To see the other types of publications on this topic, follow the link: Historisk ekologi.

Journal articles on the topic 'Historisk ekologi'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 19 journal articles for your research on the topic 'Historisk ekologi.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Ngahu, Silva S. Thesalonika. "Mendamaikan Manusia dengan Alam." Pengarah: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (July 27, 2020): 77–88. http://dx.doi.org/10.36270/pengarah.v2i2.28.

Full text
Abstract:
Krisis ekologis dan bencana lingkungan hidup telah menjadi masalah global yang membutuhkan tindakan nyata demi menyelamatkan bumi. Masifnya pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan industri telah mengabaikan pemeliharaan lingkungan bahkan merusak ekosistem. Sumber daya alam dikeruk bahkan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara sepihak, manusia menganggap dirinya adalah mahkota ciptaan sebagai pemilik gambar Allah atau imago Dei. Paradigma antroposentris inilah yang menjadi titik tolak terjadinya tindakan destruktif-eksploitatif terhadap alam yang berujung pada krisis ekologis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian literatur dengan pendekatan hermeneutik kritik historis dalam mengkaji teks Kejadian 1:26-28 sebagai upaya untuk mengusulkan penafsiran yang dapat memi­nimalisir kerusakan ekologi. Hasil dari penelitian ini akan menyimpulkan pemahaman yang lebih utuh mengenai citra Allah dalam diri manusia, yakni sebagai penjaga, dan mengusulkan adanya suatu paradigma baru yang mengedepankan keadilan ekologis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Łukomski, Julisław. "Ekologia w programach nauczania religii dla I klasy gimnazjum." Studia Ecologiae et Bioethicae 5, no. 1 (December 31, 2007): 377–90. http://dx.doi.org/10.21697/seb.2007.5.1.27.

Full text
Abstract:
The article includes characteritc of additional materials for catechists and teachers, especially ecological examination of conscience and analysis of the following issues: revealed law and natural law, ecological balance, rule of general destiny of goods, celebration in connection with ecology, ecological intuitions in saints’ opinions and attitiudes, histories of Christian ecological intuitions.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Pattiwael, Joey Josua Pamungkah. "Kerugian Ekologis akibat Tindak Pidana Korupsi." JURNAL RECHTENS 10, no. 1 (June 29, 2021): 27–42. http://dx.doi.org/10.36835/rechtens.v10i1.1003.

Full text
Abstract:
Abstrak Tindak Pidana Korupsi di sektor sumber daya alam tidak hanya merugikan finansial negara saja yang dapat dihitung dari APBN, melainkan berdampak luas pula pada kerugian ekologis yang menimbulkan dampak terhadap manusia, bentang alam dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Permasalahan yang akan dianalisa dalam Jurnal ini adalah Apakah kerugian lingkungan dapat dimaknai sebagai kerugian keuangan negara yang ada didalam Undang-undang tindak pidana korupsi dan Bagaimana pembuktian kerugian lingkungan demi pengembalian aset tindak pidana korupsi yang merupakan kerugian ekologis. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum, Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang di hadapi. Demi memperoleh jawaban atas isu hukum dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan konseptual, pendekatan kasus, dan pendekatan Undang-undang. Hasil dari penelitian ini adalah kerugian ekologis yang timbul akibat tindak pidana korupsi sebagai kerugian keuangan negara, karena pemahaman yang telah di bangun tentang perluasan makna kerugian keuangan negara melalui tiga metode penafsiran yaitu sistematis, historis, dan ekstensif. Dalam hal pembuktian adanya kerusakan atau pencemaran lingkungan dapat di hadirkan ahli dalam bidang tersebut yang ada dalam Permen LH 7 Tahun 2014 untuk menghitung kerugian lingkungan yang ditimbulkan akibat penerbitan ijin tambang secara melawan hukum. Kata Kunci: Kerugian Ekologis, Kerugian Keuangan Negara, Tindak Pidana Korupsi Abstrak Corruption in the natural resources sector is not only detrimental to the state's finances, which can be calculated from the APBN, but also has a broad impact on ecological losses that have an impact on humans, landscapes and biodiversity in it. The problems that will be answered in this journal are whether environmental losses can be categorized as state financial losses that are in the corruption law and how to prove environmental losses for the return of assets of criminal acts of corruption which are ecological losses. The research method used is legal research. Legal research is carried out to solve legal issues at hand. In order to obtain answers to legal issues in this study, the authors use a conceptual approach, a case approach, and a statute approach. The results of this study are 1) ecological losses arising from criminal acts of corruption as losses to state finances, due to the understanding that has been built on the expansion of the meaning of state financial losses through three methods of interpretation, namely systematic, historical, and extensive or environmental pollution can be presented by experts in the field in the Minister of Environment and Forestry Regulation 7/2014 to calculate environmental losses caused by the illegal issuance of mining permits. Keywords: Criminal Corruption, Ecological Loss, State Financial Loss
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Manopo, Teny. "Pertobatan Ekologis Dalam Bingkai Filosofi “Sangserekan Bane’” Dan Pandemi Covid 19." KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 1 (June 21, 2021): 1–15. http://dx.doi.org/10.34307/kamasean.v2i1.36.

Full text
Abstract:
Abstract: Pandemic is a momentum that presents ecological reflection, forcing people to return to basic lessons about life and reflect on reconstructing new relations with the natural environment, which is closely related to the philosophy of "Sangserekan Bane" in the Toraja context. In the writer's perspective, the community needs to get good and correct eco-theological education to help think comprehensively about an ecological dynamic that occurs. This is what the authors then see that it is necessary to get a proper explanation using a qualitative-descriptive historical model approach that aims to create an ecological conversion for society that can help restore the earth's homiostatic status. The result is that through the philosophy of "Sangserekan Bane" it is realized that “lolo tau" (human), “lolo tananan” (plant) and” lolo patuan” (animal) have the same ontological status, because they are created from the same material, namely gold, so that they can help to form a synergy understanding, creation as a narrative narrative of creation in the book of Genesis. Abstrak: Pandemi adalah momentum yang menghadirkan refleksi ekologis, memaksa manusia untuk kembali kepada pelajaran dasar tentang hidup dan berefleksi untuk merekostruksi relasi baru dengan alam sekitar, yang memiliki kaitan erat dengan filosofi “Sangserekan Bane’” pada konteks Toraja. Dalam perspektif penulis masyarakat perlu mendapatkan pendidikan eko-teologi yang baik dan benar untuk membantu berfikir secara komprehensif akan sebuah dinamika ekologis yang terjadi. Hal inilah yang kemudian penulis lihat perlu mendapatkan penjelasan yang tepat dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif model historis yang bertujuan menciptakan pertobatan ekologis bagi masyarakat yang dapat membantu mengembalikan status homiostatik bumi. Hasilnya ialah melalui filosofi “Sangserekan Bane’” disadari bahwa “lolo tau” (manusia), “lolo tananan” (tumbuhan) dan “lolo patuan” (hewan) memiliki status ontologis yang sama, sebab diciptakan dari bahan yang sama yakni emas, sehingga dapat membantu untuk membentuk sebuah sinergitas pemahaman antar ciptaan sebagaiaman narasi penciptaan dalam kitab Kejadian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Maulana, Risal, and Nana Supriatna. "Ekofeminisme: Perempuan, Alam, Perlawanan atas Kuasa Patriarki dan Pembangunan Dunia (Wangari Maathai dan Green Belt Movement 1990-2004)." FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah 8, no. 2 (December 23, 2019): 261–76. http://dx.doi.org/10.17509/factum.v8i2.22156.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi mendalam mengenai Wangari Maathai dan Green Belt Movement dalam mengatasi krisis lingkung dan diskrimnasi perempuan di Kenya. Secara umum, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan mengenai “bagaimana ekofeminisme Green Belt Movement menyelesaikan persoalan lingkungan dan perempuan di Kenya?”. Untuk menguji permasalahan, peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan metode historis yang mencakup empat langkah penelitian. Langkah-langkah penelitian diantaranya yaitu pengumpulan sumber tertulis melalui studi literatur (heuristik), kritik sumber, interpretasi atau analisis sumber dan historiografi. Peneliti juga menggunakan konsep untuk menyederhanakan analisis, diantaranya konsep ekologi, ekofeminisme, patriarki, three legged stool. Sebuah rasionalisasi untuk studi ekofeminisme ini, karena banyak perspektif tentang klaim yang dibuat oleh pemerintah atau gerakan itu sendiri. Analisis ekofeminisme muncul dalam bentuk pertanggungjawaban atas analisis perempuan dan alam sebagai kedua objek perjuangan yang dilakukan oleh Maathai, disamping itu ekofeminisme muncul digunakan sebagai alat perjuangan yang tidak memfokuskan pada perjuangan perempuan terhadap alam saja, melainkan berfokus juga pada permasalahan penindasan atas hak perempuan melalui perjuangan perempuan dan alam
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Banoet, Fiktor. "Dialog Kemanusiaan." Indonesian Journal of Theology 8, no. 2 (February 24, 2021): 171–97. http://dx.doi.org/10.46567/ijt.v8i2.160.

Full text
Abstract:
Apakah ada peluang bagi diskursus tentang dialog kemanusiaan antara kekristenan dan ateisme dalam tatanan diskursif, praktis dan lebih menukik pada relasi antarspiritualitas? Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengupayakan peluang tersebut secara imajinatif. Saya berpendapat bahwa usaha menjembatani dialog kemanusiaan antara kekristenan dan ateisme dapat dilangsung dengan menerima posisi keduanya sebagai zona “spiritual” yang dapat diperbandingkan (commensurability) sekaligus tidak dapat diperbandingkan (incommensurability). Tesis tulisan ini dilahirkan dari usaha saya memantau perkembangan relasi keduanya, dengan menengok usaha André Comte-Sponville, yang memang sedang mengembangkan diskursus “spiritualitas tanpa Tuhan.” Dengan pendekatan kritis, spiritualitas tanpa Tuhan akan dibingkai sebagai diskursus bersama dengan spiritualitas trinitaris kosmis dalam rangka mengonstruksi perspektif dialog kemanusiaan. Arah dan manfaat konstruksi ini adalah untuk mengalami spiritualitas trinitaris setelah mempertimbangkan pesan kritis (dialog) dari spiritualitas ateisme sebagai usaha berteologi di tengah krisis kemanusiaan (dan juga ekologi), sebagai perkara historis masa kini dalam konteks Indonesia yang cukup diwarnai kekerasan dan disfungsi sosial agama.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Febriani, Nur Arfiyah. "Wawasan Gender dalam Ekologi Alam dan Manusia Perspektif al-Quran." ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 16, no. 2 (December 30, 2015): 131. http://dx.doi.org/10.18860/ua.v16i2.3177.

Full text
Abstract:
<p class="western" align="justify"><span>P</span><span><span lang="id-ID">erspektif al-Qur’an mengenai ekologi berwawasan gender</span></span><span> mengusung teori </span><span><em><strong>ekohumanis teosentris</strong></em></span><span><span lang="id-ID">. Hal ini berdasarkan deskripsi al-Qur’an mengenai interkoneksi dan interaksi harmonis antara manusia dengan dirinya sendiri (</span></span><span><span lang="id-ID"><em><span style="text-decoration: underline;">h</span></em></span></span><span><span lang="id-ID"><em>abl ma‘a nafsih</em></span></span><span><span lang="id-ID">), manusia dengan sesama manusia (</span></span><span><span lang="id-ID"><em><span style="text-decoration: underline;">h</span></em></span></span><span><span lang="id-ID"><em>abl ma‘a ikhwânih</em></span></span><span><span lang="id-ID">), manusia dengan alam raya (</span></span><span><span lang="id-ID"><em><span style="text-decoration: underline;">h</span></em></span></span><span><span lang="id-ID"><em>abl ma‘a bî’atih</em></span></span><span><span lang="id-ID">) dan manusia dengan Allah (</span></span><span><span lang="id-ID"><em><span style="text-decoration: underline;">h</span></em></span></span><span><span lang="id-ID"><em>abl ma‘a Khâliqih</em></span></span><span><span lang="id-ID">), tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, dengan ditemukannya isyarat keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia, temuan Disertasi ini berbeda dengan pendapat tokoh feminis yang menganggap kerusakan lingkungan memiliki korelasi dengan sikap dominatif laki-laki terhadap perempuan. Dalam al-Qur’an, manusia secara umum dideskripsikan memiliki potensi yang sama dalam merusak sekaligus melakukan upaya konservasi lingkungan. </span></span></p><p class="western" align="justify"><span><span lang="id-ID">Perspektif al-Qur’an mengenai wawasan gender dalam ekologi manusia, ditemukan dalam tiga</span></span><span> i</span><span><span lang="id-ID">syarat identitas gender, yaitu: 1) keberpasangan secara biologis, 2) berbagai istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan dalam interaksinya, dan 3) keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia, yang mengindikasikan potensi intelektual dan emosional serta peran yang sama dalam interaksi sosialnya. </span></span></p><p class="western" align="justify"><span>Hal menarik lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah, dalam pandangan al-Qur’an masing-masing karakter feminin dan maskulin dalam diri manusia digambarkan memiliki sisi/nilai positif dan negatif. Karakter feminin dan maskulin yang memiliki sisi</span><span><span lang="id-ID">/nilai</span></span><span> negatif inilah, yang </span><span><span lang="id-ID">selama ini </span></span><span>menjadi perdebatan akademis</span><span><span lang="id-ID"> mengenai sterotip</span></span><span> bagi laki-laki dan perempuan</span><span><span lang="id-ID"> yang berimbas pada peran sosialnya</span></span><span>.</span></p><p class="western" align="justify"><span>Pendapat penulis dalam penelitian ini </span><span><span lang="id-ID">memiliki kesamaan dengan: Ibn ‘Âdil al-</span></span><span><span lang="id-ID"><span style="text-decoration: underline;">H</span></span></span><span><span lang="id-ID">anbalî (W. 880 H), al-Marâghî (L. 1881 M), Sachiko Murata (1992), Amina Wadud (1999), Zaitunah Subhan (1999), Nasaruddin Umar (2001), Simode de Beauvoir (2003), Musdah Mulia (2004) Muhammad Quraish Shihab (2005), dan Slamet Firdaus (2011), yang menyatakan perbedaan potensi intelektual dan emosional manusia tidak ditentukan berdasarkan perbedaan biologis. Sebaliknya, penulis berbeda pendapat dengan: al-Asfahânî (W. 406 H), Fakhr al-Râzî (L. 544 H), al-Zamakhsharî (467-538 H), al-Qurthubî (W. 671), al-Biqâ‘î (809-885 H), al-Shabûnî (w. 1928 M), Hamka (1908-1981 M), Thabâthabâ’î (1321-1404 H), serta Mu</span></span><span><span lang="id-ID"><span style="text-decoration: underline;">h</span></span></span><span><span lang="id-ID">ammad ‘Abduh (1849-1905 M) dan Mu</span></span><span><span lang="id-ID"><span style="text-decoration: underline;">h</span></span></span><span><span lang="id-ID">ammad Rashîd Ridhâ (1865-1935 M), yang mengatakan bahwa potensi intelektual lebih dominan bagi laki-laki, dan potensi emosional lebih dominan bagi perempuan. Sebaliknya,</span></span><span><span lang="id-ID">temuan Disertasi ini juga berbeda dengan pendapat para tokoh feminis seperti: Carolyn Merchant (1992), Robyn Eckersley (2001) dan Nawal Amar (2009), yang menyatakan kerusakan lingkungan memiliki korelasi dengan sikap dominatif laki-laki terhadap perempuan.</span></span></p><p class="western" align="justify"><span><span lang="id-ID">Sedangkan dalam ekologi alam, ditemukan tiga isyarat identitas gender, yaitu: 1) keberpasangan secara biologis, 2) keberpasangan dari segi karakter/kualitas feminin dan maskulin, dan 3) kata ganti/</span></span><span><span lang="id-ID"><em>dhamîr</em></span></span><span><span lang="id-ID"> yang menunjuk kepada jenis kelamin laki-laki (</span></span><span><span lang="id-ID"><em>mudhakkar majâzî</em></span></span><span><span lang="id-ID">) dan jenis kelamin perempuan (</span></span><span><span lang="id-ID"><em>mu’annath majâzî</em></span></span><span><span lang="id-ID">).</span></span></p><p class="western" align="justify"><span>Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: metode tafsir </span><span><em>maudhû’î </em></span><span>dan</span><span>metode </span><span>historis-kritis-kontekstual.</span><span><span lang="id-ID">Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.</span></span></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Lestari, Hima Desy, Pujiono Wahyu Purnomo, and Frida Purwanti. "STRATEGI PENGEMBANGAN OBYEK WISATA PANTAI BOOM TUBAN BERDASARKAN POTENSI SOSIAL, EKONOMI DAN EKOLOGI (Development Strategy of Object Tour Tubans Boom Beach by Potency of Economic, Social and Ecology)." Management of Aquatic Resources Journal (MAQUARES) 6, no. 4 (July 25, 2018): 348–57. http://dx.doi.org/10.14710/marj.v6i4.21323.

Full text
Abstract:
Pantai Boom merupakan bekas pelabuhan Internasional pada zaman Kerajaan Majapahit yang dimanfaatkan oleh pemerintah Kabupaten Tuban untuk menjadi obyek wisata pantai. Adanya aspek historis tersebut menjadikan potensi sosial, ekonomi dan ekologi sangat berpengaruh terhadap potensi wisata. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi potensi sosial, ekonomi, ekologi, kelembagaan dan posisi nilai faktor internal dan eksternal, serta menyusun strategi pengembangan obyek wisata. Metode penelitian bersifat deskriptif analitis, dimana data dikumpulkan dengan survei dan wawancara terhadap 100 responden pengunjung, 30 penyedia jasa dan 4 pengelola. Data diolah secara deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan matriks IFAS dan EFAS, juga dengan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan potensi sosial terbesar berada pada kondisi sarana informasi sejarah, potensi ekonomi berada pada biaya wisata, potensi ekologi berada pada kondisi air bersih dan potensi kelembagaan berada pada upaya pengembangan obyek wisata yang telah dilakukan oleh pemerintah/pengelola; Nilai faktor internal dan eksternal berada pada posisi mendukung strategi ofensif, yaitu memanfaatkan potensi dan peluang yang ada untuk pengembangan obyek wisata, selisih nilai untuk faktor internal adalah 0,3;1,29;1,12, dan untuk faktor eksternal adalah 1,45;0,8;1,8, dengan kekuatan dan ancaman terbesar berada pada aspek ekonomi, sedangkan kelemahan dan peluang berada pada aspek ekologi. Strategi pengembangan obyek wisata dilakukan dengan menjalin kerjasama antara Pemerintah Daerah dengn paguyuban penyedia jasa untuk mengadakan kegiatan pengembangan penyedia jasa; meningkatkan peran aktif pengelola obyek wisata terhadap keberadaan penyedia jasa dengan menyediakan toko/kios dan meningkatkan upaya perlindungan sumberdaya alam di lokasi wisata. Boom Beach is formaly an International port at the Majapahit Kingdom which used by the government of Tuban Regency to become coastal tourism attractions. The existence of these historical aspects make the social, economic and ecological potential influence tourism potential. The study aims to identify potency of economy, ecological, institutional and to evaluate value position of internal and external factors, and to arrange tourism development strategy. The research method is analytical descriptive, in which data were collected by survey and interview to 100 respondents, 30 service providers and 4 staff. Data were analysed using qualitative and quantitative through IFAS and EFAS matrix as well as SWOT analysis. The results showed that the largest social potency is the condition of historical information facilities, the economic potency is the cost of tourism, and the ecological potentcy is the cleaness water conditions and the institutional potency is the development efforts of tourism that has been done by the government/manager; The values of internal and external factors are in a position to support offensive strategy, that is utilizing the potential and opportunities that exist for the development of tourism object, in sequence the different value of internal factors are 0.3;1.29;1.12, while the external factors are 1.45;0.8;1.8, with the greatest strength and threat being on the economic aspect, while the weaknesses and opportunities on the ecological aspect. Tourism development strategy are done by establishing cooperation between local government with service provider association conduct development activities of service provider; enhancing the active role of tourism managers to the existence of service providers by providing shops/kiosks and increasing the effort to protect the natural resources at tourisn sites.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Lesmana, Iga Bagus, and Setya Yuwana Sudikan. "POLA BUDAYA BANYUWANGI DALAM NOVEL KARYA HASNAN SINGODIMAYAN SEBAGAI PENGENALAN BUDAYA PADA MATERI TEMATIK PENDIDIKAN DASAR." EduHumaniora | Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru 11, no. 1 (January 31, 2019): 46. http://dx.doi.org/10.17509/eh.v11i1.14054.

Full text
Abstract:
Abstract:. This research aims to explain the cultural expression in the novel by Hasnan Singodimayan based on the perspective of cultural ecology. These cultural expressions include social patterns, political patterns, religious patterns. Hasnan Singodimayan's novel that was examined was the novel Kerudung Santet Gandrung and Niti Negari Bala Abangan. This research is a qualitative descriptive type and uses an interdisciplinary approach. Data collection using library techniques, while analyzing data using content analysis techniques. Content analysis is done by inference and analysis. The theory used is cultural ecology belonging to Julian H. Steward. The results showed that the cultural expression in the novel Kerudung Santet Gandrung and Niti Negari Bala Abangan contained human behavior patterns. This pattern is a social pattern, political pattern, and religious pattern. Social patterns can be found in community interactions and visiting activities and receiving guests. Political patterns exist in the Banyuwangi system of government during the Dutch, PKI, and current politics. Religious patterns are found in religious behavior that combines religion and culture. Based on data analysis, it can be concluded that cultural expressions in Kerudung Santet Gandrung and Niti Negari Bala Abangan form cultural patterns, namely reciprocal social patterns, historical patterns in the form of history or periods, and religious patterns which are a combination of religion and culture.Keyword: The benefits of learning motivation, local wisdom of G1 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ekspresi budaya dalam novel karya Hasnan Singodimayan berdasarkan perspektif ekologi budaya. Ekspresi budaya tersebut meliputi pola sosial, pola politik, pola religi. Novel Hasnan Singodimayan yang diteliti adalah novel Kerudung Santet Gandrung dan Niti Negari Bala Abangan. Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan interdisipliner. Pengumpulan data menggunakan teknik pustaka, sedangkan penganalisisan data menggunakan teknik analisis konten. Analisis konten dilakukan dengan cara inferensi dan analisis. Teori yang digunakan adalah ekologi budaya milik Julian H. Steward. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi budaya dalam novel Kerudung Santet Gandrung dan Niti Negari Bala Abangan terdapat pola prilaku manusia. Pola tersebut merupakan pola sosial, pola politik, dan pola religi. Pola sosial dapat ditemukan pada interaksi masyarakat dan kegiatan bertamu dan menerima tamu. Pola politik terdapat pada sistem pemerintahan Banyuwangi pada masa Belanda, PKI, dan politik saat ini. Pola religi terdapat pada perilaku beragama yang memadukan agama dan budaya. Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa ekspresi budaya dalam novel Kerudung Santet Gandrung dan Niti Negari Bala Abangan membentuk pola-pola budaya, yakni pola sosial yang bersifat timbal balik, pola politik yang berbentuk historis atau masa ke masa, dan pola religi yang merupakan perpaduan antara agama dan budaya.Kata Kunci: Ekspresi Budaya , Pola Budya, Ekologi Budaya
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Piszczatowska, Marta. "Cis van Vuure, Retracing the aurochs. History, morphology and ecology of an extinct wild ox, Sofia – Moscow 2005, s. 431, Pensoft Publishers, ISBN 954–642–235–5." Studia Podlaskie, no. 18 (2010): 451–54. http://dx.doi.org/10.15290/sp.2009-2010.18.14.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Rohman, Abdul. "KONSEP POLITIK MELAYU DI PULAU BANGKA (STUDI ANALISIS UNDANG-UNDANG SINDANG MARDIKA)." Scripta: Jurnal Ilmiah Mahasiswa 2, no. 2 (December 29, 2020): 284–98. http://dx.doi.org/10.33019/scripta.v2i2.83.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat sejarah konsep politik Melayu berdasarkan hukum adat masyarakat etnis Melayu yang ada di Pulau Bangka. Dilihat dari berlakunya hukum adat di Pulau Bangka dipersatukan oleh kesatuan wilayah masyarakat hukum adat terestrial, yaitu hukum adat berdasarkan pertalian tempat tinggal yang kental sekali dengan etnis Melayu dalam kehidupan masyarakatnya. Konsep Politik etnis Melayu dalam bahasan ini akan lebih ditonjolkan mengenai kekuatan reputasi politik dalam mengatur wilayah Bangka serta menjaga kestabilan sosial, ekonomi dan politik pada masa itu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dokumentasi historis. Hasil penelitian ini akan dibahas mulai dari masa Kesultanan Palembang sebagai periode lahirnya struktur kekuasaan yang membentuk Undang Undang Sindang Mardika sehingga muncul kebijakan ekonomi politik, ekologi politik, sosial budaya dan politik Islam dalam eksistensinya. Di dalam konsep politik Melayu ini akan melihat perkembangan dari awal abad ke-18, sehingga dapat dibedakan perubahan yang terjadi dari masa pra kolonial hingga masa kini (kemerdekaan). Penelitian ini menggunakan teori rekonstruksi hukum menurut Lawrence M. Friedman berdasarkan pembangunan masyarakat Melayu menuju kedaulatan kearifan lokal, yaitu: substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Hal tersebut penting untuk meninjau kembali sebagai literasi dan direalisasikan.Kata kunci: Konsep, Politik Melayu, Rekonstruksi Politik hukum
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Raditya, Ardhie, Faruk H.T, and Wisma Nugraha Christianto. "Rute Kultural Musik Populer Di Madura." JURNAL SOSIAL : Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial 20, no. 2 (November 27, 2019): 69–84. http://dx.doi.org/10.33319/sos.v20i2.44.

Full text
Abstract:
Kemunculan musik populer di Madura yang mengalami perkembangan hingga sekarang tidak bisa lepas dari adanya pembukaan rute kultural. Rute kultural musik populer di Madura dimulai dari tengah pulaunya, kota Pamekasan, yang secara historis menjadi ibu kota pemerintahan Madura. Pada mulanya, kehadiran pusat hiburan seperti gedung bioskop telah melapangkan jalan bagi munculnya musik populer di Madura. Melalui bakat dan minat anak-anak muda setempat, musik populer tersebut lantas ditransfigurasikan ke dalam bentuk formasi band sebagaimana imajinasi musik populer yang mereka tonton di pusat hiburan. Rute ini perlahan menciptakan rute pendidikan musikal yang dilakukan secara otodidak atau di luar institusi sekolah musik formal melalui jalinan persahabatan lintas daerah. Hal ini dilakukan karena memainkan musik populer perlu dukungan perangkat teknologi musikal berskala dunia supaya tercipta ekologi musikal dan bebunyian yang mantap untuk dinikmati, baik musisi dan pendengarnya. Kapasitas memainkan dan menguasai perangkat teknologi musikal ini memberi kontribusi bagi jalan ketersohoran dan penyetaraan dunia musik populer anak muda Madura dan dunia musik serupa di tingkat lokal, translokal, bahkan, mungkin transnasional. Tetapi, rute kultural musik populer di Madura sulit memasuki rute bebas hambatan karena pelapisan orang Madura yang cenderung memberikan porsi besar bagi generasi tuanya sebagai penentu masa depan anak mudanya, termasuk, musik populernya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Muhsin Zakaria, Mumuh. "DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PRIANGAN ABAD KE-19." Sosiohumaniora 13, no. 1 (March 2, 2011): 96. http://dx.doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v13i1.5464.

Full text
Abstract:
Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan moment penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Hal tersebut tidak serta-merta mematikan aktivitas perekonomian dan pertanian subsitem penduduk Priangan. Malah yang terjadi adalah hubungan komplementer antar-keduanya. Hal ini dimungkinkan selain karena faktor geografis-ekologis yang kondusif juga karena jenis tanaman yang diusahakan dan jenis tanah yang digunakan tidak menyaingi sektor ekonomi pertanian. Peran elit lokal sangat besar dalam menciptakan keseimbangan dan harmonisasi relasi antar penduduk pribumi, pemerintah kolonial, dan elit lokal sendiri yang pada gilirannya berpengaruh terhadap peningkatan produk dan terciptanya suasana aman. Fakta historis yang ditemukan di Priangan menjadi indikator penting yang menjelaskan derajat relatif kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian yang saya lakukan ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahapan kerja: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kata Kunci: Sejarah, Priangan, Ekonomi, Kolonial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Granqvist, Juha-Matti. "Kari-Matti Piilahti, Aineellista ja aineetonta turvaa: ruokakunnat, ekologis-taloudelliset resurssit ja kontaktinmuodostus Valkealassa 1630–1750, Bibliotheca Historica 106 (Helsinki: Suomalaisen Kirjallisuuden Seura, 2007). 394 s." Sjuttonhundratal 8 (October 1, 2011): 282. http://dx.doi.org/10.7557/4.2491.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Gustaman, Budi, and Hilman Fauzia Khoeruman. "Antara Mitos dan Realitas: Historisitas Maung di Tatar Sunda." Metahumaniora 9, no. 1 (July 30, 2019): 18. http://dx.doi.org/10.24198/metahumaniora.v9i1.22873.

Full text
Abstract:
Secara kultural, masyarakat Sunda cukup akrab dengan maung (harimau). Maung adalah sebutan khusus untuk harimau di wilayah Tatar Sunda. Maung direpresentasikan secara khusus sebagai simbol kekuatan. Simbolisasi maung tercermin dalam beberapa identitas kekinian, seperti pada julukan klub sepak bola terbesar di Jawa Barat, Persib “maung” Bandung serta pengadopsian secara visual sebagai lambang Divisi Siliwangi, satuan militer wilayah Jawa Barat. Di balik pemaknaan itu, terdapat jejak-jejak historis yang menyebabkan begitu lekatnya maung dalam benak masyarakat Sunda. Penelitian ini berusaha untuk menelusuri maung dalam bingkai mitos dan juga ekologis. Di Tatar Sunda tersebar mitos-mitos terkait harimau yang disampaikan secara lisan dan tulisan (naskah). Selain itu, jejak maung pun banyak pula ditulis pada sumber-sumber kolonial, seperti arsip, koran, hingga roman. Secara umum, maung mencerminkan mentalitas kultural masyarakat Sunda, yang pemaknaannya menjadi penghubung antara mitos dan realitas. Sundanese people are quite familiar with maung (tiger). Maung is a special name for tigers in the Tatar Sunda. Maung is represented as a symbol of strength. The symbolization of maung is reflected in several contemporary identities, such as the nickname of the biggest football club in West Java, Persib "maung" Bandung. Moreover, it is adopted visually as a symbol of military unit in the West Java region, Divisi Siliwangi. Behind the meaning, many historical traces which cause the existence of maung in the minds of the Sundanese people. This research seeks to explore the mythical and ecological framework. In Tatar Sunda scattered myths related to tigers that were delivered orally and in manuscript. In addition, many traces of Maung were also written in colonial sources, such as archives, newspapers, and romances. In general, it reflects the cultural mentality of Sundanese society, whose meaning is the link between myth and reality.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Gustaman, Budi, and Hilman Fauzia Khoeruman. "Antara Mitos dan Realitas: Historisitas Maung di Tatar Sunda." Metahumaniora 9, no. 1 (July 30, 2019): 18. http://dx.doi.org/10.24198/mh.v9i1.22873.

Full text
Abstract:
Secara kultural, masyarakat Sunda cukup akrab dengan maung (harimau). Maung adalah sebutan khusus untuk harimau di wilayah Tatar Sunda. Maung direpresentasikan secara khusus sebagai simbol kekuatan. Simbolisasi maung tercermin dalam beberapa identitas kekinian, seperti pada julukan klub sepak bola terbesar di Jawa Barat, Persib “maung” Bandung serta pengadopsian secara visual sebagai lambang Divisi Siliwangi, satuan militer wilayah Jawa Barat. Di balik pemaknaan itu, terdapat jejak-jejak historis yang menyebabkan begitu lekatnya maung dalam benak masyarakat Sunda. Penelitian ini berusaha untuk menelusuri maung dalam bingkai mitos dan juga ekologis. Di Tatar Sunda tersebar mitos-mitos terkait harimau yang disampaikan secara lisan dan tulisan (naskah). Selain itu, jejak maung pun banyak pula ditulis pada sumber-sumber kolonial, seperti arsip, koran, hingga roman. Secara umum, maung mencerminkan mentalitas kultural masyarakat Sunda, yang pemaknaannya menjadi penghubung antara mitos dan realitas. Sundanese people are quite familiar with maung (tiger). Maung is a special name for tigers in the Tatar Sunda. Maung is represented as a symbol of strength. The symbolization of maung is reflected in several contemporary identities, such as the nickname of the biggest football club in West Java, Persib "maung" Bandung. Moreover, it is adopted visually as a symbol of military unit in the West Java region, Divisi Siliwangi. Behind the meaning, many historical traces which cause the existence of maung in the minds of the Sundanese people. This research seeks to explore the mythical and ecological framework. In Tatar Sunda scattered myths related to tigers that were delivered orally and in manuscript. In addition, many traces of Maung were also written in colonial sources, such as archives, newspapers, and romances. In general, it reflects the cultural mentality of Sundanese society, whose meaning is the link between myth and reality.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Hakim, Moh Abdul, and Joevarian Hudiyana. "Catatan editor untuk edisi khusus tren metodologi: Paradigma dan metodologi psikologi sosial dalam kebudayaan non-WEIRD." Jurnal Psikologi Sosial 18, no. 2 (July 31, 2020): 86–88. http://dx.doi.org/10.7454/jps.2020.10.

Full text
Abstract:
Salam sejahtera, Pada tahun 2015 silam, lebih dari 100 peneliti dari berbagai institusi di beberapa benua melakukan sebuah usaha replikasi penelitian besar-besaran. Tak kurang dari 100 eksperimen yang terbit dalam jurnal psikologi bereputasi diuji kembali untuk menemukan apakah memang betul hasil eksperimen sesuai dengan laporan asli. Ternyata, hanya 68% dari usaha replikasi itu yang berhasil menemukan bukti signifikan secara statistik (Open Science Collaboration, 2015). Masalah yang dikemukakan oleh komunitas Open Science Collaboration ini menggegerkan ilmu psikologi, tak terkecuali psikologi sosial. Sejak munculnya isu krisis replikasi ini, berbagai temuan – mulai dari yang klasik sampai yang kontemporer dalam bidang psikologi – dipertanyakan kembali keabsahannya. Beberapa tahun kemudian, pakar neurosains kognitif dan advokat sains terbuka Christopher D. Chambers dari Cardiff University mempublikasikan sebuah buku yang membahas masalah fundamental dalam praktik ilmiah di psikologi. Dalam buku yang ia beri judul “The 7 Deadly Sins of Psychology” (7 Dosa Besar Psikologi), ia memaparkan sejumlah isu dimana metodologi merupakan salah satu isu yang bermasalah dalam psikologi (Chambers, 2019). Analisis statistik dan penentuan metodologi dalam riset-riset psikologi dianggap terlalu fleksibel sehingga rentan untuk dimanipulasi oleh peneliti. Tidak kalah pentingnya dan konsisten dengan temuan Open Science Collaboration, ilmu psikologi juga dianggap tidak reliabel. Temuan-temuan penting bisa tidak konsisten ketika diuji kembali dengan metode yang sama. Masalah pada reliabilitas temuan seperti itu bisa diatribusikan ke berbagai faktor. Pertama, psikologi belum membudayakan replikasi. Padahal, disiplin ilmu alam seperti fisika senantiasa berusaha mereplikasi temuan-temuan laboratorium mereka (Franklin, 2018). Kedua, adalah masalah fraud serta pelaporan metodologi atau analisis yang terlalu fleksibel sebagaimana dikemukakan Chambers (Chambers, 2019). Selain kedua alasan tersebut, ada satu alasan lain yang nampaknya jarang dibahas – bahwa ada faktor kebudayaan atau kontekstual yang menyebabkan kondisi studi asli dan studi berikutnya mengalami perbedaan. Alasan ini dikemukakan oleh Stroebe dan Strack (2014) dalam artikel mereka yang isinya mengemukakan bahwa replikasi dengan temuan sama persis itu sangat sulit terjadi. Faktor perbedaan budaya adalah isu yang substansial dan perlu diperhatikan dalam ilmu psikologi. Ini sudah lama ditekankan oleh Henrich, Heine, dan Norenzayan (2010) dalam artikel mereka yang berjudul “The weirdest people in the world?”. Menurut mereka, banyak (jika tidak dibilang mayoritas) riset psikologi dilakukan di komunitas atau negara WEIRD (Western – kebudayaan barat, Educated – sampel mahasiswa atau kaum terdidik, Industrialized – negara industri maju, Rich – kalangan ekonomi menengah keatas, dan Democratic – negara demokratik). Dengan kata lain, teori-teori yang dihasilkan dari riset-riset psikologi hanya terfokus pada kebudayaan WEIRD seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun mengabaikan konteks-konteks budaya lainnya. Sehingga, usaha generalisasi suatu teori tanpa memahami konteks lokal dari tiap kebudayaan non-WEIRD bisa menghasilkan temuan yang tidak konsisten. Menyadari betapa fundamentalnya isu kebudayaan ini, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) mengeluarkan isu khusus tentang perspektif dan isu metodologi dalam psikologi sosial. Dalam isu khusus ini, JPS mempublikasikan naskah-naskah yang mengevaluasi perspektif atau paradigma yang muncul dari kebudayaan atau masyarakat WEIRD. Dalam naskah yang berjudul “Social neuroscience: Pendekatan multi-level integratif dalam penelitian psikologi sosial”, Galang Lufityanto berusaha mengulas potensi dari perspektif neurosains kognitif untuk psikologi sosial dalam konteks manusia Indonesia. Artikel ini sangat penting karena perspektif biologis seperti neurosains kognitif perlu direplikasi di berbagai konteks masyarakat berbeda (Fischer & Poortinga, 2018) agar terhindar dari generalisasi yang terlalu cepat. Sementara dalam naskah yang berjudul “Epistemological violence, essentialization dan tantangan etik dalam penelitian psikologi sosial”, Monica Eviandaru Madyaningrum berusaha mendiskusikan isu etika dalam riset psikologi sosial. Seringkali, psikologi sosial mengadopsi pandangan etika yang muncul dari kebudayaan seperti Amerika Serikat dimana etika prosedural yang terfokus pada individu menjadi tolak ukurnya. Padahal, etika juga men-cakup kerangka berpikir dan relasi kuasa yang terjadi dalam masyarakat. Naskah ini mengajak kita untuk keluar dari isu etika individu menjadi isu etika dalam relasi antar elemen masyarakat, sehingga lebih sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia. Isu khusus ini tidak hanya terfokus pada persoalan paradigma epistemik dan etika dalam psikologi sosial. Beberapa naskah berikutnya membahas tentang potensi penggunaan metode alternatif untuk riset-riset psikologi sosial. Andrian Liem dan Brian J. Hall dalam naskah mereka yang berjudul “Respondent-driven sampling (RDS) method: Introduction and its potential use for social psychology research” membahas potensi metode pencarian sampel (sampling) yang lebih superior daripada metode non-probabilitas lain tetapi juga lebih mungkin dilakukan dibandingkan metode random sampling. Dalam metode respondent-driven sampling (RDS), peneliti merekrut partisipan berdasarkan struktur jejaring atau rasa saling percaya antar partisipan. Mengingat masyarakat Indonesia beroperasi berdasarkan struktur relasi dan rasa saling percaya (Hopner & Liu, in press), metode RDS ini sangat menjanjikan untuk diterapkan. Bukan hanya karena kemudahan dalam pengambilan data, namun juga karena potensinya untuk lebih mampu menggeneralisasi temuan ke dalam populasi yang diteliti. Tidak kalah menariknya adalah naskah yang ditulis oleh Tsana Afrani dan para koleganya dengan judul “Apakah intervensi prasangka lewat media bisa mengurangi prasangka implisit terhadap orang dengan HIV/AIDS? Eksperimen menggunakan implicit association test (IAT).” Dalam beberapa tahun terakhir, IAT atau tes asosiasi implisit menjadi alat ukur prasangka implisit yang dianggap kontroversial (Jost, 2019; Singal, 2017). Intervensi berbasis prasangka implisit juga menjadi sasaran kritik. Maka dari itu, penting untuk menguji IAT dalam konteks intervensi di berbagai konteks seperti di kebudayaan non-WEIRD. Ditemukan bahwa prasangka implisit tidak berubah setelah partisipan ikut serta dalam intervensi prasangka lewat media. Ini semakin mempertebal daftar kritik terhadap IAT. Naskah berikutnya membahas potensi metode kualitatif yang jarang digunakan dalam psikologi sosial, yaitu metode historis-komparatif. Dalam naskah yang berjudul “Menggunakan metode historis komparatif dalam penelitian psikologi”, Nugraha Arif Karyanta, Suryanto, dan Wiwin Hendriani menjelaskan bahwa data-data seperti dokumen bersejarah, catatan sejarah, bahkan dokumen sipil yang masih berlangsung bisa digunakan untuk menjelaskan proses psikologis yang terjadi pada suatu konteks masyarakat. Metode ini berpotensi untuk mengeksplorasi bagaimana temuan-temuan psiko-logi sosial yang seringkali muncul dari kebudayaan WEIRD bisa relevan atau tidak relevan dengan perkembangan sejarah, kebijakan sosial dan hukum, yang ada pada masyarakat non-WEIRD seperti masyarakat Indonesia. Sementara itu Retno Hanggarani Ninin dan kolega-koleganya menekankan pentingnya asesmen psikologi dalam situasi alamiah. Dalam naskah yang berjudul “Psikoetnografi sebagai metoda asesmen psikologi komunitas”, mereka membahas bahwa seringkali asesmen psikologis mencerabut individu dari situasi ekologis alami mereka. Padahal, individu tidak terlepas dari struktur sosial dan budaya yang ia alami sehari-hari. Dalam naskah ini, para penulis juga memberikan contoh bagaimana asesmen psikoetnografi bisa dilakukan. Membahas perbedaan dan kesetaraan antar budaya, tentu juga sulit dilepaskan dari isu kesetaraan lintas budaya dari alat ukur psikologis. Dalam isu khusus ini, JPS mempublikasikan dua naskah validasi alat ukur. Kedua alat ukur ini dinilai penting dan relevan untuk diadaptasi dan divalidasi pada konteks Indonesia. Dalam naskah “Adaptasi alat ukur Munroe Multicultural Attitude Scale Questionnaire versi Indonesia”, Intan Permatasari dan kolega-koleganya mempertanyakan validasi alat ukur sikap multikultural karena pada budaya Indonesia, sikap multikultural lebih prevalen pada relasi antar etnis sementara di budaya Amerika Serikat (budaya asal alat ukurnya), sikap multicultural lebih terfokus pada warna kulit. Sementara pada naskah “Adaptasi dan properti psikometrik skala kontrol diri ringkas versi Indonesia”, Haykal Hafizul Arifin dan Mirra Noor Milla berusaha mengadaptasi dan menemukan validitas konstruk dan validitas diskriminan dari alat ukur kontrol diri. Ada banyak struktur dimensi dari alat ukur kontrol diri dalam riset-riset sebelumnya. Para penulis menguji struktur dimensi mana yang paling cocok untuk konteks Indonesia. Akhir kata, izinkanlah kami berterima kasih kepada para reviewer yang telah memberikan masukkan kepada naskah-naskah di edisi khusus ini, mulai dari awal sampai naskah siap dipublikasikan. Kami berharap, edisi khusus ini bisa menjadi pemantik diskusi-diskusi saintifik lanjutan tentang ragam perspektif dan isu metodologi di psikologi sosial, khususnya untuk konteks kebudayaan non-WEIRD seperti Indonesia. Tidak hanya itu, kami juga berharap bahwa edisi khusus ini bisa menjadi pedoman atau acuan bagi penggunaan berbagai metode seperti sampling RDS, alat ukur IAT, asesmen psiko-etnografi, dan riset historis komparatif. Kami juga berharap edisi khusus ini menstimulasi riset lanjutan dengan paradigma social neuroscience dan paradigma etika yang lebih luas dari sekedar analisis etika prosedural.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Neiro, Jakke, and Niko Johansson. "The Finnish matriculation examination in biology from 1921 to 1969 – trends in knowledge content and educational form." LUMAT: International Journal on Math, Science and Technology Education 8, no. 1 (June 22, 2020). http://dx.doi.org/10.31129/lumat.8.1.1376.

Full text
Abstract:
The history and evolution of science assessment remains poorly known, especially in the context of the exam question contents. Here we analyze the Finnish matriculation examination in biology from the 1920s to 1960s to understand how the exam has evolved in both its knowledge content and educational form. Each question was classified according to its topic in biology, and its cognitive level by Bloom’s taxonomy. Overall, the exam progressed from a rather dichotomous test of botany and zoology to a modern exam covering biology from biochemistry to environmental science, reflecting the development of biology as a scientific discipline. The contribution of genetics increased steadily, while ecology witnessed a decline and a renaissance during the same time period. The biological profile of the questions was established by the 1950s. The educational standard and cognitive demand of the questions was always high and established by the 1940s. Tiivistelmä Luonnontieteellisten koekysymysten historiaa ja kehitystä on tutkittu hyvin vähän. Biologian ylioppilaskokeen kysymyksiä tarkasteltiin 1920-luvulta 1960-luvulle koekysymysten sisällöllisen ja opetuksellisen kehityksen selvittämiseksi. Kysymykset luokiteltiin biologisiin sisältöluokkiin, kun taas kognitiivinen taso arvioitiin Bloomin asteikolla. Tarkastelujakson aikana koe kehittyi kaksijakoisesta kasvi- ja eläintiedettä käsittelevästä kuulustelusta uudenaikaiseksi kokeeksi, joka tarkasteli biologiaa biokemiasta ympäristötieteeseen, heijastaen biologian kehitystä tieteenalana. Perinnöllisyystieteen osuus kokeessa kasvoi tasaisesti, kun taas ekologia koki jonkinasteisen taantuman ja uudelleentulemisen samalla aikavälillä. Kysymysten biologinen profiili vakiintui 1950-luvulla. Kysymysten opetuksellinen taso ja kognitiivinen vaatimustaso oli korkea alusta saakka ja vakiintui jo 1940-luvulla.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Ždímal, Václav. "Infrared Images and Land Cover in the Past." Ekologia 32, no. 4 (January 1, 2013). http://dx.doi.org/10.2478/eko-2013-0036.

Full text
Abstract:
AbstractŽdimal V.: Infrared images and land cover in the past. Ekológia (Bratislava), Vol. 32, No. 4, p. 383-387, 2013.Czech landscape is an old residential area used by humans since ancient times. At one point, we can follow the traces of human activity from different periods and natural changes. Land cover of one location can change several times. The most important reason is meandering and subsequent straightening of rivers, deforestation, relocation and change in soil layers. These changes in the past affect the present management, and it is important to identify them. A suitable tool for the determination of different sites is remote sensing in the infrared spectrum, which monitors changes in the vegetation, with the support of archival materials. These changes in vegetation are statistically significant and distinct sites with different histories of others. After identifying the different places, one can search the archive materials to know what was the land cover in the past. The following archival materials have been used: maps II and III, military mapping, basic maps and other maps and historical aerial photographs. These images document the landscape before collectivization and the reclamation of the land, which dynamically changed the landscape cover. The studied area was documented by other aerial photographs from other time periods between 1959 and 1989 and mainly infrared images from present were used as the main basis for determining the development of land cover. A comparative analysis of land cover shows the increases and decreases in agricultural land, changes in communication line elements, the impact of new methods of land use, erosion control restoration measures, changes in retention capacity, losses and increase forest, comparing the legal and actual status of the forest boundaries and their changes over time and changes in the built areas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography