Academic literature on the topic 'Estetik Pragmatism'

In 1930 American pragmatist philosopher John Dewey introduced into aesthetics a relatively new idea of experience. Living in modern time Dewey offered non-modernist way of thinking which especially in the field of aesthetics seems to be more adequate to our time than the modern ideas of aesthetic experience and autonomy of art. After short presentation of Dewey's philosophy of aesthetics I would like to show its inner dimensions that are fully developed today: ecological, evolutionary and transhuman tendencies, experience as interaction, soma and sensuous perspective.

Fra fine 1800 e inizio 1900 diversi autori discutono il tema delle Scienze normative (Logica, Etica ed Estetica). Un punto ad essi comune č l'idea che la normativitŕ si spieghi in termini di finalitŕ, ma quest'ultima č intesa in modi diversi. L'articolo mette a confronto la posizione platonista di Frege e Husserl con quella pragmatista di Peirce e Ramsey; in particolare, vi č sostenuto che l'interesse del tentativo di Ramsey sta nell'idea di poter rendere conto delle scienze normative in un quadro pragmatista e naturalista senza che ciň ne escluda il ruolo critico.

La centralitÀ della categoria temporale del futuro e la preminenza della "conversazione umana" sono gli aspetti basilari della versione rortiana del pensiero democratico americano e della filosofia pragmatista. Nel rinnovare gli assunti di base del migliorismo statunitense, Rorty chiama in causa le consonanze tra autori come John Dewey e William James e le istanze anti-fondazionaliste provenienti dall'Europa, in vista di un ripensamento radicale della pratica filosofica. Essa va intesa non piů alla stregua di una ricerca dei fondamenti ultimi della realtÀ ma piuttosto come un impegno edificante basato sul criterio della Social Hope. Gli autori del pragmaatismo sono frequentati con disinvoltura da Rorty, che condivide con James e particolarmente con Dewey la fiducia nella capacitÀ costruttiva dell'intelligenza umana e nella cooperazione sperimentale degli individui, accantonando invece Peirce e la sua importante nozione di "infinite hope".

Public sphere in social media, which should be used for information exchange, science, also democratic and independent values, currently are partially replaced by certain political economic matters. The public sphere has shifted into media of spreading hate speech. For that reason, this study aims to explain the meaning of the use of public sphere for presence of hate speech texts which are constructed to attack others with differing ideological and political views; also describes factors that affect the use of hate speech. This study applies phenomenological approach to the text of speech hate on social media and its critical impact in Indonesia. Data collection is done through observation, comparison theory, and literature studies. By referring the concept of Habermas (1989) related public sphere, supported by expert statements and qualitative data; conclusions of this article show that public sphere in social media is no longer functioning as a communication media, where thought and knowledge are exchanged for values in a dialogical, independent and democratic way. Its existence has partially replaced by capitalist economic forces and pragmatic politics in order to achieve certain goals instantly, at the expense of its values and social cultural ethics. Ruang publik pada media sosial, yang seharusnya berfungsi sebagai tempat pertukaran gagasan dan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai secara demokratis dan independen, sebagian kini telah tergantikan oleh kekuatan ekonomi politik tertentu. Fungsi ruang publik tersebut kini telah bergeser sebagai arena penyebaran teks ujaran kebencian, yang menyebabkan audiens mengalami kesulitan dalam membedakan informasi yang akurat dengan teks yang berupa berita palsu, termasuk ujaran kebencian. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis makna teks ujaran kebencian yang beredar melalui saluran media sosial. Artikel ini menjabarkan penggunaan ruang publik atas hadirnya teks ujaran kebencian yang dikonstruksi untuk menyerang pihak lain dengan pandangan ideologi dan politik yang berbeda; serta menjelaskan faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan teks ujaran kebencian. Penelitian ini menerapkan pendekatan fenomenologi terhadap teks ujaran kebencian pada media sosial dan dampak kritisnya di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, perbandingan teori, dan studi literatur. Dengan penjabaran yang mengacu pada konsep Habermas (1989) tentang ruang publik, didukung data kualitatif dan argumen lainnya, simpulan dalam artikel ini menunjukkan bahwa ruang publik pada media sosial bukan lagi hanya berfungsi sebagai arena berkomunikasi, tempat pemikiran dan pengetahuan dipertukarkan nilai nilai secara dialogis, independen dan demokratis. Keberadaannya sebagian telah tergeser oleh kekuatan ekonomi kapitalis dan politik pragmatis untuk mencapai tujuan tertentu yang bersifat instan, dengan mengorbankan nilai dan estetika sosial budayanya.

The popular historical narrative of the batik Sidoarjo needs to be reexamined based on historical methodology so that there is no historical bias based only on oral stories of the general public. Many studies are trapped in an inaccurate understanding of local historicity. As a result, these various studies have failed to fit batik Sidoarjo into its full context, instead it has become a kind of narrative standardization on its characteristics and history. This study aims to criticize the historical construction that has been popular in relation to the basic understanding of batik Sidoarjo and to explain the position of batik Sidoarjo in the cultural framework of its people. This article is the author's attempt to provide an analysis or explanation that is different from the historical narrative of batik Sidoarjo which is commonly used in various discussions. This research is classified as a qualitative research, using the historical method which consists of four stages, namely heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. This research uses historical and sociological approaches to collect, select, and critically examine historical sources of Sidoarjo batik, resulting in historical facts. The results showed that the historicity of batik Sidoarjo refers to the batik activities in the areas of Kedungcangkring, Jetis, Sekardangan, Gajah Mada St. (Peranakans), and Tulangan, all of which have a direct relationship with both Peranakans nor indigenous. Batik Sidoarjo is not framed by traditional rituals, nor is it under the control and domination of the royal aristocracy. Its growth is based on the factor of the economic needs of the supporting community, which tends to be a trading commodity. The presence of other groups of people or nations such as Peranakan Chinese, Indo-European, Dutch, Arabic contributed to the birth of Sidoarjo batik. Keywords: batik, Sidoarjo, historical criticism.AbstrakNarasi sejarah batik Sidoarjo yang populer perlu dikaji ulang dengan didasari metodologi sejarah sehingga tidak terjadi bias sejarah yang hanya berdasar pada cerita lisan masyarakat umum. Banyak penelitian yang terjebak dalam pemahaman historisitas setempat yang kurang tepat. Akibatnya, berbagai kajian tersebut tidak berhasil mendudukkan batik Sidoarjo sesuai dengan konteksnya secara utuh, malah menjadi semacam standardisasi narasi pada karakteristik maupun sejarahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkritisi konstruksi sejarah yang telah populer terkait pemahaman dasar tentang batik Sidoarjo serta menjelaskan kedudukan batik Sidoarjo dalam kerangka budaya masyarakatnya. Artikel ini merupakan upaya penulis untuk memberikan analisis atau paparan yang berbeda dari narasi sejarah batik Sidoarjo yang umum dilakukan pada berbagai pembahasan. Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode sejarah yang terdiri atas empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis dan sosiologis untuk mengumpulkan, menyeleksi, dan menguji secara kritis sumber-sumber sejarah batik Sidoarjo, sehingga menghasilkan fakta sejarah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa historisitas batik Sidoarjo merujuk pada aktivitas pembatikan yang ada di wilayah Kedungcangkring, Jetis, Sekardangan, Jl. Gajah Mada (China Peranakan), dan Tulangan yang kesemuanya saling terkait memiliki hubungan langsung baik itu pembatikan China peranakan maupun pribumi. Batik Sidoarjo tidak dikerangkai oleh ritual adat, juga tidak di bawah kendali dan dominasi aristokrasi kraton. Pertumbuhannya didasari faktor kebutuhan ekonomi masyarakat pendukungnya, sifatnya cenderung merupakan komoditas dagang. Hadirnya golongan masyarakat atau bangsa lain seperti China Peranakan, Indo-Eropa, Belanda, Arab turut berpengaruh melahirkan batik Sidoarjo.Kata Kunci: batik, Sidoarjo, kritik sejarah. Author:Asy Syams Elya Ahmad : Universitas Negeri Surabaya References:Abbas, Irwan. (2014). Memahami Metodologi Sejarah antara Teori dan Praktek. ETNOHISTORI: Jurnal Ilmiah Kebudayaan dan Kesejerahan, 1(1), 33–41.Abdurrahman, Dudung. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos.Ahmad, Asy Syams Elya. (2013). Kajian Estetik Batik Sidoarjo. Tesis. Tidak Diterbitkan. Bandung: Program Studi Magister Desain, Institut Teknologi Bandung.Anas, Biranul, Hasanuddin, Ratna Panggabean, Yanyan Sunarya. (1997). Indonesia Indah-Buku ke 8; “Batik”. Jakarta: Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII.Anshori, Yusak & Kusrianto, Adi. (2011). Keeksotisan Batik Jawa Timur. Jakarta: Elex Media Komputindo.Anwarid. (2012). Geliat Batik Tulis Sidoarjo. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surabaya: Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel.Arfianti, D. Y., Afandi, A. F., permatasari, i., Agustin, F. R., & Nikmah, K. (2018). Batik Jetis Sidoarjo. https://doi.org/ 10.31227/osf.io/xq3r2 (diakses tanggal 17 April 2021).Benard, Russell H. (1994). Research Methods in Anthropology. London: Sage Publications.Carey, Peter. (1996). “The World of the Pasisir”, dalam Fabric of Enchantment; Batik from the North Coast of Java. County Museum of Art.Daliman. (2012). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.Djoemena, Nian S. (1990a). Batik dan Mitra. Jakarta: Djambatan.________, Nian S. (1990b). Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning. Cetakan II. Jakarta: Djambatan.Elliott, Inger McCabe. (2004). Batik, Fabled Cloth of Java. Singapore: Periplus.Fauzi, Ahmad. (2020, Juli 24). Daya Tarik Kampung Batik Jetis Sidoarjo. https://brisik.id/read/ 54889/daya-tarik-kampung-batik-jetis-sidoarjo (diakses tanggal 17 April 2021).Fitinline. (2013, Februari 17). Batik Sidoarjo. https://fitinline.com/article/ read/batik-sidoarjo/ (diakses tanggal 17 April 2021).Garraghan, Gilbert J. 1957. A Guide To Historical Method. New York: Fordham University Press.Gottschalk, Louis. (1975). Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.Gray, Wood. (1964). Historian's Handbook: A Key to the Study and Writing of History. Boston: Houghton Mifflin.Gustami, SP. (2007). Butir-butir Estetika Timur; Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia. Yogyakarta: Prasista.Hani, Asfi. (2020, September 18). Sejarah Batik di Kampung Batik Jetis Sidoarjo. https://www. kompasiana.com/asfihani5098/5f642741097f3602e03e3cc3/sejarah-batik-di-kampung-batik-jetis-sidoarjo?page=all (diakses tanggal 17 April 2021).Hasanuddin. (2001). Batik Pesisiran: Melacak Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung: Kiblat.Harris, Jennifer, Ed. (1993). 5000 Years of Textiles. London: The British Museum Press.Hitchcock, Michael. (1991). Indonesian Textiles. Periplus Editions (HK) Ltd.Heringa, Rens & Veldhuisen, H.C. (1996). Fabric of Enchantment; Batik from the North Coast of Java. Los Angeles: County Museum of Art.Heringa, Rens. (2010). "Upland Tribe, Coastal Village, and Inland Court: Revised Parameters for Batik Research" dalam Five Centuries of Indonesian Textiles. Ruth Barnes & Mary Hunt Kahlenberg (Ed). Munich: Prestel.Irwanto, Dedi & Sair, Alian. (2014) Metodologi dan Historiografi Sejarah. Yogyakarta: EJA PUBLISHER.Irwantono, Yusuf & Hidayatun M.I. (2019). Fasilitas Wisata Edukasi Batik Sidoarjo di Sidoarjo. Jurnal eDIMENSI ARSITEKTUR, 7(1), 1089–1096. Ishwara, Helen, L.R. Supriyapto Yahya, Xenia Moeis. (2011). Batik Pesisir Pusaka Indonesia; Koleksi Hartono Sumarsono. Jakarta: KPG.Kartodirdjo, Sartono (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.Khasanah, Uswatun. (2018, Juni 8). Batik Asli Sidoarjo.https://doi.org/ 10.31227/ osf.io/zdka8 (diakses tanggal 17 April 2021).Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.Listanto, Virgiawan. (2019). “Batik Sebagai Representasi Produk Indsutri Kreatif di Sidoarjo Reinvensi Pragmatis untuk Inovasi Industri Kreatif Berbasis Budaya Visual Nusantara." Prosiding Seminar Nasional Seni dan Desain 2019, 465–469. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.Majlis, Brigitte Khan. (2000). “Javanesse Batik: An Introduction” dalam Rudolf G. Smend, Batik from The Courts of Java and Sumatra. Singapore: Periplus.Masadmin, (2016, Oktober 3). Batik Jetis Sidoarjo. Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur. https:// jawatimuran.disperpusip. jatimprov.go.id/2016/10/03/batik-jetis-sidoarjo/ (diakses tanggal 17 April 2021).Maxwell, Robyn. (2003). Textiles of Southeast Asia: tradition, trade and transformation. Hongkong: Tuttle.Pranoto, Suhartono W. (2010). Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.Qamariah, Desti. (2012). Perkembangan Motif Batik Tulis Jetis Sidoarjo (2008-2011). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Malang: Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.Ran. (2015, Desember 5). Sempat Tenggelam, Kini Kian Eksis: Sejarah Panjang Batik Sidoarjo. Jawa Pos. https://www.pressreader.com/indone sia/jawa-pos/20151205/282656096383339 (diakses tanggal 17 April 2021).Ramadhan, Iwet. (2013). Cerita Batik. Tangerang: Literati.Rouffaer, G.P. & Juynboll, H.H. (1914). De Batikkunst in Nederlandsch Indië en haar geschiedenis. Utrecht: Oosthoek.Rusli. (2013). “Pendokumentasian Artifak Sejarah Pembatikan di Kedungcangkring”. Hasil Dokumentasi Pribadi: 2 Februari 2013. Kedungcangkring, Sidoarjo.Skocpol, Theda (ed.). (1984). Vision and Method in Historical Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.Solikha, Rokhimatus. (2019). Sejarah Perkembangan dan Pengaruh Batik Jetis dalam Perekonomian Masyarakat Desa Jetis Sidoarjo. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surabaya: Program Studi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.Spradley, James. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.Susanto, Sewan. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI.Tjoa, Dave. (2004, Oktober 5). Batik Sidoarjo: Kampung Batik Jetis, Kampung Pengrajin Batik Tulis Sidoarjo. http://jejakbatik.blogspot. com/2014/10/batik-sidoarjo.html (diakses tang-gal 17 April 2021).Van Leur, J.C. (1955). Indonesian Trade and Society: Essay in Asean Social and Economical History. ‘s-Gravenhage: n.v. Uitgeverij W. Van Hoove.Van Roojen, Pepin. 2001. Batik Design. Amsterdam: Pepin Press.Wasino & Hartatik, Endah Sri. (2018). Metode Penelitian Sejarah: dari Riset hingga Penulisan. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.Wibowo, Januar, Haryanto Tanuwijaya, Achmad Yanu A.F. (2016). “Rancang Bangun Management Information System Batik Tradisional Jawa Timur sebagai Upaya Pelestarian Warisan Budaya Bangsa”. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing. Tidak Diterbitkan. Surabaya: Institut Bisnis dan Informatika, STIKOM.Wirawan, Rizky S. & Trilaksana, Agus. (2015). Sejarah Industrialisasi Batik di Kampung Batik Jetis Sidoarjo Tahun 1970-2013. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, 3(3), 480–486.Wulandari, Ari. (2011). Batik Nusantara; Makna Filosofis, Cara Pembuatan dan Industri Batik. Yogyakarta: Andi.Wulandari, S.E., Imam As’ary, Yudi Prasetyo. (2013). Perkembangan Motif Batik Jetis Sidoarjo dalam Tinjauan Sejarah. GENTA: Jurnal Pendidikan Sejarah, 1(1), 1–12.Yanuar. (2016, Oktober 19). Kampung Kuno Jetis Penghasil Batik Tulis Khas Sidoarjo. https://kabarinews.com/kampung-kuno-jetis-penghasil-batik-tulis-khas-sidoarjo/87296 (diakses tanggal 17 April 2021).

Permasalah pokok penelitian ini, bagaimana patung ruang publik di kawasan masyara- kat urban dapat bermakna secara estetik dengan memperhatikan aspek harmoni secara sosial, pragmatis, ekonomis, edukasi dan rekreasi. Sehingga patung ruang publik ini memiliki fungsi integratif bagi pengembang dunia usaha property maupun masyarakat penggunanya. Peneli- tian penciptaan karya seni ini, menawarkan konsep pengembangan  dalam merekonstruksi pemaknaan patung ruang publik yang berbasis pada keindahan lingkungan sosial kawasan hunian masyarakat urban. Kehadiran konsep yang tidak berhenti pada pemahaman keindah- an secara visual saja, melainkan estetis secara sosial. Penelitian ini bertujuan menemukan dan menghasilkan model proses kreatif penciptaan karya seni patung ruang publik yang reliable, komprehensif dan holistik sesuai dengan teks dan konteksnya. Metode kajian Sosioestetik ini melalui beberapa tahapan: (1) Eksplorasi (2) Eksperimentasi dan Improvisasi, (3) Iluminasi, (4) Presentasi dan (5) Evaluasi. Yang mencakup di dalamnya: ide, peroses penciptaan dan bentuk penyajian. Gagasan  serta konsep yang direduksi dari peristiwa pendukung yang menyertai, dituangkan dalam proses visual dan direpresentasikan dalam bentuk patung ruang publik di kawasan komplek perumahan SSP Bandung. Konstruksi proses kreatif penciptaan seni patung ruang publik ini diharapkan dapat mewakili sebagai salah satu model aplikasi esetika-sosial. Kata kunci: sosioestetik, patung ruang publik, kawasan hunian, masyarakat urban

Artikkelen tar utgangspunkt i begreper fra den pragmatiske estetikken for å undersøke og analysere forholdet mellom estetisk erfaring og læring i en kunstpedagogisk praksis. Transformasjon, symbolsk interaksjon og erfaringshandlinger er sentrale begreper for analysen. Begrepene er valgt som verktøy for å undersøke interaksjon mellom elevenes forforståelse, symbolske medier og ulike former for kunnskap. Analysen blir illustrert og eksemplifisert gjennom kunstprosjektet Mål tid(en).

ABSTRACTUnderstanding of art will be complete if it can express a particular value. One source of values in art is the pleasure of its objectivity, which encompasses intrinsic and extrinsic values with aesthetical visualization. The values of implicature in the Srimpi Anglir Mendhung can be found by referring to the expression of verdictive speech acts in its verbal and nonverbal components. In order to study the implicature values contained in Srimpi Anglir Mendhung, the researcher uses a qualitative research methodology based on the theory of pragmatics and theory of performing arts. The strategies used for collecting data are a library study, a study of visual recordings, a study of audio recordings, and interviews. The technique of analysis is interactive and involves the triangulation of data, methodology, and theory. The results of the discussion show that the implicature in the expression of verdictive speech acts in Srimpi Anglir Mendhung is a form of adulation and homage to the noble king, Sultan Agung Hanyakra Kusuma from the Mataram Kingdom. The values of heroism and virtue contained in Srimpi Anglir Mendhung are a reflection of the values of life, which should be emulated and appreciated by the audience and general public.Keywords: implicature, expression of verdictive speech acts, and Srimpi Anglir Mendhung dance. ABSTRAKPemahaman tentang seni terjadi secara lengkap apabila mampu untuk mengungkapkan suatu nilai. Satu sumber nilai seni adalah kenikmatan yang diberikan oleh objektifitas terhadap nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik dengan visualisasi estetis. Merujuk pada ekspresi tindak tutur verdiktif pada komponen verbal dan nonverbal, Tari Srimpi Anglir Mendhung dapat ditarik implikatur nilainya. Untuk mengkaji implikatur nilai yang terkandung dalam Tari Srimpi Anglir Mendhung, peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan berlandaskan teori pragmatik dan teori seni pertunjukan. Strategi pengumpulan data berupa studi pustaka, studi rekaman visual, studi rekaman audio, dan wawancara. Teknik analisisnya bersifat interaktif dengan mentrianggulasikan data, metodologis, dan teori. Hasil pembahasan ditemukan bahwa implikatur ekspresi tindak tutur verdiktif Srimpi Anglir Mendhung merupakan bentuk sanjungan dan penghormatan terhadap raja yang dimuliakan yaitu Sultan Agung Hanyakra Kusuma dari Kerajaan Mataram. Nilai-nilai keprajuritan dan kebajikan yang terkandung dalam Srimpi Anglir Mendhung merupakan cerminan nilai-nilai kehidupan, layak diteladani dan diapresiasi oleh audiens maupun masyarakat luas.Kata kunci: ekspresi, implikatur, Tari Srimpi Anglir Mendhung, tindak tutur verdiktif

A common ground between mental health and judicial-legal domains concerns concepts like “care”, “control” and “possibility to foresee” human behaviour, with particular reference to the “social dangerousness”. The connections between these sense-making practices can be traced by discursive modulation of “certainty/uncertainty”. This study aimed to highlight the discursive peculiarities of a specific socio-cultural context and genre, namely scientific papers. The corpus of data consisted in a selection of 30 papers published by the BJP (from 1975 to 2015), on subjects concerning forensic psychiatry, subjected to Content Analysis and Critical Discourse Analysis. Results showed that the papers adopted two main socio-epistemic rhetorics. On one side, the enunciators proceeded in an “assertive” and rigorous manner through a social-epistemic rhetoric of “reassurance”; on the other side, they gave voice to rhetoric of the “limit”, lacking any cognitive “closure”.
 References
 
 Bakhtin, M.M. (1979). Estetika slovesnogo tvorcestva. Moskow: Iskusstvo.
 Bennett, T., Holloway, K., & Farrington, D. (2008). The statistical association between drug misuse and crime: A meta-analysis. Aggression and Violent Behavior, 13, 107-118.
 Berlin, J.A. (1993). Post-structuralism, semiotics, and social-epistemic rhetoric: Converging agendas. In T. Enos & S. Brown (Eds.), Defining the new rhetoric (pp. 137-176). Newbury Park, CA: Sage. 
 Caffi, C. (2001). La mitigazione. Un approccio pragmatico alla comunicazione nei contesti terapeutici [Mitigation. A pragmatic approach to communication within therapeutic contexts]. Münster: LIT Verlag.
 Cantarini, S., Abraham, W., & Leiss, E. (Eds.) (2014). Certainty-uncertainty – and the Attitudinal Space in Between [SLCS 165]. Amsterdam: John Benjamin.
 Catanesi, R., Carabellese, F., & Grattagliano, I. (2009). Cura e controllo. Come cambia la pericolosità sociale psichiatrica [Treatment and control. How has the concept of psychiatric social danger changed]. Giornale Italiano di Psicopatologia, 15,: 64-74.
 Crismore, A., Markannen, R., & Steffenson, M. (1993). Metadiscourse in persuasive writing: A study of texts written in American and Finnish University students. Written Communication, 10 (1), 39-71.
 Fairclough, N. (2003). Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research. London: Routledge.
 Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge and The Discourse on Language. New York: Pantheon Books.
 Grevi, V. (2006). Prove [Proof]. In V. Grevi & G. Conso (Eds.), Compendio di procedura penale [Handbook of penal procedure](pp. 313-406). Padua: Cedam.
 Grice, P.H. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J.L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics, Vol. 3: Speech acts (pp. 41-58). New York: Academic Press.
 Gross, A.G., Harmon, J.E., & Reidy, M.S. (2002). Communicating Science. The Scientific Paper from the 17th Century to the Present. New York: Oxford University Press.
 Hermans, H. J. M., & Gieser, T. (Eds.). (2012). Handbook of Dialogical Self Theory. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.
 Hyland, K. (1996). Writing without conviction? Hedging in scientific research articles. Applied Linguistics, 17 (4), 433-454.
 Hyland, K. (1998). Boosting, hedging and the negotiation of academic knowledge. TEXT, 18(3), 349-382.
 Hyland, K. (2001). Bringing in the reader: addressee features in academic articles. Written Communication, 18 (4), 549-574.
 Junginger, J. (1996), Psychosis and violence: the case for a content analysis of psychotic experience. Schizophrenia Bulletin, 22, 91-103.
 Kaliski, S.Z. (2002). A comparison of risk factors for habitual violence in pre-trial subjects. Acta Psychiatrica Scandinavica, 106 (412), 58-61.
 Kockelman, P. (2007) Agency: The Relation between Meaning, Power, and Knowledge, Current Anthropology, 48 (3), 375-401.
 Lamb, H., & Weimberger, L. (1998). Persons with severe mental illness in jails and prisons: A review. Psychiatric Services, 49, 483-492.
 Lancia, F. (2004). Strumenti per l'analisi dei testi. Introduzione all'uso di T-LAB [Instruments for Text Analysis. Introduction to the Use of T-LAB]. Milano: Franco Angeli.
 Lindqvist, P., & Allebeck, P. (1990), Schizophrenia and crime: a longitudinal follow-up of 644 schizophrenics in Stockolm. British Journal of Psychiatry, 157, 345-350.
 Marzuk, P. (1996), Violence, crime and mental illness: How strong a link? Archives of General Psychiatry, 53, 481-486.
 Mininni, G., & Manuti, A. (2017). A rose is more than a rose… The diatextual constitution of subjects and objects. Text & Talk, 37 (2), 243-263.
 Mininni, G., Manuti, A., Scardigno, R., Rubino, R. (2014). Old roots, new branches: The shoot of diatextual analysis. Qualitative Research in Psychology, 11, 1-16.
 Mininni, G., Scardigno, R. & Grattagliano, I. (2014). The dialogic construction of certainty in legal contexts. Language & Dialogue. Special issue Certainty and Uncertainty in dialogue, 4 (1), 112-131.
 Monahan, J. (1997). Clinical and actuarial predictions of violence. In D. Faigman, D. Kaye & M. Saxs (Eds.) Modern scientific evidence: the law and science of expert testimony (pp. 300-318). New York: West.
 Mullen, P. (2000). Forensic mental health. British Journal of Psychiatry, 176, 307-311.
 Rasanen, P., Tiihonen, J., Isohanni, M. (1998). Schizophrenia, alcohol abuse and violent behaviour: A 26-year follow-up study of an unselected birth cohort. Schizophrenia Bulletin, 24, 437-41.
 Salvatore, S., Gelo, O.C., Gennaro, A., Metrangolo, R., Terrone, G., Pace, V., Venuleo, C., Venezia, A., & Ciavolino, E. (2017). An automated method of content analysis for psychotherapy research: A further validation. Psychotherapy Research, 27 (1),38–50.
 Salvatore, S., & Valsiner, J. (2011). Idiographic science as a nonexisting object: The importance of the reality of the dynamic system. In S. Salvatore, J. Valsiner, A. Gennaro, & J.B. Travers Simon (Eds.), YIS: Yearbook of idiographic science (Vol. 3) (pp. 7-26). Rome: Firera & Liuzzo.
 Shah, S.A. (1978). Dangerousness and Mental Ilness: Some Conceptual, Prediction and Policy Dilemmas. In C. Frederick (Ed.) Dangerous behaviour: A problem in Law and mental health (pp. 153-191). Rockville, MD: NIMH, Washington.
 Steadman, H. J., & Cocozza J. J. (1974). Careers of the criminally insane: Excessive social control of deviance. Lexington, MA: Lexington Books, D.C. Heath. 
 Swanson, J., Estroff, S., Swartz, M., Borum, R., Lachicotte, W., Zimmer C., & Wagner, R. (1997). Violence and severe mental disorder in clinical and community populations: the effects of psychotic symptoms, comorbidity and lack of treatment. Psychiatry, 60, 1-22.
 Swartz, M., Swanson, J., & Hiday, V. (1998), Violence and severe mental illness: The effects of substance abuse and nonadherence to medication. American Journal of Psychiatry, 155, 226-231.
 Torrey, E. (1994). Violent behaviour by individuals with serious mental illness. Hospital & Community Psychiatry, 45, 653-662.
 Valsiner, J. (2007). Culture in minds and societies. Foundations of cultural psychology. New Delhi: Sage.
 Van Dijk, T.A. (2008). Discourse and Power. Houndsmills: Palgrave.
 Walsh, E., Buchanan, A., & Fahy, T. (2002). Violence and schizophrenia: examining the evidence. British Journal of Psychiatry, 180, 490-495.
 Wodak, R., & Meyer, M. (2009). Methods of critical discourse analysis. Thousand Oaks, CA: Sage.

The overall interest of this thesis is to explore aesthetic experience in sport and its significance for learning in sport. The main purpose is to contribute to a theoretical and methodological development of studies relating to learning in sport. The exploration is undertaken within the field of pragmatism using the works of John Dewey and Ludwig Wittgenstein. The exploration consists of four case studies, consisting mainly of narrative analyses of people’s written stories of participating in different sporting activities. A practical epistemology analysis (PEA) with a focus on aesthetic experience is used in three of the studies. The theoretical contribution comprises exploring learning in sport as something that is connected to emotions and perceptions, where other elements of experience, such as the social, cultural, historical, physical and mental aspects, are also important. Examining learning in the light of aesthetic experience contributes to an examination of emotion s and perceptions as integral parts of sport, without reducing learning to only consisting of emotions and perceptions. The results of the study also contribute to the possibility of exploring values in sport-related learning and shed light on the importance of habits (feelings of familiarity) when learning sport. How people ‘bodying’ the world aesthetically as part of their participation in sport has also been shown in one of the studies. The methodological contributions of the thesis consist of the development of PEA to include the examination of written texts. Furthermore, one of the studies includes the development of aesthetic events as a tool for exploring aesthetic experience in sport. Finally, a methodological contribution is made by using PEA to examine sport, since in the past PEA has only been used in studies in science education.

Sammanfattning Tai Chi har funnits i drygt ett helt millenium och har på senare tid blivit alltmer uppmärksammat i relation till välbefinnande och hälsa. Det är således inte särskilt häpnadsväckande att Tai Chi börjat leta sig in i idrottsundervisningen på andra håll än i Asien. Trots att forskning påvisat en mängd hälsofördelar med Tai Chi har det dock förblivit ett svagt forskningsområde i Sverige och i svenska skolor. Utav den forskning som har undersökt Tai Chi i relation till skolsammanhang är det kvantitativa angreppssätt riktat mot elever motsvarande den svenska grundskolan som dominerat. I sådana undersökningarna har det framförallt handlat om att mäta olika psykologiska eller fysiska effekter av en intervention, vilket lämnat föga utrymme för elevernas egna upplevelser om Tai Chi. Mot denna bakgrund valdes således istället en undersökning av kvalitativ karaktär med syftet att klargöra gymnasieelevernas estetiska erfarenheter om Tai Chi. För att kunna besvara syftet har följande frågeställning använts: Vilken funktion har estetiska erfarenheter i gymnasieelevernas berättelser om Tai Chi? Att förhålla sig till estetiska erfarenheter baseras på flertalet faktorer. Bland annat har Tai Chi visat sig ha en naturlig koppling till estetik. Tidigare forskning har också visat att estetiska erfarenheter haft en betydande roll för idrottsutövande men då har det oftast handlat om aktiviteter som dans eller gymnastik och inte Tai Chi. I sökandet av att klargöra gymnasieelevernas estetiska erfarenheter har ett Tai Chi program med fokus på mental träning och spänningsreglering utformats. Programmet bedrevs sedan under en treveckorsperiod i en gymnasieklass med inriktningen vård och omsorg. Mot slutet av varje vecka gavs eleverna möjlighet att genom sina skoldatorer berätta om deras upplevelser och vilka känslor som infunnits. Efter bearbetning av berättelserna utifrån ett pragmatiskt perspektiv har det klargjorts att deras estetiska erfarenheter delats in i tre teman. Estetiska erfarenheter rör sig mot fullkomnade, estetiska erfarenheter rör sig varken bort från eller mot fullkomnade och till sist estetiska erfarenheter rör sig bort från fullkomnade. Utifrån temana har det gått att utläsa vilken riktning mötet med Tai Chi tar. Där estetiska erfarenheter tenderar att få olika funktion för de relationer eleverna skapar om Tai Chi.

Choosing the right user experience evaluation method can be difficult, choosing the right one for mobile user experience can be even more so. One major cause is that mobile usage is context dependent. Another contributing factor is that there is not one widely adopted theory or framework for user experience due to its complexity. The purpose of this study was to evaluate an existing method artifact in its feasibility for evaluating mobile applications. The chosen method, AttrakDiff2 is a self-reporting semantic differential questionnaire to evaluate the user experience of an interactive product, based on its hedonic and pragmatic qualities. A study was conducted where the participants assessed one mobile and one web application, which were later rated with AttrakDiff2. The completion of the questionnaire was conducted as a think-aloud session subsequently followed by an interview. The results suggest that the participants experience was affected more by the evaluated application style than the different platforms. The majority of the semantic anchors had a good feasibility. However, the participants found several of these hard to interpret, we could not conclude if this was due to translation issues, cultural contingency or interpretational difficulties. A modified version that grasps interaction qualities and other hedonic attributes that users can associate easier might be better suited for evaluating mobile applications.<br>Att välja rätt metod för att utvärdera användarupplevelsen kan vara svårt, att välja rätt metod för mobil användarupplevelse kan vara ännu svårare. En viktig orsak till detta är att mobil användning är situationsbaserat. En annan bidragande anledning är att det inte finns en teori eller ramverk för användarupplevelse som har anammats brett på grund av dess komplexitet.Syftet med denna undersökning var att utvärdera en befintlig metodartefakt i hur väl den fungerar för att utvärdera mobila applikationer. Den valda metoden AttrakDiff är en självrapporterande enkät baserad på semantiskt differentierbara ordpar. Dessa används för att utvärdera användarupplevelsen av interaktiva produkter, som bedöms efter dess hedoniska och pragmatiska kvalitéer.En undersökning genomfördes där deltagarna fick utvärdera en mobilapplikation och en webbapplikation, som därefter utvärderades med AttrakDiff. Vid genomförandet av enkäten utfördes en tänka-högt-observation följt av en intervju.Resultatet indikerar att deltagarnas användarupplevelse påverkades mer utav applikationsstilen än av olika plattformar. Majoriteten av ordparen fungerade bra överlag. Dock uppfattades vissa av dessa som svåra att förstå. Vi kunde inte fastställa ifall detta berodde på översättningsproblem, kulturell betingelse av orden eller svårigheter hos respondenterna att tolka ordparen.En modifierad version som beaktar interaktionskvalitéer och andra hedoniska attribut som användare enklare kan associera till skulle kunna vara bättre lämpad för att utvärdera mobila applikationer.

Uppsatsens syfte är att få en förståelse för hur pedagoger arbetar med musik tillsammans med barn i åldern ett till åtta år. Resultatet erhölls genom kvalitativa intervjuer med åtta pedagoger. Undersökningen visade att pedagogerna tycker det är viktigt att använda musik tillsammans med yngre barn, men hur musik används i verksamheten varierade. Av resultatet framgick också att pedagogerna anser att musik är en artefakt i barns språkliga respektive motoriska utveckling. Litteratur som tagits fram för uppsatsen stärker pedagogernas svar. Den teoretiska ansatsen som valts för arbetet är det sociokulturella perspektivet och det pragmatiska synsättet. Detta för att musik är socialt och kan utövas med hjälp av praktiska aktiviteter.

In dieser Arbeit werden drei schwedische Übersetzungen von Kleists Komödie Der zerbrochene Krug in Bezug auf die Verhaltensweisen zum Stil analysiert, die in den Übersetzungen zum Ausdruck kommen. Die Analyse betrifft vor allem solche stilistischen Mittel, die Werner Koller formal-ästhetische Qualitäten nennt, so wie Sprachspiel, den Blankvers oder Metaphorik. Ich habe einerseits versucht zu entscheiden, ob die Übersetzungen des betreffenden Stilmittels in erster Linie ziel- oder ausgangssprachlich ausgerichtet sind, andererseits inwiefern der stilistische Aspekt bei den Übersetzern überhaupt einen hohen Stellenwert hat oder ob er pragmatischen Rücksichten den Vorrang lassen muss. Die Übersetzungen weisen große Unterschiede auf. In Nils Personnes Übersetzung hat die Stiltreue im Verhältnis zur pragmatischen Adaption einen sehr hohen Stellenwert und er versucht den Stil durch ausgangssprachliche Mittel zu bewahren. In Carl-Edward Nattséns Übersetzung dagegen hat die pragmatische Adaption den höchsten Stellenwert, doch in den Fällen, wo er den Stil überhaupt wiedergibt, tut er das abwechselnd mit ziel- bzw. ausgangssprachlichen Mitteln. Nur in Horace Engdahls Übersetzung fällt eine überwiegend zielsprachliche Ausrichtung mit einem hohen Stellenwert des stilistischen Aspekts zusammen und nur dann wird der Stil im Sinne Kollers formal-ästhetischer Qualitäten in einem höheren Grad wiedergegeben. Die verschiedenen Strategien können mit den verschiedenen Zwecken der Übersetzer zusammenhängen, sowie mit den Übersetzungsidealen, die vorherrschend waren, als die Übersetzungen geschrieben wurden<br>I det här examensarbetet undersöks tre svenska översättningar av Kleists komedi Der zerbrochene Krug med avseende på de förhållningssätt till stil som där kommer till uttryck. Analysen gäller särskilt sådana stilistiska medel som Werner Koller kallar formal-estetiska kvaliteter, som ordlekar, blankvers och metaforik. Dels har jag försökt avgöra om översättningarna av de aktuella stilmedlen i första hand är mål- eller källspråksorienterade, dels huruvida den stilistiska aspekten överhuvudtaget prioriteras eller om den får vika för pragmatiska hänsyn. Analysen visar på stora skillnader mellan översättningarna. I Nils Personnes översättning har stiltrogenhet hög prioritet jämfört med den pragmatiska anpassningen och han försöker återge stilen med källspråkliga medel. I Carl-Edward Nattséns översättning däremot har den pragmatiska anpassningen högst prioritet men i de fall han alls återger stilen gör han det omväxlande med mål- och källspråkliga medel. Endast i Horace Engdahls översättning sammanfaller en målspråklig orientering med hög prioritet hos den stilistiska aspekten och bara där återges stilen i Kollers formal-estetiska bemärkelse i någon högre grad. De skilda strategierna kan förklaras med översättarnas olika syften och med de översättningsideal som var rådande när översättningarna gjordes.

Hösten 2017 fastslog regeringen att svenskt skolväsende skulle bli ledande i att använda sig avdigitaliseringens möjligheter. Strategin kom att kallas den nationella digitaliseringsstrategin.Till grund för detta reviderades styrdokumentet Lgr 11 rörande digitala verktyg. Samtidigtinnehåller den reviderade upplagan även ett stärkt estetiskt bidrag. Syftet med denna studie ärdärför att undersöka vilka erfarenheter svensklärare i årskurs 1–3 har av skrivutvecklandearbete gällande digitala verktyg i kombination med estetiska lärprocesser. I den revideradeupplagan framgår det att eleverna ska tillgodogöra sig digital kompetens genom att få användasig av digital teknik. I kursplanen för svenska stipuleras det även att eleverna viaundervisningen i svenska ska få möta digitala verktyg via skilda medier för att skapa ochbearbeta texter, exempelvis genom estetiska lärprocesser. Eftersom att den digitala aspektenhar ett större utrymme i styrdokumenten samt att det estetiska bidraget ger utrymme för kreativundervisning kan en bredare kompetens hos lärare innebära en större variation iskrivundervisningen. Tidigare forskning indikerar att det digitala idag kan anses vara estetisktoch hur fler europeiska skolor köper in digital teknik. Samtidigt visar forskning hur mångalärare är ambivalenta när det kommer till tillämpningen i klassrummet av just digitala verktygoch estetiska lärprocesser.Studien utgår från perspektivet pragmatism, där fokus ligger på begreppen erfarenhet och”learning by doing”. Frågeställningarna syftar till att lyfta fram lärares erfarenheter gällandeskrivutvecklande arbete med digitala verktyg i kombination med estetiska lärprocesser och hurde resonerar om sin kompetens gällande denna kombination. Detta undersöktes genomkvalitativa semi- och halvstrukturerade intervjuer med sex olika lärare vilka undervisar iårskurs 1–3. Studiens resultat visar att lärare arbetar varierande när det kommer tillskrivutvecklande arbetssätt med digitala verktyg i kombination med estetiska lärprocesser. Enavgörande faktor att resultaten är varierande är att en del lärare har daglig åtkomst till digitalaverktyg medan andra endast har det en gång i veckan. Däremot visar studien hur alla läraremenar att det digitala och estetiska bidraget verkar skrivutvecklande. Resultatet visar också hurdet skrivutvecklande arbetet med digitala verktyg i kombination med estetiska lärprocesserökar elevernas motivation och hur deras egna erfarenheter får ta plats, vilket i sin tur gynnarderas skrivprogression. Lärarna i studien motiverar sina didaktiska val utifrån läroplanen,erfarenheter, tillgänglighet och tidigare forskning. Sammanfattningsvis anger lärarna att denegna kompetensen är betydande och hur kombinationen av digitalt och estetiskt skapar enstörre mening och variation i skrivundervisningen, vilket gynnar elevers skrivutveckling.<br><p>Svenska</p>

Denna essä kan läsas som en reflektion över tre års arbete med och utveckling av estetiska lärprocesser på lärarutbildningen. Även om exemplen är hämtade från matematikdidaktiken rör sig diskussionen huvudsakligen på en mer generell nivå än detta specifika ämne. På många sätt handlar essän lika mycket om lärande i allmänhet som om matematikdidaktik. Utifrån den fenomenologiska undersökningen rör sig diskussionen mellan mina personliga erfarenheter och den filosofiska teorin. Jag använder mig av tankar från Aristoteles, Hans-­‐Georg Gadamer och John Dewey och låter dem möta några av de svenska forskare som under de senaste åren bidragit till det aktuella fältet eller till angränsande fält. Jag hoppas i denna essä kunna synliggöra olika aspekter av erfarenhetsbaserad undervisning och lärande likväl som de problem och möjligheter som finns i fenomenet estetiska lärprocesser – förhoppningsvis kan mina iakttagelser och reflektioner vara av värde vid en utveckling av såväl matematikdidaktiken som av andra ämnen på lärarutbildningen<br>This essay can be red as a reflection over three years of working with and developing methods for using art in the process of learning at the teacher education at a swedish university. Even though the subject from where the examples come is the mathematics education, the discussion forms itself at a more general level than this specific subject. In many aspects this essay is more about learning in general than specificly about mathematics. By using the phenomenological method my discussion forms itself moving between my personal experiences and philosophical theory. I use the work and thougts of John Dewey, Hans-­‐Georg Gadamer and Aristoteles in close dialogue with swedish scientists who during the last years has given contribution to the actual and the surrounding fields. By writing this essay I hope to enlighten certain aspects of experience based teaching and learning as well as the troubles and wonders of using art learning processes – both hopefully useful in developing the university teaching in the mathematics education as well as in other subjects at the teachers education.

"Hur du ser tillbaka på din skola, är också hur du ser på dig själv" Skolor behöver vara många saker, lärande, lekfulla, ordingsamma och mycket mer. Detta projekt är en undersökning i att försöka få in så många kvaliter i en byggnad som det går och få polariteter att dansa med varandra. Detta är en djupdykning i hur platser kan forma barn till att posetivt växa och hur de associerar och använder en plats rent konkret och metafysiskt. Uppgiften var att vi skulle rita en modern grundskola på en svår tomt i henriksdal i stockholm. Vi fick ett komplett program, F-6 med två klasser i varje årskurs. Skolan jag ritat har fått med alla rummen som behöves, i den rumsrelation som eftertraktas av SISAB. Varje rum har den area som specificerades i programmet. Detta är en skola som fungerar och mer. Skolan är en ladustruktur som förljer en enkel sektion som gör skolan blir pragmatisk och flexiblel. Betong element håller ihop byggnaden och kopplar den till platsen symbolisk och estetiskt. EVO är ett koncept för en modern skola som kopplar ihop tradition vilket har rättfärdigats av psykologiska undersökningar. Detta har skapat en miljö och struktur som är optimal för att tillfredställa de behoven som barn, lärare och samhället har på utbildning.<br>"The way you look back att your school, is also how you view yourself" Schools need to be many things, learning, playful, orderly and much more. This project is an investigation into trying to bring in as many qualitys in a building as possible to get opposites to dance with each other. This is a deep dive in how places can shape children into something posetiv, how they caj associate and use a place concretely and metaphysically. The task was to draw a modern elementary school on a difficult site in henriksdal in stockholm. We received a complete program, (kindergarden to year 6) with two classes in each year. The school I have drawn has provided with all the rooms  that is need needed, in the space relation sought by SISAB. Each room has the area specified in the program. This is a school that works and more. The school is a barn structure that follows a simple section that makes the school pragmatic and flexible. Concrete elements cluster the building and connect it to the site symbolically and aesthetically. EVO is a concept for a modern school that links to tradition, which has been justified by psychological investigations. This has created an environment and structure that is optimal to satisfy the needs of children, teachers and society in education.

This essay is an examination of the examples in Kant’s Critique of Judgement. The examples which I have focused on all converge in an idea of wildness. These examples of the beautiful are illuminated by a culture-historical perspective, where the literary and scientific travelogue genre is of great importance. Apart from being exegetic and culture historical, my method is also analytic. The general ambition is to answer the question; what is the parrot doing in the third Critique and what makes it a better example of a free beauty than a jackdaw? Taking as point of departure Jacques Derrida’s notion of parergonality, the example is primarily understood as formative for the thesis, not only as illustrative. By analysing Kant’s use of the wild, exotic and colourful objects as examples the essay intends to show how imagination and understanding operates in the beautiful. The parrot thus corresponds with the role of imagination in its relation to understanding in aesthetic judgement. The examples manifest the strength of the imagination and how it dominates understanding through its wildness. The aim is to present a way to approach the restful contemplation that Kant ascribes to the mind in the experience of the beautiful as bearer of a movement with considerable importance. Rodolphe Gasché’s emphasis on the wild examples as a precognitive minimum for understanding and Hannah Arendt’s view on imagination as an ability of intuition without the presence of the object, have also been essential for my argument.