To see the other types of publications on this topic, follow the link: Kirurgi i regional anestesi.

Journal articles on the topic 'Kirurgi i regional anestesi'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 34 journal articles for your research on the topic 'Kirurgi i regional anestesi.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Drageset, Sigrunn, Maren-Sofie Brakstad-Pilskog, Venke A. Johansen, and Astrid Karin Berland. "Pasienters opplevelser og erfaringer med regional anestesi i den perioperative fasen." iNSPIRA 16, no. 1 (2021): 16–29. http://dx.doi.org/10.23865/inspira.v16.3039.

Full text
Abstract:
Bakgrunn: Operasjonspasienter som får regional anestesi, er ofte våkne perioperativt og møter flere profesjonsgrupper i det perioperative forløpet. Det er derfor viktig å få økt innsikt i pasienters opplevelser og erfaringer. Hensikt: Beskrive og øke forståelsen om hvordan pasienter opplever og erfarer den perioperative fasen i regional anestesi, noe som kan bidra til økt trygghet hos pasienten gjennom en enda bedre ivaretakelse. Metode: Studien har et kvalitativ deskriptivt design og omfatter femten individuelle intervju av urologiske og ortopediske pasienter som har fått utført et kirurgisk inngrep. Intervjuene er analysert ved bruk av Malteruds systematiske tekstkondensering. Resultat: Det var viktig å kjenne seg ivaretatt og trygg gjennom hele det perioperative forløpet. Flere opplevde det trygt å ha flere profesjonsgrupper rundt seg. I tillegg var det viktig å få detaljert informasjon under forløpet, samt at personalet opptrådte rolig og vennlig. Noen pasienter ønsket å sove for å unngå å oppleve smerter og annet ubehag, mens andre ønsket å være våkne under operasjonen på grunn av et behov for å ha kontroll. Flere opplevde hjelpeløshet og at det var vanskelig å være avhengig av hjelp under og etter operasjon. I tillegg opplevde noen en krenkelse av bluferdigheten og tap av kontroll i forbindelse med intime gjøremål. Pasientene opplevde at det var utfordrende å uttrykke sine smerter på en smerteskala. Erfaringer fra tidligere operasjoner hadde betydning. Konklusjon: Det er viktig å tilpasse forholdene til den enkelte pasient slik at de får best mulig opplevelser og erfaringer. God ivaretagelse, som ved tilstrekkelig informasjon, god smertelindring og rolig opptreden, er sentralt. Å ha flere profesjonsgrupper rundt seg i den perioperative fase oppleves trygt.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Nurcahyo, Widya Istanto. "Anestesi Regional pada Pasien dengan Penyakit Jantung/ Hemodinamik Tidak Stabil." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 11, no. 1 (2019): 48. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v11i1.23934.

Full text
Abstract:
Pembiusan pasien dengan penyakit jantung sebelumnya merupakan tantangan yang menarik. Penyebab paling umum morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien jantung adalah penyakit jantung iskemik (PJI). Goldman dkk. melaporkan bahwa 500.000 hingga 900.000 infark miokard terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan mortalitas 10-25%. Keputusan untuk menggunakan anestesi regional tergantung pada banyak faktor. Karakteristik pasien, jenis operasi yang direncanakan, dan potensi risiko anestesi semuanya akan berdampak pada pilihan anestesi dan manajemen perioperatif.Kerugian dari anestesi regional termasuk hipotensi dari blokade simpatis yang tidak terkendali dan kebutuhan untuk loading volume dapat menyebabkan iskemia. Pemberian anetesi lokal dalam dosis besar juga harus mempertimbangkan risiko toksisitas depresi miokard. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, teknik anestesi regional (baik tunggal atau dengan anestesi umum) bermanfaat perioperatif dalam mengurangi respon stres, simpatektomi jantung, ekstubasi lebih awal, lama rawat di rumah sakit lebih pendek, dan analgesia pascaoperasi yang baik. Selain jenis operasi yang dilakukan, dalam pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan masalah yang ada pada masing-masing pasien. Anestesi umum juga memberikan peranan penting karena bersifat kardioprotektif dan dapat meningkatkan suplai oksigen. Keputusan untuk menggunakan anestesi regional harus dilakukan dengan hati-hati dan dilakukan dengan pemantauan yang tepat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Wijayanto, Nurhadi, Ery Leksana, and Uripno Budiono. "Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 4, no. 2 (2012): 114–24. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v4i2.6430.

Full text
Abstract:
Latar belakang : pada pasien preeklampsia berat intubasi merupakan tindakan yang berbahaya karena berkaitan dengan menejeman jalan napas dan gejolak hemodinamik yang mungkin terjadi. Anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko hipotensinya namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anestesi spinal adalah aman bagi ibu maupun janin . perdebatan tentang pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap Apgar score adalah sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan anestesi pada keduanya namun pada penelitian lainnya dikatakan bahwa dengan apresiasi umum akan menghasilkan anestesi yang lebih rendah daripada anestesi spinal.Tujuan : untuk membandingkan pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap anak yang dilahirkan oleh ibu dengan sectio caesaria karena preeklampsia berat.Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian prospective randomized control trial, kelompok penelitian dibagi menjadi dua (n:8), kelompok I merupakan kelompok yang mendapat anestesi umum dengan pentothal dosis 5mg/bb dan pelumpuh otot suksinilkholis dosis 1.5mg/bbKesimpulan : Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada anestesi umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Nurcahyo, Widya Istanto, and Gatot Nurbianto. "Pemilihan Anestesi Regional dan Anestesi Umum Untuk Pasien COVID-19 Sebagai Upaya Mengurangi Risiko Penularan." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 12, no. 2 (2020): 37–46. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v12i2.30757.

Full text
Abstract:
Penyakit coronavirus (COVID-19) adalah sebuah pandemik yang dinyatakan oleh World Health Organization pada tanggal 11 Maret 2020. Pandemi ini dalam waktu singkat menyebar ke seluruh dunia. Dengan adanya pandemi ini, tenaga dan pelayanan kesehatan melakukan langkah-langkah tertentu dalam menghadapi pandemik ini. Di ruang operasi, seorang ahli anestesi diharuskan untuk meningkatkan tindakan-tindakan yang bersifat mencegah dan menyesuaikan praktik-praktik anestesi untuk setiap pasien. Diharapkan, dengan meminimalisir sebagian besar prosedur yang menghasilkan aerosol yang biasanya terjadi selama anestesi umum, ahli anestesi mampu mengurangi pajanan terhadap sekret atau droplet pernapasan pasien dan risiko penularan virus secara perioperatif ke petugas-petugas kesehatan dan pasien-pasien lainnya. Anestesi umum dengan intervensi jalan napas serta manipulasi jalan napas yang menyebabkan pembentukan aerosol, yang dapat meningkatkan risiko kontaminasi COVID-19 di ruang operasi dan secara signifikan dapat menyebarkan pada tenaga kesehatan terhadap infeksi COVID-19 selama intubasi dan ekstubasi trakea. Karena itu, penggunaan anestesi regional menjadi kunci selama pandemi ini, karena dapat mengurangi kebutuhan untuk anestesi umum dan risiko terkait dari prosedur yang menghasilkan aerosol. Namun, pedoman tentang kinerja aman anestesi umum dan regional mengingat pandemi COVID-19 terbatas. Penulisan tinjauan pustaka ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan masukan pada manajemen anestesi umum dan regional pada era pandemi COVID-19.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Arif, Syafri Kamsul, and Iwan Setiawan. "Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 7, no. 2 (2015): 79. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v7i2.9821.

Full text
Abstract:
Latar belakang : Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sering digunakan pada prosedur seksio sesaria, selain karena teknik yang sederhana juga memiliki kualitas blok yang kuat walaupun dengan volume dan dosis yang kecil, efek samping yang minimal bila dibandingkan dengan anestesi umum. Efek yang biasanya muncul pasca anestesi spinal antara lain hipotensi. Insiden hipotensi pasca anestesi spinal mencapai 30-80% pada persalinan seksio sesaria.Tujuan : Untuk mengetahui apakah injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi pada seksio sesaria tanpa memengaruhi onset blok anestesi.Metode : Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal, sampel penelitian sebanyak 48 orang yang memenuhi criteria inklusi. Sampel dipilih secara acak dan dibagi ke dalam dua kelompok. Anestesi spinal menggunakan bupivakain 0,5% 10mg dan fentanyl 25mcg, kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,4 mL/dtk, sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk. Insiden hipotensi, onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisis statistik.Hasil : Penelitian ini mendapatkan Injeksi anestesi dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok.Kesimpulan : Anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Wiranto, Eduardus, Soni Sunarso, and Christijogo Sumartono. "Kaudal Epidural Kontinyu Pada Pasien Pediatri yang Menjalani Pembedahan Abdomen dan Rectum." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 8, no. 1 (2016): 41. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v8i1.11863.

Full text
Abstract:
Latar Belakang: Anestesi epidural caudal adalah teknik anestesi regional yang paling popular digunakan pada anak-anak, umumnya digunakan bersamaan dengan anestesi umum intra operasi, dan digunakan untuk manajemen nyeri pasca operasi. Tidak seperti caudal blok injeksi tunggal, blok caudal kontinyu akan menghasilkan durasi analgesi yang adekuat. Bila digunakan bersamaan dengan anestesi umum dapat mengurangi kebutuhan agen anestesi. Kasus: anak usia 5 tahun dengan diagnosa prolaps rectum dilakukan operasi repair prolaps, dan anak 6 bulan dengan undecensus testis bilateral, malformasi anorektal, fistel recto uretra dan hipospadia penoscrotal dilakukan operasi orchidopexy unilateral dan sigmoidostomiRingkasan: Kedua operasi berjalan lancar dan tanpa kejadian khusus. Pasca operasi pasien tidak mengalami keluhan nyeri. Kedua pasien mendapatkan efek analgesi yang baik dan tidak perlu menambahkan analgesik melalui injeksi intravena, injeksi obat analgesik dilanjutkan pasca operasi melalui kateter epidural dengan menggunakan naropin.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Isngadi, Isngadi, Rafidya Indah Septica, and Susilo Chandra. "Tatalaksana Anestesi pada Operasi Obstetri dengan Covid-19." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 3, no. 1 (2020): 35–46. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v3i1.41.

Full text
Abstract:
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan masalah utama kesehatan dunia. Kasus COVID-19 terus meningkat secara ekponensial di berbagai belahan dunia. Wanita hamil juga mengalami peningkatan kejadian infeksi COVID-19. Manifestasi klinis COVID-19 bervariasi, dengan sebagian besar pasien memiliki gejala saluran pernapasan. Pasien terinfeksi covid-19 yang asimpomatis atau pasien yang terinfeksi sebelum munculnya manifestasi klinis mampu menularkan penyakit. Sehingga perlu dilakukan deteksi dini kepada semua maternal yang akan dilakukan tindakan operasi, terutama di daerah dengan kejadian inveksi COVID-19 yang tinggi. Tatalaksana anestesi pada operasi obstetri dengan COVID-19 harus memperhatikan beberapa hal dengan tujuan pengendalian infeksi untuk mencegah penularan COVID-19, kepada petugas kesehatan, anak yang baru dilahirkan serta orang lain lingkungan sekitar. Tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 berisiko terinfeksi apabila tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar, sehingga penggunaan APD sesuai standart secara benar sangat penting,untuk mencegah tertularnya COVID-19 pada petugas. Tehnik anestesi yang menjadi pilihan utama untuk operasi obstetri dengan COVID-19, adalah dengan tehnik anestesi regional (epidural dan atau spinal), karena dengan tehnik tersebut mengindari timbulnya aerosol. Tehnik anestesi umum hanya digunakan apabila : gagal dengan tehnik anestesi regional, ada kontraindikasi dengan tehnik anestesi regional atau maternal mengalami desaturasi(saturasi <93%). Apabila menggunakan tehnik anestesi umum maka dalam pelaksanaanya harus dengan prinsip pencegahan terjadinya penyebaran infeksi.
 Anesthesia Management for obstetric surgery with COVID-19 infected
 Abstract
 The coronavirus disease 19 (COVID-19) is a global health problem. The number of cases of COVID-19 continue to rise exponentially in many parts of the world. Pregnant women have also increasing COVID-19 infection. The clinical manifestations of COVID-19 are varied, with most patients having respiratory symptom. The asymptomatic covid-19 infected patients or infected patients before clinical manifestations can transmit the disease. So early detection should be done for all mothers who will perform surgery, especially in areas with a high incidence of COVID-19 infection. Anesthesia management in obstetric surgery with COVID-19 must pay attention to several things with the aim of controlling infection to prevent transmission of COVID-19, for health workers, newborn babies and other people in the surrounding environment. Health workers who are exposed to COVID-19 are at risk of infection if they do not use personal protective equipment (PPE) according to the standard, so the use of PPE according to proper standards is very important, to prevent the transmission of COVID-19 to the officerExpected health workers, COVID-19, the risk of coverage, do not use personal protective equipment (PPE) according to standards, so the use of PPE according to the standard, is very important. The first choice of Anesthesia techniques for obstetric surgery in maternal COVID-19 infection are regional anesthesia techniques (epidural and or spinal), because with these techniques avoid the emergence of aerosols. General anesthesia techniques are only used if: fail with regional anesthesia techniques, there are contraindications to regional anesthesia or maternal desaturation (saturation <93). If using general anesthesia techniques, the prevention of infection is a major concern.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Harahap, C. O., Satrio Adi Wicaksono, Doso Sutiyono, and Himawan Sasongko. "Perbandingan Kadar Substansi P Serum pada Pasien Pre dan Post Operasi Tiroid yang Diberi Analgetik Bupivakain 0,25% dengan Teknik Bilateral Superficial Cervical Plexus Block (BSCPB)." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 9, no. 1 (2017): 31. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v9i1.19822.

Full text
Abstract:
Latar belakang: Operasi tiroid dapat menyebabkan rasa sakit sehingga untuk mencegah masalah ini dengan berbagai modalitas, seperti anestesi regional bilateral superficial cervical plexus block (BSCPB) dengan menggunakan bupivakain 0,25% yang dikombinasikan dengan anestesi umum.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian klinis acak tersamar ganda dengan jumlah sampel 36 pasien. Sampel dibagi kedalam 2 kelompok yang diberikan anestesi regional melalui teknik BSCPB dengan kelompok perlakuan diberikan bupivakain 0,25% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan NaCl 0,9% terhadap kadar substansi P serum pre dan post operasi pada pasien yang menjalani operasi tiroid.Hasil: Data penelitian diperoleh subjek laki-laki sebanyak 7 (19,4%) orang dan subjek perempuan sebanyak 29 (80,6%) orang. Data substansi P post operasi kelompok control dibandingkan kelompok perlakuan didapatkan perbedaan bermakna (p = 0,001). Substansi P pre operasi dibandingkan substansi P post operasi kelompok perlakuan didapatkan perbedaan bermakna (p = 0,004). Simpulan: Pemberian bupivakain konsentrasi 0,25% melalui teknik BSCPB terbukti menurunkan kadar substansi P serum post operasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Rizki, Aulia Nailufar, and Isngadi Isngadi. "Anestesi Low-Dose Spinal dan Epidural pada Pasien Syok Hemoragik yang akan Dilakukan Histerektomi dengan Suspek COVID-19." Journal of Anaesthesia and Pain 2, no. 1 (2021): 48–55. http://dx.doi.org/10.21776/ub.jap.2021.002.01.06.

Full text
Abstract:
Latar belakang: Syok hemoragik atau kondisi hipovolemia berat merupakan kontraindikasi anestesi neuraxial. Anestesi regional baik spinal maupun epidural merupakan pilihan utama untuk operasi obstetri ginekologi dengan COVID-19, untuk menghindari manipulasi jalan napas dan meminimalkan tindakan aerosol serta mengurangi risiko transmisi virus antara pasien dan tenaga kesehatan. Laporan kasus ini menggambarkan manajemen anestesi pada pasien yang mengalami syok hemoragik dengan kecurigaan COVID-19 yang dilakukan histerektomi darurat, menggunakan kombinasi anestesi spinal dosis rendah dan epidural. Kasus: Perempuan 38 tahun dengan keluhan utama pendarahan aktif pervaginam, dengan riwayat demam datang ke IGD reguler dalam keadaan syok hemoragik dan dilakukan resusitasi cairan, transfusi darah, dan vasopressor. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia, trombositopenia, neutrofilia, limpofenia, peningkatan NLR, hipoalbuminemia; peningkatan CRP dan procalcitonin. X-Ray thorax menunjukkan pneumonia tipikal kesan viral. Penapisan pre-hospital dan intra-hospital menunjukkan kecurigaan infeksi COVID-19. Pasien direncanakan histerektomi darurat dengan anestesi spinal dosis rendah dan epidural di kamar operasi INCOVIT. Paska operasi pasien dirawat di ruang IGD dikarenakan ruang rawat dan ICU INCOVIT penuh. Hemodinamik paska operasi stabil, vasopressor dihentikan. Setelah swab 2 hari berturut-turut didapatkan hasil negatif dan pasien dipindahkan ke ruang rawat reguler. Kesimpulan: Pasien syok hemoragik disertai kecurigaan COVID-19 dengan tindakan histerektomi dapat dilakukan anestesi kombinasi spinal dosis rendah dan epidural, serta memberikan outcome yang baik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Indah Septica, Rafidya, and Isngadi Isngadi. "Kardiomiopati Peripartum: Manajemen Anestesi Terbaru." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 4, no. 1 (2021): 55–62. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v4i1.60.

Full text
Abstract:
Kardiomiopati peripartum (KMPP) atau Peripartum cardiomyopathy (PPCM) adalah kelainan jantung idiopatik dengan karakteristik disfungsi sistolik dan simptom gagal jantung pada akhir masa kehamilan atau beberapa bulan setelah kehamilan tanpa sebab lain yang mengancam jiwa maternal dengan risiko morbiditas dan mortalitas postpartum cukup tinggi. Penelitian terbaru dalam pemahaman tentang patofisiologi PPCM menunjukkan proses yang melibatkan faktor endotel dan faktor toksik kardio, seperti sFlt-1 dan 16 kDa prolaktin, sehingga kemampuan jantung beradaptasi terhadap kehamilan normal terlampaui pada ibu yang sudah rentan terhadap serangan jantung. Terapi spesifik PPCM belum dapat ditentukan. Bromokriptin yang bekerja memblok pelepasan prolaktin dari glandula pituitaria, pada beberapa penelitian awal menghasilkan perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri secara bermakna. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar masih harus dilakukan untuk terapi ini. Prinsip manajemen direkomendasikan sesuai dengan patofisiologi yang terjadi. Optimalisasi atau reduksi preload baik dengan reduksi natrium maupun cairan dan penggunaan diuretika, menurunkan afterload dengan vasodilator, dan memperbaiki kontraktilitas jantung dengan inotropik, dromotropik, atau inodilator adalah strategi utama yang direkomendasikan. Tidak ada perubahan strategi dalam manajemen terapi ini, tetapi pilihan teknik anestesi saat ini lebih berkembang ke analgesi/anestesi regional. Pemahaman penggunaan dosis dan konsentrasi anestetika lokal menjadi penting untuk mencapai target dalam strategi yang direkomendasikan.
 
 Peripartum Cardiomyopathy: Update in Anesthesia Management
 Abstract
 Peripatum cardiomyopathy (PPCM) is an idiopathic cardiomyopathy presenting with heart failure secondary to left ventricle systolic dysfunction towards the end of pregnancy or in the months following delivery, where no other cause for heart failure is identified, life-threatening, and postpartum high morbidity and mortality risk. Recent studies in the understanding of PPCM pathophysiology indicate that there’s processes involving endothelial and cardio-toxic factors such as e.g. sFlt-1 and 16 kDa prolactin, leading the heart’s capacity to adapt to a normal pregnancy may be exceeded in some women already susceptible to cardiac insult. Spesific therapy for PPCM can not be determined. Bromocriptine that blocks the release of a hormone called prolactine from the pituitary gland in some preliminary studies improved left ventricular ejection fraction significantly. Further research with larger sample size remains to be done for this therapy. Management principles for PPCM are recommended in accordance with the pathophysiology. Depending on the volume status, preload has to be optimized by either fluid administration or sodium restriction and diuretics, decrease afterload using vasodilator, and improve contractility by using inotropic, dromotropic, or inodilator are the main strategies. There is no change in management strategy for PPCM, but regional analgesia/anesthesia preferably for now. Understanding the dose and concentration administration of local anesthethic drugs are important to achieve targets recommendation.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Verdiansyah, Rio. "KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN SEBELUM DILAKUKAN ANESTESI REGIONAL." JURNAL MEDIA KESEHATAN 6, no. 2 (2018): 106–11. http://dx.doi.org/10.33088/jmk.v6i2.199.

Full text
Abstract:
The purpose of this study was to determine the effect of therapeutic communication to the patient's level of anxiety prior to regional anesthesia.
 The type of research is the pre-experimental design using one-group pretest-posttest. Sampling techniques accidental sampling of 30 samples. Data analysis was performed using Univariate and Bivariate analysis with paired t-test test on a5%.
 The results showed that there were differences in the mean levels of anxiety before and after therapeutic communication and there is a significant decrease in the mean levels of anxiety before and after therapeutic communication. In patients before surgery with regional anesthesia in the operating room RSUD.Dr.M.Yunus Bengkulu (P = 0.000).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Verdiansyah, Rio. "KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN SEBELUM DILAKUKAN ANESTESI REGIONAL." JURNAL MEDIA KESEHATAN 6, no. 2 (2018): 106–11. http://dx.doi.org/10.33088/jmk.v6i2.199.

Full text
Abstract:
The purpose of this study was to determine the effect of therapeutic communication to the patient's level of anxiety prior to regional anesthesia.
 The type of research is the pre-experimental design using one-group pretest-posttest. Sampling techniques accidental sampling of 30 samples. Data analysis was performed using Univariate and Bivariate analysis with paired t-test test on a5%.
 The results showed that there were differences in the mean levels of anxiety before and after therapeutic communication and there is a significant decrease in the mean levels of anxiety before and after therapeutic communication. In patients before surgery with regional anesthesia in the operating room RSUD.Dr.M.Yunus Bengkulu (P = 0.000).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Siahaan, Ariati Isabella, and Yutu Solihat. "Anestesi Spinal Pada Seksio Sesaria Wanita Dengan Tetralogy Fallot Tidak Terkoreksi." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 6, no. 3 (2014): 208–13. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v6i3.9126.

Full text
Abstract:
Pendahuluan : Bagi pasien ToF, kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab morbiditas (62,5%) bahkan mortalitas (10%) dan berefek nyata bagi fetus. Anestesia regional dan anestesia umum dapat dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung, walaupun regional anestesia terutama spinal anestesia lebih agresif menurunkan keadaan hemodinamik pasien yang dapat membahayakan, namun saat ini ada tehnik menggunakan dosis rendah bupivakain 5- 7,5 mg dengan opioid sebagai adjuvan untuk meminimalkan agresifitas penurunan hemodinamik yang dapat membahayakan pasien.Kasus : Wanita 23 tahun, G1P0A0, berat badan 48 kg hamil 35-36 minggu dirawat di RS karena sesak nafas dan ingin melahirkan. Riwayat penyakit dahulu sesak saat masih anak-anak, riwayat biru bila beraktifitas dan didiagnosa penyakit jantung kongenital. Digunakan anestesa spinal dengan bupivakain dosis rendah 0,5% 5 mg (1 ml) dengan adjuvan fentanyl 25 ug (0,5 ml). Blok didapatkan mencapai dermatom thorakal 4.Lama operasi 30 menit dengan sistolik antara 90-120 mmHg, diastolik antara 55-80 mmHg dan denyut nadi antara 100-112 kali/menit. lahir bayi laki-laki, APGAR 6-7, berat badan 2100 gram. Post operasi pasien dirawat di Intensive Care Unit, dan selama perawatan kondisi hemodinamik stabil.Ringkasan : Teknik anestesi blok spinal dengan dosis rendah, 1 ml, Bupivakain Hiperbarik 0,5 % ditambah dengan adjuvan fentanyl 25 mcg dinilai cukup memuaskan sebagai manajemen anestesi pada kasus ini. Efek sinergis dari anestesi lokal dengan dosis rendah dan opiod memberikan keuntungan besar untuk mendapatkan anestesi yang adekuat, sehingga mengurangi resiko dan tingkat keparahan hipotensi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Suharti, Titiek, Yustiana Olfah, and Abdul Majid. "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Perawat Anestesi Melakukan Tindakan General Anestesi di RSUP Mataram Nusa Tenggara Barat." Journal of Health 3, no. 1 (2016): 1. http://dx.doi.org/10.30590/vol3-no1-p1-7.

Full text
Abstract:
Background : The provision of the type of anesthesia in patients undergoing surgery can be performed under general anesthesia, and with the anesthetic to a specific body part (regional anesthesia). The type of anesthesia used in surgery, either by using general anesthesia or regional anesthesia with each having its own complications. Readiness of each participant looks diverse, there is no action in the first prepare medications and tools so often happens unpreparedness in implementing the action. Readiness of nurses in providing anesthesia is influenced by various factors such as age, education, work experience, knowledge and gender.
 Methods : The aim of research to explore preparedness for nurse anesthetists in general anesthetic action. This study used a naturalistic qualitative research. Participants in this study is a nurse anesthetist who is still on active duty in the department of West Nusa Tenggara Province. Intake of total participants performed the sampling technique. Data collection was conducted in natural conditions, the primary data sources and data collection techniques through observation, in-depth interviews to the participants to explore the role of a nurse anesthetist does and documentation. Data obtained through the data collection process immediately processed and analyzed by the researchers.
 Results of the study : The study states that the age of anesthesia nurses between 21 to 59 years, that the longer the period of employment will be more and more experience and better prepared for the patient, not the readiness of gender and all have the same roles and functions.
 Suggestion : Readiness nurse anesthesia before and during work is crucial to achieve satisfactory results in implementing the anesthesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Hadiyanto, M. Faizal, and Doso Sutiyono. "Kateter Epidural Terputus Saat Dipasang." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 10, no. 2 (2018): 117. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v10i2.22329.

Full text
Abstract:
Latar belakang: Anestesia epidural adalah satu bentuk dari anestesia regional dan merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial, dimana penggunaannya lebih luas daripada anesthesia spinal. Teknik epidural sangat luas penggunaanya pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus obstetri, analgesia post operatif dan untuk nyeri kronis. Morbiditas dan bahkan mortalitas pascaoperasi dapat dikurangi ketika blokade neuraksial digunakan, baik sebagai agen tunggal maupun sebagai kombinasi dengan anestesi umum. Kasus: Seorang wanita usia 45th, ASA II dengan Adenokarsinoma Lambung yang akan menjalani operasi Gastrektomi Parsial. Penilaian preoperasi pasien sudah dalam kondisi yang optimal. Direncanakan akan dilakukan anestesi dengan teknik Epidural, insersi pada ruang intervertebra lumbal 3-4 dengan pemasangan kateter epidural tetapi gagal dipasang dan terputus 1cm saat pencabutan. Kemudian teknik anestesi dikonversi menjadi anestesi umum.Pembahasan: Kerusakan kateter adalah komplikasi yang dapat dikenali pada anestesi epidural, sering dikaitkan dengan trauma pada penusukan jarum epidural atau kekuatan yang berlebihan saat penarikan kateter. Pemeriksaan CT scan lebih sensitif daripada MRI dalam mendeteksi fragmen kateter dalam ruang epidural dan lebih sensitif dengan radiografi polos, terutama untuk fragmen kecil. Pengelolaan post operasi, potongan kateter epidural yang dianggap benda asing umumnya dianggap sebagai tidak aktif dan seharusnya tidak menghasilkan reaksi tubuh.Kesimpulan: Meskipun dikatakan potongan kateter epidural yang dianggap benda asing umumnya tidak menghasilkan reaksi tubuh. Pada kebanyakan kasus, standard penanganan terputusnya segmen kateter epidural, adalah dengan membiarkan dengan pengawasan sampai muncul gejala simptomatik. Namun, ada situasi di mana operasi pengangkatan harus dilakukan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Supraptomo, RTH. "Manajemen Anestesi Subarachnoid Block pada Pasien dengan Impending Eklampsia." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 3, no. 1 (2020): 20–25. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v3i1.43.

Full text
Abstract:
Pendahuluan: Impending eclampsia merupakan masalah yang serius dalam kehamilan karena komplikasi-komplikasi yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada janin. Salah satu cara terbaik untuk meningkatkan keselamatan ibu dan bayi pada pasien dengan impending eklampsia adalah dengan dilakukan pembedahan caesar. Laporan Kasus: Pada kasus ini, akan dibahas lebih lanjut terkait wanita 39 tahun dengan G4P3A0 hamil 39 minggu dengan impending eclampsia. Pasien ini memiliki status fisik ASA III-E dan dilakukan tindakan sectio caesarea transperitoneal emergency dengan teknik anestesi regional subarachnoid block. Bayi lahir berjenis kelamin perempuan dengan APGAR score 7–8–9. Diskusi: Anestesi regional subarachnoid block dipilih karena mempunyai banyak keuntungan seperti kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil, blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya sudah diketahui dengan baik. Kesimpulan: Diagnosis dan manajemen yang tepat pada ibu hamil dengan impending eclampsia sangat penting untuk kelangsungan hidup pasien. Pemilihan jenis anestesi subarachnoid block dipilih sesuai dengan kondisi klinis pasien dengan memperhitungkan segala aspek keuntungan, kerugian dan aspek medis lainnya.
 Management Anesthesia Subarachnoid Block for Patient with Impending Eclampsia
 Abstract
 Introduction: Impending eclampsia is a serious problem in pregnancy because of complications that can arise both for the mother and the fetus. One way to speed up handling and improve the safety of mother and baby in patients with impending eclampsia is by caesarean section. Case Report: In this case, we will discuss about 39-year-old woman with G4P3A0 39 weeks pregnancy with impending eclampsia. This patient has ASA III-E physical status and performed transperitoneal emergency sectio caesarea under regional subarachnoid block anesthesia. The baby is female, born alive without abnormalities and has 7-8-9 APGAR score. Discussion: Regional subarachnoid block anesthesia was chosen because it has many advantages such as simple technic, rapid onset, a small risk of systemic poisoning, good anesthesia block, prevention of physiological changes, and its handling are well known. Conclusion: Proper diagnosis and management of pregnant women with impending eclampsia is very important for patient survival. The choice of subarachnoid block anesthesia is chosen according to the clinical condition of the patient by considering all aspects of the advantages, disadvantages, and other medical aspects.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Bania Lubis, Alfathah, Tatat Agustian, Djoni Kusumah Pohan, and Alexander Siagian. "Anestesi Spinal untuk Seksio Sesarea pada Wanita Hamil dengan Obesitas Morbid." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 4, no. 1 (2021): 43–7. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v4i1.64.

Full text
Abstract:
Obesitas adalah keadaan tubuh yang terjadi akibat akumulasi lemak yang abnormal atau berlebih sehingga dapat menimbulkan banyak implikasi klinis dalam tatalaksana anestesi. Wanita hamil dengan berat badan lebih dan obesitas merupakan kondisi yang berisiko tinggi dan terbukti berhubungan dengan peningkatan komplikasi dalam kehamilan. Wanita dengan obesitas sangat penting diberikan edukasi untuk menurunkan berat badan dalam merencanakan kehamilan dan perlu diinformasikan tentang peningkatan risiko termasuk persalinan dengan bedah sesar. Seorang wanita 34 tahun G2P0A1 hamil 41 minggu dengan obesitas morbid dengan tinggi badan 156 cm dan berat badan 124 kg dengan nilai indeks massa tubuh (IMT) 50,9 kg/meter2. Pasien menjalani seksio sesarea dengan teknik anestesi spinal, dengan puncture di L3-4 median, menggunakan obat levobupivakain 15 mg + fentanyl 25 mcg. Operasi berlangsung 1 jam 15 menit, perdarahan 350 ml, hemodinamik stabil. Lahir bayi laki-laki, BB 3100 gram, PB 51 cm, APGAR score 8-9-10. Pemilihan teknik anestesi pada wanita hamil dengan obesitas yang akan menjalani seksio sesarea dilakukan dengan jenis anestesi regional yaitu anestesi spinal dengan pertimbangan dapat mengurangi terpaparnya obat-obatan terhadap bayi, mengurangi risiko aspirasi pneumonia dan memungkinkan proses lahirnya bayi dalam keadaan ibu sadar, dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pasca operasi, dan juga dapat menghindari risiko bila dilakukan dengan teknik anestesi umum. Simpulan: Wanita hamil dengan berat badan lebih dan obesitas perlu penilaian kondisi dan perencanaan anestesi yang tepat untuk menurunkan risiko seksio sesarea
 
 Spinal Anesthesia for Caesarean Section in Pregnant Woman with Morbid Obese
 Abstract
 Obesity is a state of the body that occurs due to abnormal or excess fat accumulation that can cause many clinical implications in the management of anesthesia. Overweight and obese pregnant women are at high risk and have been shown to be associated with increased complications in pregnancy. Obese women are very important to be educated to lose weight in planning pregnancy and need to be informed about increased risks including delivery by cesarean section. A female, 34 years old G2P0A1, 41 weeks pregnant with morbid obese, 156 cm tall and weight of 124 kg, with BMI 50,9 kg/meter2. Carried out in spinal anesthesia technique with puncture in L3-4 median, using levobupivacain 15 mg + fentanyl 25 mcg. The operation lasted for 1 hour and 15 minutes, with 350 ml bleeding, hemodynamically stable. Born a baby boy, BW 3100 gram, BL 51 cm, APGAR score 8-9-10. Anesthesia technique for pregnant woman with obese who will undergo Caesarean Section is regional anesthesia type called spinal anesthesia with consideration to reduce drug intake for baby, lessen chance of pneumonia aspiration and enable birth process while mother still awake, can be used for overcome post-operation pain, and to avoid risk if done by general anesthesia. Conclusion: overweight and obese pregnant women need proper condition assessment and anesthetic planning to reduce the risk of cesarean section.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Wicaksono, Satrio Adi, and Bhimo Priambodo. "Kejadian Drop Foot Setelah Anestesi Spinal." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 11, no. 1 (2019): 42. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v11i1.23859.

Full text
Abstract:
Latar Belakang: Komplikasi neurologi setelah prosedur anestesi spinal dapat disebabkan oleh cedera saraf secara langsung, hipotensi yang berat, henti jantung, masalah terkait peralatan, efek yang tidak diinginkan dari obat, pemberian obat yang tidak benar, dan kesalahan lokasi penyuntikan. Namun komplikasi neurologi serius yang disebabkan oleh anestesi regional jarang terjadi. Drop Foot merupakan salah satu komplikasi langsung dari cedera saraf.Kasus: Seorang wanita berusia 44 tahun telah dijadwalkan untuk operasi histerektomi. Pasien mengalami penurunan daya lihat, visus mata kanan 1/300 sedangkan mata kiri adalah 1/~. Melalui teknik aseptik, 25 G jarum spinal disuntikan di interspatium L3-L4. Ruang subarachnoid dicapai setelah beberapa kali suntikan. Setelah itu, bupivakain spinal 0,5% 20 mg diinjeksikan.Satu hari setelah operasi, pasien menyadari bahwa ia tidak mampu menggerakkan kaki kirinya dan kaki kanan normal. Kasus ini dikonsulkan ke bagian neurologi dan rehabilitasi medik dan akupuntur. Tiga minggu pascaoperasi kekuatan motorik skala 1, sensorik hampir kembali normal, sensasi panas di kulit hampir hilang. Setelah 4 minggu, sebagian kekuatan motorik telah pulih, 8 minggu kemudian pulih total.Pembahasan: Jenis dan luasnya cedera saraf dapat bervariasi sesuai dengan orientasi jarum. Ketika bevel sejajar dengan sumbu panjang saraf, jarum lebih mudah untuk melewati serabut saraf. Saat jarum menyilang ke serabut saraf, lukanya lebih besar. Beberapa gangguan sensorik dan kelemahan anggota gerak dapat berlangsung lebih dari satu tahun. Pemeriksaan konduksi saraf berguna untuk melokalisasi dan menilai cedera saraf. Tanda-tanda denervasi pada elektromiogram (EMG) setelah cedera saraf akut membutuhkan 18-21 hari untuk berkembang.Kesimpulan: Dalam kasus ini, komplikasi muncul segera setelah pemulihan dari anestesi spinal dan pasien mengalami pemulihan total setelah 2 bulan. Komplikasi neurologi ini muncul dan diterapi dengan kortikosteroid, obat anti inflamasi, dan akupunktur tanpa adanya efek samping.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Wicaksono, Satrio Adi, Yusmein Uyun, and Ratih Kumala Fajar Apsari. "Anestesi Spinal pada Pasien Seksio Sesaria dengan Tuberkulosis Multidrug-resistant (TB MDR)." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 12, no. 2 (2020): 23–29. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v12i2.28761.

Full text
Abstract:
Latar belakang: Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) adalah adanya resistensi terhadap obat TB minimal 2 (dua) obat anti TB yang paling poten yaitu INH dan rifampisin secara bersama-sama atau disertai resistensi terhadap obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Pemilihan anestesi spinal pada pasien ini merupakan bahan diskusi yang menarik.Kasus: Seorang wanita G2P1A0 dirujuk ke RSUP Dr Kariadi dengan diagnosa TB MDR. Pasien memiliki riwayat flek paru sejak usia 15 tahun. Pasien memiliki keluhan batuk lama saat kehamilan yang pertama dan sempat mengalami putus obat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sesak dengan kesadaran composmentis, BB 43kg, TB 160cm. Tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 112x/menit, laju napas 28 x/menit, dengan temperatur 37oC. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva palpebra anemis. Pemeriksaan jantung normal dan paru terdengar suara ronki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dan trombositopenia. Pasien menjalani operasi seksio sesaria dengan anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% 10 mg dengan tekanan darah awal 130/80 mmHg. Selama operasi dan pascaoperasi seksio sesaria, hemodinamik pasien stabil, tidak ditemukan hipotensi yang berat maupun kenaikan tekanan darah. Pasien kemudian dirawat di ruangan dengan perawatan pascaoperasi.Pembahasan: Pada penderita TB MDR, hampir seluruh lapang paru diisi oleh infiltrat. Anestesi regional sering disukai pada pasien dengan penyakit paru-paru kronis seperti tuberkulosis daripada anestesi umum untuk menghindari risiko hipersensitivitas pada otot polos bronkhial dan penyempitan saluran udara akibat proses inflamasi, yang dapat berdampak pada morbiditas dan mortalitas selama persalinan operatif. Ketersediaan tes fungsi paru akan sangat membantu ahli anestesi.Kesimpulan: Keadaan paru yang kurang baik dapat menjadi kontra indikasi untuk dilakukan anestesi umum.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Supraptomo, RTH. "Manajemen Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien Pre Eklampsia Berat yang Terinfeksi Covid-19." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 4, no. 1 (2021): 18–25. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v4i1.59.

Full text
Abstract:
Komplikasi hipertensi tercatat 6–8% pada kehamilan dan menjadi kontributor yang signifikan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Di Amerika Serikat, preeklamsia menjadi satu dari tiga besar penyebab utama kematian ibu hamil. Penanganan yang tidak sesuai dengan standar, sering menjadi penyebab utama yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil. Seorang wanita 30 tahun early warning score (EWS) score 6 dengan preeklampsia pada sekundigravida (G2P1A0) hamil preterm belum dalam persalinan, riwayat seksio sesarea 1x pro seksio sesarea transperitoneal emergensi dengan status fisik ASA IIE, direncanakan dilakukan anestesi dengan teknik regional anestesi sub-arachnoid block (SAB). Manajemen anestesi pada kehamilan dengan pre-eklampsia meliputi preoperatif, intraoperatif dan postoperatif. Pada masa pandemi COVID-19 dibutuhkan penggunaan alat pelindung diri (APD) yang memadai selama tindakan perioperatif. Perhatian khusus pada anestesi pasien terinfeksi COVID-19 meliputi penggunaan ruangan bertekanan negatif, meminimalisir instrumentasi jalan nafas, serta penggunaan APD level 3.
 
 Anesthesia Management for Caesarean Section in Severe Pre-Eclampsia Patients Infected with Covid-19
 Abstract
 Hypertensive complications account for 6-8% of pregnancy and are a significant contributor to maternal and perinatal morbidity and mortality. In the United States, preeclampsia is one of the top three causes of death for pregnant women. Handling that is not in accordance with standards is often the main cause that causes increased morbidity and mortality in pregnant women. A 30-year-old woman with early warning score (EWS) score 6 with preeclampsia in secondary pregnancy (G2P1A0) who is preterm pregnant yet in labor, a history of cesarean section 1x pro-cesarean section emergency transperitoneal with ASA IIE physical status, planning to perform anesthesia with regional anesthesia technique. sub-arachnoid block (SAB). Anesthesia management in pre-eclampsia pregnancy includes preoperative, intraoperative and postoperative. During the COVID-19 pandemic, adequate personal protective equipment (PPE) is required during perioperative measures. Special attention to anesthesia for patients infected with COVID-19 includes the use of negative pressure rooms, minimizing airway instrumentation, and the use of level 3 PPE.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Sulistyanti, Dwiana, and Bambang Suryono. "Patofisiologi dan Penanganan Kardiomiopati Peripartum." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 2, no. 2 (2020): 108–21. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v2i2.16.

Full text
Abstract:
Kardiomiopati peripartum adalah salah satu penyebab dari kardiomiopati dilatasi yang timbul pada waktu akhir trimester tiga kehamilan sampai 5 bulan kelahiran. Tanda karakteristik kardiomiopati peripatum adalah berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel kiri dan berhubungan dengan gagal jantung kongesti, yang dapat meningkatkan resiko aritmia, tromboemboli dan henti jantung mendadak. Pengertian mendalam tentang fisiologi selama kehamilan dan patofisiologi penyakit jantung pada ibu sangat penting untuk dokter anestesi, dokter kandungan dan dokter jantung yang terlibat pada penanganan pasien PPCM selama periode kehamilan dan persalinan (perawatan peripartum). Penatalaksanaan kardiomiopati peripartum sebagian besar bersifat suportif. Tujuan terapi pada pasien dengan kardiomiopati peripartum adalah optimalisasi hemodinamik, mengoptimalkan preload, menurunkan afterload dan meningkatkan kontraktilitas. Keputusan jenis persalinan pasien dengan kardiomiopati peripartum harus dibuat berdasarkan indikasi obstetri. Pilihan tehnik anestesi yang akan digunakan disesuaikan dengan kondisi klinis ibu pada saat itu dengan memperhatikan efek obat terhadap ibu maupun janin. Baik tehnik anestesi umum maupun tehnik anestesi regional dapat digunakan untuk parturien dengan kardiomiopati peripartum.
 Pathophysiology and Management of Peripartum Cardiomyopathy
 Abstract
 Peripartum cardiomyopathy (PPCM) is a number of cause of dilated cardiomyopathy which occured during the end third trimester of pregnancy until the fifth months of birth. The characteristic sign of peripartum cardiomyopathy is reduced the ejection fraction of left ventricle and associated to congestive heart failure, increased risk of arrhythmia, thromboemboli and sudden cardiac arrest. A comprehensive understanding of the physiology of pregnancy and pathophysiology of maternal cardiac disease is importance for anesthesiologist, gynecologists and cardiologists involved in peripartum care in patients with peripartum cardiomyopathy during the pregnancy and childbirth periods. Management of peripartum cardiomyopathy is mostly supportive therapy. The goal of therapy in patients with peripartum cardiomyopathy is hemodynamic optimization, such as maintaining preload, reducing afterload and improving contractility. Decision of the mode of delivery of patient with peripartum cardiomyopathy hould be based on obstetric indication. The choice of anesthesia technique should consider the current clinical condition of parturient and the effect of the drug for the mother and fetus. Both general anesthesia and regional anesthesia techniques can be an option for parturients with peripartum cardiomyopathy.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Septian, Dwi Fajar, Eko Julianto, and Rahaju Ningtyas. "PENGARUH BLADDER TRAINING TERHADAP PENURUNAN INKONTINENSIA URINE PADA PASIEN POST OPERASI BPH." Journal of Nursing and Health 5, no. 2 (2020): 100–107. http://dx.doi.org/10.52488/jnh.v5i2.123.

Full text
Abstract:
Latar Belakang : Tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi (BPH) adalah, Transurethral Resection of the Prostate (TURP). Guna melaksanakan TURP pasien harus dilakukan anestesi. Anestesi yang digunakan pada pembedahan TURP yaitu anestesi regional (spinal anastesi). Pada anestesi spinal dapat menyebabkan pasien tidak dapat merasakan distensi atau penuhnya kandung kemih. akibat pemasangan kateter dalam waktu yang lama sehingga dapat mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi selain itu juga dapat mengakibatkan kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Otot detrusor tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya, atau inkontinensia urine. Salah satu tindakan non farmakologi untuk mengatasi inontinensia adalah terapi bladder training, Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh bladder training terhadap penurunan inkontinensia urine pada pasien post operasi BPH, Metode: desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan , sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dimana peneliti memperoleh sumber utama dari literatur-literatur yang berkaitan dengan fokus kajian baik berupa jurnal maupun buku-buku yang membahas tentang pengaruh terapi meditasi terhadap penurunan Inkontinesia Urine, Hasil : Hasil pembahasan menunjukan bahwa terapi bladder training baik dengan metode delay urination maupun scheduled urination menjukan adanya pengaruh terhadap penuruna inontinensia urine pada pasien post operasi BPH. kondisi inkontinensia urine sebelum dan sesudah intervensi delay urination, diketahui seluruh pasien (100%) mengalami inkontinensia urine sebelum dilakukan intervensi delay urination, dan setelah dilakukan intervensi delay urination diketahui sebagian besar pasien (63,3%) masih mengalami kejadian inkontinensia urine dan hampir sebagian pasien (36,7%) mengalami perbaikkan yaitu dengan tidak menderita inkontinensia urine lagi. juga tidak jauh berbeda yaitu seluruh pasien (100%) mengalami inkontinensia urine sebelum dilakukan intervensi scheduled, Kesimpulan : Dari telaah jurnal yang ditiliti dapat disimpulkan bahwa bladder training dapat menurunkan inkontinensia pada pasien post BPH.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Supraptomo, RTH, and Yusmein Uyun. "Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Preeklamsia Berat dan Morbid Obese." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 2, no. 1 (2020): 44–7. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v2i1.33.

Full text
Abstract:
Pendahuluan: Preeklampsia adalah terjadinya trias preeklampsia (hipertensi, hipoalbuminemia, dan edema) yang mendadak setelah 20 minggu kehamilan. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis dalam tatalaksana anestesi. Kasus: Wanita, 22 tahun G2P1A0 hamil 39 minggu dengan preeklampsia berat, KPD 12 jam, obesitas morbid akan dilakukan seksio sesarea emergency dengan status fisik ASA IIIE, dilakukan pembiusan dengan teknik regional anestesi subarachnoid block dengan puncture di L3–L4 median, menggunakan agen levobupivakain 15 mg dan fentanyl 25 mcg. Operasi berlangsung selama 1 jam 15 menit, dengan perdarahan 350 cc, hemodinamik stabil. Lahir bayi laki-laki, BB 3400 gr, APGAR Score 8–9–10. Diskusi: Preeklampsia adalah penyakit multiorgan yang spesifik terhadap kehamilan manusia, namun etiologi spesifik yang mendasari tetap belum diketahui. Tatalaksana bersifat suportif, melahirkan bayi dan plasenta tetap menjadi satu-satunya terapi definitif. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis untuk dipertimbangkan. Pemahaman mengenai patofisiologi akan membantu memberikan tatalaksana anestesi yang lebih baik. Simpulan: Pemilihan teknik neuraksial anestesi lebih direkomendasikan karena menghindari kemungkinan intubasi sulit pada kasus emergensi, perfusi uteroplasenta yang lebih baik, kualitas analgesi/anestesia yang baik, mengurangi obat yang masuk ke sirkulasi uteroplasenta, menurunkan stress operasi, dan psikologis ibu yang dapat melihat bayinya saat dilahirkan.
 
 Anesthesia Management in Caesarean Section with Severe Preeclampsia and Morbid Obese
 Abstract
 Introduction: Preeclampsia is a sudden triad of preeclampsia (hypertension, hypoalbuminemia and edema) after 20 weeks of pregnancy, Obese patients have many clinical implications to consider. Case: Female, 22 years old with G2P1A0, 39 weeks pregnant with severe preeclampsia, 12 hours PROM, pro morbid obesity SCTP-E with ASA IIIE physical status. Labor pain management was carried out using regional subarachnoid block anesthesia technique with puncture in median L3-L4, clear CSF (+), blood (-) using levobupivacaine 15 mg + fentanyl 25 mcg. The operation lasted for 1 hour 15 minutes, with 350 cc bleeding, hemodynamically stable. Born a baby boy, BW 3400 gr, APGAR Score 8-9-10. Discussion: Preeclampsia is a multiorgan disease that is specific to human pregnancy, and the underlying specific etiology remains unknown. Management is supportive, giving birth to the baby and placenta remains the only definitive therapy. Obese patients have many clinical implications to consider. Understanding of pathophysiology will help provide better anesthesia management. Conclusion: The neuraxial anesthesia technique is recommended to avoids the possibility of difficult intubation, better uteroplacental perfusion, good analgesia / anesthesia quality, reducing drugs that enter the uteroplacental circulation, decreasing surgical stress, and maternal psychological to be able to see the baby at birth.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Rahmatika, Vina, Musa Ghufron, Nenny Triastuti, and Syaiful Rochman. "Hubungan Pemberian Anestesi Regional Dengan Kelancaran ASI Pada Ibu Post Partum Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Muhammadiyah Gresik." MAGNA MEDICA: Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan 7, no. 2 (2020): 42. http://dx.doi.org/10.26714/magnamed.7.2.2020.42-48.

Full text
Abstract:
Background: The birth rate by caesarean section method is getting higher. Risk data for 2013 shows the method of birth with the operation method of 9.8 percent of the total 49,603 births during 2010 to 2013. Being in practice the mother must be given anesthetic before the surgery begins. This anesthesia will later affect the pain that will occur after SC. Purpose: The purpose of this study was to determine the correlation between regional anesthetic drugs and the smoothness of breast milk in women born in sectio caesarea at Muhammadiyah Gresik Hospital. Method: Method with Cross Sectional approach. The population in this study mothers who gave birth in a caesarean section at Muhammadiyah Hospital Gresik in December 2019 to January 2020. The sampling technique in this study is probability / random simple sampling. The sample in this study was a portion of mothers who gave birth in a caesarean section at Muhammadiyah Gresik Hospital. The instrument used was primary data collection in the form of questionnaires and secondary data in the form of patient medical records. Result: The data obtained in this study were processed using spearman correlation statistics. From the statistical test the Correlation coefficient value was 0.807, and obtained P-Value equal to 0,000 this value is less than 0.05. Conclusion: The conclusion of this study is that there is a correlation between the administration of a regional anesthetics and the smoothness of breast milk in mothers of post partum caesarea at Muhammadiyah Gresik Hospital.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Suharto, Gusti muhammad Fuad, and Rory Denny Saputra. "Efektivitas Blok Transversus Abdominis Plane Pasca Operasi Caesar." Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia 3, no. 1 (2020): 59–71. http://dx.doi.org/10.47507/obstetri.v3i1.23.

Full text
Abstract:
Operasi caesar merupakan prosedur bedah yang paling umum dilakukan di seluruh dunia. Operasi ini menyebabkan nyeri pasca operatif sedang hingga berat sebagai akibat insisi pfannenstiel yang umumnya dikaitkan dengan rasa nyeri pada uterus dan somatik pada dinding abdomen. Analgesia pasca operasi yang memadai pada pasien obstetrik sangat penting karena mereka memiliki kebutuhan pemulihan bedah yang berbeda, yaitu meliputi menyusui dan perawatan bayi baru lahir, hal ini dapat terganggu jika analgesia yang diberikan tidak memuaskan. Rejimen analgesik pasca operasi yang ideal harus efektif tanpa mempengaruhi ibu untuk merawat neonates dan dengan efek transfer obat yang seminimal mungkin melalui ASI. Saat ini banyak cara yang paling aman dan efektif dari intervensi manajemen nyeri pasca operasi seperti anestesi lokal dengan infiltrasi kulit, analgesia epidural, dan blok bidang seperti blok transversus abdominis plane (TAP) dan blok ilioinguinal-iliohipogastrik (II-IH). Blok TAP merupakan teknik anestesi regional dimana serabut saraf aferen yang menginervasi dinding abdomen bagian anterolateral diblokir dengan mengguakan anestesi lokal di bidang transversus abdominalis. Potensinya dalam meningkatkan kualitas dan durasi analgesia setelah berbagai operasi abdomen bawah sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Sekarang, dengan bantuan USG menjadikan blok TAP sebagai metode yang aman dan efektif untuk memberikan analgesia pasca operasi caesar dibandingkan dengan perawatan standar pasca operasi. Selain itu, blok TAP juga dikaitkan dengan pengurangan konsumsi opioid, peningkatan kepuasan pasien, dan efektif untuk mengurangi nyeri dibandingkan dengan teknik analgesia lainnya.
 Efficacy of Transversus Abdominis Plane Block After Post Caesarean Section Delivery
 Abstract
 Caesarean section is the most common surgical procedure performed worldwide. This operation causes moderate to severe postoperative pain as a result of pfannenstiel incision which is commonly associated with pain in the uterus and somatic in the abdominal wall. Adequate postoperative analgesia in obstetric patients is very important because they have different surgical recovery needs, which include breastfeeding and newborn care, this is can be disrupted if the analgesia given is not satisfactory. The ideal postoperative analgesic rejimen must be effective without affecting the mother to treat the neonate and with minimal effect of drug transfer through breast milk. There are currently many of the safest and effective ways of interventions for postoperative pain management such as local anesthetic skin infiltration, epidural analgesia, and field block like TAP and II-IH. TAP block is a regional anesthetic technique where afferent nerve fibers that innervate the anterolateral abdominal wall are blocked by using local anesthesia in the transverse abdominal plane area. Potential in improving the quality and duration of analgesia after various lower abdominal operations is inevitable. Now, with ultrasound guiding, the TAP block is a safe and effective method for providing analgesia post caesarean section delivery compared to standard postoperative care. In addition, TAP block is also associated with a reduction of opioid consumption, increased patient satisfaction, and is effective in reducing pain compared to other analgesia technique.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Karyadi, Karyadi, and Yulia Wahyu Villyastuti. "Kadar Serum Substansi P Pada Pemberian Klonidin Sebagai Ajuvan Analgesia Epidural." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 6, no. 3 (2014): 197–207. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v6i3.9125.

Full text
Abstract:
Latar belakang : Klonidin ketika digunakan bersamaan dengan obat lokal anestesi sebagai teknik regional anestesi, bisa mengurangi kejadian nyeri kronik pasca operasi. Sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral merupakan salah satu mekanisme terjadinya transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik. Kaskade awal yang menyebabkan sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral di picu oleh pelepasan neurotransmitter eksitatorik presinaptik dan pasca sinaptik seperti glutamat dan substansi P.Tujuan : Membandingkan peningkatan kadar serum substansi P pada 12 jam pasca operasi dan nilai visual analog skor pada 0 dan 12 jam pasca operasi antara analgesia epidural dengan bupivakain murni dan bupivakain dengan ajuvan klonidinMetode : penelitian ini merupakan penelitian acak tersamar ganda. Sampel 40 orang dibagi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol mendapat epidural analgesia dengan bupivacain murni dan kelompok kontrol mendapat epidural analgesia bupivakain ditambah ajuvan klonidin dimana pemberian analgesia dilakukan pra insisi dan dilanjutkan samapai pasca operasi. Kadar serum substansi P dinilai pra operasi dan 12 jam pasca operasi pada masing-masing kelompok perlakuan. Sedangkan nilai VAS diukur pada 0 dan 12 jam pasca operasiHasil : Terdapat perbedaan kadar serum substansi P berupa penurunan secara bermakna pada 12 jam pasca operasi baik pada kelompok kontrol dan perlakuan. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata kadar serum substansi P antara kelompok kontrol dan perlakuan pada 12 jam pasca operasi. Terdapat perbedan nilai VAS secara bermakna pada 0 dan 12 jam pasca operasi antara kelompok kontrol dan perlakuanSimpulan : epidural analgesia dengan bupivacain maupun dengan ajuvan klonidin yang diberikan pra insisi yang dilanjutkan pasca operasi sama-sama efektif menurunkan kadar substansi P pada 12 jam pasca operasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Olfah, Yustiana, Sri Eni Restuti, Abdul Majid, and Syamsul Firdaus. "Hubungan Ketinggian Blok Spinal Anestesi dengan Kejadian Menggigil (shivering) Intra Operatif di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr. Soedirman." JKEP 3, no. 1 (2018): 38–45. http://dx.doi.org/10.32668/jkep.v3i1.199.

Full text
Abstract:
Regional anesthesia (Sub ArachnoidBlock) produces sympathetic blocks of muscle relaxation and sensory block against peripheral temperature receptors thereby inhibiting the compensatory response to temperature. Factors that may cause adecrease in core temperature and disruption of the information path derived from the first receptor are sympathetic blockades that may couse peripheral vasodilatation. To know the relationship between the height of the anesthetic spinal block with the intra operative shivering incidence at Central Surgery RSUD Dr. Soedirman Kebumen The research design was cross sectional. The research sampel were 72 respondents spinal anesthesia patients. The technique of sampling were consecutive sampling. The statistical test was chi square. Of 16 people with high spinal block, (75%) had shivering and 4 people (25%) had no shivering. of 36 people with moderate spinal block 21 people (58,3%) had shivering and 15 people (41,7%) had no shivering. of 20 people with low spinal block 14 people (70%) had shivering and 6 people (30%) had no shivering. Statistical test result using chi square obtained a significant relationship with p value of 0,021 smaller than 0,05 (0,021<0,05). There is a relationship between the height of the anethetic spinal block intra operative shivering incidence at Central Surgery RSUD Dr. Soedirman Kebumen
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Purnomo, Heri Dwi, and Rio Rusman. "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi Kateter Epidural." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 9, no. 3 (2017): 168. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v9i3.19842.

Full text
Abstract:
Epidural kontinyu saat ini merupakan salah satu satu tekhnik regional anestesia yang mulai sering digunakan dalam praktek anesthesia sehari-hari. Dapat digunakan untuk anestesia tunggal dalam pembedahan, adjuvan anestesia umum, manajemen nyeri paska operasi serta menajemen nyeri kronis pada pasien keganasan. Salah satu permasalahan yang banyak dihadapi pada prosedur epidural kontinyu adalah kejadian migrasi kateter epidural keluar dari ruang epidural. Kateter pada awalnya telah berada di rongga epidural dan telah dikonfirmasi dengan teknik Loss of Resistence (LOR), hanging drop, ataupun dengan bantuan ultrasonografi. Karena pengaruh berbagai faktor, kateter epidural dapat berpindah dari tempat yang seharusnya. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi efektivitas anestesia dari epidural itu sendiri, serta dapat berakibat fatal bila obat lokal anestesi dalam jumlah tertentu masuk ke ruang lainnya melalui kateter yang telah bergeser ke ruang subarachnoid, intravaskuler, atau ruang subdural.Berbagai penyebab terjadinya migrasi kateter antara lain karena adanya perubahan posisi waktu pemasangan maupun aktifitas pasien, meningkatnya tekanan ruang epidural Oleh karena itu penting bagi seorang anestesiologi untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang bisa meningkatkan resiko migrasi kateter epidural dan bagaimana cara mencegahnya serta mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Arif, Syafri Kamsul, Abdul Wahab, and Raditya Mirza Tofani. "Manajemen Anestesia pada Kehamilan dengan Sindrom Eisenmenger." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 9, no. 1 (2017): 19. http://dx.doi.org/10.14710/jai.v9i1.19821.

Full text
Abstract:
Penyakit jantung yang dialami pada wanita hamil khususnya congenital heart disease merupakan penyakit jantung bawahan pada kehamilan yang dapat berupa kelainan pada dinding jantung yang mengakibatkan terjadinya gangguan aliran jantung. Sindrom eisenmenger sebagai hipertensi pulmonal akibat resistensi vaskuler paru yang tinggi dengan shunt yang bidirectional pada level aortopulmonal, ventrikel, atau atrial. Perubahan pada sistem kardiovaskuler selama kehamilan adalah peningkatan volume intravaskuler dan perubahan hemotologi, peningkatan cardiac output, penurunan resistensi vaskuler, dan adanya hipotensi supine akibat aortocaval sindrome. Sindrom Eisenmenger merupakan kondisi patofisiologik kompleks yang meliputi:sianosis klinis, shunting pada ruang jantung (ASD,VSD atau anomali aorticopulmona) dan hipertensi pulmonal akibat elevasi irreversibel dari PVR. Peningkatan progresif dalam volume plasma menambah beban ventrikel kanan sehingga mempresipitasi terjadinya gagal jantung kanan, Asidosis dan hiperkarbia dapat meningkatkan PVR. Peningkatan cardiac output dan aliran darah pulmonal akibat kehamilan menyebabkan hipertensi pulmonal memberat. Kebutuhan oksigen pada kehamilan meningkat, hal ini dapat mengancam terjadinya hipoksemia yang berefek pada maternal dan fetal. Manajemen anestesi sindrom Eisenmenger seringkali menemui kesulitan.Yang penting adalah menjaga keseimbangan antara tekanan SVR dan PVR dan menghindari perubahan hemodinamik yang dapat memperburuk hipoksemia melalui peningkatan shunt kananke-kiri. anestesia umum dapat mengeksaserbasi shunt kanan ke kiri dan memperburuk sianosis melalui beberapa mekanisme. anestesia regional dan direkomendasikan penggunaannya pada sindrom Eisenmenger. Perubahan hemodinamik dan respirasi biasanya minimal dengan anestesia epidural yang dimanajemen dengan baik. Tujuan monitoring perioperatif, intraoperatif dan postoperatif adalah untuk mendeteksi secara dini perubahan mendadak pada hemodinamik sehingga dapat diberikan penanganan segera untuk mencegah komplikasi pada Sindrom Eisenmenger.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Kumaat, Lucky. "KEAMANAN PENGGUNAAN ANESTESI REGIONAL PADA PERSALINAN PENGIDAP HIV." JURNAL BIOMEDIK (JBM) 2, no. 2 (2013). http://dx.doi.org/10.35790/jbm.2.2.2010.849.

Full text
Abstract:
Abstract: Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection and Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) are the major problems of global health. It is estimated that approximately 75.9% of Human Immunodeficiency Virus (HIV)-infected women aged are in productive ages (20-39 years) with possibilities to become pregnant. Since the prevalence of Human Immunodeficiency Virus infection in pregnant women is increasing, anesthesiologists are increasingly confronting these diseases in their patients. HIV infection in pregnant women often raises questions about the safety of regional anesthesia for them. Fears of the spread of infection to the Central Nervous System (CNS) or the sequel of the neurological system have led some clinicians not to use regional anesthesia. Some research shows that pregnant women with HIV infection are not a contraindication for regional anesthesia since there is no CNS and neurological sequel or infection after a long enough time post operation. Keywords: HIV infection, AIDS, parturition, regional anaesthesia. Abstrak: Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah utama dari kesehatan global. Diperkirakan sekitar 75,9% wanita yang terinfeksi HIV berada pada usia produktif (20-39 tahun) yang berpeluang untuk hamil. Karena prevalensi infeksi HIV pada wanita hamil semakin meningkat, maka ahli anestesi semakin banyak diperhadapi dengan pasien demikian. Infeksi HIV pada wanita hamil seringkali memunculkan pertanyaan mengenai keamanan penggunaan anestesi regional pada mereka. Kekuatiran terhadap penyebaran infeksi ke sistim susunan saraf pusat (SSP) atau sekuel neurologik menyebabkan sebagian klinisi menentang penggunaan anestesi regional. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa wanita hamil dengan HIV bukan merupakan kontraindikasi bagi penggunaan anestesi regional karena tidak dijumpai adanya infeksi SSP atau sekuel neurologik setelah selang waktu yang cukup panjang pasca operasi. Kata kunci: Infeksi HIV, AIDS, persalinan, anestesi regional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Rofiq, Aunun, and Doso Sutiyono. "Perbandingan Antara Anestesi Regional dan Umum Pada Operasi Caesar." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 1, no. 3 (2009). http://dx.doi.org/10.14710/jai.v1i3.6564.

Full text
Abstract:
Spinal dan epidural anestesi menyebabkan penurunan substansial dari tekanan darah ibu, yang dapat mempengaruhi ibu dan janin . Tidak ada bukti dari tulisan ini yang menunjukkan bahwa RA lebih unggul GA dalam kaitannya dengan ibu dan bayi. Lanjutan tinjauan pustaka ataupun penelitian untuk mengevaluasi morbiditas neonatal dan hasil ibu, seperti hubungan kepuasan dengan teknik anestesi, akan berguna untuk mengungkap teknik terbaik untuk sectio caesarea.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Ryalino, Christopher. "Anestesi regional dalam pembedahan darurat non-tiroid pada pasien dengan tirotoksikosis." Medicina 49, no. 3 (2018). http://dx.doi.org/10.15562/medicina.v49i3.222.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Tewu, Havriray, Iddo Posangi, and Lucky Kumaat. "PERBANDINGAN MUAL – MUNTAH PADA PREMEDIKASI DENGAN PEMBERIAN ONDANSETRON DAN DENGAN DEKSAMETASON PASCA OPERASI SECTIO CAESAREA DENGAN ANESTESI REGIONAL." e-CliniC 3, no. 3 (2015). http://dx.doi.org/10.35790/ecl.3.3.2015.9832.

Full text
Abstract:
Abstract: Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) is nausea-vomiting in 24 hours after anaesthesia and surgery procedures. Nausea-vomiting are the side effects which commonly found after anaethesia and surgery. To prevent the occurence of these side effects, patients are given premedication of ondansetron or dexamethason deksametason. This study aimed to obtain the difference of nause-vomiting in administration of ondansetron and dexamethason post operation. This was an analytical prospective study. Subjects were 10 people. The results showed that there was no significant difference between premedication administration of ondansetron and dexamethason in prevention of nause-vomiting post operation.Keywords: nause-vomiting, premedication, ondansentron, dexamethasonAbstrak: Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) adalah perasaan mual-muntah yang dirasakan dalam 24 jam setelah prosedur anestesi dan pembedahan. Mual-muntah ialah efek samping yang sering ditemukan setelah tindakan operasi dan anestesi. Untuk mencegah terjadinya mual dan muntah diberikan premedikasi pemberian ondansentron atau deksametason. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan mual-muntah pada pemberian ondansetron dan deksametason pasca operasi. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode analitik prospektif. Subyek penelitian berjumlah 10 orang. Hasil penelitian ini didapatkan tidak terdaapt perbedaan bermakna antara premedikasi pemberian ondansetron dengan deksametason dalam mencegah mual –muntah.Kata kunci: mual muntah, premedikasi, ondansentron, deksametason
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Ferdinand, Teddy, Djudjuk Rahmad Basuki, and Isngadi Isngadi. "Perbandingan Intensitas Nyeri Akut Setelah Pembedahan Pada Pasien dengan Regional Analgesia Epidural Teknik Kontinyu dibandingkan dengan Teknik Intermitten." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) 6, no. 2 (2014). http://dx.doi.org/10.14710/jai.v6i2.7720.

Full text
Abstract:
Pendahuluan : Epidural analgesia merupakan teknik pilihan untuk mengurangi nyeri akut akibat pembedahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan intensitas nyeri akut setelah pembedahan pada pasien yang mendapat regional analgesia epidural teknik kontinyu dengan teknik intermitten.Metode : Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis tersamar tunggal. Sampel penelitian adalah pasien dengan usia 17-60 tahun, kriteria klinis ASA I-II, dan BMI antara 18,5-25 kg/m2 yang menjalani pembedahan elektif maupun emergensi pada ekstremitas dan abdomen menggunakan epidural anestesi. Randomisasi sederhana dilakukan pada subjek sehingga didapatkan 2 kelompok yaitu kelompok epidural kontinyu dan kelompok epidural intermitten setelah pembedahan selesai, dengan jumlah sampel 20 pasien setiap kelompok penelitian. Pada kedua kelompok diberikan bolus bupivacaine 0,125% sebesar 8 ml melalui kateter epidural, kemudian pada kelompok epidural kontinyu dilanjutkan dengan pemberian kontinyu bupivacaine 0,125% sebanyak 2 ml/jam dan pada kelompok epidural intermitten diberikan bupivacaine 0,125% sebanyak 8 ml bolus setiap 4 jam selama 24 jam pertama setelah pembedahan. Intensitas nyeri pada semua sampel diamati setiap 4 jam selama 24 jam dengan menggunakan Verbal Numerical Analogue Scale (VNAS). Data penelitian dianalisa menggunakan analisismann-whitney pada SPSS 16.0 (p<0,05 menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik).Hasil : Penelitian ini menunjukkan pemberian epidural kontinyu pada 4 jam pertama setelah pembedahan memiliki nilai median VNAS 0 dibandingkan pemberian epidural intermitten dengan nilai median VNAS 1 (p=0,009). Pemberian epidural intermitten pada jam ke-20 dan ke-24 setelah pembedahan memiliki nilai median VNAS 1 dibanding pemberian epidural kontinyu dengan nilai median VNAS 2 (p=0,020 pada jam ke-20, p=0,000 pada jam ke-24). VNAS pada kedua kelompok penelitian jam ke-8, ke-12 dan ke- 16 setelah pembedahan memiliki nilai median sama, yaitu 1. Pemberian epidural intermitten sangat stabil dalam 24 jam pertama setelah pembedahan dengan nilai median VNAS 1 pada evaluasi setiap 4 jam selama 24 jam pertama.Kesimpulan : Pemberian epidural analgesia menggunakan teknik intermitten lebih baikdari pada teknik kontinyu.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography