To see the other types of publications on this topic, follow the link: Ekoteologie.

Journal articles on the topic 'Ekoteologie'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 32 journal articles for your research on the topic 'Ekoteologie.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Masinambow, Yornan, and Yuansari Octaviana Kansil. "Kajian Mengenai Ekoteologi dari Perspektif Keugaharian." SHAMAYIM: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 1, no. 2 (2021): 122–32. http://dx.doi.org/10.51615/sha.v1i2.20.

Full text
Abstract:
AbstractThis article aims to explain and reflect an ecological understanding of the natural environment from a theological perspective of frugality. The existence of the thought that humans as the center that result in exploitative actions against nature, treat nature, the environment as objects make environmental damage everywhere. The paradigm of humans who are masters also destroys the relationship between humans and nature itself. Therefore, human consciousness, which began to appear to be struggling with this, presented an ecotheological reflection of the spiritual dimension of spirituality. That way, harmony, loving nature can be formed, applied to human thinking. This study uses a qualitative method with a literature approach to describe the ecotheological views of beauty from various kinds of literature. The results of this study concluded that there were various kinds of views ranging from spirituality, philosophy, and reflection. All of them aim at bringing justice, love, and a sufficient life to be able to build a human attitude for nature and the environment. The eco-theology of passion is also presented by the church in the form of preaching the Word, education, and pastoral care so that the congregation is given a good understanding of the importance of caring for nature which is also God's beautiful creation.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menjelaskan serta merefleksikan suatu pemahaman ekoteologi mengenai lingkungan serta alam dari perspektif keugaharian. Adanya pemikiran bahwa manusia sebagai pusat yang mengakibatkan tindakan eksploitatif terhadap alam, memperlakukan alam, lingkungan sebagai objek membuat kerusakan lingkungan dimana-mana. Paradigma manusia yang adalah tuan juga merusak tatanan relasi manusia dengan alam itu sendiri. Oleh karena itu, kesadaran manusia yang mulai nampak menggumuli hal tersebut menghadirkan suatu refleksi ekoteologis dari dimensi spirtualitas keugaharian. Dengan begitu, keselarasan mengasihi alam dapat dibentuk serta diterapkan dalam pola berpikir manusia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kepustakaan untuk mendeskripsikan pandangan-pandangan ekoteologis keugaharian dari berbagai macam literatur. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ada berbagai macam pandangan mulai dari spiritualitas, filosofis, serta reflektif. Semuanya mengarahkan pada menghadirkan keadilan, cinta kasih, serta kecukupan hidup agar dapat membangun suatu sikap kemanusiaan bagi alam, lingkungan. Ekoteologis keugaharian juga dihadirkan oleh gereja dalam bentuk pemberitaan Firman, Pendidikan, dan pelayanan pastoral agar jemaat diberikan pemahaman yang baik mengenai pentingnya merawat alam yang juga adalah ciptaan Tuhan yang indah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Saputro, Daniel Eko, and Daniel Gunadi. "Ekoteologi Komunitas Sedulur Sikep." Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen dan Musik Gereja 5, no. 1 (2021): 42–56. http://dx.doi.org/10.37368/ja.v5i1.243.

Full text
Abstract:
Kajian dalam artikel ini diarahkan pada sikap Komunitas Sedulur Sikep (KSS) terhadap alam. Berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa literatur yang membahas KSS, serta wawancara dan observasi peneliti terhadap sikap dan perilaku KSS di wilayah Kudus, Pati, dan Blora maka dapat disimpulkan bahwa KSS memiliki sikap yang sangat mendukung pelestarian alam. Kesimpulan tersebut juga didasarkan pada gagasan kosmologis dalam prinsip-prinsip pengajaran yang dimiliki KSS sebagaimana tercermin dalam teknik pertanian yang memberi kesempatan tanah untuk beristirahat dan sikap menghindari konflik dengan hama. Sikap ramah terhadap lingkungan ini dapat menjadi contoh bagi gereja dan masyarakat dalam bersikap terhadap alam terlebih adanya fakta bahwa kekristenan telah lama dituding terlibat dalam kerusakan lingkungan berdasarkan penafsiran teks-teks Alkitab. Dengan kesadaran terkait masalah-masalah lingkungan hidup maka diperlukan juga sebuah paradigma penafsiran teks-teks Alkitab yang benar-benar mempertimbangkan pelestarian alam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Maggang, Elia. "Menampakkan Corak Biru Kekristenan Indonesia." Indonesian Journal of Theology 7, no. 2 (2019): 162–88. http://dx.doi.org/10.46567/ijt.v7i2.149.

Full text
Abstract:
Tulisan ini berupaya memaknai birunya Indonesia—negara kepulauan terbesar di dunia—dengan cara menawarkan sebuah corak biru bagi kekristenan Indonesia dari perspektif ekoteologi. Saya akan mulai dengan membahas ekoteologi dan kontribusinya dalam kekristenan untuk menunjukkan bahwa sub-disiplin ini dapat menjadi sebuah “kuas” yang memberikan corak biru bagi kekristenan. Selanjutnya akan didiskusikan mengapa dan bagaimana ekoteologi menanggapi krisis lingkungan/ekosistem laut sebagai “cat biru” bagi kuas tersebut—ekoteologi biru. Untuk ini, nilai laut yang sangat rendah dalam kekristenan serta corak biru antroposentrisme dalam kekristenan akan diuraikan dan ditanggapi dengan paradigma komunitas ciptaan sebagai “sketsa.” Semua pembahasan ini akan menegaskan bahwa laut harus dipandang dan diperlakukan bukan sebagai objek eksploitasi manusia melainkan subjek yang mendukung kehidupan bersama seluruh ciptaan Allah. Manusia dan laut adalah sama-sama partisipan dalam kehidupan itu. Pandangan dan sikap yang ramah atau bersahabat terhadap laut dengan cara memastikan bahwa laut tetap berpartisipasi bagi kehidupan itu adalah corak biru yang saya tawarkan untuk ditampakkan pada “kanvas” kekristenan Indonesia. Pada akhirnya, tulisan ini mengajak kekristenan di Indonesia untuk menunjukkan corak biru itu dalam wacana teologi dan aktivitas bergerejanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Febriani, Nur Arfiyah. "Ekoteologi berwawasan Gender dalam al-Quran." PALASTREN Jurnal Studi Gender 10, no. 1 (2017): 67. http://dx.doi.org/10.21043/palastren.v10i1.2463.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Horowski, Jarosław. "Autonomia świata a podmiotowość człowieka w ekoteologii." Studia Ecologiae et Bioethicae 8, no. 1 (2010): 117–31. http://dx.doi.org/10.21697/seb.2010.8.1.10.

Full text
Abstract:
One of the most difficult problems, which is to be solved by contemporary culture, is the ecological problem. It concerns the culture because the hedonistic and consumerist mentality of man plays an important part in it. Biocentrism states that the ecological problem results from traditional Western attitudes to the non-human world based on the belief that humans are the central and most significant entities in the universe. Biocentrism puts forward a teleological argument for the protection of the environment. It indicates that non-human species have inherent value as well and each organism has a purpose and a reason for being, which should be respected. Biocentrism states that the anthropocentric attitude to the non-human world results from the Christian worldview based on the Bible where it is written that God gives man dominion over all creatures. The author analyses the main issues of the Catholic concept of the relationship between human beings and other creatures. He indicates that ecotheology respects the inherent value of non-human creatures because, as the Pastoral Constitution on the Church in the modern world Gaudium et spes says: “all things are endowed with their own stability, truth, goodness, proper laws and order”, but maintains that the purpose of the world is connected with its relationship to God. The author considers also what is the human subjectivity in behaving towards the environment and what is the dependence between the autonomy of the world and the subjectivity of man in ecotheology. In the end, the author comes to the conclusion that according to ecotheology the ecological problem results from the broken relationship between the human and God and in consequence it the broken relationship between the world and God.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Ngabalin, Marthinus. "Ekoteologi : Tinjauan Teologi Terhadap Keselamatan Lingkungan Hidup." CARAKA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika 1, no. 2 (2020): 118–34. http://dx.doi.org/10.46348/car.v1i2.22.

Full text
Abstract:
AbstractThe world created by God, with everything in it is saved as an expression of God’s justice that should be guarded to maintain a cosmological balance for the welfare of all beings. However, it is realized, that human individualism often control itself to exploit nature. It is realized that the conception of salvation possessed by the Church had long been dominated by human-centered theology of salvation, consciously putting aside the conscience of life and salvation which are also the right of all beings. This research is a qualitative research with a literature study approach. This study aims to explain the ecotheology of the environment, its model and its implementation as a human effort in overcoming natural and environmental problems.Keywords: Nature; life; salvation; ecotheology AbstrakDunia yang diciptakan oleh Allah, dengan segala sesuatu yang mendiaminya diselamatkan sebagai wujud keadilan Allah yang patut dikawal untuk menjaga keseimbangan kosmologi bagi kesejahteraan segala makhluk. Namun di dalam kenyatannya, sikap individualisme manusia seringkali menguasai dirinya untuk mengeksploitasi alam. Disadari bahwa konsep keselamatan yang dimiliki oleh Gereja sudah sejak lama didominasi oleh teologi keselamatan yang bersifat berpusat pada manusia, yang secara sadar mengesampingkan nurani kehidupan dan keselamatan yang juga adalah hak segala makhluk. Penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjelaskan ekoteologi lingkungan hidup, model serta implementasinya sebagai upaya manusia dalam mengatasi masalah alam dan lingkungan hidup.Kata Kunci: Alam; Kehidupan; Keselamatan, Ekoteologi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Mamahit, Ferry Yefta. "Apa Hubungan Porong dengan Yerusalem? : Menggagas Suatu Ekoteologi Kristen." Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 8, no. 1 (2007): 1–24. http://dx.doi.org/10.36421/veritas.v8i1.174.

Full text
Abstract:

 
 
 Pertanyaan di atas sulit dijawab. Faktanya, kedua kota tersebut terpisah dengan jarak yang sangat jauh. Meski keduanya dikenal sebagai tempat wisata, yang satu adalah tempat wisata para turis mancanegara—khususnya turis religius dalam tradisi agama Abrahamis—dan yang satu lagi, tempat turis domestis yang kebetulan lewat di tempat itu, di mana selain mampir untuk membeli produk tersohornya, seperti bandeng presto, ote-ote, kerupuk udang dan petis, mereka juga ingin melihat “lumpur panas” yang tidak kalah terkenal; tetap saja, keduanya secara langsung tidak punya hubungan antara satu dengan yang lain. Namun, yang menarik, keduanya secara teologis diasumsikan mempunyai hubungan yang erat, sebab keduanya mengacu kepada hubungan antara iman dan bencana alam, atau tepatnya, antara iman dan kerusakan alam akibat sikap dan tindakan eksploitatif manusia terhadap lingkungan hidupnya. Karena itu, terjadinya “pukulan balik” dari alam atas ketamakan manusia yang terus menerus mengeksploitasinya ini perlu dipahami secara teologis. Dalam usaha memahami hal ini, ada beberapa pertanyaan penting perlu dilontarkan, seperti apakah konsidi lingkungan hidup manusia sekarang ini? Apakah motif di balik degradasi atau kerusakan lingkungan hidup? Apakah prinsip-prinsip alkitabiah yang dapat diajukan untuk membangun teologi lingkungan hidup (ekoteologi)? Akhirnya, apakah prinsip-prinsip teologis dan normatif yang dapat dibangun dari perspektif Kristen dalam menyikapi krisis ekologi yang sedang berlangsung pada masa kini? Singkatnya, tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, yang semuanya berfokus pada tujuan untuk memberikan sebuah pemahaman yang utuh tentang ekoteologi Kristen, sekaligus untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya memang ada korelasi timbal balik antara iman Kristen dan krisis lingkungan hidup yang disebabkan oleh manusia.
 
 
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Soraya, Ahna. "Tradisi Reresik Sendang Masyarakat Wonosoco dalam Perspektif Ekoteologi Islam." FIKRAH 7, no. 2 (2019): 391. http://dx.doi.org/10.21043/fikrah.v7i2.6487.

Full text
Abstract:
<p class="07KatakunciKeywords">This study aims to determine the perspective of Islamic eco-theology in the Reresik Sendang tradition in Wonosoco Village. How the people of Wonosoco Village carry out, interpret, and how the Reresik Sendang tradition is seen from the perspective of Islamic eco-theology. This research uses a type of field research using a qualitative descriptive approach. Data collection techniques obtained through the results of observations, interviews, and documentation. The findings from this study indicate several important points: First, the tradition of Reresik Sendang is a form of effort by the people of Wonosoco Village in preserving the natural environment based on Islamic teachings. Secondly, in the implementation of the Reresik Sendang tradition, there are still rituals which are Hindu-Buddhist teachings. The community interpreted that the Sendang Reresik tradition is a form of gratitude to God Almighty, as well as a form of respect for the ancestors. Third, viewed from the perspective of Islamic eco-theology in the Reresik Sendang tradition in Wonosoco Village, there is a meeting point in it, which sees nature as a "sign" of God.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Anoszko, Sergiusz. "Nowe ruchy religijne a koncepcje zrównoważonego rozwoju: ekoteologia Wiary Bahá’í." Studia Europaea Gnesnensia, no. 18 (July 9, 2020): 147–64. http://dx.doi.org/10.14746/seg.2018.18.9.

Full text
Abstract:
The chief aim of this paper is to outline the concept of sustainable development which is integrated into the doctrine of a relatively novel world religion known as the Bahá’í Faith. The study focuses on the description of causes behind the crisis and potential solutions as they are seen by the Baha’is, by means of analysis of their Sacred Writings and more profound insights into the doctrine, in particular where it concerns ecology and social-economic development.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Awang, Nirwasui Arsita, Yusak B. Setyawan, and Ebenhaizer L. Nuban Timo. "Ekoteologi Fungsi Hutan Oenaek: Penyimpangan Paradigma Ekologis Menuju Perilaku Eksploitatif." GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian 4, no. 2 (2019): 135. http://dx.doi.org/10.21460/gema.2019.42.423.

Full text
Abstract:
This study aims at describing and analyzing the change of Camplong residents’ perspective towards the function of forest which brings an impact on the damage of Oenaek Forest. In addition, the purpose of this study is also to conduct an ecotheological observation about this viewpoint shift. There is a Natural Tourism Park in Camplong with various kinds of flora and fauna. In Timorese belief, this forest functions as a palace for Usi (the highest god) and a shelter for the spirits of passed away ancestors. The shift of the forest status fromnatural forest (restricted forest) to productive forest has caused the change of residents’ perspective towards the function of the forest. In the past they used to perceive the forest as a subject, but now it has been seen as an object of economic enterprise. The change of this standpoint has influenced the behavior of Camplong people who live around the forest area: the forest is no longer served as a place for celebrating traditional rituals, but merely as a tourist destination. The method applied in this research is qualitative descriptive whichis carried out through observation and in-depth interview.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Putri, Agustin Soewitomo. "Penyelamatan Bumi dan Isinya dalam Pandangan Ekoteologi: Sebuah Analisis Biblikal." Angelion: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 1, no. 2 (2021): 164–81. http://dx.doi.org/10.38189/jan.v1i2.76.

Full text
Abstract:
The development of the world, especially in relation to the condition of the earth which includes nature and its environment, increases the time it experiences an increasingly dire situation. News about the occurrence of floods, smog that causes pollution, land damage and marine pollution due to uncontrolled plastic waste and garbage and various forms of environmental pollution have become news that is commonly heard and even tends to be considered wind. Earth's worsening conditions can no longer be underestimated. The condition of the earth will affect the continuity of human civilization in the future and the inevitable consequence is that today's humans are also responsible for the condition and health of the earth which will be passed on to their children and grandchildren. While on the other hand, religion, with its teachings that talk more about heaven, is accused of being the cause of all causes of damage due to human neglect of nature. This is where Ecotheology is expected to become a bridge to resolve this gap so that understanding of God and care for all of His creation are connected with the biblical explanation. This study aims to present the biblical idea of saving the earth and its contents, so that Christians can share responsibility for the management of the earth. As for the conclusion are: First, humans must return to the original concept of its formation, as guardians, preservers, managers of the earth with full power but not done arbitrarily. Second, saving the earth actually begins with a mandate for humans to protect their own race, the task of procreating and multiplying is the task of balancing the existing population, the task of balancing also includes being responsible for education for the next generations. Third, the laws in the Old Testament provide an important concept which until today can be a pattern for humans to care for the preservation of nature. Fourth, the concept of redemption carried out by Christ includes the restoration of the earth and everything in it and this restoration requires cooperation and awareness from humans to work for it.Perkembangan dunia, khususnya berhubungan dengan kondisi bumi yang meliputi alam dan lingkungannya, bertambah waktu mengalami keadaan yang semakin memprihatinkan. Berita tentang terjadinya banjir, kabut asap yang mengakibatkan polusi, kerusakan tanah dan pencemaran laut akibat limbah plastik dan sampah yang tak terkendali dan berbagai bentuk pencemaran-pencemaran lingkungan telah menjadi pemberitaan yang biasa didengar bahkan cenderung dianggap angin lalu. Kondisi bumi yang makin buruk ini tidak lagi bisa disepelekan. Keadaan bumi akan mempengaruhi kelangsungan peradaban manusia di masa depan dan konsekuensi yang tak dapat dielakkan adalah manusia jaman sekarang turut bertanggungjawab atas keadaan dan kesehatan bumi yang akan diwariskan kepada anak cucunya. Sementara di pihak lain, agama dengan ajarannya yang lebih banyak berbicara tentang surga, dituding menjadi penyebab segala pemicu kerusakan karena pengabaian manusia terhadap alam. Di sinilah Ekoteologi diharapkan menjadi jembatan untuk menyelesaikan kesenjangan tersebut sehingga pemahaman tentang Allah dan perawatan terhadap seluruh ciptaan-Nya terhubung dengan penjelasan Alkitab. Penelitian ini bertujuan mengemukakan gagasan Alkitab tentang penyelamatan bumi dan isinya, sehingga orang-orang Kristen ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaan bumi. Adapun sebagai kesimpulan adalah: Pertama, manusia harus kembali kepada konsep awal pembentukannya, sebagai penjaga, pemelihara, pengelola bumi dengan kekuasaan yang penuh namun bukan dikerjakan dengan sewenang-wenang. Kedua, penyelamatan bumi justru diawali dengan mandat untuk manusia menjaga rasnya sendiri, tugas beranak cucu dan bertambah banyak adalah tugas untuk menyeimbangkan populasi yang ada, tugas menyeimbangkan juga meliputi tugas bertanggung jawab untuk pendidikan bagi generasi-generasi berikutnya. Ketiga, hukum-hukum dalam Perjanjian Lama memberikan konsep penting yang hingga hari ini dapat menjadi pola manusia untuk merawat kelestarian alam. Keempat, konsep penebusan yang dilakukan oleh Kristus mencakup pemulihan atas bumi dan segala isinya dan pemulihan tersebut memerlukan kerjasama dan kesadaran dari manusia untuk mengusahakannya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Mahzumi, Fikri. "Renungan Ekoteologis KH. KPP. Noer Nasroh Hadiningrat di Pesantren Walisongo Tuban." ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 12, no. 2 (2018): 333–57. http://dx.doi.org/10.15642/islamica.2018.12.2.315-339.

Full text
Abstract:
This article is an attempt to describe the theological paradigm of environment existing in Pesantren Walisongo Tuban. From an academic perspective, this paradigm is often regarded as eco-theology. This discourse has been widely discussed by many experts and activists of environment from different countries as new attempts to cope with global crisis faced by human being. KH KPP Noer Nasroh Hadiningrat who is far way from the discourse of eco-theology has naurallybuilt a paradigm related to the issue of environment based on his reflection on Islamic values and traditions. Forest which becomes his dominant environment where his pesantren is located has led him to cosmic awareness of the importance of conserving the mandat of God to human being. This awareness manifests in what is called “the words of forest” (kalam rimba) transferred to students and society around pesantren. In addition, Kiai Noer as the key actor also get involved in practical activities such as establishing vocational school of forestry to establish a continous transformation and implication for the conserva-tion of forest with its ecosystem, particularly in Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Poceratu, Imelda Ch. "IMPLEMENTASI EKOTEOLOGI DALAM PENCEGAHAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DI PASAR ARUMBAI AMBON." ALE Proceeding 2 (July 17, 2021): 200–208. http://dx.doi.org/10.30598/ale.2.2019.200-208.

Full text
Abstract:
Abstrak Dewasa ini krisis ekologi merupakan tantangan global umat manusia pada awal abad 21 yang belakangan telah marak diperbicangkan. Pemerintah dan masyarakat dunia, dimanapun berada, merasakan keprihatinan mendalam mengenai krisis lingkungan ini. Karena krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan manusia; seperti udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, air yang kita minum, termasuk sistem organ di dalam tubuh kita. Krisis lingkungan yang secara ilmiah-filosofis disebut krisis ekologi ini merupakan refleksi krisis spiritual manusia modern yang telah menghilangkan Tuhan dalam hubungannya terhadap alam. Kesalahpahaman dan kegagalan manusia dalam memahami hakikat serta realitas alam menyebabkan sikap eksploitatif terhadapnya. Dalam setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan dampak yang dapat mempengaruhi ekosistem. Kebanyakandampak yang terjadi adalah dampak negative. Salah satu dampak negative yang terjadi yaitu pencemaran laut yang diakibatkan oleh sampah plastic. Karena itu, manusia seharusnya menyadari tanggungjawabnya sebagai mandataris Allah di dunia agar dapat melestarikan alam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Sipahutar, Roy Charly. "Kajian Ekoteologis tentang Konsep tanah dalam Perjanjian Lama dan Implikasinya bagi Pemeliharaan Tanah." BIA': Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 2, no. 2 (2019): 166–78. http://dx.doi.org/10.34307/b.v2i2.95.

Full text
Abstract:
This article is an echotheological study of the basis of Israel's election and agreement as God's people in relation to the ownership of the Land of Canaan. Israel as a nation and chosen people certainly have a duty as a blessing to others. This study departs from the meaning of the agreement affirmed on Mount Sinai, namely that God wants Israel to live in loyalty and always care for social life. The agreement was subsequently implemented in the form of the giving of the land of Canaan as another symbol. The promised land management is not only for the benefit of the people of Israel, but also must have a social dimension for the poor, oppressed, and marginalized, this is the ethical basis of Israel's life as God's people. Land must be cultivated as a source of God's peace (syalom) for all His creatures, because only in this way can they breathe in the covenant with the Divine, God the Almighty. Furthermore, at the end of this paper it will be concluded that human beings as God's representatives do not mean acting according to their own desires, because humans must always remember that everything will be accounted for back to God.Abstrak: Artikel ini adalah sebuah kajian ekoteologis mengenai dasar pemilihan dan perjanjian Israel sebagai umat Allah dalam hubungannya dengan kepemilikan Tanah Kanaan. Israel sebagai bangsa dan umat pilihan tentunya memiliki tugas sebagai berkat bagi orang lain. Kajian ini berangkat dari makna perjanjian yang ditegaskan di Gunung Sinai, yaitu bahwa Tuhan menginginkan Israel hidup dalam kesetiaan dan selalu peduli pada kehidupan sosial. Perjanjian itu selanjutnya diem-plementasikan dalam bentuk pemberian tanah Kanaan sebagai simbol yang lain. Pengelolaan tanah yang dijanjikan tidak hanya untuk kepentingan rakyat Israel, tetapi juga harus memiliki dimensi sosial untuk orang miskin, tertindas, dan ter-pinggirkan, hal tersebutlah yang menjadi dasar etis kehidupan Israel sebagai umat Allah. Tanah harus diusahakan sebagai sumber kedamaian Allah (syalom) untuk semua makhluk-Nya, karena hanya dengan cara ini mereka dapat bernafas dalam ikatan perjanjian dengan yang Ilahi, Allah Yang Maha Kuasa. Selanjutnya, pada bagian akhir tulisan ini akan disimpulkan bahwa manusia sebagai wakil Allah bukan berarti berbuat sesuai dengan keinginan dirinya sendiri, karena manusia harus selalu mengingat bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan kem-bali kepada Allah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Czekalski, Rafał. "Od humanizmu ekologicznego i ekofilozofii do ekoteologii. Krytyka koncepcji duchowości ekologicznej H. Skolimowskiego." Studia Ecologiae et Bioethicae 9, no. 4 (2011): 19–33. http://dx.doi.org/10.21697/seb.2011.9.4.02.

Full text
Abstract:
The purpose of this article was a review of the concept of ecological spirituality. Prior to this, however, the development of ecophilosophical thought of prof. Skolimowski has been presented. The starting point for Skolimowski’s philosophical thought is the holistic picture of the world (cosmology), which becomes the basis for the formulation of new ethics whose main attitude is reverence for the world and the man immersed in it. It is undoubtedly an original idea, opposing the canons and the paradigms valid in modern science. Skolimowski offers a holistic view of our civilization, the restoration of lost values, and inhibition of unilateral, i.e. materialistic progress. It is amazing how multifaceted Skolimowski’s publications are, ranging from strictly philosophical texts, regarding for instance analytical philosophy, to works concerning religious or social issues. The review of Skolimowski’s eco-theology has been conducted from the perspective of Catholic theology. The concept of God, spirituality, and the random treatment of other religions presented by Skolimowski are unacceptable. In reality, it is an attempt to subordinate religion to the assumptions of his own ecophilosophy.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Rafsanjani, Anugerah Zakya. "Tinjauan Ekoteologi Relasi Manusia dan Alam dalam Tradisi Sesuci Diri di Candi Jolotundo Mojokerto." Islamika Inside: Jurnal Keislaman dan Humaniora 4, no. 1 (2018): 96–120. http://dx.doi.org/10.35719/islamikainside.v4i1.58.

Full text
Abstract:
This article analyzes about relation between human and nature in the “self-cleansing” tradition and knows the meaning of purity in the ecotourism perspective in the Seloliman village of Mojokerto. The purpose of this study is to understand human and natural relations in a tradition as self-serving and to know the meaning of self as purely in the ecotourism perspective. The results of this study concluded that, in the perspective of Javanese philosophy, a purely self-made tradition was used to draw closer to God, especially in the silent procession. The process of silence is the stage where a person performs self-reflection and reaches harmony with God and nature. In the perspective of existentialistic phenomenology, the ability to understand Jolotundo as a space for spiritual practice provides an understanding of spiritual actors in their interests in this world, and their ontological relations with nature and their world. In the ecotourism perspective, as self-serving has undergone cultural acculturation in each method and its meaning, this indicates that every religion that is acculturated in a purified tradition has a universal meaning about the existence of nature.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Yuono, Yusup Rogo. "ETIKA LINGKUNGAN : MELAWAN ETIKA LINGKUNGAN ANTROPOSENTRIS MELALUI INTERPRETASI TEOLOGI PENCIPTAAN YANG TEPAT SEBAGAI LANDASAN BAGI PENGELOLAAN-PELESTARIAN LINGKUNGAN." FIDEI: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika 2, no. 1 (2019): 183–203. http://dx.doi.org/10.34081/fidei.v2i1.40.

Full text
Abstract:
Etika lingkungan memfokuskan diri pada bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan. Dalam etika ini makluk non-manusia mendapatkan perhatian. Etika lingkungan sekaligus merupakan kritik atas etika yang selama ini dianut manusia yang membatasi diri pada komunitas sosial. Dalam dimensi ekoteologi melihat bahwa krisis lingkungan yang sekarang ada tidak lepas dari sikap dan perspektif manusia terhadap alam. Manusia modern memandang alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi demi tercukupinya kebutan tanpa memikirkan dampaknya. Penelitian ini hendak menggali pandangan kekristenan terhadap alam. Kekristenan percaya bahwa alam merupakan ciptaan Tuhan. Manusia diberi mandat untuk menguasai dan mengusahakan. Pemahaman yang keliru sering kali menimbulkan perilaku salah dalam pemanfaatan alam. Kekristenan perlu memberikan pandangannya sebagai usaha preventif maupun represif, bagaimana seharusnya perilaku manusia terhadap alam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Sipahutar, Roy Charly HP. "Penciptaan dalam Sastra Hikmat Perjanjian Lama serta Implikasinya bagi Pemeliharaan Alam." Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika 3, no. 2 (2020): 202–27. http://dx.doi.org/10.34081/fidei.v3i2.152.

Full text
Abstract:
Artikel ini adalah suatu upaya mencari makna ekoteologis dari teks penciptaan yang ada dalam Sastra Hikmat Perjanjian Lama. Subordinasi tema penciptaan dengan tema teologi lain dalam Perjanjian Lama membuatnya tidak dapat berbicara secara utuh. Demikian pula upaya yang dilakukan dalam menggali tema penciptaan biasanya hanya seputar teks dalam kitab Kejadian, hal tersebut menafikan bahwa ada bagian lain dalam Perjanjian Lama yang berbicara lantang tentang tema penciptaan ini. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengeksplorasi tema penciptaan dari bagian Sastra Hikmat Perjanjian Lama dengan menggunakan metode studi pustaka, meneliti sumber-sumber referensi dari penelitian yang berkaitan dengan teks terpilih dan mengimplementasikannya bagi tanggung jawab umat terhadap pemeliharaan alam. Hasil penelitian mengemukakan bahwa manusia adalah ciptaan yang bertanggung jawab menjamin keteraturan alam, hikmat Tuhan memampukan manusia untuk menjadi sahabat alam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Sipahutar, Roy Charly HP. "Penciptaan dalam Sastra Hikmat Perjanjian Lama serta Implikasinya bagi Pemeliharaan Alam." Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika 3, no. 2 (2020): 202–27. http://dx.doi.org/10.34081/fidei.v3i2.152.

Full text
Abstract:
Artikel ini adalah suatu upaya mencari makna ekoteologis dari teks penciptaan yang ada dalam Sastra Hikmat Perjanjian Lama. Subordinasi tema penciptaan dengan tema teologi lain dalam Perjanjian Lama membuatnya tidak dapat berbicara secara utuh. Demikian pula upaya yang dilakukan dalam menggali tema penciptaan biasanya hanya seputar teks dalam kitab Kejadian, hal tersebut menafikan bahwa ada bagian lain dalam Perjanjian Lama yang berbicara lantang tentang tema penciptaan ini. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengeksplorasi tema penciptaan dari bagian Sastra Hikmat Perjanjian Lama dengan menggunakan metode studi pustaka, meneliti sumber-sumber referensi dari penelitian yang berkaitan dengan teks terpilih dan mengimplementasikannya bagi tanggung jawab umat terhadap pemeliharaan alam. Hasil penelitian mengemukakan bahwa manusia adalah ciptaan yang bertanggung jawab menjamin keteraturan alam, hikmat Tuhan memampukan manusia untuk menjadi sahabat alam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Haloho, Juppa. "STUDI INTERTEKSTUALITAS TERHADAP ROMA 8:18-23." Jurnal Amanat Agung 16, no. 1 (2021): 67–109. http://dx.doi.org/10.47754/jaa.v16i1.392.

Full text
Abstract:
Abstract: As an environmental mantra, Romans 8:18-23 has become one of the main pillars of the Christian ecotheology that gives mandate to Christians to take care of environment. Through this text, ecological crisis can be read not empirically but theologically. The hermeneutical issue of the text is that interpreters do not yet agree about the background of Paul’s argument. In the midst of the variety of interpreters’ suggestions of Paul’s background in Romans 8:18-23, intertextuality approach proposes Isaiah 24:1-7 as an allusion that Paul intentionally alluded to in Romans 8:18-23. Intertextuality approach proves that Isaiah 24:1-7 has some connections with Romans 8:18-23. In writing Romans 8:18-23, Paul had read Isaiah 24:1-7 figuratively in the light of Christ. Thus, restoring the context and theological message of Isaiah 24:1-7 illuminates the reading of Romans 8:18-23. Likewise, understanding why Paul used Isaiah 24:1-7 in Romans 8:18-23 helps readers read Isaiah 24:1-7.
 Keywords: ecotheology, intertextuality, figural reading, Romans 8
 Abstrak: Roma 8:18-23 sebagai environmental mantra merupakan salah satu pilar utama ekoteologi Kristen yang memberikan mandat kepada orang Kristen untuk memperhatikan lingkungan. Melalui teks ini, krisis ekologis dapat dipahami bukan secara empiris melainkan secara teologis. Sekalipun demikian, para penafsir masih belum sependapat mengenai latar pemikiran Paulus dalam Roma 8:18-23. Di tengah beragamnya usulan para penafsir atas latar pemikiran Paulus dalam Roma 8:18-23, pendekatan intertekstualitas mengusulkan Yesaya 24:1-7 sebagai alusi yang sengaja disinggung Paulus dalam Roma 8:18-23. Pendekatan intertekstualitas membuktikan keterkaitan Yesaya 24:1-7 dengan Roma 8:18-23. Dalam menulis Roma 8:18-23, Paulus telah membaca Yesaya 24:1-7 secara figural dalam terang Kristus. Dengan demikian, pemulihan konteks dan pesan teologis Yesaya 24:1-7 menerangi pembacaan Roma 8:18-23. Demikian pula, pemahaman mengapa Paulus menggunakan Yesaya 24:1-7 dalam Roma 8:18-23 menolong pembaca memahami Yesaya 24:1-7.
 Kata Kunci: ekoteologi, intertekstualitas, pembacaan figural, Roma 8 .
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Augustyn, G. M. "Loof die Here vir sy ekosisteem: Verslag van 'n ekoteologiese Ieeservaring met Psalm 104." Verbum et Ecclesia 18, no. 2 (1997): 245–57. http://dx.doi.org/10.4102/ve.v18i2.560.

Full text
Abstract:
Praise the Lord for his ecosystem: Report on an ecotheological reading experience with Psalm 104. This article summarises the record of a conscious approach by the writer to interpret Psalm I04 with a comprehensive methodology against the available knowledge of the ecosystemic status of the world. In preparation for this reading the exegete had to reflect on his choice· of exegetical method, his own being and presuppositions, knowledge on ecology itself and ecological crisis-talk, and knowledge on the place of creation theology within the Old Testament and its interpretation. A cursory representation of the outcome of the reading, regarding the structure of Psalm I04 and an example of ecotheological interpretation of the inclusio, is included.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Dandirwalu, Resa, J. B. Banawiratma, and Daniel K. Listijabudy. "Berteologi Kontekstual dari Sasi Humah Koin di Fena Waekose – Pulau Buru." DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 5, no. 2 (2021): 408–25. http://dx.doi.org/10.30648/dun.v5i2.502.

Full text
Abstract:
Abstract. This article departed from the reality of forest exploitation on Buru Island by the community, the operation of PT. Gema Sanubari and the plywood industry in 1980, so that most of the forest became deforested. This article aimed to construct an ecotheology that derives from the values contained in sasi humah koin, in the context of nature conservation efforts. This study was conducted by qualitative method, by collecting data through in-depth interviews with the king, traditional figures, and community leaders in Fena Waekose. Based on the analysis carried out, the sasi humah koin contain value and at the same time can be an instrument in nature preservation effort. Thus, it can be concluded that Christian theology can dialogue with local wisdom that will give poser in nature conservation.Abstrak. Artikel ini mengacu dari realitas eksploitasi hutan di Pulau Buru oleh masyarakat, hadirnya PT. Gema Sanubari dan industri kayu lapis pada tahun 1980, sehingga sebagian besar hutan menjadi gundul. Tujuan artikel ini adalah mengembangkan ekoteologi yang bersumber dari nilai yang terkandung dalam sasi humah koin, dalam rangka upaya pelestarian alam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pengambilan data melalui wawancara mendalam dengan Raja, Tokoh Adat, dan Tokoh Masyarakat di Fena Waekose. Berdasarkan analisis yang dilakukan, sasi humah koin mengandung nilai dan sekaligus dapat menjadi instrument dalam upaya pelestarian alam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teologi Kristen dapat berdialog dengan kearifan lokal untuk menjadi kekuatan dalam pelestarian alam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Mufid, Moh. "Fikih Mangrove: Formulasi Fikih Lingkungan Pesisir Perspektif Eko-Syariah." Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 7, no. 1 (2017): 107–27. http://dx.doi.org/10.15642/ad.2017.7.1.107-127.

Full text
Abstract:
Abstract: This article is a study of mangrove management in eco-sharia perspective. Conservation efforts in the coastal areas must be constructed based on religious values ​​so that it is expected to create a collective attitude of environmental awareness among coastal communities. Eco-sharia as an approach can provide a new paradigm related to the preservation of the coastal environment with anthropo-cosmic insights. The concept of eco-ecology and ecosystem can also provide a comprehensive understanding in the effort to support the existence of coastal environment jurisprudence. Normatively, the perspective of Islamic jurisprudence on mangroves preservation can be built through an in-depth understanding of Islamic recommendations in rehabilitating mangrove habitats in coastal area; Procedure of mangrove land conversion based on consideration of principle of benefit; Thus, it is urged that local governments to issue regulations to manage mangrove preservation in a sustainable manner.
 Abstrak: Artikel ini merupakan kajian pengelolaan mangrove dalam perspektif eko-syariah. Upaya pelestarian di wilayah pesisir harus dikonstruksi berbasis nilai-nilai religius sehingga diharapkan mampu melahirkan sikap kesadaran lingkungan secara kolektif di kalangan masyarakat pesisir. Eko-syariah sebagai suatu pendekatan dapat memberikan paradigma baru terkait pelestarian lingkungan pesisir dengan wawasan antropokosmis. Konsep ekoteologi dan ekosofi juga dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dalam upaya mendukung eksistensi fikih lingkungan pesisir. Secara normatif, fikih mangrove dapat dibangun melalui pemahaman secara mendalam tentang anjuran Islam dalam merehabilitasi habitat mangrove di pesisir; prosedur alih fungsi lahan mangrove berdasarkan pertimbangan asas manfaat-mafsadat; keniscayaan pemerintah daerah menerbitkan regulasi untuk mengatur pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Limbu, Anggun Permata Indah. "HARMONISASI CIPTAAN DALAM AL-QURAN, ALKITAB SERTA ABHIDAMMA." Pute Waya : Sociology of Religion Journal 1, no. 2 (2021): 82–99. http://dx.doi.org/10.51667/pwjsa.v1i2.351.

Full text
Abstract:
Tulisan ini hendak untuk mengelaborasikan tiga pandangan kitab-kitab keagamaan yakni Al-Quran, Alkitab serta Abdhidamma dalam menanggapi fenomena dalam masyarakat yang urgent belakangan ini. Fenomena tersebut ialah keberlangsungan hidup manusia dan alam yang senantiasa berdampingan. Di samping itu kitab-kitab keagamaan digunakan sebagai acuan bagi umat beragama dalam merealisasikan hidupnya. Dalam penulisannya, kitab-kitab keagamaan sedikit banyak memuat dikotomi terhadap perkembangan dan keutuhan lingkungan hidup dari cara pandang antroposentrisme sekaligus ekosentrisme. Hal tersebut menjadi stimulan dan rangsangan bagi setiap umat untuk bertindak terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Tindakan tersebut dapat direalisasikan dalam wujud menguasi alam secara antrophos atau bertindak secara ekosentris. Berdasarkan sikap manusia terhadap alam, maka deep ecology hadir sebagai suatu paradigma yang muncul juga dalam pandangan Ekoteologi maupun Ekosufisme dalam rangka mewujudkan harmonisasi seluruh ciptaan melalui stimulan dilandaskan pada kitab keagamaan. Di samping itu juga, deep ecology nampak dalam dari perspektif Buddha melalui Abhidamma. Data-data yang didapatkan dalam penulisan ini berdasarkan studi literatur dari berbagai penulis yang membahas tentang hubungan manusia dan alamnya. Oleh sebab itu, melalui kitab keagamaan, wacana-wacana tentang lingkungan hidup semakin hari dikabarkan bagi setiap pendengarnya. Dari kitab keagamaan, muncul gerakan cinta lingkungan yang terus diwartakan dalam setiap peribadahan agar tercapainya harmonisasi tersebut. Akan tetapi, wacana tersebut nyatanya belum dihayati secara benar dalam setiap lapisan masyarakat. Kitab keagamaan sebagai Power of Religion dengan pemahaman yang keliru dapat membangun paradigma-paradigma baru menuju kepada kehancuran lingkungan hidup. Disharmonisasi seluruh ciptaan dapat terjadi jikalau kata “menguasai” dan cara pandang manusia sebagai makhluk super power di salah tafsirkan dalam kehidupan seharinya. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini menawarkan beberapa sudut pandang yang dapat dibangun dalam mencapai harmonisasi seluruh ciptaan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Aman, Peter C. "Teologi Ekologi dan Mistik-Kosmik St. Fransiskus Asisi." DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA 15, no. 2 (2016): 188. http://dx.doi.org/10.26551/diskursus.v15i2.11.

Full text
Abstract:
Abstrak: Untuk mengembangkan suatu teologi ekologi, yang dikenal sebagai ekoteologi, mesti didasarkan pada fakta mengenai keterhubungan semua ciptaan sebagai suatu ekosistem. Metodologinya adalah induktif dan interdisipliner. Kosmologi dan antropologi amat membantu memberikan data ilmiah. Data-data tersebut merupakan titik awal untuk melakukan teologi ekologi, selain sumber-sumber yang diperoleh dari Wahyu, seperti Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium. Artikel ini merupakan suatu upaya mengembangkan teologi ekologi berdasarkan tradisi teologi Kristiani yang menggaris bawahi sejumlah titik pandang teologis, seperti penciptaan sebagai suatu proses melalui itu Allah menciptakan dunia; peran khas manusia sebagai partner Allah Pencipta, selaku gambar dan rupa Allah, merawat dan memelihara ciptaan atas nama Allah; antroposentrisme tidak memiliki akar dalam teologi ekologi Kristiani. Mistisisme kosmik St. Fransiskus sebagaimana diajukan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ akan menjadi bagian kedua dari artikel ini, agar dapat memahami spiritualitas ekologis yang meresap dalam seluruh ensiklik. Bagi orang-orang Kristen memelihara ciptaan merupakan suatu kewajiban yang berakar dalam iman Kristiani.
 Kata-kata Kunci: Teologi ekologi, ekosistem, penciptaan sebagai proses, Teosentrisme, antroposentrisme, gambar dan rupa Allah, mistisisme, penyair ontologis.
 Abstract: A theology on ecology, known as eco-theology, should be based on the reality of the interconnection of all creations as an ecosystem. The methodology should be both inductive and inter-disciplinary. Cosmology, biology and anthropology are helpful in contributing scientific data. The given data could be the starting points in doing a theology of ecology, besides the resources from Revelation, such as Scriptures, Tradition and Magisterium. This article is an effort to elaborate a theology of ecology based on Christian Tradition of Theology which underlines several theological points of view such as: creation as a process through which God creates the world; a special role as co-partner of the Creator for human being as “imago Dei” has to conserve and to take care of creation as God’s representative; anthropocentrism has no root on Christian theology of ecology. The Cosmic mysticism of St. Francis, promoted by Pope Francis in his encyclical letter Laudato Si’, occupies the second part of this article in order to understand ecological spirituality which emerges throughout the encyclical letter. For Christians, taking care of creation is also an imperative rooted in their Christian faith.
 Keywords: Theology of ecology, ecosystem, creation as a process, Theocentrism, anthropocentrism, imago Dei, cosmic mysticism, ontological poet.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Rhofita, Erry Ika, and N. Naily. "Persepsi Komunitas Nelayan Kenjeran terhadap Kegiatan Konservasi Lingkungan Pesisir Berdasarkan Perspektif Ekoteologi Islam." Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan (Journal of Environmental Sustainability Management), October 16, 2018, 112–24. http://dx.doi.org/10.36813/jplb.2.2.112-124.

Full text
Abstract:
Isu lingkungan terkait pencemaran laut terjadi di berbagai tempat berakibat pada menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat. Upaya mengurangi pencemaran lingkungan dapat dilakukan melalui peningkatan pemahaman ekoteologi Islam. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2017 dengan lokasi penelitian di Pesisir Kenjeran tepatnya Kampung Nambangan-Cumpat. Pendekatan Community Based Research (CBR) diambil dalam rangka mendorong peran aktif warga dalam tata kelola lingkungan khususnya pada isu pencemaran laut. Pendekatan ini menjadi strategis karena tingkat keberagamaan komunitas yang tinggi dan juga karena Islam sendiri menawarkan konsep tersebut. Ajaran Islam Rahmatan Lil Alamin yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 107 mengajarkan bahwa sikap menjaga dan mengelola lingkungan adalah bagian integral dari ibadah dan manifestasi keimanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan pemahaman komunitas terhadap ekoteologi Islam masih tergolong rendah. Pada dasarnya ekoteologi Islam dapat dijadikan upaya untuk mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan. Sikap kepedulian komunitas Kenjeran ditunjukkan dengan tingkat partisipatif aktif yang lebih dari 80% dalam beberapa kegiatan tata kelola lingkungan. Apabila kepedulian, kesadaran dan mekanisme tata kelola lingkungan komunitas Kenjeran dapat sinergis dengan semangat keberagamaannya melalui ekoteologi islam, maka potensi pesisir Kenjeran termasuk potensi ekonomi juga diharapkan turut membaik dan keberlanjutan lingkungan dapat terwujud.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Ridwanuddin, Parid. "EKOTEOLOGI DALAM PEMIKIRAN BADIUZZAMAN SAID NURSI." LENTERA: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi 1, no. 01 (2017). http://dx.doi.org/10.21093/lentera.v1i01.832.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Tielung, Glenn Allen, and Tony Rudyansjah. "Telaah Kritis terhadap Pendekatan Ekoteologi dalam Upaya Pelestarian Hewan Liar di Minahasa." Antropologi Indonesia 40, no. 2 (2020). http://dx.doi.org/10.7454/ai.v40i2.12669.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Tielung, Glenn Allen, and Tony Rudyansjah. "Telaah Kritis terhadap Pendekatan Ekoteologi dalam Upaya Pelestarian Hewan Liar di Minahasa." Antropologi Indonesia 40, no. 2 (2020). http://dx.doi.org/10.7454/ai.v40i2.12669.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Hoffman, Stephan, and Johan Buitendag. "‘n Ekoteologiese besinning oor die Christelik-etiese implikasies van stamselnavorsing en -terapie." HTS Teologiese Studies / Theological Studies 66, no. 1 (2010). http://dx.doi.org/10.4102/hts.v66i1.333.

Full text
Abstract:
An Eco theological reflection on Christian-ethical implications of stem cell research and therapyThe new biotechnological context in which in vitro fertilisation, the human genome project, and stem cell research have become realities, confronts both society and theology with unique challenges. These realities compel us to revisit ethical questions regarding human life. The main aim of this study is to contribute to the transversal debate about Christian ethics, natural sciences and biotechnological development, from a post-foundational perspective. The research results do not aim to lay down ethical rules as absolute truths, but rather to reflect on different viewpoints, values, characteristics, virtues, moral narratives and perspectives with regard to these complex ethical dilemmas. The broadening of moral narratives, and the revaluing of relational Christiananthropological perspectives, are being presented as an alternative to the strict monolithically orientated ideas of truth, objectivity and reason.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Afifuddin, Ridho. "EMBODIMENT OF LOCAL WISDOM FOR ENVIRONMENTAL SUSTAINABILITY: PRACTICING ECO-THEOLOGY IN KAMPUNG NAGA." EMPIRISMA 26, no. 2 (2017). http://dx.doi.org/10.30762/empirisma.v26i2.687.

Full text
Abstract:
Paper ini mencoba untuk menguraikan praktik masyarakat adat Kampung Naga dalam melestarikan lingkungan yang berlandaskan pada kearifan lokal disertai keyakinan agama yang melekat pada diri mereka. Metode pengambilan data dalam paper ini adalah participant observation dan studi etnografi s secara mendalam. Dengan menggunakan pandangan dunia (world view) sebagai basis dasar cara pandang pengetahuan, penelitian ini menghasilkan beberapa poin penting. Pertama, bahwa masyarakat adat dengan pengetahuan lokalnya selalu berupaya untuk hidup damai dengan siapapun dan apapun yang ada di lingkungan sekitar mereka. Upaya untuk hidup damai ini bukan sekedar dimaknai sebagai sebuah tugas, namun lebih kepada way of life yang secara fundamental menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Lebih dari itu, kehidupan yang selaras dan damai bersama alam ini, sesungguhnya juga disadari sebagai bentuk pengejawantahan dari nilai-nilai spiritual. Spiritual masyarakat adat Kampung Naga merupakan bentuk kolaborasi cantik antara tuntunan adat dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, ajaran Islam sebagai agama samawi mampu dihadirkan dalam wajah lokal ala Kampung Naga tanpa menghilangkan esensi dari nilai keislaman itu sendiri
 
 Kata kunci: Ekoteologi, Masyarakat Lokal, Lingkungan, Kearifan Lokal
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Wickström, Laura. "Trädplantering som mitzvah. Nya ekologiritualer inom islam." Uskonnontutkija - Religionsforskaren 10, no. 1 (2021). http://dx.doi.org/10.24291/uskonnontutkija.109193.

Full text
Abstract:
Ritualer i islam karaktäriseras av att de är etablerade och ofta normerade i lagtexter. Även om miljödiskursen inom islam inte är lika synlig som i många andra världsreligioner berör klimatkrisen alla länder oberoende av religion eller kultur. Kan ritualbegreppet inom islam vidgas och kan naturskydd eller delar av naturskyddet tolkas som ritual inom islam? Inom ramen för den normativa läran presenteras de centrala principerna inom islamsk ekoteologi såsom begreppen tawhīd (enhet), mizan (balans) och khalīfa (ställföreträdare) men även orsaker till varför miljöfrågor inte slagit igenom i den muslimska världen. Ritualer som begrepp och innebörd, ritualer i islam och möjligheten att etablera nya ritualer diskuteras och som ett exempel på en ny handling är trädplantering i Indonesien på ett bredare plan och i Aceh som ett enskilt exempel. I artikeln förs fram att trädplantering kan sägas fylla många av ritualernas funktioner och handlande: den påminner om Guds närvaro i vardagen, den uppfyller mitzvah (goda gärningar), har belägg i traditionen, motverkar något ont och skrämmande samt möjliggörs genom ett kollektivt handlande. Analysen visar att det kan vara meningsfullt att tolka trädplantering som en ekologisk ritual inom islam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography