To see the other types of publications on this topic, follow the link: Gerakan Aceh Merdeka.

Journal articles on the topic 'Gerakan Aceh Merdeka'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 49 journal articles for your research on the topic 'Gerakan Aceh Merdeka.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Andriyani, Santi. "Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Transformasi Politik Dari Gerakan Bersenjata Menjadi Partai Politik Lokal Aceh." Jurnal ISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 14, no. 1 (January 15, 2017): 13. http://dx.doi.org/10.36451/j.isip.v14i1.32.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Jayanti, Kurnia. "Konflik Vertikal Antara Gerakan Aceh Merdeka Di Aceh Dengan Pemerintah Pusat Di Jakarta Tahun 1976-2005." Buletin Al-Turas 19, no. 1 (January 23, 2018): 49–70. http://dx.doi.org/10.15408/bat.v19i1.3698.

Full text
Abstract:
Abstrak Tulisan ini menganalisis konflik vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan pusat pada masa orde baru hingga masa reformasi (1976-2005). Skripsi ini menjawab beberapa pertanyaan berikut: bagaimana sejarah Gerakan Aceh Merdeka terbentuk? bagaimana perjalanan konflik Vertikal di Aceh yang dilalui GAM? faktor apa saja yang menyebabkan rakyat Aceh yang ingin melepaskan diri dari Indonesia? upaya apa yang di lakukan untuk penyelesaian konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia dalam meraih rancangan kesepakatan damai? Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, penulis melakukan penelitian kepustakaan. Adapun teknis penulisan skripsi ini termasuk tata cara membuat catatan kaki, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.---Abstract This thesis analyzes the vertical conflitc between the Free Aceh Movement (GAM) and the central government in the new order until the reform periode (1975-2005). This thesis to answer the following question: how the history of the Free Aceh Movement formed? How to travel vertical conflict in Aceh GAM passed? What factors are causing the people of Aceh who want to break away from Indonesia? What effortss will be undertaken to resolve the conflict betqween the Free Aceh Movement and the Indonesian government in achieving the draft peace agreement? To answer some of these questions, the autors conducted a study of literature. As for technical writing (thesis and dissertation) CEQDA UIN Syarif Hidaytullah Jakarta.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Usman, Usman. "DINAMIKA POLITIK SEPULUH TAHUN PERDAMAIAN DI ACEH (Analisis Politik Kawasan Pesisir Timur Aceh)." Jurnal Humaniora : Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi dan Hukum 1, no. 1 (March 7, 2019): 50–60. http://dx.doi.org/10.30601/humaniora.v1i1.41.

Full text
Abstract:
The aim of this study is to find out the situation, condition, and politic impact towards Acehnese society in ten years after reconciliation. The qualitative research is used in this study which the result to create a systemic, factual, and accurate description of the facts, characteristics as well as the related phenomena which is being investigation. The collecting data, the researcher used interview and field observation in Lhoksemawe, North Aceh, and Bireun. The result found that the political dominance in the East Coast Aceh is still controlled by Gerakan Aceh Merdeka which is affecting the political policies between Central Government and Aceh Government. For instance, it emerge the major conflicts within Gerakan Aceh Merdeka, such as Din Minimi, and political party rivalry. This political dynamics phenomena also affects the East Coast society life, such as political violence, intimidation, terror, and other political violences
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Kumalasari, Reni. "RELASI AGAMA DAN POLITIK DI ACEH PASCA KONFLIK; Pemerintah Indonesia-Gerakan Aceh Merdeka." Jurnal Adabiya 23, no. 1 (February 27, 2021): 1. http://dx.doi.org/10.22373/adabiya.v23i1.7592.

Full text
Abstract:
This article tries to explain how the relationship between Islam and politics after the conflict between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM). After the peace agreement between the two parties with the signing of the Helsinki MoU, the Indonesian government interpreted the agreement in Law No. 11 of 2006 concerning the Government of Aceh (UUPA). The presence of the act makes the ulama a partner of the government in running the wheels of government by giving fatwa on issues of government, development, community development, and the economy. Furthermore, after peace, the role of the ulama was not only to give knowledge to the community, some ulama participated in practical politics. This was one of the effects of the UUPA, where Aceh was given the privilege of establishing local political parties. At present some ulama have occupied various positions in party management, and even participated in the regional head election (PILKADA), where religious values are used as a means of gaining power.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Widyanto, Anton. "Reformulating Strategies to Develop Democratization through Civic Education in Aceh." Ulumuna 21, no. 1 (October 27, 2017): 33–56. http://dx.doi.org/10.20414/ujis.v21i1.1179.

Full text
Abstract:
This paper aims to pursue appropriate strategies to shape students’ characters and sense of nationalism through formal education in Aceh. Grounded in the structured interviews, focused group discussions, and observations, this qualitative case study reveals that Aceh, as one province in Indonesia, which was trapped in prolonged army conflict, needs character education that focuses on the nation-state paradigm. The contemporary Acehnese society is also facing new cultural, ethnic, inter-religious conflicts, as well as internal conflicts among Muslims. The seed of these conflicts becomes increasingly worse when infiltrated by the contemporary political interests in the province. During the era of military conflict, Pendidikan Moral Pancasila (Pancasila Moral Education) was deemed “a dangerous” subject to be taught in Aceh schools due to its contradictory nature against the ideology of Gerakan Aceh Merdeka (Free Aceh Movement). Despite downgrading the students’ spirit of nationalism, such situation has gradually been changed since a peace agreement between the two parties, Indonesian government and Gerakan Aceh Merdeka, was achieved in August 2005. Nevertheless, this demonstrates the need to overhaul curriculum and instructional strategies in the pursuit of the democratization in the province.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Suharyo, Suharyo. "Otonomi Khusus di Aceh dan Papua di Tengah Fenomena Korupsi, Suatu Strategi Penindakan Hukum." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18, no. 3 (September 21, 2018): 305. http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2018.v18.305-318.

Full text
Abstract:
Otonomi khusus di Aceh dan Papua, merupakan suatu desentralisasi asimetrik, sebagai jalan tengah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dalam menyelesaian konflik bersenjata yang menginginkan pemisahan dari Negara Kesatuan yang merdeka. Penerapan otonomi khusus tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pemberlakuan otonomi khusus di Aceh, tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Reaksi keras menolak otonomi khusus dilakukan oleh gerakan perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun berkenaan adanya bencana nasional Tsunami Desember 2004, dengan kehancuran Banda Aceh total, Meulaboh dan daerah sekitarnya, dengan korban tewas mencapai lebih dari 112.000 jiwa, dan dengan keterbukaan pemerintah, akhirnya tercapai MOU Helsinki Finlandia, yang berujung dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa yang melatarbelakangi fenomena korupsi di Aceh dan Papua, dan bagaimana strategi penindakannya. Metode yang dipakai adalah yuridis normatif. Dalam perkembangan di Provinsi Papua, dibentuk provinsi baru melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat. Ironisnya upaya mensukseskan otonomi khusus tersebut, baik di Aceh maupun di Papua, justru terjadi fenomena korupsi. Sampai sekarang, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh jajaran penegak hukum yaitu Polri, Kejaksaan, maupun KPK, cenderung kurang maksimal Untuk itu sangat diperlukan strategi penindakan dengan langkah yang represif.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Yusvitasari, Devi. "ANALISIS SAH TIDAKNYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus Perjanjian Helsinki Antara GAM dengan Indonesia)." Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1, no. 2 (October 17, 2019): 46–62. http://dx.doi.org/10.23887/jmpppkn.v1i2.46.

Full text
Abstract:
Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh mulai mereda sejak adanya MoU antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. MoU Helsinki mampu menghentikan konflik bersenjata di Aceh karena pelarangan dalam penggunaan senjata secara eksplisit diatur pada beberapa pasal MoU Helsinki. MoU Helsinki merupakan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tentang penyelesaian konflik Aceh secara damai berdasarkan hasil perundingan di Helsinki, Finlandia. Rumusan masalah yang diangkat terkait status hukum nota MoU Helsinki ditinjau berdasarkan hukum hukum perjanjian internasional serta apakah MoU tersebut tunduk terhadap hukum internasional atau tidak Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menekankan pada penggunaan sumber data sekunder sebagai acuan utama. Metode pendekatan menggunakan pendekatan perundang-undangan, conceptual approach, case approach, statute approach dan historis. Hasil penelitian didapatkan bahwa latar belakang adanya MoU Helsinki karena adanya ketidakadilan terhadap masyarakat Aceh. MoU Helsinki bukan merupakan perjanjian internasional karena GAM termasuk kepada kaum belligerent /bukan sebagai subyek hukum internasional sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pernjanjian yang tunduk pada hukum internasional karena tidak dapat dibuktikan sejak perundingan, pembuatan naskah perjanjian, pemberlakuan, pelaksanaan, hingga penyelesaian sengketa. Saran dari penulisan ini adalah mengutamakan upaya damai sebagai cara penyelesaian konflik, pengawalan pelaksanaan isi MoU Helsinki dan penegakkan kasus pelanggaran HAM.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Aladdin, Yuri Alfrin. "Membongkar Wacana Pemberitaan Portal Berita Aceh atas Isu Disintegrasi Spanyol." PETANDA: Jurnal Ilmu Komunikasi dan Humaniora 1, no. 1 (December 28, 2018): 7–23. http://dx.doi.org/10.32509/jhm.v1i1.658.

Full text
Abstract:
Pemerintah wilayah otonom Catalonia, Spanyol, mengumumkan 90 persen dari 2,26 juta orang yang memberikan suara dalam referendum kemerdekaan pada 1 Oktober 2017, memilih untuk merdeka dari Spanyol. Jumlah itu mewakili sekitar 42,3 persen dari total pemilih Catalonia yang mencapai 5,34 juta. Situasi yang dialami Catalonia hampir mirip dengan Provinsi Aceh Darussalam yang pernah menuntut pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlawanan bersenjata di Aceh, tahun 1976 melalui organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berakhir tahun 2005 setelah Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian Helsinki dengan GAM, dan menjadikan Aceh sebagai provinsi dengan otonomi khusus dalam pangkuan NKRI. Studi ini membahas karakteristik pers di Aceh dikaitkan wacana pemisahan sebuah wilayah dari negara. Peneliti menggunakan metode Analisis Wacana Kritis model Norman Fairclough untuk menganalisis cara dan gaya pemberitaan media portal berita lokal Aceh, serta melakukan wawancara dengan dua orang pimpinan Persatuan Wartawan Indonesia Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan, masih terdapat wacana tersembunyi dukungan jurnalis muda media lokal Aceh terhadap ide kemerdekaan yang didorong oleh ketidakpuasan hasil pembangunan di Aceh.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Mafazi, Sarwan Saukhi. "Pemberlakuan Hukum Adat Syariah Aceh Bagi Warga Non Muslim Aceh." Jurnal Hukum Lex Generalis 3, no. 6 (June 29, 2022): 490–96. http://dx.doi.org/10.56370/jhlg.v3i6.274.

Full text
Abstract:
Hukum adat Aceh merupakan hukum adat yang mengacu pada ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Hukum adat Aceh sudah berlaku sejak 19 Desember 2000 dengan alasan untuk mencegah terjadinya pemisahan Aceh dari NKRI dimana gejolak Gerakan Aceh Merdeka sudah mencapai puncaknya. Tetapi dengan diberlakukannya hukum Syariat Islam di Aceh mendapatkan banyak reaksi dari masyarakat. Pro dan kontra mengenai permasalahan tersebut terus dilontarkan oleh kalangan masyarakat yang menganggap bahwa tindakan tersebut termasuk diskriminasi sosial terhadap masyarakat Non-Muslim di Aceh. Dalam pembahasan kali ini, akan dijelaskan bagaimana pemerintah Aceh menjalankan hukum adatnya tanpa adanya tindakan diskriminasi sosial. Pada akhir pembahasan akan disimpulkan bahwa warga Non-Muslim Aceh akan tetap dikenakan aturan tersebut jika perbuatannya tidak diatur dalam hukum nasional atau KUHP.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Murodi, Ahmad. "OTONOMI KHUSUS DAN PARTAI POLITIK LOKAL: ANALISIS KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH NO 11 TAHUN 2006 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL." JURNAL PENELITIAN DAN KARYA ILMIAH 19, no. 1 (February 2, 2019): 76–87. http://dx.doi.org/10.33592/pelita.vol19.iss1.71.

Full text
Abstract:
Kebijakan tentang partai politik lokal di Aceh telah menimbulkan polemik terkait potensi disintegrasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dibukanya akses politik bagi separatisme Aceh. Namun begitu Undang Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinski pada tahun 2005. Dengan dibukannya akses untuk terlibat langsung dalam ruang ruang politik diharapkan dapat menjadi kanal bagi kombatan GAM, untuk memperjuangkan aspirasinya melalui ruang politik lokal. Penelitian ini hendak menguji serta menganalis materi Undang Undang No 11 tahun 2006, terutama yang terkait tentang Otonomi khusus dan Politik Lokal dalam perspektif kebijakan publik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Kartini, Indriana. "THE EUROPEAN UNION’S ROLE AS AN INTERNATIONAL ACTOR IN THE ACEH MONITORING MISSION." Jurnal Kajian Wilayah 8, no. 2 (December 29, 2017): 115. http://dx.doi.org/10.14203/jkw.v8i2.777.

Full text
Abstract:
The European Union (EU) involvement in the Aceh Monitoring Mission (AMM) was one of the successful story in the peaceful conflict settlement. In this mission, the EU has been able to show the world that it is one of significant actor in international politics. Admittedly, the EU represents uncertain image in international politics as if it can not be seen at the same level of sovereign-states. This article examines whether the EU played a significant role as an international actor in the peace process in Aceh through an indepth-look at the work of the AMM. By viewing the EU as an evolving entity which engaged in particular issues and by addressing its international presence in the context of its involvement in the AMM, it can be concluded the EU has played significant role as an international actor. Keywords: the European Union, international actor, the Aceh Monitoring Mission (AMM), Gerakan Aceh Merdeka (GAM) AbstrakKeterlibatan Uni Eropa (UE) dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan salah satu cerita sukses dalam penyelesaian konflik secara damai. Dalam misi ini, UE mampu menunjukkan kepada dunia bahwa mereka merupakan salah satu aktor signifikan dalam politik internasional. Harus diakui bahwa UE merepresentasikan uncertain image (gambaran yang kurang jelas) dalam politik internasional yang tingkatannya tidak dapat disejajarkan dengan negara-bangsa. Artikel ini menganalisis apakah UE memainkan peran signifikan sebagai aktor internasional dalam proses perdamaian di Aceh melalui pendalaman terhadap kerja AMM. Dengan memandang UE sebagai entitas yang terlibat dalam isu-isu khusus dan dengan menekankan pada kehadiran UE di kancah internasional melalui keterlibatannya dalam AMM, maka dapat disimpulkan bahwa UE memainkan peran siginifikan sebagai aktor internasional.Kata kunci: Uni Eropa, aktor internasional, Aceh Monitoring Mission (AMM), Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Shindyawati, Shindyawati. "DESENTRALISASI DALAM INTEGRASI NASIONAL Studi Kasus: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Di Indonesia Dan Gerakan Pemberontak Moro Di Filipina." INDONESIAN JOURNAL OF POLITICS AND POLICY (IJPP) 1, no. 1 (January 1, 2019): 32–40. http://dx.doi.org/10.35706/ijpp.v1i1.1644.

Full text
Abstract:
Penelitian ini membahas mengenai strategi desentralisasi sebagai upaya untuk mempertahankan integrasi bangsa dengan studi kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia dan gerakan pemberontak Moro di Filipina. Tujuannya ialah untuk mendeskripsikan bagaimana strategi pemerintah dalam upaya mempertahankan integrasi bangsa. Teori yang digunakan ialah dengan menggunakan konsep integrasi Horizontal Nazaruddin Sjamsuddin yang menyatakan bahwa konflik GAM dan Moro merupakan konflik horizontal berkenaan dengan hubungan territorial antara pusat dan daerah. Sehingga diasumsikan bahwa kebijakan desentralisasi yang diimplementasikan oleh pemerintah dapat mengurangi jumlah ketidakadilan yang dirasakan antara daerah dengan pusat. Terutama untuk desentralisasi asimetris yang dikembangkan atas dua motivasi dasar yaitu, motivasi politik sebagai peredam gejolak pemisah daerah dan pengakuan atas multikulturalisme, dan motivasi ekonomi untuk penguatan kapasitas pemerintahan local.Kata Kunci: Desentralisasi, Integrasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Pratiwi, Eka Auliana. "CAMPUR TANGAN ASING di INDONESIA : CRISIS MANAGEMENT INITIATIVE DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ACEH (2005-2012)." Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah 2, no. 2 (May 1, 2019): 83. http://dx.doi.org/10.17509/historia.v2i2.15630.

Full text
Abstract:
Tulisan ini memuat peranan Crisis Management Initiative dalam Penyelesaian Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia (2005-2012)”. Setelah pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan militer untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh namun menemui jalan buntu, maka pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan baru dengan menggunakan pendekatan dialog dan menghadirkan pihak ketiga sebagai mediator. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004- 2009) terdapat perubahan lembaga dalam penyelesaian konflik Aceh, yakni mempercayakan NGO asal Finlandia yaitu “Crisis Management Initatiative” sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Aceh. Masalah utama yang dibahas dalam skripsi ini adalah “Bagaimana Peranan Crisis Management Initiative dalam Penyelesaian Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia 2005-2012?”. Masalah utama tersebut kemudian disusun menjadi tiga pertanyaan penelitian, yaitu (1). Bagaimana pengaruh GAM terhadap konflik Aceh, (2) Apakah latar belakang terpilihnya CMI sebagai mediator, (3) Bagaimana proses perdamaian yang dimediasi oleh CMI, (4) Bagaimana dampak dari hasil perundingan damai dalam aspek sosial, ekonomi dan politik di Aceh. Adapun tujuan penelitian ini yaitu menganalisis latar belakang terbentuknya GAM, menganalisis latar belakang pemilihan CMI sebagai mediator dan proses perdamaian yang dimediasi oleh CMI, serta menjelaskan dampak perundingan bagi masyarakat Aceh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode historis yaitu meliputi pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Hasil dari penelitian ini adalah (1) GAM terbentuk karena adanya kekecewaan masyarakat Aceh terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia , (2) CMI merupakan NGO yang bergerak di bidang resolusi konflik, (3) Musibah tsunami berpengaruh terhadap proses perdamaian, (4) proses perdamaian dilakukan sebanyak lima putaran, (4) CMI berhasil menyatukan keinginan kedua belah pihak.Kata Kunci : Gerakan Aceh Merdeka, Konflik,Crisis Management Initiative, Pemerintah Indonesia.This article examines the role of "Crisis Management Initiative in Conflict Resolution between the Free Aceh Movement and the Indonesian Government (2005-2012)". After the Indonesian government used a military approach to resolve the conflict in Aceh but was deadlocked, then Indonesian government used a new approach by using a dialogue approach and presenting third parties as mediators. During the administration of President Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) there was a change in the institution to resolve the Aceh conflict, both sides entrusting a NGO and namely as “Crisis Management Initatiative” as a mediator. The main issue of this thesis is "How was the Role of Crisis Management Initiative in the Conflict Resolution between the Free Aceh Movement and the Indonesian Government 2005-2012?". Then it’s developed into four research questions: (1) How about GAM’s impact in Aceh conflict, (2) What isthe background of CMI's election as a mediator, (3) How was the peace process which is mediated by CMI, (4) What were the impact of the results by peace negotiations on social, economic and political aspects in Aceh. The purpose of this research is to analyze the impact of GAM in Aceh conflict, analyze the reason of CMI’s selection as a mediator and the peace process mediated by CMI, and the last was to find out the impact of negotiations for the Aceh people. The methodology that is used in this research is historical methodology which consists of finding references (heuristic), criticizing the references, interpretating the references and historiography. therefore the results of the research are (1) GAM was formed because of the disappointed Acehnese people towards the policies by Indonesian Government, (2) CMI was a NGO which focuss in conflict resolution, (3) tsunami’s disaster have impact on peace proccess (4) the peace process was carried out in five rounds, (4) CMI succeeded to unite both side’s pretension.Keywords : Free Aceh Movement, Conflict, Crisis Management Initiativ, Indonesian Government.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Insa ansari, Muhammad. "UNDANG-UNDANG PEMERINTAH ACEH DAN PENANAMAN MODAL DI PROVINSI ACEH." Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 9, no. 1 (December 20, 2018): 1–12. http://dx.doi.org/10.22373/jep.v9i1.15.

Full text
Abstract:
ABSTRAK Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) lahir dalam rangka mengakhiri konflik antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam kaitannya dengan perekonomian, UUPA mengatur hal yang berkaitan dengan penanaman modal. Dimana dalam UUPA mengatur kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh dalam halnya penanaman modal. Artikel ini secara normatif mengkaji dan menelaah perkembangan penanaman modal dalam kurun waktu empat tahun sebelum berlakunya UUPA dan empat tahun setelah berlakunya UUPA. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif ini digunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Berdasarkan kajian menunjukkan: pertama, bahwa penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri pada masa empat tahun sebelum berlakunya UUPA masih belum berkembang dengan baik; kedua, bahwa penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri pada masa empat tahun setelah berlakunya UUPA telah menunjukkan perkembangan meskipun belum signifikan. Untuk itu disarankan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan upaya-upaya lain untuk mendorong pertumbuhan penanaman modal di Provinsi Aceh. Kata Kunci: UUPA, Penananaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Stange, Gunnar, and Roman Patock. "From Rebels to Rulers and Legislators: The Political Transformation of the Free Aceh Movement (GAM) in Indonesia." Journal of Current Southeast Asian Affairs 29, no. 1 (March 2010): 95–120. http://dx.doi.org/10.1177/186810341002900105.

Full text
Abstract:
On 15 August 2005, when the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) signed the Memorandum of Understanding (MoU) in Helsinki, Finland, it was considered yet another uncertain attempt at putting an end to Indonesia's thirty years of conflict in its westernmost province, Aceh. After a historically unprecedented reconstruction process that followed the tsunami of December 2004 and two orderly elections in 2006/2007 and 2009, Aceh's peace process is not only still on track, but widely considered a role model for ending protracted civil wars by means of political participation and autonomy regulations. This article reviews past developments that have led to the reconfiguration of Aceh's political landscape and seeks to illustrate the most recent developments in GAM's transformation from an independence movement to an Indonesian local political party.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Oktaferani, Wenny, Ariesta Nurlailatul Jannah, and Fariha Ramadhanti. "PENERAPAN SYARIAT ISLAM DALAM SISTEM HUKUM DI PROVINSI ACEH." Politea : Jurnal Politik Islam 5, no. 2 (January 26, 2023): 105–17. http://dx.doi.org/10.20414/politea.v5i2.4429.

Full text
Abstract:
Berlatar belakang dari pecahnya konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin memisahkan diri dari NKRI membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelesaikan konflik tersebut dengan membuat Perjanjian Helsinki pada tahun 2005. Akibatnya, Provinsi Aceh memiliki hak istimewa untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Selain perjanjian tersebut, pemberian status istimewa yang terjadi pada 1959 juga memengaruhi hadirnya hak istimewa bagi Provinsi Aceh. Hal ini juga yang menyebabkan munculnya hak bagi kemandirian Aceh untuk mengelola daerahnya sendiri dalam segala bidang. Kemandirian ini menjadikan Aceh dapat mengatur segala urusan daerahnya secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah di bidang hukum serta politik. Karena adat yang kental serta memiliki sejarah sebagai kerajaan Islam, penerapan syariat Islam menjadi sesuatu yang biasa. Salah satu penerapannya adalah penggunaan Qanun, yang berarti peraturan, kemudian Jarimah yang berarti tindak pidana, serta Uqubat yang berarti sanksi. Penerapan hukum dengan syariat Islam ini tentu akan memunculkan berbagai pendapat dari masyarakat luas. Entah itu pendapat yang pro dengan hukum tersebut, maupun yang kontra.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Usman, Jarjani, and Fauzan Fauzan. "Analyzing the humorous communicative interactions during the wartimes in Aceh." Studies in English Language and Education 7, no. 2 (September 3, 2020): 607–21. http://dx.doi.org/10.24815/siele.v7i2.16890.

Full text
Abstract:
Prolonged armed conflicts between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement/Gerakan Aceh Merdeka (GAM) happened from 1976 to 2005. The three-decade-vertical political conflicts have received worldwide attention in research, except its humorous sides. This study attempted to capture the types and styles of humor within the memories of Aceh society. To do so, this qualitative study used interviews and document analysis to interview 20 Acehnese people from five districts in Aceh province who experienced the vertical wars in Aceh and analyze written resources. The research found that there are many types and styles of humor that happened unintentionally as the result of the speakers’ mistranslating and miscode-mixing from Acehnese language to Indonesian language during unexpected interactions. Most of the humor occurring during the wars in Aceh fall into the incongruity theory, the verbal pun style, and the self-enhancing style. The findings of the study provide insights on the humorous side of the long wars through communicative interactions in Aceh that are useful to relieve tension when remembering the bitterness of the wars.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Muis, Muis, Andi Agustang, Andi Muh Idkhan, and Rifdan Rifdan. "STRATEGI PEMERINTAH ACEH DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAH ACEH (UUPA)." Publik: Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia, Administrasi dan Pelayanan Publik 8, no. 2 (December 27, 2021): 337–48. http://dx.doi.org/10.37606/publik.v8i2.255.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi pemerintah Aceh dalam mengedepankan undang-undang Pemerintah Aceh. Metodelogi penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan jenis deksriptif, mencari dan menganalisis data melalui hasil wawancara, pengamatan dan dokumen. Penelitian ini menggunakan teori Balance Of Power (Keseimbangan kekuasaan/kekuatan) Sistem Balance of Power menyediakan berbagai alternatif bagi para policy makers, yang mengarah kepada perang atau berusaha menyelesaikan pertikaian melalui cara-cara yang acceptable melalui negosiasi. Konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia terjadi sejak 1976, dan berakhir dengan penyelesaian pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia melalui mediator Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia) kedua belah pihak GAM-RI duduk bersama menentukan sikap untuk mengakhiri semua problema konflik yang terjadi. Dalam butir-butir perjanjian Memorandum of Understanding tersebut Aceh diberi hak-hak khusus oleh Pemerintah Indonesia untuk mengurus Pemerintahan Sendiri (Self Government), namun kenyataan yang terjadi belum sesuai seperti yang diamanahkan dalam MoU. Undang-Undang Pemerintahan Aceh No 11 Tahun 2006 yang mengatur tentang Pemerintahan Provinsi Aceh, dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk Qanun yang dilahirkan oleh Pemerintah Aceh. Sebagai pengganti Undang-Undang Otonomi Khusus dan hasil kesepakatan damai, maka Aceh diberikan kewenangan khsusus untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan Undang-Undang Pemerintah Aceh.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Nurparijah, Silkika. "Partai Politik Lokal Dan Evaluasi Dalam Penyelenggaraan Dana Otonomi Khusus Aceh." Jurnal Lex Renaissance 7, no. 2 (April 1, 2022): 340–57. http://dx.doi.org/10.20885/jlr.vol7.iss2.art9.

Full text
Abstract:
Aceh as a special autonomous region can regulate and manage its own region. This authority is given by the central government through decentralization and deconcentration which is regulated in Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government. As a special autonomous region, Aceh is given the freedom to establish political parties and manage Dana Otonomi Khusus (DOKA) (the Aceh Special Autonomy Fund) for the welfare of the Acehnese people, but Aceh is still ranked first as the poorest region at the Sumatera level, data obtained through the Central Statistics Agency (BPS). This research method uses normative research to examine and analyze local government policies on the Aceh Special Autonomy Fund (DOKA) with a conceptual approach. The results of this The results of this study conclude from the corruption case in Aceh and the first poverty, First that local political parties are the sectoral leaders of Aceh's special autonomy funds through legislative and executive seats in the Aceh region, special autonomy funds are misused through regional infrastructure development. Second, that the special autonomy funds are controlled by combatants of the Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Free Aceh Movement through the collection of nangroe taxes which are deposited to the top officials of the Free Aceh Movement from funds for regional development planning and implementation.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Sholeh, Muhammad, Nur Rohim Yunus, and Ida Susilowati. "Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh." SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 3, no. 2 (August 1, 2016): 217–30. http://dx.doi.org/10.15408/sjsbs.v3i3.7862.

Full text
Abstract:
Abstract:Efforts that have been made by the government of the Republic of Indonesia to reduce conflict in Aceh in the form of various policies. From the pattern of violence, mediation, enactment of the Regional Military Operation, to finally negotiations for peace. Negotiations eventually served as the final conflict resolution in order to quell the raging turmoil. After the Aceh Tsunami in December 2004, an agreement was finally reached in Helsinki between the government of the Republic of Indonesia and the elders of the Free Aceh Movement. Among the resolutions obtained are the enactment of Sharia law or Qonun in Aceh, as a legal law that regulates the life of the Acehnese in an Islamic manner.Keywords: Conflict Resolution, Sharia Law, National Disintegration Abstrak: Upaya yang telah dilakukan pemerintah Republik Indonesia dalam meredam konflik di Aceh dalam bentuk kebijakan beranekaragam. Dari pola kekerasaan, mediasi, pemberlakuan Daerah Operasi Militer, hingga perundingan untuk perdamaian. Perundingan akhirnya dijadikan sebagai resolusi konflik terakhir guna meredam gejolak yang berkecamuk. Pasca terjadinya Tsunami Aceh pada bulan Desember 2004, akhirnya dibuatkan kesepakatan di Helsinki antar pemerintah Republik Indonesia dan para tetua Gerakan Aceh Merdeka. Diantara resolusi yang didapatkan adalah pemberlakukan hukum Syariah atau Qonun di Aceh, sebagai hukum legal yang mengatur kehidupan masyarakat Aceh secara Islami. Kata Kunci: Resolusi Konflik, Hukum Syariah, Disintegrasi Bangsa
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Yahya, Ristati M., Khairawati M. Hanafiah, Nurlela Ima Abdullah, and Zulham Ibrahim. "The Disappointed of Economic Assistance in Aceh: Study Disempowerment of the Former Free Aceh Movement’s Widow." SHS Web of Conferences 54 (2018): 08008. http://dx.doi.org/10.1051/shsconf/20185408008.

Full text
Abstract:
The ancient conflict in Indonesia’s regional history has been ended, particular between the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka (GAM) and the central government. Since the peace took place in the region in 2005, it doesn’t mean that all social aspect has covered up peacefully. In the beginning, the peace talks aimed at ensuring the economic recovery for all who have been victimized from the conflict. In fact, there is still remained dispute within society, specially, among Acehnese, such as economic empowerment of the former Free Aceh Movement’s widows, who were part of the conflict victimized; so far their economic life stays under developed. Thus, this research objective tries to address the above backwardness phenomenon. The methodology used is qualitative approach, in which the data is collected through field works by interview. The result of the study concludes that the widow of the former free Aceh movement keeps remained forgettable from the local economic development. It is approved by no any single assistance from Aceh government as well as member of Aceh legislature surrendered to them. Although, there is some assistance, unfortunately, it does not resolve their economic livelihood.1
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Rafiie, Said Achmad Kabiru, Amir Husni, and Said Atah. "ACEHNESE WARS AND LEARNING FROM 12YEARS OF PEACE IN ACEH." Analisa: Journal of Social Science and Religion 2, no. 2 (December 29, 2017): 161. http://dx.doi.org/10.18784/analisa.v2i2.565.

Full text
Abstract:
This paper aims to discuss the history of Acehnese wars and the progress of peace in Aceh after the signing of the Memorandum of Understanding between the Aceh Freedom Movement, or Gerakan Aceh Merdeka (GAM), and the Republic of Indonesia in Helsinki on August 15th, 2005. Prior to this, Aceh was a tense region and home to the longest armed conflict in Southeast Asia – underway since 1982. The people of Aceh were fighting to realize the concept of self-independence. However, the movement came to a stop when the devastating tsunami hit Aceh on December 26th, 2004. The purpose of this paper is to discuss the root of Acehnese wars. The paper will provide the current political, social, economic and cultural achievements since Aceh entered into a new chapter of peace. Using qualitative approach, the theory of inequality and conflict and Fanon’s ideas, this paper offers a comprehensive perspective on learning from Aceh wars and conflicts. This study found that the motive of wars in Aceh can be divided from group motive, private motivation, failure of social contract and environment scarcity. Moreover, the research confirms that social and economic progress in Aceh has not been as successful as its political achievements. Furthermore, in terms of culture, progress has been ambiguous. This paper aims to provide a better understanding of how to maintain peace in Aceh by addressing social, political, economic and cultural issues with the goal of attaining prosperity and well-being for the people of Aceh.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Usman, Jarjani. "METAPHORS IN THE EX-GAM’S POLITICAL DISCOURSES DURING PRE-PUBLIC ELECTIONS IN ACEH." Englisia Journal 4, no. 2 (August 27, 2017): 116. http://dx.doi.org/10.22373/ej.v4i2.1667.

Full text
Abstract:
The Free Aceh Movement, locally called Gerakan Aceh Merdeka (GAM), developed several unique political discourses after having signed a peace accord with the Government of Indonesia (GoI) in Helsinki in 2005. The discourses created are metaphorical in Acehnese language, aimed to structure people’s mind and to be accepted and transformed into their actions that supported GAM during pre-public election post conflicts. However, research on analyzing the metaphors is scant. This research used Lakoff and Johnson’s (1980a, 1980b) conceptual metaphor and Fairclough’s framework of Critical Discourse Analysis (CDA) to critically analyze the political discourses in order to unveil the meaning and their ideology position. The research shows the most commonly used metaphor was ELECTION IS A BATTLE. However, the currently used political metaphors are more persuasive, urging people to voluntarily come back to their political party, than previously used ones that seemed to strongly force people to be on their side.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Rahmawati, Arifah, Dewi H. Susilastuti, Mohtar Mas'oed, and Muhadjir Darwin. "The Negotiation of Political Identity and Rise of Social Citizenship: A Study of the Former Female Combatants in Aceh Since the Helsinki Peace Accord." Jurnal Humaniora 30, no. 3 (October 2, 2018): 237. http://dx.doi.org/10.22146/jh.32653.

Full text
Abstract:
An identity negotiation process, initiated after the peace agreement was reached, is currently underway in Aceh. This can be seen, for example, in the activities of the women joined in the Inong Balee troop, the women's wing of the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) formed in the late 1990s. Their participation as women combatants is inseparable from the strong ethno-nationalistic identity and ethno-political struggle that sought Aceh's independence. Today, more than twelve years after peace was reached in Aceh, the Acehnese ethno-political identity has experienced a transformation. Although it has not entirely disappeared, their activities have been framed as part of Indonesian nationalism. This finding emphasizes that nation is not fixed, but transformable and negotiable. The once ethno-political identity has become a social national identity. This paper attempts to understand how former woman members of GAM through a qualitative narrative. This paper attempts to answer why this has happened and how former combatants have negotiated their identities. Is there still a sense of Acehnese nationalism, as they fought for, and how has this intersected with their Indonesian nationalism since they became ordinary citizens?
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Rahmawati, Arifah, Dewi H. Susilastuti, Mohtar Mas'oed, and Muhadjir Darwin. "The Negotiation of Political Identity and Rise of Social Citizenship: A Study of the Former Female Combatants in Aceh Since the Helsinki Peace Accord." Jurnal Humaniora 30, no. 3 (October 2, 2018): 237. http://dx.doi.org/10.22146/jh.v30i3.32653.

Full text
Abstract:
An identity negotiation process, initiated after the peace agreement was reached, is currently underway in Aceh. This can be seen, for example, in the activities of the women joined in the Inong Balee troop, the women's wing of the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) formed in the late 1990s. Their participation as women combatants is inseparable from the strong ethno-nationalistic identity and ethno-political struggle that sought Aceh's independence. Today, more than twelve years after peace was reached in Aceh, the Acehnese ethno-political identity has experienced a transformation. Although it has not entirely disappeared, their activities have been framed as part of Indonesian nationalism. This finding emphasizes that nation is not fixed, but transformable and negotiable. The once ethno-political identity has become a social national identity. This paper attempts to understand how former woman members of GAM through a qualitative narrative. This paper attempts to answer why this has happened and how former combatants have negotiated their identities. Is there still a sense of Acehnese nationalism, as they fought for, and how has this intersected with their Indonesian nationalism since they became ordinary citizens?
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Ashari, Mohamad Oky Muji. "Kedudukan dan Kewenangan TNI dalam Mencegah Tindak Pidana Terorisme." Jurist-Diction 3, no. 2 (March 11, 2020): 471. http://dx.doi.org/10.20473/jd.v3i2.18199.

Full text
Abstract:
Kedudukan Tentara Nasional Indonesia merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan Negara sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002. Tentara Nasional Indonesia berwenang dalam penanggulangan tindakan pidana terorisme, berpedoman pada tugas pokok TNI. Hubungan antara Tentara Nasional Indonesia dengan POLRI dalam upayah penanggulangan tindak pidana terorisme. Kewenangan Tentara Nasional Indonesia secara signifikan tertera didalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pada pasal 7 sebagai tugas pokok Tentara Nasional Indonesia, Tugas pokok Tentara Nasional Indonesia secara tegas telah mengatur tentang mengatasi aksi terorisme seperti pada pasal 7 ayat 2b butir. Dalam pasal 7 ayat 2b ini terdapat ketentuan mengatasi gerakan separatis bersenjata, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia telah diatur dalam pasal 70 ayat 1. Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, terdapat pula aturan yang mengatur hubungan dengan institusi lain, yakni terdapat pada pasal 42 ayat 1.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Tarfi, Akhyar, and Ikhwan Amri. "Reforma Agraria sebagai Jalan menuju Perdamaian yang Berkelanjutan di Aceh." BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan 7, no. 2 (December 12, 2021): 210–25. http://dx.doi.org/10.31292/bhumi.v7i2.509.

Full text
Abstract:
Abstract: The signing of the Helsinki Memorandum of Understanding (MoU) in 2005 marked the end of the Indonesian government's decades-long conflict with the Free Aceh Movement. One of the deals in the Helsinki MoU is to provide farming land to former combatants, amnestied political prisoners, and conflict victims as a form of reintegration and livelihood restoration. However, this activity did not run effectively for a dozen years after the peace deal due to the absence of regulations and authorities in its implementation. Based on this background, this paper examines the role of Agrarian Reform on the policy of agricultural land provision to the people related to the Aceh conflict. This research used a qualitative approach, and relied on observational data and literature review. Agrarian Reform can be an alternative strategy for post-conflict peacebuilding. The concept of asset reform and access reform offered in the Agrarian Reform can be adopted to realize the allocation of agricultural land by the mandate of the Helsinki MoU. The main problems found so far are that there is no regulation regarding the granting of land rights in the law, authority, and several obstacles in its implementation. This paper also provides a crucial lesson that proper agrarian policy contributes to the prevention of recurring conflicts that have the potential to cause national disintegration. Keywords: Agrarian Reform, Free Aceh Movement, Helsinki MoU, Land Redistribution, Peacebuilding Intisari : Penandatanganan Momerandum of Understanding (MoU) Helsinki pada tahun 2005 menandai berakhirnya konflik pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka selama beberapa dekade. Salah satu kesepakatan di dalam MoU Helsinki adalah menyediakan tanah pertanian kepada mantan kombatan, tahanan politik yang memperoleh amnesti, dan korban konflik sebagai bentuk reintegrasi dan pemulihan penghidupan. Namun, kegiatan ini tidak berjalan secara efektif selama belasan tahun setelah perjanjian damai karena belum adanya regulasi dan kewenangan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini mengkaji peran Reforma Agraria terhadap kebijakan penyediaan tanah pertanian untuk masyarakat yang berkaitan dengan konflik Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, serta mengandalkan data observasi dan tinjauan literatur. Reforma Agraria dapat menjadi strategi alternatif pembangunan perdamaian pasca-konflik. Konsep penataan aset dan penataan akses yang ditawarkan di dalam Reforma Agraria dapat diadopsi untuk merealisasikan alokasi tanah pertanian sesuai amanah MoU Helsinki. Permasalahan-permasalahan utama yang ditemukan selama ini adalah belum adanya pengaturan mengenai pemberian hak atas tanah tersebut di dalam peraturan perundang-undangan, kewenangan, dan sejumlah hambatan dalam pelaksanaannya. Tulisan ini juga memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan agraria yang tepat dapat berkontribusi terhadap pencegahan konflik berulang yang dapat berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa. Kata Kunci: Gerakan Aceh Merdeka, MoU Helsinki, Pembangunan Perdamaian, Redistribusi Tanah, Reforma Agraria
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Fitriyanah, *Pipit, and Mawardi Umar. "Aktivis Perempuan Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dari Aceh: Biografi Suraiya Kamaruzzaman (1968-2022)." JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah 7, no. 4 (November 1, 2022): 236–52. http://dx.doi.org/10.24815/jimps.v7i4.22173.

Full text
Abstract:
Penelitian ini berjudul “Perempuan Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dari Aceh: Biografi Suraiya Kamaruzzaman (1968-2022)”, adapun tujuan dalam penelitian ini adalah; menjelaskan latar belakang kehidupan Suraiya Kamaruzzaman sejak dini hingga dewasa serta riwayat pendidikannya, menjelaskan faktor yang mempengaruhi ia menjadi aktivis HAM, dan menjelaskan kiprahnya sebagai aktivis perempuan HAM. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian sejarah. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan. Sumber-sumber yang digunakan meliputi sumber primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui Suraiya Kamaruzzaman terjun menjadi aktivis perempuan HAM tidak lepas dari dukungan keluarga dan kerabat untuk membantu perempuan korban konflik di Aceh, semangat keberanian Suraiya selama menjadi akivis diwariskan dari nama besar kakeknya sebagai ulama kharismatik Aceh dengan julukan Abu Lam U. Faktor yang mendorong Suraiya Kamaruzzaman menjadi aktivis perempuan HAM di latar belakangi oleh kondisi sosial, budaya, dan politik Aceh yang tidak stabil akibat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan bencana Tsunami, Suraiya juga menempuh pendidikan pascasarjana Jurusan Social Human Right di Hongkong University sehingga secara bidang keilmuan semakin mendukung Suraiya sebagai aktivis HAM. Kiprahnya sebagai aktivis di awali dengan adanya peran dalam pendirian Flower Aceh dan Balai Syura Uerung Inong Aceh (BSUIA) lembaga yang berfokus pada pemberdayaan perempuan serta memberikan bantuan advokasi kepada masyarakat yang membutuhkan, membuat Suraiya Kamaruzzaman memperoleh prestasi dan penghargaan sebagai aktivis perempuan yang inspiratif dari Aceh dan pantas menjadi suri tauladan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Hidayat, Fattah, and Yudi Tri Harsono. "Pelatihan Coping Stres untuk guru mantan Kombatan GAM di Daerah Istimewa Aceh." PLAKAT (Pelayanan Kepada Masyarakat) 1, no. 1 (October 2, 2019): 79. http://dx.doi.org/10.30872/plakat.v1i1.2688.

Full text
Abstract:
Pasca Tsunami Aceh di tahun 2004 masih memberikan dampak negatif berujud stres bagi korban Tsunami baik orang sipil maupun mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Pelatihan bertujuan agar peserta dapat memahami dan berperilaku pentingnya menghadapi stres, mengidentifikasi potensi dan sumber stres di tempat kerja, melakukan pencegahan kecelakaan kerja, mengelola emosi negatif berbahaya dan penanggulangannya, menggunakan mekanisme pertahanan diri yang sehat, melakukan pencegahan serta menyusun program pengendalian stres di pondok pesantren Sufi Muda.Pelatihan ini diselenggarakan pada tanggal 25 Februari s.d. 27 Februari 2019 bertempat di Ruang Baru Pondok Sufi Muda. Peserta pelatihan non random sebanyak 20 orang guru mantan kombatan GAM dengan instruktur dosen Psikologi Universitas Negeri Malang . Metode pelatihan pre dan post tes yang digunakan meliputi: ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi dan penugasan dan psikoterapi. Hasil pelatihan coping stres terjadi perubahan pre post test dengan teknik analisis paired t test , p < 0.05 mean pre dan post berbeda . Saran pelatihan adalah adanya penambahan subyek pengabdian, kelompok kontrol dan menggunakan random assignment sehingga generalisasi untuk korban bencana dapat diperluas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Yunus, Muhammad. "MENJADI JANDA DI KAMPUNG JANDA: NARASI HISTORIS PEREMPUAN KORBAN KONFLIK DI PIDIE JAYA." Jurnal Adabiya 23, no. 2 (August 28, 2021): 177. http://dx.doi.org/10.22373/adabiya.v23i2.10265.

Full text
Abstract:
Penelitian ini dengan judul Narasi dan Resolusi Konflik dalam Memori Perempuan Aceh (Kajian Historis Survivenya Perempuan di Gampong Janda Pidie Jaya) mengkaji dan membicarakan tentang bagaimana perempuan Aceh hidup dan survive dalam daerah konflik bersenjata antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama periode konflik Aceh 1989-2004, yang direpresentasi oleh tiga perempuan Gampong Cot Keng di Kabupaten Pidie Jaya sebagai sumber utama. Tujuan penelitian adalah untuk menarasikan, bagaimana mereka survive dalam konflik, apa saja yang dilakukan agar mereka bertahan hidup dalam konflik baik personal dan keluarga, adakah mereka melakukan usaha-usaha untuk memulihkan diri dari dampak konflik baik secara personel maupun ramai-ramai, adakah mereka melakukan usaha-usaha untuk menyelesaikan konflik di wilayah mereka termasuk menuntut keadilan dan mendokumentasi peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Aceh khusus peristiwa konflik aceh 1989-2004 yang berbasis pada memori masyarakat aceh khususnya perempuan. Dengan menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang dimaksudkan sebagai upaya eksplorasi mengenai suatu kenyataan social dalam perspektif sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan merupakan yang paling lemah ketika konflik berlangsung karena ketidakmampuan mereka untuk berpindah ke tempat lebih aman untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan seperti uapaya yang dilakukan oleh laki-laki, disebabkan karena tanggungjawab mereka terhadap anak, keluarga dan harta benda. Di sisi lain keyakinan dan aktivitas keagamaan sangat membantu para perempuan dalam melawan ketakutan ketika periode konflik berlangsung dan membantu memulihkan trauma akibat konflik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Sriwidodo, Lukman Dwi Hadi Putra. "Pertanggungjawaban Negara Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Di Aceh Melalui Mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh." Jurist-Diction 3, no. 6 (November 2, 2020): 2261. http://dx.doi.org/10.20473/jd.v3i6.22971.

Full text
Abstract:
Upaya untuk mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat telah lama dilakukan dengan adanya mekanisme non-yudisial yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Ini membuka jalan bagi pengungkapan kebenaran. Proses ini sangat penting dilakukan untuk meminimalisir konflik warisan yang dapat menjadi penghalang bagi masa depan bangsa. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi, menjunjung tinggi dan memajukan Hak Asasi Manusia bagi warga negara. Belajar dari penelitian ini, negara memiliki undang-undang terkait untuk kebenaran dan rekonsiliasi, terutama dalam menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu. Namun, undang-undang yang awalnya menjadi dasar hukum untuk mengungkapkan kebenaran telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Karenanya, tidak ada lagi dasar hukum untuk kebenaran dan rekonsiliasi di Indonesia. Namun, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh telah dibentuk berdasarkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki). MoU ini telah diadaptasi menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013. Artikel ini berfokus pada dua pertanyaan, apa posisi hukum dan wewenang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dalam sistem hukum Indonesia dalam menjamin dan melindungi hak-hak para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam kasus-kasus di Aceh, dan apakah mekanisme perlindungan dan pertanggungjawaban Negara dalam memberikan langkah-langkah hukum dapat memenuhi hak-hak para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di Aceh.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Al Chaidar, M. Akmal, Saifullah Ali, Nanda Amalia, and Dara Quthni Effida. "Mindanao, Konflik dan Terorisme: Kajian Pendahuluan atas Ketegangan di Filipina Selatan." SIASAT 2, no. 1 (January 15, 2018): 1–12. http://dx.doi.org/10.33258/siasat.v3i1.1.

Full text
Abstract:
Mindanao is the second largest island in Philippines and one of the three main island groups along with Luzon and Visayas, the South Philippines . Mindanao is one of region in Southeast Asia which has been spectacularly a bright spot of world-class terrorism, because of the very high incidents of piracy and the ever-growing threat of terrorism. Southeast Asia is the region most vulnerable to piracy, accounting for about 50 percent of all attacks worldwide. This situation is exacerbated by the indigenous people of terrorist groups with strong maritime traditions. The nexus exchange between piracy and terrorism makes maritime terrorism in Southeast Asia a regional security concern. The Abu Sayyaf (ASG), Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM), and Jemaah Islamiyah (JI) are the three terrorist groups in South Philippines, Southeast Asia with the intent and proven ability to engage in maritime terrorism. Of this group, the Abu Sayyaf is the best known but least understood and it has been source of tension in the South Philippines and Southeast Asia
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Syuib, Muhammad, and Desi Hasnawati. "Implementasi Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Pasca 15 Tahun MoU Helsinki." Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum 11, no. 1 (August 16, 2022): 117. http://dx.doi.org/10.22373/legitimasi.v11i1.13463.

Full text
Abstract:
Abstract: Truth and Reconciliation Commission of Aceh is established as a logical consequence of peace agreement between the Government of Republic of Indonesia and Free Aceh Movement. Now, the peace period is turning into 15 years old. One aspect has been criticized so far, is the performance of KKR Aceh in implementing the agreement of MoU Helsinki, given, the institution has a vital role to advocate transitional justice in Aceh, especially for conflict victims. The research questions are how far the successful of KKR Aceh in advocating the justice for victims of conflict in Aceh and what are the advantages faced in the field. The research method is juridical empiric which is overseeing between the rules and the practice and also using cases approach. The result is, the performance of KKR Aceh is not running optimally yet in presenting the justice for victims of armed-conflict in Aceh, due to having the less support of financial and also human resource from government.Abstrak: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dibentuk sebagai konsekuensi logis dari kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki. Kini, usia perdamaian itu sudah mencapai 15 tahun. Salah satu yang menjadi sorotan selama kurun waktu tersebut adalah kinerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dalam menjalankan amanah MoU Helsinki. Mengingat lembaga ini memiliki peran penting untuk menghadirkan keadilan transisi di Aceh, khususnya bagi Korban konflik. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana kiprah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dalam menghadirkan keadilan bagi korban konflik di Aceh serta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melaksanakan kerja-kerja KKR Aceh. Jenis penelitian ini adalah yuridis empiris yakni penelitian yang melihat antara aturan dan prakteknya di lapangan, sedangkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kasus. Hasil penelitian ditemukan bahwa kiprah KKR Aceh belum berjalan maksimal dalam menghadirkan keadilan bagi korban konflik dikarenakan lemahnya dukungan anggaran dan juga sumber daya manusia dalam melaknsankan kerja-kerja KKR di lapangan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Abdullah, Sait. "Who has got what?, Why? And How?: The Political Economy of Reintegration Policy in Aceh." Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi 16, no. 2 (December 28, 2019): 243–57. http://dx.doi.org/10.31113/jia.v16i2.515.

Full text
Abstract:
Abstract This article focuses on the power relations between elite and non-elite former GAM (Gerakan Aceh Merdeka) combatants in the post conflict reintegration policy in Aceh. A number of scholars have linked the post conflict reintegration to the GAM ex-commanders conflicts over predatory processes of resource appropriation. However what is missing in their account is that the attentions to the rank and file ex-fighters, including women ex-combatants. The finding of the study suggests that the post conflict reintegration has provided opportunities for the former GAM commanders to build and consolidate their political and economic power. Since the former GAM commanders occupied the reconstruction space, they have captured the peace building processes through their predatory behaviour and patrimonial networks. In this context, the ex-commanders GAM elite has become a new dominant post conflict group while the non-elite group of the rank and file ex-combatants, particularly women ex-combatants, lost opportunities to enhance their welfare. As local elites are powerful, they have the capacity to select who are excluded from and included in their alliances. In these circumstances, the welfare outcomes from post conflict reintegration will beframed in terms of ‘who has got what?’, ‘why?’,and ‘how?’.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Stokke, Kristian, Olle Törnquist, and Gyda Marås Sindre. "Conflict Resolution and Democratisation in the Aftermath of the 2004 Tsunami: A Comparative Study of Aceh and Sri Lanka." PCD Journal 1, no. 1-2 (June 6, 2017): 129. http://dx.doi.org/10.22146/pcd.25670.

Full text
Abstract:
The earthquake off the west coast of Sumatra on 26 December 2004 unleashed a tsunami in the Indian Ocean that affected more than a dozen countries throughout South and Southeast Asia and stretched as far as the northeastern coast of Africa. The two worst affected areas - North-East Sri Lanka and the Aceh region in Indonesia - have both been marked by protracted intra-state armed conflicts. In the immediate aftermath of the tsunami, international journalists and humanitarian actors argued that the disaster could actually constitute and opportunity for conflict resolution, as the scale and urgency of humanitarian needs should bring the protagonists together in joint efforts for relief, reconstruction and conflict resolution. In contrast, research on the impacts of natural disasters often concludes that disasters tend to deepen rather than resolve conflicts. Four years after the tsunami it can be observed that Aceh and North-East Sri Lanka have followed highly divergent trajectories. In Aceh, a Memorandum of Understanding between the Government of Indonesia and Gerakan Aceh Merdeka (GAM) was signed shortly after the tsunami and has been followed by peace and a process od political integration into Indonesian democracy. In Sri Lanka, the tsunami created a humanitarian pause from the gradual escalation of hostilities and an attempt to create a joint mechanism between the Government of Sri Lanka (GOSL) and the Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) for handling humanitarian aid, but Sri Lanka has since the returned to full-scale warfare between the GOSL and LTTE. This brief article, which is based on work in progress, will highlight some key lessons and preliminary conclusions for each of these research quetions: (1) How and to what extent has reconstruction/development been linked to processes of conflict resolution and rights based democratization?; (2) How and to what extent has a process of rights based democratization been related to the parallel processes of revonstruction/development and conflict resolution?; (3) How and to what extent have the parallel processes of reconstruction/development, conflict resolution and democratization generated political transformations of the armed insurgency movements?
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Fidiyani, Rini. "BUILDING DIMENSIONAL DEVELOPMENT IN MANAGING COMPLETION OF FREEDOM OF RELEGIOUS AND BELEIF CONFLICT IN INDONESIA." Journal of Private and Commercial Law 2, no. 2 (November 26, 2018): 134–40. http://dx.doi.org/10.15294/jpcl.v2i2.16686.

Full text
Abstract:
Rini FidiyaniFakultas Hukum Universitas Negeri SemarangEmail fidiyani.rini@gmail.comErni Wulandari, S.H., M.HumMahasiswa Program Doktor Ilmu HukumUniversitas Sebelas Maret – SoloEmail erniwulandari.006@gmail.com Abstrak Pendidikan tinggi hukum memiliki sejarah panjang di Indonesia dari masa colonial Hindia Belanda sampai masa sekarang. Peletakan dasar pendidikan tinggi hukum berawal dari pendidikan menengah hukum – Rechtscholl - bagi tenaga kerja Bumi Putera yang dijadikan pegawai ambtenaar yang dibayar murah. Tugas lulusan Rechtscholl membantu pekerjaan aparat hukum dari golongan penduduk Eropa, khususnya Belanda. Atas tuntutan politik etis dan menggema konsep negara nasionalis merdeka dari segala bentuk kolonialisme, pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuka pendidikan tinggi hukum yang berlanjut hingga sekarang. Sekarang kita telah memasuki pendidikan tinggi hukum yang bersinggungan dengan kompleksitas globalisasi menyangkut beraneka kebutuhan dan masyarakat serta area. Tuntutan pendidikan tinggi hukum masa sekarang bukan sekedar mencetak sarjana hukum yang mahir menyusun berdokumen hukum sebagai kemahiran hardskill bahkan meluas sampai pada softskill dalam mengelola penyelesaian konflik menyangkut kepekaan social, rasa empati, sikap disiplin dan kesetaraan berkomunikasi dengan pihak yang berkonflik. Konflik Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di negara Indonesia rentan terjadi sehubungan masyarakat kita merupakan heterogen dan kasus konflik sudah terbukti menyebar di Indonesia. Seperti konflik Gerakan Aceh Merdeka, Papua, Poso. Profil memiliki kemahiran berdialog merupakan kemahiran softskill yang wajib dikuasi bagi lulusan pendidikan tinggi hukum dalam mengelola penyeleaian sengketa hukum dan atau konflik yang sekarang mudah muncul dalam berbagai sector kehidupan salah satunya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kemahiran personal dialogonal membutuhkan modal dan latihan khusus yang terarah dan berkesinambungan dalam membangun kemahiran tersebut. Salah satunya dalam pengelolaan penyelesaian konflik kebebasan beragama berkeyakinan di Indonesia sekaligus peluang baru dalam profesi bagi lulusan pendidikan tinggi hukum.Kata Kunci: konflik, kebebasan beragama berkeyakinan, personal dialogonal
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Ikromatoun, Siti. "RESPON MASYARAKAT ACEH TERHADAP ATURAN DAN IMPLEMENTASI SYARIAT ISLAM PASCA TSUNAMI." Jurnal Sosiologi Reflektif 11, no. 1 (October 2, 2017): 1. http://dx.doi.org/10.14421/jsr.v11i1.1261.

Full text
Abstract:
2004 Indian ocean earthquake and tsunami changed Aceh society significantly in particular political, social and culture system. Just before the tsunami hit Aceh, Islamic law was vigorously implemented by the Govermentof Aceh. After the tsunami, the dynamic of Islamic law in Aceh changed. The aim of this research is to envisage Banda Aceh city residents’ response of Islamic law rule and implementation after 2004 Indian ocean earth quake and tsunami. Data were collected qualitatively by applying observation and interiew method. Participants of this research were sellected purposively. The results showed that the new leadership post-tsunami Aceh gives the impression of anelitist that caused various negative reactions and responses from the public. Most people think that the new administration is less concerned and lessserious in implementing Islamic law holistically. A pragmatic attitude towards the rules of Islamic law emerged in some communities, especially the younger generation. Therefore, for some open-minded and crtical people, the implemen tation of Islamic law is seen deteriorating as Islamic law is often only becomes an attribute and a tool of legitimacy to the ruling elite. Therefore, it is necessary to revitalize Islamic law at both the elite and the people level, for example by doing a cultural movement. This movement aims to rebuild the spirit enforce Sharia Law which are cultural, not a political and elitist.Key words : Islam Sharia, elite and society responsePeristiwa tsunami merupakan momentum besar bagi perubahan masyarakat Aceh. Tsunami disebut sebagai cikal bakal per damaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (RI). Dalam per janjian damai disepakati bahwa anggota GAM diberi kan kebebasan menjadi warga sipil kembali, artinya GAM diberikan hak politik penuh sebagai warga Negara Indonesia. Kesepakatan damai juga memberikan ruang bagi anggota GAM untuk berpartisipasi dalam politik praktis. Hal itu terbukti dengan peralihan kepemimpinan pasca Tsunami ke tangan mantan anggota GAM. Perubahan kepemimpinan dan sistem politik ini membawa pengaruh pada dinamika penerapan syariat Islam yang baru disahkan menjadi peraturan daerah Aceh beberapa tahun sebelum Tsunami. Implementasi syariat Islam sesaat sebelum Tsunami sedang sangat gencar diterapkan oleh pemerintah, sehingga perubahan sistem politik ber dampak pada dinamika sosial budaya masyarakat Aceh. Kepemimpinan Aceh yang baru pasca Tsunami memberikan kesan elitis, yang kemudian menimbulkan berbagai reaksi dan respon dari masyarakat. Sebagian masya rakat menganggap pemerintahan yang baru kurang peduli dan kurang serius dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sikap pragmatis terhadap perda syariat Islam muncul di sebagian masyarakat, terutama generasi mud, sehingga bagi sebagian kelompok masyarakat yang kritis, menganggap bahwa implementasi syariat Islam semakin merosot. Syariat Islam sering kali hanya menjadi atribut dan alat legitimasi bagi elit yang berkuasa, bahkan terkesan dipolitisasi. Oleh karena itu, perlu adanya revitalisasi syariat Islam baik di tingkat elit maupun masyarakat.Gerakan kultural merupakan salah satu alternatif yang perlu dibentuk untuk membangun kembali semangat menjalankan syariat Islam yang bersifat kultural, bukan politis dan elitis
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Sunarto, Scolastika Elsa Resty, Yoseph Yapi Taum, and Susilawati Endah Peni Adji. "KEKERASAN DALAM NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN KARYA ARAFAT NUR: PERSPEKTIF JOHAN GALTUNG." Sintesis 15, no. 2 (November 12, 2021): 98–112. http://dx.doi.org/10.24071/sin.v15i2.3816.

Full text
Abstract:
ABSTRAKPenulis menggunakan paradigma Werren dan Wellek yang membagi penelitian sastra atas dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis struktur cerita dalam Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data, deskriptif kualitatif, dan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak catat, dan studi pustaka. Hasil analisis struktur intrinsik pembangun cerita yang terdiri atas alur, tokoh dan penokohan, serta latar dalam Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur adalah sebagai berikut. Alur dalam novel terbagi atas (1) peristiwa, (2) konflik, dan (3) klimaks. Tokoh dan penokohan terbagi atas (1) tokoh utama, (2) tokoh tambahan. Latar terbagi atas (1) latar tempat, (2) latar waktu, dan (3) latar sosial. Hasil dari penelitian bentuk-bentuk kekerasan sebagai berikut. Kekerasan yang terdapat dalam novel dibagi menjadi tiga, yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya. Kekerasan langsung dalam penelitian ini masih dibagi lagi menjadi tiga, yaitu (1) kekerasan langsung terhadap tokoh utama, (2) kekerasan langsung terhadap rakyat Aceh, dan (3) kekerasan langsung terhadap perempuan. Dalam kekerasan struktural, pemerintah menjadi penggerak terjadinya peristiwa kerusuhan di Aceh. Pemerintah melalui kebijakankebijakannya telah membuat alam di Aceh terkuras, rakyat Aceh yang berjuang untuk merebut kembali juga mendapatkan penindasan dari tentara suruhan pemerintah, dan kekerasan budaya dalam penelitian ini juga masih dibagi lagi menjadi tiga, yaitu (1) Gerakan Aceh Merdeka, (2) Ideologi Islam, dan (3) kekerasan terhadap perempuan. Kata Kunci: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural, Kekerasan Budaya, Johan Galtung, Deskriptif Kualitatif ABSTRACTThe author uses Werren and Wellek's paradigm which divides literary research into two approaches, namely intrinsic and extrinsic approaches. An intrinsic approach is used to analyze the structure of the story in Arafat Nur's Lolong Dog di Bulan Novel. In this study, researchers used data analysis methods, qualitative descriptive, and data collection techniques using note-taking techniques, and literature study. The results of the analysis of the intrinsic structure of the story builder consisting of plot, characters and characterizations, as well as the setting in Arafat Nur's Lolong Dog di Bulan Novel are as follows. The plot in the novel is divided into (1) events, (2) conflict, and (3) climax. Characters and characterizations are divided into (1) main character, (2) additional character. The setting is divided into (1) place setting, (2) time setting, and (3) social setting. The results of the research on forms of violence are as follows. The violence contained in the novel is divided into three, namely direct violence, structural violence, and cultural violence. Direct violence in this study is further divided into three, namely (1) direct violence against the main character, (2) direct violence against the people of Aceh, and (3) direct violence against women. In structural violence, the government became the driving force behind the riots in Aceh. The government through its policies has depleted nature in Aceh, the Acehnese who are struggling to reclaim it have also received oppression from government troops, and cultural violence in this study is still further divided into three, namely (1) the Free Aceh Movement, (2) Ideology Islam, and (3) violence against women. Keywords: Direct Violence, Structural Violence, Cultural Violence, Johan Galtung, Qualitative Descriptive
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Ruhdiara, Ruhdiara. "Rekonstruksi Syariat Islam di Aceh dalam Lintas Sejarah." Jurnal Pattingalloang 9, no. 3 (December 29, 2022): 270. http://dx.doi.org/10.26858/jp.v9i3.41014.

Full text
Abstract:
Aceh merupakan salah satu Provinsi yang memiliki keistimewaan khusus dalam berbagai hal, diantaranya dalam hal mendirikan Partai lokal, dan juga dalam menjalankan Syariat Islam. Perjuangan provinsi Aceh untuk memiliki keistimewaan melalui jalan yang panjang, dimulai pada masa Daud Berueh yang berkompromi dengan Soekarno untuk menjadikan Aceh sebagai daerah istiemewa namun tak dipenuhi, hingga kemunculan Gerakan Aceh Merdeka atas refresif pemerintahan Soeharto. (GAM) yang di pelapori oleh Hasan Tiro. Pemerintahan pusat mulai dari Soeharto sampai ke Megawati Soekarno Putri melakukan berbagai upaya untuk mengakhiri konflik antara pemerintah RI dengan Aceh, namun tidak pernah berhasil. Karena disebabkan jalan damai yang di tempuh selalu merugikan satu pihak. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah (historis research). Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh memiliki dua sisi yang berbeda, Pertama; sisi ke–Indonesiaan, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Aceh ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sisi ini dapat dilihat bahwa proses-proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang genuine dan alamiah, tapi lebih merupakan suatu move dan kebijakan politik dalam rangka mencegah Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI. Penerapan syariat Islamya pada tahap ini, yakni untuk meminimalisir ketidakpuasan Aceh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, dan lebih merupakan political, langkah politik darurat, untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan republik, yang bertujuan untuk mendatangkan kenyamanan psikologis bagi masyarakat Aceh. Kedua; gagasan atau tujuan dari rakyat Aceh. Artinya bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan cita-cita dan hasrat yang sudah lama terpendam sejak zaman DI/TII yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud Beureueh. Untuk menwujudnkan tujuan-tujuan tersebut Pemerintah Indonesia Melaui DPR-RI telah mensahkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 yang mengatur pelaksanaan untuk keistimewaan yang diberikan kepada Aceh pada Tahun 1959. Setelah itu, disahkan pula Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Dalam undang-undang ini, kepada Aceh diberikan Peradilan Syariat Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syariah, yang kewenangannya ditetapkan oleh Qanun.Kata Kunci : Aceh, Syariat Islam, Sejarah Reconstruction of Islamic Shari'a in Aceh in HistoryAbtract Aceh is a province that has special privileges in various ways, including in terms of establishing local parties, and also in implementing Islamic law. The struggle for the province of Aceh to have privileges went a long way, starting from the time of Daud Berueh who compromised with Soekarno to make Aceh a special region but this was not fulfilled, until the emergence of the Free Aceh Movement over the reform of Suharto's government. (GAM) which was reported by Hasan Tiro. The central government, starting from Suharto to Megawati Soekarno Putri, made various attempts to end the conflict between the Indonesian government and Aceh but was never successful. Because the path of peace that is taken is always detrimental to one party. The type of research used in this research is library research and the approach used is historical research. While the method used in this research is the descriptive qualitative research method. The results of the study show that the implementation of Islamic law in Aceh has two different sides, first; on the Indonesian side, namely the implementation of Islamic law in Aceh is intended to prevent Aceh from separating from the Unitary State of the Republic of Indonesia. From this point of view, it can be seen that the process of enforcing Islamic law in Aceh is not a genuine and natural process, but rather a political move and policy to prevent Aceh from trying to separate itself from the Unitary State of the Republic of Indonesia. The application of Islamic law at this stage is to minimize Aceh's dissatisfaction with the policies of the central government, and is more of a political, emergency political step, to save Aceh in the bosom of the republic, which aims to bring psychological comfort to the people of Aceh. Second; the ideas or goals of the people of Aceh. This means that the implementation of Islamic law in Aceh is an aspiration and desire that has been hidden for a long time since the DI/TII era led by Teuku Muhammad Daud Beureueh. To realize these goals, the Government of Indonesia, through the DPR-RI, passed Law Number 44 of 1999 which regulates the implementation of the privileges granted to Aceh in 1959. After that, Law Number 18 of 2001 concerning Special Autonomy for the Province of the Special Region of Aceh as the Province of Nangro Aceh Darussalam (NAD). In this law, Aceh is given an Islamic Sharia Court which will be run by the Sharia Court, whose authority is determined by QanunKeywords : Aceh, Islamic Sharia, History
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Hadi, Syamsul. "Lasem: Harmoni dan Kontestasi Masyarakat Bineka." ISLAM NUSANTARA: Journal for Study of Islamic History and Culture 1, no. 1 (July 30, 2020): 163–208. http://dx.doi.org/10.47776/islamnusantara.v1i1.49.

Full text
Abstract:
This article aims to explain how the contestation of social spaces in the lives of the plural society at Lasem it processes dynamically. It is a pattern of space contestation that leads to the affirmation and strengthening of identity or a pattern that leads to the fusion of identities. As a consequence, the first pattern creates social friction or conflict. On the contrary, the second pattern is directed towards acculturation and assimilation of culture which can strengthen social harmony. The important finding of this research is that it can be known the real issue, so that problems related to all parties can be found a solution as well as a resolution. This research also proves that social mechanism preparedness is considered urgent to prevent negative excesses (negative things) from the space contestation. So the space contestation that occurs dynamically proves that the plural society in Lasem has found a valuable experience, namely social resilience in facing all possible emergence of social disintegration.Keywords: contestation, space, social mechanisms and an plural society REFERENCE: Abercrombie, Nicholas, at.all., 2010. Kamus Sosiologi, Terj. Dwi Agus M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Adhyanggono, GM. ad.all., 2009. Budaya Tionghoa Lasem Dalam Peta Tata Pemukiman, Tradisi, Peran Dan Relasi Gender, dalam Angelina Ika Rahutami (Peny.), ”Kekuatan Lokal Sebagai Roh Pembangunan Jawa Tengah”, Semarang: UNIKA Soegijapranata. Amirudin, 2017. Multikulturalisme dalam Produksi Budaya Seni Batik di Lasem, dalam; ”60 Tahun Antropologi Indonesia; Refleksi Kontribusi Antropologi untuk Indonesia”, Jakarta; Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi FISIP UI, 2017. Atabik, Ahmad, 2016. Percampuran Budaya Jawa dan Cina: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem, Jurnal: Sabda, Volume 11, Tahun 2016, pp. 1–11. Azra, Azyumardi, 2011. Nasionalisme, Etnisitas, Dan Agama di Indonesia: Perspektif Islam Dan Ketahanan Budaya, dalam Thung Ju Lan dan M. Azzam Manan (Ed.), ”Nasionalisme Dan Ketahanan Budaya di Indonesia”, Jakarta: LIPI & Yayasan Obor Indonesia. BPS. 2012. Data Monografi Kecamatan Lasem Semester II Tahun 2012, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS. 2017. Data UPT Pendidikan Kabupaten Rembang Tahun 2017, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS Rembang, 2017. Lasem Dalam Angka Tahun 2017, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS Rembang, 2018. Lasem Dalam Angka Tahun 2018, Rembang: Pemkab. Rembang. Daradjati, 2013. Geger Pacinan 1740–1743: Persekutuan Tionghoa – Jawa Melawan VOC, Jakarta: Kompas. Hardiman, F. Budi, 2002 “Belajar dari Politik Multikulturalisme”, pengantar Will Kymlicka, ”Kewargaan Kultural”, Jakarta: LP3ES, 2002. Hartono, Samuel & Handinoto, Lasem: Kota Kuno Di Pantai Utara Jawa Yang Bernuasa Cina, artikel dalam: http://fportfolio. petra.ac.id/user_files/81-005/LASEM.pdf, diunduh pada tanggal 02 Agustus 2018, pukul: 14.23 wib. Hefner, Robert, W., 2001, The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Honolulu: University of Hawai Press. Jary, David & Jary, Yulia, 1991. Collins Dictionary of Sociology, London: Harper Collins Publishers. Khamzah, R.P. 1858. Cerita (Sejarah) Lasem, Katurun/Kajiplak Dening R. Panji Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, Rumpakanipun Mpu Santribadra Nurhajarini, Dwi Ratna, ad.all. 2015. Akulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga – Sekarang), Yogyakarta: BPNB-Yogyakarta. Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Parekh, Bhikhu, 2012. Rethingking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, diterjemahkan dari “Rethingking Multiculturalism, Cuktural Diversity dan Political Theory”, Yogyakarta: Kanisius. Pemkab. Rembang, 2012. Monografi Kecamatan Lasem Tahun 2012. Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Konterporer, Jakarta: Rajawali Press. Purdey, Jemma, 2013. Kekerasan Anti Tionghoa Di Indonesia 1996–1999, Denpasar: Pustaka Larasan. Putra. Ade Yustirandy dan Sartini, 2016. Batik Lasem Sebagai Simbul Akulturasi Nilai-nilai Budaya Jawa-Cina, dalam; Jurnal Jantra Vol. 11, No. 2, Desember 2016. Ritzer, George & Goodman, Douglas J., 2011. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media. Saifullah, Ahmad 2008. Makna Spiritual Arsitektur Masjid, paparan makalah SITI Angkatan Ke-4, dipresentasikan pada Kamis, 17 Juli 2008, Tidak Diterbitkan. Slattery, Martin, 2003. Key Ideas in Sociology, Delta Place Cheltenham: Nelson Thomas Ltd. Soekanto, Soejono. 1985. Karifan Masyarakat Dalam Penegolaan Kseserasian Sosial Ditinjau Dari Segi Hukum, dalam Majalah Bulanan Tahun VII, edisi No. 11/Agustus 1985, pp. 824-830. Suaedy, Ahmad, 2018. Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999–2001, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suryadinata, Leo, 2003. Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme”, Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor: 71, Tahun 2003. Suryadinata, Leo, 2010. Akhirya Diakui Agama Konghucu dan Agama Budha di Pasca-Suharto, dalam, ”Setelah Air Mata Kering” (Ed. I. Wibowo & Thung Ju Lan), Jakarta: Gramedia. Slattery, Martin, 2003. Key Ideas in Sociology, Delta Place Cheltenham: Nelson Thomas Ltd. Tan, Charlene, 2014. Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia, Nanyang Technological University, Singapore. Journal of Arabic and Islamic Studies-14 (2014). Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta. Tim Peneliti, ”Laporan Survei Nasional”: Kerjasama Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia dan UN Women, Januari 2018. Turner, Jonathan H. dan Alexandra Maryanski, 2010. Fungsionalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Unjiya, M. Akrom, 2008. “Lasem Negeri Dampo Awang: Sejarah Yang Terlupakan“, Yogyakarta: Fokmas, Veeger, K.J., 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia. Wallace, Ruth A. dan Wolf, Alison, 2006. Contemporary Sociological Theory: Expanding The Classical Tradition, -6th ed., Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Wiroutomo, Paulus, 2012. Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep, dalam Paulus Wiroutomo, ad.all., ”Sistem Sosial Indonesia”, Jakarta: UI Press & Lab-Sosio. Sumber Internet Surat Kabar Harian “Kompas”, edisi; 15 Pebruari 2014. Surat Kabar Harian “Suara Merdeka”, edisi: 23 Oktober 2019. "Said Aqil Singgung Sentimen Agama dan 212 di Depan Anies", sumber; https://www.cnnindo nesia.com/nasional/20191022212949-20-441966/said-aqil-sing gung-sentimen-agama-dan-212-di-depan-anies, diunduh pada tanggal 23 Oktober 2019. Pukul:07.43 wib.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Sutrisno, Imam Hadi. "Konflik Etnisitas di Aceh Masa Reformasi, 1998-2005." Indonesian Historical Studies 2, no. 1 (July 2, 2018). http://dx.doi.org/10.14710/ihis.v2i1.2863.

Full text
Abstract:
Sejarah Aceh selalu lekat dengan konflik dengan latar politik baik pada masa kolonial maupun Indonesia kontemporer seperti Perang Aceh, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tetapi tulisan ini lebih memfokuskan pada konflik dengan latar etnisitas yang muncul pada masa reformasi 1998-2005. Dengan metode sejarah kritis dapat diketahui, bahwa konflik etnisitas di Aceh masa reformasi itu lebih dipengaruhi oleh euphoria reformasi dan menguatnya semangat otonomi daerah yang direpresentasi sebagai ‘kekuasaan’ yang harus ditangan orang daerah-etnik local dan merupakan konflik harisontal sesama warga bangsa dengan latar etnik yang berbeda. Dalam konflik horisontal ini yang cukup menonjol terjadi antara etnik lokal dengan etnik pendatang terutama etnik Jawa yang dianggap telah menguasai etnik local terutama secara ekonomi dan sosiokultural. Sebagai etnik pendatang, orang-orang Jawa di Aceh secara ekonomi lebih maju dibandingkan penduduk local yang notabene berasal dari etnik setempat. Selain itu, secara sosiokultural orang Jawa di Aceh juga menempati posisi social yang penting dan lebih baik dibandingkan dengan penduduk Aceh. Konflik dengan latar etnik di Aceh tentu berbeda dengan konflik dengan latar dan tujuan politik seperti Tengku Daud Beureureh yang memimpin DI/TII, Tengku Hasan Tiro yang memimpin Gerakan Aceh Merdeka/GAM.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Permanasari, Arlina. "ANALISIS YURIDIS STATUS HUKUM GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM) MENURUT HUKUM HUMANITER." terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM 2, no. 3 (October 7, 2019). http://dx.doi.org/10.25105/teras-lrev.v2i3.5413.

Full text
Abstract:
Sengketa bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat dianggap sebagai sengketa bersenjata non-internasional, menyebabkan pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 berlaku. Istilah yang dianggap tepat adalah pemberontak, dimana GAM telah memiliki kapabilitas untuk dianggap sebagai salah satu pihak yang bersengketa, karena telah memenuhi sebagian besar persyaratan yang diminta dalam hukum humaniter. Walaupun demikian Penerapan pasal 3 Konvensi .Jenewa1949 dalam konflik ini tidak akan merubah status hukum GA
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Permanasari, Arlina. "ANALISIS YURIDIS STATUS HUKUM GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM) MENURUT HUKUM HUMANITER." terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM 3, no. 4 (October 7, 2019). http://dx.doi.org/10.25105/teras-lrev.v3i4.5412.

Full text
Abstract:
Sengketa bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat dianggap sebagai sengketa bersenjata non-internasional, menyebabkan pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 berlaku. Istilah yang dianggap tepat adalah pemberontak, dimana GAM telah memiliki kapabilitas untuk dianggap sebagai salah satu pihak yang bersengketa, karena telah memenuhi sebagian besar persyaratan yang diminta dalam hukum humaniter. Walaupun demikian Penerapan pasal 3 Konvensi .Jenewa1949 dalam konflik ini tidak akan merubah status hukum GAM.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

"REINTEGRASI EKS GERAKAN ACEH MERDEKA (STUDI KEBERLANJUTAN MODAL USAHA MANTAN KOMBATAN GAM DI NISAM ACEH UTARA)." Jurnal Intervensi Sosial dan Pembangunan (JISP) 2, no. 1 (January 25, 2021). http://dx.doi.org/10.30596/jisp.v2i1.4682.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Mali, Sulaiman. "KEADILAN BAGI KORBAN PELANGGARAN BERAT HAM MASA LALU DI ACEH." Jurnal Hukum dan Keadilan "MEDIASI" 1, no. 3 (July 19, 2014). http://dx.doi.org/10.37598/jm.v1i3.309.

Full text
Abstract:
Penyelesaian Pelanggaran Berat Asasi Manusia (HAM) masa lalu di Aceh, sangat memiliki peran yang cukup berarti bagi keberlangsungan kedamaian di Provinsi Aceh, korban pelanggaran berat HAM yang terjadi pada masa DOM, di akibat oleh beberapa factor diantaranya seperti, factor ketidakadilan politik, ekonomi, dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak seimbang, sehingga mengakibatkan konflik yang berkepanjangan, oleh karena itu muncullah Gerakan Aceh Merdeka, maka terjadilah perlawanan bersenjata antara Negara Republik Kesatuan Indonesia dengan GAM, konflik tersebut mengakibatkan pelanggaran berat HAM, korban pelanggaran berat HAM sampai sekarang belum tuntas dalam pelaksanaan penyelesaiannya, untuk itu dalam penyelesaiannya, dapat diselesaikan dengan cara KKR Aceh dengan melihat kearifan local.Kata kunci: keadilan, pelanggaran HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.Â
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Abdi, Rizqa Noor, Joni Wijayanto, and I. Wayan Midhio. "ASPEK DIPLOMASI, STRATEGI PERTAHANAN SEMESTA, DAN IRREGULAR WARFARE DALAM PENANGGANAN GERAKAN DISINTEGRASI DI INDONESIA." Mimbar Agama Budaya, November 17, 2020, 8–12. http://dx.doi.org/10.15408/mimbar.v37i1.17827.

Full text
Abstract:
Abstract. The aspects of diplomacy, total defense strategy, and irregular warfare are important aspects which, if combined correctly, will be effective in the strategy of winning the war, including fighting quelling uprisings that threaten the disintegration of the Unitary State of the Republic of Indonesia (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI). This paper presents a comparison of the application of the above aspects in three cases of rebellion in Indonesia, namely Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) in West Java, the Fretilin group in East Timor, and the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka/GAM) in Aceh. Descriptive comparisons refer to the use of library materials to describe the common thread of differences and similarities of the three movements. As a result, exposure to differences and similarities from the application of aspects of diplomacy, total defense strategy, and irregular warfare in the three cases above. Even though the time constraints and understanding of descriptive analysis may have been a limitation in this paper, the comparative presentation presented can be subject to further study, especially regarding the case of war to quell the rebellion in Indonesia. Abstrak. Aspek diplomasi, strategi pertahanan semesta, dan irregular warfare adalah aspek penting jika dikombinasikan secara tepat akan efektif dalam strategi memenangkan peperangan, termasuk perang meredam pemberontakan yang mengancam disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Makalah ini memaparkan perbandingan penerapan ketika aspek di atas dalam tiga kasus pemberontakan di Indonesia, yaitu Darul Islam/Tentra Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, kelompok Fretelin di Timor-Timur, dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Perbandingan deskriptif mengacu kepada penggunaan bahan pustaka dilakukan untuk memaparkan benang merah perbedaan dan persamaan dari ketiganya. Hasilnya, paparan perbedaan dan persamaan dari penerapan aspek diplomasi, strategi pertahanan semesta, dan irreguler warfare dari ketiga kasus di atas. Meskipun dengan keterbatasan waktu dan pemahaman analisis deskriptif mungkin menjadi batasan dalam makalah ini, tetapi paparan perbandingan yang disampaikan dapat menjadi bahan kajian selanjutnya, khususnya menyangkut kasus perang meredam pemberontakan di Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Ramli, Ramli. "KONTRIBUSI STUDI KAWASAN BAGI PARADIGMA KEILMUAN ACEHNOLOGI." BIDAYAH: STUDI ILMU-ILMU KEISLAMAN, June 30, 2022, 1–20. http://dx.doi.org/10.47498/bidayah.v13i1.683.

Full text
Abstract:
Acehnologi sebagai salah satu paradigma pemikiran yang dikembangkan oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad tidaklah bergerak dari ruang kosong. Acehnologi yang diperkenalkan memiliki pergumulan dan pengaruh yang kompleks dari semua sisi. Salah satu yang paling berpengaruh bagi paradigma berfikir Acehnologi adalah studi kawasan, khususnya Asia Tenggara. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad sebagai penggagas Acehnologi, yang sempat berkelana di kawasan Asia Tenggara menemukan signifikansi tersebut. Menurutnya, Acehnologi tidak dapat difahami sekedar memahami geografi Aceh dari Sabang ke Singkil. Acehnologi juga bukan berarti pengejawantahan hegemoni satu suku saja. Acehnologi adalah paradigma kosmopolitan yang paling sedikit mewarnai dan diwarnai oleh kawasan Asia Tenggara. Artikel ini kemudian mengulas hubungan saling mewarnai tersebut. Disini ditemukan pertama, bahwa peran Aceh tidak dapat dinafikan bagi sejarah Asia Tenggara, khususnya sejarah islamisasi di kawasan tersebut. Kedua, bahwa kawasan Asia Tenggara memiliki andil bagi perkembangan dan pergolakan sosial-politik di Aceh. Bahkan eksistensi Gerakan Aceh Merdeka dalam sejarah Aceh kontemporer memiliki kaitan dengan jaringan perlawanan di Asia Tenggara.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Fitriani, Dewi. "Kekerasan terhadap Perempuan dalam Novel Bidadari Hitam Karya T.I. Thamrin." Jurnal Sains Riset 7, no. 3 (March 15, 2019). http://dx.doi.org/10.47647/jsr.v7i3.17.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis bentuk kekerasan terhadap tokoh perempuan dalam novel Bidadari Hitam karya T.I. Thamrin. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Sumber data adalah novel Bidadari Hitam karya T.I. Thamrin. Data yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kata-kata, kalimat, dan dialog pada sumber data yang mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami tokoh perempuan. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bidadari Hitam karya T.I.Thamrin adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi berulang- ulang pada korban dan keluarganya sehingga mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Di samping itu, konflik bersenjata yang terjadi di Aceh pada tahun 1989-2001 menambah kuantitas kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/POLRI), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan warga sipil. Semua kekerasan tersebut tidak dapat diterima oleh tokoh-tokoh perempuan baik secara psikis maupun batin. Kata kunci: Kekerasan, Perempuan, Novel
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Royani Salpina, Qonita, Rusjdi Ali Muhammad, and Yenny Sriwahyuni. "KEDUDUKAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MOU) HELSINKI DALAM PEMBENTUKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH." PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH 3, no. 1 (January 23, 2020). http://dx.doi.org/10.22373/petita.v3i1.34.

Full text
Abstract:
Abstract: The Helsinki MoU between the Indonesian Government and the Aceh Free Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) aimed to resolve the Aceh conflict peacefully. The Helsinki MoU agreement mandated to form the law on the governing of Aceh (UUPA), and this law should accommodate the contents of the agreement. The research problem was what the position of the Helsinki MoU in establishing UUPA is and whether the establishment of UUPA adhered to the technical procedures of establishing laws and regulations. The results showed that the Helsinki MoU was the forerunner in the establishment of UUPA as mandated in the Helsinki MoU agreement terms. Some terms of the agreement had been accommodated in UUPA, while some were not accommodated or not explicitly regulated in the UUPA. In theory, the considerations should include the background for the establishment of laws and regulations, and they must contain the sociological basis as one of the absolute foundations that should be present in every law. Regarding the technical procedure of the law establishment, the establishment of UUPA had met the technical procedures of the laws and regulations as stipulated in law number 10 of the Year 2004, concerning the establishment of laws and regulations. Abstrak: MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM bertujuan untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai. Pada poin perjanjian MoU Helsinki diamanatkan untuk membentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dan diharapkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat mengakomodir isi perjanjian tersebut. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan MoU Helsinki dalam pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh serta apakah pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan MoU Helsinki pada pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh merupakan cikal bakal dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagaimana telah diamanatkan pada poin perjanjian MoU Helsinki. Sebahagian ketentuan perjanjian telah diakomodir dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, namun ada beberapa ketentuan MoU Helsinki yang tidak diakomodir atau tidak tegas diatur dalam UUPA. Secara teori seharusnya dalam konsideran memuat latar belakang dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan, dan konsideran haruslah memuat landasan sosiologis sebagai salah satu landasan yang mutlak dan seharusnya ada dalam setiap undang-undang. Mengenai teknis pembentukan undang-undang, maka pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kata Kunci: MoU Helsinki, UUPA, dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keywords: HELSINKI MOU, UUPA, AND THE ESTABLISHMENT OF LAWS AND REGULATIONS.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography