Journal articles on the topic 'Henri Tajfel'

<p>The main axis of Arab American literature is its portrayal of the experiences that Arab Americans go through in their daily life inside and outside the USA. Taking Mohja Kahf’s novel as a literary sample, this paper examines the extent to which triple consciousness, faith development, and existentialist thought forge Khadra’s perplexity in understanding her identity – she struggles to explore her true self in two different cultural realms i.e., Mecca and Indianapolis. By employing points of view and criticism of well-known scholars and critics such as Erik Erikson, Henri Tajfel and James Fowler, this paper concludes that Khadra, as an escape from her psychological unrest in two incompatible cultures, locates herself in what I call as the fourth space.</p>

Ministry to Muslims has increasingly focused attention on the retention and discipleship of believers from Muslim backgrounds within the Christian community, and is often framed as issues pertaining to identity formation. This article is based on a dissertation completed in 2015 where 20 immigrant believers from Muslim backgrounds in North America were interviewed, and their experiences were interpreted according to Henri Tajfel and John Turner’s social identity theory and self-categorization theory. Interpreted as “walking out of Islam and walking Christianity out,” this article sheds light on believers from Muslim backgrounds’ post-conversion processes as they seek to find the ideal Christian community to walk their faith out, with implications for ministries reaching out to the diaspora and issues pertaining to globalization and cultural hybridization.

Este artículo rastrea el impacto del totalitarismo en la forma de entender el quehacer del científico social, con la asistencia —primordial pero no exclusiva— de cuatro reconocidos académicos: Tajfel, Mosse, Judt y Hirschman. La circunstancia del exilio como observatorio privilegiado da cuenta de un patrón de rasgos compartidos: la rebeldía frente al confinamiento identitario y disciplinar, el énfasis en la continuidad entre los procesos sociales normales y aquellos que alientan la violencia política —en particular los vinculados con la identidad— y la asunción del deber de lucidez inherente al sentimiento de vulnerabilidad y precariedad, un deber que comporta la aceptación de un rol activo en los contenciosos en que se ponen en cuestión los derechos humanos fundamentales.

This study is a pioneering attempt to apply social and ethnolinguistic identity theories developed by social psychologists Henri Tajfel, Howard Giles, and Patricia Johnson, and Judith Butler’s critical feminist theory of hate speech, to Ukrainian realities. The material comprises nearly 3,000 readers’ comments concerning language issues posted to Ukraine’s leading news website Ukrains'ka pravda (Ukrainian Truth) in 2010-12, and is analyzed through a systematic discourse-historical approach within a critical discourse analysis. Notorious for intolerance, filthy language, and trolling on a mass scale, the comments reflected the language situation in Ukraine from 2010 to 2012, demonstrating linguistic optimism, linguistic alarmism, denial of bilingualism, and historicist, legalist, and laissez-fair discourses. The readers’ comments deny or affirm the authenticity of either the Russian or the Ukrainian language, propose the exclusion or inclusion of the Russophone population in Ukraine, or deny that there are identity differences. From the chosen theoretical perspective, this study testifies to an unequal power status of the language groups, to the cultural hegemony of Russophones and the challenge to this hegemony by Ukrainophones, to mutual othering, and to an abundance of hate speech. Arguably, the use of hate speech assisted in developing and cementing the identities of Ukrainians who connected strongly with either the Ukrainian or the Russian language.

AbstractThis article explores the Parable of the Good Samaritan in its immediate context (Luke 10:25-37), a central New Testament passage, both to assess its meaning for Luke's audience and also to suggest its pertinence to contemporary interest in reducing intergroup tension and conflict, especially between ethnic groups. The article first discusses social identity theory, which was developed by Henri Tajfel et al. and which deals with how groups provide their members a valued sense of identity through (often violent) differentiation from other groups. After next describing the violent history of the intergroup relationship between Judeans and Samaritans, as reflected in New Testament passages such as Luke 9:51-55, the article then presents an analysis of Luke 10:15-37 aimed at determining how Jesus uses the parable to subvert the connection between Judean group identity and the Mosaic law and to propose a new approach to moral behaviour. These exegetical results are then analysed in the light of three approaches to reducing intergroup conflict (crossed categorization, recategorization and decategorization) and the latter is found to be most analogous to the approach taken by the Lucan Jesus. The conclusion suggests the relevance of the parable to contemporary efforts to eliminate intergroup conflict.

Penelitian ini dilakukan didasari oleh kekhawatiran bahwa warisan budaya di Desa Rejodadi Cimanggu secara bertahap lenyap pada generasi muda. Karena itu, masyarakat berupaya membangun identitas budaya dan sosial dengan menciptakan sebuah komunitas yang mewakili identitas mereka yang telah dianggap mulai pudar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: perilaku komunikasi sehari-hari masyarakat Rejodadi sebagai masyarakat tutur, dan mengidentifikasi identitas sosial dan budaya dalam kehidupan komunitas yang berbeda-beda namun tetap bisa eksis berdampingan secara harmonis. Penelitian ini menggunakan Teori Identitas Sosial dari Henri Tajfel dan John Turner sebagai dasar acuan. Metode penelitian kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi komunikasi. Sedangkan dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan observasi partisipan, wawancara, dokumentasi berupa gambar dan rekaman, serta data review yang berkaitan dengan masyarakat desa Rejodadi. Ada 15 responden yang terlibat dalam penelitian ini sebagai informan. Mereka adalah warga desa Rejodadi yang mengetahui dengan baik tentang permasalahan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa dalam proses komunikasi masyarakat Rejodadi dilakukan secara fleksibel disesuaikan dengan partner berbicara; Proses komunikasi sehari-hari terjadi secara alami, jujur, dan seimbang tanpa meninggalkan nilai-nilai pengajaran, rasa hormat dan kasih sayang; Komunitas basa Paurangan didirikan sebagai bentuk yang mewakili masyarakat Paurangan Cimanggu; upaya melestarikan dan mewarisi nilai budaya dan sosial dilakukan dalam bentuk penguatan identitas budaya dan sosial masyarakat Paurangan.

<p><em>This paper discusses the formation of women's identity in the novel Saman. Lately, women's social identity has changed in meaning with the times, so the author wants to analyze the identity of women in this novel. This novel has a background in the New Order era, the author wants to analyze how the formation of women's identity at that time. This </em><em>paperis a </em><em>qualitative </em><em>approach with descriptive</em><em> study by the writer reading the novel. The author uses Henri Tajfel's Theory of identity which explains that social identity is part of the concept of each individual who comes from his membership and is in a social group where the social group has the same values </em><em></em><em>and emotional significance in the membership. The results of the analysis show that there is a strong influence from the socialization stage of parents to children because parents are the first and foremost people who carry out social interactions with children. In addition, in the novel, during the New Order era, there was a state policy towards women or mothers/parents with the five dharma program so that it had an influence on the formation of women's identity, besides that the influence of the environment and policies in the New Order era had a strong influence on the formation of women's identity.</em></p><p><em><br /></em></p><p>Tulisan ini membahas tentang pembentukan identitas perempuan dalam novel Saman. Akhir akhir ini identitas sosial perempuan menjadi berubah arti seiring berkembangnya zaman, oleh sebab itu penulis ingin menganalisis tentang identitas perempuan pada novel ini. Novel ini berlatar belakang waktu pada zaman orde baru, penulis ingin menganalisis bagaimana pembentukan identitas perempuan pada zaman itu. Tulisan ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi deskriptif dengan cara penulis membaca novel tersebut. Penulis menggunakan Teori identitas Henri Tajfel menjelaskan terkait identitas sosial yaitu sebagai sebuah konsep pada setiap individu yang asal muasalnya dari keanggotaan komunitas dan berada dalam komunitas sosial tersebut, komunitas tersebut merupakan kelompok sosial yang memiliki kesamaan nilai serta kesamaan emosional dalam keanggotaan komunitas tersebut. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh kuat dari tahap sosialisasi orang tua pada anak dikarenakan orang tua adalah orang pertama dan utama yang melakukan interaksi sosial dengan anak. Selain itu, dalam novel itu di masa orde baru ada kebijakan negara terhadap para perempuan atau ibu/orang tua dengan programnya panca dharma sehingga memberikan pengaruh pada pembentukan identitas perempuan, selain itu pengaruh lingkungan dan kebijakan pada zaman orde baru memberi pengaruh kuat dalam pembentukan identitas perempuan.</p>

<p><em>This paper discusses the formation of women's identity in the novel Saman. Lately, women's social identity has changed in meaning with the times, so the author wants to analyze the identity of women in this novel. This novel has a background in the New Order era, the author wants to analyze how the formation of women's identity at that time. This </em><em>paperis a </em><em>qualitative </em><em>approach with descriptive</em><em> study by the writer reading the novel. The author uses Henri Tajfel's Theory of identity which explains that social identity is part of the concept of each individual who comes from his membership and is in a social group where the social group has the same values </em><em></em><em>and emotional significance in the membership. The results of the analysis show that there is a strong influence from the socialization stage of parents to children because parents are the first and foremost people who carry out social interactions with children. In addition, in the novel, during the New Order era, there was a state policy towards women or mothers/parents with the five dharma program so that it had an influence on the formation of women's identity, besides that the influence of the environment and policies in the New Order era had a strong influence on the formation of women's identity.</em></p><p><em><br /></em></p><p>Tulisan ini membahas tentang pembentukan identitas perempuan dalam novel Saman. Akhir akhir ini identitas sosial perempuan menjadi berubah arti seiring berkembangnya zaman, oleh sebab itu penulis ingin menganalisis tentang identitas perempuan pada novel ini. Novel ini berlatar belakang waktu pada zaman orde baru, penulis ingin menganalisis bagaimana pembentukan identitas perempuan pada zaman itu. Tulisan ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi deskriptif dengan cara penulis membaca novel tersebut. Penulis menggunakan Teori identitas Henri Tajfel menjelaskan terkait identitas sosial yaitu sebagai sebuah konsep pada setiap individu yang asal muasalnya dari keanggotaan komunitas dan berada dalam komunitas sosial tersebut, komunitas tersebut merupakan kelompok sosial yang memiliki kesamaan nilai serta kesamaan emosional dalam keanggotaan komunitas tersebut. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh kuat dari tahap sosialisasi orang tua pada anak dikarenakan orang tua adalah orang pertama dan utama yang melakukan interaksi sosial dengan anak. Selain itu, dalam novel itu di masa orde baru ada kebijakan negara terhadap para perempuan atau ibu/orang tua dengan programnya panca dharma sehingga memberikan pengaruh pada pembentukan identitas perempuan, selain itu pengaruh lingkungan dan kebijakan pada zaman orde baru memberi pengaruh kuat dalam pembentukan identitas perempuan.</p>

The aim of this paper is to assess the creative and dynamic uses of the collocates of man in Cameroon Pidgin English as it has picked up chauvinistic connotations in a strict and increasingly patriarchal Cameroon. Cameroon Pidgin English has been analyzed from different perspectives by different scholars, but the area of collocation has seldom been tackled. Word associations like ‘speak like a man’, ‘drive like a man’, ‘man-boy’, ‘my man’ (penis),’ he is a real man’ ‘man hand’ etc. abound in the repertoire of Cameroonian users of English. This paper thus brings out the different possible collocations with the word man as well as semantic degradations and ameliorations in the Cameroonian context and investigates if the continuous dominance of (the) man in the Cameroonian society could be a subtle case of linguistic rights violation. This study uses participant observation, interviews and questionnaires to obtain data from 100 speakers of Cameroon Pidgin English in Cameroon.This study employs the social identity theory propounded by Henri Tajfel and John Turner (1979; 1986) which explains intergroup behaviours and status differences. Results show that the domains of use cut across the domains of the traditional ruling system, titles and kinship terms, professions, traditional economic system and foodstuffs and drinks. Also, man is used in Cameroon Pidgin English for self -expression and self- identification. Most of the collocates of man reflect the sociolinguistic background of the country with most of the terms having come from background languages like French, Cameroon Pidgin English and Camfranglais.

Psikologi klasik cenderung konservatif, yang lebih banyak berurusan dengan teori-teori tentang proses-proses individual dan yang bersifat universal. Kecenderungan kepada paradigma sosial, berawal ketika psikolog-psikolog Eropa, Serge Moscovici meluncurkan gagasannya tentang reprentasi sosial (1961) dan Henrri Tajfel dan Turner mempublikasikan teori mereka tentang identitas social (1979). Psikologi tidak lagi semata-mata individual, namun terkait dengan lingkungan sosial dan kebudayaan. Setiap kelompok, ras atau etnik, jadinya punya psikologinya sendiri yang relevan dengan konteks kehidupan masing-masing. Di tahun 1933 seorang psikolog Asia, Uichol Kim dan sejawatnya orang Eropa, John Berry mencetuskan istilah indigenous psychology yang didefiniskannya sebagai “studi ilmiah tentang perilaku dan minda (mind) manusia yang berasal dari dirinya sendiri (native), yang tidak dibawa dari daerah lain, dan dirancang untuk orang-orang itu sendiri”. Karena tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata “indigenous”, maka dalam sebuah Konges Ikatan Psikologi Sosial di Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1999, saya mencetuskan kata “ulayat”. Saya meminjam istilah itu dari antropologi dan hukum adat, karena artinya sangat mirip dengan definisi Kim and Berry tentang “indigenous”. Tulisan ini membahas sejarah, pengembangan teori dan terapan bidang psikologi baru ini di Indonesia.

Teman Tuli adalah salah satu dari bagian elemen masyarakat yang mengalami keterhambatan dalam mendengar serta memproduksi bahasa, dimana hal tersebut menyebabkan dampak yang cukup kompleks dalam kehidupan sosialnya. Tujuan penelian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan self esteem dan self identity pada teman Tuli di organisasi GERKATIN Depok yang diawali dengan self disclosure dari teman Tuli itu sendiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Selain itu penelitian ini juga menggunakan teori identitas sosial yang di temukan oleh Henri Tajfel. Hasil penelitian menunjukkan jika teman Tuli sebenarnya tidak tertutup kepada teman dengar, justru sebenarnya teman Tuli ingin lebih dekat dengan teman dengar. Karena dengan bertukar pikiran dengan teman dengar, secara tidak langsung dapat meningkatkan self esteem dari teman Tuli. Selain itu identitas diri yang terbentuk pada teman Tuli adalah keinginan untuk dipanggil Tuli dibandingakan tunarungu, Karena Tuli merupakan identitas yang dilambangkan dengan kemampuan berbahasa isyarat.

Chris Cleave‟s novel entitled The Other Hand pictures an African refugee‟s life in the United Kingdom and her struggle to survive in the country. As an illegal refugee from Africa who smuggles herself into a tea ship, Little Bee, the refugee, has to stay in the immigration detention center when she arrives in the United Kingdom. She deals with identity issues during her two-year-stay in the immigration detention center. The questions such as „why don‟t British people treat her in a good way‟ and „why do British people get respect and she does not‟ make her want to be treated like a British, which she assumes, being treated nicely in the United Kingdom. Under the paradigm of social identity theory which contains the three stages of identity formation proposed by Henri Tajfel and John Turner, this study attempts to explain Little Bee‟s process of identity formation. Focusing on Little Bee‟s struggle in the United Kingdom as an illegal refugee from Africa, this study analyzes the three stages of identity formation that Little Bee has been through during her social identity transformation, as well as the factors influencing her and her struggle during the process.

In this literature review, Henri Tajfel’s social identity theory (SIT) is explained and examined as potentially useful for analyzing the experiences of Black-African international students (BAIS) in U. S. colleges and universities. Race has been and still is a major issue in the United States. Through this review of literature, I sought to find out how BAIS race affected their experiences in the United States.

<p>Psikologi klasik cenderung konservatif, yang lebih banyak berurusan dengan teori teori tentang proses-proses individual dan yang bersifat universal. Kecenderungan kepada paradigma sosial, berawal ketika psikolog-psikolog Eropa, Serge<br />Moscovici meluncurkan gagasannya tentang reprentasi sosial (1961) dan Henrri Tajfel dan Turner mempublikasikan teori mereka tentang identitas social (1979). Psikologi tidak lagi semata-mata individual, namun terkait dengan lingkungan sosial dan kebudayaan. Setiap kelompok, ras atau etnik, jadinya punya psikologinya sendiri yang relevan dengan konteks kehidupan masingmasing. Di tahun 1933 seorang psikolog Asia, Uichol Kim dan sejawatnya orang Eropa, John Berry mencetuskan istilah indigenous psychology yang didefi niskannya sebagai “studi ilmiah tentang perilaku dan minda (mind) manusia yang berasal dari dirinya sendiri (native), yang tidak dibawa dari daerah lain, dan dirancang untuk orang-orang itu sendiri”. Karena tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata “indigenous”, maka dalam sebuah Konges Ikatan Psikologi Sosial di Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1999, saya mencetuskan kata “ulayat”. Saya meminjam istilah itu dari antropologi dan hukum</p><p>Kata kunci:. Psikologi sosial, psikologi budaya, psikologi Asia, psikologi ulayat</p>

Er(r)go..., czas na lewacką sałatę. Przede wszystkim sprawa zwierzęca, sprawa poważna: zwierzobójstwo, krzywda zwierząt i nasze moralne tchórzostwo, zinstytucjonalizowane zarzynanie, chów wertykalny, hodowla intensywna, żywe nie-życie zwierząt, hekatomba ptaków, w Azji kury palone na stosie, festiwale psiego mięsa w Chinach, deanimalizacja zwierząt i ontologiczna degradacja bytów zwierzęcych, zwierzęcy lumpenproletariat. W tle historyczny marsz zwykłych ludzi po zwierzęce białko i zwierzęta idące na rzeź, wszyscy równym krokiem. A przecież mięso zachowuje całe cierpienie. Zwierzęta zadają nam pytania: Co jemy, gdy je jemy – Körper czy Leib? A zwierzęta pozaludzkie to „nieosobowe podmioty prawne” czy „rzeczy ruchome”? Ktoś się waha: może tofucznica zamiast jajecznicy? I różne próby odpowiedzi: wegetarianizm, semiwegetarianizm, fleksitarianizm, abolicjonizm, redukcjonizm, ingredientyzm, reduktarianizm, protopijny model postępu moralnego, wystopia, karnizm i neokarnizm, weganizm, cheating vegetarianism, lazy veganism, weganizm tożsamościowy, rewizyjny weganizm polityczny, weganizm bojkotowy, weganizm etyczny, czarny weganizm sióstr Ko, weganizm naiwny i w końcu, a jakże by inaczej, post-weganizm. Wszystko to w ogniu walki: z szowinizmem gatunkowym, z gatunkizmem, z niewolnictwem żywnościowym, z seksizmem, rasizmem, homofobią i klasizmem. Ktoś stwierdza: potrzebna filozofia czująca świat zamiast hermetycznej gadaniny. I oto nowe jest pytanie: bić albo nie bić? Między tekstami i w nich dzieją się przeróżne rzeczy. Pięknoduchy estetyzują życie, biała klasa średnia zawłaszcza przestrzeń etycznego, w praktykach wegańskich uwidaczniają się etnocentryczne epistemologie ignorancji, mnożą się wege fora, weganie demonstrują moralną wyższość wobec nie-wegan, Realne staje się tym, co zawsze wraca do tego samego miejsca, „ale” dochodzi do głosu, podmiot zmaga się z dosłownością, wiersz walczy z infekcją myślenia zadaniowego, kobiety mieszkające bez partnera jedzą mniej mięsa, wyobraźnia somatyczna zwraca się ku temu, co gorące i suche, zwierzęta, litując się nad nieporadnością człowieka, oddają mu swoje ciało na pokarm, krowy bogatych zjadają chleb biednych, liczba osób niejedzących mięsa wzrasta, ale szympansy wolą owoce z robakiem, zaś w retoryce wegańskiej dominuje podejście postrasowe. Tymczasem Lacan zakazuje czegoś, co i tak jest niemożliwe, Freud dzieli bliźniego na dwie części, Henry Ford inspiruje się sposobem funkcjonowania rzeźni, Deleuze proponuje ideę mięsa uniwersalnego, Marvin Harris walczy o białko, Central Market, parodia wiejskiego targowiska, składa mitologiczną obietnicę, a jeden poeta przygląda się światu toczonemu przez klisze językowe i przebija się przez prozaiczność plastiku, ale ten nie daje się składni. Cotzee w Texasie jeździ na rowerze bez sandałów, nie uprawia socjalizmu ani wolnej miłości, nie bierze zimnych pryszniców i nie je mięsa, nawet żeberek i kurczaka. Ale pyta: cztery łapy z jednego niedźwiedzia: a co z resztą zwierza? I jeszcze: co myśli wół zaliczony bez żadnej konsultacji z nim do gatunku niższego niż niedźwiedź? Jak Hala Mięsna ma iść z duchem czasu? Sztuka nie pozostaje w tyle. Akcjoniści Wiedeńscy powracają znów, by zjadać ekskrementy, kopulować ze zwierzętami, zarzynać, patroszyć i rozszarpywać. Huan ubrany w mięsny kombinezon przechadza się ulicami miasta, na obrazach kobiety i mężczyźni wiją się na podłodze wśród kawałków mięsa i gryzą surowe kawałki kurczaka, Jana Sterbak szyje sukienkę ze steków, Jannis Kounellis rozwiesza wzdłuż ścian na hakach kawały wołowiny, papież pojawia się na tle przepołowionego wołu, Heide Hatry powiada „Heide, ty świnio!”, a Lucien Freud po prostu jest mięsem. Mięso materiałem sztuki! – a bezdomni nie mają co jeść. Na szczęście w wierszach Bartczaka wyłania się nowa forma życia – szczeźnik – już nie człowiek ani nie zwierzę. Różne inne byty i nie-byty nam w tym wszystkim towarzyszą: byt pośledni, byt wyklęty, choć nie żołnierz, kolonialność bytów, mięso bezofiarne, mięso czyste, mięso bezmięsne, 101,4 kg mięsa na osobę, kapitalizm ze zwierzęcą twarzą, tajne wojny wegańskie, stosunek babci do jedzenia, mięsne konotacje męskości, wszystkożerca (wszystko?), 100 słynnych czarnych wegan, bawełna – nieetyczny produkt wegański, „okruchy filozoficzne o kotach”, mięsożerność podmiotowości, człowiek etnoklasowy, nieposłuszeństwo epistemologiczne i ontologiczne, owo-lakto-mięsny nadmiar, kobiety – agentki zmiany, technicznie drukowanie mięsa, nasza potencjalna nie nieludzkość, wewnętrzne życie zwierząt, aktywna ignorancja, realistyczne utopie, celebrytyzacja weganizmu, sploty metodologiczne. Może to byty nie-byty wątpliwe, ale jeden fakt nadal pozostaje bezsporny: fakt mięsożerny. Fakt mięsożerny! Fakt mięsożerny! Fakt mięsożerny! Wojciech Kalagahttps://orcid.org/0000-0003-4874-9734 P.S. Pragniemy poinformować naszych Czytelników i Autorów, iż począwszy od numeru 40 (1/2020) „Er(r)go” stanie się pismem dwujęzycznym: będziemy publikować materiały w języku polskim i angielskim. Zwiastunem tych nadchodzących zmian jest okładka tego numeru.