To see the other types of publications on this topic, follow the link: Etnisk musik.

Journal articles on the topic 'Etnisk musik'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Etnisk musik.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Sasongko, Michael Hari, and Supriyadi Supriyadi. "KREATIVITAS DALAM METODE EKSPLORASI NILAI ESTETIS PENCIPTAAN MUSIK ETNIS DI MASA PANDEMI COVID-19." Tonika: Jurnal Penelitian dan Pengkajian Seni 3, no. 2 (2020): 103–15. http://dx.doi.org/10.37368/tonika.v3i2.174.

Full text
Abstract:
Pandemi Covid-19 telah mengubah kehidupan manusia di berbagai aspek. Yang sebelumnya ‘normal’ menjadi ‘tidak normal’. Kondisi yang tidak normal ini sering disebut “new normal”. Untuk menghindari persebaran virus, secara sosial manusia harus berada di rumah, bekerja di rumah, dan menghindari kerumunan. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh pada kehidupan/eksistensi pergelaran musik etnik, terutama yang dilakukan secara langsung atau “live”. Kini eksistensi musik ini sangat tergantung pada media. Di dalam tulisan ini dideskripsikan upaya para komponis musik etnis dalam mengeksplorasi nilai-nilai estetis di dalam musik etnik. Dari hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa seyogianya para komponis kini tidak lagi boleh berparadigma konvensional. Ia harus mempertimbangkan aspek di luar musik yakni teknologi. Hal ini semakin menunjukkan bahwa studi musik etnik bersifat interdisipliner. Seorang komponis, dengan demikian harus menguasasi media, terutama teknologi media pengambilan gambar atau kamera.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Lapian, Alrik, and Aton Rustandi Mulyana. "MUSIK VOKAL ETNIK MINAHASA BUDAYA TRADISI DAN POPULER BARAT." Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni 12, no. 2 (2019): 71–78. http://dx.doi.org/10.33153/dewaruci.v12i2.2529.

Full text
Abstract:
AbstrakPerkembangan musik vokal di Minahasa memperlihatkan pengaruh budaya Barat yang kuat. Musik-musik tradisi Minahasa khususnya lagu beserta gaya-gaya tradisinya bercampur dengan pola-pola musik populer Barat, dari bentuk lagu hingga alat musik yang digunakan mengacu pada musik populer. Musik vokal etnik Minahasa dengan berbagai elemen musiknya hampir hilang wujudnya dalam perpaduan tersebut. Oleh sebab itu dengan pendekatan budayadan konsep-konsep musik vokal etnik Minahasa, tulisan ini menunjukkan ciri khas budaya Minahasa dan praktek bernyanyi etnik Minahasa pada musik tradisi dan musi populer Barat.Kata Kunci: Budaya, Musik, Minahasa, Populer.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Sasongko, Michael Hari. "MUSIK ETNIK DAN PENGEMBANGAN MUSIK GEREJA." Tonika: Jurnal Penelitian dan Pengkajian Seni 2, no. 1 (2019): 32–47. http://dx.doi.org/10.37368/tonika.v2i1.41.

Full text
Abstract:
Church, as a religious institution, and ethnic music, as a communality creation, are different thing. They have different philosophy, meaning, existence, entity, form, and also sosial and historical context. Sometimes even as, ideologically, they display even negation. However inspite of the contradiction, they have some interest and orientation i.e. come together on a place for expressing who people are. When they meet, there, they create something new. Based on Homi K. bhabha's theory, this something new is called "the third space". We will find ambivalence and mimicry in the new space. On the musical perspective, the hybrid of church and ethnic music call into being a new genre, namely "ethnical church music". The cutting-edge genre proved succeed for increasing worship atmosphere.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Silitonga, Pita HD. "Ansambel Musik Batak Toba Sebagai Pengiring dalam Peribadata Umat Kristen Etnis Batak Toba di Medan." Gondang: Jurnal Seni dan Budaya 1, no. 2 (2018): 70. http://dx.doi.org/10.24114/gondang.v1i2.8565.

Full text
Abstract:
Musik Ansambel sebagai musik pengiring ibadah di Gereja meliputi pengertian ansambel musik, pengertian musik pengiring, pengertian ibadah, pengertian musik gerejawi, pengertian lagu ibadah, pengertian ansambel sejenis. Penggunaan musik ansambel batak toba sebagai pengiring peribadatan, di latar belakangi jemaat yang sebagian mayoritas suku batak toba, dan jemaat beranggapan lebih menikmati jalan perayaan ibadah deng penggunaan musik ansambel batak toba, dan lagu-lagu yang dinyanyikan lagu rohani yang berbahasa batak. Keberadaan musik batak toba ini sangat membatu dalam mengiringi perayaan ibadah sehingga lagu-lagu pujian yang mereka nyanyikan lebih enak didengar dan juga dapat dirasakan pada jemaat yang beribadah, sehingga bertambah banyak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Luthfiyanti, Ayudha. "Nyerok Nanggok." JOGED 9, no. 1 (2017): 405. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v9i1.1669.

Full text
Abstract:
Koreografi Nyerok Nanggok merupakan bentuk pengulangan dari ekspresi masyarakat Desa Kemiri (sebuah desa yang masih termasuk dalam kawasan wilayah Kabupaten Belitung) pada saat menangkap ikan di musim kemarau panjang dengan menggunakan properti. Koreografi ini kemudian disusun dalam bentuk komposisi kelompok besar (Large Group Compotition) dan termasuk ke dalam tipe tari studi dramatik. Tema karya tari ini ialah tentang rasa kebersamaan, semangat, dan gotong-royong warga desa pada saat menangkap ikan. Untuk memperkuat adegan-adegan yang ditampilkan maka terdapat properti yang digunakan dan memang ada hubungannya dengan karya, properti tersebut dibagi menjadi 3, yaitu tanggok, dulang, dan tudung saji. Karya tari “Nyerok Nanggok” ini mempunyai 5 bagian, bagian introduksi merupakan rangkuman dari semua adegan, pada bagian ini semua properti ditampilkan di atas panggung. Adegan 1 merupakan bagian musim kemarau panjang, dilanjut dengan bagian 2 yang mengekspresikan masyarakat desa Kemiri pada saat mengadakan ritual dan do’a bersama sebelum masuk ke dalam sungai atau rawa. Pada bagian 3 menggambarkan seekor ikan yang dilakukan oleh salah satu penari yang sedang diburu oleh beberapa penangkap ikan dengan menggunakan “tanggok”. Bagian ending dari karya ini ialah tentang rasa kegembiraan dan rasa syukur terhadap permohonan yang telah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.Proses penggarapan koreografi ini dicapai melalui beberapa tahapan seperti menyampaikan topik kepada para penari sekaligus sebagai rangsangan yang berlanjut pada proses kreatif pencarian gerak seperti eksplorasi dan improvisasi. Penata juga merangsang para penari melalui properti serta musik untuk memicu daya imajinasi dan kreativitas para penari. Perwujudan musik yang digunakan sebagai pengiring dari koreografi ini ialah musik etnik (musik tradisional) yang membantu mengkespresikan suasana serta membuat dramatik dalam karya tari ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Luthfiyanti, Ayudha. "Nyerok Nanggok." Joged 8, no. 1 (2017): 405–16. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v8i1.1669.

Full text
Abstract:
Koreografi Nyerok Nanggok merupakan bentuk pengulangan dari ekspresi masyarakat Desa Kemiri (sebuah desa yang masih termasuk dalam kawasan wilayah Kabupaten Belitung) pada saat menangkap ikan di musim kemarau panjang dengan menggunakan properti. Koreografi ini kemudian disusun dalam bentuk komposisi kelompok besar (Large Group Compotition) dan termasuk ke dalam tipe tari studi dramatik. Tema karya tari ini ialah tentang rasa kebersamaan, semangat, dan gotong-royong warga desa pada saat menangkap ikan. Untuk memperkuat adegan-adegan yang ditampilkan maka terdapat properti yang digunakan dan memang ada hubungannya dengan karya, properti tersebut dibagi menjadi 3, yaitu tanggok, dulang, dan tudung saji. Karya tari “Nyerok Nanggok” ini mempunyai 5 bagian, bagian introduksi merupakan rangkuman dari semua adegan, pada bagian ini semua properti ditampilkan di atas panggung. Adegan 1 merupakan bagian musim kemarau panjang, dilanjut dengan bagian 2 yang mengekspresikan masyarakat desa Kemiri pada saat mengadakan ritual dan do’a bersama sebelum masuk ke dalam sungai atau rawa. Pada bagian 3 menggambarkan seekor ikan yang dilakukan oleh salah satu penari yang sedang diburu oleh beberapa penangkap ikan dengan menggunakan “tanggok”. Bagian ending dari karya ini ialah tentang rasa kegembiraan dan rasa syukur terhadap permohonan yang telah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.Proses penggarapan koreografi ini dicapai melalui beberapa tahapan seperti menyampaikan topik kepada para penari sekaligus sebagai rangsangan yang berlanjut pada proses kreatif pencarian gerak seperti eksplorasi dan improvisasi. Penata juga merangsang para penari melalui properti serta musik untuk memicu daya imajinasi dan kreativitas para penari. Perwujudan musik yang digunakan sebagai pengiring dari koreografi ini ialah musik etnik (musik tradisional) yang membantu mengkespresikan suasana serta membuat dramatik dalam karya tari ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Widiastuti, Uyuni, Adina Sastra Sembiring, and Mukhlis Mukhlis. "Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Etnis Sumatera Utara." Virtuoso: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Musik 3, no. 2 (2020): 84. http://dx.doi.org/10.26740/vt.v3n2.p84-88.

Full text
Abstract:
The development of instructional media in this paper is the development of learning media used in learning Arts and Culture class X High School in Pangururan District, Samosir Regency. The learning media developed are invincible with the syllabus in class X, namely "presentation of musical works". The objectives of this study were to: (1) develop traditional Karo music learning videos; (2) Developing Karo traditional music learning textbooks. This research uses a Research & Development or research and development approach. The development of this learning media will be used by art teachers who are members of the MGMP (subject teacher deliberation) for Cultural Arts, especially art teachers in Pangururan District, Samosir Regency. The research conducted resulted in the development of instructional media in the form of learning videos for learning traditional Karo music and textbooks for learning traditional Karo music. The learning media developed in the form of learning videos for traditional Karo music includes the technique of playing Karo traditional music which is incorporated in the kulcapi drum ensemble whose instruments consist of kulcapi, keteng-keteng, and mangkuk. The next learning media is in the form of a textbook which contains the techniques for playing the kulcapi drum in the song Piso Surit and Terang Bulan. The two learning media that have been developed help the arts and culture teachers in carrying out the ethnicity of the ethnic North Sumatra.Keywords: Development, Learning Media, Ethnicity, North Sumatra
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Iskandar, Abdul Malik. "Adaptasi Sosial Komunitas Musik Etnik di Era Modern." Community : Pengawas Dinamika Sosial 7, no. 1 (2021): 40. http://dx.doi.org/10.35308/jcpds.v7i1.2908.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Susanto, Ferry. "MANAJEMEN PERTUNJUKAN LAGU KARYA ANTONIO CARLOS JOBIM PADA RESITAL COLORFUL JAZZ." JURNAL TATA KELOLA SENI 1, no. 2 (2017): 16–22. http://dx.doi.org/10.24821/jtks.v1i2.1637.

Full text
Abstract:
Penyajian resital bertujuan memberikan sumbangsih pengetahuan tentang lagu bossanova karya Antonio Carlos Jobim dan kolaborasi musik modern yang dipadukan dengan alat musik etnis yang dikemas dengan nuansa musik jazz yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Manajemen tata kelola artistik panggung dibuat dengan menutupi seluruh dinding hingga lantainya dengan kain furing yang berwarna putih. Kemudian dengan beraneka lampu-lampu yang menyoroti seluruh sudut-sudut pada panggung tersebut dan berefek penuh warna yang sesuai dengan nama dari resital tersebut yakni Colorful Jazz. Proses pengumpulan data dalam penyajian resital ini dengan melakukan wawancara, pengamatan pada lagu karya Antonio Carlos Jobim, pengamatan pada proses latihan, mencari sumber pustaka baik dari internet maupun tinjauan pustaka yang mendukung, dan dokumentasi berupa foto dan audio visual. Dalam resital colorful jazz juga menggunakan seperangkat alat musik etnis seperti gamelan Jawa, gamelan Bali, taganing, talempong, suling Batak, dan rebana. Penulis dalam resital ini memainkan instrumen piano. Manajemen pertunjukan meliputi penyusunan kepanitiaan dan pembagian tugas. Penataan artistik meliputi konsep acara, pemilihan repertoar, pembuatan aransemen, latihan resital, pelaksanaan resital, dan evaluasi. Pelaksanaan resital ini berhasil memberikan pengalaman artistik yang berbeda dalam bidang penyajian seni musik jazz.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Aulia, Rahmiati. "KAJIAN EFEKTIFITAS ORNAMEN GIGI BALANG SEBAGAI IDENTITAS INFRASTRUKTUR KOTA JAKARTA." Desain Komunikasi Visual, Manajemen Desain dan Periklanan (Demandia) 6, no. 1 (2021): 45. http://dx.doi.org/10.25124/demandia.v6i1.2737.

Full text
Abstract:
: Jakarta sebagai ibukota provinsi Indonesia menjadi salah satu Kota dengan jumlah penduduk paling banyak. Melihat kembali latar belakang kebudayaan asli Jakarta atau yang dikenal dengan budaya Betawi dari asal kata Batavia. Budaya Betawi sendiri merupakan akulturasi dari adanya berbagai macam etnis dan budaya para pendatang. Budaya ini meliputi berbagai aspek seperti musik, tari, ragam hias dan lain sebagainya. Salah satu ragam hias khas Betawi yaitu ornamen Gigi Balang yang berdasarkan pada Pergub 11 Tahun 2017, ornamen ini dipilih untuk dijadikan identitas infrastruktur Kota Jakarta. Belum adanya kajian mengenai efektivitas penggunaan ornamen Gigi Balang dalam infrastruktur Kota Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa tingkat efektivitas ornamen Gigi Balang yang telah digunakan sebagai identitas infrastruktur Kota Jakarta yang dinilai melalui beberapa aspek yaitu; aspek bentuk, waktu, tempat dan fungsi utilitas. Metode analisa menggunakan Prinsip Totalitas, Waktu dan Nilai oleh W. H. Mayall yang dikembangkan oleh Dr. Ahadiyat Joedawinata dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, kuesioner, dokumentasi dan studi pustaka. Berdasarkan hasil survei, ornamen ini dinilai kurang efektif. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuesioner yang menunjukkan kurangnya pemahaman penduduk Kota Jakarta terhadap ornamen Gigi Balang. Sehingga ornamen ini hanya dianggap sebagai elemen dekoratif tanpa mengetahui asal usul dan makna yang terkandung di dalamnya.
 Kata kunci: Gigi Balang, Jakarta, identitas kota, ragam hias etnik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Kurniawan, Dody. "Perbandingan Spektral Musik Klasik dengan Musik Etnik Jawa menggunakan Analisis MFCC dan Beat Strength." Jurnal Fisika dan Aplikasinya 12, no. 1 (2016): 27. http://dx.doi.org/10.12962/j24604682.v12i1.1273.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Putra, Leo Pradana. "BELU: SEBUAH EKSPLORASI MUSIK NUSA TENGGARA TIMUR DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA." Ekspresi Seni 19, no. 2 (2017): 129. http://dx.doi.org/10.26887/ekse.v19i2.145.

Full text
Abstract:
Belu merupakan sebuah komposisi musik etnis sasando yang di dalamnya terdapat penggabungan instrumen-instrumen musik dari budaya lain. Pembuatan musik tersebut dengan cara meniru bentuk asli yang masih terkesan tradisi, bervariasi, dan singkat tidak menggunakan durasi yang lama. Sehingga, masuknya instrumen-instrumen tersebut dalam komposisi ini menjadi sebuah inovasi baru mengikuti selera penonton dalam penyajiannya. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan komposisi Belu ialahadaptasi terhadap lingkungan sekitar, perubahan cara pandang, dan kontak dengan orang-orang sekitar, sehingga memunculkan ide-ide baru dalam sebuah penggarapan musik tradisi menjadi kemasan masa kini. Dengan demikian, perubahan dan perkembangan budaya akan sangat tergantung pada kreator seni serta apresiasi masyarakat pendukungnya untuk menyajikan musik dengan inovasi baru yang tetap mempertahankan nuansa tradisional budaya Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menelaah tentang proses pengolahan komponen musikal yang berasal dari unsur-unsur musik Jawa dan Timur dalam komposisi musik Belu.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Tirayoh, Angelberth, Stanlley Meddelu, and Reynoldus A. Sahulata. "APLIKASI ALAT MUSIK TRADISIONAL TOTOBUANG BERBASIS ANDROID." CogITo Smart Journal 1, no. 1 (2016): 68. http://dx.doi.org/10.31154/cogito.v1i1.7.68-77.

Full text
Abstract:
Mempelajari budaya bangsa Indonesia yang beragam dilakukan dengan pendekatan keragaman alat musik tradisional. Pada penelitian ini yang dibuat dalam aplikasi komputer untuk menghasilkan nada suara alat musik Totobuang dari etnis budaya Maluku. Dengan adanya kemajuan teknologi Mobile application yang menggunakkan system operasi Android pada smartphone pada umumnya, maka aplikasi yang dibuat dapat dijalankan dengan sistem operasi Android, hal ini untuk memudahkan kepada siapa saja yang ingin mempelajari alat musik Totobuang. Aplikasi yang dibangun menggunakan Eclipse sebagai IDE (Intergreted Developmet Environment) dan Android Sofware Development Kit (SDK), serta bahasa pemrograman Java dan dijalankan pada sistem operasi Android. Peneliti juga menggunakan Unified Modelling Language (UML) untuk pemodelan struktur aplikasi dan menunjukkan fungsi utama pada sistem aplikasi tersebut. Adapun konsep dari aplikasi ini yaitu dengan mendeteksi interaksi sentuhan tangan pada layar smartphone sehingga ketika layar tersebut tersentuh tangan maka akan menimbulkan bunyi dari alat musik Totobuang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Alaini, Nining Nur. "Cara Pandang Etnik Sasak yang Tercermin dalam Nyanyian Rakyat “Kadal Nongaq"." Gramatika: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan 2, no. 1 (2014): 57–66. http://dx.doi.org/10.31813/gramatika/2.1.2014.81.57--66.

Full text
Abstract:
Bahasa dan sastra, sebagaimana mite, lukisan, musik, kepercayaan, dan tingkah laku merupakan symbol yang mengadung makna. Bentuk-bentuk simbolis tersebut mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologis dari sistem pengetahuan masyarakat Sasak. Dengan demikian, keeratan hubungan antara bentuk simbolis (sastra atau bahasa) dengan sistem pengetahuan masyarakat memungkinkan kita untuk dapat mengetahui sistem pengetahuan masyarakat Sasak terhadap realitas atau cara pandang tentang dunianya melalui sastra yang mereka miliki. Penelitian ini mengungkapkan sistem pengetahuan etnis Sasak terhadap realitas atau cara pandang tentang dunianya dan membongkar simbol-simbol budaya yang berupa pandangan dunia etnis Sasak yang terkandung dalam nyanyian rakyat “Kadal Nongak”. Tanda-tanda yang dikaji adalah ikon, indeks, dan simbol dalam nyanyian rakyat “Kadal Nongaq”.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

FAIZAH, NUR, MUHAMMAD ZID, and ODE SOFYAN HARDI. "Mobilitas Sosial Dan Identitas Etnis Betawi." Jurnal SPATIAL Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi 18, no. 1 (2018): 36–50. http://dx.doi.org/10.21009/spatial.181.01.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan mobilitas sosial serta fungsi dan pola sebaran Kesenian Ondel-ondel Betawi. Pada tahun 1940-an ondel-ondel yang difungsikan sebagai kesenian yang bersifat sakral, namun saat ini ondel-ondel difungsikan sebagai kesenian Betawi yang bersifat ekonomis. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Administrasi Jakarta Pusat pada pada tahun 2017. Dalam penelitian ini terdapat dua pertanyaan penelitian. Pertama, bagaimana perubahan fungsi pada kesenian ondel-ondel Betawi. Kedua, bagaimana pola persebaran kesenian ondel-ondel Betawi. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix method), yaitu metode kualitatif untuk membahas bagaimana perubahan fungsi kesenian ondel-ondel Betawi. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Akademisi Universitas Negeri Jakarta, Seniman Betawi, Pengelola Sanggar Ondel-ondel, dan informan pendukung seperti masyarakat yang pernah menggunakan ondel-ondel dalam acara kebudayaan yang diambil secara snowball. Dan metode analisa geografis untuk mengetahui bagaimana pola persebaran kesenian ondel-ondel Betawi dengan sampel populasi untuk sanggar. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Teknik yang digunakan dalam validitas data adalah triangulasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa, ondel-ondel merupakan kesenian tradisional yang sangat identik dengan identitas etnis Betawi. Perpindahan masyarakat Betawi ke pinggir Jakarta menyebabkan penggunaan ondel-ondel meredup karena masyarakat Betawi lebih memilih untuk menggunakan seni musik modern dan membuat pengelola sanggar ondel-ondel bertahan dengan cara mengamen keliling untuk biaya peremajaan sanggar sehingga terjadinya mobilitas horizontal dan mobilitas vertikal. Sanggar ondel-ondel di Kota Administrasi Jakarta Pusat terdapat 5 sanggar aktif dengan termasuk kedalam Pola Tersebar Merata. Lokasi yang menjadi tujuan mengamen keliling adalah lokasi yang ramai dengan aktivitas masyarakat. Dari mengamen inilah, banyak oknum liar yang memanfaatkan keadaan ondel-ondel menjadi media untuk mencari makan dengan penampilan seadanya dan mengharapkan belas kasihan dari masyarakat. Penampilan ondel-ondel liar yang tidak sesuai pakem ini telah merubah fungsi dan makna ondel-ondel yang semula merupakan atribut kebudayaan menjadi suatu kesenian budaya Betawi yang tidak dihargai lagi dengan uang recehan.
 
 Kata Kunci: Ondel-ondel Betawi, Identitas Etnis Betawi, dan Pola Persebaran Ondel-ondel
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Lubis, Sofia Indriani, Abdul Mujib, and Hasratuddin Siregar. "Eksplorasi Etnomatematika pada Alat Musik Gordang Sambilan." Edumatika : Jurnal Riset Pendidikan Matematika 1, no. 2 (2018): 1. http://dx.doi.org/10.32939/ejrpm.v1i2.246.

Full text
Abstract:
Budaya merupakan suatu kebiasaan yang mengandung unsur-unsur nilai penting dan fundamental serta dekat dengan kehidupan manusia dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi siswa disekolah sekaligus mempelajari budaya itu sendiri. Mandailing merupakan salah satu etnik dari Sumatera Utara yang memiliki budaya adat istiadat, warisan, tradisi yang khas, dan berbeda dengan kebudayaan lain yang harus dilestarikan. Salah satu kebudayaan mandailing adalah Gordang Sambilan yaitu alat musik tradisional yang terdiri dari sembilan gendang dengan tinggi dan diameter yang berbeda sehingga menghasilkan nada yang berbeda dan dimainkan oleh 5-6 orang pemain. Tujuan dari penelitian ini untuk mengeksplorasikan konsep matematika apa saja yang ada pada alat musik Gordang Sambilan sehingga dapat diimplementasikan pada pembelajaran matematika di dalam kelas. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif tentang alat musik Gordang Sambilan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis konsep barisan aritmatika dan konsep geometri.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Efrianto. A, Efrianto A. "MIGRASI ORANG BALI KE BAYUNG LENCIR." JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA 1, no. 1 (2019): 62–78. http://dx.doi.org/10.36424/jpsb.v1i1.108.

Full text
Abstract:
Bali merupakan sebuah nama daerah dan suku bangsa yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan suku bangsa lain di Indonesia. Salah satu keunikan mereka adalah kebiasaan dan identitas sosial mereka terlihat sangat jelas dari bentuk dan model rumah yang mereka miliki. Orang Bali dikenal sebagai salah satu etnis yang menganut agama Hindu, sebagai penganut agama Hindu mereka miliki simbol tersendiri yang terlihat sangat jelas dari berdirinya sebuah pura di depan rumah mereka. Kondisi ini dengan sendirinya menimbulkan keunikan dan perbedaan tersendiri ketika etnis ini jauh dari daerah asal mereka di Bali. Tulisan ini inggin menjelaskan tentang bagaimana kedatangan etnis Bali di Kecamatan Banyu Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Observasi lapangan menemukan data yang menarik tentang orang Bali di Banyu Lencir.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Farhatiningsih, Lizzatul, Kirana Dwitia Putri, Dyah Ayu Setyorini, and Muhammad Syihabuddin Naufal. "COUNTER-HEGEMONY TOWARDS WOMEN IN ADVERTISING." Diakom : Jurnal Media dan Komunikasi 4, no. 1 (2021): 25–36. http://dx.doi.org/10.17933/diakom.v4i1.108.

Full text
Abstract:
Representasi tidak selalu membicarakan mengenai tampilan fisik seseorang namun ada makna di balik representasi dan salah satu media representasi adalah iklan. Representasi dihadirkan tidak hanya melalui untaian kalimat atau kata-kata lisan, namun juga melalui gambar, gestur, mimik muka, pakaian, suara, musik, dan teknik pengambilan gambar. Iklan Bukalapak Nego Cincai berbeda dari iklan marketplace lain karena menggunakan model seorang wanita berusia paruh baya etnis Tionghoa dalam iklan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan etnis Tionghoa dalam iklan Bukalapak Nego Cincai sebagai kontra hegemoni. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian multimodalitas untuk menjelaskan representasi dan komunikasi yang mengandalkan multiplisitas mode. Hasil penelitian menunjukkan penggambaran seorang wanita paruh baya beretnis Tionghoa beserta elemen-elemen yang mendukung dalam iklan tersebut meyakinkan khalayak bahwa Bukalapak merupakan online marketplace yang menawarkan harga yang relatif lebih murah khususnya pada saat menyambut hari raya Imlek melalui pemilihan actor tersebut memperlihatkan bahwa dengan representasi etnis Tionghoa yang kerap melakukan aktivitas tawar-menawar dalam kegiatan berdagang. Bukalapak ingin menonjolkan sebuah bentuk counter hegemony terhadap iklan online marketplace lain yang cenderung selalu menampilkan sosok wanita berusia muda, dengan tubuh langsing, kulit putih, dan bukan berasal dari etnis Tionghoa. Untuk memahami kontra hegemoni terhadap iklan ini, dalam penelitian mendatang perlu dilakukan analisis mendalam yang terdiri dari lebih banyak frame sehingga mampu menangkap lebih banyak sumber semiotik dan memahami maksud di balik iklan tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Hassan, Sri Martina Intan Permatasari, and Ridwan Purnama. "PENGARUH CUSTOMER VALUE DALAM MENINGKATKAN KEPUASAN WISATAWAN DI SAUNG ANGKLUNG UDJO (Survei terhadap Wisatawan Nusantara Individu di Saung Angklung Udjo)." Journal : Tourism and Hospitality Essentials Journal 4, no. 1 (2016): 725. http://dx.doi.org/10.17509/thej.v4i1.1981.

Full text
Abstract:
Saung Angklung Udjo sebagai sanggar seni merupakan tempat laboratorium pendidikan, latihan, dan pertunjukan musik etnik untuk mendidik para pelatih dan pemain dalam bidang kesenian khas Jawa Barat, khususnya musik angklung. Dari pra penelitian yang telah dilakukan didapat permasalahan bahwa walaupun tingkat kunjungan di Saung Angklung Udjo tiap tahunnya selalu terjadi peningkatan tetapi masih saja ada pengunjung yang merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif verifikatif dan metode yang digunakan adalah explanatory survey dengan menggunakan skala ordinal. Teknik sampling yang digunakan adalah systematic random sampling dengan ukuran sampel menggunakan rumus slovin, maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 100 responden. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier sederhana. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 9,324 + 0,743X.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Arios, Rois Leonard. "FUNGSI DAN PELESTARIAN ALAT MUSIK SUNAI DI KABUPATEN MUKOMUKO PROPINSI BENGKULU." JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA 5, no. 1 (2019): 128–49. http://dx.doi.org/10.36424/jpsb.v5i1.40.

Full text
Abstract:
Sunai merupakan alat musik utama pengiring tari gandai. Dalam mitologi suku bangsa Pekal mengenal tokoh Malin Deman yang menciptakan sunai untuk mengiringi tari gandai yang ditarikan oleh dayang-dayang. Walaupun berasal dari suku bangsa Pekal, masyarakat Kabupaten Mukomuko yang multi etnis menjadikan alat musik sunai sebagai bagian dari kesenian mereka. Pertanyaannya adalah bagaimana fungsi sunai bagi masyarakat dan upaya pelestariannya hingga tetap eksis. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan wawancara, pengamatan, dan studi pustaka sebagai alat pengumpul data. Hasil penelitian menggambarkan bahwa sunai menjadi pemersatu masyarakat yang beraneka ragam budaya dan menjadi milik bersama masyarakat Kabupaten Mukomuko. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pemain sunai dan tampil mengiringi tari gandai. Pemerintah Kabupaten Mukomuko juga melakukan berbagai kegiatan agar sunai semakin dikenal oleh masyarakat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Nerosti, Nerosti. "COREOGRAPHY IN MALAYSIA IN MULTICULTURAL CONCEPT: CASE STUDY PROGRAM MINOR ARTS DANCE UPSI." Komposisi: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Seni 15, no. 2 (2014): 197. http://dx.doi.org/10.24036/komposisi.v15i2.7498.

Full text
Abstract:
KOREOGRAFI DI MALAYSIA DALAM KONSEP MULTIKULTURAL: KAJIAN KES PROGRAM MINOR SENI TARI UPSIAbstractThis writing is the result of my research entitled “Analisis Deskriptif Koreografi Pelajar Minor Seni Tari UPSI: Kajian Kes Tiga Produksi Tari 2008 – 2011”. The aim of the research is to answer the question: To what extend the dance work by Minor Dance Art students which was presented in Art Dance Production fulfills the coreography elements, by using descriptive analysis method from primary and secondary data. By using qualitative approach which involved library research, observation, interview and by using coreography theory, the research result proves that seventeen Minor Art Dance students’ dance works has been fulfilled the coreography elements. The elements are (a). The choice of theme or idea of work with the early stimulus, that is the stimulation of idea and concept, cinestetic, auditive, and visual. (b). Exploration and improvitation (c). Smoothing and composition. The composition elements has also been described, which include (1). The structure of the work (2). The body movement of the dancer (3). Th floor pattern (4). Music and lighting (5). Costum and make up, lighting. The research also found that eleven of students’ dance works has applied the multicultural concept which has ethnic and classic themes. The multicultural which is viewed as various of uniqueness and the diversity of the cultural ethnic, reflected by each work that is limited by historical context, social, and the origin culture, that includes Melayu ethnic, Minangkabau, Java, Sabah and Serawak, Kelantan, Hindia, and Chinese. Those eleven dances are Andai Randai, San Kipas, Iras, Ngayau, Tatoo Gendup Berpantang, Gawai Batu, Sekar Wangi, Kondattam, Sense of Beauty, Cinta Za’yu dan Jepit.Keywords: Multicultural, Minor Dance, CoreographyAbstrakTulisan ini merupakan hasil penelitian saya yang berjudul "Analisis Deskriptif Koreografi Pelajar Minor Seni Tari UPSI: Kajian Kes Tiga Produksi Tari 2008 - 2011". Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan: Untuk memperluas tarian para siswa Seni Tari Minor yang dipresentasikan dalam Art Dance Production memenuhi elemen-elemen inti, dengan menggunakan metode analisis deskriptif dari data primer dan data sekunder. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang melibatkan penelitian kepustakaan, observasi, wawancara dan dengan menggunakan teori inti, hasil penelitian membuktikan bahwa tujuh belas karya tari tari Seni Tunggal telah memenuhi unsur-unsur inti. Unsur-unsurnya adalah (a). Pilihan tema atau ide kerja dengan stimulus awal, yaitu stimulasi ide dan konsep, cinestetic, auditive, dan visual. (B). Eksplorasi dan peningkatan (c). Smoothing dan komposisi. Unsur komposisi juga telah dijelaskan, yang meliputi (1). Struktur pekerjaan (2). Gerakan tubuh para penari (3). Pola lantai (4). Musik dan pencahayaan (5). Costum dan make up, lighting. Penelitian ini juga menemukan bahwa sebelas karya tari siswa telah menerapkan konsep multikultural yang memiliki tema etnik dan klasik. Multikultural yang dipandang beragam keunikan dan keragaman etnik budaya, tercermin dari setiap karya yang dibatasi oleh konteks sejarah, sosial, dan budaya asal, yaitu etnis Melayu, Minangkabau, jawa, sabah dan Serawak, Kelantan, Hindia, dan Cina. Sebelas tarian tersebut adalah Andai Randai, San Kipas, Iras, Ngayau, Tatoo Gendup Berpantang, Gawai Batu, Sekar Wangi, Kondattam, Rasa Kecantikan, Cinta Za'yu dan Jepit.Kata kunci: Multikultural, Tari Kecil, koreografi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Basri, Muntasyir, Lewi Jutomo, Caro David Hadel Edon, Marline Mayners, and Sri Prilmayanti Awaluddin. "Pendampingan Siswa SMP Dan SMA Dalam Memainkan Alat Musik Tradisional Sasando Daun Untuk Melestarikan Alat Musik Tradisional Etnik Nusa Tenggara Timur." JATI EMAS (Jurnal Aplikasi Teknik dan Pengabdian Masyarakat) 4, no. 1 (2020): 33. http://dx.doi.org/10.36339/je.v4i1.273.

Full text
Abstract:
This community service aims to empower junior and senior high school students to improve their knowledge, abilities and skills in playing NTT ethnic traditional musical instruments as an effort to preserve local culture, especially traditional musical instruments. Implementation methods are designed based on community empowerment methods including identification of schools and target participants, preparation of training tools and materials, provision of materials, introduction of sasando daun traditional musical instruments, recognition of tone and sound, training and use of playing sasando daun traditional musical instruments and monitoring and evaluation and sustainability. This activity is carried out on St. Catholic Catholic Middle School students Familia and Kupang Superior Generation Christian High School, each 20 students. The results of the activity showed that as many as 40 participants were able to play the Sasando Daun traditional musical instrument skillfully, skillfully and well. It is expected that with the presence of 40 students the students will be able to direct and motivate other students to play the traditional Sasando Daun musical instrument so as to be able to preserve the NTT ethnic culture, especially maintaining the ability to play this instrument. For the continuation of the activities of all these students will be included in the appearance of the traditional Sasando Daun musical instrument play in various events in Kupang and outside Kupang and formed the Sasando Traditional Music Art Unit.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Pasaribu, Dedi Saputra, and Theodora Sinaga. "ANALISIS BENTUK, MAKNA DAN FUNGSI LAGU RURA SILINDUNG ARANSEMEN ERIZON RASIN KOTO KARYA GURU NAHUM SITUMORANG." Grenek Music Journal 10, no. 1 (2021): 15. http://dx.doi.org/10.24114/grenek.v10i1.23539.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk, makna, dan fungsi lagu Rura Silindung aransemen Erizon Rasin Koto. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Hasil penelitian membuktikan bahwa bentuk lagu Rura Silindung memiliki 6 motif dengan penambahan coda pada bar 33-36, memiliki 4 frase yang terdiri dari dua frase pertanyaan dan 2 frase jawaban, lagu ini juga merupakan lagu dua bagian yang terdiri dari A (a-a’) dan B (b-b’). Melodi, harmoni, dan ritme memiliki gaya dan karakteristik musik Samba, namun tetap dikolaborasikan dengan intrumen musik etnis Batak Toba, sehingga kesan dan nilai tradisi dari musik Batak Toba masih terlihat jelas. Namun terdapat kekurangan pada aransemen ini yaitu pada melodi m1 yang mengalami ketidaksesuain dengan makna syairnya. Lagu Rura Silindung yang diaransemen oleh Erizon Rasin koto ini merupakan karya dari komponis besar yang berasal dari Tanah Batak yaitu Guru Nahum Situmorang. Lagu ini memiliki makna akan keindahan alam Lembah Silindung, mewakili hati dan kehidupan masyarakat Silindung yang hidup damai, tentram dan saling berdampingan, lagu ini melambangkan ciri khas masyarakat Silindung. Lagu ini berfungsi sebagai lagu iringan pada berbagai acara adat, dan berfungsi sebagai lagu iringan pada pesta tahunan pada acara Panen Raya di Silindung, Tarutung.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Septavauzan, Ananda Dwi. "TILO MANURUNG: REPRESENTASI CERITA MASYARAKAT SUKU BUOL SULAWESI TENGAH PADA KOMPOSISI MUSIK ETNIS SIRITANO SINDA." SELONDING 16, no. 2 (2021): 114–27. http://dx.doi.org/10.24821/sl.v16i2.5056.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Widyakusumastuti, Maria Anggia. "Pengelolaan Keaslian Rasa dan Budaya pada Restoran Etnik Khas Jawa: Analisis Atmospheric Restoran Etnik Khas Jawa di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat." Humaniora 5, no. 2 (2014): 977. http://dx.doi.org/10.21512/humaniora.v5i2.3204.

Full text
Abstract:
This research performed the authenticity of Javanese ethnic flavor and culture in Javanese ethnic restaurant. This research aims to find out how the owners of the restaurant present the authenticity of the flavor and culture through atmospherics elements and challenges they face in bringing the authenticity of the flavor and culture. This study refers to the previous researches published in both national and international journals. The conceptual literature used in this research is Kotler’s atmospherics concept. This study provides a conceptual contribution to the study of the introduction of communication science and to contribute the thought on how to convey the authenticity of Javanese flavor and culture, considering that the authenticity cannot be determine objectively, but depends on the social construction. This study used Constructivist Paradigm. This research is a descriptive study with qualitative approach using phenomenology method. Subjects of this research were owners of Javanese ethnic restaurant in South Jakarta and Central Jakarta. Purposive sampling technique was used to select the informants using the snowball method. The validity of the study used a standard of credibility with its own specifications. Presenting the authenticity of Javanese ethnic flavor and culture was not an easy task. The restaurant owners could present through the elements of atmospherics emphasizing the ability of the senses of visual, aural, olfactory, and tactile that captured the stimuli in both the interior and exterior of the restaurant, music, scent of the fragrance of flowers and food, as well as room temperature. In addition to the elements, the owners specially brought and used certain ingredients, such as soy, rice, tofu, crackers, and tea, to keep the authenticity of the taste of Javanese cuisine. They believe that the water and soil texture in Java produce different flavors in those materials.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Purba, Elvera Chrismiseri, and Pulung Sumantri. "PERUBAHAN UPACARA KEMATIAN SAYUR MATUA DALAM ETNIS SIMALUNGUN DI DESA SONDI RAYA." Puteri Hijau : Jurnal Pendidikan Sejarah 5, no. 1 (2020): 101. http://dx.doi.org/10.24114/ph.v5i1.18280.

Full text
Abstract:
Research title "Change in Simalungun Ethnic Death Ceremony in Sondi Raya Village". The purpose of writing this thesis is to find out the function of the death ceremony in the ethnic Simalungun, the value contained in the death ceremony, and the changes contained in the process of the death ceremony in the ethnic Simalungun in the village of Sondi Raya. The method used in this study is a historical method that uses written and oral sources, in the form of books and photographs of the Simalungun ethnic death ceremony. Oral sources were obtained through interviews with Raja Parhata (traditional leaders) and religious leaders, as well as laboratory studies using video of death in the village of Sondi Raya. The results obtained are (1) The function of the death ceremony in Simalungun is as a final tribute to the deceased especially to someone who has the title of Sayur Matua. (2) The value contained in the ceremonial death in the ethnic Simalungun namely the value of Sapangahapan is still thick in the Simalungun community, where every misfortune of the surrounding community provides consolation so that families who are grieving do not continue to dissolve in sadness. (3) Changes in the Simalungun death ceremony experienced some of the most striking changes is the gual vegetable matua which was always used during the death ceremony became rare and even changed into modern music, and the size of the porcelain (white cloth) before the size of the porcelain varies depending on the closeness of kinship with deceased person. While now the size is the same for all those who are still close relatives and community mourners in the same village.Keywords: Sayur Matua, Simalungun
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Suharsono, Suharsono. "Pendidikan Multikultural." EDUSIANA: Jurnal Manajemen dan Pendidikan Islam 4, no. 1 (2017): 13–23. http://dx.doi.org/10.30957/edusiana.v4i1.3.

Full text
Abstract:
Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada kepentingan politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960an. Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Ferrales Nápoles, Marybel. "Algunas manifestaciones actuales de la música indígena en Sonora, México." Arte, entre paréntesis 1, no. 12 (2021): 20–28. http://dx.doi.org/10.36797/aep.v1i12.86.

Full text
Abstract:
La riqueza de la tradición musical indígena de Sonora estriba en su variedad y significados constituyendo un factor importante en la identidad de sus pueblos. Sin embargo, las investigaciones sobre la música de las culturas autóctonas de la región son escasas; por ello, se hace necesario un estudio enfocado a su significación como fenómeno cultural colectivo y a su análisis musical. El objetivo de este trabajo es dar a conocer como se manifiesta actualmente la música de algunas etnias del estado de Sonora mediante la trascripción y análisis de obras representativas. Se inició recogiendo las evidencias auditivas y visuales de la música indígena que ha llegado a nuestros días como producto de un largo proceso histórico en diferentes etnias del Estado de Sonora. Se seleccionaron cinco obras extraídas de grabaciones propias o facilitadas por Lutisuc (2007), las cuales fueron transcritas y acompañadas con una breve descripción del contexto donde se interpretan y su análisis melódico, armónico, formal y métrico, así como los procesos de acompañamiento, entonación y timbre de voces. Se concluye que la música indígena contemporánea interpretada en el territorio sonorense es trasmisora de los pensamientos actuales de las etnias; en muchos casos, reconstruyendo parámetros antiguos para moldear las generaciones actuales y no interpretándose fuera del contexto local. Abstract The richness of the indigenous musical tradition in Sonora lies in the variety and meanings constituting an important factor in the identity of their towns. However, the research about the music of the native cultures on the region are only a few; therefore, it is necessary a study focusing the meaning as a collective cultural phenomenon and his musical analysis. The objective of this work is releasing information of how music is currently manifested today in some ethnic groups of Sonora through transcriptions and analysis of representatives works. It began by collecting auditory and visual evidence of indigenous music that has reached our days as a product of a historical process in different ethnic groups in the State of Sonora. Five works were selected from own recordings or provided by Lutiscu (2007), which were transcribed and accompanied with a short description of the context where they are interpreted and its melodic, harmonic, formal and metric analysis; as well as the accompaniment, intonation and timbre of voices. It concludes that contemporary indigenous music performed in the Sonoran territory it is a transmitter of the actual thoughts of the ethnic groups; in many cases, rebuilding old parameters to shape current generations and not interpreting itself outside the local context.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Albright, W. "Victoria Etnier Villamil: From Johnson's Kids to Lemonade Opera: The American Classical Singer Comes of Age." Opera Quarterly 21, no. 3 (2005): 530–33. http://dx.doi.org/10.1093/oq/kbi044.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Mboka, Idris, and Ilham Syah. "Makna Lirik Lagu Gawi “Ine Pare” Karya Frans Tuku (Analisis Semiotik Carles S. Peirce)." Jurnal Pendidikan 8, no. 2 (2020): 111–22. http://dx.doi.org/10.36232/pendidikan.v8i2.451.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan representasi makna tanda ikon, indeks, dan simbol pada lirik lagu Gawi “Ine Pare” karya Frans Tuku. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik Carles S. Pierce dengan menggunakan metode deskripsi kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan tanda berupa ikon, indeks dan simbol. Representasi makna ikon Gawi pada lirik lagu Gawi “ine pare” karya Frans Tuku adalah momentum mempererat hubungan tali persaudaraan antara sesama dan ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta dan leluhur. Representasi makna Ikon nggua pada lirik lagu Gawi “Ine Pare” karya Frans Tuku adalah pesta adat penyambutan musim tanam yang diselenggarakan pada saat memasuki musim penghujan. Representasi makna indeks personal; orang-orang yang terlibat pada saat ritual maupun pada saat melakukan tarian Gawi. Representasi makna simbol pada lirik lagu Gawi “Ine Pare” karya Frans Tuku secara umum merepresentasikan realitas sosial-budaya masyarakat etnik Lio. Mosalaki memegang peranan penting dalam adat istiadat yang diwarisi leluhur diantaranya nasalah sosial-budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Selain itu, makna simbol pada lirik lagu Gawi “ine Pare” karya Frans Tuku merepresentasikan masalah-masalah sosial yang terjadi seperti perbuatan yang melanggar norma adat istiadat seperti kecurangan dalam mencari nafka, perkawinan dini serta perkawinan sedarah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Peñín, José. "La Guajira: música de solistas en tierra de soledad." Anuario Musical, no. 60 (December 30, 2005): 273. http://dx.doi.org/10.3989/anuariomusical.2005.60.57.

Full text
Abstract:
Los indígenas wayúu, conocidos comúnmente como "guajiros", habitan la Península de la Guajira compartida actualmente por Colombia y Venezuela. Es una de las etnias latinoamericanas que mantienen con mayor vigencia sus tradiciones. En el presente trabajo se hace un recorrido por su hábitat y estructura social, con especial reposo en sus manifestaciones musicales.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Efriani, Efriani, Jagad Aditya Dewantara, Dewi Utami, and Indah Listyaningrum. "Ekologi Tradisional Dayak Tamambaloh." Jurnal Ilmu Lingkungan 18, no. 3 (2020): 503–14. http://dx.doi.org/10.14710/jil.18.3.503-514.

Full text
Abstract:
Penduduk lokal khususnya yang tersebar di Nusantara memiliki beragam ekologi tradisional yang memiliki nilai-nilai konservatif. Di Kalimantan Barat, pada etnis Dayak Tamambaloh, terdapat fenomena pengelolaan lingkungan alam yang menjunjung nilai-nilai kelestarian. Mengkaji lebih dalam praktek ekologi tradisional Dayak Tamambaloh, menjadi tujuan utama penelitian ini. Data terkait praktek ekologi tradisional ini dikumpulan dengan wawancara mendalam, pengamatan lapangan dan studi dokumen. Tamanggung Tamambaloh, para petani, kelompok pengambil kebijakan dan pemangku adat Tamambaloh, ditentukan menjadi sumber informasi. Tindakan dalam pemanfaatan hutan dan isinya menjadi objek pengamatan. Beberapa buku terkait dengan profil ketamanggungan Tamambaloh, menjadi sumber informasi tertulis pada penelitian ini. Dari sejumlah data yang diperoleh di lapangan, ekologi tradisional Dayak Tamambaloh dapat dibagi dalam 4 kategori, yakni 1) pembagian kawasan adat berdasarkan peruntukannya, dan berdasarkan akses sumber daya, 2) Aturan akses sumber daya alam, 3) Proses pengambilan keputusan Pemanfaatan Sumber daya Alam, 4) Pengetahuan Gentika, dan 5) Kalender Musim. Kelima ekologi tradisional ini dapat direduksi ke dalam 4 model konservasi, yakni 1)Model Environmental Norms, 2) Model Proenvironmental Behavior dan Environmental Concern, 3)Model Community Involvemen, dan 4) Model enviromental Dicision
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Soetanto, Livia Angelina, and Maria Veronica Gandha. "DALIHAN NA TOLU: “CARA HIDUP ORANG BATAK”." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) 3, no. 1 (2021): 297. http://dx.doi.org/10.24912/stupa.v3i1.10807.

Full text
Abstract:
Dalihan Na Tolu is a philosophical meaning for Batak ethnic group which means ‘tungku tiga kaki’ in Indonesian. Dalihan Na Tolu has become the dwelling of the Batak people which is a three-inseparable unity (respect, help, and appriciate) in the life of the Batak people and is implemented into the concept of the traditional Batak house architecture. This project will expose the life of the ethnic group to the outside community, in order to other people understand the way of living, eating, socilizing, and understanding the history of Batak ethnicity. The project will eliminate any negative stigma about the group. In addition, this will give Batak people different perspective about outsiders. As a result, the value of the area in Cililitan which has been exclusive will increase. Moreover, the design solution offers re-creating interactive programs that elevate the essence of the Batak people. This can be done by adapting architectural details from traditional Batak housesandornaments. For example, the use of windveil with Batak Gorga motifs, wooden blinds with geometric shapes of Ulos cloth motifs, and solar panels to produce and save energy. In conclusion, the building that is designed becomes music through air, light, and sound Keywords: Batak; Cililitan; Dalihan Na Tolu; Dwelling; Windveil AbstrakDalihan Na Tolu berarti mengembalikan esensi seluruh etnis Batak yang artinya tungku tiga kaki. Dalihan Na Tolu ini menjadi cara hidup orang Batak yang merupakan tiga kesatuan (menghormati, menghargai, dan menolong) yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan orang Batak dan juga implementasi ke dalam konsep rumah adat Batak. Proyek ini bertujuan untuk mengeskpos kehidupan etnis Batak kepada masyarakat luar, sehingga masyarakat luar dapat merasakan cara berhuni orang Batak mulai dari berhuni, makan, besosialisasi, berinteraksi, dan sejarah tentang orang Batak, sehingga tidak muncul lagi stigma-stigma negatif tentang orang Batak. Selain dari itu, dari kalangan orang-orang Batak sendiri dapat melihat ke arah luar, di mana banyak masyarakat luar yang tertarik dan ingin tahu tentang cara hidup dan berhuni orang Batak sehingga dapat meningkatkan nilai kawasan di Cililitan yang selama ini bersifat eksklusif. Solusi yang ditawarkan ke dalam perancangan adalah mengangkat kembali program-program interaktif yang mengangkat esensi orang Batak menjadi program-program pada perancangan, begitu pun detail-detail arsitektur yang mengadaptasi dari rumah adat Batak, dan ornamen-ornamen Batak seperti penggunaan windveil dengan motif gorga Batak, penggunaan krepyak kayu dari bentuk geometris motif kain ulos, maupun solar panel untuk menghemat energi yang menghasilkan pengudaraan, dan pencahayaan alami. Jadi bangunan yang di desain menjadi bermusik lewat udara, cahaya, dan suara.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Inda, Dian Nathalia. "Eksistensi Budaya Dayak dalam Novel Batas Karya Akmal Nasery Basral." Madah: Jurnal Bahasa dan Sastra 10, no. 1 (2019): 89. http://dx.doi.org/10.31503/madah.v10i1.883.

Full text
Abstract:
This research aims to reveal the Dayak culture types which contained in the novel Batas and describe the existence of the culture with the conditions of modern society. This research uses a literary anthropological approach that encompasses tradition, customs, myths, and cultural events in past events. The literature study method is used to collect data. Source of data comes from Batas, while data is analyzed by descriptive analysis method. The result of the analysis shows that Dayak culture in the novel Batas is a human life tool in the form of mandau and chopsticks; a livelihood in the form of farming and hunting; knowledge system in the form of shifting cultivation systems and preserving forests; social system in the form of custom fines and decapitaing; religious system in the form of spiritual animals, beliefs and Dayak devices; the language and literary system in the form of mantra.; and Dayak ethnic arts in the form of sound art and traditional musical instruments. Dayak culture has been eroded, but there is also a shift in value and meaning because it is no longer relevant to the condition of society today.Tulisan ini bertujuan mengungkapkan kebudayaan Dayak yang terdapat dalam Batas dan menggambarkan eksistensi kebudayaan tersebut dengan kondisi masyarakat modern. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sastra yang melingkupi tradisi, adat istiadat, mitos, dan peristiwa kebudayaan pada peristiwa-peristiwa masa lampau. Metode studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data. Sumber data berasal dari novel Batas, sedangkan data dianalisis menggunakan metode deskriptif analitik. Analisis menunjukkan kebudayaan Dayak yang ada di novel Batas adalah peralatan kehidupan manusia berupa mandau dan sumpit; mata pencaharian berupa bertani dan berburu; sistem pengetahuan berupa sistem perladangan berpindah dan menjaga kelestarian hutan; sistem kemasyarakatan berupa denda adat dan mengayau; sistem religi berupa hewan spiritual, kepercayaan dan gawai Dayak; sistem bahasa dan sastra berupa mantra; dan kesenian etnik Dayak berupa seni suara dan alat musik tradisional. Kebudayaan Dayak tesebut ada yang telah hilang, tetapi ada juga yang mengalami penggeseran nilai dan makna karena sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat kini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Toledano Redondo, Juan C. "Lo que se llevó el Ciclón del 16 en la Cuba ciberpunk Underguater de Erick J. Mota." Mundos distópicos en la literatura 16, no. 30 (2019): 79–104. http://dx.doi.org/10.17230/co-herencia.16.30.4.

Full text
Abstract:
La novela Habana Underguater y los cuentos del universo Underguater, publicados por el autor cubano Erick J. Mota en la primera década del siglo xxi, reflejan una forma diferente de hacer ciencia ficción en Cuba, y proponen una reapropiación y modernización de los mitos y las culturas transculturadas locales y caribeñas, poniendo énfasis en las culturas y etnias de origen afrodescendiente. A través de un ciberpunk —con “i” latina— (pero no segregado el experimento al estilo ciberpunk), el universo Underguater reflexiona sobre el pasado, el presente y el futuro distópicos de la isla caribeña y se pone como ejemplo de las propuestas de muchos otros escritores del fantástico caribeño del siglo xxi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Ruastiti, Ni Made, Ni Wayan Parmi, Ni Nyoman Manik Suryani, and I. Nyoman Sudiana. "Davedan Show Di Amphi Theatre Nusa Dua Bali." Mudra Jurnal Seni Budaya 33, no. 2 (2018): 278. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v33i2.365.

Full text
Abstract:
Artikel ini disusun dari hasil penelitian yang bertujuan untuk dapat memahami pertunjukan Davedan Show di Amphi Theatre Nusa Dua Bali. Penelitian ini dilakukan karena adanya ketimpangan antara asumsi dan kenyataan di lapangan. Pada umumnya wisatawan yang datang ke Bali hanya senang dan antusias menonton seni pertunjukan pariwisata berbasis seni budaya lokal saja. Tetapi kenyataan ini berbeda. Walaupun Davedan Show tidak dibangun dari seni budaya lokal saja, tetapi kenyataannya wisatawan sangat senang menonton pertunjukan tersebut. Pertanyaannya: bagaimanakah bentuk pertunjukan Davedan Show tersebut?; mengapa wisatawan senang menonton pertunjukan itu?; apa implikasinya bagi pelaku, masyarakat, dan industri pariwisata di Nusa Dua, Bali?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, khususnya implementatif partisipatoris yang mengutamakan kerjasama antara periset dengan para informan terkait. Sumber data penelitian ini adalah pertunjukan Davedan itu sendiri, pihak manajemen, para penari, penonton, hasil-hasil penelitian yang telah ada sebelumnya. Seluruh data yang telah dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, FGD, dan studi kepustakaan itu dianalisis secara kritis dengan menggunakan teori estetika postmodern, teori praktik, dan teori relasi kuasa pengetahuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Davedan Show disajikan dalam bentuk oratorium. Hal itu dapat dilihat dari cara penyajian, koreografi, dan iringan pertunjukannya. Davedan Show yang menampilkan tema Treasure of The Archipelago, membuka gerbang petualangan baru itu diiringi musik rekaman etnik Nusantara secara medley, berkelanjutan dengan struktur pertunjukan: seni budaya Bali, Sumatra, Sunda, Solo, Kalimantan, dan seni budaya Papua; (2) Davedan Show banyak diminati wisatawan manca negara karena penciptaan pertunjukan itu dilatari oleh ideologi pasar, ideologi estetika, dan ideologi budaya Nusantara; (3) Hingga kini Davedan Show berkembang secara berkelanjutan di Nusa Dua Bali karena berimplikasi positif pada ekonomi para pihak terkait, pengayaan bagi seni pertunjukan daerah setempat, dan identitas bagi kawasan wisata Nusa Dua, Bali.This article was compiled from the research results that aimed to understand the Davedan Show at Amphi Theater Nusa Dua, Bali. This research was conducted due to the imbalance between the assumption and the reality in real life. Generally, tourists visiting Bali are more excited and enthusiastic to watch the tourism performing arts that are based on local traditional art and culture. However, the reality is different. The questions are: how is the form of the Davedan show?; why do the tourists enjoy watching the show ?; what are the implications for the performer, the society, and the tourism industry in Nusa Dua, Bali?. This research applied qualitative research methods, especially the participative implementation that prioritized cooperation between the researchers and the related informants. The data sources of the research were the Davedan show, management, dancers, audiences, and similar research results produced by previous researchers. All data that had been collected by observation, interview, FGD, and literature study were then analyzed with aesthetic postmodern theory, theory of practice, and theory of power relationship. The results showed that: (1) Davedan Show was presented with the concept of a new presentation in the tourism performing arts in Bali. It could be seen from the material, the form, the way of presentation, and the management of the show. Davedan Show, presenting the theme of Treasure of the Archipelago and opening the new adventure gate, was accompanied by ethnic music recordings of the archipelago in a medley then continued with the performance structures of: Balinese, Sumatran, Sundanese, Solo, Borneo and Papuan art and culture; (2) Davedan Show attracted many foreign tourists because the show was based on the existence of market, aesthetic, and cultural ideologies of the archipelago; (3) Currently, Davedan Show has developed in Nusa Dua, Bali sustainably because of its positive implications to the economics aspect of the stakeholders, the enrichment of Balinese performing arts, and the identity of Nusa Dua tourism area of Bali.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Kruger, Jaco. "SOSIO-ETNIESE DANSE VAN DIE VENDA VROU, by Cora Bumett-van Tonder, HAUM, Pretoria, 1987, 155pp, 62 line drawings, 23 colour plates, music and dance transcriptions, Tshivenda glossary, index, Afrikaans text." African Music: Journal of the International Library of African Music 7, no. 3 (1996): 122–24. http://dx.doi.org/10.21504/amj.v7i3.1979.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Subhan, Muhammad. "Komponen Belo-Belo dalam Kacaping Makassar (Hasil penalaran induktif sebuah pengalaman empirik untuk menemukan unsur pembentuk Belo-Belo)." Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni 13, no. 2 (2018): 63–72. http://dx.doi.org/10.33153/dewaruci.v13i2.2506.

Full text
Abstract:
Belo-belo dalam pertunjukan kacaping Makassar dapat diartikan sebagai variasi yang mencakup bentuk dan struktur permainan. Proses inovasi maupun hasil pencapaian estetis yang diraih oleh pakacaping melalui karyanya, dapat disebut sebagai belo-belo. Hadirnya belo-belo akan memberi nilai tambahan dalam pertunjukan kacaping, yaitu mempengaruhi dinamika permainan dan membangun interaksi dengan penonton. Berdasarkan pengetahuan empirik pelaku pakacaping, peneliti menggunakan penalaran induktif untuk menemukan unsur-unsur pembentuk belo-belo. Pendekatan ini menggunakan landasan epistemologi fenomenologi seni, yaitu mengungkap pengetahuan dan kesadaran pelaku dalam proses karya penciptaan. Belo-belo berdiri dari tiga komponen terkait sebagai unsur-unsur utamanya, yaitu kobbi, kelong dan ritme batin. Melalui analisis musikal dan syair akan dapat memisahkan komponen-komponen belo-belo. Pertama, Kobbi adalah teknik memainkan Kacaping yang berarti di petik. Kobbi atau petikan kacaping selalu dinamis, variatif dengan irama menggantung (offbeat) menjadi teknik tinggi yang dimiliki masing-masing pakacaping profesional. Kedua, kelong adalah suatu syair yang dilantunkan dengan cara menyanyi atau dilagukan, secara umum dalam bahasa lokal masyarakat etnis Makassar disebut sebagai kelong (nyanyian). Ketiga, ritme batin adalah ritme yang dibangun berdasarkan naluri pelaku akan penguasaan instrumennya. Menghadirkan belo-belo berarti mencapai titik keindahan sebuah karya, pencapaian nilai dan rasa yang menjadikan ciri khas dan karakter bagi kebudayaan Makassar. Sukses tidaknya sebuah karya kacaping akan dilihat dari belo-belo yang dihadirkannya.ABSTRACTIn kacaping performance of Makassar, belo-belo emerges as a variation which is appertaining both forms as well structure of playing. The process of innovation and also the result of aesthetical attainment made by kacaping player through his creation might be mean as belo-belo. Presence of belo-belo can bring plus value in kacaping performance, that is how dynamics of performance will be influenced, and how it arouses the interaction with the audience. The researcher has separated the constructive components of belo-belo through inductive reasoning, based on the subject’s empiric knowledge and skill. This approach uses the epistemological basis of art phenomenology, namely reveals the knowledge and consciousness of subject about the process of art creation. Belo-belo contains three components as main basic elements, as called kobbi, kelong, and a certain kind of inner rhythm. Components of belo-belo had been separated by analysis of music and text. First, kobbi is the technic of playing on kacaping which means to pluck. Kobbi or plucking kacaping is always dynamic, using hanged tempo with variation of beat and upbeat, became a high-technic personal skill of different professional pakacaping players. Second, kelong, which means poem, performance by singing, generally kelong in the local language of Makassar ethnic group means a song. Three, inner rhythm is a rhythm based on the subject`s instinct concerned the mastery of his instrument. The presence of belo-belo means the attainment of certain aesthetical point of an artwork, the attainment of certain values and feelings which are the special characteristic of Makassar ethnic culture. Achievement and success of an kacaping artwork might be seen from the presence of belo-belo, which is represented within.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Santosa, Edi, Marcella Putriantari, Hajime Nakano, Yoko Mine, and Nobuo Sugiyama. "Canopy Achitecture, Biomass and Fruit Production of Solanum nigrum L. as Determined by Nitrogen Application." Jurnal Hortikultura Indonesia 8, no. 3 (2017): 162. http://dx.doi.org/10.29244/jhi.8.3.162-170.

Full text
Abstract:
<p align="center"><strong>ABSTRACT <br /></strong></p><p>Demand on fruits of <em>Leunca</em> (<em>Solanum nigrum</em> L.) is increasing in Indonesia due to a rapid expansion of ethnic restaurants, especially Sundanese restaurants. Most fruits come from semi-intensive cultivation in intercropping system, leading to low productivity. In order to improve productivity, nitrogen experiment was carried out at field of Leuwikopo Farm of Bogor Agricultural University, Bogor-Indonesia, during rainy season from December 2013 to April 2014. Four levels of nitrogen, i.e., 0, 60, 120, and 180 kg N ha<sup>-1</sup>, were arranged in a randomized complete block design with four replicates. The results revealed that canopy architecture, dry matter and fruit production, and fruit quality were highly affected by nitrogen application. Increasing nitrogen levels increased biomass and fruit production. Plants treated with nitrogen at level of 60 kg ha<sup>-1</sup> produced ideal height for local labor and stable weekly fruit production than other levels. Hence, N fertilizer is essential for achieving high productivity of <em>S. nigrum</em>.</p><p><em>Keywords:</em> canopy shape, fruit load, indigenous vegetable, leunca, ranti kebo</p><p> </p><p align="center"><strong><em>ABSTRAK <br /></em></strong></p><p><em>Permintaan buah Leunca (<span style="text-decoration: underline;">Solanum</span> <span style="text-decoration: underline;">nigrum</span> L.) terus meningkat di Indonesia sejalan dengan perkembangan restoran etnis khususnya restoran Sunda. Sebagian besar buah leunca berasal dari tanaman sampingan secara tumpangsari, sehingga produktivitas rendah. Dalam rangka meningkatkan produktivitas, percobaan pemberian nitrogen dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo IPB, Bogor pada musim hujan Desember 2013 sampai April 2014. Nitrogen diberikan empat taraf yaitu 0, 60, 120, dan 180 kg N ha<sup>-1</sup></em><em>, yang disusun dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. </em><em>Hasil menunjukkan bahwa bentuk kanopi, produksi bahan kering dan produksi buah serta kualitas buah dipengaruhi oleh pemberian nitrogen. Peningkatan dosis nitrogen meningkatkan bahan kering dan produksi buah. Tanaman dengan perlakuan 60 kg N ha<sup>-1</sup> menghasilkan tinggi yang ideal bagi pemanen, dan hasil mingguan yang stabil dibandingkan dengan taraf yang lebih besar. Oleh karena itu, pemupukan nitrogen penting dilakukan untuk meningkatkan produktivitas leunca.</em></p><p><em>Kata kunci: beban buah, bentuk kanopi, leunca, ranti kebo, sayuran tradisional</em><strong><em></em></strong></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Fabricio, Branca Falabella, and Luiz Paulo da Moita-Lopes. "Transidiomaticity and transperformances in Brazilian queer rap: toward an abject aesthetics." Gragoatá 24, no. 48 (2019): 136–59. http://dx.doi.org/10.22409/gragoata.v24i48.33623.

Full text
Abstract:
Queer rap has been shining in the homophobic world of hip-hop lately, especially in the contemporary New York music scene. Considered by many as the new kids on the block, queer rappers have been breaking down mainstream ways of composing, delivering and enacting rap tunes by working on more outwardly feminine performances characterized by ambivalence, hybridity and defiance. In this paper, we focus on how Rico Dalasam, a contemporary Brazilian rap performer, radicalizes this type of rupture, engaging in what we have termed ‘abject aesthetics’. The latter constitutes a spectacular semiotic landscape, in which mixed sexualities, genders, races, ethnicities, clothing styles, hair styles, rhythms, languages and registers interact. In fact, transperformances and transidiomaticity dominate his work, which we approach through a scalar sensitive lens (CARR; LEMPERT, 2016) and metapragmatic indexicality (SILVERSTEIN, 1993) as we analyze the artist’s lyrics, performances and their reception by different audiences. In doing so, we shed light on the smuggling of semiotic resources which subverts the usual circulation of linguistic and non-linguistic goods across borders. In particular, we discuss how Dalasam’s deterritorializing-multisemiotic enactments confront modernist epistemological and linguistic regimes by subverting logocentrism. The analysis focuses on the transit between the so-called margin and center and on the enigmatic meanings generated by the mixture of languages and performances. As a whole, these aspects leave interactants in a state of uncertainty since the assembled resources are not directly intelligible in a conventional sense, most often preventing straightforward object-designation associations. However, this sense of indetermination does not necessarily prevent communication from taking place. We therefore argue that Rico Dalasam, by forging faltering ways with signs, orients to constant movement as a way of inhabiting the border and formulating alternative rules for re-existence.----------------------------------------------------------------------------------TRANSISIOMATICIDADE E TRANSPERFORMANCES NO RAP QUEER BRASILEIRO: POR UMA ESTÉTICA ABJETAO rap queer tem tido grande repercussão no mundo homofóbico do hip-hop nos últimos tempos, especialmente no cenário contemporâneo musical de Nova York. Considerado por muitos como a nova sensação, os rappers queer têm desconstruído os modos considerados tradicionais de compor, falar e apresentar o rap ao fazerem uso mais abertamente de performances femininas, caracterizadas por ambivalência, hibridismo e resistência. Neste artigo, focalizamos como Rico Dalasam, um performer brasileiro contemporâneo, radicaliza esse tipo de ruptura, ao se engajar no que chamamos de “estética abjeta” Ela compõe uma paisagem semiótica espetacular, na qual sexualidades, gêneros, raças, etnias, estilos de roupa, cortes de cabelos, ritmos, línguas e registros se entrecruzam. Na verdade, transperformances e transidiomaticidade dominam seu trabalho, o qual abordamos por meio das noções de escala (CARR; LEMPERT, 2016) e indexicalidade metapragmática (SILVERSTEIN,1993) ao analisarmos as letras do rap, suas performances e sua recepção por audiências diferentes. O movimento analítico gera visibilidade para o atravessamento de recursos semióticos que subvertem a circulação de artefatos linguísticos e nãolinguísticos pelas fronteiras. Em particular, discutimos como o desempenho multissemiótico-desterritorializador de Dalasam confronta regimes epistemológicos e linguísticos modernistas, subvertendo o logocentrismo. O foco do estudo está no trânsito entre os chamados centro e periferia e nos significados enigmáticos gerados pela mistura de línguas e performances. Em sua totalidade, esses aspectos deixam os interactantes em um estado de incerteza, uma vez que os recursos reunidos não são diretamente inteligíveis em um sentido convencional, já que, muito frequentemente, evitam associações referenciais diretas a objetos. Contudo, esse sentido de indeterminação não necessariamente prejudica a comunicação. Argumentamos que Rico Dalasam, ao forjar modos vacilantes de usar signos, se coloca em movimentação constante como um modo de habitar a fronteira e de formular regras alternativas de reexistência.---Original em inglês.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Nilsson, Laura Berivan. "At improvisere sig ind i en tradition. En undersøgelse af bevaring og fornyelse blandt folkemusikere i Istanbul." Tidsskriftet Antropologi, no. 74 (February 23, 2018). http://dx.doi.org/10.7146/ta.v2016i74.104425.

Full text
Abstract:
Siden 1990’erne har der i Istanbul været en stor interesse i at genfortolke lokale folkemusiktraditioner. Genopblomstring af lokale folkemusiktraditioner kan ses som en del af en identitetspolitisk bevægelse, der hylder landets diversitet og hermed udfordrer ideen om Tyrkiet som en etnisk homogen nation. Nyfortolkningerne af de lokale musiktraditioner kan også ses som en reaktion mod den censur og standardisering af lokal folkemusik, der blev igangsat i forbindelse med etableringen af den tyrkiske republik i 1923. Med afsæt i et feltarbejde blandt forskellige musikere udført i Istanbul i foråret 2014 undersøger denne artikel, hvordan musikerne gennem kreative og improvisatoriske praksisser genfortolker lokale folkemusiktraditioner. Artiklen tager udgangspunkt i de to musikgrupper Kardeş Türküler og Telvins arbejde med at fortolke lokale musiktraditioner samt forfatterens egne erfaringer med at lære at spille det tyrkiske strengeinstrument saz. Artiklen diskuterer, hvordan musikerne orienterer sig mod fortidens musikalske praksisser med henblik på både at forny og bevare de musikalske traditioner for fremtiden. Det bærende argument i artiklen er, at bevaring og fornyelse ikke behøver at være modsætninger, men kan være to sider af samme sag. I en overordnet diskussion af innovative praksisser bidrager artiklen ved at pege på, at nyskabelse ikke blot sker i forsøget på at kolonisere fremtiden og det endnu ukendte. Nyskabelse kan også opstå ved at genopdage og forny fortidens praksisser og det glemte.Søgeord: musik, Istanbul, tradition, innovation, kreativitet, improvisation
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Mukarram, Alfathul. "IDENTITAS BUDAYA MUSIK GAMBUS DI PALEMBANG." Imaji 15, no. 1 (2017). http://dx.doi.org/10.21831/imaji.v15i1.13885.

Full text
Abstract:
AbstrakMusik gambus Melayu merupakan salah satu genre seni musik yang lahir dari perpaduan budaya Timur Tengah dan Melayu. Di Kota Palembang, aliran musik ini bukan genre baru, tetapi telah hadir sejak ratusan tahun lalu seiring bertumbuh kembangnya etnis Arab di bumi Sriwijaya. Masyarakat etnis Arab juga memiliki perilaku, kebiasaan, maupun keakraban terhadap masyarakat Kota Palembang. Beberapa etnis Arab yang ada di Kota Palembang dapat dikatakan sebagai minoritas. Akan tetapi, ada beberapa etnis (suku) Arab yang memunculkan identitas estetik masyarakat di Kota Palembang dengan mempertunjukan kesenian-kesenian mereka, salah satunya etnis Arab yang mempertahankan kebudayaan mereka melalui kesenian musik gambus. Musik gambus di Kota Palembang juga merupakan salah satu genre musik yang khas dan unik. Genre musik di Kota Palembang adalah perpaduan musik gambus klasik, musik gambus Melayu, dan musik gambus modern. Aliran seni musik ini kerap dilantunkan dalam berbagai hajatan warga Kota Palembang, mulai dari kelahiran, khitanan, hingga pernikahan.Kata kunci: musik gambus, identitas budayaGAMBUS MUSIC IN PALEMBANG CITY: AN ANALYSIS OF CULTURAL IDENTITYAbstractThe music of Gambus Melayu was One genre of musical arts which is born from a blend of Middle Eastern culture and Melayu. In Palembang city, The music of Gambus Melayu is not a new genre. It has been there since hundreds of years ago, together with the development of Arab ethnicity on earth of Sriwijaya. Some Arab minor tribe gives esthetic value in arts performance in Palembang. They maintain it through Gambus Melayu music. Gambus music in Palembang is the combination between classic gambus, Melayu gambus, and modern gambus. It plays in traditional ceremonies and celebration such as the birth celebration, circumcision, and wedding parties.Keywords: the music of gambus, cultural identity
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Zulfan, Zulfan, and Baihaqi Baihaqi. "PEMANFAATAN KONTEN MULTIMEDIA ANIMASI DUA DIMENSI SEBAGAI MEDIA PELESTARIAN ALAT MUSIK ETNIK ACEH." Jurnal Nasional Komputasi dan Teknologi Informasi (JNKTI) 1, no. 2 (2018). http://dx.doi.org/10.32672/jnkti.v1i2.772.

Full text
Abstract:
<p>Alat – alat musik etnik merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan. Hal ini dilakukan agar keberadaan alat-alat musik tersebut tidak punah dan dapat terus dikenal hingga ke generasi-generasi selanjutnya. Setiap daerah di indonesia memiliki alat-alat musik etnik dengan ciri khas masing-masing. Aceh merupakan salah satu daerah yang juga memiliki alat-alat musik etnik dengan berbagai jenis. Selama ini, pelestarian-pelestarian alat-alat musik tersebut dilakukan melalui pergelaran seni budaya baik berupa pementasan panggung ataupun pameran-pameran seni. Kegiatan-kegiatan seperti ini dilakukan secara terjadwal dan waktu yang terbatas, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap suatu alat musik akan sangat minim. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode agar pengenalan alat-alat musik ini dapat terus dinikmati oleh masyarakat terutama untuk anak-anak usia dini. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah menyajikan pengetahuan alat-alat musik tersebut dengan memanfaatkan konten multimedia animasi dua dimensi. Dengan media ini, masyarakat dapat mempelajari alat-alat musik tersebut secara visual. Konten multimedia ini tidak hanya menyajikan bentuk visual dari alat music, akan tetapi juga menampilkan suara dari setiap alat music etnik tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang model pembelajaran untuk pelestarian alat-alat musik etnik Aceh berbentuk media interaktif berbasis konten multimedia animasi dua dimensi. Penelitian ini menghasilkan aplikasi multimedia interaktif untuk pengenalan alat musik etnik Aceh yang dikembangkan menggunakan pemrograman Actionscript yang terdapat pada Macomedia Flash. Penelitian ini telah menghasilkan konten multimedia yang akan menyajikan informasi tentang alat-alat music etnik Aceh seperti alat musik Arbab, Bangsi Alas, Canang, Geundrang, Serune Kalee dan Rapai. Konten multimedia animasi dua dimensi yang dihasilkan juga cukup bagus sehingga informasi yang disajikan mampu dipahami oleh penerima khususnya anak usia dini.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Dwi Arini, Sri Hermawati, Didin Supriadi, and Saryanto. "Karakter Musik Etnik Dan Representasi Identitas Musik Etnik." Panggung 25, no. 2 (2015). http://dx.doi.org/10.26742/panggung.v25i2.7.

Full text
Abstract:
Representasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan tanda untuk menggambarkan sesuatu, yakni karakter musik yang memiliki elemen, di antaranya teknik permainan dan garapan/pengolahan. Sedangkan tanda adalah segala sesuatu yang merepresentasikan sesuatu, yakni penampilan tanda-tanda seperti cengkok, imbal. Cengkok, imbal diperlakukan sebagai identitas yang merepresentasikan identitas musik etnik Jawa, begitu pula penampilan tanda-tanda yakni ugal, cecandetan, kotekan diperlakukan sebagai identitas yang merepresentasikan identitas musik etnik Bali.Kata kunci :Â Â Â Identitas, Representasi, Karakter, Gamelan Jawa dan Gamelan Bali
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Hendry, Yon. "Musik Keroncong Campur Sari dalam Pluralitas Budaya Masyarakat Sawahlunto." Resital: Jurnal Seni Pertunjukan 12, no. 1 (2013). http://dx.doi.org/10.24821/resital.v12i1.468.

Full text
Abstract:
Artikel ini membahas fenomena musik keroncong campur sari yang berkembang di daerah Sawahlunto. Untukmemahami fenomena ini digunakan studi kasus pada Orkes Keroncong Campur Sari Irama Masa Sawahlunto.Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa musik Keroncong Campur Sari yang hidup di dalam masyarakatSawahlunto sangat berbeda dengan yang hidup di Jawa. Alat musik yang digunakan mengakomodasi alat musikdari berbagai etnis yang hampir mewakili semua etnis masyarakat yang hidup di Sawahlunto. Kondisi demikianpula yang menjadi alasan bahwa kesenian tersebut tidak bernama Campur Sari seperti di Jawa. Meskipun masihmenggunakan istilah campur sari, tetapi pola permainan musiknya dan repertoar lagunya pun merupakanpercampuran dari berbagai tradisi masyarakat yang hidup di dalamnya. Dengan demikian jelas bahwa pluralismemasyarakat Sawahlunto di sini terrefl eksikan pada pluralisme alat musik dan permainan orkesnya.Kata kunci: keroncong, campursari, musik tradisi.ABSTRACT Keroncong Campur Sari Music in Pluralism Sawahlunto People. This article mainly discusses about thekeroncong music phenomenon, campur sari, that has been developed well in Sawahlunto. In order to understand thisphenomenon, a case study was used for the research in campur sari keroncong orchestra “Irama Masa” Sawahlunto.Based on the research, it can be concluded that there is a signifi cant difference between the keroncong music campursari in Sawahlunto and in Java. The music instruments used for campur sari are those which accommodate some musicinstruments from the ethnic groups live in Sawahlunto. Based on this characteristic, therefore, the name of this keroncongmusic is not similar to the music that is well known in Java, Campur Sari. Although the name of campur sari is stillbeing used, but basically, the pattern in performing the music and its repertory are based on the mixing of many culturalaspects of people living there. Therefore, the pluralism of people in Sawahlunto is refl ected clearly on the pluralism of music instruments and of the orchestra performance.Keywords: keroncong, campur sari, traditional music.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

ZULFAHMI, MUHAMMAD. "FUNGSI MUSIKAL DEDENG PADA MASYARAKAT ETNIK MELAYU LANGKAT PROPINSI SUMATERA UTARA." Ekspresi Seni 17, no. 1 (2015). http://dx.doi.org/10.26887/ekse.v17i1.72.

Full text
Abstract:
Musik vokal dedeng, dinyanyikan pada kegiatan adat dalam tiga aktifitas agricultural yaitu pada saat upacara penebangan hutan untuk lahan pertanian, menanam benih di lahan dan pada saat aktifitas musim panen tiba bagi masyarakat etnik Melayu Langkat Propinsi Sumatera Utara, menggunakan data kualitatif, penelitian ini bertujuan menemukan fungsi musikal dalam musik vokal dedeng tersebut yang dianalisis secara deskriptif. Dedeng di antaranya berfungsi sebagai ungkapan rasa, pernyataan estetis yang disimbolkan dan dikomunikasikan. Dedeng juga berfungsi sebagai reaksi jasmani, pengesahan kelembagaan dan upacara yang kemudian ditujukan untuk terjadinya kesinambungan kebudayaan yang berisi norma-norma dalam rangka pengintegrasikan masyarakat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Nainggolan, Evinora Rasmiaty Nainggolan Rasmiaty. "TINJAUAN ARRANSEMEN LAGU ETNIS SUMATERA UTARA STUDI KASUS SIHUTUR SANGGUL PADA KELOMPOK MUSIK INSIDENTAL DI TAMAN BUDAYA SUMATERA UTARA." Grenek Music Journal 1, no. 2 (2012). http://dx.doi.org/10.24114/grenek.v1i2.865.

Full text
Abstract:
Kelompok musik Insidental adalah salah satu kelompok musik yang menyajikan musik etnis Sumatera Utara. Pada mulanya kelompok musik Insidental ini menggarap musik etnis sebagai musik pertunjukkannya untuk mengiringi tarian dan teater di sanggar- sanggar yang ada di Taman Budaya Sumatera Utara saja. Namun seiring dengan perjalanan waktu, kelompok musik Insidental ini pun mengadakan pertunjukkan diluar Taman Budaya Sumatera Utara untuk memperkenalkan lagu etnis dengan arransemennya. Adapun tujuannya adalah mengangkat lagu etnis tersebut mendapat pengakuan dari kalangan masyarakat budaya Sumatera Utara karena musik tradisional sudah mulai punah dan kurang digemari para kaum muda. Kelompok musik Insidental mencoba mengaplikasikan penggarapan musik/lagu etnis Sumatera Utara dengan cara mengeksploitasikan dan mengekplorasikan kekayaan budaya Sumatera Utara melalui permainan alat musik atau instrument masing- masing etnis/daerah. Kelompok musik Insidental juga lebih mengarahkan lagu etnis tersebut untuk mengiringi tari dan teater. Tulisan ini memaparkan bagaimana bentuk analisis arransemen musik etnis yang ditampilkan oleh kelompok musik Insidental terhadap lagu Sihutur Sanggul. Mendeskripsikan dan menganalisa apa yang kita dengar dan kita dapat menuliskan dalam berbagai cara keatas kertas untuk mendeskripsikan arransemen Sihutur Sanggul.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Wulanda, Gigih Ovra. "Mantra Sebagai Ide Penciptaan Musik Etnis Jampi." SELONDING 13, no. 13 (2019). http://dx.doi.org/10.24821/selonding.v13i13.2922.

Full text
Abstract:
Mantra is the title of a musical work with spells of West Kalimantan ethnic Malays as the main material for its work. The purpose of this composition is to express spell duality. The concept of duality here is a mantra that is useful as a medium of goodness and a second mantra as a medium for danger. The word mantra itself can be interpreted as words when spoken containing mystic or sacred.Through the stages of exploration, improvisation, until finally the process of explicitly forming spells of musical composition can be seen as a form of music that has three parts. Covers the beginning, middle and end. This composition is played by two different idioms including ethnic musical instruments and ethnic Javanese musical instruments. Keywords: dualism, spells, Malay, mystical
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Wiflihani, Wiflihani. "GENDANG LIMAPULUH KURANG DUA PADA MASYARAKAT ETNIS KARO DI SUMATERA UTARA." JUPIIS: JURNAL PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL 5, no. 2 (2014). http://dx.doi.org/10.24114/jupiis.v5i2.1114.

Full text
Abstract:
Lewat media iringan bunyi-bunyian (musik), cerita mitos kejadian dunia (kosmogoni) pada satu masyarakat tertentu disajikan dengan sedemikian indah dan terasa menggugah perasaan bagi siapa saja yang mendengarkannya meskipun tidak melalui dialog secara literer. Demikian pula dengan Gendang Karo Limapuluh Kurang Dua yang berisi tentang cerita kosmogoni yang dipercayai oleh masyarakat Karo. Melalui media musik yang disajikan oleh 4 orang Sierjabaten yang terdiri dari: pengual 1, pengual 2, penarune dan penabuh gong. Gendang ini berdurasi hampir 2 jam yang terbagi dalam 6 frase, terdiri dari 48 gendang tanpa teks tertulis, dan mempunyai makna dan arti berlainan antara satu gendang dengan gendang yang lain. Teriakan allep-allep sebanyak 3 kali yang artinya luapan tanda gembira (hore-hore) oleh semua yang hadir, selalu menjadi tanda bagi setiap akhir dan memulai frase.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Putra, Agus Kastama. "Mapalalian." Resital: Jurnal Seni Pertunjukan 12, no. 1 (2013). http://dx.doi.org/10.24821/resital.v12i1.456.

Full text
Abstract:
Komposisi “ Mapalalian” merupakan representasi dari sebuah aktifi tas permainan anak-anak di Bali yaitu Meduldulan.Di balik kesederhanaan permainan Medul-dulan terkandung nilai-nilai seperti belajar untuk menghormatisesama teman, bersifat sportif dan saling tenggang rasa. Di samping itu dalam permainan Medul-dulan terdapat pulasuasana kegembiraan, kelincahan, riang, gembira, senang, bersembunyi, serta berlarian. Hal-hal tersebut dicobadiolah melalui proses musikalisasi menjadi suatu bentuk komposisi musik etnis. Beberapa tahap yang dilalui dalampembuatan komposisi ini ialah eksplorasi, improvisasi, pembentukan, serta evaluasi. Instrumen yang dipilih sebagaimedia ungkap dalam komposisi ini adalah instrumen yang diambil dari Gong Kebyar, kendang Banyuwangi, sulingGambuh, Ongek-ongekan. Instrumen-instrumen tersebut dipilih karena memiliki karakter suara yang sesuai denganide garapan dalam komposisi ini.Kata Kunci: mapalalian, medul-medulan, komposisi musik.ABSTRACT” Mapalalian” Composition. This composition represents a children’s play activity in Bali called Medul-dulan.Behind its simplicity Medul-dulan game contains values such as learning to respect peers, sportsmanship and mutualtolerance. In addition, Medul-dulan game also presents the atmosphere of excitement, agility, cheerful, happiness, hidingand running. Those things were tried to be processed through the music and resulted in a form of ethnic musical composition.Some of the stages traversed in making this composition were exploration, improvisation, creation, and evaluation. Theinstruments selected as the showing media in this composition were partly taken from Gong Kebyar, Banyuwangi drums,Gambuh fl ute, and Ongek-ongekan. These instruments were selected due to their voice character which fi t the idea of thiscomposition.Keywords: mapalalian, medul-medulan, musical composition, Balinese music
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography