Academic literature on the topic 'Etnisk musik'

Pandemi Covid-19 telah mengubah kehidupan manusia di berbagai aspek. Yang sebelumnya ‘normal’ menjadi ‘tidak normal’. Kondisi yang tidak normal ini sering disebut “new normal”. Untuk menghindari persebaran virus, secara sosial manusia harus berada di rumah, bekerja di rumah, dan menghindari kerumunan. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh pada kehidupan/eksistensi pergelaran musik etnik, terutama yang dilakukan secara langsung atau “live”. Kini eksistensi musik ini sangat tergantung pada media. Di dalam tulisan ini dideskripsikan upaya para komponis musik etnis dalam mengeksplorasi nilai-nilai estetis di dalam musik etnik. Dari hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa seyogianya para komponis kini tidak lagi boleh berparadigma konvensional. Ia harus mempertimbangkan aspek di luar musik yakni teknologi. Hal ini semakin menunjukkan bahwa studi musik etnik bersifat interdisipliner. Seorang komponis, dengan demikian harus menguasasi media, terutama teknologi media pengambilan gambar atau kamera.

AbstrakPerkembangan musik vokal di Minahasa memperlihatkan pengaruh budaya Barat yang kuat. Musik-musik tradisi Minahasa khususnya lagu beserta gaya-gaya tradisinya bercampur dengan pola-pola musik populer Barat, dari bentuk lagu hingga alat musik yang digunakan mengacu pada musik populer. Musik vokal etnik Minahasa dengan berbagai elemen musiknya hampir hilang wujudnya dalam perpaduan tersebut. Oleh sebab itu dengan pendekatan budayadan konsep-konsep musik vokal etnik Minahasa, tulisan ini menunjukkan ciri khas budaya Minahasa dan praktek bernyanyi etnik Minahasa pada musik tradisi dan musi populer Barat.Kata Kunci: Budaya, Musik, Minahasa, Populer.

Church, as a religious institution, and ethnic music, as a communality creation, are different thing. They have different philosophy, meaning, existence, entity, form, and also sosial and historical context. Sometimes even as, ideologically, they display even negation. However inspite of the contradiction, they have some interest and orientation i.e. come together on a place for expressing who people are. When they meet, there, they create something new. Based on Homi K. bhabha's theory, this something new is called "the third space". We will find ambivalence and mimicry in the new space. On the musical perspective, the hybrid of church and ethnic music call into being a new genre, namely "ethnical church music". The cutting-edge genre proved succeed for increasing worship atmosphere.

Musik Ansambel sebagai musik pengiring ibadah di Gereja meliputi pengertian ansambel musik, pengertian musik pengiring, pengertian ibadah, pengertian musik gerejawi, pengertian lagu ibadah, pengertian ansambel sejenis. Penggunaan musik ansambel batak toba sebagai pengiring peribadatan, di latar belakangi jemaat yang sebagian mayoritas suku batak toba, dan jemaat beranggapan lebih menikmati jalan perayaan ibadah deng penggunaan musik ansambel batak toba, dan lagu-lagu yang dinyanyikan lagu rohani yang berbahasa batak. Keberadaan musik batak toba ini sangat membatu dalam mengiringi perayaan ibadah sehingga lagu-lagu pujian yang mereka nyanyikan lebih enak didengar dan juga dapat dirasakan pada jemaat yang beribadah, sehingga bertambah banyak.

Koreografi Nyerok Nanggok merupakan bentuk pengulangan dari ekspresi masyarakat Desa Kemiri (sebuah desa yang masih termasuk dalam kawasan wilayah Kabupaten Belitung) pada saat menangkap ikan di musim kemarau panjang dengan menggunakan properti. Koreografi ini kemudian disusun dalam bentuk komposisi kelompok besar (Large Group Compotition) dan termasuk ke dalam tipe tari studi dramatik. Tema karya tari ini ialah tentang rasa kebersamaan, semangat, dan gotong-royong warga desa pada saat menangkap ikan. Untuk memperkuat adegan-adegan yang ditampilkan maka terdapat properti yang digunakan dan memang ada hubungannya dengan karya, properti tersebut dibagi menjadi 3, yaitu tanggok, dulang, dan tudung saji. Karya tari “Nyerok Nanggok” ini mempunyai 5 bagian, bagian introduksi merupakan rangkuman dari semua adegan, pada bagian ini semua properti ditampilkan di atas panggung. Adegan 1 merupakan bagian musim kemarau panjang, dilanjut dengan bagian 2 yang mengekspresikan masyarakat desa Kemiri pada saat mengadakan ritual dan do’a bersama sebelum masuk ke dalam sungai atau rawa. Pada bagian 3 menggambarkan seekor ikan yang dilakukan oleh salah satu penari yang sedang diburu oleh beberapa penangkap ikan dengan menggunakan “tanggok”. Bagian ending dari karya ini ialah tentang rasa kegembiraan dan rasa syukur terhadap permohonan yang telah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.Proses penggarapan koreografi ini dicapai melalui beberapa tahapan seperti menyampaikan topik kepada para penari sekaligus sebagai rangsangan yang berlanjut pada proses kreatif pencarian gerak seperti eksplorasi dan improvisasi. Penata juga merangsang para penari melalui properti serta musik untuk memicu daya imajinasi dan kreativitas para penari. Perwujudan musik yang digunakan sebagai pengiring dari koreografi ini ialah musik etnik (musik tradisional) yang membantu mengkespresikan suasana serta membuat dramatik dalam karya tari ini.

Koreografi Nyerok Nanggok merupakan bentuk pengulangan dari ekspresi masyarakat Desa Kemiri (sebuah desa yang masih termasuk dalam kawasan wilayah Kabupaten Belitung) pada saat menangkap ikan di musim kemarau panjang dengan menggunakan properti. Koreografi ini kemudian disusun dalam bentuk komposisi kelompok besar (Large Group Compotition) dan termasuk ke dalam tipe tari studi dramatik. Tema karya tari ini ialah tentang rasa kebersamaan, semangat, dan gotong-royong warga desa pada saat menangkap ikan. Untuk memperkuat adegan-adegan yang ditampilkan maka terdapat properti yang digunakan dan memang ada hubungannya dengan karya, properti tersebut dibagi menjadi 3, yaitu tanggok, dulang, dan tudung saji. Karya tari “Nyerok Nanggok” ini mempunyai 5 bagian, bagian introduksi merupakan rangkuman dari semua adegan, pada bagian ini semua properti ditampilkan di atas panggung. Adegan 1 merupakan bagian musim kemarau panjang, dilanjut dengan bagian 2 yang mengekspresikan masyarakat desa Kemiri pada saat mengadakan ritual dan do’a bersama sebelum masuk ke dalam sungai atau rawa. Pada bagian 3 menggambarkan seekor ikan yang dilakukan oleh salah satu penari yang sedang diburu oleh beberapa penangkap ikan dengan menggunakan “tanggok”. Bagian ending dari karya ini ialah tentang rasa kegembiraan dan rasa syukur terhadap permohonan yang telah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.Proses penggarapan koreografi ini dicapai melalui beberapa tahapan seperti menyampaikan topik kepada para penari sekaligus sebagai rangsangan yang berlanjut pada proses kreatif pencarian gerak seperti eksplorasi dan improvisasi. Penata juga merangsang para penari melalui properti serta musik untuk memicu daya imajinasi dan kreativitas para penari. Perwujudan musik yang digunakan sebagai pengiring dari koreografi ini ialah musik etnik (musik tradisional) yang membantu mengkespresikan suasana serta membuat dramatik dalam karya tari ini.

The development of instructional media in this paper is the development of learning media used in learning Arts and Culture class X High School in Pangururan District, Samosir Regency. The learning media developed are invincible with the syllabus in class X, namely "presentation of musical works". The objectives of this study were to: (1) develop traditional Karo music learning videos; (2) Developing Karo traditional music learning textbooks. This research uses a Research & Development or research and development approach. The development of this learning media will be used by art teachers who are members of the MGMP (subject teacher deliberation) for Cultural Arts, especially art teachers in Pangururan District, Samosir Regency. The research conducted resulted in the development of instructional media in the form of learning videos for learning traditional Karo music and textbooks for learning traditional Karo music. The learning media developed in the form of learning videos for traditional Karo music includes the technique of playing Karo traditional music which is incorporated in the kulcapi drum ensemble whose instruments consist of kulcapi, keteng-keteng, and mangkuk. The next learning media is in the form of a textbook which contains the techniques for playing the kulcapi drum in the song Piso Surit and Terang Bulan. The two learning media that have been developed help the arts and culture teachers in carrying out the ethnicity of the ethnic North Sumatra.Keywords: Development, Learning Media, Ethnicity, North Sumatra

Penyajian resital bertujuan memberikan sumbangsih pengetahuan tentang lagu bossanova karya Antonio Carlos Jobim dan kolaborasi musik modern yang dipadukan dengan alat musik etnis yang dikemas dengan nuansa musik jazz yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Manajemen tata kelola artistik panggung dibuat dengan menutupi seluruh dinding hingga lantainya dengan kain furing yang berwarna putih. Kemudian dengan beraneka lampu-lampu yang menyoroti seluruh sudut-sudut pada panggung tersebut dan berefek penuh warna yang sesuai dengan nama dari resital tersebut yakni Colorful Jazz. Proses pengumpulan data dalam penyajian resital ini dengan melakukan wawancara, pengamatan pada lagu karya Antonio Carlos Jobim, pengamatan pada proses latihan, mencari sumber pustaka baik dari internet maupun tinjauan pustaka yang mendukung, dan dokumentasi berupa foto dan audio visual. Dalam resital colorful jazz juga menggunakan seperangkat alat musik etnis seperti gamelan Jawa, gamelan Bali, taganing, talempong, suling Batak, dan rebana. Penulis dalam resital ini memainkan instrumen piano. Manajemen pertunjukan meliputi penyusunan kepanitiaan dan pembagian tugas. Penataan artistik meliputi konsep acara, pemilihan repertoar, pembuatan aransemen, latihan resital, pelaksanaan resital, dan evaluasi. Pelaksanaan resital ini berhasil memberikan pengalaman artistik yang berbeda dalam bidang penyajian seni musik jazz.

: Jakarta sebagai ibukota provinsi Indonesia menjadi salah satu Kota dengan jumlah penduduk paling banyak. Melihat kembali latar belakang kebudayaan asli Jakarta atau yang dikenal dengan budaya Betawi dari asal kata Batavia. Budaya Betawi sendiri merupakan akulturasi dari adanya berbagai macam etnis dan budaya para pendatang. Budaya ini meliputi berbagai aspek seperti musik, tari, ragam hias dan lain sebagainya. Salah satu ragam hias khas Betawi yaitu ornamen Gigi Balang yang berdasarkan pada Pergub 11 Tahun 2017, ornamen ini dipilih untuk dijadikan identitas infrastruktur Kota Jakarta. Belum adanya kajian mengenai efektivitas penggunaan ornamen Gigi Balang dalam infrastruktur Kota Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa tingkat efektivitas ornamen Gigi Balang yang telah digunakan sebagai identitas infrastruktur Kota Jakarta yang dinilai melalui beberapa aspek yaitu; aspek bentuk, waktu, tempat dan fungsi utilitas. Metode analisa menggunakan Prinsip Totalitas, Waktu dan Nilai oleh W. H. Mayall yang dikembangkan oleh Dr. Ahadiyat Joedawinata dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, kuesioner, dokumentasi dan studi pustaka. Berdasarkan hasil survei, ornamen ini dinilai kurang efektif. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuesioner yang menunjukkan kurangnya pemahaman penduduk Kota Jakarta terhadap ornamen Gigi Balang. Sehingga ornamen ini hanya dianggap sebagai elemen dekoratif tanpa mengetahui asal usul dan makna yang terkandung di dalamnya.
 Kata kunci: Gigi Balang, Jakarta, identitas kota, ragam hias etnik.

Detta arbete handlar om synen på världsmusik och etnisk musik i tre svenska kulturskolor. Syftet med arbetet är att undersöka hur dessa kulturskolor ser på och arbetar med genrenvärldsmusik och etnisk musik. Av intresse är också att studera hur eller om de följer ellerkänner till kulturrådets rekommendationer och riktlinjer. I arbetet tar jag upp världsmusikenoch dess plats i Sverige, begreppet världsmusik samt teorier om hur kulturer förändras ochutvecklas hela tiden. Datamaterialet utgörs av tre kvalitativa intervjuer med tre enhetschefer från tre olika kulturskolor som erbjuder världsmusik och/eller etnisk musik i undervisningen.Deltagande respondenter hade olika åsikter om ämnet, särskilt angående terminologin inom området såsom exempelvis begreppet världsmusik. En av respondenterna var motståndare förbegreppet världsmusik medan de andra respondenterna inte hade några problem att accepteradetta begrepp. Två av kulturskolorna använder världsmusik och etnisk musik för att nåinvandrargrupper. I diskussionen fokuseras på terminologin, influenserna utifrån samt förändringen i kulturen.<br>This essay deals with the perception of world music and ethnic music based on three of Sweden’s culture schools. The purpose of the study is to examine how these culture schools view this genre and how, or whether they follow/ know the Council of Culture's recommendations and guidelines. In this essay, I present world music in Sweden and theconcept of world music, and assume that cultures change and evolve constantly. The datamaterial consists of three interviews with three headmasters from three different cultureschools that offer world music and/or ethnic music. Participating respondents had different opinions regarding the subject, especially terminology such as the concept of worldmusic. One of the respondents was opposed to the concept of world music, while theother respondents had no problem accepting the concept. Two of the culture schools use world music and ethnic music in order to reach immigrant groups. The discussion focuses on the terminology, influences from abroad and the cultural changes.

<p>Syftet med min undersökning är att se hur lärare arbetar med ämnesintegrering genom att lyfta in etnisk musik i undervisningen. Jag har undersökt tre ämnen; musik, engelska och de samhällsorienterade ämnena. Vilka faktorer påverkar lärares användande av etnisk musik? Vilka vinster lärare kan göra genom att integrera etnisk musik i undervisningen? Jag har genomfört en kvalitativ studie med intervjuer som primärkälla. Svaren på intervjuerna har jag tolkat med hermeneutisk tolkningsmetod. Det resultat jag fick utifrån svaren på intervjuerna är att lärarna inte använder sig av etnisk musik i någon större utsträckning. Detta beror på olika orsaker, såsom okunskap, rädsla, tidsbrist, elevdemokrati och prioriteringar. Lärarna skulle däremot gärna arbeta mer med etnisk musik, då de anser att den gör undervisningen konkret för eleven samt att man kan nå ut till alla elever på ett bra sätt. I den avslutande diskussionen har jag tagit upp ytterligare orsaker till det knappa användandet av etnisk musik, bland dem märks läromedelsbrist, styrdokumentens utformande och lärarutbildningens prioritering. </p>

Flamenco guitarist Paco de Lucía, taking advantage of the ongoing cultural revolution in Spain during the seventies decided to break from tradition by shaping ”Nuevo Flamenco” through flamenco-jazz ensemble ”Paco de Lucía Sextet”. Within its repertoire, the first regular flamenco bass-line: ”Monasterio de Sal”. Electrical bassist Carles Benavent would have a key role in this development, a trait seldom found in academical works of musicology. The aim of the present thesis is to partially fill this void while shedding some light on the revolutionary contributions of Benavent. In order to do so, studying relevant literature, listening to phonograms comparatively, transcribing/analyzing ”Monasterio de Sal” and interviewing Mr. Benavent himself were used as main methods. The conclusion has been drawn that there was barely any electrical bass in flamenco before Benavent and that his work with de Lucía (and later others) would entirely reform the way electric bass was perceived from within and outside this genre of music. It is of no less interest to observe that Benavents main influences for this endeavor were the principal figures of contemporary jazz-bass (Jaco Pastorius) and flamenco-guitar (Paco de Lucía) respectively, infusing ”Monasterio de Sal”, with meaningful historical value.<br><p>Numera Inti Oyarzun-Jonsson.</p>

Uma canção de ninar é um refrão suave usado para agradar ou acalmar crianças. Esse tipo de canção atua fundamentalmente no processo de desenvolvimento cultural, além de ter um papel preponderante na evolução do homem, juntamente com o surgimento da linguagem humana. Canções de ninar de diferentes etnias exibem parâmetros de estrutura musical comuns e marcantes, como registro agudo, natureza repetitiva e calma, vocal sibilante, andamento lento, contorno melódico suave e mais intervalos descendentes do que outros tipos de canções. Canções folclóricas, por sua vez, apresentam funções diversas e apresentam maior diversidade de parâmetros de estrutura musical quando comparadas à canções de ninar. Hipotetizou-se que canções de ninar, por apresentarem funções bastante distintas de outras canções e por terem relação com o desenvolvimento da espécie humana, afetariam o tempo subjetivo da mesma forma para participantes de diferentes etnias. O contrário é esperado quando participantes estimam o tempo para canções folclóricas. Participaram dessa pesquisa 46 indivíduos, sendo 18 africanos (grupo P-Africano), 17 europeus (grupo P-Europeu) e 11 asiáticos (grupo P-Asiático). Os participantes ouviram 6 estímulos, sendo uma canção de ninar asiática (CN-Asiática), uma canção de ninar africana (CN-Africana), uma canção de ninar europeia (CN-Europeia), uma canção folclórica asiática (CF-Asiática), uma canção folclórica africana (CF-Africana) e uma canção folclórica europeia (CF-Europeia). Os participantes estimaram a duração de cada estímulo através do método de reprodução temporal. Os resultados mostraram que canções de ninar não são percebidas como diferentes de canções folclóricas dentro de cada grupo étnico de participantes, exceto para o grupo P-Africano. As canções de ninar são percebidas igualmente entre os grupos P-Africano, P-Asiático e P-Europeu. As canções folclóricas são percebidas diferentemente dependendo da etnia de origem do participante. As comparações das estimações de tempo realizadas dentro dos grupos étnicos de participantes para canções de ninar entre si, canções folclóricas entre si e canções de ninar com canções folclóricas, mostraram diferenças para cada grupo étnico de participantes. A comparação do tempo estimado com a duração real dos estímulos indicou variações entre os grupos: P-Asiático e P-Africano subestimaram CN-Europeia e CF-Europeia; o grupo P-Europeu superestimou CN-Asiática. Os resultados indicam que canções de ninar atuam igualmente em participantes, independentemente da origem étnica dos mesmos. Esse resultado, juntamente com a discrepância entre os grupos para a percepção das canções folclóricas, confirma a hipótese de que canções de ninar podem atuar universalmente na percepção temporal humana. Além disso, existem influências da etnia de origem dos participantes na percepção individual das canções, exibida pela variação dentro dos grupos P-Asiático, P-Europeu e P-Africano. Isso indica que alguns componentes musicais são universalmente percebidos enquanto outros são afetados pela origem étnica do participante.<br>A lullaby is a soft chorus used to please or appease children. This type of song primarily operates in the cultural development process, and has a leading role in the evolution of man, together with the emergence of human language. Lullabies from different ethnic groups exhibit common and striking structural features, as shrillness, repetitiveness, squeaky voice, slow tempo, smooth melodic contour and more descendants intervals than other types of songs. Folk songs, in turn, have different functions and are more structurally diverse when compared to lullabies. We hypothesized that lullabies, because of their very distinct functions and their relationship with the development of the human species, would affect subjective time similarly to subjects of different ethnicities. The opposite is expected when subjects estimate the time to folk songs. Participated in this study 46 subjects, 18 African (P-African group), 17 European (P-European group) and 11 Asians (P-Asian group). Participants heard six stimuli, an Asian lullaby (CN-Asian), an African lullaby (CN-African), a European lullaby (CN-European), an Asian folk song (CF-Asian) an African folk song (CF-African) and a European folk song (CF-European). The participants estimated the duration of each stimulus by time reproduction method. The results showed that lullabies are perceived equally as folk songs within each ethnic group of participants, except for the P-African group. The lullabies are also equally perceived by the groups P-African, P-Asian and P-European. The folk songs are perceived differently depending on the participant\'s ethnicity. Comparisons of time estimations showed variations within the ethnic groups of participants to each lullaby, each folk song, and the comparison of lullabies with folk songs. The comparison of the time estimation to the actual duration of the stimuli indicated variations between groups: P-Asian and P-African underestimated CN-European and CF-European; the P-European group overestimated CN-Asian. The results indicate that lullabies affect the participants regardless of their ethnic origin. This result, along with the discrepancy between the groups for the perception of folk songs, confirms the hypothesis that lullabies can act universally in human temporal perception. Moreover, the ethnic origin of the participants influence the perception of each individual song displayed. This indicates that some musical components are universally perceived while others are affected by the ethnic origin of the subject.

Tautinis tapatumas bei etninė kultūra - veiksniai, darantys labai didelį poveikį moksleivių ugdymui. Lietuvos švietimo dokumentuose akcentuojama etninės kultūros svarba ugdant jaunąją kartą, tačiau mokslinių tyrimų studijos rodo, jog tautiškumo stinga tiek visuomenėje tiek ir mokykloje. Turint omenyje etninės kultūros teikiamą naudą jaunosios kartos ugdymui, svarbu etninės kultūros elementus įtraukti į neformaliojo ugdymo procesą, o tame tarpe ir į muzikos mokyklų programas. Muzikos mokykla – neformaliojo ugdymo dalis, kur etninė kultūra galėtų būti plėtojama palankiausiai. Deja, šaltinių, kuriuose būtų nagrinėjami etninės kultūros ypatumai neformaliajame muzikiniame ugdyme trūksta, todėl svarbu išanalizuoti esamą etninės kultūros padėtį muzikos mokyklose.<br>National identity and ethnic culture are the factors which make a huge impact on students’ education. The importance of ethnic culture is stressed in Lithuanian Education documents, but the studies of science research show that there is a shortage of nationality both in society and school. Having in mind that ethnic culture brings advantages for the education of youth generation, it is very important to include ethnic culture elements in non-formal education process, at the same time in the programmes of a music school. The music school is a non-formal part of education, where ethnic culture could be developed mostly. Unfortunately, there are very few sources where ethnic culture is analysed in non-formal musical education, so it is very important to analyse the present situation of ethnical culture in music schools.

El matadero global no repara en especies extrañas ni extremidades de colores diferentes, matices de la humanidad. Una cubeta de acero recoge sangre y esperma para vender en sacos esterilizados. La sangre de toda etnia es idéntica en apariencia, y el plasma cotiza en la bolsa. Se separan órganos internos de venta segura. Un hígado puede viajar de un cuerpo sano y miserable en Chechenia a otro enfermo y miserable en Nueva York. Algunos seres humanos se venden enteros. Rinden en talleres oscuros o camas donde son ultrajados sin distinguir sexo ni lengua. Sólo dicen ok en idioma universal y ofrecen carne al verdugo. Los niños califican. El carnicero global corta en segundos lo que sobra del tráfico y convierte lo demás en pasta alimenticia. Nada se tira, cada fragmento tiene su nicho de mercado. Los cadáveres que llegan tarde para la oferta de necrofilia son vendidos a las universidades. Algunos se diseccionan, otros se convierten en profesores taciturnos, con aires de provenir de una masacre....