To see the other types of publications on this topic, follow the link: Makna budaya sosial.

Journal articles on the topic 'Makna budaya sosial'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Makna budaya sosial.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Hadirman, Musafar, and Indra Rahayu Setiawati. "Menimbang Kampung Moderat: Memaknai Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Multietnik di Desa Sea." Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 12, no. 1 (2023): 178–88. http://dx.doi.org/10.23887/jish.v12i1.58465.

Full text
Abstract:
Kehidupan masyarakat yang beragam terjadi interaksi sosial dalam dimensi kehidupan sosial dan budaya. Interaksi masyarakat tersebut, memberikan gambaran kehidupan mereka dalam satu kampung yang hidup harmonis dan saling membantu satu dengan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menginterpretasi makna dalam kehidupan sosial-budaya pada masyarakat multietnik di Desa Sea, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif dan interpretatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Data dianalisis dengan secara deskriptif-analitif melalui tahapan coding, editing, klasifikasi, dan komparasi terhadap realitas kehidupan sosial-budaya masyarakat di Desa Sea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna kehidupan sosial-budaya pada masyarakat multietnik di Desa Sea, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa terdiri atas: makna penguatan toleransi beragama, makna keterbukaan, makna persatuan, dan makna silaturahmi. Penelitian ini memberikan implikasi pada penguatan toleransi dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat yang multietnik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Taneo, Malkisedek, Fransiskus Bustan, and Basri K. "Makna Sosial Pesta Sekolah Dalam Masyarakat Manggarai di Flores." Haumeni Journal of Education 2, no. 1 (2022): 27–35. http://dx.doi.org/10.35508/haumeni.v2i1.7120.

Full text
Abstract:
Makalah ini menjelaskan makna sosial dari pesta sekolah, sebuah pesta khusus yang dirancang untuk mengumpulkan uang untuk mendukung keberhasilan pendidikan bagi anak-anak, di masyarakat Manggarai. Kajian ini dilihat dari teori pendidikan dan budaya ditinjau dari perspektif sosial. Penelitian ini bersifat deskriptif. Makna sosial pesta sekolah dalam masyarakat Manggarai diwujudkan dalam proses perencanaan, tindakan, dan evaluasi yang ditandai dengan kehadiran banyak orang sebagai peserta dengan peran yang berbeda-beda. Makna sosial dari pesta sekolah juga ditunjukan dengan makan bersama sebagai sarana rekonsiliasi di antara mereka
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Buchory Maulana, Achmad, Faris Muhammad Rafiq, and Dwi Septiani. "Makna Leksikal dan Makna Kultural dalam Mitos dan Pantangan Masyarakat Betawi." Jurnal Sasindo UNPAM 12, no. 1 (2024): 39–48. http://dx.doi.org/10.32493/sasindo.v12i1.39-48.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengkaji mitos dan pantangan dalam masyarakat Betawi di Kalideres, Jakarta Barat, dengan fokus pada makna leksikal dan kulturalnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data primer berjumlah 18 data dan dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam dengan dua informan, H. Rugi dan Nesah, yang merupakan penduduk Betawi asli di Kalideres, Jakarta Barat. Analisis penelitian ini menunjukkan bahwa mitos seperti larangan duduk di tampah atau makan pisang dempet tidak hanya sebagai larangan fisik, tetapi juga memiliki makna kultural yang dalam, mencerminkan nilai-nilai budaya serta keyakinan sosial. Mitos-mitos ini berfungsi sebagai pedoman perilaku, mengajarkan sopan santun, menghormati tradisi, serta memberikan peringatan akan konsekuensi sosial dari melanggar norma-norma yang berlaku. Studi antropolinguistik ini bertujuan untuk menggali dan memahami kekayaan budaya masyarakat Betawi melalui pendekatan antropologi linguistik. Oleh sebab itu, diharapkan melalui hasil penelitian ini, dapat meningkatkan pemahaman, penghargaan, dan upaya pelestarian terhadap warisan budaya masyarakat Betawi serta memastikan kelangsungan nilai-nilai budaya yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Febrianti, Rima Afifah, Nurul Mustaqimmah, and Chelsy Yesicha. "Makna Simbolik Tradisi Malam Balacuik dalam Pernikahan di Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman." Komunikasiana: Journal of Communication Studies 6, no. 1 (2024): 57. http://dx.doi.org/10.24014/kjcs.v6i1.29954.

Full text
Abstract:
Malam balacuik merupakan tradisi budaya upacara pernikahan di Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman. Tradisi ini mengandung simbol berupa benda, hubungan sosial, dan ucapan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna simbolik situasi, makna produk interaksi sosial, dan makna interpretasi dalam tradisi malam balacuik. Metode penelitian ini kualitatif dan menerapkan teori interaksi simbolik Herbert Blumer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa malam balacuik mempunyai makna situasi simbolik berupa objek fisik yaitu palacuik, kain panjang, inai, bunga rampai, gong, singgang ayam, dulang tinggi, carano, lapiak balambak, dan payung yang dilapisi kain putih. Objek sosial berupa baetongan, meminta maaf kepada pihak yang hadir, baiyeh, balacuik, dan makan basamo. Makna produk interaksi sosial dalam malam balacuik dilihat dari sudut pandang tokoh adat, pemuda, orang tua, dan calon marapulai. Makna interpretasinya adalah tindakan tertutup dan terbuka para pelaku tradisi malam balacuik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Lase, Ester Juwinda, and Rianna Wati. "PENGGUNAAN VARIASI KATA ANJIR DALAM KOLOM KOMENTAR TIKTOK @INIGANTA: SEBUAH KAJIAN BUDAYA." Madah: Jurnal Bahasa dan Sastra 15, no. 2 (2024): 219–29. http://dx.doi.org/10.31503/madah.v15i2.799.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan kata anjir dalam kolom komentar pada postingan TikTok @iniganta, serta menganalisis makna budaya dan implikasi sosial dari variasi penggunaan kata anjir di media sosial. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak dan catat. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teori representasi Stuart Hall untuk memahami makna budaya dan implikasi sosial dari variasi penggunaan kata anjir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variasi kata anjir mencerminkan adaptabilitas dan kreativitas warganet dalam mengekspresikan diri dan berinteraksi di dunia digital. Dalam konteks makna budaya, penggunaan variasi kata anjir mendasari identitas sosial dan budaya yang kompleks dalam lingkungan sosial, menjadi simbol keakraban di antara anak muda. Implikasi sosialnya signifikan dalam pembentukan identitas kelompok dan solidaritas di media sosial, memperkuat rasa memiliki diantara anggota komunitas dan merespons pergeseran budaya di kalangan anak muda.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Rizaldi, Muhammad Adhitya. "KONSTRUKSI MAKNA BUDAYA SIRI’." KINESIK 6, no. 2 (2019): 189–99. http://dx.doi.org/10.22487/ejk.v6i2.81.

Full text
Abstract:
Budaya dipahami sebagai proses yang mengkonstruksi kehidupan masyarakat. Sistem-sistem yang menghasilkan makna, kesadaran khususnya, akan menghadirkan berbagai image dari signifikansi budaya. Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan daerah yang seiring dengan kemajuan teknologi saat ini yang akan berpengaruh besar terhadap nilai – nilai kebudayaan yang dianut masyarakat baik perkotaan maupun pedesaan. Namun sebagai negara yang berkembang dan ingin maju maka bisa juga dapat melestarikan kebudayaan yang ada di indonesia melalui layar lebar seperti film, sehingga kebudayaan di indonesia ini dapat terjaga dengan sebaik mungkin. Seperti dalam film Uang Panai yang menceritakan budaya pernikahan pada masyarakat Sulawesi Selatan yang merupakan nilai- nilai yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam pernikahan seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga pria dan wanita. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konstruksi makna Siri’ dalam film Uang Panai dengan menggunakan model semiotika Charles Sanders Pierce. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan riset deskriptif. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Teknik analisis penelitian ini menggunakan analisis semiotika charles sanders pierce. Hasil penilitian menunjukkan bahwa makna budaya siri’ yang terdapat dalam film “Uang Panai’” berupa kode verbal, nonverbal, dan sudut pengambilan gambar. Kode verbal yakni linguis (bahasa), intonasi suara, dan kode nonverbal yakni body language (bahasa tubuh), dan ekspresi tokoh utama dalam film. Makna budaya siri’ dikonstruksi sebagai tanggung jawab individu dan sosial, motivasi, dan cinta.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Medina, Khairunizha, Andi Agustang, and Abdul Rahman. "Degradasi Makna Sosial Budaya Pemmali Dikalangan Remaja Allamungeng Patue." Phinisi Integration Review 5, no. 1 (2022): 64. http://dx.doi.org/10.26858/pir.v1i1.31572.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Pemahaman budaya pemmali dikalangan remaja di Desa Allamungeng Patue Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone, 2) Faktor-faktor penyebab terjadinya degradasi makna sosial budaya pemmali dikalangan remaja di Desa Allamungeng Patue Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone, 3) Dampak degradasi makna sosial budaya pemmali dikalangan remaja di Desa Allamungeng Patue Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone. Jenis penelitian yang digunakan deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan degradasi makna sosial budaya pemmali dikalangan remaja di Desa Allamungeng Patue Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone. Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara purposive sampling dengan kriteria informan yakni masyarakat yaitu orang tua dan remaja di desa allamungeng patue yang telah bermukim dan berjumlah 10 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini di analisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif dengan tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik pengabsahan data menggunakan triangulasi sumber yaitu mengkaji kredibilitas data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa (1) Pemahaman budaya pemmali dikalangan remaja di Desa Allamungeng Patue Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone masih mengetahui dan memahami budaya pemmali dari kecil, dilihat dari pemahaman budaya pemmali oleh remaja dari aspek (a) Fungsi budaya pemmali, (b) Bentuk-bentuk budaya pemmali. (2) Faktor penyebab terjadinya degradasi makna sosial budaya pemmali dikalangan remaja di Desa Allamungeng Patue Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone yaitu: (a) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, (b) Pengajaran budaya pemmali dari zaman dahulu hingga sekarang yang sudah berubah. (3) Dampak terjadinya degradasi makna sosial budaya pemmali dikalangan remaja di Desa Allamungeng Patue Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone yaitu kurang pedulinya remaja terhadap budaya tersebut yang berdampak kepada remaja menjadikan pemmali hanya sebagai ajaran bagi orang terdahulu dan tidak dilakukan untuk sekarang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Tenis, Amon Bernabas. "PERGESERAN MAKNA DALAM KOSAKATA BAHASA INDONESIA: ANALISIS PERCAKAPAN SEHARI-HARI." El-Fata: Jurnal Ilmu Tarbiyah 4, no. 02 (2024): 92–117. https://doi.org/10.36420/eft.v4i02.509.

Full text
Abstract:
Penelitian ini membahas fenomena pergeseran makna kosakata dalam bahasa Indonesia yang terjadi dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda. Pergeseran makna terjadi ketika makna suatu kata berubah, baik meluas, menyempit, maupun berubah secara positif atau negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosakata seperti "keren," "baper," dan "narsis" telah mengalami perubahan makna signifikan seiring dengan perkembangan sosial dan budaya. Faktor utama yang mendorong pergeseran makna ini meliputi perkembangan teknologi, media sosial, dan globalisasi. Dampak dari fenomena ini terlihat dalam perubahan cara masyarakat berkomunikasi serta potensi kesenjangan antar-generasi. Pergeseran makna ini mencerminkan adaptasi bahasa terhadap perubahan sosial dan budaya yang dinamis. Penelitian ini menyoroti pentingnya memahami perubahan makna kata sebagai bagian dari evolusi bahasa Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Sibua, Sulami, and Anwar Nada. "Eksistensi Makna Verbal dan Non Verbal pada Tradisi Orom Sasadu." Jurnal Kajian Bahasa, Sastra dan Pengajaran (KIBASP) 6, no. 1 (2022): 130–45. http://dx.doi.org/10.31539/kibasp.v6i1.4855.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan eksistensi Orom Sasadu, dan makna verbal dan non-verbal pada tradisi Orom Sasadu yang diselanggarakan oleh Masyarakat Sahudi Halmahera Barat, Maluku Utara. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Teknik yang digunakan adalah teknik Observasi, interview, dokumentasi, SLC, dan teknik Catat. Berdasarkan hasil dari peneliti dapat disimpulkan bahwa (1) Sasadu saratakan nilai sosial, religi dan kebudayaan yang dapat menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya tentang eksistensi, pandangan hidup dan sistem nilai budaya orang Sahu sebagai suatu masyarakat adat; (2) Tradisi orom sasadu biasanya di isi dengan acara makan bersama dan di hibur dengan nyanyian dan tarian adat masyarakat setempat yang dulunya berlangsung selama sambilan hari, namun kini acara ini hanya dilakukan satu hari saja; dan (3) Ada kemauan dari masyarakat setempat untuk tetap mempertahankan arsitektur rumah sasadu ini beserta tradisi Orom Sasadu. Usaha merenovasi dan melestarikan budaya agar dapat mengangkat kembali spirit atau konsepsi-konsepsi yang memiliki nilai positif dalam adat tersebut terutama terkait makna sosial, moral, kebersamaa, makna religious dan budaya.
 
 Kata Kunci: Eksistensi, Makna Verbal dan Nonverbal, Orom Sasadu
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Gea, Helen Nardalia, and Erond Litno Damanik. "Peran Organisasi Sosial Pemuda Peduli Nias (PPN) Dalam Penguatan Budaya dan Sosial Etnis Nias di Kota Medan." MESIR: Journal of Management Education Social Sciences Information and Religion 1, no. 2 (2024): 521–31. http://dx.doi.org/10.57235/mesir.v1i2.3031.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri upaya PPN dalam penguatan sosial bagi generasi Nias di Kota Medan, mendeskripsikan upaya dalam menguatkan budaya Nias pada generasi Nias di Kota Medan dan menganalisis tantangan yang dihadapi PPN terhadap penguatan budaya dan sosial etnis Nias di Kota Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Kota Medan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa organisasi PPN berperan dalam penguatan budaya dan sosial melalui pelestarian tradisi fasile dan tarian maena. Upaya penguatan sosial dilakukan atas dasar rasa peduli sesama etnis Nias untuk saling membantu dan bekerjasama serta dalam budaya, PPN berperan untuk melestarikan tarian maena yang merupakan tarian khas etnis Nias yang memiliki makna dalam setiap gerakan kaki dan tangan yang dimainkan. Tantangan yang timbul dari organisasi sosial tidak terlepas dari maraknya media sosial dan adanya sikap egosentrisme masyarakat lain dalam kinerja PPN di Kota Medan. Adapun upaya yang dilakukan PPN agar organisasi PPN terus berkembang melalui penanaman dan pemahaman tradisi dan budaya etnis Nias yang diturunkan para leluhur berdasarkan falsafah etnis Nias “aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso tafafoo na'enau ba tafahea na esoslo”.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Agus, Boriri. "IMPLIKATUR BERMAKNA BUDAYA SOSIAL PADA NYANYIAN RAKYAT DENGE SUKU TOBELO DI DESA WOOI KEC. OBI TIMUR." Titian: Jurnal Ilmu Humaniora 05, no. 2 (2022): 184–95. https://doi.org/10.5281/zenodo.6388974.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implikatur bermakna budaya sosial yang terdapat pada suku Tobelo yang dilakukan di Desa Wooi Kecamatan Obi Timur Kabupaten Halmahera Selatan. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber langsung (primer) yang diperoleh masyarakat di Desa Wooi, sedangkan sumber tak langsung (sekunder) dapat diperoleh melalui buku-buku, artikel, dan sebagainya dari perpustakaan atau tempat. Hasil penelitian membuktikan bahwa implikatur yang terdapat dalam nyanyian rakyat Denge suku Tobelo di Desa Wooi Kec. Obi Timur yaitu: 1) implikatur jenis ajakan terdapat 7 bait, 2) implikatur jenis tindakan pernyataan terdapat 9 bait, 3) implikatur jenis Perintah terdapat 2 bait. Dapat disimpulkan bahwa 1) Implikatur yang terdapat dalam nyanyian rakyat Denge suku Tobelo di Desa Wooi adalah implikatur ajakan, implikatur tindakan pernyataan, dan implikatur implikatur Perintah. 2) Implikatur bermakna budaya sosial yang terdapat pada suku Tobelo di Desa Wooi adalah sikap peduli sosial, bersahabat/komunikatif dan cinta damai, jujur, kerja keras dan toleran
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Rahmawati, Cut Dian, Hasan Busri, and Moh. Badrih. "Makna Denotasi dan Konotasi Meme dalam Media Sosial Twitter: Kajian Semiotika Roland Barthes." Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, dan Sastra 10, no. 2 (2024): 1244–56. http://dx.doi.org/10.30605/onoma.v10i2.3479.

Full text
Abstract:
Penelitian ini menggambarkan pentingnya semiotika dalam memahami makna denotasi dan konotasi dari meme yang ada di media sosial Twitter. Twitter sebagai platform media sosial telah memungkinkan berkomunikasi secara instan dengan jangkauan global, termasuk menyebarkan meme. Meme di Twitter mencerminkan aspek budaya dan sosial, termasuk humor dan satir, dan memiliki kemampuan untuk menyebar dengan cepat di internet. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. Data diambil dari meme yang tersebar di media sosial Twitter, dan kemudian dianalisis untuk memahami makna denotasi dan konotasi yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa denotasi pada meme mencakup makna harfiah atau yang terlihat secara fisik, sedangkan konotasi adalah tingkatan kedua dalam proses signifikasi, yang melibatkan asosiasi, perasaan, nilai-nilai budaya, dan ideologi. Meme di Twitter bisa mengandung makna yang kompleks dan beragam bagi setiap individu karena dipengaruhi oleh pengalaman, budaya, dan latar belakang masing-masing pengguna. Beberapa contoh meme yang dianalisis mencakup tema tentang menyembunyikan perasaan, kesadaran untuk refleksi diri, tekanan sosial, perbedaan antara kehidupan di media sosial dan dunia nyata, serta kekuatan menghadapi tantangan. Penelitian semacam ini penting untuk memahami bagaimana meme dapat mempengaruhi komunikasi dan interaksi di media sosial, serta bagaimana interpretasi makna dari meme dapat beragam bagi setiap individu
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Ryo, Damianus Suryo Pranoto. "MAKNA FILOSOFIS BUDAYA LINGKO SEBAGAI JARINGAN SOSIAL PERSPEKTIF CLIFFORD GEERTZ." Jurnal Budaya Nusantara 7, no. 1 (2024): 43–52. https://doi.org/10.36456/jbn.vol7.no1.9809.

Full text
Abstract:
Fokus tulisan ini ingin mengkaji refleksi filosofis mengenai budaya lingko sebagai jaringan sosial perspektif Clifford Geertz. Budaya lingko merupakan sistem pembagian lahan berbentuk jaring laba-laba yang menekankan hubungan sosial dan ekologi. Melalui pendekatan interpretatif Geertz, ingin menyatakan bahwa budaya lingko tidak hanya sebuah pembagian lahan tetapi dibalik interpretatif lingko menyoroti nilai-nilai kemanusiaan secara kolektif. Penelitian ini menunjukkan bahwa struktur sosial lingko tidak hanya berfungsi untuk mengatur sumber daya, tetapi juga memperkuat nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan bahkan mereka menciptakan ruang bagi interaksi sosial yang mendalam dan pembentukan identitas. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang menitikberatkan pada refleksi filosofis budaya lingko berdasarkan perspektif Clifford Geertz. Konsekuensi dari pemahaman ini mengajak kita untuk mempertimbangkan pentingnya melestarikan tradisi seperti lingko dalam menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi, yang sering kali mengancam jaringan sosial yang telah terjalin selama berabad-abad. Karena itu, refleksi filosofis ini tidak hanya memperkaya kajian antropologi, tetapi juga menawarkan wawasan bagi upaya pelestarian budaya lokal.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Hernawan, Wawan, Hasan Basri, and Fransisca Marantaka. "MAKNA BUDAYA TRADISI CANGGET BARA." Journal Media Public Relations 4, no. 2 (2024): 106–12. https://doi.org/10.37090/jmp.v4i2.2100.

Full text
Abstract:
Penelitian ini membahas tentang makna budaya tradisi Cangget Bara studi kasus pada Lampung Sungkai di Kecamatan Sungkai Utara, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung. Penelitian ini berupaya mengungkapkan Gambaran menyeluruh tentang Tradisi Cangget Bara pada budaya Lampung Sungkai di Sungkai Utara, perilaku bujang gadis dalam budaya Cangget Bara di Sungkai Utara, dan upaya masyarakat Lampung Sungkai melestarikan tradisi Cangget Bara sebagai budaya Lampung Sungkai. Penelitian ini dilakukan berlandaskan pada teori Sosiokultural yang menjadi alat untuk melakukan kegiatan komunikasi budaya. Teori sosiokultural terdiri dari sosialkultural interaksi simbolik, sosialkultural kontruksi sosial, dan sosiolinguistik. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif dilakukan untuk merangkum semua situasi kondisi dan fenomena yang terjadi di sekitar masyarakat yang kemudian menjadi suatu objek. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan para ketua adat Sungkai Utara, perangkat Desa Negara Ratu dan para muli dan meranai. Penelitian ini memaparkan tentang makna budaya tradisi Cangget Bara. Hasil penelitian menunjukkan bahwaCangget Bara rnerupakan tradisi Lampung yang rnengandung makna untuk mengakrabkan muli meranai di setiap kampung maupun antar kampung dan saling mengenal antara muli dan meranai. Cangget Bara sebagai tarian khas orang Lampung Pepadun khususnya lampung sungkai, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan), sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai kerukunan dan kesyukuran. Nilai kerukunan tercermin dalam fungsi tari tersebut yang diantaranya adalah sebagai ajang berkumpul dan berkenalan baik bagi, kaum muda, laki-laki maupun Perempuan.Upaya yang dilakukan dalam melestarikan budaya Cangget Bara yaitu melalui sosialisasi dan mempelajari budaya Cangget Bara, memberikan informasi melalui jejaring media sosial dan melibatkan secara langsung bujang gadis dalam mengelola acara Cangget Bara.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Ery Ekawati. "Tari Saman Perkembangannya Pada Masyarakat Multikultural Di Jakarta." Beranda 1, no. 2 (2024): 43–50. http://dx.doi.org/10.52969/beranda.v1i2.43.

Full text
Abstract:
Perkembangan Tari Saman selain di Aceh adalah di kota Jakarta. Hal ini telah berlangsung sejak periode tahun 1960 hingga saat ini. Tari Saman telah menjadi seni urban yang hidup dan berkembang pada masyarakat multikultural, Jakarta. Penelitian ini dilakukan untuk memahami realitas sosial masyarakat terkait dengan keberadaan Tari Saman dalam konteks seni pertunjukan, industri budaya dan pariwisata global. Tari Saman mengalami komodifikasi, komersialisasi, sebagai bentuk adaptasi budaya global yang menghasilkan makna baru. Penelitian ini mengangkat empat permasalahan pokok, yakni (1). Pergeseran atau perubahan fungsi dan nilai pada Tari Saman, (2)Proses pembelajaran Tari Saman, (3) Faktor-faktor yang mendorong perubahan, (4) Dampak dan makna pengembangan pada Tari Saman dalam konteks pariwisata global. Tujuan penelitian ini adalah menjawab keempat masalah pokok yang telah dikemukakan dengan cara menjelaskan terjadinya pergeseran fungsi dan nilai, proses pembelajaran Tari Saman, faktor-faktor yang mendorong perubahan, dampak dan makna pengembangan pada Tari Saman dalam konteks pariwisata global. Proses pengembangan Tari Saman terjadi sejak mengkondisikan adanya komunitas tertentu, pengembangan dapat terjadi pada masyarakat tradisi dan masyarakat urban di Jakarta. Tari Saman tampil dalam bentuk kemasan produk budaya yang indah, agung, dan menarik sebagai daya tarik wisata. Terjadinya pengembangan Tari Saman disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang mendorong, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal, yaitu perkembangan pola pikir masyarakat pendukung, adanya kreativitas masyarakat berekspresi, dan motivasi peningkatan kesejahteraan. Adapun faktor-faktor eksternal, yaitu perkembangan pariwisata, industri budaya, peran media, dan kebijakan pemerintah. Pengembangan Tari Saman ternyata memunculkan dampak dan makna bagi kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Dampak yang paling jelas terhadap kehidupan sosial ekonomi adalah keberlanjutan ekonomi, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja baru. Sebaliknya dampak terhadap sosial budaya adalah terjadinya komersialisasi. Selanjutnya pengembangan Tari Saman dapat dimaknai sebagai makna religius, pelestarian budaya, identitas budaya, dan kesejahteraan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Dewi, Andi Imrah, and Andi Febri Herawati. "AKULTURASI BUDAYA SOSIAL DAN MAKNA SIMBOLIK TARI DERO." KINESIK 8, no. 3 (2021): 234–41. http://dx.doi.org/10.22487/ejk.v8i3.253.

Full text
Abstract:
The process of acculturation runs very quickly or slowly depending on the perception of the local community towards the incoming foreign culture. The purpose of the study is to find out the cultural acculturation and symbolic meaning of dero dance. Research methods use a qualitative approach, with a single case study design. Data collection techniques through observation, interviews, and documentation studies. The results of the study that dero dance has a common meaning as a form of gratitude and a sense of community unity regardless of social strata but the meaning and value shifted due to the acculturation of foreign cultures using modern music collaborated with other cultures. The special meaning of the dero dance movement is a simple and simultaneous presentation of motion in doing and has its attraction that can give suggestions and feel the desire of everyone to participate in doing dero dance moves. This type of dance is a popular traditional dance that can be followed and pulled with the whole community in the event of a traditional party and dero dance is a social dance from various circles considering that this dero dance aims to unite the movement. Dero dance is performed at the traditional ceremony of the wedding and thanksgiving party. The meaning of the floor pattern of the circle shape that is not broken and well maintained as a form of mutual help.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Koagow, Santia, Donald Rattu, and Theresye Wantania. "MAKNA SOSIAL BUDAYA TUTURAN DALAM ADAT PERKAWINAN MONGONDOW." KOMPETENSI 2, no. 8 (2022): 1603–11. http://dx.doi.org/10.53682/kompetensi.v2i8.5317.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini ialah untuk (1) mendeskripsikan bentuk tuturan sebagai pencerminan nilai sosial budaya perkawinan masyarakat Mongondow. (2) mendeskripsikan implikasinya bagi pembelajaran karakter di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian adalah pemangku adat yang berperan dalam prosesi perkawinan masyarakat Mongondow. Untuk mengumpulkan data, teknik yang digunakan ialah observasi, rekam dan dokumen. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data yakni teknik kualitatif, meliputi reduksi data, penyajian data, verifikasi, dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan: 1) Nilai sosial budaya yang terkandung dalam tuturan upacara adat perkawinan Bolaang Mongondow dapat diklasifikasi atas (1) Tindak bahasa, yang meliputi, (a) tindak perfomatif implisit mengucapkan (kata mengucapkan tidak disebutkan) dengan mengatasnamakan Tuhan, (b)Tindak performatif implisit mengucapkan (kata mengucapkan tidak disebutkan) salam dan (c) Memerintahkan dengan modus memintakan dengan kata ‘ kalau boleh’. (2) Penggunaan diksi eufimistis adat dalam konteks ini mencakup ‘uang dan benda lainnya’. (3) Bentuk penyambung bahasa digunakan secara metaforis untuk makna penyampai bahasa atau maksud. (4) Penggunaan bentuk kaki tangan yang berkonotasi pengganti orang tua pengantin. 2) Melalui adat perkawinan Bolaang Mongondow, nilai-nilai tradisional dapat dipahami, cara bertutur yang santun, cara memilih kata yang halus, menggunakan gaya bahasa, dan sebagainya yang tercermin melalui adat perkawinan tersebut merupakan salah satu nilai yang dapat diberikan atau diajarkan pada peserta didik dalam rangka pembentuk karakter siswa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Siti Mubayanah and Nasihun Amin. "TRANSFORMASI MAKNA RITUAL DALAM MASYARAKAT MODERN: ANALISIS SOSIOLOGIS DAN BUDAYA." GAHWA 3, no. 1 (2024): 17–33. https://doi.org/10.61815/gahwa.v3i1.473.

Full text
Abstract:
Tulisan ini membahas tentang ritual (rites) dan peranannya dalam masyarakat, dengan fokus pada relevansinya dalam memperkuat kohesi sosial dan struktur masyarakat. Ritual adalah serangkaian kegiatan simbolis yang dilakukan secara teratur oleh suatu kelompok masyarakat dengan tujuan tertentu. Dalam perspektif sosiologis, ritual dilihat sebagai sarana untuk menjaga solidaritas sosial dan membangun identitas kolektif. Beberapa tokoh, seperti Émile Durkheim dan Victor Turner, mengemukakan bahwa ritual berfungsi sebagai perekat sosial yang memperkuat hubungan antarindividu dan memperjelas status sosial dalam komunitas. Dalam masyarakat tradisional, ritual memperkuat ikatan sosial, menyampaikan nilai dan norma budaya, serta mengkomunikasikan perubahan status. Di sisi lain, dalam masyarakat modern, ritual masih relevan dalam menjaga stabilitas sosial meskipun terjadi perubahan konteks dan makna. Tulisan ini juga menyoroti bagaimana ritual, baik dalam konteks budaya lokal maupun universal, memainkan peran dalam memperkuat kohesi sosial, menginternalisasi nilai-nilai kolektif, dan mempertahankan identitas budaya. Ritual, baik dalam sosiologi maupun antropologi, menunjukkan fungsi sosial yang lebih dari sekadar aktivitas simbolis, melainkan sebagai elemen penting dalam pembentukan, pemeliharaan, dan peralihan identitas sosial. Hasil tulisan tersebut penting karena memberikan penekanan pada peran esensial ritual dalam membangun dan mempertahankan kohesi sosial, baik di masyarakat tradisional maupun modern. Dengan menyoroti pandangan tokoh seperti Durkheim dan Turner, tulisan ini menegaskan bahwa ritual bukan sekadar aktivitas simbolis, tetapi memiliki fungsi mendalam dalam menginternalisasi nilai-nilai kolektif, menyampaikan norma budaya, dan memperkuat identitas sosial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Marsuki, Nur Riswandy, Lukman Ismail, and Sam'un Mukramin. "Upacara Mangrara Banua Tongkonan dalam Makna Sosial Masyarakat Tana Toraja." Phinisi Integration Review 2, no. 1 (2019): 020. http://dx.doi.org/10.26858/pir.v2i1.8018.

Full text
Abstract:
Adapaun yang melatar belakangi penelitian ini, karena terdapat ketidaksesuain antara idealis dan realitas. Perubahan sosial yang mengarah ke perubahan negatif yaitu Westernisasi atau perubahan yang mengarah pada kehancuran budaya. tapi pada kenyataannya masih banyak budaya yang dipertahankan sampai sekarang ini. Dalam hal ini peneliti akan mengkaji budaya lokal yang sampai saat ini masih dilestarikan. Misalnya Upacara Mangrara Banua Tongkonan, penulis dapat melihat bahwa hanya sebagian besar saja generasi muda masyarakat Tanah Toraja yang tahu secara spesifik makna-makna dari Upacara Mangrara banua Tongkonan. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian deskriptif kualitatif yaitu jenis penelitian yang suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu peristiwa. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Ariang Kecamatan Makale Kabupaten Tana Toraja, dengan teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi dan wawncara dengan informan. Hasil penelitian yang diperoleh mengenai makna sosial Upacara Mangrara Banua Tongkonan di Tana Toraja yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab Upacara Mangrara Banua Tongkonan masih dilestarikan sampai sekarang karena adanya nilai, tradisi dan partisipasi aktif masyarakat. Sedangkan Makna yang terkandung dalam Upacara Mangrara Banua Tongkonan adalah makna konotatif dan makna denotatif.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Fajriani Fitri and Ni Gusti Ayu Roselani. "Semiotika Budaya Masyarakat Melayu dalam Lirik Lagu “Kuala Tungkal”." Kopula: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan 7, no. 1 (2025): 11–24. https://doi.org/10.29303/kopula.v7i1.6069.

Full text
Abstract:
Penelitian ini menganalisis lirik lagu Kuala Tungkal (Negeri Sarat Budaye) karya Kichky Gunawan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes untuk mengungkap makna denotasi, konotasi, dan mitos. Lagu ini merepresentasikan nilai-nilai budaya Melayu, ragam budaya, dan kebiasaan masyarakat Kuala Tungkal. Secara denotasi, lirik ini menggambarkan kehidupan masyarakat Kuala Tungkal yang erat dengan budaya. Konotasinya menampilkan simbol-simbol budaya yang memperkuat identitas Melayu, seperti toleransi dan keramahan. Pada tingkat mitos, lirik membangun citra sosial sebagai sifat alami masyarakat Kuala Tungkal, yang lahir dari konstruksi sosial, sejarah terdahulu, dan interaksi budaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik catat untuk menganalisis data secara sistematis. Hasilnya menunjukkan bahwa lagu ini tidak hanya mencerminkan budaya lokal, tetapi juga berfungsi sebagai media pelestarian identitas budaya Melayu Kuala Tungkal.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Taher, Muhammad Syu'aib, and Masrap Masrap. "Pendidikan Etika Budaya Komunikasi Melalui Media Sosial Berbasis Al-Qur’an." Alim | Journal of Islamic Education 1, no. 1 (2019): 47–72. http://dx.doi.org/10.51275/alim.v1i1.119.

Full text
Abstract:
Isyarat tentang etika budaya komunikasi di media sosial berbasis Al-Qur’an mengutamakan penyampaian kalimat thayyibah yang mengandung unsur solidaritas, kooperatif, ekualitas dalam bingkai menjaga persatuan ummat. Di dalam al-Quran juga ditemukan dua macam makna etika budaya komunikasi, yaitu: makna etika budaya secara konotatif dan denotatif. Konotatif yaitu makna yang timbul dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang di kenakan pada makna Konseptual, sedangkan makna denotatif yaitu makna dalam arti wajar secara ekplisit (makna wajar, makna yang sesuai apa adanya).
 Artikel ini juga menemukan model komunikasi secara konotatif : da’wah (mengajak, menyeru kebaikan), nasehah (memberi masukan untuk kebaikan), hiwar (berdialog), Jidal (adu argumen), bayan (menjelaskan), tadzkir (memberi peringatan), tabligh (Menyampaikan), indzar (peringatan keras), ta’aruf (saling mengenal), tawashi (saling memberi pesan), mauidzoh (saling memberi nasehat), tabsyir (memberi kabar gembira), idzkhol al-surur (menyenangkan hati orang). Sedangkan komunikasi secara denotatif, yaitu: qowlan kariman (Perkatan yang mulia), qowlan layyinan (perkataan lemah lembut), qowlan sadidan (perkataan yang benar), qawlan maysuran (perkataan yang mudah), qawlan balighan (perkataan yang jelas), qowlan ma’rufan (perkataan yang baik).
 Artikel ini memiliki kesamaan dengan: Andi Faozi Hadiono (2016) yang mengatakan bahwa: Manusia berkomunikasi untuk menyelesaikan hal-hal yang penting bagi kebutuhanya. Manusia berkomunikasi untuk menciptakan, memupuk hubungan yang baik dengan orang lain. Harold Dwight Lassweel (1978) mengatakan bahwa manusia hidup tidak bisa terhindar dari kegiatan komunikasi. Sasa Djuarsa Sanjaya mengatakan manusia hidup sangat memerlukan komunikasi. Sebaliknya, artikel ini memiliki perbedaan dengan : Rerin Maulida dan Suryatno (2016) yang menjelaskan tentang Media social -Media Sosial, Twiter, Face book, Instagram, Path, WhatsAp tanpa menghubungkan medsos sebagai salah satu perangkat media da’wah. Metode penelitian dalam disertasi ini adalah metode penelitian kualitatif dan library research. Metode penafsiran yang dipilih dalam disertasi ini adalah metode tafsir Maudu’i. Sedangkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan humanistic.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Tsania, Ilma Luthfi, Salsa Wulan Mualifah, and Hasan Busri. "Nama-Nama Tempat Makan di Blitar: Bentuk dan Refleksi Sosiokultural." Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, dan Sastra 10, no. 4 (2024): 3506–16. http://dx.doi.org/10.30605/onoma.v10i4.3949.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengeksplorasi nama-nama berbagai rumah makan di Blitar dengan tujuan untuk mengungkap bentuk, makna, dan refleksi sosiokultural yang terkandung di dalamnya. Memahami signifikansi dari nama-nama rumah makan ini dapat memberikan gambaran tentang tradisi lokal, keyakinan, dan pengaruh sejarah yang kaya dan membentuk lanskap kuliner Blitar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggabungkan metode pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Daftar lengkap nama-nama rumah makan akan dikompilasi dari berbagai wilayah di Blitar untuk memastikan representasi dari berbagai tradisi kuliner dan latar belakang. Selanjutnya, analisis linguistik akan dilakukan untuk mengidentifikasi bentuk dan fitur linguistik yang digunakan dalam nama-nama tersebut. Melalui identifikasi makna yang terkandung dan konteks sejarah, penelitian ini berusaha untuk mengungkap simbolisme budaya yang tersembunyi dalam nama-nama rumah makan. Tema-tema umum, simbol, dan metafora yang terkait dengan identitas dan warisan lokal akan dieksplorasi. Selain itu, penelitian akan menyelidiki pengaruh potensial dari tren kuliner global dan bagaimana interaksinya dengan nilai-nilai tradisional. Selanjutnya, refleksi sosiokultural dari nama-nama rumah makan ini akan dianalisis, dengan mempertimbangkan faktor seperti agama, norma-norma sosial, dan adat istiadat daerah. Aspek penelitian ini akan memberikan wawasan tentang bagaimana rumah makan di Blitar menavigasi sensitivitas budaya sambil merangkul modernisasi dan globalisasi. Temuan dari penelitian ini berkontribusi pada bidang linguistik, studi budaya, dan antropologi. Dengan mendalami signifikansi nama-nama rumah makan, penelitian ini akan memperkaya pemahaman kita tentang lanskap kuliner Blitar dan hubungannya dengan kain sosial budaya yang lebih luas di wilayah tersebut. Penelitian ini juga memiliki implikasi potensial bagi branding, pemasaran, dan meningkatkan apresiasi budaya di kalangan masyarakat lokal dan pengunjung
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Abdoll Jalil, Rosna, Shariffah Suraya Syed Jamaludin, and Teoh Soo Huat. "Perspektif Makanan dalam Kalangan Penghidap Diabetes Jenis 2 Masyarakat India Muslim di Pulau Pinang, Malaysia." Malaysian Journal of Social Sciences and Humanities (MJSSH) 8, no. 7 (2023): e002440. http://dx.doi.org/10.47405/mjssh.v8i7.2440.

Full text
Abstract:
Makan dan makanan merupakan rutin harian manusia yang mempunyai pelbagai tafsiran dari segi fungsi makanan dan makna simbolik. Tafsiran makanan mungkin berbeza bagi individu yang tidak mempunyai batasan untuk makan dan seseorang yang mempunyai batasan untuk makan. Cara seseorang mentafsir makna makanan berbeza sebelum dan selepas mendapat sakit. Kajian ini bertujuan melihat tafsiran makanan oleh penghidap diabetes 2 masyarakat India Muslim melibatkan makna literal dan makna simbolik makanan sebelum dan selepas menghidap diabetes 2. Kaedah utama kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami makna makanan menurut penghidap diabetes 2 masyarakat India Muslim di Pulau Pinang. Temubual melibatkan sebanyak 15 orang responden yang mewakili penghidap diabetes 2 bagi menghuraikan makna makanan dalam budaya populasi India Muslim di Pulau Pinang. Hasil kajian mendapati tafsiran makna makanan sebelum menghidap diabetes 2 dikaitkan dengan makna positif seperti selera, kebebasan, memori dan kenangan, kegembiraan dan keseronokan, simbol sambutan dan keraian sesebuah peristiwa atau pencapaian, rezeki dan rutin harian. Makna makanan selepas menghidap diabetes 2 menunjukkan tafsiran terhadap makanan seperti pengorbanan, ketakutan, penyesalan, kesunyian, nafsu dan keinginan, kepuasan, simbol kasih sayang, tanggungjawab sosial, budaya dan identiti masyarakat. Diabetes merupakan penyakit yang memerlukan komitmen seumur hidup untuk perubahan diet, senaman, pemantauan diri dan rejim ubat (oral atau suntikan). Oleh itu, pemahaman makna makanan penting bagi semua pihak untuk membantu pesakit menguruskan keadaan diabetes 2 dan penyakit kronik yang lain.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Prihatini, Pipit, and Mailinar Mailinar. "Makna Kultural Mitos Padi Raksasa Dalam Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Desa Pasar Rantau Panjang Kabupaten Merangin." Nazharat: Jurnal Kebudayaan 25, no. 2 (2019): 164–72. http://dx.doi.org/10.30631/nazharat.v25i2.24.

Full text
Abstract:
Artikel ini mengkaji tentang makna mitos padi raksasa dalam aktivitas sosial budaya masyarakat Pasar Rantau Panjang di Merangin, mitos ini di teruskan dari generasi ke generasi dan ditradiskan dalam bentuk ritual. Makna dan proses ritual ini menjadi objek kajian dari penelitian ini. Artikel ini adalah penelitian etnografi dengan menggunakan pendekatan fenomenalogi, melihat keberadaan mitos padi raksasa dengan sebuah landasan berfikir untuk memahami mitos lewat pandangan pemilik mitos atau pelakunya. Teknik yang digunakan untuk megumpulkan data adalah kajian pustaka, pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Mitos merupakan cerita yang dianggap suci dan sakral yang bertahan pada masyarakat tradisional. Mitos muncul dalam berbagai aktivitas sosial budaya berupa ritual memberikan pesan-pesan moral kepada pendukungnya. Bagi masyarakat Pasar Rantau Panjang mitos padi raksasa bisa dilihat pada aktivitas sistem pertanian bersawah dan diyakini mempunyai makna antara lain adalah representasi dari adanya kekuatan lain diluar dirinya (kekuatan ghaib) yang mengatur kehidupan sosial budaya, sebagai wujud solidaritas sosial sesama warga dan terakhir sebagai sarana untuk meminta pertolongan, perlindungan serta keberkahan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Rezki Syafaat, Andi Airiza, Fatmawati, and Lomba Sultan. "Analisis Rekomendasi Jilbab Quraish Shihab: Kewajiban atau Pilihan?" Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 4, no. 2 (2023): 117–24. http://dx.doi.org/10.55623/au.v4i2.251.

Full text
Abstract:
Penelitian ini membahas pandangan Quraish Shihab tentang jilbab dalam konteks Al-Quran, hadis, dan perubahan sosial-budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis isi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Quraish Shihab menganggap jilbab sebagai rekomendasi, bukan kewajiban mutlak. Ia menggunakan pendekatan tafsir tematik dan menekankan pentingnya penyesuaian jilbab dengan konteks sosial dan budaya saat ini. Perbedaan pandangannya dengan mayoritas ulama menciptakan variasi dalam makna dan pemakaian jilbab dalam masyarakat kontemporer. Dampak pandangannya terlihat dalam perubahan makna, variasi model jilbab, serta penyesuaian dengan pergolakan wanita dan budaya saat ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Eka Putri, Serafiani Turkaemly. "PEMAKNAAN RUANG TERBUKA PUBLIK TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA SEBAGAI PUSAT KESENIAN DAN KEBUDAYAAN DI YOGYAKARTA." NALARs 20, no. 2 (2021): 99. http://dx.doi.org/10.24853/nalars.20.2.99-108.

Full text
Abstract:
ABSTRAK. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana makna ataupun nilai dari Taman Budaya Yogyakarta bagi masyarakat mengingat keberadaannya sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di Yogyakarta. Setiap ruang publik seharusnya tidak hanya hadir secara fisik akan tetapi dapat memberi rasa atau makna tersendiri bagi kota (“places” matter most), bagaimana suatu ruang publik dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota akan adanya sebuah wadah interaksi sosial antar masyarakat. Taman Budaya Yogyakarta merupakan salah satu ruang publik yang dijadikan masyarakat sebagai tempat berekreasi serta aktivitas seni dan kebudayaan. Taman Budaya Yogyakarta atau yang dulu disebut dengan Purna Budaya, pertama kali dibangun pada tanggal 11 Maret 1977 di daerah kawasan Universitas Gadjah Mada. Taman Budaya dibangun kembali pada tahun 2002 di Kawasan Gondomanan. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara secara online melalui aplikasi WhatsApp serta metode studi pustaka. Hasilnya, diketahui bahwa Taman Budaya Yogyakarta memiliki makna kultural, makna sosial (interaksi individu dengan lingkungannya), makna pentingnya relasi antar manusia, dan memiliki makna harmonisasi kehidupan sosial dan budaya. Makna suatu ruang publik bisa terbentuk dari tatanan serta keadaaan fisik ruangnya. Kata kunci: Makna, Ruang Terbuka Publik, Taman Budaya Yogyakarta ABSTRACT. This study aims to find out how the meaning or value of the Taman Budaya Yogyakarta for the community, given its existence as a centre for arts and culture in Yogyakarta. Every public space should not only be physically present but can give a sense or meaning to the city ("place" matter most), how public space can meet the needs of the city community for a place of social interaction between communities. Taman Budaya Yogyakarta is one of the public spaces used by the community as a place of recreation and artistic and cultural activities. Taman Budaya Yogyakarta or formerly called Purna Budaya was first built on March 11, 1977, in the area of Gadjah Mada University. The Cultural Park was rebuilt in 2002 in the Gondomanan Region. The method used is to conduct online interviews through the WhatsApp application and literature study method. As a result, it is known that the Taman Budaya Yogyakarta has a cultural meaning, a social meaning (the interaction of individuals with their environment), the importance of relationships between people, and meaning of harmony in social and cultural life. The meaning of a public space can be formed from the physical structure and condition of the space.Keywords: Meaning, Public Space, Taman Budaya Yogyakarta
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Juliansyah, Farel, Nadhimatul Hanifah, and Aida Andrianawati. "MAKNA ELEMEN ARSITEKTUR PADA BANGUNAN CANDRA NAYA." Jurnal Vastukara: Jurnal Desain Interior, Budaya, dan Lingkungan Terbangun 3, no. 2 (2023): 212–22. http://dx.doi.org/10.59997/vastukara.v3i2.1616.

Full text
Abstract:
Warisan budaya merupakan suatu peninggalan penting dari suatu kebudayaan yang memiliki nilai sejarah dan melambangkan ciri khas dari suatu masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Warisan budaya ada yang berbentuk benda dan ada yang tak benda. Salah satu warisan budaya berbentuk benda itu ialah Bangunan cagar budaya Candra Naya yang memiliki arsitektur Cina yang khas. Candra Naya terletak di Jalan Gajah Mada 188 Jakarta Barat. Bangunan ini telah mengalami beberapa perubahan karena dinamika isu politik, ekonomi, dan sosial budaya yang terjadi di kota Jakarta. Bangunan Candra Naya memiliki sejarah yang dalam serta menarik dari segi visual dan makna. Dengan memahami sejarah dari bangunan candra naya lebih jauh, kita dapat mengetahui tujuan dan makna dari bangunan Candra Naya, fungsi bangunan dan ruang pada Candra Naya, dan nilai nilai budaya yang terkandung pada bangunan ini. Diharapkan penelitian ini dapat melengkapi dan memperkuat teori dari penelitian sebelumnya sehingga dapat memberi pengetahuan baru dan inspirasi bagi penelitian berikutnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena pengambilan data dilakukan dengan cara observasi lapangan, wawancara, dan pengumpulan data melalui studi literatur. Teori yang digunakan adalah Theory about Architecture menurut Kate Nesbitt yang menjelaskan pentingnya makna dan pengaruh arsitektur berdasarkan konteks sosial budaya yang dapat digunakan dan diterima oleh masyarakat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Indryani, Yulista, Kristina Valen Kado, and Asmara. "Makna Laba Bagi Kelompok Tenun Lo`A Ulimuri." Indo-Fintech Intellectuals: Journal of Economics and Business 4, no. 6 (2025): 3485–91. https://doi.org/10.54373/ifijeb.v4i6.2590.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi makna laba bagi kelompok tenun Lo`a Ulimuri, dengan fokus pada bagaimana laba dipersepsikan dan dimanfaatkan oleh para pelaku usaha dalam komunitas ini. Menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini melibatkan wawancara mendalam Bersama anggota kelompok tenun untuk menggali pandangan mereka mengenai laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi kelompok tenun Lo`a Ulimuri, laba tidak hanya dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan finansial, tetapi juga sebagai simbol warisan budaya. Laba dianggap penting untuk mensejahterakan anggota kelompok, memperkuat ikatan sosial dengan menjalin tali kasih persaudaraan dalam suka maupun duka, dan melestarikan warisan budaya tenun. Penelitian ini mengungkapkan makna laba yang lebih luas dan mendalam, mencakup dimensi sosial, budaya, dan ekonomi. Temuan ini memberikan wawasan tentang pentingnya laba dalam konteks budaya dan komunitas, serta dampaknya bagi strategi pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Wijaya, Faris Rahmadhiyaa. "Makna dan Fungsi Tradisi Nyantri dalam Pernikahan Adat Jawa." Jurnal Kajian Bahasa, Sastra dan Pengajaran (KIBASP) 7, no. 1 (2023): 202–11. http://dx.doi.org/10.31539/kibasp.v7i1.7952.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dan fungsi tradisi nyantri dalam pernikahan adat Jawa di Blora. Metode analisis antropologi budaya digunakan untuk mendalaminya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyantri memainkan peran krusial dalam memperkuat kekeluargaan dan keberlanjutan budaya. Simpulannya, tradisi nyantri bukan sekadar ritual formal, melainkan pondasi yang memperkukuh jaringan sosial dalam pernikahan adat Jawa di Blora. Penemuan ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana tradisi nyantri tidak hanya menjadi serangkaian upacara, tetapi juga representasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Blora. Dengan menggali makna-makna tersembunyi di balik setiap langkah nyantri, penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman kita tentang keberlanjutan budaya dan peran penting adat dalam mempererat hubungan sosial. Kesimpulannya, tradisi nyantri di Blora tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga menjadi pilar yang mengokohkan solidaritas dan identitas masyarakat setempat.
 
 Kata Kunci : Fungsi, Makna, Pernikahan Adat Jawa, Tradisi Nyantri
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Rahawarin, Yunus. "KONSTRUKSI MAKNA TEOLOGIS FESTIVAL ABDA’U." SOSIOLOGI: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya 21, no. 1 (2019): 31–41. http://dx.doi.org/10.23960/sosiologi.v21i1.36.

Full text
Abstract:
Festival Abda’u merupakan ritual tradisi tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Tulehu, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah. Selama bertahun-tahun, festival ini telah dirayakan dengan berbagai macam ekspresi sosial-budaya baik itu yang bersifat tradisional hingga modern. Persoalannya, makna teologis pelaksanaan festival itu kurang dikenal akibat kurangnya minat terhadap penelitian dan kajian-kajian nilai sosial-budaya di Maluku Tengah. Kurangnya pemahaman makna teologis ini menyebabkan ritual Festival Abda’u mengalami pergeseran makna. Penelitian ini dilakukan untuk memahami konstruksi makna teologis pelaksanaan Festival Abda’u di Tulehu, Maluku Tengah. Berdasarkan landasan masalah dan tujuan penelitian, peneliti menggunakan teori konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckman dan metode studi kasus berparadigma postpositivistik. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap enam narasumber di Tulehu, Maluku Tengah. Teknik analisis data yang digunakan adalah kronologis dan keabsahan data berdasarkan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Festival Abda’u memiliki konstruksi makna teologis yang sangat dalam, yaitu: pengakuan sebagai penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai benteng moralitas umat Islam, sebagai ekspresi kemenangan umat Islam atas musuh-musuhnya, ungkapan syukur kepada Allah, dan sebagai aktualisasi ibadah syariah yang diwajibkan Allah pada umat Islam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Carrie, Kelvin, and Suwandi Suwandi. "Makna Serta Interaksi Sosial Tentang Kue Keranjang Perayaan Imlek di Indonesia." Altasia Jurnal Pariwisata Indonesia 3, no. 2 (2021): 57. http://dx.doi.org/10.37253/altasia.v3i2.5396.

Full text
Abstract:
‘Kue keranjang’ disajikan dalam perayaan Tahun Baru Imlek setiap tahun, diolah secara khusus, dan bentuk kuenya bulat berwarna kecoklatan dengan rasa manis. Terbuat dari bahan tepung beras ketan putih. Walaupun bentuk dan warnanya kurang menarik, tetapi ‘kue keranjang’ wajib dan harus ada disajikan pada saat perayaan tahun baru Imlek. Banyak diantara para generasi muda etnis Tionghoa kurang memahami sejarah dan makna ‘kue keranjang’. Bahkan banyak dari mereka tidak mencicipinya karena rasa yang terlalu manis, dan lengket seperti dodol. ‘Kue keranjang’ merupakan salah satu makanan tradisional bagi etnis Tionghoa, kini kurang popular di kalangan generasi melenial. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan sejarah dan makna ‘kue keranjang dalam perayaan tahun baru Imlek, untuk melestarikan ‘kue keranjang’ agar tetap menjadi bagian warisan budaya Indonesia. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Alasannya masalah yang diteliti merupakan masalah fenomena social yang di teliti pada suatu daerah yaitu Kota Batam. Data yang dikumpulkan melalui media wawancara daring (online), dilakukan verifikasi dan reduksi, penyajian data, dan validasi. Hasil penelitian bahwa generasi melenial etnis Tionghoa kurang memahami sejarah dan makna, ‘kue keranjang’ hal tersebut dikarenakan tidak ada penyampaian secara khusus kepada anak-anak. Bentuk yang kurang menarik, rasa yg manis serta lengkep di makan sehingga yang menyebabkan tidak menggugah selera untuk di cicipi. Diharapkan ‘kue keranjang’sebagai warisa budaya dapat dilestarikan dengan cara, menyampaikan cerita yang menarik bagi anak-anak dan dalam bentuk drama untuk para remaja tentang sejarah dan makna ‘kue keranjang’ yang mengadung makna filosofis, rasa syukur atas limpahan rejeki, tahun yang akan semakin berlimpah lagi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Romayani Sinaga, Ahmad Fakhri Hutauruk, Andres M. Ginting, and Satria. "Makna Filosofi Ulos Batak Toba Sebagai Sumber Belajar Sejarah." Jurnal Pendidikan Sejarah Humaniora dan Ilmu Sosial 2, no. 2 (2024): 20–26. https://doi.org/10.36985/e7fes563.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengeksplorasi makna filosofis yang terkandung dalam kain tenun tradisional Ulos Batak Toba dan perannya sebagai sumber belajar sejarah. Ulos merupakan identitas budaya masyarakat Batak Toba yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Melalui ornamen, corak, dan warna yang khas, setiap jenis ulos menyimpan makna simbolik yang terkait dengan kehidupan sosial, spiritual, dan filosofi hidup masyarakat Batak. Penelitian ini menggunakan pendekatan heuristik dan antropologi budaya untuk menggali makna mendalam dari pengalaman subjektif peneliti dan memahami konteks budaya Ulos Batak secara holistik. Lokasi penelitian adalah Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan, Kabupaten Toba Samosir, yang merupakan sentra kerajinan ulos. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam dengan pengrajin dan tokoh masyarakat, serta dokumentasi. Hasil penelitian mengungkapkan makna filosofis dari berbagai jenis ulos, seperti Ulos Ragidup yang melambangkan kehidupan, Ulos Maratur terkait kelahiran, dan Ulos Ragi Hotang untuk upacara kematian. Ulos juga memiliki nilai budaya, sosial, spiritual, dan ekonomi yang penting bagi masyarakat Batak Toba. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ulos dapat berperan sebagai sumber belajar sejarah yang kaya, membantu siswa memahami budaya, tradisi, dan nilai-nilai masyarakat Batak Toba. Pelestarian Ulos perlu dilakukan secara berkelanjutan agar tetap menjadi warisan budaya yang hidup bagi generasi mendatang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Romayani Sinaga, Ahmad Fakhri Hutauruk, Andres M. Ginting, and Satria. "Makna Filosofi Ulos Batak Toba Sebagai Sumber Belajar Sejarah." Jurnal Pendidikan, Sejarah, Humaniora, dan Ilmu Sosial 4, no. 2 (2024): 20–26. https://doi.org/10.36985/db8ty496.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengeksplorasi makna filosofis yang terkandung dalam kain tenun tradisional Ulos Batak Toba dan perannya sebagai sumber belajar sejarah. Ulos merupakan identitas budaya masyarakat Batak Toba yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Melalui ornamen, corak, dan warna yang khas, setiap jenis ulos menyimpan makna simbolik yang terkait dengan kehidupan sosial, spiritual, dan filosofi hidup masyarakat Batak. Penelitian ini menggunakan pendekatan heuristik dan antropologi budaya untuk menggali makna mendalam dari pengalaman subjektif peneliti dan memahami konteks budaya Ulos Batak secara holistik. Lokasi penelitian adalah Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan, Kabupaten Toba Samosir, yang merupakan sentra kerajinan ulos. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam dengan pengrajin dan tokoh masyarakat, serta dokumentasi. Hasil penelitian mengungkapkan makna filosofis dari berbagai jenis ulos, seperti Ulos Ragidup yang melambangkan kehidupan, Ulos Maratur terkait kelahiran, dan Ulos Ragi Hotang untuk upacara kematian. Ulos juga memiliki nilai budaya, sosial, spiritual, dan ekonomi yang penting bagi masyarakat Batak Toba. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ulos dapat berperan sebagai sumber belajar sejarah yang kaya, membantu siswa memahami budaya, tradisi, dan nilai-nilai masyarakat Batak Toba. Pelestarian Ulos perlu dilakukan secara berkelanjutan agar tetap menjadi warisan budaya yang hidup bagi generasi mendatang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Hoban, Nong, Veronika Nean, and Laurensius Moa Laba. "MAKNA WAWI API ARA PLANGAN DALAM PERKAWINAN ADAT DI DESA NEN BURA KECAMATAN DORENG KABUPATEN SIKKA." Primary Education Journals (Jurnal Ke-SD-An) 4, no. 2 (2024): 261–68. https://doi.org/10.36636/primed.v4i2.4875.

Full text
Abstract:
Tujuan untuk mengetahui makna wawi api ara plangan dalam perkawinan adat di desa Nen Bura Kecamatan Doreng Kabupaten Sikka. Teori yang dipakai adalah teori “makna” yang digagas oleh Satyanada. Metode penelitian yang digunakana dalam metode penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif.Teknik pengumpulan data adalah wawancara,dokumentasi, dan observasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1) redukasi data (data pencarian) 2) display data (penyajian data) 3) vertifikasi (kesimpulan ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat masih berpegang teguh kepada adat istadat, khususnya dalam perkawinan adat. Makna wawi api ara plangan sebagai berikut: makna religi, makna sosial, makna budaya. Makna religi tersirat doa-doa permohonan pada WujutTertinggi dan restu leluhur. Makna sosial mengatur relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan leluhurnya. Makna kebudayaan. Pelaksanaan wawi api ara plangan dimaknai secara budaya oleh masyarakat desa Nen Bura sebagai pengetahuan atau ajaran leluhur yang perlu di wariskan dan dipertahankan sebagai bentuk pertanggungjawaban masyarakat Nen Bura kepada amanat leluhurnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Anwary Sumadi, Roly Salley, and Meirina Triharini. "Bentuk Fisik Angklung Sebagai Perwujudan Kosmologi dan Makna Sosial." Tonika: Jurnal Penelitian dan Pengkajian Seni 7, no. 2 (2024): 79–102. https://doi.org/10.37368/tonika.v7i2.767.

Full text
Abstract:
Angklung adalah salah satu alat musik tradisional yang telah mengalami perkembangan signifikan dalam berbagai aspek. Penelitian ini mengkaji perkembangan angklung dari perubahan bentuk fisik, penerapan musik, hingga maknanya dalam konteks sosial budaya. Penelitian ini menggunakan metode literature review dengan mengumpulkan data literatur terkait perkembangan angklung. Secara sosial budaya, angklung tidak hanya dapat tetap relevan, tetapi juga semakin populer dan digemari, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa angklung sebagai artefak kesenian tradisional terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman, tanpa kehilangan nilai budayanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Wardhaya, Almeyda Leonita, Yuliarti Mutiarsih, and Farida Amalia. "Analisis Semantik dan Budaya dalam Lirik Lagu ‘Les Champs-Élysées’." Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, dan Sastra 11, no. 1 (2025): 1216–27. https://doi.org/10.30605/onoma.v11i1.5303.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis makna semantik dan mengidentifikasi unsur-unsur budaya yang tercermin dalam lirik lagu ‘Les Champs-Élysées’ yang diciptakan oleh Mike Wilsh dan Claude François, serta dipopulerkan oleh Joe Dassin pada tahun 1969. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan teori semantik dari Leech (1981) serta teori kebudayaan dari Koentjaraningrat (1985). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik analisis dokumen dan analisis konten. Data yang dianalisis berupa lirik lagu "Les Champs-Élysées" dalam bahasa Prancis. Proses analisis mencakup identifikasi jenis makna semantik dan unsur budaya yang terkandung dalam lirik lagu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lagu ini didominasi oleh makna denotatif, konotatif, sosial, dan afektif, yang menggambarkan kehidupan sosial dan budaya di Paris. Selain itu, lirik lagu ini mencerminkan berbagai unsur budaya, seperti gaya hidup, seni, dan kebebasan, yang merupakan bagian dari identitas masyarakat Prancis. Dengan demikian, penelitian ini menegaskan bahwa lirik lagu tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran bahasa dan budaya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Isyanto, Isyanto, Roos Yuliastina, and Suhartono Suhartono. "MAKNA TRADISI MAMACAH DALAM PERSPEKTIF SOSIAL DAN KOMUNIKASI BUDAYA." Jurnal Inovasi dan Teknologi Pendidikan 1, no. 3 (2023): 301–12. http://dx.doi.org/10.46306/jurinotep.v1i3.33.

Full text
Abstract:
This research examines the Madurese people who have local wisdom and cultural wealth in the form of oral literature, namely, the mamaca tradition. Nowadays, the development of the oral literary tradition in Madura is quite worrying, including the mamaca tradition. This tradition takes place in the midst of advanced technological advances which are one of the things that the millennial generation likes most. Thus, the mamacah tradition which should be a self-identity is increasingly being erased, left behind by the next generation. The approach used in this study is a qualitative research approach. Where qualitative research is research that produces descriptive data in the form of written or spoken words consisting of behaviors that can be observed by someone. While the method used in conducting this research is in the form of observation, recording, interviews, and recording. The findings in this study are in the form of the mamacah tradition carried out in Rubaru District, Sumenep Regency
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Manesah, Dani. "ASPEK SOSIAL BUDAYA PADA FILM MUTIARA DARI TOBA SUTRADARA WILLIAM ATAPARY." PROPORSI : Jurnal Desain, Multimedia dan Industri Kreatif 2, no. 2 (2017): 177–86. http://dx.doi.org/10.22303/proporsi.2.2.2017.177-186.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengungkap aspek sosial budaya yang terdapat pada film Mutiara dari Toba sutradara William Atapary berdasarkan tinjauan semiotik. Objek penelitian ini adalah makna aspek sosial budaya yang ada pada film Mutiara dari Toba dengan menggunakan teori semiotik. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan teknik analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni mendeskripsikan data-data penelitian dalam adegan film Mutiara dari Toba sutradara William Atapary sebagai penanda dan petanda makna asek budaya yang terdapat pada film Mutiara dari Toba sutradara William Atapary. Kebudayaan yang dibangun, dibentuk, dan dimiliki oleh masyarakat dalam film Mutiara dari Toba memiliki kekhasan sendiri. Dalam film Mutiara dari Toba terjadi keragaman bahasa yakni bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa Batak Toba. Hasil penelitian aspek sosial budaya yang muncul dalam film Mutiara dari Toba sutradara William Atapary adalah berupa kepercayaan terhadap Tuhan, perasaan dan pikiran terhadap lingkungan sekitar.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Yunus, Yunus, and Mukhlisin. "SOSIAL-BUDAYA: HARMONISASI AGAMA DAN BUDAYA DALAM PENDIDIKAN TOLERANSI." Kalam: Jurnal Agama dan Sosial Humaniora 8, no. 2 (2020): 1–26. http://dx.doi.org/10.47574/kalam.v8i2.78.

Full text
Abstract:
Tana Luwu dihuni oleh komunitas multietnis seperti Bugis, Makassar, Rongkong dan Toraja. Beragam suku, kepercayaan, dan agama yang berbeda. Mereka hidup rukun bersama, mengatasi kerjasama dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, hingga kegiatan keagamaan telah membentuk pemahaman tentang toleransi dalam beragama, yaitu saling menghormati dan menghormati pemeluk agama. Kota Palopo memiliki beberapa kearifan lokal antara lain; Sipakatau artinya saling memanusiakan, Sipakalebbi artinya saling menghormati, Sipakaingge 'artinya saling mengingatkan. Hal ini harus dijaga dan disosialisasikan agar menjadi perekat kreasi dan pemeliharaan umat beragama di Kota Palopo. Pembelajaran kearifan lokal budaya Bugis UNANDA dan IAIN Palopo yang menunjukkan bahwa pembelajaran menciptakan kesadaran empati (Pesse) terhadap orang lain yang memiliki identitas pribadi dan budaya yang berbeda. Kearifan lokal, pembinaan aspek afektif seperti sikap, minat, konsep diri, pengembangan nilai, dan moral diperlukan dalam masyarakat majemuk sehingga dapat memberikan makna belajar bagi peserta didik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Rajaguk-Guk, Sastri Br, Suriyati Suriyati, and Samsi Setiadi. "Makna Komunikasi Bahasa Melayu Papua Berupa Penyingkatan Kata Dan Penggunaan Suffix “Toh” Dalam Film “Denias, Senandung di Atas Awan”: Sebuah Kajian Filsafat Bahasa." Jurnal Pendidikan Indonesia 5, no. 12 (2024): 857–70. https://doi.org/10.59141/japendi.v5i12.6324.

Full text
Abstract:
Bahasa Melayu Papua dalam film "Denias, Senandung di Atas Awan" mengalami perubahan unik yang ditandai dengan penyingkatan kata dan penggunaan sufiks "toh", mencerminkan kebutuhan masyarakat Papua akan komunikasi yang efisien. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis makna perubahan ini dalam konteks sosial budaya serta bagaimana bahasa berperan sebagai identitas budaya. Berbasis kajian pustaka, penelitian menunjukkan bahwa fenomena linguistik seperti ini sering terjadi di wilayah yang memiliki keberagaman etnis, dimana bahasa menjadi alat utama interaksi sosial. Metodologi yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus pada skrip film, termasuk pengamatan, transkripsi dialog, dan analisis konteks sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyingkatan kata dan sufiks "toh" berfungsi memperkuat pernyataan dan memperkaya makna, serta mencerminkan identitas budaya Papua. Kesimpulannya, perubahan bahasa ini memperlihatkan bagaimana masyarakat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Humaeni, Ayatullah. "TABU PEREMPUAN DALAM BUDAYA MASYARAKAT BANTEN." Jurnal Humaniora 27, no. 2 (2016): 174. http://dx.doi.org/10.22146/jh.v27i2.10585.

Full text
Abstract:
Artikel ini mengkaji fenomena tabu (tabu) perempuan dan maknanya bagi perempuan Banten. Bagaimana perempuan Banten memahami dan memaknai tabu-tabu yang hadir di sekitar mereka dan masih ditradisikan dari generasi ke generasi menjadi salah satu fokus utama artikel ini. Di samping itu, artikel ini juga mencoba mengidentifikasi dan menganalisis berbagai jenis tabu yang berhubungan dengan perempuan Banten. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan menggunakan metode study kasus yang bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan antropologis. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kajian pustaka, observasi, dan wawancara mendalam. Keberadaan tabu perempuan dalam budaya Banten, sedikit banyak, mempunyai pengaruh bagi kehidupan sosial keagamaan masyarakat Banten. Jika menganalisis isi dan makna tabu berdasarkan kontkes sosial kulturalnya, beragam tabu yang ada pada masyarakat Banten, khususnya yang berkaitan dengan tabu perempuan Banten, memiliki fungsi dan makna sebagai bentuk penjagaan moral dan perilaku, pemeliharaan identitas diri dan identitas sosial, memperkuat hubungan emosional, bentuk perlindungan, sampai simbol kasih sayang dan cinta.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Nainggolan, Eny Theresia, Godliebe Godliebe, and Wisman Hadi. "Analisis Penggunaan Bahasa dalam Propaganda Politik di Media Sosial." Jurnal Bahasa Daerah Indonesia 1, no. 3 (2024): 8. http://dx.doi.org/10.47134/jbdi.v1i3.2606.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan bahasa dalam propaganda politik di media sosial dan dampaknya terhadap masyarakat dan budaya komunikasi di Indonesia. Dengan fokus pada penyimpangan makna secara pragmatis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi kasus tunggal terpancang. Data diperoleh dari dokumen yang diunggah di berbagai platform media sosial seperti blog, Facebook, Twitter, dan situs online lainnya. Teknik analisis isi digunakan untuk mengidentifikasi pola penggunaan bahasa yang mengalami penyimpangan makna dalam konteks propaganda politik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana bahasa digunakan untuk memengaruhi opini publik melalui media sosial, serta implikasinya terhadap budaya komunikasi di Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Harul Marif. "Semiosis Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa Dalam Tradisi Menggantung Kupatan Pada Bulan Syawal." Millatuna: Jurnal Studi Islam 2, no. 02 (2025): 49–62. https://doi.org/10.33752/mjsi.v2i02.8508.

Full text
Abstract:
Tradisi menggantung ketupat di bulan Syawal merupakan representasi akulturasi budaya Islam dan Jawa yang dapat dianalisis melalui teori simbol dan makna Charles Sanders Peirce. Tradisi ini melibatkan hubungan dinamis antara representamen (ketupat sebagai tanda fisik), objek (kesucian, harmoni sosial, dan kemakmuran), serta interpretant (pemaknaan masyarakat). Sedangkan ketupat berfungsi sebagai ikon, indeks, dan simbol, di mana bentuk fisik, konteks keagamaan, dan konvensi budaya melebur menjadi satu. Proses semiosis dalam tradisi ini menggambarkan bagaimana makna ketupat terus berkembang melalui interpretasi masyarakat yang menggabungkan nilai-nilai Islam seperti perayaan Idul Fitri dan silaturahmi dengan kearifan lokal Jawa, termasuk juga konsep "ngaku lepat" (pengakuan kesalahan). Ketupat bukan sekadar simbol makanan, akan tetapi juga menjadi wadah makna kolektif yang menguatkan solidaritas komunitas. Analisis ini menunjukkan bahwa tradisi menggantung ketupat adalah bukti dinamisnya hubungan antara agama dan budaya, di mana makna tidak statis, tetapi selalu ditentukan oleh konteks sosial dan pengalaman kolektif. Sebagai sebuah praktik akulturasi, tradisi ini memperlihatkan cara masyarakat memadukan nilai spiritual dan kultural untuk menciptakan identitas yang harmonis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Sadari, Sadari. "Reaksi Agama dan Budaya Dalam Dimensi Perencanaan Kepemimpinan di Dunia Pendidikan." Almarhalah | Jurnal Pendidikan Islam 4, no. 1 (2020): 1–18. http://dx.doi.org/10.38153/alm.v4i1.23.

Full text
Abstract:
Agama yang bersumber dari Allah Swt, kemudian agama bereaksi menjadi kecerdasan spiritual dalam kehidupan masyarakat, kemudian dihidupkan dalam bentuk ritual ibadah. Selanjutnya ritual ibadah dalam beragama dipahami manusia sebagai salah satu aspek budaya. Dari situlah dimensi kepemimpinan akan terencana melalui pemahaman agama, terlebih bila dikaitkan dengan dunia pendidikan. Perbedaan agama dan budaya terlihat dari sebuah proses yang berbeda, agama dipahami dari proses vertikal, sedangkan budaya dipahami dari proses horizontal. Agama bersifat spiritual sedangkan budaya bersifat akal, sehingga menurut sistem sosial budaya manusia disebut al-Insan yang memiliki akal pikiran, mampu mengembangkan budaya yang berdampak luas terhadap kehidupan dan lingkungan di permukaan bumi. Kemampuan akal pikiran dapat dinyatakan juga sebagai kemampuan budaya, memiliki makna yang tinggi bagi manusia sebagai makhluk hidup. Aspek-aspek atau komponen-komponen materi seperti ruang, alam semesta, bangunan, pakaian, peralatan dan non-materi semisal pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, peranan, merupakan suatu sistem yang disebut sistem budaya.Sistem budaya merupakan rangkaian hubungan komponen-komponen budaya sebagai ungkapan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sebagai makhluk budaya. Namun demikian, dalam mekanisme budaya tersebut, tidak terpisahkan dari hubungan antara manusia sebagai makhluk sosial yang menghubungkan antar individu, antara individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok manusia lainnya. Di sini terbentuk suatu tatanan yang dikonsepkan sebagai sistem sosial. Sistem ini terbentuk, sebagai akibat hubungan sosial antar komponen-komponen.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Sri Rahmayanti Berutu, Tiara Pramita Br Purba, and Sahlan Sahlan. "Sistem Budaya Dan Sistem Sosial." ALFIHRIS : Jurnal Inspirasi Pendidikan 1, no. 1 (2022): 121–30. http://dx.doi.org/10.59246/alfihris.v1i1.122.

Full text
Abstract:
Sistem sosial dan ekonomi merupakan komponen dari kerangka masyarakat yang lebih luas. Ketiga sistem yang disebutkan di atas dapat berbeda jika dianalisis. Ilmu sosiologi lebih cenderung menganalisis sistem sosial, sedangkan Ilmu budaya lebih cenderung menganalisis sistem sosial. Sistem digambarkan sebagai suatu kelompok dari semua bagian yang bekerja sama untuk melaksanakan suatu tugas. Ketujuh komponen sistem tersebut adalah: fungsi, set, batas, ukuran, bentuk, tenpat, hubungan, cara, sistem, masukan dan pengeluaran. Masyarakat dan kebudayaan digambarkan sebagai sistem tatanan sosial. Hubungan antara masyarakat umum dan kebudayaan mempengaruhi sistem sosial dan agama. Akibatnya, interaksi antara sistem sosial dan budaya itu memunculkan istilah "sistem sosial budaya". Pada penduduk Indonesia, sistem kesejahteraan sosial ini semakin meluas. Sistem sosial budaya tekanan tentang hubungan yang terjalin dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat saling mempengaruhi dan membentuk interaksi sosial. Proses dalam sosial kebudayaan yang ada di Negara Indonesia adalah kebijakan sosial totaliter dengan perundang-undangan sosial dan hak asasi manusia yang mampu menegakkan hak hidup sehat dan bermartabat dalam seluruh Pancasila. Penafsiran makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena masalahnya tidak hanya menjelaskan maknanya tetapi juga menjelaskan deskripsinya melalui praktik kehidupan sosial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Mboka, Idris, and Ilham Syah. "Makna Lirik Lagu Gawi “Ine Pare” Karya Frans Tuku (Analisis Semiotik Carles S. Peirce)." Jurnal Pendidikan 8, no. 2 (2020): 111–22. http://dx.doi.org/10.36232/pendidikan.v8i2.451.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan representasi makna tanda ikon, indeks, dan simbol pada lirik lagu Gawi “Ine Pare” karya Frans Tuku. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik Carles S. Pierce dengan menggunakan metode deskripsi kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan tanda berupa ikon, indeks dan simbol. Representasi makna ikon Gawi pada lirik lagu Gawi “ine pare” karya Frans Tuku adalah momentum mempererat hubungan tali persaudaraan antara sesama dan ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta dan leluhur. Representasi makna Ikon nggua pada lirik lagu Gawi “Ine Pare” karya Frans Tuku adalah pesta adat penyambutan musim tanam yang diselenggarakan pada saat memasuki musim penghujan. Representasi makna indeks personal; orang-orang yang terlibat pada saat ritual maupun pada saat melakukan tarian Gawi. Representasi makna simbol pada lirik lagu Gawi “Ine Pare” karya Frans Tuku secara umum merepresentasikan realitas sosial-budaya masyarakat etnik Lio. Mosalaki memegang peranan penting dalam adat istiadat yang diwarisi leluhur diantaranya nasalah sosial-budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Selain itu, makna simbol pada lirik lagu Gawi “ine Pare” karya Frans Tuku merepresentasikan masalah-masalah sosial yang terjadi seperti perbuatan yang melanggar norma adat istiadat seperti kecurangan dalam mencari nafka, perkawinan dini serta perkawinan sedarah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Suyuti, Muhammad Wildan, Nurul Khairumi, Rahma Cahya Ningrum, and Mashud. "ANALISIS SEMANTIK PADA NAMA-NAMA SATE KHAS JAWA TIMUR." ETNOLINGUAL 8, no. 2 (2024): 168–86. https://doi.org/10.20473/etno.v8i2.61570.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengkaji nama-nama sate di Jawa Timur dari perspektif semantik untuk mengungkap makna dan nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, penelitian ini menganalisis 22 nama sate yang diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penamaan sate di Jawa Timur dapat diklasifikasikan berdasarkan keserupaan, plesetan, sifat khas, bahan, dan inovasi. Makna di balik nama-nama tersebut mencerminkan kearifan lokal, kreativitas linguistik, dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Jawa Timur. Analisis semantik mengungkapkan bahwa nama-nama sate tidak hanya berfungsi sebagai penanda kuliner, tetapi juga sebagai representasi identitas, humor, dan filosofi masyarakat setempat. Lebih lanjut, penelitian ini menemukan bahwa penamaan sate sering kali mengandung unsur metafora yang menggambarkan karakteristik hidangan atau konteks sosial budayanya. Keberagaman strategi penamaan yang ditemukan juga mencerminkan adaptabilitas bahasa dan budaya Jawa Timur dalam menghadapi perubahan dan inovasi kuliner, sambil tetap mempertahankan identitas lokal. Penelitian ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana bahasa, khususnya dalam penamaan kuliner, dapat menjadi cerminan dinamika sosial dan budaya suatu masyarakat, serta berkontribusi pada pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara bahasa, makanan, dan identitas budaya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Elisabeth Ayuna, Novianty. "Peran Komunikasi Dalam Proses Akulturasi Sistem Sosial Lokal." Technomedia Journal 8, no. 1 Juni (2023): 35–51. http://dx.doi.org/10.33050/tmj.v8i1.2015.

Full text
Abstract:
Budaya harus diteliti, diwariskan dari generasi ke generasi, berdasarkan simbol, dinamis, dan proses yang terintegrasi karena biasanya langsung mempengaruhi komunikasi. Akulturasi merupakan fenomena sosial yang terjadi secara alami. Jika sekelompok orang dari budaya tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari budaya yang berbeda sedemikian rupa sehingga mereka secara bertahap menerima dan memasukkan unsur-unsur asing ke dalam budaya mereka sendiri, tanpa kehilangan identitas budaya aslinya, dan jika kelompok budaya dari masyarakat hidup berdampingan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan budaya dan filosofi komunikasi yang dapat menimbulkan masalah dalam komunikasi lintas budaya. Penelitian ini menggunakan metode studi literature review melalui pengalaman-pengalaman lintas budaya yang ditunjang dengan studi formal tentang konsep budaya. Hasil penelitian dapat memahami potensi akulturasi dan peran komunikasi dalam mempermudah akulturasi dari pihak-pihak yang berkomunikasi akan memudahkan berlangsungnya proses komunikasi dan dalam pencapaian makna di antara keduanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Jama, Karolus Budiman. "MAKNA KONTEKSTUAL DALAM CERPEN JEJAK PELANGI DI GUNUNG KENARI KARYA JEFTA H. ATAPENI." Jurnal Lazuardi 4, no. 2 (2021): 99–113. http://dx.doi.org/10.53441/jl.vol4.iss2.64.

Full text
Abstract:
Artikel ini membahas tentang makna kontekstual yang terkandung dalam cerpen Jejak Pelangi di Gunung Kenari Karya Jefta H. Atapeni. Terdapat lima konteks yang dibahas dalam artikel ini, yakni kontkes sosial, konteks politik, konteks situasi, konteks fisik dan konteks budaya. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan makna kontekstual yang terkandung dalam cerpen Jejak Pelangi di Gunung Kenari karya Jefta H. Atapeni. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi karya sastra menurut Wallek dan Warren yang terfokus pada kajian hubungan antara sastra dan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari kelima konteks tersebut, yakni konteks sosial, konteks politik, konteks situasi, konteks fisik dan konteks budaya, ditemukan konteks sosial tentang kepedulian sosial antartokoh, konteks politik tentang diskriminasi politik antara penguasa dengan masyarakat kecil; konteks situasi tentang suasana cemas, sunyi, bahagia dan haru; konteks fisik tentang kekerasan fisik yang dilakukan aparat keamanan terhadap Mateu dan konteks budaya tentang perkawinan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Aprianti, Nurul Annisa. "Membaca Budaya Konsumtif dari Rak Promo Minimarket." Journal of Mandalika Social Science 3, no. 1 (2025): 5–14. https://doi.org/10.59613/jomss.v3i1.257.

Full text
Abstract:
Perubahan gaya hidup masyarakat urban Indonesia dalam dua dekade terakhir mencerminkan pergeseran signifikan dalam pola konsumsi, yang kini lebih dipengaruhi oleh keinginan daripada kebutuhan. Minimarket, sebagai ruang konsumsi harian, menjadi arena penting bagi praktik budaya konsumtif ini, terutama melalui keberadaan rak promosi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana rak promo di minimarket tidak hanya berfungsi sebagai alat pemasaran, tetapi juga sebagai representasi simbolik budaya konsumsi masyarakat urban kelas menengah ke bawah. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi literatur, penelitian ini mengeksplorasi makna sosial dan simbolik dari rak promo sebagai cerminan gaya hidup, identitas sosial, dan mekanisme representasi kelas. Data diperoleh dari berbagai literatur akademik, kemudian dianalisis secara interpretatif menggunakan metode analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rak promo berperan sebagai alat komunikasi non-verbal yang menyisipkan pesan-pesan ideologis konsumtif dalam keseharian. Ia tidak hanya menyusun pola konsumsi, tetapi juga membentuk citra diri konsumen dan menegaskan struktur kelas sosial. Barang-barang yang dipajang menjadi simbol dari kebutuhan, keinginan, hingga aspirasi masyarakat terhadap gaya hidup tertentu. Penelitian ini menegaskan pentingnya membaca ulang ruang-ruang sehari-hari sebagai locus dari pembentukan makna sosial, termasuk minimarket yang tampak banal namun menyimpan dinamika budaya yang kompleks.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography