To see the other types of publications on this topic, follow the link: Ikonografi.

Journal articles on the topic 'Ikonografi'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Ikonografi.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Adnyana, I. Wayan, Anak Agung Gede Rai Remawa, and Ni Luh Desi In Diana Sari. "Metafora Baru dalam Seni Lukis Kontemporer Berbasis Ikonografi Relief Yeh Pulu." Mudra Jurnal Seni Budaya 34, no. 2 (May 23, 2019): 223–29. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v34i2.704.

Full text
Abstract:
Artikel ini merupakan luaran penelitian terapan tahun ketiga, bertujuan untuk mengungkap penciptaan seni lukis kontemporer berbasis ikonografi relief Yeh Pulu. Penciptaan seni lukis dilakukan melalui dua tahap: analisis ikonografi untuk menemukan konsep, dan tahap penciptaan karya. Tahap analisis menggunakan teori ikonologi Panofsky melalui tiga tingkatan analisis: pra-ikonografi, analisis ikonografi, dan analisis ikonologi. Artikel ini mengedepankan pada analisis (interpretasi) ikonologis untuk menginvestigasi makna dari motif, simbol, dan alegori atas konteks budaya yang melekat pada objek analisis (D’Alleva, 2005). Interpretasi ini menemukan konsep metafora baru, yakni kepahlawanan orang-orang biasa. Pada praktik penciptaan seni lukis kontemporer, metafora dibentuk dengan tiga pendekatan estetik, yakni pembingkaian ulang, perombakan ulang, dan pemindahan ke ruang atau lokus global kontemporer. Artinya, figur ikonik relief Yeh Pulu dibingkai ulang dalam ruang lanskap baru, memindahkan yang kuno ke dalam konteks tata kehidupan masa kini, termasuk mobilitas pada ruang-ruang global.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Zuki, Chandra Djoko. "KAJIAN PRA-IKONOGRAFI FOTOGRAFI LEVITASI." Jurnal Da Moda 1, no. 2 (May 2, 2020): 1–12. http://dx.doi.org/10.35886/damoda.v1i2.69.

Full text
Abstract:
Fotografi Levitasi adalah sebuah pendekatan visual fotografi kontemporer yang didasari oleh teknik fotografi tradisional, dimana visual foto memperlihatkan obyek yang seolah-olah sedang melayang di udara. Kajian terhadap aspek forma dalam fotografi levitasi dapat menjadi sebuah pengetahuan baru terhadap fenomena karya seni masa kini, yang mana dapat dilihat dalam fotografi levitasi karya Natsumi Hayashi, seorang seniman dan fotografer asal Jepang. Sebagai jembatan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan teori Ikonografi oleh Erwin Panofsky dan secara khusus akan menggunakan metode Pra-ikonografi. Melalui pendekatan teori ini dapat diketahui dengan detail dan terstruktur dari obyek gambar yang terlihat oleh indra terutama mata, seperti elemen visual fotografi meliputi aspek garis, bidang, bentuk, warna, serta prinsip-prinsip visual yang dikemas dalam beberapa pendekatan komposisi. Ini jenis yang sangat dasar untuk analisis formal. Pada akhirnya, dapat diketahui bagaimana estetika formal dari fotografi levitasi Jepang melalui analisa teknik fotografi, komposisi ruang, dan gestur melayang dari subyek.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Srijaya, I. Wayan, Kadek Dedy Prawirajaya R, Coleta Palupi Titasari, A. A. Gde Bagus, and I. Nyoman Rema. "Ikonografi Hindu Abad VIII-XII M di Kabupaten Gianyar, Bangli, dan Buleleng: Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna." Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies) 10, no. 2 (October 10, 2020): 469. http://dx.doi.org/10.24843/jkb.2020.v10.i02.p06.

Full text
Abstract:
Abstrak Ikonografi adalah studi yang mempelajari seni arca. Arca adalah simbol dewa atau perwujudan tokoh masyarakat yang telah wafat. Di Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya, tradisi memembuat arca mempunyai sejarah yang panjang, yaitu sejak zaman bercocok tanam hingga zaman berpengaruhnya peradaban Hindu-Budha. Pada zaman Hindu-Budha, berkembang pembuatan arca-arca yang bercorak Hindu dan Budha. Penelitian ini difokuskan pada arca-arca bercorak Hindu yang ditemukan di Kabupaten Gianyar, Bangli, dan Buleleng. Penelitian ikonografi Hindu bertujuan untuk memperoleh gambaran sejarah seni arca, bentuk, fungsi, dan maknanya dalam kehidupan masyarakat. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ikonografi Hindu di Bali mempunyai bentuk yang beraneka wujud, dengan fungsinya yang berbeda-beda dari fungsinya semula. Demikian juga maknanya bergantung pada masyarakat yang memberikan pemaknaan dalam konteks kekinian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Rendy Aditya Putra Ertrisia. "Studi Ikonografi Arca-Arca Jina Kṛtanāgara." PANALUNGTIK 3, no. 1 (September 28, 2020): 31–44. http://dx.doi.org/10.24164/pnk.v3i1.36.

Full text
Abstract:
During his lifetime, Kṛtanāgara was ordained into a number of jina statues. Previous scholarly research only focused on the Arca Mahāksobhya/Joko Dolog and the Arca Aksobhya Koleksi Museum Mpu Purwa Nomor Inventaris 89 as a statue of the ordination of Kṛtanāgara, thus closing the possibility of other jina statues. Thus this study aims to discuss the existence of several other statues as Kṛtanāgara jina, as well as the appearance of iconographic features of Buddhist monks in some Kṛtanāgara jina statues. The study began with a collection of physical descriptions through observation and evaluation of jina statues who depict Kṛtanāgara through iconographic rules. The next step is to collect supporting data in the form of ancient manuscripts and literature related to Kṛtanāgara jina. Besides that, also conduct interviews with competent speakers in their fields. The final stage is the analysis and interpretation to obtain a final conclusion. The results obtained are that Kṛtanāgara was ordained as a jina in the form of the Arca Mahāksobhya/Joko Dolog, Reco Lanang, Arca Aksobhya Koleksi Museum Mpu Purwa Nomor Inventaris 89, and Arca Pendeta Buddha Koleksi Museum Nasional Nomor Inventaris 229a. Reco Lanang represents the jina of Dhyānibuddha Kṛtanāgara while the other three statues are depictions of Kṛtanāgara as manusibuddha or highest Buddhist monks.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Swaratama, Elfa, Achmad Zaki Yamani, and Emmareta Fauziah. "EFEKTIVITAS PERANCANGAN TYPEFACE DENGAN METODE IKONOGRAFI." Jurnal Bahasa Rupa 3, no. 2 (April 17, 2020): 117–23. http://dx.doi.org/10.31598/bahasarupa.v3i2.518.

Full text
Abstract:
This article describes the typeface design method based on Dayak Iban tattoo. It uses iconographic theory from Erwin Panofsky and the evaluate it through a Likert survey on a scale of 1-5 using four aspects of assessment(similarity, uniqueness, readability, and legibility). Based on the iconographic analysis, this study categorizes Dayak tattoo motifs into three worlds, which are; The Upper World (Hornbill), Middle World (Tree of Life, Eggplant Flowers), and the Underworld (Dragon and Scorpion) will put on each letter anatomies. The evaluation stage found that the typeface has a 3.8 average level of uniqueness, readability, and legibility, although the level of similarity in this typeface with Dayak tattoo motifs needs to be increased again because of the score is just 3 of a maximum of 5.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Yusup, Irwan Maolana. "KAJIAN IKONOGRAFI MOTIF MEGA MENDUNG CIREBON." DESKOVI : Art and Design Journal 3, no. 2 (December 3, 2020): 92. http://dx.doi.org/10.51804/deskovi.v3i2.803.

Full text
Abstract:
Hasil penelitian ini berisi deskripsi pra ikonografi yang menerangkan pada tahap awal aspek ide tekstual, yaitu berdasarkan analisis unsur-unsur visual pada motif mega mendung ini termasuk dengan gaya ketepatan objektif, selain itu juga ditinjau dari motifnya mega mendung menggunakan gaya stilisasi yaitu dengan merubah bentuk asli dari suatu sumber menjadi bentuk yang baru yang bersifat dekoratif tetapi dari ciri khusus dari sumber tersebut tidak hilang sepenuhnya. Tema dan konsep yang terungkap dalam motif mega mendung ini mendapat ide yang diadopsi dari keramik-keramik Cina atau pernak pernik yang dibawa oleh putri Ong Tien, pernak pernik yang dibawa dari cina kemudian dikombinasikan dengan kebudayaan khas Cirebon, sehingga menghasilkan perpaduan kebudayaan Cirebon-Cina. Dari pengaruh budaya tersebut motif mega mendung memiliki ciri khas dan makna yang sangat mendalam sebagai hasil dari interaksi sosial dan masyarakat.The Results from this study contains a description of the pre iconography which explaining at an early stage aspects of textual ideas, elements in this mega mendung's motif, including the style of objective accuracy, besides that, also viewed from mega’s motive using stylization style that is by changing the original form of a source into a new form which is then added to the special characteristics of the source did not disappear completely. The theme and concept revealed in this mega mendung's motive got an idea adopted from Chinese ceramics or knick knacks which brought by Ong Tien's Princess. Knick knacks which brought from China were then combined with Cirebon culture, resulting in a fusion of Cirebon-Chinese culture. From these cultural influences, mega mendung's motive have very deep characteristics and meanings as a result of social and community interaction.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Zuliati, Zuliati. "Ikonografi Karya Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terboeka”." Journal of Urban Society's Arts 1, no. 1 (April 10, 2014): 1–16. http://dx.doi.org/10.24821/jousa.v1i1.784.

Full text
Abstract:
Tinjauan Ikonografi dalam Karya Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terboeka”.Penelitian ini mengupas lukisan “Di Balik Kelamboe Terboeka” karya Sudjojonosecara ikonografi. Sebagai cabang ilmu sejarah seni, Ikonografi mempelajarimakna dari sebuah karya seni melalui kajian aspek internal dan eksternal. Aspekinternal sebuah karya seni seperti subject matter, gaya, dan aliran, sedangkan aspekeksternal berkaitan dengan situasi sosiohistoris yang melingkupi ketika karyaseni tersebut dibuat. Maka dengan menggunakan pendekatan ikonografi akandiperoleh pemaknaan yang lebih luas dari sebuah karya seni. Berdasarkan penelitiandapat disimpulkan bahwa “Di Depan Kelamboe Terbuka” menggambarkan jiwanasionalisme sebagai pemberontak estetika Mooi Indie yang telah mapan dalamkultur kolonial feodal. Karya tersebut menunjukkan pergulatan pemikiran dalamsuatu situasi sosial yang didominasi konsep estetika tertentu. Sudjojono mampumerumuskan konsep seni yang berasal dari kejujuran dan kepekaan dalam melihatrealitas sosial dan dikenal dengan kredo jiwa ketok. The Iconographic Study of Sudjono’s ‘Di Depan Kelamboe Terboeka’. Thisstudy discusses the iconography of ‘Di Depan Kelamboe Terboeka’, a painting createdby an influential painter in modern visual art of Indonesia, Sindudarsono Sudjono.Iconography as a branch of Art History learns the meaning of an artwork through thestudy of its internal and external aspects. The internal aspects include the items containedin an artwork such as a subject matter, style, and genre, whereas the external ones arerelated to the socio-historical situation in which the work of art is created. Iconographyprovides a broader understanding of a work of art. Based on this study, ‘Di DepanKelamboe Terboeka’ is one of Sudjono’s achievements depicting the spirit of nationalismas a rebel of the settle Mooi Indie aesthetics in the feudal-colonial culture. This paintingreflects the creator’s inner conflict in dealing with a certain social situation dominatedby a particular aesthetical concept. Sudjono was successful in formulizing an art conceptoriginated from his honesty and sensitiveness in witnessing the social reality known witha credo ‘jiwa kethok’.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

ÖZEN, YASEMİN. "BASMA SANATI USTASI NASRA ŞİMMESHİNDİ VE İKONOGRAFİ." IEDSR Association 7, no. 7 (January 1, 2020): 381–88. http://dx.doi.org/10.46872/pj.112.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Wira Darma, I. Kadek Sudana. "PENGARCAAN DEWA WISNU PADA MASA HINDU-BUDDHA DI BALI (ABAD VII-XIV MASEHI)." Forum Arkeologi 32, no. 1 (May 22, 2019): 51. http://dx.doi.org/10.24832/fa.v32i1.548.

Full text
Abstract:
Figurine of goddess Vishnu is an archaeological remain of Hindu-Buddhist period that rarely found in Bali. This research examines the variation of iconography, as well as the role and the position of Vishnu in the Hindu-Buddhist period in Bali in VII-XIV Century AD. The purpose of this research is to reconstruct the history of Balinese culture in the past, especially in the religion aspect. The methods of data collection are literature study, observation and interviews as well as data processing through the analysis of comparative iconography, and iconoplastic. The theory that used to assist analysis is a theory of religious iconology and iconography of Erwin Panofsky. Based on the results of the study found that there is a variation of the iconography on the statues of Vishnu in Hindu-Buddhist period in Bali. The variation can be seen in the variety of depictions of jewelry, clothing, “laksana” and posture. There are also variations for the iconography that caused by the factors of the ability and creativity of the artists, social restriction, cultural influence and raw material of the statue. The role and position of Vishnu in the Hindu-Buddhist period in Bali as a protector and preserver. His position is important although it is not as high as the god of Shiva. Arca Dewa Wisnu merupakan tinggalan arkeologi dari periode Hindu- Buddha yang sangat sedikit ditemukan di Bali. Penelitian ini meneliti variasi ikonografi, serta peranan dan kedudukan Dewa Wisnu pada masa Hindu-Buddha di Bali abad VII-XIV Masehi. Tujuan penelitian ini adalah untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan masyarakat Bali pada masa lalu terutama aspek religinya. Penulis menggunakan metode pengumpulan data seperti studi pustaka, observasi dan wawancara serta pengolahan data melalui analisis ikonografi, ikonoplastik dan komparatif. Teori yang digunakan untuk membantu analisis adalah teori ikonografi dan ikonologi Erwin Panofsky. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat variasi ikonografi pada arcaarca dewa Wisnu pada masa Hindu-Buddha di Bali abad VII-XIV Masehi. Variasi terlihat pada ragam penggambaran perhiasan, busana, laksana, dan sikap tubuh. Adapun variasi ikonografi disebabkan oleh faktor kemampuan dan kreativitas seniman, batasan sosial, pengaruh budaya dan bahan baku arca. Peranan dan kedudukan dewa Wisnu pada masa Hindu-Buddha di Bali yaitu sebagai dewa pelindung dan pemelihara, kedudukannya sangat penting walaupun tidak setinggi Dewa Siwa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Rony, Rony. "Ikonografi Arsitektur dan Interior Masjid Kristal Khadija Yogyakarta." Journal of Urban Society's Arts 1, no. 2 (October 10, 2014): 121–34. http://dx.doi.org/10.24821/jousa.v1i2.793.

Full text
Abstract:
Masjid Kristal Khadija (MKK) adalah sebuah masjid yang berada di kompleksYayasan Budi Mulia Dua di Yogyakarta. Masjid ini memiliki keunikan pada arsitekturdan desain interiornya. MKK sebagai karya seni akan dikaji dengan metodeikonografi. Metode ini adalah suatu studi untuk mengungkapkan makna dari suatukarya seni dengan tahapan-tahapan, yakni deskripsi praikonografi, analisis ikonografi,dan interpretasi ikonologi. Ketiga proses tahap kajian tersebut bersifat prerequisiteatau prasyarat dari tahapan satu ke tahapan selanjutnya. Hasil penelitian padatahap deskripsi praikonografi bahwa wujud arsitektur dan interior MKK memilikiciri-ciri masjid bergaya Persia, tetapi masjid ini bukan termasuk tipe hipostyle karenabangunan masjid yang berdiri sendiri dan tidak dilengkapi riwaqs. Analisis ikonografimenghasilkan makna yang ditunjukkan oleh tema feminin dengan konsep materialkaca cermin yang diasosiasikan aktivitas kaum wanita, yakni bersolek. Interpretasiikonologi dihasilkan makna secara simbolis bahwa MKK merepresentasikanide dan gagasan tokoh dibaliknya. Penafsiran makna ini dapat menambah muatanfilosofi MKK sebagai ikon kebanggaan Yayasan Budi Mulia Dua. The Iconographic on the Architecture and Interior of Masjid Kristal KhadijaYogyakarta. The Masjid Kristal Khadija is a mosque located in a high school complexunder the auspices of the Budi Mulia Dua in Yogyakarta. This mosque is unique in itsarchitecture and interior design. The mosque as a work of art is analyzed by the methodof iconography. This method is a study to reveal the meaning of a work of art with thestages namely; pre-iconographical description, iconographical analysis, and iconologicalinterpretation. There is a prerequisite relationship among those stages, meaning thatthe first stage has to be conducted before the second and the second has to be completedbefore the last one. The result of the pre-iconographical description stage shows thatthe architecture and interior of Kristal Khadija is characterized by the Persian stylemosque, yet it is not a hypostyle mosque as it is a stand-alone mosque without riwaqs.The iconographical analysis of the mosque indicates that it was built under the femininetheme shown by the use of mirror glass as its material concept that is associated withwomen’s activity, i.e. dressing up. The iconological interpretation generates a symbolicmeaning that Masjid Kristal Khadija represents the ideas of the figures behind it. Theinterpretation of its meaning may add philosophical values to this mosque as an icon ofBudi Mulia Dua Foundation pride.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Zahamri, Mohamad. "Ikonografi Zulfikar dalam Sejarah Hubungan Turki dan Nusantara." SUHUF 4, no. 1 (November 5, 2015): 111–41. http://dx.doi.org/10.22548/shf.v4i1.68.

Full text
Abstract:
This study explores the use of the Zulfikar motif in visual art, especially in the numerous examples of state flags and the flags of war in Turkey and the Malay World. A formal analysis is used to present a discussion of the aesthetic aspects of the artifacts. The comparative analysis examines the relationship between the use of the Zulfikar motif in Turkey and the Malay World. The study also reviews the complexities of historical relations between Turkey and the archipelago, and their connection to the use of the Zulfikar motif. Finally, this study will attempt to uncover some of the important concepts underlying the use of Zulfikar iconography in relevant historical contexts.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Holden, Steffen Wesselvold. "Liselotte Hermann halshuggen: Dobbelteksponeringens ikonografi hos Hannah Ryggen." Kunst og Kultur 95, no. 02 (June 1, 2012): 84–98. http://dx.doi.org/10.18261/issn1504-3029-2012-02-03.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Swandi, I. Wayan, Arya Pageh Wibawa, and I. Gusti Ngurah Agung Mahaputra. "Kajian Ikonografi Pada Seni Lukis T-Shirt Tema Rangda Karya I Nyoman Ngurah Ardika Yasa." Mudra Jurnal Seni Budaya 34, no. 2 (May 23, 2019): 213–22. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v34i2.703.

Full text
Abstract:
Bali telah dikenal memiliki banyak bentuk seni. Salah satunya adalah seni lukis. Seni Lukis di Bali telah dikenal cukup lama. Seiring perjalanan waktu, terjadi perubahan dengan kedatangan bangsa Barat yang mempengaruhi gaya lukis Bali. Selanjutnya, media juga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam seni lukis di Bali, salah satunya adalah t-shirt. Salah satu seniman lukis t-shirt yang cukup dikenal oleh anak muda Bali yaitu I Nyoman Ngurah Ardika Yasa. Pada karyanya yang bertema “Rangda”, salah satu dari banyak karya yang telah dibuat cukup menarik untuk dilakukan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ikonografi Erwin Panofsky. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna karya seni lukis t-shirt seniman I Nyoman Ngurah Ardika yang bertemakan rangda.Tahap pra-ikonografi, ilustrasi yang digambarkan merupakan sebuah komunikasi bahwa rangda merupakan sosok yang akan membawa kematian bagi manusia. Pada tahapan analisis ikonografi digunakan teori Roland Barthes untuk mengungkap lambang yang ada pada karya tersebut. Mitos yang hadir sebagai petanda dalam karya selanjutnya dihubungkan dengan tema dan konsep yang tersirat. “Rangda” telah menjadi mitos yang ada pada masyarakat Bali. Analisis interpretasi ikonologis, Ilustrasi rangda karya I Nyoman Ngurah Ardika Yasa diciptakan tidak dengan mengedepankan nilai keindahan secara konvensional, namun berdasarkan imajinasi atas rasa dan pengalaman estetis yang diterima pada masa yang lalu. Pada karyanya wujud rangda digambarkan dengan penggayaan bentuk melalui penyederhaan dan deformasi bentuk, sehingga karakter rangda terlihat berbeda dengan wujud rangda secara tradisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ilustrasi rangda ini mengikuti gaya postmodern champ yaitu menolak keotentikan atau keorisinilan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Warbung, Tobias. "Tinjauan Ikonografi pada Lukisan “Hidup ini Indah Apapun Keadaannya”." Humaniora 6, no. 2 (April 30, 2015): 155. http://dx.doi.org/10.21512/humaniora.v6i2.3319.

Full text
Abstract:
Painting ‘Hidup Ini Indah Apapun Keadaannya’ was made to commemorate the 5.9 magnitude earthquake occurred in Yogyakarta. This painting shows an unusual visual and illustration with depth of meaning. The relationship between symbols, shapes, and colors could give unique impression to the person who saw it. It became interesting to examine this painting using iconography method. This article examined relevant dimensions existing in the portrait, such as: theological, ethical, cultural anthropology, and psychology. These dimensions are perceived to be able to convey the message and profound meaning to the people who look at the painting. Through this painting, art was believed to have strength to create society to be better.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Maulana, Ratnaesih. "SIVA MAHADEVA: SUATU ANALISIS IKONOGRAFI DI JAWA MASA HINDU-BUDDHA." Makara Human Behavior Studies in Asia 6, no. 1 (June 1, 2002): 1. http://dx.doi.org/10.7454/mssh.v6i1.16.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Fitryona, Nessya. "KAJIAN IKONOGRAFI DAN IKONOLOGI LUKISAN A. ARIFIN MALIN DEMAN II." INVENSI 1, no. 1 (April 26, 2017): 13–25. http://dx.doi.org/10.24821/invensi.v1i1.1584.

Full text
Abstract:
Lukisan Malin Deman II adalah salah satu karya dari seniman A.Arifin yang memiliki visual yang unik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi motif artistik, konsep dan tema serta nilainilai simbolik yang terdapat dalam lukisan tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah ikonografi dan ikonologi Erwin Panofsky. Hasil penelitian menunjukkan motif artistik yang ada di dalam lukisan tersebut adalah kegairahan seniman untuk merepresentasikan bentuk estetik tubuh perempuan dengan gaya fantasi. Tema dalam lukisan tersebut adalah penindasan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dengan konsep dasar tentang konflik antar gender. Nilai simbolik yang terdapat pada karya tersebut adalah pergeseran posisi perempuan Minangkabau dan gejala penyimpangan moral. Painting Malin Deman II is one of the art works of artists, A.Arifin, who have a unique visual. This study aims to identify the artistic motifs, concepts and themes and symbolic values contained in the painting. The approach used iconography and iconology Erwin Panofsky. The results showed an artistic motif that is in the painting is excitement artist to represent form of female body aesthetic with fantasy style. Themes in the painting is the oppression of men and women with the basic concept of conflict between gender. Contained symbolic value of these works is a shift in the position of Minangkabau women and symptoms of moral aberration.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Fauzi, Nanang Bustanul, and Femi Eka Rahmawati. "IKONOGRAFI SEBAGAI LANGKAH KERJA KREATIF CIPTA SASTRA ANAK DARI RELIEF CANDI." Hasta Wiyata 1, no. 1 (July 31, 2018): 15–21. http://dx.doi.org/10.21776/ub.hastawiyata.2018.001.01.02.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Arif, Novida Nur M. "PERANCANGAN KOMUNIKASI VISUAL PENGENALAN TOKOH WAYANG KULIT PUNAKAWAN YOGYAKARTA MELALUI CIRI FISIKNYA." INVENSI 2, no. 1 (December 19, 2017): 91–104. http://dx.doi.org/10.24821/invensi.v2i1.1809.

Full text
Abstract:
Wayang kulit memiliki pesan moral yang masih relevan sampai zaman ini. Hal ini juga terdapat pada tokoh Punakawan. Para tokoh asli nusantara ini menyimpan ajaran kehidupan yang merupakan hasil pemikiran atau falsafah Jawa. Secara ikonografi, setiap tokoh memiliki atribut khas pada anggota tubuhnya dan mengandung ajaran pembentukan karakter. Akan tetapi minat pada wayang kulit khususnya Punakawan sudah menurun terutama pada generasi muda. Genarasi muda yang mewarisi budaya tradisi perlu dikenalkan supaya menumbuhkan rasa apresiasi, yang nantinya diharapkan turut serta menjaga dan melestarikannya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

SARICA, Mehmet ÖZKARTAL Sevtap. "“TARKAN” ÇİZGİ ROMAN VE FİLMLERİNDE YER ALAN TÜRK MİTOLOJİ VE İKONOGRAFİ UNSURLARI." Journal of Academic Social Sciences 101, no. 101 (2020): 1–14. http://dx.doi.org/10.29228/asos.39608.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Kędrak, Aleksandra. "Rozwój sztuki chrześcijańskiej w Japonii do połowy XIX stulecia." Ogrody Nauk i Sztuk 4, no. 4 (February 14, 2020): 455–62. http://dx.doi.org/10.15503/onis2014.455.462.

Full text
Abstract:
W 1549 r. do Japonii przybył pierwszy Jezuita - Franciszek Ksawery. Data ta rozpoczyna okres zwany „chrześcij ańskim stuleciem”. Sztuka służyła misjonarzom w propagowaniu chrześcij aństwa, przełamywaniu barier językowych i kulturowej przepaści. W 1590 r. w Japonii powstało seminarium, gdzie kopiowano europejskie dzieła i szkolono nowe pokolenie rodzimych artystów. Chrześcij aństwo zaczęło być jednak postrzegane jako potencjalne zagrożenie dla nowej władzy. Pierwszy edykt anty- chrześcijański powstał już w 1587 r., a w 1614 r. wszyscy misjonarze zostali ofi cjalnie wygnani. Chrześcijanie musieli pozostać w ukryciu, a chrześcijańską ikonografi ę skrywać pod pozorami buddyzmu lub shintō.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Raka Dewantara, Anak Agung Gede, I. Wayan Srijaya, and Ida Bagus Sapta Jaya. "Kajian Ikonografi dan Fungsi Arca Hindu-Buddha di Pura Agung Batan Bingin Pejeng Kawan." Humanis 24, no. 3 (August 28, 2020): 266. http://dx.doi.org/10.24843/jh.2020.v24.i03.p05.

Full text
Abstract:
Period Hindu-Buddha in Indonesian, Leaving behind a variety of archaeological heights. Research to investigate the definition statue Hindu-Buddha at Agung Batan Bingin Temple, Pejeng Kawan Village. The purpose of this study is to reconstruct the history of Balinese culture in the past especially its aspect of religment. The writer apply this method for accumulation file like library study, observasion, interview as well as analysis, iconography. The theory used to help analysis is the functional theory. Based on the results of the research Found that there is an iconography mark in the statues of Hindu-Buddha on Agung Batan Bingin Temple. Iconography mark show the variety of jewelry, clothing, art, and posture depiction. Statue Hindu-Buddha on Bingin Temple including to ancient Balinese periodic. Statue Hindu-Buddha on Agung Batan Bingin Temple untill now still being used as an instrument of veneration by the people of Bali performing religious ceremonies, the Balinese people used to call it "Penyungsung Pura". Statue Hindu-Buddha the, believed in society pejeng kawan village as a means of begging for protection, safety, and plants fertility in society Pejeng Kawan Village.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Suwardono, Nfn. "Identifikasi Ken Dedes Dalam Arca Perwujudan Sebagai Dewi Prajnaparamita : Tinjauan Filsafat Religi dan Ikonografi." Berkala Arkeologi 27, no. 1 (May 28, 2007): 98–117. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v27i1.945.

Full text
Abstract:
Dikalangan masyarakat Malang dan sekitarnya, sosok Ken Dedes (baca: Dedes) sebagai seorang putri Jawa kuno yang dipandang sangat cantik jelita sudah bukan barang baru lagi. Anggapan ini mencuat dipermukaan pada dekade awal abad 19, ketika orang Belanda menemukan reruntuhan di komplek percandian Singosari. Salah satu temuan dari reruntuhan itu adalah sebuah area batu yang sangat indah yang ditemukan di candi Wayang atau candi E (menurut laporan-laporan Belanda), sebuah area dari pantheon agama Budha Mahayana yaitu Dewi Prajnaparamita. Ketika area tersebut untuk sementara berada di tempat residen di Malang, Monnerau, Residen Malang waktu itu menghubungkan area Dewi Prajnaparamita tersebut dengan cerita penduduk tentang Ken Dedes. Dari sinilah dugaan awal timbulnya anggapan bahwa arca Dewi Prajnaparamita adalah portret dari Ken Dedes.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Indriyani, Ika. "IKONOGRAFI RESTORAN DAE JANG GEUM YOGYAKARTA (ORNAMEN LOTUS, PHOENIX, NAGA DAN HUI SEBAGAI ORNAMEN UTAMA)." INVENSI 1, no. 2 (April 26, 2017): 74–88. http://dx.doi.org/10.24821/invensi.v1i2.1617.

Full text
Abstract:
Restoran Dae Jang Geum adalah restoran pertama di Yogyakarta yang menerapkan konsep Istana Korea. Restoran Dae Jang Geum digolongkan dalam specialty restaurant di mana suasana dan dekorasi disesuaikan dengan masakan khas Korea. Penelitian ini mengkaji ornamen Korea beserta makna filosofinya dan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan ikonografi. Ornamen pada restoran bukan lukisan asli tetapi dari kertas yang dilukis. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang ada di Korea yaitu dengan dilukis. Hasil penelitian menunjukkan ornamen yang terdapat pada restoran Dae Jang Geum baik dari bentuk, penempatan dan ukuran mendekati dengan ornamen asli Korea tetapi terdapat beberapa ornamen dari luar Korea yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ornamen Korea. Warna ornamen pada restoran lebih cerah dibandingkan dengan aslinya. Dari segi fungsi ornamen tersebut hanya sebagai hiasan yang mendukung konsep Korea.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Irawan, Ari, and Muhamad Idris. "SENI PERHIASAN DALAM KEBUDAYAAN MATARAM KUNO SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH (STUDI IKONOGRAFI RELIEF CANDI BOROBUDUR)." Kalpataru: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah 3, no. 1 (April 16, 2018): 11. http://dx.doi.org/10.31851/kalpataru.v3i1.1606.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Prengki, Prengki. "SENI PAKAIAN PADA KEBUDAYAAN MATARAM KUNO SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH (STUDI IKONOGRAFI RELIEF CANDI BOROBUDUR)." Kalpataru: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah 3, no. 2 (April 18, 2018): 94. http://dx.doi.org/10.31851/kalpataru.v3i2.1632.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Adamczuk, Arkadiusz. "Clericus quidam crimine carnis. Legal and Iconographic Intricacies in Causa 15 of Gratian's Decretum." Studia Prawnicze KUL, no. 4 (December 31, 2019): 7–19. http://dx.doi.org/10.31743/sp.10604.

Full text
Abstract:
Artykuł podejmuje problem ukazania ikonografii Causae XV w Dekrecie Gracjana. Problem postawiony przez bolońskiego kamedułę dotyczy, po pierwsze, oskarżenia przez kobietę, z którą zgrzeszył duchowny, a po drugie, stosowania tortur w procesie kanonicznym. W obu przypadkach autor Dekretu rozstrzyga problem powołując się również na prawo rzymskie: między innymi cytując Digesta czy Kodeks Dioklecjana. Miniatury ilustrujące tę Causa, a więc i ten sam tekst, różnią się swoją ikonografią w zależności od czasu i miejsca wykonania konkretnego egzemplarza manuskryptu. Wynika to przede wszystkim z odmiennych, lokalnych tradycji prawnych, np. w średniowiecznych państwach włoskich.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Riyanto, Sugeng. "Sosok Dewa Indra Menurut Beberapa Karya Sastra Jawa Kuna." Berkala Arkeologi 14, no. 2 (May 30, 1994): 73–77. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v14i2.704.

Full text
Abstract:
Karya sastra merupakan salah satu data tekstual yang dianggap penting. Selain mengandung keterangan sejarah, didalamnya juga terdapat keterangan tokoh raja, pemerintahan, perikehidupan dalam lingkungan istana, dan kehidupan rakyat. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah adanya keterangan tentang ikonografi baik dewa maupun dewi, terutama dalam lingkungan agama Hindu. Hal ini berarti bahwa dengan perlakuan tertentu terhadap karya sastra, aspek-aspek kehidupan masyarakat Jawa Kuna dapat diketahui dan dipahami. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menggambarkan sosok Dewa Indra yang didasarkan pada kajian terhadap beberapa karya sastra Jawa Kuna. Selama ini Dewa Indra dikenal sebagai salah satu dan dewa-dewa loka pala seperti yang dipahatkan pada Candi Civa, Prambanan. Dengan kajian yang lebih luas diharapkan dapat terungkap gambaran dari sisi lain Dewa Indra yang pada gilirannya juga dapat diketahui kecenderungan para pujangga dalam menampilkan figur Dewa Indra.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Galeswangi, Rakai Hino. "Kajian Arca Agastya Bertubuh Ramping Koleksi Museum Mpu Purwa Kota Malang." Berkala Arkeologi 41, no. 1 (May 30, 2021): 35–54. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v41i1.603.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengidentifikasi tempat asal arca Agastya bertubuh ramping yang tersimpan di Museum Mpu Purwa, Kota Malang. Objek kajian dalam penelitian ini adalah Arca Agastya yang digambarkan berperut ramping, gaya rambut yang sebagian digelung dan sebagian diurai di pundak belakang, dan memegang senjata trisula dari sandaran belakang. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan melakukan penalaran induktif bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan adalah analisis ikonografi, ekologi, kontekstual, dan pendekatan sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arca Agastya bertubuh ramping dibuat secara lokal, bermutu tinggi, dan dipengaruhi langgam Gupta-India yang muncul di Jawa Tengah pada abad VIII hingga IX. Arca Agastya tersebut juga diketahui berasal dari reruntuhan Candi Karangbesuki di Desa Karangbesuki, sebagai arca mandala candi Hindu yang ditempatkan di relung luar dinding sisi selatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk penelitian lanjutan lainnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Budiman, Arif. "Studi Logo Event (Acara) Di Daerah (Kajian Ikonografi: Studi Kasus Logo Karya Z. Hanafi di Sumatera Barat)." Jurnal Bahasa Rupa 1, no. 1 (October 28, 2017): 51–60. http://dx.doi.org/10.31598/bahasarupa.v1i1.142.

Full text
Abstract:
Logo’s event become an art medium to express an image of event. From elements of line, shape, colour, and typography which are composed unified, makes logo as a symbolic language. Logo can emphasize an identity of particular region from the diversity of local wisdom. West Sumatra which is in Minangkabau culture territority has its own concept on how human creativity reveal the messages. By a unique logo, it fulfills the aesthetic needs of society that interact people to participate the event. Theory of Iconography and Iconology reveal the meaning of logo from aesthetic aspect and aim behind the design. Zainul Hanafi is one of artist from West Sumatra that concern in graphic design. Hanafi means logo’s event in specific region must have a concept that representate the importance of each stakeholder. The representation emerge the uses of diverse colours and shapes. Overlaps, crowded icons and rousing. Although there are many logo with more simple shapes, actually it is a valid diversity.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Sunliensyar, Hafiful Hadi. "Prospek Penelitian Artefak Perunggu Temuan Kerinci Melalui Analisis Metalurgi." Siddhayatra 22, no. 2 (January 10, 2019): 89. http://dx.doi.org/10.24832/siddhayatra.v22i2.93.

Full text
Abstract:
Temuan artefak perunggu dalam se-abad terakhir di dataran Kerinci diteliti hanya sebatas pada kajian deskripsi dan ikonografi semata. Seringkali data yang didapat belum begitu akurat untuk merekonstruksi budaya masyarakatnya pada masa lampau. Apalagi temuan-temuan tersebut tidak kontekstual lagi. Analisis metalurgi yang telah banyak dilakukan peneliti terhadap temuan artefak perunggu di tempat lain, memberi kesempatan untuk ‘membongkar’ kembali artefak perunggu Kerinci agar dilakukan kajian melalui analisis metalurgi dengan studi komparatif. Melalui pendekatan induktif dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan gambaran tentang prospek penelitian artefak perunggu Kerinci melalui analisis metalurgi. Beberapa prospek penelitian ke depan antara lain: (1) aspek teknis pembuatan artefak tersebut; (2) aspek sosial-ekonomi seperti penelitian jalur perdagangan kuna ke Kerinci pada masa klasik; (3) migrasi artefak atau ideofak mengenai teknologi pembuatan perunggu dari Dongson ke wilayah Kerinci; (4) penelitian mengenai permasalahan apakah artefak perunggu Kerinci diimpor atau diproduksi secara lokal.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Basudewa, Dewa Gede Yadhu. "LAKSANA ARCA DURGA MAHISASURAMARDINI PADA BEBERAPA PURA DI BALI SEBUAH TINJAUAN VARIASI DAN MAKNA." Siddhayatra: Jurnal Arkeologi 24, no. 2 (December 16, 2019): 128. http://dx.doi.org/10.24832/siddhayatra.v24i2.155.

Full text
Abstract:
Penelitian ini dilakukan berdasarkan keunikan variasi laksana Durga Mahisasuramardini pada beberapa pura di Bali, seperti membawa laksana sesuai dengan mitologi tercipatanya Dewi Durga dan sesuai dengan keinginan pribadi pemahat (local genius). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis-jenis variasi dan makna filosofi laksana arca Durga Mahisasuramardini pada beberapa pura di Bali. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode observasi dan studi kepustakaan melalui pendekatan kualitatif yang selanjutnya dibahas menggunakan analisis ikonografi dan teori semiotika. Hasil penelitian menunjukkan Durga sebagai sakti Dewa Siwa sangat sesuai dengan tugasnya sebagai penghancur kejahatan (asura) dan memiliki tugas yang sama dengan Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semesta dari kejahatan (asura). Jenis-jenis variasi laksana yang dibawa oleh arca Durga Mahisasuramardini dalam penelitian ini adalah cakra, sangkha, sara, gada, pasa, khetaka, khadga, trisula, sakti, pustaka, camara, aksamala, keris, kuncup padma, dan ekor mahisa. Laksana-laksana tersebut sebagai atribut Durga Mahisasuramardini memiliki makna-makna filosofi berdasarkan mitologi dan fungsinya, yaitu sebagai makna kekuatan, kesaktian, kesucian, penghalang, keagungan, dan kesuburan atau kemakmuran alam semesta.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Rahmawati, Dessy, Pamungkas Wahyu Setiyanto, and Irwandi Irwandi. "Pengungkapan Makna Intrinsik Melalui Teori Ikonografi Pada Foto Anak Rohingya di Media Republika Online Edisi 17-23 September 2017." spectā: Journal of Photography, Arts, and Media 3, no. 2 (October 7, 2019): 98–109. http://dx.doi.org/10.24821/specta.v3i2.2835.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Padiatra, Aditia Muara. "GIM DARING DARI WAKTU KE WAKTU." VISUALITA 8, no. 2 (February 1, 2020): 53–59. http://dx.doi.org/10.33375/vslt.v8i2.2527.

Full text
Abstract:
Masyarakat Indonesia pada umumnya menyukai permainan. Permainan ini sendiri sifatnya bermacam-macam, dari yang dapat dimainkan sendiri ataupun berkelompok, dan biasanya dipergunakan sebagai sarana untuk melepaskan stres ataupun untuk mengisi waktu senggang. Seiring dengan perkembangan teknologi, permainan pun mulai diganti dari yang sebelumnya berada pada area dunia nyata menjadi dunia maya (daring), permainan ini disebut sebagai gim daring, dan banyak dimainkan oleh berbagai kalangan di masyarakat. Merunut kepada fenomena gim daring, penulis akan memfokuskan studi mengenai aspek ungkapan emosi yang divisualisasikan melalui pencitraan simbol-simbol tertentu sebagai media komunikasi pada salah satu gim daring, yaitu Gunbound Mobile. Hal ini menarik karena studi mengenai gim daring masih terbilang sedikit di Indonesia. Melalui analisis ikonografi dan ikonologi yang kemudian dilakukan untuk membedah tiap-tiap simbol tersebut, terlihat bahwa aspek komunikasi yang terjadi pada setiap pemain gim daring di dunia maya tidak hanya melalui teks saja, namun ada varian lain yaitu melalui unsur simbolik yang dicitrakan melalui gambar-gambar yang mewakili emosi atau perasaan-perasaan tertentu dari setiap pemainnya, hal ini tentunya menjadi fenomena yang menarik untuk dapat ditilik lebih lanjut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Prasetyo, Yongky Danang, I. Nyoman Lodra, and Autar Abdillah. "Pengembangan Perhiasan Untuk Pengrajin di Desa Batan Krajan Kab. Mojokerto Jawa Timur." Ars: Jurnal Seni Rupa dan Desain 23, no. 3 (December 31, 2020): 159–84. http://dx.doi.org/10.24821/ars.v23i3.4497.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pengembangan perhiasan dan mendeskripsikan kuwalitas pengembangan perhiasan motif Majapahit untuk pengrajin di Desa Batan Krajan Kab. Mojokerto Jawa Timur. Penelitian yang berpendekatan pengembangan seni kriya, ditinjau dari sudut proses dan kualitas produk perhiasan bermotif Surya Majapahit. Menggunakan metode eksperimen untuk menghasilkan produk perhiasan dengan gaya klasik dan postmodern. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data ialah menggunakan metode observasi untuk memperoleh data utama, serta metode wawancara dan metode analisa dokumentasi untuk memperoleh data penunjang. Hasil dari penelitian dilapangan bahwa perhiasan motif Surya Majapahit dengan kolaborasi teori ikonografi, teori ergonomi, teori design thingking dan PPE, sangat membantu pengrajin untuk dapat mengembangkan perhiasan. Mulai dari segi proses sampai kwalitas produk perhiasan yang berbahan perak. Saran yang bisa diajukan dalam penilitian ini agar bisa dimanfaatkan oleh pengrajin dalam memproses perhiasan yang berkwalitas. Sehingga untuk pengrajin lebih meningkatkan kwalitas perhiasan dalam segi desain maupun perhiasan yang bercirikan atau bermotif Majapahit. Dan bagi peneliti dapat mengkaji dan menganalisa lebih mendalam tentang perhiasan klasik maupupun postmodern bermotif Surya Majapahit lebih mendalam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Ibrahim, Azizah, and Humin Jusilin. "Cultural Elements In Kedah State Modern Painting." Mudra Jurnal Seni Budaya 36, no. 3 (August 3, 2021): 309–15. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v36i3.1574.

Full text
Abstract:
Kebudayaan adalah keseluruhan jalan hidup masyarakat atau segala aspek pemikiran dan perilaku manusia yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses belajar. Gambaran tentang adaptasi unsur budaya dalam seni lukis tahun 1940-an hingga 2020. Kutipan akan dilakukan pada lukisan modern oleh pelukis sebagai kajian diskusi dengan menjelaskan gambaran bentuk fisiknya, menganalisis aspek formalistik dan menafsirkan kedua aspek tersebut. Terakhir, pembahasan kali ini akan melihat pengaruh unsur budaya terhadap keseluruhan lukisan Kedah modern. Beberapa seniman telah dipilih untuk menonjolkan lukisan bentuk budaya lokal ke dalam ruang seni saat ini. Ada empat unsur utama yang diekspresikan dalam pembentukan seni rupa, di antaranya terkait dengan konsep yang digunakan seniman seperti teknik, unsur formalistik, dan gagasan karya secara keseluruhan. Keseluruhan kajian terkait citra budaya negara Kedah berpedoman pada konsep nilai, pranata sosial, kebutuhan, dan lingkungan yang menjadi dasar hubungan dengan nilai budaya. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori Erwin Panofsky (1939). Pendekatan ini mengusulkan tiga tingkatan analisis: Prekonografi, ikonografi, dan ikonologi. Data yang diperoleh melalui hasil penelitian lisan, dokumen dan analisis karya yang secara signifikan akan melengkapi hubungan penelitian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Krawczuk, Marcin Konrad. "APOKRYFY NOWEGO TESTAMENTU JAKO INSPIRACJA DLA SZTUKI CHRZEŚCIJAŃSKIEJ: PRZYPADEK IKONOGRAFII PRÓBY GORZKIEJ WODY W ETIOPSKICH ILUMINACJACH." Zeszyty Naukowe KUL 60, no. 2 (November 3, 2020): 339–50. http://dx.doi.org/10.31743/zn.2017.60.2.339-350.

Full text
Abstract:
Jedną z cech sztuki chrześcijańskiej Etiopii jest występowanie motywów ikonograficznych stosunkowo rzadkich w innych obszarach świata chrześcijańskiego. Wynika to między innymi z peryferyjnego położenia Etiopii i specyficznego kontekstu, w jakim rozwijała się tam sztuka religijna. Takim motywem jest między innymi próba gorzkiej wody, której według apokryficznej Protoewangelii Jakuba miała zostać poddana Maryja. Ta bardzo rzadka w sztuce wczesnochrześcijańskiej scena pojawia się ogółem w kilkunastu etiopskich iluminacjach, w większości pochodzących z rękopisów ewangelii. Etiopska ikonografia tej sceny wydaje się zależna od pierwowzorów wczesnochrześcijańskiej, zostały jednak do niej dodane pewne elementy, w szczególności symbole, które jednoznacznie łączą scenę ze Świątynią jerozolimską. Pozostaje to w zgodzie z typową tendencją etiopskiej mariologii to interpretowania postaci Maryi w kontekście Starego Testamentu. Być może to właśnie przesądziło o włączeniu próby gorzkiej wody do etiopskiej ikonografii maryjnej.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Syofiadisna, Panji. "MAKNA TIGA IKON GAJAH DI DALAM GEREJA SAINT PIERRE AULNAY PRANCIS." KALPATARU 29, no. 1 (July 16, 2020): 51–64. http://dx.doi.org/10.24832/kpt.v29i1.739.

Full text
Abstract:
Abstract. Saint Pierre Aulnay Church is a Romanic-style church (Romanesque) that was built in the 12th century and is located in the Aquitaine Region, France. In this church, there are three elephant icons in the capital columns section. At the top of the icon, there is also an inscription in Roman that reads "HI SVNT ELEPHANTES" which means "this is an elephant-elephant". This unique sentence and elephant icon is not found in other Romanic-style churches in France. Elephants are not native to Europe, but elephant icons are produced in European (French) churches. During Medieval, some churches were found to have icons of animals or mythological creatures that were placed in several parts of the church. The icons of the animals are connected with the character of Jesus and are called bestiaries. The problem that will be answered in this research is what is the meaning contained in the elephant icon with the words "HI SVNT ELEPHANTES". The review in this study is the history of iconography and emphasizes the themes, concepts, styles, and meanings of icons. The theory used to analyze the problem put forward is the iconography and iconology of Erwin Panofsky. The results of this interpretation will be compared with the meaning of elephants in the archipelago at the same time. Keywords: Bestiary, Church of Saint Pierre Aulnay, Elephant Icon, Medieval, French, Physiologus, Jesus Abstrak. Gereja Saint Pierre Aulnay adalah gereja bergaya Romanik (Romanesque) yang dibangun pada abad ke-12 dan terletak di Region Aquitaine, Prancis. Di dalam gereja ini terdapat tiga ikon gajah pada bagian capital columns. Pada bagian atas ikon terdapat pula inskripsi dalam bahasa Romawi yang bertuliskan “HI SVNT ELEPHANTES” yang artinya “ini adalah gajah-gajah”. Uniknya kalimat dan ikon gajah ini tidak ditemukan pada gereja bergaya Romanik lain di Prancis. Gajah bukan hewan asli Eropa namun ikon gajah diproduksi di gereja Eropa (Prancis). Pada masa Medieval memang didapati sejumlah gereja memiliki ikon-ikon hewan atau makhluk mitologi yang ditempatkan pada beberapa bagian gereja. Ikon dari hewan-hewan itu terhubung dengan karakter Yesus dan dinamakan bestiary. Masalah yang akan dijawab pada penelitian ini yaitu apa makna yang terkandung pada ikon gajah dengan tulisan “HI SVNT ELEPHANTES”. Tinjauan dalam penelitian ini bersifat sejarah ikonografi dan ditekankan pada tema, konsep, gaya, serta makna dari ikon. Teori yang dipakai untuk menganalisis masalah yang dikemukakan adalah ikonografi dan ikonologi dari Erwin Panofsky. Hasil dari pemaknaan ini akan dibandingkan dengan makna gajah di nusantara pada masa yang sama. Kata kunci: Bestiary, Gereja Saint Pierre Aulnay, Ikon Gajah, Medieval, Physiologus, Yesus
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Klejnocki-Różycki, Dariusz. "Ikony arabskie." Studia Oecumenica 16 (December 30, 2016): 217–31. http://dx.doi.org/10.25167/so.3267.

Full text
Abstract:
Ikona jest formą komunikowania chrześcijańskich dogmatów wiary. Ikona, jako fenomen, rozwinęła się głównie dzięki Bizancjum. Jednak Bizancjum nie było jedynym miejscem twórczości ikonograficznej. Ikony były tworzone zarówno na Zachodzie, jak i na Wschodzie niebizantyjskim. Dla chrześcijan arabskich centrum ikony było Aleppo. Wpływ kultury islamu i świata arabskiego zostawił ślad na sztuce chrześcijańskiej, która stworzyła charakterystyczne formy, zwłaszcza poprzez arabeskową ornamentykę. Pośród znamienitych artystów, tworzących ikony arabskie w Aleppo, najbardziej znana jest rodzina – od dziadka do prawnuka: Youssof, Nemeh, Hannania i Girgis. Dzięki tym ikonografom można śledzić ewolucję ikony arabskiej na przestrzeni XVII i XVIII w. Także w Egipcie powstawały ikony arabskie, które ubogacały przekaz chrześcijańskiej wiary dzięki swej odmiennej specyfice. Arabscy chrześcijanie, którzy dzisiaj w wojnie są mordowani za wiarę, mają wielką historię tradycji chrześcijańskiej, która wyraża się również w ikonografii.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Yusuf, Muhamad Satok. "SUMPING PENANDA KESENIAN ARCA PADA MASA KADIRI – SINGHASARI." Naditira Widya 15, no. 1 (July 13, 2021): 15–30. http://dx.doi.org/10.24832/nw.v15i1.456.

Full text
Abstract:
Peradaban masa Hindu-Buddha, berdasarkan tinggalan arkeologinya, merupakan puncak kebudayaan Indonesia. Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Singhasari menempati satu ruang kesejajaran sebagai masa-masa puncak kesenian di Jawa Timur, yang ditandai oleh tinggalan arkeologi berupa arca yang dipahatkan secara halus, indah, dan detail. Penggarapan arca mengikuti pakem ikonografi, khususnya pada laksana dan wahana. Walaupun begitu, kebebasan berekspresi si artis dalam penggarapan arca dapat dilihat pada penggambaran perhiasannya, salah satunya adalah sumping. Oleh karena itu, melalui sumping dapat dirunut identitas kesenian pada masa Kadiri-Singhasari, khususnya tipo-morfologi, fungsi, dan makna sumping. Penelitian tentang sumping pada masa Hindu-Buddha sangat jarang dikemukakan secara mendalam. Penelitian ini bersifat kualitatif, tetapi menggunakan analisis kuantitatif dalam bentuk tabulasi dan klasifikasi khusus berdasarkan data yang telah dikumpulkan melalui observasi dan kajian pustaka. Teori mimesis dan kreativitas digunakan untuk mengkaji perkembangan tipo-morfologi sumping pada masa Kadiri-Singhasari. Penggunaan karya sastra sezaman merupakan hal yang penting sebagai pembanding untuk memahami pemaknaan sumping, baik secara profan maupun sakral. Hasil penelitian menunjukkan sumping pada masa Kadiri-Singhasari dibagi menjadi empat tipe, yaitu A, B1, B2, dan C. Tipe B2 dan tipe C merupakan pengembangan yang terjadi pada masa Singhasari. Sumping pada arca menunjukkan fungsinya sebagai hiasan telinga dan media peribadatan. Penggunaan sumping merupakan simbol religio-magis dari pengultusan bunga dalam agama Hindu dan Buddha.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Purc-Stępniak, Beata. "Metafory miłości w Portrecie patrycjuszki gdańskiej Antona Möllera." Roczniki Humanistyczne 69, no. 4 (May 10, 2021): 93–133. http://dx.doi.org/10.18290/rh21694-5.

Full text
Abstract:
Portret patrycjuszki gdańskiej, przypisywany Antonowi Möllerowi Starszemu (ok. 1563-1611), budzi do dziś spory atrybucyjne, nie ustalono także tożsamości portretowanej. Obraz posiada interesującą ikonografię, wskazującą na inspiracje sztuką włoską i funkcjonującymi w niej metaforami różnych aspektów miłości. Na Portrecie patrycjuszki gdańskiej była pierwotnie przedstawiona kotara zaopatrzona w dwa węzły. Ujawniła to fotografia w świetle podczerwonym. Ten ikonograficzny szczegół nie został zauważony przez badaczy. Nie interesowano się nim w semantyce portretu, wystąpił jednak w siedmiu zachowanych do dziś, a malowanych przez Antona Möllera i jego warsztat portretach kobiet, mężczyzn i dzieci. Artykuł poddaje analizie Portret patrycjuszki gdańskiej z uwzględnieniem zastosowanych w nim motywów, atrybutów i ubioru. Jest to przyczynek do badań nad portretem prywatnym, który obowiązywał w Gdańsku pod wpływem mody panującej w XVI wieku w malarstwie europejskim, nawiązującym do włoskiego arystokratycznego portretu kobiet. Analiza konterfektu zwraca uwagę, że ta praca w swojej stylistyce wykazuje wpływ malarstwa niderlandzko-niemieckiego, natomiast w ikonografii rozwija model obrazowy zaczerpnięty z tradycji malarstwa i grafiki włoskiej (Florencja i Wenecja). Jest także próbą identyfikacji portretowanej jako żony Johanna Speymanna, Marii Judity z Bahrów.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Lodra, I. Nyoman. "Lambang Dewate Nawasange Sebagai Wujud Pengaruh Peradaban Majapahit Di Bali." Mudra Jurnal Seni Budaya 34, no. 2 (May 22, 2019): 165–71. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v34i2.698.

Full text
Abstract:
Lambang “Dewate Nawesange” sebagai gambaran visual 9 dewa manifestasi Ide Sang Hyang Widhi yang mengusai sembilan penjuru mataangin merupakan bagian dari nilai ajaran Agama Hindu. Oleh umat Hindu di Bali lambang tersebut termasuk di sakralkan dan digunakan sebagai sarana/prasarana upacara serta wujudnya dibuat dalam bentuk relief, gambar (kober, umbul-umbul), “sate gelar sange”. Kajian visual lambang Dewate Nawesange tersebut ada kesamaan serta kuat dugaan telah terjadi akulturasi dengan lambang Surya Majapahit Trowulan Jawa Timur. Para ahli menyebut gambar lambang Surya Majapahit yang tersimpan di Musium Trowulan tersebut sebagai lambang dari kerajaan Majapahit. Fokus pembahasan: bagaimana bisa terjadi kemiripan atau kesamaan bentuk visual antara lambang Surya Majapahit dengan lambang “Dewate Nawesange”?. Tujuan: mendiskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi kemiripan atau kesamaan bentuk visual antara lambang Surya Majapahit dengan lambang Dewate Nawesange. Metode penelitian: deskriptif kualitatif menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadi kesamaan dari dua lambang tersebut, dengan kajian teori semiotik, teori etnografi, ikonografi, dan teori pertukaran sosial. Sumber data: dokumen lambang Surya Majapahit yang ada di Musium Trowulan dan lambang “dewate nawesange” yang berkembang di Bali. Hasil kajian dan analisis lambang Surya Majapahit dan lambang Dewate Nawesange ditemukan telah terjadi akulturasi ajaran “sekte-sekte” di Bali dengan lambang Surya Majapahit. Temuan: lambang ”dewate nawesange” sebagai bentuk akulturasi dari nilai ajaran “sekte-sekte” di Bali terjadi pada saat kekuasaan kerajaan Majapahit.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Sumerata, I. Wayan, and Dewa Gede Yadhu Basudewa. "PERSEBARAN ARCA BERCORAK SIWAISTISDI KOTA DENPASAR, BALI." Forum Arkeologi 29, no. 2 (March 13, 2017): 93. http://dx.doi.org/10.24832/fa.v29i2.188.

Full text
Abstract:
This research aims to reconstruct the history of human culture, and the depiction of alteration process of man’s culture in the past as well as contribute data about development history of figurine art, particuarly figurine with siva characteristic in Denpasar. Data were collected using observation, interview, and literature study method and were analyzed using qualitative analysis and iconography. The research result shows that figurines with siva characteristic in Denpasar distributed in ten sanctuaries. The types of siva character figurine are Durga, Ganesha, linga yoni, linga, yoni, holy priest, and nandi. Up to now those figurines are still functioned by the people for religious activities and as media to connect with God Almighty. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan manusia masa lampau, dan penggambaran proses perubahan budaya manusia masa lampau, serta memberikan sumbangan data mengenai sejarah perkembangan seni arca, khususnya yang bercorak Siwaistis di Kota Denpasar. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi kepustakaan dan dianalisis menggunakan analisis kualitatif dan ikonografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arca bercorak Siwaistis di Kota Denpasar tersebar pada 10 tempat suci. Jenis arca bercorak Siwaistis yang ditemukan seperti arca Dewi Durga, arca Ganesha, lingga yoni, lingga, yoni, arca pendeta, dan arca Nandi. Sampai saat ini arca-arca tersebut masih difungsikan dan dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan sekaligus sebagai media untuk menghubungkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Hidayanto, Andi Farid. "KAJIAN MAKNA PANIL 13, PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR." Jurnal Kreatif : Desain Produk Industri dan Arsitektur 1, no. 2 (October 14, 2020): 12. http://dx.doi.org/10.46964/jkdpia.v1i2.109.

Full text
Abstract:
Borobudur temple in Indonesia as the largest temple is the ancestral filled with meaning stored in it. both in terms of shape, dimensions, levels, and reliefs. The reliefs depict an ongoing narrative between the panels with other woods panels forming the course of a story. To learn the hidden meaning in these panels can be used several methods. one of which is a method of iconography. with this method in order to obtain proper perspective to understand the background of an object being observed so that helps provide information on the history, politics, and life at a time. so as to know what the meaning is stored in one of the panels. Candi Borobudur sebagai candi terbesar di Indonesia merupakan peninggalan nenek moyang yang penuh dengan makna yang tersimpan di dalamnya. Baik dari sisi bentuk, dimensi, tingkatan maupun reliefnya. Relief-relief tersebut menggambarkan suatu cerita yang berkesinambungan antara panil satu dengan panil lainnya membentuk jalannya sebuah cerita. Untuk mempelajari makna yang tersembunyi pada panil tersebut dapat digunakan beberapa metode. Salah satunya adalah metode Ikonografi. Dengan metode ini agar dapat diperoleh sudut pandang yang tepat untuk memahami latar belakang suatu objek yang diamati sehingga membantu memberi keterangan mengenai sejarah, politik, serta kehidupan pada suatu masa. Sehingga dapat diketahui apa makna yang tersimpan dalam suatu panil tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Gde Bagus, A. A., and Nyoman Rema. "KEHARMONISAN DALAM TINGGALAN ARKEOLOGI DI PURA DANGKA, TEMBAU, DENPASAR." Forum Arkeologi 30, no. 2 (October 31, 2017): 65. http://dx.doi.org/10.24832/fa.v30i2.442.

Full text
Abstract:
Dangka Tample is one of the temples that keep the archaeological remains of ancient Balinese era, still sacred, by its penyungsung people, because it has important meaning for harmony. This study aims to determine the meaning of harmony that is reflected in the remains of akeologi in the temple. This research is a qualitative research, whose data is collected through direct observation in Pura Dangka, analyzed by iconography, the results are presented in narrative, and completed with drawings. The results of this research are Linga-yoni, statue of Dewi Durga, statue of Ganesha, statue of Nandi. Of all these remains, there is Linga-yoni which has a larger size among the others, which is thought to be the main medium of worship, while the other remains as supporting media in achieving harmony. Pura Dangka adalah salah satu pura yang menyimpan tinggalan arkeologi dari jaman Bali Kuno, masih dikeramatkan, oleh masyarakat penyungsungnya, karena memiliki makna penting untuk keharmonisan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna keharmonisan yang tercermin pada tinggalan akeologi di pura tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang datanya dikumpulkan melalui observasi langsung di Pura Dangka, dianalisis secara ikonografi, hasilnya disajikan secara naratif, dan dilengkapi gambar. Hasil penelitian ini berupa Lingga-yoni, arca Dewi Durga, arca Ganesa, arca Nandi. Dari semua tinggalan tersebut, terdapat Lingga-yoni yang mempunyai ukuran yang lebih besar di antara tinggalan lainnya, yang diduga sebagai media utama pemujaan, sedangkan tinggalan lainnya sebagai media pendukung dalam mencapai keharmonisan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Daniel Morin, Lutse Lambert. "Problematika Tugu Yogyakarta dari Aspek Fungsi dan Makna." Journal of Urban Society's Arts 1, no. 2 (October 10, 2014): 135–48. http://dx.doi.org/10.24821/jousa.v1i2.794.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk memahami fungsi dan makna bangunan TuguYogyakarta. Tugu Yogyakarta adalah bangunan berbentuk prisma segi empatdan menggunakan unsur-unsur seni rupa berupa garis, titik, warna, dan bidangsebagai dasar pembuatannya yang memiliki makna-makna yang dapat dipahamiberdasarkan telaah filosofi masyarakat Jawa. Penelitian ini menggunakan metodepenelitian kualitatif dengan pendekatan ikonografi. Pemaknaan Tugu Yogyakartamengalami pergeseran setiap generasi seiring dengan perubahan budaya masyarakatYogyakarta. Tugu telah berubah dan mulai kehilangan nilai kesakralannya ataumengalamai disakralisasi. Filosofi manunggaling kawula lan Gusti telah hilangdan tidak tercermin pada tugu saat ini. Sehingga bagi Keraton, tugu saat ini tidakbermakna. Tugu bukan lagi menjadi salah satu simbol keraton tetapi lebih padaikon Kota Yogyakarta saja. Tugu Yogyakarta and its Problems on the Aspects of Function and Meaning. Theresearch is aimed to understand the function and meaning of Tugu Yogyakarta. TuguYogyakarta is a rectangular prism-shaped building and uses the meanings implied in thevisual art elements such as lines, dots, color, and the surfaces as they are the basis in themaking process that can be understood by scrutinizing the Javanese society philosophy. Itis a qualitative research using the iconographic approach. The shifting meaning of TuguYogyakarta has gradually been experienced by Yogyakarta people which goes along withthe cultural changes. It has unfortunately changed and started losing its sacred value.‘Manunggaling kawulo lan Gusti’ as its philosophy has gone and no longer reflected bythe monument. Therefore, Tugu Yogyakarta has no meaning today. It is no longer one ofthe Keraton Yogyakarta symbols, but merely as the icon of Yogyakarta city instead.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Witko, Andrzej. "Ikonografia trynitarska." Folia Historica Cracoviensia 13 (January 28, 2016): 145. http://dx.doi.org/10.15633/fhc.1468.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Murdihastomo, Ashar, Yoses Tanzaq, Ayu Dipta Kirana, and Fitra Nur Fadhilah. "Interpretasi Pemaknaan Relief Tokoh Gaja-Lakșmī Koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta." AMERTA 37, no. 2 (February 14, 2020): 109–22. http://dx.doi.org/10.24832/amt.v37i2.109-122.

Full text
Abstract:
Abstract, The existence of Gaja-Lakșmī sculpture at Sonobudoyo Museum is interesting because it is rarely found in Indonesia. The figure of Gaja-Lakșmī is depicted in a sitting position. There are two elephants that carved on the right and left side of goddess. The elephants lift their trunks and showed that they are pouring water on the goddess. Certainly, the sculpture has a specific purpose, especially, because it was carved on media that indicated as the upper (dorpal) entrance of a temple building. The aim of disclosure of the sculpture is to find out the purpose and function of the depiction of the Gaja-Lakșmī character in the past. Through the process of identifying iconography and literature studies, the purpose and function of the depiction of the Gaja-Lakșmī figure is as a protector of people's welfare. Abstrak, Keberadaan relief tokoh Gaja-Lakșmī di Museum Sonobudoyo merupakan salah satu hal menarik mengingat gambaran ini sangat jarang ditemukan di Indonesia. Tokoh Gaja-Lakșmī tersebut digambarkan dalam posisi duduk yang pada sisi kanan dan kirinya terdapat dua ekor gajah yang mengangkat belalai seolah-olah menuangkan air kepada sang dewi. Tentunya penggambaran tokoh dewi ini memiliki maksud tertentu, terlebih, karena tokoh ini diletakkan di tempat yang diindikasikan sebagai bagian atas (dorpal) pintu masuk suatu bangunan candi. Pengungkapan makna penggambaran ini adalah untuk mengetahui tujuan dan fungsi tokoh Gaja-Lakșmī pada masa Matarām Kuno. Melalui proses identifikasi ikonografi dan kajian pustaka, diperoleh informasi bahwa tujuan dan fungsi penggambaran tokoh Gaja-Lakșmī adalah sebagai pelindung kesejahteraan masyarakat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

JANOCHA, BP MICHAŁ. "MAGNIFICAT W IKONOGRAFII." Colloquia Litteraria 18, no. 1 (September 20, 2016): 29. http://dx.doi.org/10.21697/cl.2015.18.1.03.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Wasilewska, Jolanta. "Szkaplerz – Ikonografia przedstawień." Archiwa, Biblioteki i Muzea Kościelne 105 (June 1, 2016): 329–43. http://dx.doi.org/10.31743/abmk.12071.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Kieven, Lydia. "Pañji and Candrakirana Lost in Separation – Three Ancient East Javanese Sculptures." AMERTA 34, no. 1 (June 25, 2016): 31. http://dx.doi.org/10.24832/amt.v34i1.74.

Full text
Abstract:
Pañji dan Candrakirana, Hilang karena Terpisah – Tiga Arca Kuno Periode Jawa Timur. Makalah ini membahas tiga arca, satu arca lelaki dan dua arca perempuan, yang berasal dari periode Jawa Timur (sekitar 1450 M). Arca lelaki yang biasa ditemukenali sebagai tokoh mitologis, yaitu Raden Pañji, dalam penggambaran aslinya didampingi oleh arca yang menggambarkan Putri Candrakirana sebagai pasangannya. Arca ini sudah hilang. Sebuah arca perempuan lain yang masih ada juga diyakini sebagai representasi Candrakirana. Berdasarkan metode ikonologi yang digunakan di dalam penelitian ini, tulisan ini membahas ikonografi, gaya dan perbandingan penggambaran tiga figur ini, serta mendiskusikan tempat pembuatan, asal-usulnya, dan kisah hidupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setidaknya terdapat dua pasang penggambaran Pañji dan Candrakirana, dan kemungkinan masih banyak lagi yang belum ditemukenali. Pemujaan Pañji dan Candrakirana sebagai semi-manusia dan semi-dewa adalah bagian religiusitas spesifik dalam zaman Majapahit Abstract. This paper discusses three sculptures, a male and two female ones, dating to the East Javanese period (c. 1450 AD). The male image which is commonly identified as the depiction of the mythological Prince Pañji, originally was accompanied by a statue depicting his female counterpart Princess Candrakirana, this statue being lost today. Another female statue, still extant today, is argued to represent another depiction of Candrakirana. Based on the method of iconology, this study investigates the iconography, style, and the comparison of these images, and it raises questions of workshops, provenance and life history. The conclusion suggests the existence of at least two pairs of sculptures depicting Pañji and Candrakirana, and possibly a larger – so far – unknown number. The cult of worshipping Pañji and Candrakirana as semi-divine deities makes part of the specific religiosity during the Majapahit time.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography