Academic literature on the topic 'Mandailing minangkabau'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the lists of relevant articles, books, theses, conference reports, and other scholarly sources on the topic 'Mandailing minangkabau.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Journal articles on the topic "Mandailing minangkabau"

1

Febrianto, Adri, Etmi Hardi, and Bustamam . "Orang Minangkabau dan Batak Mandailing di Nagari Buayan." Humanus 10, no. 1 (July 30, 2012): 1. http://dx.doi.org/10.24036/jh.v10i1.296.

Full text
Abstract:
The author described, integration between two ethnics Minangkabau and Batak Mandailing was running at Buayan, a small village in West Sumatera. It caused by the Batak Mandailing adaptation ability and tolerance nature Minangkabau people. The sameness of religion (Islam) is the push factor to their integration. In addition, the long process of socialization that occurs in people Mandailing of Minangkabau cultural trait, as well as the amalgamation and the dominance of Minangkabau culture. It described by consider of some daily activities and special event, like badoncek at marital ceremony. Although the description was not neglect conflict, but conflicts at Buayan were not expanding in society before, and they have the musyawarah as the resolution conflict mechanism. All processes that occur precisely shows the acculturation from Minangkabau cultural trait to the Mandailing. Key words: ethnical working culture, civil servants, civil society, democracy
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Wahyuni, Aguswita, and Nurman Nurman. "Dampak Perkawinan Adat Antar Etnis Mandailing dengan Etnis Minangkabau Terhadap Kekerabatan dan Hak Waris Anak di Kabupaten Pasaman." Journal of Civic Education 2, no. 5 (December 19, 2019): 380–89. http://dx.doi.org/10.24036/jce.v2i5.279.

Full text
Abstract:
Tujuan artikel ini untuk mengungkapkan bagaimana dampak perkawinan adat antar etnis Mandailing dengan Etnis Minangkabau terhadap sistem kekerabatan dan hak waris di Nagari Lansek Kadok Kecamatan Rao Selatan Kabupaten Pasaman. Informan penelitian ini adalah Wali Nagari Rao Selatan, Pengurus KAN, tokoh adat Mandailing dengan Minangkabau dan Masayarakat yang melakukan perkawinan antar etnis adat serta masyarakat yang tidak melakukan perkawinan antar etnis adat. Data ini di diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan adat antar etnis Mandailing dengan etnis Minangkabau mempunyai dampak terhadap sistem kekerabatan dan hak waris anak. Dampaknya adalah sistem kekerabatan anak di akui baik dikeluarga ayah dan ibu tetapi ketika anak dewasa mereka lebih dekat dengan kekerabatan ibunya. Dari hasil pernikahan suami etnis Minangkabau dengan istri etnis Mandailing adalah anak-anak tidak dekat dengan kekerabatan ayah dan ibunya sehingga ketika dewasa, dia mencari keluarga angkat baik dari pihak ayah maupun ibunya. Dari aspek pembagian hak waris suami etnis Mandailing dengan istri etnis Minangkabau, dampaknya adalah anak laki-laki dengan anak perempuan sama-sama sebagai ahli waris dari orang tuanya dan memperebutkan hak waris orang tuanya. Jika suami dari etnis Minangkabau dengan istri etnis Mandailing dampaknya adalah hak waris orang tua tidak bisa diturunkan kepada anak sehingga keluarga ini tidak lagi memakai hukum waris adat tetapi memakai hukum waris menurut ajaran agama islam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Zebua, Ali Marzuki. "Muhammadiyah dan Al-Washliyah di Sumatera Utara; Sejarah, Ideologi, dan Amal Usahanya." Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 19, no. 01 (September 22, 2019): 58–69. http://dx.doi.org/10.32939/islamika.v19i01.397.

Full text
Abstract:
Minangkabau and Mandailing are two different ethnicities. Minangkabau ethnicity has a modernist dominant Muslim and has a matrilineal tradition. While the Mandailing ethnic group has a conservative dominant Islam and has a patrilinear tradition. Of the two ethnic groups, two large organizations were born on the island of Sumatra, namely Muhammadiyah from the Minangkabau ethnic group identified with Pemuda and Al-Washliyah from the Mandailing ethnic group identified with Kaum Tua, both of which had major influences in education, culture and health and politics. . In this case, it is necessary to see how history, ideology, and charitable endeavours from these two large organizations influence change at the local and national scale. Minangkabau dan Mandailing adalah dua etnis yang berbeda. Etnis Minangkabau memiliki pemeluk Islam yang dominan modernis serta memiliki tradisi matrilinear. Sedangkan etnis Mandailing memiliki pemeluk Islam yang dominan konservatif serta memiliki tradisi patrilinear. Dari dua etnis ini terlahir dua oragnisasi besar di pulau Sumatera, yakni Muhammadiyah dari etnis Minangkabau yang diidentikkan dengan Kaum Muda dan Al-Washliyah dari etnis Mandailing yang diidentikkan dengan Kaum Tua, yang keduanya memiliki pengaruh besar baik di bidang pendidikan, kebudayaan maupun bidang kesehatan dan politik. Terkait dengan hal ini kiranya perlu melihat bagaimana sejarah, ideologi dan amal usaha dari dua organisasi besar ini yang mempengaruhi perubahan pada skala lokal maupun Nasional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Suhaimar, Lisa, and Susi Fitria Dewi. "Akulturasi Budaya Pada Perkawinan Etnis Mandailing dan Minangkabau Di Nagari Sontang." Journal of Civic Education 1, no. 2 (November 30, 2018): 116–22. http://dx.doi.org/10.24036/jce.v1i2.218.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai proses akulturasi budaya pada perkawinan Etnis Mandailing dan Minangkabau di Nagari Sontang Cubadak. Penelitian menggunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui hasil wawancara dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat, observasi dan melalui dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya interaksi yang terjadi antara masyarakat Mandailing dan Minangkabau mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi budaya yang terjadi antara kedua etnis ini dapat dilihat dari proses perkawinan masyarakat Mandailing yang sudah mengadopsi beberapa budaya Minangkabau. Akulturasi budaya yang terjadi di daerah ini diakibatkan adanya perkawinan antar etnis, migrasi dan interaksi antar etnis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Kamal, Muhiddinur. "HARMONY IN DIVERSITY: STUDY ON POTENTIAL HARMONIOUS MULTICULTURAL SOCIETY "PANTARA" REGIONS (PANTI-TAPUS-RAO) NORTHERN BORDER OF WEST SUMATRA." Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies 4, no. 2 (December 25, 2018): 148. http://dx.doi.org/10.30983/islam_realitas.v4i1.511.

Full text
Abstract:
Pantara region (Panti-Tapus-Rao) is an area that lies on the border north Sumatra Indonesia consists of diverse cultures, ethnicities, races and religions. This area is a picture of a multicultural society, scattered in various corners of the village. The society of Pantara is a homogeneous society both in terms of custom and religion in Minangkabau. During the era Pagaruyung Kingdom in Minangkabau, Pantara region was given region's special autonomy status called "Lordship of Padang Nunang" located in Rao. The status of “Lordship” as shoreline areas (regions in power) is given by the special autonomous kingdom of Pagaruyung, contributing to strengthen society of "Pantara" as an honor for indigenous of Minangkabau tradition which holds the tradition of, "Tradition founded upon Islamic law, Islamic law founded upon the Qur'an" (adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah). The massive arrival of Batak Toba and Mandailaing in the early days of independence to Pantara region(Panti-Tapus-Rao), change homogenous society into a heterogeneous society. The diversity in Pantara region covers ethnicity and culture as well as diversity in religion. Batak Toba and Mandailing society share the same patrilineal culture, but they are different in terms of religion. Batak Toba society made Protestants association or better known as HKBP while Mandailing community embraced Islam. Minangkabau people have the same religion as the Mandailing, because both are Moslem but they are different in customs. Mandailing embraced patrilineal while indigenous Minangkabau is matrilineal. On the other hand, Batak and Minang people different both in religion and culture. Batak are Christians while the Minangkabau are Muslims. The presence of Javanese people who come when it was brought by the Dutch, and the arrival of Malay people who chose to stay in the region participated Pantara enrich the diversity of Pantara region. Pantara region now has turned into a society that is heterogeneous in terms of ethnicity, religion, culture and language, they are live together in harmony, although sometimes arise, but can be mitigated and resolved quickly.There are some factors to live in harmony in diversity within the multicultural society of Pantara: 1). Understanding of religious teachings which are sublime and peaceful, 2). Values of local wisdom, 3). Recognition of newcomers, 4). And the pattern of leadership in the community
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Dalimunthe, Sri. "HUBUNGAN KEKERABATAN BAHASA BATAK MANDAILING DAN BAHASA TANAH ULU (SUATU KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF)." MEDAN MAKNA: Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesastraan 16, no. 1 (June 18, 2018): 84. http://dx.doi.org/10.26499/mm.v16i1.2276.

Full text
Abstract:
Bahasa Batak Mandailing dan Bahasa Tanah Ulu adalah dua bahasa yang dituturkan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Bahasa Tanah Ulu (BTU) khususnya dituturkan di Kecamatan Muarasipongi dan bahasa Batak Mandailing (BBM) umumnya dituturkan di hampir semua wilayah Kabupaten Mandailing Natal. Kecamatan Muarasipongi berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat, jadi BTU dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau (bahasa di Provinsi Sumatera Barat). Penutur BTU bisa berbahasa Minangkabau dan BBM, tetapi penutur BBM dan bahasa Minangkabau tidak mengerti BTU. Hal tersebut membuat peneliti menganalisis bagaimana hubungan kekerabatan BBM dan BTU. Seberapa jauh tingkat kekerabatan kedua bahasa tersebut akan dijelaskan melalui teknik perbandingan dan teknik penghitungan waktu pisah kedua bahasa tersebut. Metode yang digunakan adalah metode komparatif dengan teknik leksikostatistik yang berupaya membandingkan kedua bahasa tersebut untuk mendeskripsikan hubungan keduanya. Dengan menggunakan 200 kosakata dasar Swadesh sebagai bahan analisis, ditemukan kesamaan leksikon keduanya sekitar 35%. Dari jumlah persentase kekerabatan tersebut dikelompokkan bahwa BBM dan BTU adalah keluarga dari satu rumpun. Selanjutnya, dihitung waktu pisah kedua bahasa yang dibandingkan dan hasilnya adalah 2.419. Artinya, BBM dan BTU adalah bahasa yang berkerabat dan merupakan satu bahasa yang sama sekitar 2419 tahun yang lalu atau sekitar tahun 401 Sebelum Masehi (dihitung dari tahun 2018), sebelum akhirnya berpisah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Kamal, Muhiddinur, and Syafwan Rozi. "THE CULTURED ISLAM: THE BOUNDARY OF ISLAMIC IDENTITY BETWEEN THE MINANGKABAU AND MANDAILING ETHNICS." El-HARAKAH (TERAKREDITASI) 22, no. 2 (November 5, 2020): 223–43. http://dx.doi.org/10.18860/eh.v22i2.9021.

Full text
Abstract:
The relationship between Islam and culture was compatible and not antonym. Islam was a dynamic product and a long-term process of giving and receiving in the dynamics and social interaction of its people. The contradiction between the ideal demands of religion and the demands of tradition and the social reality of society was a crucial problem faced by any religion in the world, but adjustments to social reality always occurred. The Islamic community in the Minangkabau border area was a cultural community that had and continued to confirm genuinely and became accommodative openness in resolving the contradictions of adat and Islam which were in principle very apparent in their cultural systems. Through ethnographic research, this article revealed that conflicts and contradiction between the normative concepts of Islam and adat always occurred in societies inhabited by the Minangkabau and Mandailing ethnic groups, especially related to marriage, kinship, inheritance system and communal property ownership. But the process always ran elegantly and attractively through the dialectics and dynamics of the people. Thus, Islam was culturally acculturated with Minangkabau culture and Mandailing culture and formed a distinctive cultural Islamic identity in the border area. Relasi Islam dengan kebudayaan adalah sesuatu yang selaras dan bukan antonim. Islam adalah produk dinamis dan proses dalam jangka panjang, yang saling memberi dan menerima dalam dinamika dan interaksi sosial masyarakatnya. Kontradiksi antara tuntutan ideal agama dan tuntutan tradisi serta realitas sosial masyarakat merupakan persoalan krusial yang dihadapi agama apapun di dunia, namun penyesuaian realitas sosial selalu terjadi. Masyarakat Islam di daerah perbatasan Minangkabau adalah komunitas budaya yang telah dan terus melakukan konfirmitas secara genuine serta akomodatif terbuka dalam menyelesaikan kontradiksi adat dan Islam yang secara prinsip sangat kentara dalam sistem budaya mereka. Melalui penelitian etnografi, artikel ini mengungkap bahwa konflik dan pertentangan antara konsep normatif Islam dengan adat selalu terjadi dalam masyarakat yang dihuni oleh etnik Minangkabau dan etnik Mandailing, terutama masalah perkawinan, kekerabatan, sistem kewarisan dan kepemilikan harta komunal. Namun proses itu selalu berjalan secara elegan dan atraktif melalui dialektika dan dinamika masyarakatnya. Sehingga, Islam secara kultur berakulturasi dengan budaya Minangkabau dan budaya Mandailing dan membentuk identitas Islam kultur yang khas di daerah perbatasan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Ibrahim, Welly, Ansofino Ansofino, and Ahmad Nurul Huda. "DAMPAK SOSIAL KONFLIK ETNIK DI KINALI 1999-2010." Jurnal Ilmu Sosial Mamangan 1, no. 2 (December 26, 2012): 73–84. http://dx.doi.org/10.22202/mamangan.v1i2.1353.

Full text
Abstract:
Kinali is an area inhabited by diverse ethnic with different cultures, namely Minangkabau, Mandailings, and Java. The area consists of diverse ethnic, there is always the potential for conflict. The conflict in 1999 between ethnic Minang and Mandailing in the wake of misunderstanding between the two warring ethnic ie ethnic Mandailing ethnic Minang and eventually led to a major conflict anarchistic. The impact of the conflict in the district Kinali West Pasaman on society viewed from social and cultural factors that people prefer not to socialize and interact with other ethnic groups, the social and economic factors of conflict have an impact on the decrease in public income and region for post-conflict societies choose to not interact and one of which is not to the market. Social factors are political, namely the attitude of the ethnic Mandailing are not adaptive in the pattern of relationship with the dominant culture in Kinali caused by the attitude of discriminative ethnic Minang in Kinali against ethnic Mandailing in various facets of life which they live for these finally bear aversion to mambaur and mingle normal and reasonable.Kinali adalah daerah yang ditinggali beragam etnik dengan latar budaya yang berbeda, yakni etnik Minankabau, Mandailing, dan Jawa. Daerah yang terdiri dari beragam etnik, selalu ada potensi munculnya konflik. Konflik yang terjadi pada tahun 1999 antara etnik Minang dan etnik Mandailing di latarbelakangi karena kesalahpahaman antara kedua etnik yang bertikai yaitu etnik Minang dan etnik Mandailing akhirnya berujung ke konflik besar yang bersifat anarkis. Dampak dari konflik di Kecamatan Kinali Pasaman Barat terhadap masyarakat dilihat dari faktor sosial budaya yaitu masyarakat lebih memilih untuk tidak bersosialisasi dan berinteraksi dengan etnik lain, pada faktor sosial ekonomi konflik berdampak kepada terjadinya penurunan penghasilan masyarakat dan daerah karena pasca konflik masyarakat memilih untuk tidak berinteraksi dan salah satunya tidak kepasar. Faktor sosial politik yaitu sikap orang etnik Mandailing yang tidak adaptif dalam pola hubungannya dengan kebudayaan dominan yang ada di Kinali disebabkan oleh sikap deskriminatif etnik Minang di Kinali terhadap etnik Mandailing dalam berbagai segi kehidupan yang mereka jalani selama ini yang akhirnya berbuah keengganan untuk mambaur dan bergaul secara normal dan wajar.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Pawera, Lukas, Ali Khomsan, Ervizal A. M. Zuhud, Danny Hunter, Amy Ickowitz, and Zbynek Polesny. "Wild Food Plants and Trends in Their Use: From Knowledge and Perceptions to Drivers of Change in West Sumatra, Indonesia." Foods 9, no. 9 (September 4, 2020): 1240. http://dx.doi.org/10.3390/foods9091240.

Full text
Abstract:
Wild food plants (WFPs) are often highly nutritious but under-consumed at the same time. This study aimed to document the diversity of WFPs, and assess perceptions, attitudes, and drivers of change in their consumption among Minangkabau and Mandailing women farmers in West Sumatra. We applied a mixed-method approach consisting of interviews with 200 women and focus group discussions with 68 participants. The study documented 106 WFPs (85 species), and Minangkabau were found to steward richer traditional knowledge than Mandailing. Although both communities perceived WFPs positively, consumption has declined over the last generation. The main reasons perceived by respondents were due to the decreased availability of WFPs and changes in lifestyle. The contemporary barriers to consuming WFPs were low availability, time constraints, and a limited knowledge of their nutritional value. The key motivations for their use were that they are free and “unpolluted” natural foods. The main drivers of change were socio-economic factors and changes in agriculture and markets. However, the persistence of a strong culture appears to slow dietary changes. The communities, government and NGOs should work together to optimize the use of this food biodiversity in a sustainable way. This integrated approach could improve nutrition while conserving biological and cultural diversity.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Undri, Undri. "MIGRASI DAN INTERAKSI ANTARETNIS DI KABUPATEN PASAMAN BARAT PROVINSI SUMATERA BARAT." JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA 4, no. 2 (July 17, 2019): 1189–210. http://dx.doi.org/10.36424/jpsb.v4i2.66.

Full text
Abstract:
Tulisan ini menjelaskan tentang migrasi dan interaksi antaretnisyakni Minangkabau, Mandailing, dan Jawa di daerah Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat. Interaksi ketiga etnis tersebut tidak terlepas dari proses migrasi. Di rantaunyaMinangkabau tersebut etnik Minangkabau sebagai penduduk asli (urang asa) menganggap dua etnis yakni Mandailing dan Jawa sebagai penduduk pendatang (urang datang). Penelitian ini mengunakan metode penelitian sejarah. Dalam metode penelitian sejarah ada empat tahapan penting yakni pertama heuristic,mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah atau pengumpulan sumber, Kedua, kritik menilai otentik atau tidaknya suatu sumber dan seberapajauh kredibilitas sumber. Ketiga, sintesis dari fakta yang diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga kredibilitas sumber, dan keempat, penyajian hasilnya dalam bentuk tertulis. Hasil penelitian yakni di daerah Pasaman Barat telah terjadi interaksi ketiga etnis tersebut. Interaksi tidak terlepas dari proses migrasi. Dari proses migrasi dan interaksi elah terjadi perkawinan campuran. Salah satu daerah yang paling menarik yakni Nagari Jambak. Sebuah daerah yang berada di Pasaman Barat dan ditempatioleh tiga etnis tersebut. Perkawinan campuran antar etnis telah terjadi di daerah tersebut, perkawinan campuran yang berbeda tentu membawa perubahan dari masing-masing etnik terutama menyangkut keyakinan dan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat dan juga memperluas jaringan kekerabatan. Perkawinan campuran dalam masyarakat yang multienik membentuk keyakinan penduduk bahwa tidak ada lagi perbedaan antar etnik, berguna untuk menghilangkan streotype etnik yang tidak baikterhadap etnik lainnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
More sources

Books on the topic "Mandailing minangkabau"

1

Pelly, Usman. Urbanisasi dan adaptasi: Peranan misi budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES, 1994.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Suprapti, Mc. Budaya masyarakat perbatasan di Muarasipongi, Provinsi Sumatra Utara: Studi tentang adaptasi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan Masa Kini, 1998.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Astuti, Renggo. Budaya masyarakat perbatasan: Hubungan sosial antargolongan etnik yang berbeda di daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan Masa Kini, 1998.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

urbanisasi dan adaptasi. Pustaka LP3 ES Jakarta, 1998.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography