result indicates that there are two different audience segments according their behaviors. The first segment visits the cinema as fun activities in their spare time meanwhile the second segment considers the activity as a cultural interest in order to enjoy the narrative and artistic aspects of a film
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Karolina, Cut Meutia, Eni Maryani, and Dian Wardiana Sjuchro. "The Communication Competence of Visual Reader at Visually Impaired's Cinema." Jurnal Ilmiah Peuradeun 8, no. 2 (May 30, 2020): 225. http://dx.doi.org/10.26811/peuradeun.v8i2.488.

Full text
Abstract:
Bioskop Harewos is a cinema that specialized in visually impaired film viewers in Bandung, Indonesia. The cinema runs with a traditional and distinct watching process. Some important concepts used in this research are related to communication competences; Visually impaired; and film. Using a qualitative method with constructivism paradigm and case study approach, this research tries to uncover several aspects, such as the communication capabilities of Visual Readers in Bioskop Harewos; the management effort of Bioskop Harewos in enhancing the communication effectiveness between Visual Readers and visually impaired viewers; also the competency of communication skills that required by Visual Readers. The result of this study revealed that the communication skills of Visual Readers in terms of being a prompter to visually impaired viewers were still under expectation. In terms of improving communication skills, the manager of the Bioskop Harewos has made several introductions and pre-viewing activities, yet the result is not as expected. This research also found three key competencies that are a necessity to be possessed by Visual Readers.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Miliora, Maria T., and Richard B. Ulman. "Panic Disorder: A Bioself-Psychological Perspective." Journal of the American Academy of Psychoanalysis 24, no. 2 (June 1996): 217–56. http://dx.doi.org/10.1521/jaap.1.1996.24.2.217.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
More sources

Dissertations / Theses on the topic "Biosklo"

1

Riša, Juraj. "Studium interakce kompozitů na bázi HA/biosklo v simulované tělesné tekutině." Master's thesis, Vysoké učení technické v Brně. Fakulta chemická, 2019. http://www.nusl.cz/ntk/nusl-401895.

Full text
Abstract:
This work deals with bioceramic materials based of hydroxyapatite, bioglass and their composites. These materials are commonly used in medicine, especially as hard tissue substituents. They can be prepared by different types of syntheses, from which the most common were picked for this work – precipitation of hydroxyapatite and sol-gel method for bioglass. Thermal analysis and X-ray diffraction were used for characterization of prepared powders. This thesis studies mostly their features within the composite materials, which were foamed for better bone stimulation. Properties and possibility in bio application of materials is firstly studied through their interaction in simulated body fluids, which mimics ionic concentration of human plasma. Experimental part covers synthesis of ceramic powders, their characterization, preparation of mixtures and scaffolds foamed through in situ foaming, their sintering at ideal temperatures, characterization of porosity and phase changes due to sintering. Basic tests of apatite formation ability were provided by incubation of prepared scaffolds in simulated body fluid for 3, 7, 14 and 21 days and their assay in scanning electron microscopy. Changes in concentration of Ca2+ a PO4 3- ions as well as in weight of the specimen were tracked within the incubation period.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Nedbalová, Radka. "Příprava a vlastnosti pěnových materiálů na bázi Bioskla." Master's thesis, Vysoké učení technické v Brně. Fakulta strojního inženýrství, 2014. http://www.nusl.cz/ntk/nusl-231661.

Full text
Abstract:
The work deals with the preparation and mechanical properties of coated Bioglass® 45S5 based foam materials with open porosity. The samples have been fabricated applying the replication method with use of polyurethane foam. Furthermore, these samples were coated in order to increase the strength characteristics and crack resistance. Polyvinylalcohol and PVA with cellulose microfibrils have been used as coating. Besides microstructural parameters of investigated materials using the SEM images strength characteristics in compression and in tension were also quantified.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Dipsche, Patrick. "Chemo-/Biomechanische Kariesentfernung mit Biosolv." Diss., lmu, 2009. http://nbn-resolving.de/urn:nbn:de:bvb:19-106989.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Ståhl, Emmy. "Identification of changes in biomarkers relevant for breast cancer biology occurring in a novel 3D-Biosilk model." Thesis, KTH, Proteinvetenskap, 2021. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:kth:diva-294248.

Full text
Abstract:
Bröstcancer är den vanligaste formen av cancer som drabbar kvinnor. Det är en heterogen och komplex sjukdom som består av flera undergrupper, var och en med distinkt morfologi och kliniska implikationer [1]. För att modellera och studera cellbiologi, vävnadsmorfologi, molekylära mekanismer och läkemedels effekter används cellkulturer [2]. Idag är tvådimensionella (2D) modeller fortfarande den mest använda metoden för att odla celler in vitro [3]. En nackdel med 2D-modeller är att mikromiljön i dessa modeller inte imiterar in vivo strukturen av tumörer och vävnader, då de saknar tre dimensionella (3D) cell-cell och cellextracellulär matrix (ECM) interaktioner [2]. På grund av nackdelarna med 2D-modeller, har 3D-modeller blivit mer intressanta som alternativ för att lösa behovet av en pålitlig preklinisk modell för läkemedelstestning och för studier av cancerbiologi. För att utveckla ett redskap som är relevant för cancerforskning etablerar professor My Hedhammars laboratorium en 3D-modell av bröstcancer. I en sådan ny modell används Biosilk som byggnadsställning för att odla odödliga cellinjer som är representativa för de tre huvudklasserna av bröstcancer (i.e. MCF-7 (luminal-lik), SKBR-3 (HER2-överuttryckt) och MDAMB- 231 (trippel-negativ)). Eftersom transkriptions signaturer kan användas för att klassificera och studera bröstcancer är det viktigt att undersöka om och hur tillväxt i 3D-Biosilk kan påverka genuttrycksprofiler. Hypotesen som testades i denna studie var om cellkulturer i 3DBiosilk kan ha signifikanta skillnader i uttryck av biomarkörer, relevanta för bröstcancerbiologi, vid jämförelse av samma cellinje kultiverad i 2D. För att testa detta utvärderades kvalitén och reproducerbarheten av 3D-Biosilk konstruktionen med hjälp av olika kvalitetstester. Strukturen granskades med brightfield mikroskopi, arean av konstruktionen mättes med ImageJ, infärgning med phalloidin bekräftade cellnärvaro och cellvidhäftning till modellen. Alamar blue utfördes för att bedöma den cellulära metaboliska aktiviteten i modellen. Förändringarna av målgenernas genuttryck undersöktes med kvantitativ omvänd transkription PCR (RT-qPCR) och detta påvisade en statistiskt signifikant skillnad i genuttrycket beroende på om cellerna odlats i 2D- eller 3D-Biosilk modeller. I cellinje MDA-MB-231 hittades tre gener, i cellinje SKBR-3 hittades två gener och i cellinje MCF-7 hittades fyra gener. Genuttrycket för en av dessa gener i cellinje MCF-7, som var kultiverad i 3D-Biosilk, var nedreglerad (i.e. ZO-1). Detta kunde valideras på proteinnivå med immunofluorescens. Sammanfattningsvis, celler odlade i 3D-Biosilk visar på en mer aggressiv fenotyp.
Breast cancer is the most common cancer among women. It is a heterogenous and complex disease composed of several subtypes, each with distinct morphological and clinical implications [1]. To model and study cell biology, tissue morphology, molecular mechanisms and drug actions, cell cultures are canonically used [2]. Today two-dimensional (2D) models are still widely the preferred method for culturing cells in vitro [3]. A drawback with 2D models is that the microenvironment in these models does not mimic the in vivo structure of tumors and tissues, lacking three-dimensional (3D) cell-cell and cell-extracellular matrix (ECM) interactions [2]. Due to the disadvantages of 2D models, 3D cultures have become an increasingly interesting alternative to solve the need for a reliable preclinical model for drug testing and the study of cancer biology. To develop a relevant tool for cancer research, the laboratory of professor My Hedhammar is currently establishing a 3D model of breast cancer. In such novel model, Biosilk is used as scaffold to grow immortalized cell lines representative of the three major classes of breast cancer (i.e. MCF-7 (luminal-like), SKBR-3 (HER2-overexpression) and MDA-MB-231 (triplenegative)). Since transcriptional signatures can be used to classify and study breast cancers, it is important to investigate if and how growth in 3D-Biosilk can impact gene expression profiles. The hypothesis tested in this study was that cells cultured in 3D-Biosilk have differences in expression of biomarkers relevant to breast cancer biology, when compared to the same cell lines cultured in 2D. To examine this, 3D-Biosilk models were created and evaluated to ensure their quality and reproducibility, for instance, the scaffold structure was monitored by brightfield microscopy, the construct’s area was measured with ImageJ, staining with phalloidin confirmed the presence of cells as well as their attachment to the construct, and Alamar blue was used to assess the cellular metabolic activity. Differences in gene expression of target genes were investigated using reverse transcription quantitative PCR (RTqPCR), which revealed statistically significant changes depending on whether the cells were cultivated in 2D or a 3D-Biosilk model. For cell line MDA-MB-231 three genes were found, for SKBR-3 two genes were found and for MCF-7 four genes were found. The expression of one gene which was found downregulated in MCF-7 cultured in 3D-Biosilk (i.e. ZO-1) was validated at protein level by immunofluorescence. In conclusion, cultivating cells in 3D-Biosilk indicates a more aggressive phenotype.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Dipsche, Patrick [Verfasser]. "Chemo-, biomechanische Kariesentfernung mit Biosolv / vorgelegt von Patrick Dipsche." 2009. http://d-nb.info/998041114/34.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles

Books on the topic "Biosklo"

1

Zdravko, Zupan, Pavković Vasa, and Baćanović Nenad, eds. Dečji bioskop. Beograd: Stubovi kulture, 1998.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Rajović, Ivan. Bioskop u provinciji. Kraljevo: Slovo, 1992.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Dimitrijević, Sava. Bubnjara iz Slavujev bioskop. Leskovac: Benepharm d.o.o., 2012.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Haryadi, Rohmat. Saat bioskop jadi majelis taklim. Jakarta: Hikmah, 2008.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Nikolić, Mirjana Marinšek. Taj mali bioskop u našim glavama. Novi Sad: Prometej, 2012.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Tjasmadi, M. Johan. 100 tahun sejarah bioskop di Indonesia. Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera, 2008.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Diskusi Bulanan "Bioskop Tua di Bangka" (2008 June 4 Jakarta, Indonesia). Bioskop tua di Bangka: Diskusi bulanan. [Jakarta]: Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, 2009.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Oertel, Herbert. Biostro mungsmechanik: Grundlagen und technische Lo sungen. Wiesbaden: Vieweg + Teubner, 2008.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Widjaya, Yan. H.M. Johan Tjasmadi: 60 tahun mengawal bioskop dan film Indonesia. Jakarta: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat bekerjasama dengan Panitia Hari Pers Nasional (HPN) Pusat 2015, 2015.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Schickhoff, Udo. Entwicklung der Biodiversität in Salzgrasländern der Vorpommerschen Boddenlandschaft: Ergebnisse des Verbundprojektes BIOSALT im BMBF-Förderprogramm "Biodiversität und Globaler Wandel (BIOLOG)". Bonn-Bad Godesberg: Bundesamt für Naturschutz, 2010.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
More sources

Book chapters on the topic "Biosklo"

1

Pirone, Lucia, Wendy Xolalpa, Ugo Mayor, Rosa Barrio, and James D. Sutherland. "Analysis of SUMOylated Proteins in Cells and In Vivo Using the bioSUMO Strategy." In Methods in Molecular Biology, 161–69. New York, NY: Springer New York, 2016. http://dx.doi.org/10.1007/978-1-4939-6358-4_12.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Xiao, Chengzu, Zicai Huang, Zhengguang Zhang, Zhaolie Chen, Fengzhi Li, Jianxin Ye, Heshan Zhou, Zhixia Guo, and Lihua Gao. "Production of Recombinant Prourokinase by CHO Cells in a Perfusion Biosilon Microcarrier Culture System." In Animal Cell Technology: Developments Towards the 21st Century, 97–101. Dordrecht: Springer Netherlands, 1995. http://dx.doi.org/10.1007/978-94-011-0437-1_16.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

"5. Im Bioskop – Forschung Und Soziale Interaktion Im Vorkriegscenter (1935 – 1939)." In Das Peckham-Experiment, 81–100. Köln: Böhlau Verlag, 2014. http://dx.doi.org/10.7788/boehlau.9783412217501.81.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Poppe, W., and E. Schippert. "Das KCH-Biosolv-Verfahren in Kombination mit einem Biowäscher herkömmlicher Art - eine Verfahrensentwicklung zur Abluftreinigung für wasserlösliche und schwer wasserlösliche Schadstoffe." In Studies in Environmental Science, 71–76. Elsevier, 1992. http://dx.doi.org/10.1016/s0166-1116(08)70678-2.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles

Conference papers on the topic "Biosklo"

1

Pratomo, Adin Baskoro. "Gaya Arsitektur Bioskop Majestic di Bandung." In Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia. Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, 2017. http://dx.doi.org/10.32315/sem.1.c077.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Xu, Qing-Wei, and Yu Huang. "BiosFlow - A bioinformatics workflow platform based on semantic web technology." In 2009 International Conference on Future BioMedical Information Engineering (FBIE). IEEE, 2009. http://dx.doi.org/10.1109/fbie.2009.5405845.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Carturan, Giovanni, Giovanni Dellagiacoma, M. Rossi, R. Dal Monte, and M. Muraca. "Encapsulation of viable animal cells for hybrid bioartificial organs by the Biosil method." In Optical Science, Engineering and Instrumentation '97, edited by Bruce S. Dunn, John D. Mackenzie, Edward J. A. Pope, Helmut K. Schmidt, and Masayuki Yamane. SPIE, 1997. http://dx.doi.org/10.1117/12.279168.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography