To see the other types of publications on this topic, follow the link: Kebebasan pers.

Journal articles on the topic 'Kebebasan pers'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Kebebasan pers.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Ramdani, Fauziah, Arifuddin Tike, and Zelfia Zelfia. "Kebebasan Pers dan Etika Media (Telaah Konsep Kebebasan Pers dan Etika Media)." RESPON JURNAL ILMIAH MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI 5, no. 4 (2024): 93–102. https://doi.org/10.33096/respon.v5i4.273.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep kebebasan pers, etika media dan hubungan antara kebebasan pers dan penerapan etika media dalam praktik jurnalistik di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka (library research). Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kebebasan pers dianggap sebagai pilar demokrasi karena media berperan sebagai pengawas pemerintah dan lembaga kekuasaan lainnya. 2) Munculnya UU Pers tahun 1999 melegitimasi peran dan tanggungjawabnya yaitu kebebasan dalam berpendapat. 3) Sejarah otoritarian pers orde baru yng mengekang dan membatasi kebebasan berpendapatmenjadi cikal bakal munculnya konsep pers bertanggungjawab sosial yang diadopsi dari pemikiran Kant dalam teori etikanya dan menjadi solusi bagi kebebasan pers di Indonesia. 4) Kebebasan pers tidak berarti kebebasan tanpa kontrol. Enam hal yang perlu dibatasi dalam kebebasan pers yaitu:a) Menyebarkan kebencian; b) Konten pencabulan dan pornografi; c) Melakukan fitnah dan pencemaran nama baik; d) Iklan yang berbohong (deceptive advertising); e) Promosi zat yang tidak layak dikonsumsi anak dan remaja (misalnya rokok); f) Pembocoran rahasia negara yang dapat membahayakan keselamatan negara. 5) Kebebasan pers dan etika media saling melengkapi. Media memiliki kebebasan untuk memberitakan, tetapi media juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemberitaan yang ada sesuai dengan standar etika. Ini penting agar media dapat berfungsi secara maksimal dalam memperkuat demokrasi dan menjaga kepercayaan publik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Susilawati, Susilawati. "Pertanggung Jawaban Pers Terhadap Kebebasan Pers." Citra Justicia : Majalah Hukum dan Dinamika Masyarakat 21, no. 2 (2020): 67. http://dx.doi.org/10.36294/cj.v21i2.969.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Fithry, Abshoril. "KEBEBASAN PERS DAN DAMPAK PENYALAHGUNAAN PERS." Jurnal Jendela Hukum 4, no. 1 (2021): 63–68. http://dx.doi.org/10.24929/fh.v4i1.1411.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana pers menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Pers dan implikasi berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Terhadap Kebebasan Pers. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi sesuai dengan karakteristik prepenelitian ilmu hukum. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.
 Pertanggungjawaban pidana pers di Indonesia memakai dualisme pertanggungjawaban pidana pers, yaitu melalui jalur pemidanaan dengan menggunakan KUHP, atau menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan melaksanakan pemenuhan hak jawab dan pengaduian melalui dewan pers. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pers jika ditinjau dari ketentuan hukum pidana dapat dilihat dari setiap peran yang dilakukan oleh subyek hukum tersebut seperti 1) Pertanggungjawaban pidana Penulis, wartawan, fotografer, kolumnis, 2) Pertanggungjawaban pidana penerbit, 3) Pertanggungjawaban pidana Pencetak, 4) Pertanggungjawaban pidana Pengedar
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Armansyah, Armansyah. "Hukum, Kekuasaan & Kebebasan Pers." Jurnal Pemerintahan 7, no. 13 (2012): 1–14. http://dx.doi.org/10.55745/jpstipan.v7i13.128.

Full text
Abstract:
Salah satu prinsip suatu negara konstitusional yang demokratis adalah hadirnya kebebasan pers yang merupakan perwujudan dari hak asasi manusia dan dalam perspektif ketatanegaraan, kemerdekaan pers bersumber dari konsep kedaulatan rakyat yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebebasan pers dapat berjalan tergantung politik hukum suatu rezim. Kebebasan pers terikat dengan suatu sistem ketatanegaraan kebebasan pers tidak luput dari pengaruh kekuasaan atau konfigurasi politik suatu negara, sehingga keterkaitan pers dengan kepentingan politik tidak dapat diabaikan. Interaksi pers dengan penguasa dapat terlaksana apabila masing-masing menyadari kewajiban sesuai posisinya dan bersifat timbal balik (check and balances). Interaksi pers dan penguasa adalah sejauhmana kebebasan pers dalam menyajikan pemberitaannya. Sementara dari segi peran penguasa sebagai institusi pengawas adalah sampai dimana batasannya dalam memberikan toleransi sehingga proses interaksi itu masih dikatakan positif.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Setyowati, Anggi, and Pramukhtiko Suryo Kencono. "Kebebasan Pers Dalam Penyampaian Berita Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers." Indonesian Journal of Law and Justice 2, no. 1 (2024): 18. http://dx.doi.org/10.47134/ijlj.v2i1.3047.

Full text
Abstract:
Di negara Demokrasi yang sudah maju, isu konvergensi menyebabkan bidang media massa diwajibkan tunduk pada pengaturan tentang kepemilikan silang yang berasaskan kepada keterbukaan dan pembatasan kepemilikan di bidang yang berkonvergensi. Pers berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat, yang mana fungsi dasar pers itu sendiri menyebarkan informasi yang didapat berdasarkan fakta dan data di lapangan yang penting untuk diketahui publik. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kebebasan pers dijamin sebagai hak setiap warga negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa lembaga pers memiliki kebebasan untuk menunjukkan eksistensi diri tanpa ada tindakan penyensoran, pembredelan atau larangan penyiaran dari pemerintah dengan tujuan menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Tujuan adanya penelitian ini yaitu untuk 1. Mengetahui kriteria kebebasan pers menurut Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. 2. Mengetahui kontrol kebebasan pers dalam pemberitaan menurut Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelititan ini, yaitu: 1. Apa kriteria kebebasan pers menurut Undang- Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers? 2. Bagaimana kontrol atas kebebasan pers dalam pemberitaan menurut Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers?
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

St. Fatmawati. L, Hijriani Hijriani, Siswanto Azis, and M. Yusuf. "Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan dalam Melaksanakan Tugas Jurnalistik." Sultra Research of Law 4, no. 2 (2022): 76–61. http://dx.doi.org/10.54297/surel.v4i2.57.

Full text
Abstract:
Secara normatif kebebasan pers telah diatur dengan tegas dalam UU tentang Pers, disebutkan bahwa kebebasan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Kebebasan pers dan pekerja pers dalam praktek jurnalistik tidak luput dari berbagai problematika yang membatasi kebebasan pers atas pemberitaan dan kebebasan berekspresi, yang mengarah dan mengancam kebebasan pers. Tujuan penelitian ini untuk menguraikan perlindungan hukum bagi pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif, pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini bahwa pers diberikan kebebasan atau kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kode etik jurnalistik, hanya saja berdasarkan UU tentang Pers belum memberikan perlindungan hukum optimal bagi pers dalam menjalankan tugas jurnalistik, walaupun secara yuridis telah diatur dengan tegas dalam berbagai ketentuan, yaitu di dalam Pasal 28 dan Pasal 28F UUD Negara Republik Indonesia; Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII Tahun 1998; dan Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 8 UU tentang Pers. Kemudian di dalam praktek penyelesaian kasus mengenai pers diberlakukan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Informasi Transaksi Elektonik (ITE).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Amrihani, Haresti Asysy. "Pers di Indonesia, Malaysia dan Thailand: Sama-sama Bebas tetapi Berbeda." CARAKA : Indonesian Journal of Communications 2, no. 2 (2021): 104–17. http://dx.doi.org/10.25008/caraka.v2i2.64.

Full text
Abstract:
Setiap negara memiliki regulasi dalam mengatur kebebasan pers, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Kebebasan pers di Indonesia dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 Pasal dan Undang Undang Nomor No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di Malaysia, kebebasan pers diatur dalam Kontitusi Federal Pasal 10, dan di Thailand diatur dalam undang-undang pengaturan media yang dibuat oleh Majelis Persiapan Reformasi Nasional. Studi ini bertujuan untuk memahami kebebasan pers di tiga negara anggota ASEAN itu. Paradigma yang digunakan adalah konstruktivis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode yang digunakan adalah studi literatur. Data diperoleh dari sumber sekundea seperti dari berbagai jurnal nasional dan internasional, buku, artikel, berita, maupun dokumen pendukung lainnya. Temuan penelitian adalah, dari ketiga negara tersebut, kebebasan pers di Indonesia relative lebih baik daripada Malaysia, dan Thailad. Indonesia menempati peringkat 113 dalam indeks kebebasan pers dari seluruh dunia, sedangkan Malaysia di urutan 119, dan Thailand di urutan 137.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Yulianto, Irwan, and Antonius Ratobata. "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEBEBASAN PERS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS." FENOMENA 19, no. 02 (2024): 173. https://doi.org/10.36841/fenomena.v19i02.5557.

Full text
Abstract:
Penelitian yang berjudul �Perlindungan Hukum terhadap Kebebasan Pers,� Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur Pers menyatakan bahwa kebebasan pers terancam oleh peningkatan kekerasan terhadap pers yang mengkhawatirkan, yang membutuhkan perhatian segera. Sebagai perlindungan utama bagi jurnalis, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin keselamatan mereka dan memungkinkan mereka untuk memberikan laporan yang jujur kepada publik. Hasil investigasi ini akan sangat penting dalam mengevaluasi apakah kebebasan pers dilindungi secara hukum.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Saleh, Fathurahman, and Bilal Sukarno. "Kekerasan Terhadap Jurnalis oleh Oknum Aparat Kepolisian Saat Meliput Aksi Demonstrasi Di JakartaTahun 2019-2020." POPULIKA 9, no. 2 (2021): 35–59. http://dx.doi.org/10.37631/populika.v9i2.379.

Full text
Abstract:
Negara dengan sistem demokrasi yang biasanya menitikberatkan pada kebebasan, paling sedikit memiliki 2 (dua) unsur kebebasan yang secara umum digambarkan, yaitu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kebebasan pers di negara demokrasi dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur demokratis tidaknya suatu negara. Jurnalis sebagai elemen terpenting dalam pers atau media seringkali menghadapi berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, salah satunya adalah polisi. Kekerasan terhadap jurnalis oleh polisi kerap terjadi saat jurnalis meliput demonstrasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kepustakaan yang bertujuan untuk melihat bentuk dan dasar dari kebebasan pers di Indonesia, serta mengidentifikasi tindakan kekerasan yang dialami jurnalis oleh oknum pihak kepolisian saat meliput aksi demonstrasi yang terjadi di Jakarta dalam kurun waktu 2019-2020.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Viryawan, Muhammad Idham, Shakila Maritza, and Siti Setyaningrum. "MELEMAHNYA KEBEBASAN PERS DI FILIPINA." CommLine 7, no. 2 (2023): 124. https://doi.org/10.36722/cl.v7i2.1331.

Full text
Abstract:
<p><em>In the era of globalization that has happened so rapidly lately, journalists have given a new color to the world and broadcasting. This can be seen from how easy it is to get news from online news sites. Currently, it has also been regulated regarding the freedom of the press in obtaining and releasing news that will be consumed by the public, of course in accordance with the journalistic code of ethics. Not a few of the journalists who criticize the decisions of leaders in a country where it is done to build an upright democracy. However, it is unacceptable in the same way that the President of the Philippines did by closing and licensing the Rappler news agency who was innocent of defaming, spreading hoaxes, and embezzling tax funds. From this, the researcher wants to understand more deeply about the problem by revealing it in this scientific journal. The research method used is a qualitative method which is a literature study. And from this research, it can be concluded that the dictatorship of a leader from the Philippines has limited the human rights that can be done from closing the Rappler news agency because he does not want to damage his reputation as a leader, and it can be said that he always justifies all means in realizing the anti-criticism that exists within him. . In this case but asked by the journalist and owner of the Rappler News Agency, the Court will not accept it and win the president in the case.</em><strong><em></em></strong></p><p align="left"><strong><em>Keywords:</em></strong> <strong><em>Press Policy, Media, News Site, Closing</em></strong><em> </em><strong><em></em></strong></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Dasa Syawal Syahputra. "PERS DAN PEMERINTAH." WARAQAT : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 4, no. 2 (2020): 16. http://dx.doi.org/10.51590/waraqat.v4i2.84.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal yang berkaitan dengan Pers dan Pemerintah diantaranya adalah, Pertama: Apa pengertian dari Pers itu sendiri. Kedua: Apa sajakah fungsi dari pers. Ketiga: Apa saja pilar penyangga pers itu. Keempat: Bagaimana sistem pers yang berlaku. Kelima: Penelitian ini juga membahas tentang pengaruh pers Internasional terhadap pers dalam negeri. Keenam: Ulasan tentang sistem berita. Ketujuh: Bagaimana arus berita internasional. Kedelapan: tentang kebebasan pers, sejauh mana dan apakah ada aturan dan persyaratan yang berlaku untuk kebebasan ini. Kesembilan: Rambu-rambu kebebasan pers dan pengawasan pemerintah terhadap pers itu sendiri. Kesepuluh: Kami juga akan menyampaikan sedikit tentang Undang-Undang Pers.
 Dalam penelitian ini akan disimpulkan tentang kesepuluh hal tersebut untuk kemudian menjadi pedoman bagi setiap insan pers dalam menjalankan profesi dan tugasnya. Karena dengan mengetahui kesepuluh hal ini, sangat cukup bagi kita untuk mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan Pers dan pemerintah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Baskoro, L. R. "Kekerasan Terhadap Pers dan Perlindungannya." Jurnal Hak Asasi Manusia 7, no. 7 (2021): 197–221. http://dx.doi.org/10.58823/jham.v7i7.67.

Full text
Abstract:
Pers Indonesia pascareformasi memiliki kebebasan yang diatur dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang tentang Pers. Undang-Undang tentang Pers, UU No. 40/1999, juga melahirkan Dewan Pers yang independen, lembaga yang bertugas menjaga kebebasan pers sekaligus berfungsi antara lain sebagai mediator jika ada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers. Era reformasi telah melahirkan banyak media. Pers tumbuh subur dan masyarakat ikut menikmatinya. Tapi, kekerasan terhadap pers, terhadap wartawan terus terjadi dan terus meningkat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Maerani, Ira Alia. "Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pers." Jurnal Hukum 29, no. 1 (2014): 1124. http://dx.doi.org/10.26532/jh.v29i1.329.

Full text
Abstract:
 Abad millenium ketiga salah satunya ditandai dengan desakan tumbuhnya kebebasan pers seiring dengan maraknya media pers yang mengikuti laju arus reformasi. Agar kebebasan pers berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu diatur dalam sebuah aturan yang tidak mereduksi kebebasan pers itu sendiri. Sehingga pers tumbuh dan berkembang sesuai peran yang diamanatkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dalam tulisan ini akan diangkat bagaimana kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana pers saat ini, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pokok permasalah kedua yang dikaji adalah bagaimana kebijakan hukum pidana dalam upaya menanggulangi tindak pidana pers yang akan datang selaku ius constituendum. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan Konsep KUHP Tahun 2012 sebagai acuan.Kata kunci: Kebijakan, hukum pidana, penanggulangan tindak pidana pers.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Oktaviani, Anita. "Pers Yang Terbelenggu Tahun 1974-1998." PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah 6, no. 1 (2024): 1–12. https://doi.org/10.21009/periode.061.3.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami penyebab terjadinya pembatasan kebebasan pers di massa orde baru serta memahami polemik yang terjadi antara pers dan pemerintah. Metode yang digunakan adalah metode historis naratif. Hasil penelitian ini adalah dapat menjelaskan latar belakang pembatasan pers yang terjadi pada massa orde baru. Dapat mengetahui dan memahami polemik yang muncul antara pers dan pemerintah pada massa orde baru. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pers mengalami pembatasan kebebasan di massa orde baru dengan melakukan pembredelan terhadap pers oleh pemerintah di tahun 1974 pada peristiwa Malari, karena sudah berani mengkritik kebijakan pemerintah. Dalam melakukan tugasnya pers memiliki hak untuk mengontrol pemerintah dengan mengkritik pemerintah agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Oleh sebab itu, pemerintah tidak harus melakukan pembredelan kepada pers tapi langsung diajukan ke pengadilan jika pers terbukti melakukan kesalahan kepada pemerintah. Dan juga pers dalam melakukan tugas nya harus memiliki kebebasan dengan berdasarkan tanggung jawab dan kode etik jurnalistik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Fronqi, Fronqi Bella Enrin. "REPRESENTASI KRITIK MELALUI HUMOR DALAM MEDIA DIGITAL YOUTUBE DI CHANEL MAJELIS LUCU INDONESIA." Al-Ittishol: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam 2, no. 2 (2021): 110–23. http://dx.doi.org/10.51339/ittishol.v2i2.307.

Full text
Abstract:
Kebebasan berekspresi adalah hak individu untuk membagi dan menerima informasi, memperbincangkan hal tersebut, dan menyebarkannya. Kebebasan berekspresi sering kali disamakan dengan kebebasan pers, sebenarnya hal ini berbeda di lihat kebebasan berekspresi diartikan sangat luas sementara kebebasan pers hanya di fokuskan pada penyiaran, media cetak,jurnalis, dan jurnalisme. Kebebasan berekspresi dapat menjadi sarana komunikasi melalui banyak media salah satunya adalah sosial media youtube. Kebebasan berekspresi melalui media sosial youtube memiliki aturan dan dampak tersendiri mengingat pengguna media sosial youtube terbagi dari banyak lapisan usia. Penelitian ini menggunakan referensi jurnal-jurnal penelitian serupa sebelumnya dan buku sebagai sumber data.
 Kata Kunci: kebebasan berekspresi, komunikasi, youtube
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Manan, Bagir. "PENGHINAAN TERHADAP PENGADILAN VERSUS KEBEBASAN PERS." Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 2 (2015): 189. http://dx.doi.org/10.25216/jhp.4.2.2015.189-198.

Full text
Abstract:
Press is manifestation of public soverignty to the power. Press control function covers critic, analytic, and information to the public, so all the activities which are from branches of power based on the public wish and hope. Freedom of press is limited by the press law and code of conduct. The freedom of press can not be used for humaliation, harassment, or interference of judicature process. Press must respect the institution and independency of judiciary.Keywords : Contempt of Court, Freedom and Press
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Adhyanti Mirzana, Hijrah. "KEBIJAKAN KRIMINALISASI PERS DALAM UNDANG-UNDANG PERS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA." LAW REFORM 2, no. 1 (2006): 60. http://dx.doi.org/10.14710/lr.v2i1.12232.

Full text
Abstract:
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Namun demikian dalam pelaksanaannya, hak ini tentu harus mendapat pembatasan dari rambu-rambu hukum (dalam hal ini hukum pidana) agar hak tersebut tidak mengganggu kepentingan integritas teritorial dan keamanan publik, tidak meningkatkan kekacauan dan kejahatan, pengungkapan informasi yang dirahasiakan, melanggar otoritas dan kebebasan kekuasaan kehakiman, melanggar hak-hak reputasi manusia lainnya serta melindungi kesehatan dan moral publik. Kriminalisasi pers dalam UU Pers maupun dalam KUHP sudah bukan merupakan masalah, karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga diatur dan dapat dikriminalisasikan oleh ketentuan-ketentuan Internasional dan UU Pers atau KUHP negara lain. Oleh karena itu, untuk pembaharuan hukum pidana dimasa mendatang, perlu dilakukan pengkajian mengenai kebijakan formulasi delik. Kebijakan formulasi delik ditempuh dengan secara tegas menyebutkan pembatasan yang bersifat represif bagi kebebasan pers, yaitu berupa aturan-aturan dan penciptaan delik-delik pers serta harus menetapkan kualifikasi delik dari tindakan-tindakan yang dikriminalisasikannya, sehingga apabila terjadi pelanggaran UU Pers, ketentuan pidana tersebut dapat dioperasionalkan. Kebijakan formulasi delik juga dapat ditempuh dengan melakukan rumusan ulang (rephrase) terhadap delik pers dalam KHUP, sebagaimana KUHP Belanda yang melakukan harmonisasi rumusan delik dengan ketentuan-ketentuan Internasional. Kata Kunci : Kebijakan Kriminalisasi Pers, Undang-Undang Pers, Kitab Undang-Undang Hukum pidana
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Athaya Mustafa, Raihan, and Theguh Saumantri. "Kerusakan Modal Sosial Pers Indonesia Akibat RUU Penyiaran: Analis Teori Bordieu." JSPH : Jurnal Sosial Politik Humaniora 1, no. 1 (2024): 1–11. https://doi.org/10.59966/jsph.v1i1.972.

Full text
Abstract:
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengendalian kebebasan penyiaran dan pers yang selalu dipengaruhi oleh kekuatan politik dan sosial. Revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sedang berlangsung telah menjadi sumber kekhawatiran besar, khususnya di kalangan pers dan akademisi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak RUU Penyiaran terhadap modal sosial pers Indonesia dengan menggunakan kerangka teori modal sosial Pierre Bourdieu. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan interaksi yang memberikan manfaat sosial dan ekonomi. Dalam konteks pers, modal sosial penting untuk membangun kredibilitas dan keindependenan jurnalistik. RUU Penyiaran menimbulkan kekhawatiran karena beberapa pasalnya berpotensi mengurangi independensi pers dan membatasi jurnalisme investigatif. Dengan konsep kekerasan simbolik Bourdieu, RUU ini dapat dilihat sebagai cara negara mengontrol media dan membatasi kebebasan pers, yang mengancam jaringan dan kepercayaan sebagai komponen modal sosial. Pembatasan ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap media dan merusak hubungan jurnalis dengan narasumbernya. Penelitian ini menyimpulkan pentingnya kebijakan yang mendukung kebebasan pers dan memperkuat modal sosial dalam industri penyiaran di Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Risman, Haeru, Abdur Rahim, and Siti Ngainnur Rohmah. "Batas Kebebasan Pers dan Hatespeech di Indonesia Dalam Demokrasi dan Fiqh Siyasah." Mizan: Journal of Islamic Law 6, no. 2 (2022): 245. http://dx.doi.org/10.32507/mizan.v6i2.1619.

Full text
Abstract:
Freedom of the press is the fourth pillar of a free democracy that will lead to an intelligent, wise and clean government. Through the freedom of government performance can be known, so that the mechanism of checks and balances, control over power, as well as the community itself. But in fact, press freedom sometimes causes hate speech. This paper provides an understanding of how the limits of press freedom and Hate Speech in a democracy and how the limits of press freedom and Hate Speech in fiqh siyasah. This research uses literature study method. Conclusion (1) Freedom of the press is limited in the Law of the Republic of Indonesia Number 40 of 1999 concerning the Press and the Law of the Republic of Indonesia Number 32 of 2002 concerning Broadcasting. Press freedom is also limited so as not to violate human rights. (2) Limitations on press freedom in siyasa fiqh are those that bind all rights that lead to broad problems, as stated in QS Al-Hujurat paragraph 12. Hate speech which can be categorized as slander in siyasa can be sentenced to ta'zir because it interferes with the public good.Keywords: Press Freedom; Hate Speech; Fiqh Siyasah AbstrakKebebasan pers merupakan pilar keempat demokrasi kebebasan yang akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan kinerja pemerintah dapat diketahui, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Namun faktanya, kebebasan pers terkadang menimbulkan hate speech. Tulisan ini memberikan pemahaman tentang bagaimana batas kebebasan pers dan Hate Speech dalam demokrasi dan bagaimana batas kebebasan pers dan Hate Speech dalam fiqh siyasah. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Kesimpulan (1) Kebebasan pers dibatasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. (2) Batasan kebebasan pers dalam fiqh siyasah adalah yang mengikat semua hak yang bermuara pada kemasalahatan luas, seperti yang termaktub dalam QS Al-Hujurat ayat 12. Ujaran kebencian (Hate Speech) yang dapat dikategorikan sebagai fitnah dalam siyasah dapat dijatuhi hukuman ta’zir karena mengganggu kemaslahatan umum.Kata Kunci: Kebebasan Pers; Hate Speech; Fiqh Siyasah
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Arinanto, Satya. "Pembredelan Pers di Indonesia Pasca Pencabutan Pembatalan SIUPP." Jurnal Hukum & Pembangunan 21, no. 1 (1991): 36. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol21.no1.333.

Full text
Abstract:
Semenjak dikeluarkan serangkaian Undang-undang Ketentuan Pokok Pers yakni, Undang-undang Nomor 11 tahun 1966, Undang- undang Nomor 4 tahun 1967, dan Undang-undang Nomor 21 tahun 1982 jo Peraturan Menteri Nomor OliPen/Menpen/1984keberadaan Pers di Indonesia hangat dibicarakan, khususnya konsep kebebasan persyang semakin dibatasi oleh karena masih adanya budaya telepon, pembatalan StuPP,pembredelan pers dan sebagainya. Padahal apabila merujuk pada konstitusi kita adanyakebebasan atau kemerdekaan mengemukakan pendapat itu amat dijunjung tinggi.Oleh sebagian kalangan adanya pembatasan "kebebasan pers" itu dianggap tidak sesuailagi dalam era keterbukaan dewasa ini dan di dalam negara yang menganut demokrasiPancasila. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan adanya hal-hal yangbersifat das Sein dan das Sollen dalam bidang kebebasan pers pada masa Orde Baru.Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. (Lord Acton)
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Wati, Leni Setya, and Ratna Puspita Sari. "Persepsi Pemimpin Redaksi Media Massa di Surabaya Tentang Kebebasan Pers di Era Kepemimpinan Presiden Joko Widodo." DIGICOM : Jurnal Komunikasi dan Media 4, no. 2 (2024): 115–32. http://dx.doi.org/10.37826/digicom.v4i2.796.

Full text
Abstract:
Kebebasan pers merupakan harapan bagi para pekerja media agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai jurnalis sesuai dengan amanat negara dalam undang-undang pers. Namun, kasus-kasus kekerasan yang masih terjadi kepada wartawan hingga data indeks demokrasi dan kebebasan pers yang mengalami penurunan selama satu dekade terakhir yang mencapai 6,3 pada 2020 menjadi salah satu fakta bahwa kebebasan tersebut ternyata masih belum dirasakan oleh para jurnalis, maka dari itu peneliti tertarik meneliti tentang kebebasan pers di era Jokowi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan teori fenomenologi Alfred Schutz yang membagi pada tiga aspek penting dalam mengkonstruksi makna dari realitas sosial atau fenomena yang terjadi, yaitu aspek pemahaman, aspek pengalaman, dan aspek pemaknaan. Informan dalam penelitian ini adalah empat Pemimpin Redaksi media massa di Surabaya yang sudah tersertifikasi oleh Dewan Pers. Dari hasil penelitian yang dilakukan bersama keempat informan, persepsi mereka tentang kebebasan pers di era kepemimpinan Presiden Jokowi yang mereka rasakan adalah Jokowi dalam memperlakukan media-media yang kritis tidak lagi dengan cara-cara yang koersif, dengan kekuasaan, dengan ancaman ataupun dengan tekanan politik seperti era-era sebelumnya tapi dengan memanfaatkan bisnis media di era ini yang pengendalinya market sebagai salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk melemahkan media yang kritis terhadap pemerintah yaitu dengan terbatasnya akses-akses ekonomi yang akan mereka dapatkan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Ryana Ananda, Nadilla. "KEBEBASAN PERS MENGEMUKAKAN PENDAPAT AKIBAT DARI TRANSISI POLITIK HUKUM DI INDONESIA." Sahaja 2, no. 1 (2023): 142–52. http://dx.doi.org/10.61159/sahaja.v2i1.94.

Full text
Abstract:
Transisi politik hukum di Indonesia menjadi Demokrasi tidak hanya berdampak terhadap hak berpendapat bagi masyarakat Indonesia, namun juga berdampak terhadap Pers terhadap kebebasan berpendapat, dianggap mutlak terhadap suatu kebebasan. Dimana perlu adanya komitmen dalam membangun tradisi kebebasan, tradisi diantara semua warga yang diwujudkan dalam aturan serta penegakan hukum yang tegas, bahwa setiap orang bebas berbicara dan menyalurkan pendapatnya. Kebebasan tersebut merujuk kepada kemampuan media massa/pers untuk melakukan penyiaran berita dengan sebebasnya (dengan memperhatikan sesuatu yang diterapkan dengan norma tanpa melanggar norma tersebut) tanpa adanya rasa takut terhadap pengenaan sanksi kepada media massa. Adapun media massa/pers dapat melakukan penyiaran berita bergantung dengan berita yang dimuatnya, media massa dapat melakukan pemilihan untuk meyiarkan sebuah konten berita yang dianggap sebagai sesuatu yang baik-baik tanpa adanya unsur norma yang dilanggar. Sebuah media massa/pers harus memperhatikan ke-objektivitas dalam menyampaikan berita, agar berita tersebut memiliki unsur kualitas yang baik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Satino, Iswahyuni, and Surahmad. "PERAN PERS DALAM PENEGAKAN HUKUM DITINJAU DARI SEGI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS." Esensi Hukum 3, no. 1 (2021): 101–10. http://dx.doi.org/10.35586/esensihukum.v3i1.57.

Full text
Abstract:
Konsitusi memberikan kedudukan yang sama dan persamaan hak antar warga negara. Bentuk persamaan hak salah satunya adalah kebebasan menyampaikan pendapat. Dimana salah satunya adalah adanya jaminan kemerdekaan pers. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Adapun yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah Bagaimana peran dan fungsi pers dalam penegakkan serta Bagaimana Tanggung Jawab Pers dan Kode Etik Pers ditinjau dari UU Nomor 40 Tahun 1999. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini pertama bahwa Pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. Kedua kebebasan Pers bukan mutlak untuk pers semata, melainkan untuk menjamin hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Mahendra Gautama, I. Dewa Gede Agung, and I. Wayan Novy Purwanto. "PENGATURAN PEMBATASAN KEBEBASAN PERS DALAM PENYEBARAN INFORMASI DI INDONESIA." Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 8, no. 10 (2020): 1618. http://dx.doi.org/10.24843/ks.2020.v08.i10.p12.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaturan pembatasan kebebasan pers dalam penyebaran informasi di Indonesia serta akibat hukum tidak pengaturan pembatasan kebebasan pers dalam penyebaran informasi di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian terkait pengaturan lembaga penjamin polis pada perusahaan asuransi di Indonesia ini mempergunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan atau statute approach untuk menganalisis isu hukum pada penelitian ini. Sumber bahan hukum pada penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa belum diaturnya pembatasan kebebasan pers dalam penyebaran informasi di Indonesia secara lebih spesifik dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Tidak adanya pengaturan terkait pembatasan kebebasan pers dalam penyebaran informasi di Indonesia mengakibatkan pada lemahnya kualitas karya yang disajikan pers dan akan membuat pers melaksanakan kegiatan jurnalistik yang tidak berdasarkan kaidah yang benar, sehingga karya yang dihasilkan adalah karya jurnalistik tidak berkualitas. Sehingga perlu diperjelas pembatasan kebebasan pers dalam penyebaran informasi di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
 This study aims to analyze the restrictions on press freedom in the dissemination of information in Indonesia and the legal consequences of not regulating restrictions on press freedom in the dissemination of information in Indonesia. The method used in research related to the regulation of policy insurance institutions in insurance companies in Indonesia uses normative juridical legal research. This study uses a statutory approach or statute approach to analyze legal issues in this study. Sources of legal materials in this study consist of primary legal materials, secondary legal materials, and also tertiary legal materials. The results of this study found that the restrictions on press freedom in the dissemination of information in Indonesia had not been specifically regulated in Law Number 40 of 1999 concerning the Press. The absence of regulations regarding restrictions on press freedom in the dissemination of information in Indonesia results in the weak quality of the work presented by the press and will make the press carry out journalistic activities that are far from correct principles, so that the resulting work is unqualified journalistic work. So it is necessary to clarify the restrictions on press freedom in the dissemination of information in Indonesia through Law Number 40 of 1999 concerning the Press.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Susila Wati, Ella, and Ibnu Burdah. "Kebudayaan, Masyarakat dan Kebebasan Pers di Tunisia." Jurnal Multidisiplin Indonesia 2, no. 3 (2023): 477–85. http://dx.doi.org/10.58344/jmi.v2i3.183.

Full text
Abstract:
Artikel ini membahas tentang Kebudayaan, Masyarakat dan Kebebasan Pers di Tunisia. Dimana tunisia ini merupakan negara bagian utara benua Afrika. Dimana budaya dan identitas Tunisia ini dipengaruhi oleh interaksi antar Budaya dan etnis yang berbeda-beda. Keberagaman budaya Tunisia ini juga dipengaruhi oleh corak budaya dan sosial masyarakat Tunisia. Corak budaya Tunisia ini bisa berupa peninggalan budaya yang bisa dilihat di Musem Bardo. Adapun makanan dari Tunisia adalah olahan dari laut tengah Selatan. Corak keberagaman masyarkat Tunisia bisa juga dilihat dari pakaian tradisional. Masyarakat Tunisia pada dasarnya adalah suku bangsa Arab Berber. Namun seiring dengan perkembangan zaman Tunisia telah menerima berbagai imigrasi. Tunisia di bawah kediktatoran rezim Ben Ali, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kasus-kasus lainnya. Hal ini menimbulkan gerakan rakyat Tunisia dalam memprotes pemerintahan Ben Ali yang dirasa Otoriter. Kebebasan pers dan perkembangan demokrasi memiliki jalinan. Namun, kemunduran demokrasi secara global memberikan dampak negatif terhadap kebebasan pers dan media. Dimana sebelum Revolusi Iran, terjadi penindasan kebebasan berbicara dan sensor media. Dimana aktivis hak asasi manusia dan politik jarang berani mengkritiki rezim yang berkuasa secara terbuka yang melewati batas. Pada 2011 terjadi gerakan protes yang berujung revolusi Tunisia yang merupakan akumulasi dari aktivisme sosial selama satu dekade terakhir yang dipimpin oleh kelompok hak asasi manusia, aktivis politik dan kelompok pemuda yang kehilangan haknya
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Masduki, Masduki. "Organisasi Jurnalis dan Kebebasan Pers di Yogyakarta." Jurnal ILMU KOMUNIKASI 20, no. 1 (2023): 1–20. http://dx.doi.org/10.24002/jik.v20i1.5227.

Full text
Abstract:
Riset ini memetakan kondisi organisasi jurnalis di Yogyakarta (2015-2020) dan mengidentifikasi kontribusinya pada pengembangan profesionalisme anggota dan kebebasan pers. Riset ini menggunakan metode kualitatif. Data terkumpul melalui wawancara semi-terstruktur, observasi, dan pengumpulan dokumen. Riset ini menemukan ‘dua jalan berbeda’ antara PWI DIY dan AJI Yogyakarta dalam memperkuat kompetensi jurnalis dan advokasi kebebasan pers: akomodatif dan diametral. Faktor sejarah pendirian, karakter anggota dan mitra kolaborasi memengaruhi pola kerja dan otonomi kedua organisasi: PWI DIY dekat dengan lembaga pemerintah dan badan komersial, sedangkan AJI Yogyakarta dengan organisasi nirlaba dan lembaga donor internasional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Andani, Arum Asti, and Muhammad Iqbal Birsyada. "PERKEMBANGAN PERS INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSA." Estoria: Journal of Social Science and Humanities 4, no. 2 (2024): 599–613. http://dx.doi.org/10.30998/je.v4i2.2720.

Full text
Abstract:
Pers merupakan komponen utama media dan jembatan informasi bagi pemerintah dan masyarakat luas. Pers juga dapat menjadi kontrol sosial masyarakat. Pers selalu didasarkan pada pers yang dipatuhinya, tetapi pers selalu dipengaruhi oleh sistem politik negara tempat pers itu berada. Keadaan politik di Indonesia juga telah mengubah media di negeri ini. Dimulai pada era Orde Baru di mana pers Indonesia menganut pers otoriter. Di bawah sistem ini, pers tidak lebih dari corong pemerintah. Runtuhnya reorganisasi membawa kabar baik bagi media Indonesia, dan banyak terjadi reformasi di sektor media. Pada era Habibi, Gusdur dan Megawati menandai awal perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Di sisi lain, liputan ideal dicapai pada masa pemerintahan SBY, di mana pemerintah tidak mencampuri kegiatan pers. Kami harus mengikuti prinsip kebebasan, tetapi bagaimanapun itu diarahkan pada norma-norma umum. Lingkungan pers yang kritis dan konstruktif di era SBY diperkirakan akan terus berlanjut, melangkah lebih jauh ke era Jokowi yang baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai kepala negara, dan tentunya akan menulis sejarah baru dalam perkembangan pers di era tersebut.Kata kunci : Media Massa, Pers, Identitas, Nasional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Fitriani, Elia, and Dwi Putri Lestarika. "Delik Pidana dalam Jurnalistik Berdasarkan Tanggung Jawab Hukum Wartawan dan Media." Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum 16, no. 1 (2025): 17. https://doi.org/10.31764/jmk.v16i1.28415.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tanggung jawab hukum wartawan dan media dalam konteks delik pidana yang berkaitan dengan praktik jurnalistik di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan hukum normatif, penelitian ini mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang delik pers, termasuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun terdapat jaminan kebebasan pers, wartawan tetap berisiko menghadapi tuntutan hukum terkait pencemaran nama baik dan penghinaan. Kasus-kasus terkini, seperti vonis terhadap jurnalis Muhammad Asrul, menyoroti tantangan yang dihadapi wartawan dalam menjalankan tugasnya, di mana penyelesaian sengketa pers seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan pengadilan. Penelitian ini merekomendasikan perlunya penegakan hukum yang lebih konsisten terhadap ketentuan yang ada, serta perlindungan yang lebih kuat bagi wartawan untuk menjaga kebebasan berekspresi dan integritas media di era digital.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Maulana, Rizki, Dina Septiyana, Adelia Fransiska Br. Ginting, and Sion Angelica Pardede. "Rahasia Terungkap: Menganalisis Dinamika Keamanan Pers Pada Masa Orde Baru (1966-1998)." Histeria Jurnal: Ilmiah Soshum dan Humaniora 2, no. 2 (2023): 89–96. http://dx.doi.org/10.55904/histeria.v2i2.911.

Full text
Abstract:
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Jenderal Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Pada masa orde baru perekonomian di Indonesia mulai membaik, akan tetapi banyak keterbatasan yang dilakukan oleh penguasa, salah satunya adalah keterbatasan pers. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika keamanan pers pada masa Orde Baru (1966-1998) di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka (library research) dalam pengumpulan data di dapatkan dari literatur literatur terkait seperti buku, jurnal dan bahan bacaan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keamanan pers pada masa Orde Baru sangat terbatas karena adanya tekanan dan intimidasi dari pemerintah. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus penangkapan dan pengasingan wartawan yang meliputi tindakan penyiksaan dan pembunuhan. Namun, terdapat juga beberapa kasus di mana pers berhasil memperjuangkan kebebasan pers dan hak asasi manusia. Penelitian ini memberikan kontribusi pada pemahaman tentang dinamika keamanan pers pada masa Orde Baru dan implementasinya pada kebebasan pers di Indonesia saat ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Supian Hadi, Fattahul Anjab, and Ratminto Ratminto. "Pertanggungjawaban Pers Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik di Media Sosial Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik." Jurnal Kolaboratif Sains 5, no. 9 (2022): 657–67. http://dx.doi.org/10.56338/jks.v5i9.2819.

Full text
Abstract:
Tanggung jawab sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika. Tak pelak lagi profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), dan 2) Pendekatan Konseptual (conseptual approach). Penelitian ini menunjukkan bahwa pers mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam menyampaikan fakta, berita, maupun opini, yang sering kali dipakai sebagai kontrol masyarakat terhadap pemerintah/penguasa. Pers mendapatkan hak istimewa berupa kemerdekaan/kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi dan beberapa konvensi internasional. Dan pertanggungjawaban pidana atas pemberitaan dalam media sosial merujuk pada peran dan status penggunanya, yang secara spesifik difokuskan pada wartawan sebagai insan pers pengguna media sosial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Sunarwinadi, Ilya Revianti Sudjono. "BUDAYA SENSOR-DIRI DALAM KEBEBASAN PERS DI JEPANG." Makara Human Behavior Studies in Asia 10, no. 1 (2006): 15. http://dx.doi.org/10.7454/mssh.v10i1.12.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Laily, Hamidah Izzatu, and Misbahul Anwar. "TARIK ULUR KEBEBASAN PERS DI DALAM RUANG PERSIDANGAN." Jurnal Magister Hukum Perspektif 14, no. 1 (2023): 1–12. http://dx.doi.org/10.37303/magister.v14i1.72.

Full text
Abstract:
The covering of the trial in court by the mass media raises pros and cons, even raising allegations of an attempt to weaken press freedom. This research tries to find out the dynamics of regulation of press freedom in the trial and the importance of it. In order to answer these problems, the authors conducted research using normative juridical research methods. The results of this study indicate that regulations related to media coverage in trials are often changed by the government or by the court. It has been noted that the statutory regulations governing this matter have been amended several times. On the other hand, there is an important reason why the press needs freedom to report on disputes, namely because the press institution is the fourth pillar of democracy, one of which is social control (the media as a watchdog).
 Keywords: press freedom, trial coverage regulation, court.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Panjaitan, Vanny. "EFEKTIVITAS UU PERS DALAM MENJAMIN KEBEBASAN PERS DALAM MENANGGANI TINDAK PIDANA PERS: STUDI KASUS BAND SUKATANI DALAM LAGU “BAYAR, BAYAR, BAYAR” YANG BERUJUNG DIBREDEL POLISI." JURIDICA : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani 6, no. 2 (2025): 108–18. https://doi.org/10.46601/juridicaugr.v6i2.430.

Full text
Abstract:
Abstract Press freedom is a constitutional guarantee as stipulated in Law Number 40 of 1999 on the Press. Nonetheless, this freedom is not without boundaries and may be restricted by law. This research explores the adequacy of legal safeguards for press freedom and freedom of expression through a normative juridical approach, using the case of Band Sukatani as a focal point. The case reveals a disconnect between existing legal provisions and their real-world application, exemplified by the censorship of the song "Bayar, Bayar, Bayar," which critiques misconduct by certain police officers. The study draws from statutory analysis, legal theory, and secondary sources including media coverage and legal advocacy reports. The findings suggest possible breaches of Articles 4 and 6 of the Press Law, along with infringements of Copyright Law, underscoring the urgent need for a law enforcement framework that upholds democratic and rule-of-law values. Ultimately, the study underscores the critical role of protecting both artistic and journalistic expression from arbitrary state suppression. Keywords: Press freedom, normative juridical, censorship, copyright, Band Sukatani Abstrak Kebebasan pers merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini tidak bersifat absolut dan tunduk pada batasan hukum. Studi ini mengkaji efektivitas perlindungan hukum terhadap kebebasan pers dan ekspresi melalui metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan studi kasus terhadap Band Sukatani. Kasus ini mencerminkan adanya ketimpangan antara norma hukum dan implementasinya, di mana karya seni berjudul “Bayar, Bayar, Bayar” yang berisi kritik terhadap oknum kepolisian justru dibredel oleh aparat. Penelitian ini didasarkan pada analisis peraturan perundang-undangan, doktrin, serta data sekunder dari media dan lembaga pemantau hukum. Hasil kajian menunjukkan adanya potensi pelanggaran terhadap Pasal 4 dan Pasal 6 UU Pers, serta Undang-Undang Hak Cipta, yang menandakan perlunya evaluasi terhadap mekanisme penegakan hukum agar tetap sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis. Kata Kunci: Kebebasan pers, yuridis normatif, sensor, hak cipta, Band Sukatani
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Kasman, Suf, Jumarni N, and Sukma Dewi Yanti. "Problematika Keikutsertaan Media Pers Bertarung dalam Pemilu." ULIL ALBAB : Jurnal Ilmiah Multidisiplin 3, no. 2 (2024): 536–41. https://doi.org/10.56799/jim.v3i2.2901.

Full text
Abstract:
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, media massa memiliki peran sentral sebagai pembawa informasi yang akurat dan seimbang kepada publik. Kode Etika Jurnalistik menekankan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam melaporkan peristiwa. Tradisi media independen, terutama di Eropa dan Amerika, mengedepankan nilai kebebasan pers. Hubungan antara media dan pemerintah harus dibangun atas dasar kemitraan dan saling menghormati, sambil menjaga tanggung jawab terhadap kebenaran informasi. Namun, media dihadapkan pada sejumlah problematika dalam konteks pemilu, termasuk disrupsi digital, konsentrasi kepemilikan media, dan kekhawatiran terkait ketidakadilan dalam pemberitaan politik. Tantangan media ke depan mencakup partisanship, biaya tinggi dalam proses politik, dan pembatasan terhadap penggunaan media asing. Dalam menghadapi semua ini, penting untuk terus memperjuangkan transparansi, kenetralan, dan kebebasan media sebagai pilar penting dalam membangun demokrasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Adi, Taufik, Ayu Nurakhman, Aini Puji Hidayati, Aurora Najwa Tabitha Arthalivia, Fauziyah Najwa, and R. Wahjoe Poernomo Soeprapto. "ARAH PERKEMBANGAN JURNALISME DALAM BAYANG-BAYANG REVISI UNDANG-UNDANG PENYIARAN." Commerce Law 5, no. 1 (2025): 1–8. https://doi.org/10.29303/commercelaw.v5i1.7058.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak perubahan regulasi penyiaran terhadap kebebasan pers dan praktik jurnalistik di Indonesia, terutama terkait kemungkinan pembatasan terhadap independensi media dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang jelas dan tepat. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empiris yang menggabungkan metode analisis perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan sosiologis untuk memahami dampak sosial dari perubahan regulasi tersebut terhadap kegiatan jurnalistik di lapangan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa beberapa ketentuan dalam rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran berisiko mengganggu kebebasan pers, terutama dengan memperluas hak lembaga penyiaran untuk melakukan pengawasan dan penyensoran terhadap isi siaran, yang dapat menghambat pelaksanaan jurnalisme investigatif. Pembatasan-pembatasan ini dapat berdampak buruk pada peran pers sebagai kontrol sosial dan penyalur informasi yang bebas kepada publik. Selain itu, perubahan ini dapat mengurangi posisi jurnalis dalam menjalankan tugasnya dan mengurangi akses publik terhadap informasi yang beragam dan kritis. Penelitian ini menunjukkan pentingnya melakukan analisis mendalam terhadap perubahan regulasi penyiaran agar tidak terjadi pembatasan yang berlebihan terhadap kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, direkomendasikan agar pasal-pasal yang berpotensi menindas para jurnalis direvisi untuk memastikan regulasi penyiaran dapat terus melayani publik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Soeprianto, Safira Azarine Lutfiyah, and Mauridah Isnawati. "Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan Sebagai Korban Kekerasan." Jurnal Justiciabelen 4, no. 2 (2022): 50. http://dx.doi.org/10.30587/justiciabelen.v4i2.3567.

Full text
Abstract:
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama dalam demokrasi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mencerminkan keadaan kondusif sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku termasuk kemerdekaan pers. Tanpa adanya kemerdekaan pers, tidak ada demokrasi karena pres adalah salah satu pilar demokrasi. Meskipun kebebasan pers Indonesia telah diatur dalam UU No.40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia, kekerasan terhadap wartawan masih marak terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap wartawan yang memperoleh tindak kekerasan dan upaya hukum yang dapat dilakukan.. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan serta bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pelengkap yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Hasil penelitian menemukan bahwa Bentuk perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesi yaitu adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia dan Upaya hukum yang dapat diambil oleh wartawan untuk memperoleh perlindungan hukum telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan juga Pasal 351 KUHP dimana proses yang dilakukan adalah melaporkan pada pihak yang berwenang dalam hal ini untuk mempertimbangkan peran serta masyarakat dalam menunjang kinerja kerja wartawan.
 
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Surbakti, Dahlan. "Peran dan Fungsi Pers Menurut Undang-undang Pers tahun 1999 serta Perkembangannya." Jurnal Hukum PRIORIS 5, no. 1 (2016): 77–86. http://dx.doi.org/10.25105/prio.v5i1.396.

Full text
Abstract:
Peran dan fungsi pers pasca reformasi atau setelah lahirnya Undang-Undang Pers Tahun 1999 memperlihatkan perubahan yang signifikan, mengingat beralihnya kekuasaan dari Presiden Soeharto yang identik dengan pelaksanaan demokrasi semu, sehingga peran dan fungsi pers tersebut tidak dilaksanakan maksimal termasuk dibatasinya kebebasan pers. Begitu pula pada waktu itu jumlah media cetak maupun elektronik betul-betuk dibatasi dengan penerbitan SIUPP yang sangat ketat untuk lahirnya media cetak baru, sehingga peran media cetak khususnya tidak seperti sekarang yang begitu besar perannya dalam penyebaran informasi dan kontrol di masyarakat dan negara.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Rahman, Sirojul. "Kejahatan Pencemaran Nama Baik Atas Pemberitaan Pers di Kota Palangka Raya." Restorica: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Komunikasi 3, no. 1 (2017): 134–39. http://dx.doi.org/10.33084/restorica.v3i1.635.

Full text
Abstract:
Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Pihak yang merasa kebebasan pers sudah dibelenggu dengan perangkat peraturan hukum pidana di luar UU Pers mengusung istilah "kriminalisasi pers". Artinya, jurnalis (pers) yang bersaksi dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya diarahkan (direkayasa) lewat jalur hukum untuk dapat dipidana penjara. Istilah ini juga dimaksudkan untuk menggambarkan ketidakadilan yang dialami oleh pers akibat pemaksaan (perekayasaan) penggunaan pasal-pasal hukum pidana (KUHP). Insan pers merasa bahwa ada upaya sengaja untuk memberangus, mengobok-obok, menjerat, dan bahkan mematikan kehidupan dan kebebasan pers. Sebaliknya, pihak yang merasa bahwa pers sudah "kebablasan" Gambaran kejahatan pencemaran nama baik atas pemberitaan pers di Kota Palangka Raya adalah sebagai berikut: Akibat minimnya pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan undang-undang tentang pers menyebabkan adanya ketidaktahuan mengenai langkah apa yang harus di tempuh ketika terjadi pemberitaan yang merugikannya, hal ini memicu pemecahan masalah pers melalui jalur-jalur diluar mekanisme undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, seperti jalur pidana dan atau premanisme baik kepada wartawan yang bersangkutan atau kepada pihak sumber berita yang mengakibatkan munculnya pemberitaan tersebut. Disamping itu pola kemitraan antara perusahaan pers dengan pihak Kepolisian sering menimbulkan pelayanan yang tidak kooperatif terhadap pengaduan masyarakat dalam hal adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap mekanisme hak jawab, sehingga masyarakat cenderung memilih untuk tidak memperpanjang perkara pers.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Octaviani, Priskila, and Hery Firmansyah. "Peran Jurnalis dalam Menegakkan Kebebasan Berpendapat sebagai Pilar Hak Asasi Manusia." Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik 5, no. 2 (2024): 1014–20. https://doi.org/10.38035/jihhp.v5i2.3514.

Full text
Abstract:
Jurnalis memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Mereka tidak hanya menyampaikan informasi secara objektif, tetapi juga membantu masyarakat menyuarakan pendapat dan mengawasi penyalahgunaan kekuasaan. Namun, pekerjaan ini tidak lepas dari berbagai tantangan, seperti ancaman keselamatan, sensor, dan tekanan politik. Artikel ini membahas pentingnya peran jurnalis dalam menegakkan kebebasan berpendapat dan bagaimana perlindungan terhadap kebebasan pers menjadi kunci untuk memperkuat hak asasi manusia di seluruh dunia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Habibie, Mohammad Ahsan, and Tomy Michael. "Ketimpangan Pena Jurnalis atas Kriminalisasi Kemerdekaan dan Kebebasan Pers." Journal Evidence Of Law 4, no. 1 (2025): 239–49. https://doi.org/10.59066/jel.v4i1.1078.

Full text
Abstract:
The purpose of this study is to examine factually and practically the imbalance of rights and obligations for journalists due to the criminalization of press freedom, as stipulated in Law Number 19 of 2016 concerning Electronic Information and Transactions, which has been amended to Law Number 1 of 2024 concerning Electronic Information and Transactions (Law Number 1/ 2024), as well as other relevant laws and regulations. Through this research, an in-depth discussion will be conducted regarding the legal impact of criminalization on the press and the necessity of regulations that protect press freedom from criminalization. Additionally, it emphasizes the need for a review and revision of Law Number 1/ 2024 and Law Number 40 of 1999 concerning the Press (Law Number 40/ 1999). This study employs a normative legal research method, incorporating conceptual and legislative approaches, based on primary, secondary, and tertiary legal sources relevant to the issue. Legal reasoning is also applied in this research. The findings indicate that legal protection efforts against the criminalization of the press are still necessary, as there are still journalistic activities that may harm others.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Turnya, Turnya. "Hubungan Hukum Tata Negara dan Pers Dalam Kemajuan Hukum." Rechtsregel : Jurnal Ilmu Hukum 6, no. 1 (2023): 47–54. http://dx.doi.org/10.32493/rjih.v6i1.33921.

Full text
Abstract:
Sistem Pers dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang dianut oleh negara bersangkutan. Begitu pun dengan Indonesia. Sejak terjadi perubahan pada sistem pemerintahan di Indonesia, dari otoritarian ke demokratis, sistem pers juga ikut berubah. Perubahan tersebut ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Diantara perubahan mendasar dari sistem pers itu menyangkut kebebasan memperoleh informasi yang di dalam undang-undang disebut sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Dalam Pasal 2 UU Pers ditegaskan, “Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Pada Pasal 4 disebutkan pula, “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi manusia”.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Gea, Jevon Noitolo, and July Esther. "Analisis Yuridis Penggunaan Somasi dalam Penuntutan Hak Jawab pada Kasus Pemberitaan Keliru di Media." Law, Development and Justice Review 7, no. 3 (2025): 270–83. https://doi.org/10.14710/ldjr.7.2024.270-283.

Full text
Abstract:
Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi yang penting, diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meskipun kebebasan ini dijamin, terdapat tantangan dalam praktik pemberitaan yang sering kali mengandung ketidakakuratan, yang dapat merugikan individu atau organisasi. Hak jawab muncul sebagai instrumen hukum yang memberikan kesempatan bagi pihak yang dirugikan untuk mengoreksi informasi yang salah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan somasi sebagai mekanisme untuk menuntut hak jawab dalam kasus pemberitaan keliru. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan fokus pada aturan hukum dan prinsip terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun hak jawab diatur secara jelas, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan media dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang prosedur somasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan mekanisme hukum yang lebih efektif untuk melindungi hak individu terhadap pemberitaan yang tidak akurat dan memperkuat peran pers dalam masyarakat demokratis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Yuliati, Dewi. "Pers, Peraturan Negara, dan Nasionalisme Indonesia." Anuva 2, no. 3 (2018): 253. http://dx.doi.org/10.14710/anuva.2.3.253-272.

Full text
Abstract:
Artikel ini berisi pembahasan tentang hubungan antara Pers Indonesia dan peraturan-peraturan tentang pers sejak masa Kolonial Belanda sampai dengan Masa Revolusi Indonesia. Dalam rentang masa tersebut, pemerintah kolonial Belanda, Pemerintah Militer Jepang, dan Pemerintah Indonesia tetap memberlakukan undang-undang yang bersifat suppressive. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun hidup dalam suasana suppressive, Pers Indonesia selalu berani untuk melaksanakan fungsi tanggungjawab sosial demi mencapai kehidupan yang lebih baik dan kebebasan bagi bangsa dan Negara Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Ridwan Lubis, Muhammad, and Cut Nurita. "TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASA." Jurnal Ilmiah METADATA 2, no. 2 (2020): 137–58. http://dx.doi.org/10.47652/metadata.v2i2.27.

Full text
Abstract:
Hingga saat ini sejauh mana kebebasan pers di Indonesia masih diperdebatkan. Pihak pers menganggap kebebasan pers masih kurang dan terlalu dibatasi oleh undang-undang. Masyarakat berpendapat sebaliknya. Menilik berbagai pelanggaran kode etik yang dilakukan pers, ada pendapat bahwa undang- undang yang mengatur kebebasan pers perlu direvisi kembali agar pihak pers tidak ‘kebablasan’. Namun kenyataannya, pemberitaan yang dianggap merugikan telah terkena kepada pimpinan redaksi dan wartawan SKM “OPOSISI” di Medan, yaitu Dahri Uhum alias Atok Ai dan Drs Daham Siregar, yang dihukum hakim Pengadilan Negeri Medan masing-masing selama 1 (satu) tahun penjara, karena terbukti telah sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama menista dengan tulisan. Putusan PN Medan tersebut telah dikuatkan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bilakah suatu pemberitaan dari redaksi SKM dinyatakan menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam KUHPidana, bagaimana putusan pengadilan terhadap tindak pidana yang dibuat dalam pemberitaan media masa yang berindikasi adanya pencemaran nama baik dan pertanggungjawabannya. Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian yang di lakukan adalah melalui studi dokumen (library research). Sumber data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui kepustakaan. Hasil penelitian bahwa Penistaan dengan tulisan diatur dalam KUHP pada banyak pasal di antaranya terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP. Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam sidang-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang tersangka baru dianggap bersalah telah melakukan sesuatu tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Ms, Yusuf. "Ketentuan Perusahaan Pers Wajib Berbadan Hukum Perseroan Terbatas (PT) Merupakan Doktrin Hukum yang Berbasis Hukum Positif." Syntax Literate ; Jurnal Ilmiah Indonesia 6, no. 7 (2021): 3647. http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i7.3660.

Full text
Abstract:
Salah satu tuntutan reformasi 1998, adanya kebebasan pers, atau pendirian perusahaan pers tidak perlu menggunakan ijin dari pemerintah, karena hal itu akan menghambat nilai-nilai demokrasi. Lahirnya Pasal 9 ayat(1) dan (2) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang memberikan kebebasan setiap warga negara dan negara untuk mendirikan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia. Oleh karenanya, DP mengeluarkan Peraturan No 4/DP/III/2008 tentang Standarisasi Perusahaan Pers Jo.Surat Edaran No 1/SE DP/I/2014 tentang pelaksanaan UU pers dan Standarisasi perusahaan pers. Peraturan DP dimohonkan diuji materi ke MK, oleh salah seorang pimpinan penerbitan yang pada akhirnya ditolak karena tidak memenuhi aspek spesifikasi permohonan. Guna mendapatkan kesimpulan yang memadai, tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normative-empiris, karena selain mengumpulkan buku ilmu hukum, jurnal dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tema itu. Untuk mendapatkan gambaran lengkap, Tulisan ini juga memasukkan Putusan MK. No. 51 Tahun 2018 atas permohonan dari seorang Direkur Swara Resi yang beralmat di Mekarsari Depok untuk dianalisa beserta bahan lainnya. Hasil dari penelitihan itu mendapatkan jawaban, Peraturan DP No 4/DP/III/2008 Jo. SE No 01/SE DP/I/2014 merupakan sebuah doktrin hukum yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 51/PU-XVI/2018 yang pokok intinya menolak permohonan pemohon sehingga menjadi hukum positif. Dengan ditolaknya permohonan uji materi Peraturan DP dan SE DP, dapat disimpulkan, Dewan Pers sebagai lembaga negara dapat membuat peraturan perundang-undangan yang dikuatkan oleh Putusan MK, sehingga peraturan tersebut sebagai hukum positif yang mengikat kesemua warga negara Indonesia yang akan membuat usaha pers, yakni Perseroan Terbatas (PT) jika hal itu dimaknai sebagai usaha pers yang bersifat komersial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Junaidi, Ahmad. "Media dan Keberagaman: Analisis Pemberitaan Media Daring Seputar Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta." Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni 1, no. 1 (2017): 329. http://dx.doi.org/10.24912/jmishumsen.v1i1.373.

Full text
Abstract:
Media massa berfungsi sebagai alat penyampai informasi, edukasi, hiburan dan mobilisasi. Media massa juga sebagai alat penyampai pesan, ide-ide dan gagasan, seperti gagasan keberagaman. Indonesia semenjak kelahirannya didasarkan atas dasar keberagaman dari banyak aspek, misalnya suku dan agama. Media massa di Indonesia mengalami pasang surut sejak jaman kemerdekaan, demokrasi orde lama, orde baru dan sekarang memasuki era orde reformasi. Kebebasan mulai dirasakan oleh media massa, ketika dimulaiinya era reformasi. Banyak media-media baru tumbuh di era reformasi, termasuk diantaranya media daring (media online). Selain jumlah media massa, era reformasi ini ditandai dengan kebebasan pers, termasuk didalamnya kebebasan mengespresikan gagasan dan mengritik tajam lawan yang menentang gagasan. Kebebasan pers yang dinikmati media sekarang ini banyak dilaporkan telah melewati batas, terutama melanggar kode etik jurnalistik.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis wacana dengan mengambil obyek berita-berita seputar pemilihan kepala daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.Penelitian ini ingin melihat pelanggaran kode etik yang dilakukan media daring dalam meliput Pilkada Jakarta dikaitkan isu keberagaman, khususnya isu agama.Penulis menemukan sejumlah pelanggaran kode etik jurnalistik dalam berita-berita seputar Pilkada Jakarta, terutama terkait penggunaan isu agama.Kata kunci: media massa, agama, pilkada, etik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Hidayanto, Agung. "PERAN MEDIA MASSA DALAM MENGAKOMODIR KEPENTINGAN PUBLIK (KEBIJAKAN PLN)." Sintesa 1, no. 1 (2023): 18–32. http://dx.doi.org/10.30996/sintesa.v1i1.8177.

Full text
Abstract:
Angin segar kebebasan berekspresi sedang berhembus dan dinikmati masyarakat dan pers nasional yang merupakan buah perjuangan panjang dari reformasi. Kebebasan berpendapat yang merupakan salah satu aspek Hak Asasi Manusia (HAM) ini mutlak diperlukan bagi tercapainya sebuah tatanan kehidupan bernegara yang demokratis untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera lahir batin dan berkeadilan sosial. Meski demikian, posisi pers sebagai lembaga sosial (politik) dan ekonomi mengundang kerawanan terhadap ‘godaan’ penyimpangan untuk lebih mengutamakan kepentingan sempitnya (politik dan ekonomi) yang secara perlahan akan kian menjauhkan kinerja pers dari kepentingan rakyat. PLN sebagai salah satu BUMN yang bergerak bidang penerangan saat ini merupakan satu-satunya yang memonopoli penerangan yang ada diwilayah Indonesia. Diperlukan Peran media massa untuik mengakomodir kepentingan publik pada kebijakan PLN sebagai bagian dari perusahaan berplat merah. Penelitian ini menggunakan meted penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media memiliki peran penting dalam mengakomodir kepentingan publik. Untuk itu media sebagai pilar ke empat demokrasi hendaknya menerapkan pemberitaan yang adil dan transparan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Wahyudin, Ade, and Listyowati Sumanto. "Kebebasan Pers Dalam Kerangka Hukum Pelindungan Data Pribadi Di Indonesia." Journal of Law, Administration, and Social Science 4, no. 5 (2024): 683–90. http://dx.doi.org/10.54957/jolas.v4i5.823.

Full text
Abstract:
Ketegangan antara hak kebebasan pers dengan pelindungan data pribadi bukanlah hal yang baru. Sejak UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, kelompok pendukung hak kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi mengkhawatirkan implementasi hak atas privasi yang termuat di dalam UU Pelindungan Data Pribadi. Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian hukum normative yang bersifat deskriptif. data sekunder dianalisis secara lualitatif. Penarikan kesimpulan digunakan logika deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peluang yang cukup besar, para pelaku korupsi berlindung di balik UU Pelindungan Data Pribadi agar daftar riwayat hidup serta daftar harta kekayaanya tidak diungkap kepada publik. Sebaliknya jika data tersebut diungkap melalui produk jurnalistik, jurnalis peliput berpotensi dipenjara dengan pasal membuka data pribadi seseorang. Selain secara khusus dideskripsikan tentang pemrosesan data pribadi yang dapat digunakan oleh jurnalis ataupun perusahaan media seperti persetujuan subjek data, pelaksanaan tugas dalam rangka kepentingan umum dan pemenuhan kepantingan yang sah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Prahassacitta, Vidya. "Penghakiman oleh Pers Nasional: Suatu Kritik atas Kebebasan Pers dalam Pemberitaan Perkara Tindak Pidana Korupsi." Humaniora 5, no. 1 (2014): 216. http://dx.doi.org/10.21512/humaniora.v5i1.3013.

Full text
Abstract:
The 1998 reform in Indonesia has changed freedom press in Indonesia. Now press implements libertarian model which puts freedom first instead of responsibility. Previously, press implemented soviet communist model which put responsibility first instead of freedom. Fifteen years later, press in Indonesia has become political tool by the owner of the press company who has high position in political party participating in the 2014 election. This reflects on the disproportional news regarding corruption cases conducted by the government officer or parliament member from the contender party. Such news delivers not only facts but also misleading opinions to the society which creates trial by the press. In fact, presumption of innocent principle is a foundation for press reporting news as stipulated in Law No. 40 Year 1999 concerning Press and Journalistic Code of Conduct. In libertarian press there are always borders but such borders are not effective since the freedom of press in Indonesia is powerful. Article used qualitative and library research with secondary sources of law to gain a solution to this problem. Therefore, Press Board should maximize its function in supervising the implementation of presumption of innocent principle and to raise society awareness regarding the law supremacy. In the end, to fulfill press social responsibility, a press profession court shall be established to keep press independency.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Sanjani, Yusa Rahman. "PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH PERS PASCA SKB UU ITE." Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 3, no. 10 (2023): 1018–25. http://dx.doi.org/10.59141/cerdika.v3i10.690.

Full text
Abstract:
Perlindungan kebebasan pers dalam negara demokrasi penting, terutama dalam pertumbuhan pesat pers Indonesia di era teknologi. Sejarah kemerdekaan pers dari perjuangan hingga reformasi tercermin dalam UU Pers No. 40/1999. Kehadiran media harus didasari semangat idealisme, bukan sekadar motivasi politik atau ekonomi. Meski demikian, keluhan terkait penurunan kualitas jurnalis semakin umum. Tanda tangan SKB pada 23 Juni 2021 oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri untuk pedoman implementasi UU ITE bersejarah, memperlihatkan komitmen dalam mengatur era digital. SKB diharapkan membantu masyarakat memahami aturan di tengah tantangan dan diskusi pelaksanaan UU ITE di era digital.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!