To see the other types of publications on this topic, follow the link: Fenomén IKEA.

Journal articles on the topic 'Fenomén IKEA'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 16 journal articles for your research on the topic 'Fenomén IKEA.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Intan, Tania. "FENOMENA 'WRITER’S BLOCK' DALAM NOVEL METROPOP 'THE ARCHITECTURE OF LOVE' KARYA IKA NATASSA." LEKSEMA: Jurnal Bahasa dan Sastra 5, no. 2 (December 31, 2020): 147–57. http://dx.doi.org/10.22515/ljbs.v5i2.2462.

Full text
Abstract:
Writer’s Block is a psychiatric phenomenon experienced by writers in the form of a deadlock when writing because of certain obstacles. This study discusses the writer’s block that the female protagonist experienced in the metropop novel The Architecture of Love by Ika Natassa. Data was collected by the documentation study technique and reviewed with a literary psychology approach. The theoretical foundation used is the theory of Bergler, Singer Barrios. The research problems formulated are how the writer’s block phenomenon is displayed in the novel The Architecture of Love, and how the narrative elements in the work support the themes presented by the author. The results showed that the writer’s block phenomenon experienced by the main character was especially caused by unhappiness that is manifested in the form of apathy, anger, anxiety, and problems with other people (ex-husband). Because the writer’s block is a psychological symptom, in this novel, the disorder can be overcome with therapy in the form of relaxation and establishing relationships with new people. As a romance-themed novel, the metropolitan novel The Architecture of Love is built by narrative elements that support the writer’s block theme.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Fartini, Ade. "Ade Fartini Fenomena Common Law Pertarungan Hukum Nasional Dan Hukum Adat Dalam Sanksi Pidana." Al-Ahkam 13, no. 2 (December 29, 2017): 48. http://dx.doi.org/10.32678/ajh.v13i2.1757.

Full text
Abstract:
Adanya wawasan Nusantara, wawasan kebangsaan dan wawasan bhineka tunggal ika maka idealnya Hukum Positif yang berlaku, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis, tidak boleh membedakan golongan, keturunan, suku bangsa dan agama yang dianut-nya karena pembangunan hukum nasional juga harus memperhatikan wawasan kebangsaan dan wawasan bhineka tunggal ika. Asas hukum adalah ide yang mewakili sekalian bahan kultural yang dimasukkan ke dalam hukum sebagai landasan operasionalisasi nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup bangsa yang diperlukan dalam pembentukan, penerapan, pelayanan, penegakkan maupun pengembangan akademik suatu tata hukum nasional, yang terdiri dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Asas hukuk menyerap ide dan mewadahi ide dan pengalaman dan kekayaan kultur suatu bangsa. Maka asas Hukum Nasional (Indonesia) ditarik dari kekayaan kultural serta pengalaman bangsa Indonesia. Hukum Adat adalah Hukum Indonesia Asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.Hukum Pidana Adat adalah Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang disana-sini mengandung unsur agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya.Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat.Oleh sebab itu bagi pelanggaran diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi/kewajiban adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya. Sebagaimanan halnya bidang hukum yang lain, Hukum Pidana Adat juga memiliki sumber hukumnya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Sedangkan sumber tertulis dari Hukum Pidana Adat adalah semua peraturan-peraturan yang dituliskan baik diatas daun lontar, kulit,batu atau bahan lainnya. Hukum Adat akan terus tetap berlaku selama masyarkat hukum adat masih tetap ada dan tetap mempertahankannya. Kata Kunci Hukum, Adat,Pidana
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Fartini, Ade. "Ade Fartini Fenomena Common Law Pertarungan Hukum Nasional dan Hukum Adat dalam Sanksi Pidana." Al-Ahkam 13, no. 2 (December 29, 2017): 48. http://dx.doi.org/10.37035/ajh.v13i2.1757.

Full text
Abstract:
Adanya wawasan Nusantara, wawasan kebangsaan dan wawasan bhineka tunggal ika maka idealnya Hukum Positif yang berlaku, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis, tidak boleh membedakan golongan, keturunan, suku bangsa dan agama yang dianut-nya karena pembangunan hukum nasional juga harus memperhatikan wawasan kebangsaan dan wawasan bhineka tunggal ika. Asas hukum adalah ide yang mewakili sekalian bahan kultural yang dimasukkan ke dalam hukum sebagai landasan operasionalisasi nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup bangsa yang diperlukan dalam pembentukan, penerapan, pelayanan, penegakkan maupun pengembangan akademik suatu tata hukum nasional, yang terdiri dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Asas hukuk menyerap ide dan mewadahi ide dan pengalaman dan kekayaan kultur suatu bangsa. Maka asas Hukum Nasional (Indonesia) ditarik dari kekayaan kultural serta pengalaman bangsa Indonesia. Hukum Adat adalah Hukum Indonesia Asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.Hukum Pidana Adat adalah Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang disana-sini mengandung unsur agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya.Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat.Oleh sebab itu bagi pelanggaran diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi/kewajiban adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya. Sebagaimanan halnya bidang hukum yang lain, Hukum Pidana Adat juga memiliki sumber hukumnya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Sedangkan sumber tertulis dari Hukum Pidana Adat adalah semua peraturan-peraturan yang dituliskan baik diatas daun lontar, kulit,batu atau bahan lainnya. Hukum Adat akan terus tetap berlaku selama masyarkat hukum adat masih tetap ada dan tetap mempertahankannya. Kata Kunci Hukum, Adat,Pidana
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Intan, Tania, and Vincentia Tri Handayani. "FENOMENA CAMPUR KODE DALAM NOVEL METROPOP ANTOLOGI RASA KARYA IKA NATASSA (Mixed-codes Phenomenon in the Metropop Novel of Antologi Rasa by Ika Natassa)." Kandai 16, no. 2 (November 30, 2020): 259. http://dx.doi.org/10.26499/jk.v16i2.1285.

Full text
Abstract:
Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap fenomena campur kode di dalam novel Antologi Rasa karya Ika Natassa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan pendekatan sosiolinguistik. Kerangka konsep penelitian ini dilandasi oleh referensi teoretis yang mengaitkan sosiolinguistik, bilingualisme-plurilingualisme, dan alih kode-campur kode. Dari data yang dikumpulkan, terdapat wujud campur kode berupa (1) penyisipan kata yang kemudian dibagi atas kelas kata, yaitu nomina, adjektiva, konjungsi, dan interjeksi, (2) penyisipan frasa berupa frasa nominal, frasa preposisional, dan frasa adjektival, (3) penyisipan baster, (4) penyisipan klausa, dan (5) penyisipan idiom. Penelitian juga menunjukkan bahwa para tokoh dan narator di dalam novel Antologi Rasa, yaitu: Keara, Harris, dan Ruly, ditampilkan sebagai sosok-sosok muda metropolitan bilingual yang secara aktif dan konsisten menggunakan kombinasi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Para tokoh, terutama Keara dan Harris, tampak sangat leluasa mempraktikkan campur kode, baik saat berbicara dengan tokoh-tokoh lain, maupun ketika bertutur di dalam hati. Penggunaan campur kode dapat dianggap menunjang kategorisasi dan labelisasi novel Antologi Rasa sebagai sebuah karya metropolitan-populer (metropop).This research was conducted to uncover the phenomenon of code mixing in the Ika Natassa’s novel of Antologi Rasa by using descriptive qualitative method and sociolinguistic approach. The frame of research concept is based on theoretical references that relate sociolinguistics, bilingualism-plurilingualism, with code-mixed-code switching. From the data collected, there are mixed codes in the form of (1) word insertion which is then divided into word classes, namely nouns, adjectives, conjunctions, and interjections, (2) insertion of phrases in nominal phrases, prepositional phrases, and adjunctival phrases, (3) baster insertion, (4) clause insertion, and (5) idiom insertion. The research also shows that the characters and narrators in the novel of Antologi Rasa, namely: Keara, Harris, and Ruly, are shown as bilingual metropolitan young figures who actively and consistently use a combination of Indonesian and English to communicate. The characters, especially Keara and Harris, seem very free to practice code mixing, both when talking to other characters and speaking inwardly. The use of mixed code can be considered to support the categorization and labeling of the Antologi Rasa novel as a popular metropolitan work.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Komarudin, Komarudin. "PENGALAMAN BERSUA TUHAN: PERSPEKTIF WILLIAM JAMES DAN AL-GHAZALI." Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 2 (December 15, 2012): 469. http://dx.doi.org/10.21580/ws.2012.20.2.209.

Full text
Abstract:
<p class="IIABSBARU">Experience of meeting God constitutes an interresting phenomenon and become the focus of interrest of many disciplines. Psychology and tasawuf are two disciplines which focusedly study this phenomenon applying different approaches. Ghazali is the representative of the dicsipline of tasawwuf and William James is the representative of the dicsipline of psychology. The both experts applied the different approaches in studying the religious experiences. Epistemological base on which William James used , has the scientific accountability but less accurate in the source of knowledge. In other side, Ghazali has a deep source of knowledge but less of rationality. An effort to compromise the both approach in order to study about the experience of meeting God will result in a comprehensive, deep, and objective depiction.</p><p class="IKa-ABSTRAK">***</p><p class="IIABSBARU">Pengalaman bersua Tuhan merupakan fenomena yang menarik dan menjadi titik perhatian banyak disiplin ilmu. Psikologi dan tasawuf merupakan dua disiplin ilmu yang memfokuskan kajiannya pada fenomena ini dengan menerapkan pendekatan yang berbeda. Ghazali adalah representasi dari disiplin ilmu tasawuf dan William James adalah representasi disiplin ilmu psikologi. Kedua ahli tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengkaji pengalaman keagamaan. Basis epistimologi yang digunakan oleh James memiliki akuntabilitas ilmiah namun kurang akurat dalam sumber pengetahuannya. Di sisi lain Ghazali memiliki sumber pengetahuan yang dalam namun kurang dari sisi rasionalitas. Upaya untuk mengkompromikan kedua pendekatan dalam rangka untuk mengkaji pengalaman bersua Tuhan akan menghasilkan penggambaran yang dalam dan obyektif.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Musyafiq, Ahmad. "SPIRITUALITAS KAUM FUNDAMENTALIS." Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 1 (May 30, 2012): 55. http://dx.doi.org/10.21580/ws.20.1.186.

Full text
Abstract:
<p class="IIABSBARU">One of the most important phenomenon that characterized the begining of XXI century is the blossom of spiritual activities. Broadly speaking, there are two model of spiritualities: institutional spirituality like tarekat and non-institutional spirituality. This article focus on how religious study that so far executed by Hizbut Tahrir Indonesia Central Java, which much pertained to the main themes of tasawuf study, like purification of heart, tawakkal, ikhlas, sabar, etc. But because they rejected tasawwuf, so they applied the term of spirituality.</p><p class="IKa-ABSTRAK">***</p>Salah satu fenomena terpenting yang yang mencirikan awal abad XXI adalah berkembangnya aktifitas spiritual. Secara luas, ada dua model spiritualitas: spiritualitas institusional seperti tarikat dan spiritualitas non-institusional. Artikel ini memfokuskan pada bagaimana kajian agama yang selama ini dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia in central Java yang terkait erat dengan tema-tema utama dalam kajian tasawuf seperti pemurnian hati, tawakkal, ikhlas, sabar, dan lain-lain. Namun karena mereka menolak tasawuf maka mereka mereka menggunakan spiritualitas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Lamri. "MENANAMKAN NILAI-NILAI BUDAYA UNTUK MEMPERERAT INTEGRASI BANGSA." Bawi Ayah: Jurnal Pendidikan Agama dan Budaya Hindu 9, no. 2 (August 8, 2019): 55–68. http://dx.doi.org/10.33363/ba.v9i2.276.

Full text
Abstract:
Luas wilayah bangsa Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau yang sebagian besar sudah berpebduduk yang memiliki keragaman suku, budaya, adat istiadat dan agama yang saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari baik kebutuhan secara fisik maupun spiritualnya. Fenomena ini terjadi di seluruh wilayah bangsa Indonesia, sehingga dengan keadaan yang demikian sering kita jumpai berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat seperti permasalahan sara, sebab yang sering dimunculkan dalam kehidupan masyarakat adalah kata “perbedaan” bukan keragaman, sehingga perbedaan itulah yang tertanam pada pola pikir sebagian bangsa Indonesia sehingga dapat menimbulkan konflik. Perbedaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tedak seutuhnya seperti yang dimaksudkan “ Bhineka Tunggal Ika”, dan jika keragaman yang selalu kita junjung tinggi dalam kehidupan masyarakat maka kita tentu akan mengerti arti hidup yang saling membutuhkan di lingkungan social masyarakat. Oleh sebab itu Keragaman tersebut harus disadari oleh seluruh bangsa Indonesia dalam rangka menjaga dan mempertahankan persatuan dan integrasi bangsa dengan memahami nilai-nilai budaya baik budaya daerah maupun budaya nasional untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa untuk mencapai cita-cita sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Hidayati, Nurul. "KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN MULTIKULTURALISME PERSPEKTIF H.A.R. TILAAR." Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) 4, no. 1 (May 2, 2016): 42. http://dx.doi.org/10.15642/jpai.2016.4.1.42-64.

Full text
Abstract:
<strong>Bahasa Indonesia:</strong><br />Multikulturalisme, sebagai sebuah diskursus, memang merupakan produk kajian ilmuan Barat akan realitas-eksistensial kebudayaan mereka yang heterogen. Namun, ke-khas-an kajian mereka tidak menyentuh aspek-aspek teologis, jika tidak mau disebut Agama. Multikulturalisme hadir ke Indonesia dengan wajah yang berbeda. Ada banyak perspektif, yang kemudian, meng-amalgamasikan kepentingan faham keagamaan, dengan sumber kebudayaan yang dikaji di Barat melalui cultural studies-nya. Kendati demikian, masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari homogenitas, pluralitas, dan multi-kebudayaan. Oleh sebab itulah, para pendiri bangsa memiliki slogan Bhinneka Tuggal Ika, dari hal yang berbeda-beda, namun memiliki satu tujuan yang sama. Slogan ini, terkadang, tidak disadari oleh seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itulah, HAR Tilaar menawarkan sebuah konsep pendidikan yang dibasiskan kepada pengenalan dan pemahaman akan perbedaan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Tulisan ini berusaha mengkaitkan gagasan Tilaar ini dengan fenomena konflik yang ada di Indonesia, khususnya, berbasis agama. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan, seluruh pemeluk agama menyadari akan tantangan perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan.<br /><br /><strong>English:</strong><br />Multiculturalism as an academic discourse comes from western scholarly tradition regarding their heterogeneus cultural existential-reality. However, the distinguish discourse does not deal with theological aspects, if it is to hesitate to call religion. Multiculturalism comes to Indonesia in a different face. There are so many perspectives to amalgamate religious interest and western culture within cultural studies framework. However, Indonesian cannot be separated from homogeneity, plurality, as well as multi-culturalism. For that reason, the nation’s founding father promoted the slogan “Bhinneka Tunggal Ika”, unity in diversity. The slogan is sometimes less understood by citizens. This made H.A.R. Tilaar to offer an educational concept based upon introducation and comprehension towards Indonesian cultural diversity. This paper examines the Tilaar’s thoughts and religion-based conflict in Indonesia. Multicultural education itself is proposed to shade light for religions’s follower regarding the challenge of diversity created by God.<br /><br />
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Hidayati, Nurul. "KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN MULTIKULTURALISME PERSPEKTIF H.A.R. TILAAR." Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) 4, no. 1 (May 2, 2016): 44. http://dx.doi.org/10.15642/jpai.2016.4.1.44-67.

Full text
Abstract:
<strong>Bahasa Indonesia:</strong><br />Multikulturalisme, sebagai sebuah diskursus, memang merupakan produk kajian ilmuan Barat akan realitas-eksistensial kebudayaan mereka yang heterogen. Namun, ke-khas-an kajian mereka tidak menyentuh aspek-aspek teologis, jika tidak mau disebut Agama. Multikulturalisme hadir ke Indonesia dengan wajah yang berbeda. Ada banyak perspektif, yang kemudian, meng-amalgamasikan kepentingan faham keagamaan, dengan sumber kebudayaan yang dikaji di Barat melalui cultural studies-nya. Kendati demikian, masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari homogenitas, pluralitas, dan multi-kebudayaan. Oleh sebab itulah, para pendiri bangsa memiliki slogan Bhinneka Tuggal Ika, dari hal yang berbeda-beda, namun memiliki satu tujuan yang sama. Slogan ini, terkadang, tidak disadari oleh seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itulah, HAR Tilaar menawarkan sebuah konsep pendidikan yang dibasiskan kepada pengenalan dan pemahaman akan perbedaan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Tulisan ini berusaha mengkaitkan gagasan Tilaar ini dengan fenomena konflik yang ada di Indonesia, khususnya, berbasis agama. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan, seluruh pemeluk agama menyadari akan tantangan perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan.<br /><br /><strong>English:</strong><br />Multiculturalism as an academic discourse comes from western scholarly tradition regarding their heterogeneus cultural existential-reality. However, the distinguish discourse does not deal with theological aspects, if it is to hesitate to call religion. Multiculturalism comes to Indonesia in a different face. There are so many perspectives to amalgamate religious interest and western culture within cultural studies framework. However, Indonesian cannot be separated from homogeneity, plurality, as well as multi-culturalism. For that reason, the nation’s founding father promoted the slogan “Bhinneka Tunggal Ika”, unity in diversity. The slogan is sometimes less understood by citizens. This made H.A.R. Tilaar to offer an educational concept based upon introducation and comprehension towards Indonesian cultural diversity. This paper examines the Tilaar’s thoughts and religion-based conflict in Indonesia. Multicultural education itself is proposed to shade light for religions’s follower regarding the challenge of diversity created by God.<br /><br />
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Hidayati, Nurul. "KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN MULTIKULTURALISME PERSPEKTIF H.A.R. TILAAR." Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) 4, no. 1 (May 2, 2016): 44. http://dx.doi.org/10.15642/pai.2016.4.1.44-67.

Full text
Abstract:
<strong>Bahasa Indonesia:</strong><br />Multikulturalisme, sebagai sebuah diskursus, memang merupakan produk kajian ilmuan Barat akan realitas-eksistensial kebudayaan mereka yang heterogen. Namun, ke-khas-an kajian mereka tidak menyentuh aspek-aspek teologis, jika tidak mau disebut Agama. Multikulturalisme hadir ke Indonesia dengan wajah yang berbeda. Ada banyak perspektif, yang kemudian, meng-amalgamasikan kepentingan faham keagamaan, dengan sumber kebudayaan yang dikaji di Barat melalui cultural studies-nya. Kendati demikian, masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari homogenitas, pluralitas, dan multi-kebudayaan. Oleh sebab itulah, para pendiri bangsa memiliki slogan Bhinneka Tuggal Ika, dari hal yang berbeda-beda, namun memiliki satu tujuan yang sama. Slogan ini, terkadang, tidak disadari oleh seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itulah, HAR Tilaar menawarkan sebuah konsep pendidikan yang dibasiskan kepada pengenalan dan pemahaman akan perbedaan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Tulisan ini berusaha mengkaitkan gagasan Tilaar ini dengan fenomena konflik yang ada di Indonesia, khususnya, berbasis agama. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan, seluruh pemeluk agama menyadari akan tantangan perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan.<br /><br /><strong>English:</strong><br />Multiculturalism as an academic discourse comes from western scholarly tradition regarding their heterogeneus cultural existential-reality. However, the distinguish discourse does not deal with theological aspects, if it is to hesitate to call religion. Multiculturalism comes to Indonesia in a different face. There are so many perspectives to amalgamate religious interest and western culture within cultural studies framework. However, Indonesian cannot be separated from homogeneity, plurality, as well as multi-culturalism. For that reason, the nation’s founding father promoted the slogan “Bhinneka Tunggal Ika”, unity in diversity. The slogan is sometimes less understood by citizens. This made H.A.R. Tilaar to offer an educational concept based upon introducation and comprehension towards Indonesian cultural diversity. This paper examines the Tilaar’s thoughts and religion-based conflict in Indonesia. Multicultural education itself is proposed to shade light for religions’s follower regarding the challenge of diversity created by God.<br /><br />
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. "THE LIVING AL-QUR’AN: BEBERAPA PERSPEKTIF ANTROPOLOGI." Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 1 (May 30, 2012): 235. http://dx.doi.org/10.21580/ws.20.1.198.

Full text
Abstract:
<p class="IIABSBARU">This article deals with the meanings of the living al-Qur’an and how as socio-cultural phenomena they can be studied anthropo­logically. The living al-Qur’an here is interpreted as the meanings given by the people (Moslem as well as non-Moslem) to al-Qur’an and how these meanings are actualized in their daily lives. Some of its social meanings are given here and explained. Seen in that way, the living al-Qur’an can thus be studied by using anthropological perspectives, such as acculturation perspective or diffusion perspective, functional perspective, structural perspective, phenomenological perspective and hermeneutical or interpretive perspective.</p><p class="IKa-ABSTRAK">***</p>Artikel ini membahas tentang makna al-Qur’an hidup dan bagaimana sebagai fenomena sosial bidaya al-Qur’an dapat dikaji secara antropologis. Al-Qur’an yang hidup di sini diinterpretasikan sebagai makna yang diberikan oleh masyarakat (Muslim maupun non-Muslim) terhadap al-Qur’an dan bagaimana makna ini diaktualisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa makna sosialnya akan dibahas di sini dan akan dijelaskan. Dengan cara seperti itu al-Qur’an hidup dapat dikaji secara antropologis, yaitu dengan perspektif akulturasi, difusi, fungsional, fungsional struktural, fenomenologi, dan herme­neutik atau interpretif.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Rokhmad, Abu. "SENGKETA TANAH KAWASAN HUTAN DAN RESOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF FIQH." Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 21, no. 1 (June 15, 2013): 141. http://dx.doi.org/10.21580/ws.2013.21.1.240.

Full text
Abstract:
<p class="IIABSBARU">Land dispute on forest area in Blora Regency is still developing. This is a form of resistence among Blora community toward the patterns of forrest management by Perhutani since New Order. Many things became the trigger like illegal logging, violence involving community members, and claim on land ownership. This article studied the phenomenon applying fiqh perspective in order to develop peace building that was based on common good. However natural resources management constituted an important part in doing worship to God, so it needed to be accorded to Islamic spirit.<strong></strong></p><p class="IKa-ABSTRAK">***</p>Konflik sengketa tanah kawasan hutan di kabupaten Blora terus bergulir. Kisah ini merupakan sejarah lama karena resistensi masyarakat Blora terhadap pola-pola pengelolaan hutan oleh Perhutani telah dimulai sejak masa Orde Baru. Banyak hal yang menjadi pemicu persoalan seperti penebangan liar, kekerasan yang melibatkan warga, dan klaim kepemilikan atas tanah. Tulisan ini mencoba melakukan kajian secara fiqh atas fenomena tersebut, sebagai salah satu upaya mengembangkan resolusi perdamaian berdasarkan dari kemaslahatan bersama. Bagaimanapun pengelolaan atas alam merupakan bagian penting dari prosesi ibadah kepada Tuhan sehingga perlu disesuaikan dengan spirit Islam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Firman, Firman, Bahaking Rama, Muljono Damopoli, and M. Shabir U. "REALITAS PEMBELAJARAN KONTEN KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN DI PONDOK PESANTREN HIDAYATULLAH BALIKPAPAN." Al-Qalam 26, no. 1 (June 29, 2020): 155. http://dx.doi.org/10.31969/alq.v26i1.817.

Full text
Abstract:
<p align="center">Abstrak</p><p>Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana realitas pembelajaran konten keislaman dan konten keindonesiaan di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif sehingga peneliti mencari makna, pemahaman, fenomena, kejadian, maupun keadaan yang berkaitan dengan pembelajaran konten keislaman dan keindonesiaan di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Sumber data yaitu data primer melalui wawancara dan data sekunder melalui dokumen. Adapun instrumen penelitian adalah peneliti sendiri sebagai instrumen kunci dan pedoman wawancara. Sedangkan teknik analiasis data dengan menggunakan reduksi data, displai data, kemudian dilakukan verivikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa <em>Pertama</em>, Pembelajaran keislaman di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan secara garis besar terdiri atas tauhid, ibadah, dan akhlak. (1) Pembelajaran tauhid yaitu pembelajaran untuk mentauhidkan Allah dengan cara semua materi pelajaran dilandasi dengan nilai-nilai tauhid. (2) Ibadah, yaitu pembelajaran diniyah, Baca al-Qur’an, Tahfiz, Tahsin, Salat lail, Ta’lim, Halaqah al-Qur’an. (3) Akhlak, yaitu melatih kemandirian, hidup sederhana, memiliki kepribadian akhlak al-karimah, sikap menghormati, menjaga hubungan baik dengan teman sesama santri, menghormati warga pondok. <em>Kedua</em>, Pembelajaran Keindonesiaan, yaitu PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS dan adanya Sosialisasi Empat Pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika. Pembentukan Satuan Komunitas (SAKO) Pramuka Hidayatullah, dan bela diri.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Mulyani, Tri, Dewi Tuti Muryati, and Doddy Kridasaksana. "PENINGKATAN PEMAHAMAN SISWA SMK PANDANARAN SEMARANG MENGENAI PENTINGNYA MENANAMKAN NILAI KEBHINNEKAAN DALAM RANGKA MENJAGA KEUTUHAN NKRI." Jurnal Dinamika Sosial Budaya 20, no. 2 (January 21, 2019): 148. http://dx.doi.org/10.26623/jdsb.v20i2.1245.

Full text
Abstract:
<p>Negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai merauke dan dari Miangas sampai Rote, berjajar banyak pulau yaitu sekitar17.508 buah, baik pulau kecil maupun pulau besar, yang berdiam penduduk sebanyak 237.000.000 dengan ragam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat istiadat dan keberagaman lainnya ditinjau dari berbagai aspek yang diikat dengan Bhinneka Tunggal Ika. Corak karakter bangsa Indonesia pada dasarnya adalah religius, humanis, menyukai persatuan, suka bermusyawarah dan dalam mengambil keputusan dikedepankan untuk keadilan sosial, namun corak karakter tersebut menjadi luntur, khususnya di kalangan pelajar, dikotori dengan aksi tawuran yang disebabkan masalah sepele saling ejek. Dapat dicontohkan terjadinya tawuran antara Siswa SMK Sudirman Ungaran dengan antar pelajar di Lingkungan Tambakboyo, Ambarawa, Jawa Tengah yang menewaskan 1 siswa SMK Sudirman yaitu Alga Hidayat (15 tahun). Dari fenomena ini kiranya Tim Pengabdian Fakultas Hukum USM tergerak melakukan sosialisai dengan mengangkat permasalahan kurangnya pemahaman siswa SMK Pandanaran Semarang mengenai pentingnya menanamkan nilai kebhinnekaan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Pengabdian ini dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab langsung dan evaluasi, dengan penyebaran kuesioner sebelum dan sesudah kegiatan dilaksanakan. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa baik sebelum maupun sesudah penyuluhan menunjukkan jumlah prosentase peningkatan pemahaman sebesar 19%, artinya bahwa penyuluhan yang telah dilaksnakan, menunjukkan adanya respon positif dari peserta. Para siswa yang mengikuti penyuluhan mulai mengerti bahwa pelajar juga wajib mempunyai semangat dan jiwa nasionalisme dalam diri mereka masing – masing salah satunya adalah menanamkan nilai kebhinnekaan, agar meminimalisasi konflik antar pelajar, sehingga dapat menjaga keutuhan NKRI.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Adila, Isma, Wayan Weda, and Dian Tamitiadini. "PENGEMBANGAN MODEL LITERASI DAN INFORMASI BERBASIS PANCASILA DALAM MENANGKAL HOAKS." WACANA, Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi 18, no. 1 (June 28, 2019). http://dx.doi.org/10.32509/wacana.v18i1.721.

Full text
Abstract:
Fenomena "Hoax" atau berita palsu yang dapat menyebabkan perasaan takut, kecemasan, terancam, atau salah persepsi di masyarakat. Hal ini dikarenakan hoax dan hate speech yang terjadi di dunia digital seringkali mengandung unsur SARA, provokatif dan bombastis. Ironisnya menurut Polri di Indonesia pada tahun 2017 terdapat 40 ribu berita hoax yang tersebar di media sosial (tribunnews.com). Kurangnya literasi media dalam masyarakat kita mengarah pada kedangkalan pengetahuan di media sosial. Sesuai dengan gerakan pemerintah yang telah dirintis, yaitu melawan hoax menggunakan nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, penelitian ini dengan pendekatan praktis, berupaya mengembangkan model literasi media yang berbeda dalam menganalisis informasi salah (hoax) dalam berita di media sosial. Melalui pengembangan model tinjauan literasi media sebagai pendekatan yang memberdayakan pengguna media sosial (warganet), diasumsikan bahwa warganet akan lebih mampu membangun muatan positif dalam memanfaatkan media sosial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Baehaqi, M. Lutfi. "COOPERATIVE LEARNING SEBAGAI STRATEGI PENANAMAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH." Jurnal Pendidikan Karakter 10, no. 1 (April 29, 2020). http://dx.doi.org/10.21831/jpk.v10i1.26385.

Full text
Abstract:
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan mata pelajaran yang memiliki misi sebagai pendidikan karakter, nilai dan moral Pancasila, pengembangan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan penghayatan terhadap filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Peran PPKn adalah menanamkan nilai-nilai karakter yang luhur kepada peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas dan baik, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kajian ini bertujuan mendeskripsikan model cooperative learning dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai strategi penanaman karakter di sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan yang berupa buku, jurnal, artikel, dokumen, dan lain sebagainya. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara berpikir induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter dalam pembelajaran PPKn harus sesuai dengan karakteristik pembelajaran PPKn dan tujuan pendidikan karakter, memiliki prosedur yang mengorganisasikan pemahaman serta pengalaman belajar peserta didik dan harus terintegrasi dengan lingkungannya, mampu mengintegrasikannya dengan fenomena sosial atau fenomena kewarganegaraan. Model cooperative learning dalam pembelajaran PPKn harus logis dan memiliki landasan berpikir yang konkret, mencakup konteks akademik sesuai dengan materi dan kompetensi yang hendak dicapai, serta mendorong peserta didik untuk berperan aktif, berpikir kritis, memaksimalkan bakat, minat, dan potensinya. Kata Kunci: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, penanaman karakter, pembelajaran kooperatif. COOPERATIVE LEARNING AS CHARACTER PLANTING STRATEGY IN LEARNING OF PANCASILA AND CIVIC EDUCATION IN SCHOOLS Abstrack: Pancasila and Civic Education (PPKn) is a subject that has a mission as character education, values and morals of Pancasila, the development of a commitment to the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI), and appreciation of the philosophy of Unity in Diversity. The role of PPKn is to instill noble character values to students to become intelligent and good human beings, in accordance with the values of the Pancasila and the 1945 Constitution of State of the Republic of Indonesia. This study aimed to describe the cooperative learning model in learning Pancasila and Civic Education as a character planting strategy in school. This research is a qualitative descriptive study. Data collection used library research in the form of books, journals, articles, documents, and so forth. The collected data is analyzed qualitatively by inductive thinking. The results showed that character education in PPKn learning must be in accordance with the characteristics of PPKn learning and character education objectives, have procedures that organize students' understanding and learning experience and must be integrated with their environment, able to integrate it with the social or citizenship phenomena. The cooperative learning model in learning PPKn must be logical and have a concrete foundation for thinking, covering the academic context in accordance with the material and competencies obtained, and encouraging students to play an active role, think critically, maximize their talents, interests, and potencies. Keywords: Pancasila and Civic Education, character planting, cooperative learning
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography