To see the other types of publications on this topic, follow the link: Mandailing minangkabau.

Journal articles on the topic 'Mandailing minangkabau'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 24 journal articles for your research on the topic 'Mandailing minangkabau.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Febrianto, Adri, Etmi Hardi, and Bustamam . "Orang Minangkabau dan Batak Mandailing di Nagari Buayan." Humanus 10, no. 1 (July 30, 2012): 1. http://dx.doi.org/10.24036/jh.v10i1.296.

Full text
Abstract:
The author described, integration between two ethnics Minangkabau and Batak Mandailing was running at Buayan, a small village in West Sumatera. It caused by the Batak Mandailing adaptation ability and tolerance nature Minangkabau people. The sameness of religion (Islam) is the push factor to their integration. In addition, the long process of socialization that occurs in people Mandailing of Minangkabau cultural trait, as well as the amalgamation and the dominance of Minangkabau culture. It described by consider of some daily activities and special event, like badoncek at marital ceremony. Although the description was not neglect conflict, but conflicts at Buayan were not expanding in society before, and they have the musyawarah as the resolution conflict mechanism. All processes that occur precisely shows the acculturation from Minangkabau cultural trait to the Mandailing. Key words: ethnical working culture, civil servants, civil society, democracy
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Wahyuni, Aguswita, and Nurman Nurman. "Dampak Perkawinan Adat Antar Etnis Mandailing dengan Etnis Minangkabau Terhadap Kekerabatan dan Hak Waris Anak di Kabupaten Pasaman." Journal of Civic Education 2, no. 5 (December 19, 2019): 380–89. http://dx.doi.org/10.24036/jce.v2i5.279.

Full text
Abstract:
Tujuan artikel ini untuk mengungkapkan bagaimana dampak perkawinan adat antar etnis Mandailing dengan Etnis Minangkabau terhadap sistem kekerabatan dan hak waris di Nagari Lansek Kadok Kecamatan Rao Selatan Kabupaten Pasaman. Informan penelitian ini adalah Wali Nagari Rao Selatan, Pengurus KAN, tokoh adat Mandailing dengan Minangkabau dan Masayarakat yang melakukan perkawinan antar etnis adat serta masyarakat yang tidak melakukan perkawinan antar etnis adat. Data ini di diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan adat antar etnis Mandailing dengan etnis Minangkabau mempunyai dampak terhadap sistem kekerabatan dan hak waris anak. Dampaknya adalah sistem kekerabatan anak di akui baik dikeluarga ayah dan ibu tetapi ketika anak dewasa mereka lebih dekat dengan kekerabatan ibunya. Dari hasil pernikahan suami etnis Minangkabau dengan istri etnis Mandailing adalah anak-anak tidak dekat dengan kekerabatan ayah dan ibunya sehingga ketika dewasa, dia mencari keluarga angkat baik dari pihak ayah maupun ibunya. Dari aspek pembagian hak waris suami etnis Mandailing dengan istri etnis Minangkabau, dampaknya adalah anak laki-laki dengan anak perempuan sama-sama sebagai ahli waris dari orang tuanya dan memperebutkan hak waris orang tuanya. Jika suami dari etnis Minangkabau dengan istri etnis Mandailing dampaknya adalah hak waris orang tua tidak bisa diturunkan kepada anak sehingga keluarga ini tidak lagi memakai hukum waris adat tetapi memakai hukum waris menurut ajaran agama islam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Zebua, Ali Marzuki. "Muhammadiyah dan Al-Washliyah di Sumatera Utara; Sejarah, Ideologi, dan Amal Usahanya." Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 19, no. 01 (September 22, 2019): 58–69. http://dx.doi.org/10.32939/islamika.v19i01.397.

Full text
Abstract:
Minangkabau and Mandailing are two different ethnicities. Minangkabau ethnicity has a modernist dominant Muslim and has a matrilineal tradition. While the Mandailing ethnic group has a conservative dominant Islam and has a patrilinear tradition. Of the two ethnic groups, two large organizations were born on the island of Sumatra, namely Muhammadiyah from the Minangkabau ethnic group identified with Pemuda and Al-Washliyah from the Mandailing ethnic group identified with Kaum Tua, both of which had major influences in education, culture and health and politics. . In this case, it is necessary to see how history, ideology, and charitable endeavours from these two large organizations influence change at the local and national scale. Minangkabau dan Mandailing adalah dua etnis yang berbeda. Etnis Minangkabau memiliki pemeluk Islam yang dominan modernis serta memiliki tradisi matrilinear. Sedangkan etnis Mandailing memiliki pemeluk Islam yang dominan konservatif serta memiliki tradisi patrilinear. Dari dua etnis ini terlahir dua oragnisasi besar di pulau Sumatera, yakni Muhammadiyah dari etnis Minangkabau yang diidentikkan dengan Kaum Muda dan Al-Washliyah dari etnis Mandailing yang diidentikkan dengan Kaum Tua, yang keduanya memiliki pengaruh besar baik di bidang pendidikan, kebudayaan maupun bidang kesehatan dan politik. Terkait dengan hal ini kiranya perlu melihat bagaimana sejarah, ideologi dan amal usaha dari dua organisasi besar ini yang mempengaruhi perubahan pada skala lokal maupun Nasional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Suhaimar, Lisa, and Susi Fitria Dewi. "Akulturasi Budaya Pada Perkawinan Etnis Mandailing dan Minangkabau Di Nagari Sontang." Journal of Civic Education 1, no. 2 (November 30, 2018): 116–22. http://dx.doi.org/10.24036/jce.v1i2.218.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai proses akulturasi budaya pada perkawinan Etnis Mandailing dan Minangkabau di Nagari Sontang Cubadak. Penelitian menggunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui hasil wawancara dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat, observasi dan melalui dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya interaksi yang terjadi antara masyarakat Mandailing dan Minangkabau mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi budaya yang terjadi antara kedua etnis ini dapat dilihat dari proses perkawinan masyarakat Mandailing yang sudah mengadopsi beberapa budaya Minangkabau. Akulturasi budaya yang terjadi di daerah ini diakibatkan adanya perkawinan antar etnis, migrasi dan interaksi antar etnis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Kamal, Muhiddinur. "HARMONY IN DIVERSITY: STUDY ON POTENTIAL HARMONIOUS MULTICULTURAL SOCIETY "PANTARA" REGIONS (PANTI-TAPUS-RAO) NORTHERN BORDER OF WEST SUMATRA." Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies 4, no. 2 (December 25, 2018): 148. http://dx.doi.org/10.30983/islam_realitas.v4i1.511.

Full text
Abstract:
Pantara region (Panti-Tapus-Rao) is an area that lies on the border north Sumatra Indonesia consists of diverse cultures, ethnicities, races and religions. This area is a picture of a multicultural society, scattered in various corners of the village. The society of Pantara is a homogeneous society both in terms of custom and religion in Minangkabau. During the era Pagaruyung Kingdom in Minangkabau, Pantara region was given region's special autonomy status called "Lordship of Padang Nunang" located in Rao. The status of “Lordship” as shoreline areas (regions in power) is given by the special autonomous kingdom of Pagaruyung, contributing to strengthen society of "Pantara" as an honor for indigenous of Minangkabau tradition which holds the tradition of, "Tradition founded upon Islamic law, Islamic law founded upon the Qur'an" (adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah). The massive arrival of Batak Toba and Mandailaing in the early days of independence to Pantara region(Panti-Tapus-Rao), change homogenous society into a heterogeneous society. The diversity in Pantara region covers ethnicity and culture as well as diversity in religion. Batak Toba and Mandailing society share the same patrilineal culture, but they are different in terms of religion. Batak Toba society made Protestants association or better known as HKBP while Mandailing community embraced Islam. Minangkabau people have the same religion as the Mandailing, because both are Moslem but they are different in customs. Mandailing embraced patrilineal while indigenous Minangkabau is matrilineal. On the other hand, Batak and Minang people different both in religion and culture. Batak are Christians while the Minangkabau are Muslims. The presence of Javanese people who come when it was brought by the Dutch, and the arrival of Malay people who chose to stay in the region participated Pantara enrich the diversity of Pantara region. Pantara region now has turned into a society that is heterogeneous in terms of ethnicity, religion, culture and language, they are live together in harmony, although sometimes arise, but can be mitigated and resolved quickly.There are some factors to live in harmony in diversity within the multicultural society of Pantara: 1). Understanding of religious teachings which are sublime and peaceful, 2). Values of local wisdom, 3). Recognition of newcomers, 4). And the pattern of leadership in the community
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Dalimunthe, Sri. "HUBUNGAN KEKERABATAN BAHASA BATAK MANDAILING DAN BAHASA TANAH ULU (SUATU KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF)." MEDAN MAKNA: Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesastraan 16, no. 1 (June 18, 2018): 84. http://dx.doi.org/10.26499/mm.v16i1.2276.

Full text
Abstract:
Bahasa Batak Mandailing dan Bahasa Tanah Ulu adalah dua bahasa yang dituturkan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Bahasa Tanah Ulu (BTU) khususnya dituturkan di Kecamatan Muarasipongi dan bahasa Batak Mandailing (BBM) umumnya dituturkan di hampir semua wilayah Kabupaten Mandailing Natal. Kecamatan Muarasipongi berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat, jadi BTU dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau (bahasa di Provinsi Sumatera Barat). Penutur BTU bisa berbahasa Minangkabau dan BBM, tetapi penutur BBM dan bahasa Minangkabau tidak mengerti BTU. Hal tersebut membuat peneliti menganalisis bagaimana hubungan kekerabatan BBM dan BTU. Seberapa jauh tingkat kekerabatan kedua bahasa tersebut akan dijelaskan melalui teknik perbandingan dan teknik penghitungan waktu pisah kedua bahasa tersebut. Metode yang digunakan adalah metode komparatif dengan teknik leksikostatistik yang berupaya membandingkan kedua bahasa tersebut untuk mendeskripsikan hubungan keduanya. Dengan menggunakan 200 kosakata dasar Swadesh sebagai bahan analisis, ditemukan kesamaan leksikon keduanya sekitar 35%. Dari jumlah persentase kekerabatan tersebut dikelompokkan bahwa BBM dan BTU adalah keluarga dari satu rumpun. Selanjutnya, dihitung waktu pisah kedua bahasa yang dibandingkan dan hasilnya adalah 2.419. Artinya, BBM dan BTU adalah bahasa yang berkerabat dan merupakan satu bahasa yang sama sekitar 2419 tahun yang lalu atau sekitar tahun 401 Sebelum Masehi (dihitung dari tahun 2018), sebelum akhirnya berpisah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Kamal, Muhiddinur, and Syafwan Rozi. "THE CULTURED ISLAM: THE BOUNDARY OF ISLAMIC IDENTITY BETWEEN THE MINANGKABAU AND MANDAILING ETHNICS." El-HARAKAH (TERAKREDITASI) 22, no. 2 (November 5, 2020): 223–43. http://dx.doi.org/10.18860/eh.v22i2.9021.

Full text
Abstract:
The relationship between Islam and culture was compatible and not antonym. Islam was a dynamic product and a long-term process of giving and receiving in the dynamics and social interaction of its people. The contradiction between the ideal demands of religion and the demands of tradition and the social reality of society was a crucial problem faced by any religion in the world, but adjustments to social reality always occurred. The Islamic community in the Minangkabau border area was a cultural community that had and continued to confirm genuinely and became accommodative openness in resolving the contradictions of adat and Islam which were in principle very apparent in their cultural systems. Through ethnographic research, this article revealed that conflicts and contradiction between the normative concepts of Islam and adat always occurred in societies inhabited by the Minangkabau and Mandailing ethnic groups, especially related to marriage, kinship, inheritance system and communal property ownership. But the process always ran elegantly and attractively through the dialectics and dynamics of the people. Thus, Islam was culturally acculturated with Minangkabau culture and Mandailing culture and formed a distinctive cultural Islamic identity in the border area. Relasi Islam dengan kebudayaan adalah sesuatu yang selaras dan bukan antonim. Islam adalah produk dinamis dan proses dalam jangka panjang, yang saling memberi dan menerima dalam dinamika dan interaksi sosial masyarakatnya. Kontradiksi antara tuntutan ideal agama dan tuntutan tradisi serta realitas sosial masyarakat merupakan persoalan krusial yang dihadapi agama apapun di dunia, namun penyesuaian realitas sosial selalu terjadi. Masyarakat Islam di daerah perbatasan Minangkabau adalah komunitas budaya yang telah dan terus melakukan konfirmitas secara genuine serta akomodatif terbuka dalam menyelesaikan kontradiksi adat dan Islam yang secara prinsip sangat kentara dalam sistem budaya mereka. Melalui penelitian etnografi, artikel ini mengungkap bahwa konflik dan pertentangan antara konsep normatif Islam dengan adat selalu terjadi dalam masyarakat yang dihuni oleh etnik Minangkabau dan etnik Mandailing, terutama masalah perkawinan, kekerabatan, sistem kewarisan dan kepemilikan harta komunal. Namun proses itu selalu berjalan secara elegan dan atraktif melalui dialektika dan dinamika masyarakatnya. Sehingga, Islam secara kultur berakulturasi dengan budaya Minangkabau dan budaya Mandailing dan membentuk identitas Islam kultur yang khas di daerah perbatasan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Ibrahim, Welly, Ansofino Ansofino, and Ahmad Nurul Huda. "DAMPAK SOSIAL KONFLIK ETNIK DI KINALI 1999-2010." Jurnal Ilmu Sosial Mamangan 1, no. 2 (December 26, 2012): 73–84. http://dx.doi.org/10.22202/mamangan.v1i2.1353.

Full text
Abstract:
Kinali is an area inhabited by diverse ethnic with different cultures, namely Minangkabau, Mandailings, and Java. The area consists of diverse ethnic, there is always the potential for conflict. The conflict in 1999 between ethnic Minang and Mandailing in the wake of misunderstanding between the two warring ethnic ie ethnic Mandailing ethnic Minang and eventually led to a major conflict anarchistic. The impact of the conflict in the district Kinali West Pasaman on society viewed from social and cultural factors that people prefer not to socialize and interact with other ethnic groups, the social and economic factors of conflict have an impact on the decrease in public income and region for post-conflict societies choose to not interact and one of which is not to the market. Social factors are political, namely the attitude of the ethnic Mandailing are not adaptive in the pattern of relationship with the dominant culture in Kinali caused by the attitude of discriminative ethnic Minang in Kinali against ethnic Mandailing in various facets of life which they live for these finally bear aversion to mambaur and mingle normal and reasonable.Kinali adalah daerah yang ditinggali beragam etnik dengan latar budaya yang berbeda, yakni etnik Minankabau, Mandailing, dan Jawa. Daerah yang terdiri dari beragam etnik, selalu ada potensi munculnya konflik. Konflik yang terjadi pada tahun 1999 antara etnik Minang dan etnik Mandailing di latarbelakangi karena kesalahpahaman antara kedua etnik yang bertikai yaitu etnik Minang dan etnik Mandailing akhirnya berujung ke konflik besar yang bersifat anarkis. Dampak dari konflik di Kecamatan Kinali Pasaman Barat terhadap masyarakat dilihat dari faktor sosial budaya yaitu masyarakat lebih memilih untuk tidak bersosialisasi dan berinteraksi dengan etnik lain, pada faktor sosial ekonomi konflik berdampak kepada terjadinya penurunan penghasilan masyarakat dan daerah karena pasca konflik masyarakat memilih untuk tidak berinteraksi dan salah satunya tidak kepasar. Faktor sosial politik yaitu sikap orang etnik Mandailing yang tidak adaptif dalam pola hubungannya dengan kebudayaan dominan yang ada di Kinali disebabkan oleh sikap deskriminatif etnik Minang di Kinali terhadap etnik Mandailing dalam berbagai segi kehidupan yang mereka jalani selama ini yang akhirnya berbuah keengganan untuk mambaur dan bergaul secara normal dan wajar.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Pawera, Lukas, Ali Khomsan, Ervizal A. M. Zuhud, Danny Hunter, Amy Ickowitz, and Zbynek Polesny. "Wild Food Plants and Trends in Their Use: From Knowledge and Perceptions to Drivers of Change in West Sumatra, Indonesia." Foods 9, no. 9 (September 4, 2020): 1240. http://dx.doi.org/10.3390/foods9091240.

Full text
Abstract:
Wild food plants (WFPs) are often highly nutritious but under-consumed at the same time. This study aimed to document the diversity of WFPs, and assess perceptions, attitudes, and drivers of change in their consumption among Minangkabau and Mandailing women farmers in West Sumatra. We applied a mixed-method approach consisting of interviews with 200 women and focus group discussions with 68 participants. The study documented 106 WFPs (85 species), and Minangkabau were found to steward richer traditional knowledge than Mandailing. Although both communities perceived WFPs positively, consumption has declined over the last generation. The main reasons perceived by respondents were due to the decreased availability of WFPs and changes in lifestyle. The contemporary barriers to consuming WFPs were low availability, time constraints, and a limited knowledge of their nutritional value. The key motivations for their use were that they are free and “unpolluted” natural foods. The main drivers of change were socio-economic factors and changes in agriculture and markets. However, the persistence of a strong culture appears to slow dietary changes. The communities, government and NGOs should work together to optimize the use of this food biodiversity in a sustainable way. This integrated approach could improve nutrition while conserving biological and cultural diversity.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Undri, Undri. "MIGRASI DAN INTERAKSI ANTARETNIS DI KABUPATEN PASAMAN BARAT PROVINSI SUMATERA BARAT." JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA 4, no. 2 (July 17, 2019): 1189–210. http://dx.doi.org/10.36424/jpsb.v4i2.66.

Full text
Abstract:
Tulisan ini menjelaskan tentang migrasi dan interaksi antaretnisyakni Minangkabau, Mandailing, dan Jawa di daerah Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat. Interaksi ketiga etnis tersebut tidak terlepas dari proses migrasi. Di rantaunyaMinangkabau tersebut etnik Minangkabau sebagai penduduk asli (urang asa) menganggap dua etnis yakni Mandailing dan Jawa sebagai penduduk pendatang (urang datang). Penelitian ini mengunakan metode penelitian sejarah. Dalam metode penelitian sejarah ada empat tahapan penting yakni pertama heuristic,mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah atau pengumpulan sumber, Kedua, kritik menilai otentik atau tidaknya suatu sumber dan seberapajauh kredibilitas sumber. Ketiga, sintesis dari fakta yang diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga kredibilitas sumber, dan keempat, penyajian hasilnya dalam bentuk tertulis. Hasil penelitian yakni di daerah Pasaman Barat telah terjadi interaksi ketiga etnis tersebut. Interaksi tidak terlepas dari proses migrasi. Dari proses migrasi dan interaksi elah terjadi perkawinan campuran. Salah satu daerah yang paling menarik yakni Nagari Jambak. Sebuah daerah yang berada di Pasaman Barat dan ditempatioleh tiga etnis tersebut. Perkawinan campuran antar etnis telah terjadi di daerah tersebut, perkawinan campuran yang berbeda tentu membawa perubahan dari masing-masing etnik terutama menyangkut keyakinan dan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat dan juga memperluas jaringan kekerabatan. Perkawinan campuran dalam masyarakat yang multienik membentuk keyakinan penduduk bahwa tidak ada lagi perbedaan antar etnik, berguna untuk menghilangkan streotype etnik yang tidak baikterhadap etnik lainnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Noviardi, Noviardi, and Syafwan Rozi. "Penerapan nilai toleransi antar budaya dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarakat perbatasan di Rao Pasaman Sumatera Barat." Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 17, no. 1 (June 30, 2017): 85. http://dx.doi.org/10.18326/ijtihad.v17i1.85-112.

Full text
Abstract:
The Rao community on the border of West Sumatra inhabited by ethnic Minangkabau and ethnicMandailing is a plural society that embraces two kinship systems. The patrilineal, the matrilineal, and theparent. But in the process of their interaction for decades there has been interaction through culturaltolerance in the kinship system. Here the birth of a parental kinship and familial system is the mostdominant character in this multi ethnic Rao region as a new kinship system built in their social interactionprocess for hundreds of years. This system also affects the inheritance division system in theirinteractions. As for the inheritance distribution system, indigenous peoples of the border, especially theRao area, have applied several types of inheritance distribution: First, Rao customary people use the newcustomary law of parental system which combines two customs as the first spear in determininginheritance. Second, they use Islamic law, because the Minangkabau and Mandailing are Moslems, so theyuse Islamic law in the inheritance. Third, they use national law, because if customary law and Islamic lawdo not want to be used then they use national law. These three systems are all intercultural toleranceamid differences in their customary system between Minangkabau adat matrineal system and Mandailingcustom patrineal system.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Sukatno, Sukatno. "KONSEP DIRI REMAJA DITINJAU DARI LATAR BELAKANG BUDAYA MANDAILING DAN BUDAYA MINANGKABAU SERTA IMPLIKASINYA DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING." Bikotetik (Bimbingan dan Konseling: Teori dan Praktik) 3, no. 1 (September 3, 2019): 30. http://dx.doi.org/10.26740/bikotetik.v3n1.p30-34.

Full text
Abstract:
Budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Indonesia memiliki banyak keberagaman budaya, salah satunya adalah kebudayaan yang berkembang dikalangan remaja.Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif artinya penelitian dilakukan secara mendalam serta menggunakan pendekatan deskriptif yang bermaksud untuk mendapatkan gambaran tentang konsep diri remaja pada budaya mandailing dan budaya minangkabau.Hasil penelitian adalah Orang Minang berpandangan bahwa hidup pada hakikatnya baik, karena itu tujuan hidup adalah berbuat kebaikan atau jasa, “hiduik bajaso, mati bapusako”, mereka ibaratkan: gajah mati maninggakan gadiang, harimau mati maninggkan baling, manudia mati maninggakan namo”. Pepatah itu mengisyaratkan bahwa hidup adalah menghasilkan, setiap orang harus bekerja dan produktif sewaktu ia hidup sehingga dapat meninggalkan sesuatu apabila telah meninggal. Sebagai individu orang Minang sangat egaliter, hal itu dinyatakan dalam ungkapan “duduk samo randah tagak samo tinggi. Ungkapan ini membuka kesempatan kepada setiap individu untuk mencari yang terbaik, karena setiap orang itu pada prinsipnya menpunyai hak yang sama dalam berinisiatif dan memutuskan sesuatu. Masyarakat mandailing dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sosial yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan meninjau partisipasi masyarakat dalam menghadiri berbagai acara dan peristiwa yang terjadi di daerah pemukiman sukunya seperti menghadiri takjiah, mengadakan pengajian, menghadiri kemalangan (melayat), mengunjungi orang yang sedang sakit, dan sebagainya. Saran terhadap penelitian ini, penelitian ini akan lebih baik jika dikembangkan lagi secara mendalam mengenai dua latar belakang budaya yang sangat berbeda. Baik ditinjau dari sifat, karakteristik, adat-istiadat, suku dan kebiasaan hidup.Kata kunci : Budaya ; sosial ; pendekatan deskriptif
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Rozi, Fachrur, and Husni Setiawan. "Cultural Development Dalam Sistem Pemerintahan Lokal: Sistem Pemerintahan Nagari pada Masyarakat Etnis Mandailing di Nagari Rabi Jonggor Kecamatan Gunung Tuleh Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat." Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik 3, no. 2 (June 29, 2019): 125–42. http://dx.doi.org/10.25077/jakp.3.2.125-142.2018.

Full text
Abstract:
Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, semakin memberikan penguatan dalam pembangunan sistem pemerintahan lokal yang didasarkan pada hak asal usul dan hak adat istiadat masyarakat setempat. Di Provinsi Sumatera Barat, sistem pemerintahan desa atau yang disebut dengan nagari merupakan sistem pemerintahan lokal yang menggunakan adat Minangkabau sebagai landasan utama dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, sistem Pemerintahan Nagari ini tidak sesuai dengan realitas yang terjadi pada masyarakat di Nagari Rabi Jonggor Kecamatan Gunung Tuleh Kabupaten Pasaman Barat yang ber-etnis Mandailing. Masyarakat Nagari Rabi Jonggor mempraktekkan Sistem Raja yang didasarkan pada adat istiadat Mandailing, meskipun dalam sistem Pemerintahan Nagari tidak mengenal raja. Artikel ini adalah hasil dari sebuah kajian yang ditujukan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisispembangunan sistem pemerintahan lokal yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat. Kasus yang dikaji adalah kasus yang terjadi pada sistem pemerintahan lokal di Nagari Rabi Jonggor Kabupaten Pasaman Barat. Di dalam pelaksanaan sistem pemerintahan lokal di Nagari Rabi Jonggor, terlihat bahwa adanya praktek sistem Pemerintahan Raja di dalam sistem Pemerintahan Nagari. Hal ini terjadi karena Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Pasaman Barat cenderung memaksakan pelaksanaan sistem Pemerintahan Nagari pada masyarakat yang ber-etnis Mandailing. Pemerintah Daerah tidak mengatur dan memberi kepastian hukum terhadap peran dan fungsi Raja Adat Mandailing dalam sistem kehidupan bernagari. Padahal peran dan fungsi Raja Adat ini dipandang sebagai sebuah status yang penting dalam pengendalian masalah dan pengaturan kehidupan masyarakat setempat. Kondisi ini, menimbulkan kesan bahwa pembangunan sistem pemerintahan lokal yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat dilakukan dengan setengah hati. Penting kiranya bagi Pemerintah Daerah untuk mempertimbangkan dimensi cultural development dalam pembangunan sistem pemerintahan lokal. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di dalam Peratutan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari pasal 23 dinyatakan bahwa pembentukan Desa Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Samri, Wannofri. "MEDAN PRESS: NATIONAL IDENTITY FINDING PROCESS." Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah 12, no. 1 (July 23, 2018): 172. http://dx.doi.org/10.17509/historia.v12i1.12126.

Full text
Abstract:
Medan has grown really fast since the farm development in Deli, East Sumtara has begun in the end !9th century. The development contributed a great impact to the development of the area sorounding East Sumtra. The cities surrounding the plantation had developed fast. Medan is one of the cities that develeloped as the impact of the wide development of the Ducth’s colonial platation, followed by a great migration to that area from various nation. One of the most important development was Medan as a growing publishing center, both for book and mass media, such as magazine and news paper. The publishing figures came from various races, ethnics, and cultures, particularly from Aceh, Minangkabau, Java, Mandailing, and Batak. In addition, foreing publisher also existed, such as Europ, China, and India. Medan press development was good in the movements era, it considered as equal as Batavia, Surabaya, and Padang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Sahrul, Sahrul, and Afrahul Fadhila Daulai. "KEARIFAN LOKAL DALIHAN NA TOLU, NINIK MAMAK DAN KERAPATAN ADAT NAGARI DALAM MENJAGA KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA DI SUMATERA BARAT DAN SUMATERA UTARA." MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 43, no. 2 (December 30, 2019): 300. http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v43i2.606.

Full text
Abstract:
<p><strong>Abstrak:</strong> Studi ini menganalisis peran kearifan lokal dalihan na tolu, ninik mamak dan Kerapatan Adat Nagari dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Pasaman Barat dan Kabupaten Mandailing Natal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana data diperoleh melalui wawancara, pengamatan dan studi dokumen. Teknik analisis data menggunakan model Miles dan Huberman. Penelitian ini menemukan bahwa kearifan lokal dalihan na tolu di Kabupaten Madina berperan penting dari segi agama, budaya dan sosial dalam menjaga kerukunan antarumat beragama, karena menerapkan nilai budaya religius, menjaga kekerabatan, humajuon, hasangapon, uhum, pengayom kepada masyarakat dan mengelola konflik. Sedangkan di Kabupaten Pasaman Barat, peranan ninik mamak dan Kerapatan Adat Nagari belum optimal di dalam melaksanakan fungsinya karena minimnya dialog dan kerjasama dengan Forum Kerukunan Umat Beragama.</p><p><strong>Abstract:</strong> Local Wisdom Dalihan Na Tolu, Ninik Mamak and Kerapatan Adat Nagari in Maintaining Inter-religious Harmony in West and North Sumatera. This study aims to analyze the role of local wisdoms in maintaining inter-religious harmony in West Pasaman and Mandailing Natal Regency. This research is a qualitative study in which data is obtained through interviews, observations and document studies. Data analysis techniques employ the Miles and Huberman models. This study proposed that the local wisdoms of dalihan na tolu in Madina Regency, play an important role of religion, social and culture in maintaining inter-religous harmony, since it apply seven religious values of humajuon, hasangapon, uhum, and managing the conflict. Meanwhile, in the West Pasaman the role of the ninik mamak and the Kerapatan Adat Nagari still need to be optimized in safeguarding religious harmony which might arise from the lack of dialogue and cooperation with Religious Harmony Forum (FKUB).</p><p><strong>Kata Kunci:</strong> Mandailing, Minangkabau, kearifan lokal, dialog, agama-agama</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Samry, Wannofri. "THE ROLE OF MASS MEDIA AND MINANGKABAU IDENTITY." Book Chapters of The 1st Jakarta International Conference on Social Sciences and Humanities (JICoSSH) 1 (January 25, 2019): 52–64. http://dx.doi.org/10.33822/jicossh.v1i1.1.

Full text
Abstract:
Since early of twentieth century mass media is one of the professional jobs which they done By Minangkabau People, both as journalist or auhtor and publisher. Beside as teacher carier, It seems that the mass media is the professional field that done ealiest of them. Establishing of Minangkabau identity is closely ralated to existence of mass media; with mass media progressing and having dialectic. The intelectual richness of Minangkabau since the early 20th century was known at national level is also not separated from the existence of mass media. Their identity also determained by the mass media; locality, nationalism and globalization influences are processed in mass media to form different Minangkabau world from time to time. This paper presents the establishing of the identiy of Minangkabau people through the mass media on various problem in a historical perspective, mainly after 1950’s. REFERENCES A.A. Navis, 1986. Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning, Jakarta: Grafiti Pers. Abrar Yusra, 1994. Otobiografi A.A. Navis Satiris dan Suara Kritis dari daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Abrar Yusra, ed., 1997. Tokoh yang Berhati Rakyat: Biografi Harun Zain, Jakarta: Gebu Minang. Abrar Yusra et. al, 2016. Bung Nasrul Siddik, Jakarta: Teras Cajrawala Ilmu. Abrar Yusra, 2009. H. Basril Djabar Sahabat Kita, Padang: Genta Singgalang Press. Abrar Yusra, ed. 2009. Sekali di Daerah tetap di Daerah: Otobiografi H. Basril DJabar Sebagaimana Dituturkan kepada Abrar Yusra, Padang: Genta Singgalang Press. Azyumardi Azra, 2003. Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Yogyakarta: Logos. Anderson, B, 2001. Imagined Commuunity: Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist. Feith, Herbert, & Lance Castles, ed., 1988.. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES Grave, E.E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Moderen Respons TerhadapKolonial Belanda Abad XIX/XX, Jakarta: YOI. Halida Hanum, 1993. Surat Kabar Aman Makmur 1963-1971, thesis Degree, Faculty of Letters, Andalas University. Hasril Chaniago & Khairul Jasmi, 1998. Brigadir Jenderal Polisi Kaharoedin Datuk Rangkayo Basa, Jakarta: Sinar Harapan. Harian Haluan, 1970-2017. Harian Singgalang 1969-2017. Jansson, David R, 2003. “American National Identity and The Progress of the New South in National”, Geographical Review; 93 (3) p. 350 Kasoema, 1958. Persuratkabaran di Sumatera Tengah in Kenangan Sekilas Sejarah Perdjuangan Pers Sebangsa, Jakarta: SPS. Labeș, Sebastian Andrei, n.y. “Globalization and Cultural Identity Dilemas”, CES Working Papers – Volume VI, Issue 1 Loeb, Edwin M., 1972. Sumatra Its History and People, Kualalumpur-Jakarta: Oxford University Press. Maryn, L John and Anju Chaudary, 1997. Sistem Media Massa Suatu Perbandingan, Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. M.D. Mansoer, et.al. 1970. Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara. Mohammad Hatta, 1960. Demokrasi Kita, Jakarta: Pustaka Antara P.T. Oman Fahurrahman, 2008. Tarekat Syatariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group-EFEO-KITLV. Perret, Daniel, 2010. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur, Jakarta: KPG-EFEO-P3AN. Usman Pelly, 1998. Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES. Saafroedin Bahar, 2015. Etnik, Elite dan Integrasi Nasional : Minangkabau 1945-1984, Republik Indonesia 1985-2015, Yogyakarta: Gre Publishing. Sen, Amartya, Ed. 2007. Peace and Democratic Society, Open Book Publishers. Katić, Mario, Nataša Gregorič Bon, John Eade, 2017.”Landscape and heritage Interplay:Spatial and temporal explorations” pp. 5-18 in Anthropological Notebooks, XXIII/3, Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau world: West Sumatera in Early Decades of theTwentieth Century” in Claire Holt, Culture and Politic in Indonesia, Singapore: Equinox Publishing PTE LTD, 2007. Taufik Abdullah, 2018. Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatera Barat 1927-1933, Yogyakarta: Suara Muhammadyah. Wannofri Samry,2013. "Penerbitan Akhbar dan Majalah di Sumatera Utara 1902-1942: Proses perjuangan Identiti dan Nasionalisme. Disertasi PhD, Universiti Kebangsaan Malaysia. Wannofri Samry, 2011. "Medan Press: National Identity Finding Process ", Historia Vol. XII, no. 1 Wannofri Samry, 2012. "Ideas and Activities of Journalists of Minangkabau Women in the Dutch Colonial Period", Jebat: Malaysian Journal of History, Politics and Strategic Studies, 39 (2).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Matondang, Saiful Anwar. "Sustainability Effort of Traditional “Lubuk Larangan” Forbidden Deep Pool Stream." WSEAS TRANSACTIONS ON ENVIRONMENT AND DEVELOPMENT 17 (February 24, 2021): 138–44. http://dx.doi.org/10.37394/232015.2021.17.14.

Full text
Abstract:
This research paper sought the river fish conservation data in Sumatra Island, which applies the local wisdom. An exploration research procedure was carried out toward the traditional “Lubuk Larangan”; a forbidden deep pool stream in preserving the river’s ecology and keep fish stock. The obtained data indicates that Lubuk Larangan cultural tradition revives since 1980. Now many villages in Sumatera have Lubuk Larangan Locations. Locations are scattered in the four provinces of Sumatera, such as West Sumatra, Jambi, Riau and North Sumatra. Data analysis shows that the merged of cultural tradition of Minangkabau of West Sumatera with innovation in handling Lubuk Larangan appeared and the Mandailing community of North Sumatera makes the local concession to improve Lubuk Larangan policy. The local community establishes Lubuk Larangan to restore the destructed environment and keep the life cycles of river fish. It is a sustainability way to overcome the exceeded fishing exploitation in the rivers.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Rasyidin, Al. "ORGANISASI ISLAM DI TANAH MELAYU: Ideologi dan Gerakan Al-Ittihadiyah Sebelum Era Reformasi." Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies 2, no. 1 (June 30, 2018): 50. http://dx.doi.org/10.30821/jcims.v2i1.1746.

Full text
Abstract:
<p><strong>Abstrak: </strong>Artikel ini menelaah organisasi Al-Ittihadiyah di Sumatera Utara. Secara khusus, artikel ini akan menguak ideologi yang diperjuangkan organisasi, amal usaha, serta perkembangannya di komunitas yang majemuk. Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan yang didukung oleh data lapangan. Metode yang digunakan adalah analisis isi. Artikel ini mengajukan temuan bahwa Al-Ittihadiyah merupakan salah satu organisasi Islam yang lahir di Kota Medan dimana kelompok ulama dan tokoh Melayu menjadi patron utama organisasi ini. Al-Ittihadiyah seakan menjadi corong bagi etnis Melayu di Sumatera Timur, dan ini yang membedakan mereka dengan etnis Minangkabau yang berafiliasi dengan Muhammadiyah dan etnis Mandailing yang berafiliasi dengan Al Jam’iyatul Washliyah. Selain itu, Al-Ittihadiyah sebagai organisasi tidak berafiliasi dengan mazhab akidah dan fikih tertentu, tetapi para pendukungnya adalah penganut mazhab Asy‘ariyah dan Syâfi‘iyah. Kemudian, Al-Ittihadiyah bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan amal sosial, meskipun mulai dari awal kemerdekaan Al-Ittihadiyah terlibat dalam Partai Masyumi, dan kelak tokoh-tokohnya melibatkan diri dalam PPP yang akhirnya membuat organisasi ini kalah bersaing dengan Al Washliyah dan Muhammadiyah dalam pengembangan amal usahanya. <strong></strong><br /> </p><p><strong>Abstract: Islamic Organization in Malay Land: Ideology and Movements of Al-Ittihadiyah Before-Reform Era.</strong> This article examines the Al-Ittihadiyah organization in North Sumatra, focusing on its ideology, programs, and its development in a pluralistic community. This article is based on content analysys study, combining literary information and field data. This article proposes that Al-Ittihadiyah was one of the Islamic organizations established in Medan City, initiated and patronized by Malay clerics and prominent figures. As such this organisation has a very close ties with Malays, very much like the association of the Minangkabaus with Muhammadiyah and Mandailings with Al Jam’iyatul Washliyah. In addition, Al-Ittihadiyah as an organization is not affiliated with certain schools of faith and jurisprudence, but its supporters are adherents of the Ash‘ariyah and Syâfi‘iyah schools. Al-Ittihadiyah engages in education, da’wah and social charity. In the beginning of independence, Al-Ittihadiyah leaders joined the Masjumi Party, and later on the Unity and Development Party (PPP). It seems that this political involvement makes this organization unable to compete with Al Washliyah and Muhammadiyah.</p><p><strong>Kata Kunci: </strong>organisasi Islam, Al-Ittihadiyah, mazhab, pendidikan, dakwah, politik, Melayu</p><p><br /><strong></strong></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Syahnan, Mhd, Asrul Asrul, and Ja'far Ja'far. "Intellectual Network of Mandailing and Haramayn Muslim Scholars in the Mid-19th and Early 20th Century." TEOSOFI: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 9, no. 2 (December 1, 2019): 257–81. http://dx.doi.org/10.15642/teosofi.2019.9.2.257-281.

Full text
Abstract:
This paper is an attempt to study the scholars’ network of Mandailing Ulama with those of Haramayn in the mid-19th and early 20th century. Employing the content analysis method the research finds that the Mandailing scholars had made an intellectual encounter with the scholars in Haramayn, even some of the established networks with Egyptian and Indian scholars. The Mandailing scholars connote those who ethnically originated from Mandailing clan and data reveals that Mandailing scholars come from the residencies of Tapanuli and East Sumatera, both of which are parts of the modern era North Sumatera province. This not to deny that some of the Mandailing scholars were also born in Makkah. From the aspect of the duration of the study, some scholars studied religion intensively and settled in Makkah, while others only learned the Islamic religion by meeting the scholars of Makkah only during the Hajj period. The last group of scholars only studied religion intensely in Nusantara, but while performing hajj they met the scholars and learned religion in very limited time. Mandailing scholars studied Islamic sciences, especially Quranic exegeses, hadīth, and Sufism to a number of such scholars from Arab and Nusantara as Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ‘Abd al-Qadir b. Shabir al-Mandili (Nasution) and Hasan Masysyath. Ideologically, they studied Islamic sciences in the context of the Sunnī school of thought, especially Ash‘arīyah and Shāfi‘īyah. This study then fills the gap of the study of other researchers about the Nusantara Ulama Network with Middle Eastern scholars.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Martarosa, Imal Yakin, and Kurniawan Fernando. "Kesenian Ronggeng Pasaman Dalam Perspektif Kreativitas Apropriasi Musikal." Mudra Jurnal Seni Budaya 34, no. 1 (February 13, 2019): 87–96. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v34i1.642.

Full text
Abstract:
Tumbuh dan berkembangnya kesenian Ronggeng Pasaman tidak luput dari dampak interaksi secara multikultur antara musik Barat (Portugis dan Belanda) dan musik Timur (Arab, India, Melayu, Minangkabau, Mandailling dan Jawa imigran). Hal ini terkait dengan isu identitas, migrasi (diaspora), dan bentuk apropriasi musikal. Fenomena yang muncul diisukan bahwa, kesenian Ronggeng yang berkembang dalam budaya masyarakat Pasaman saat ini, mereka yakin bahwa kesenian tersebut adalah didatangkan dari Jawa imigran. Namun secara musikal dijumpai bahwa, bentuk seni pertunjukan kesenian ronngeng pasaman yang berkembang, sangat jauh berbeda dengan bentuk seni pertunjukan Ronggeng yang berkembang di daerah Jawa. Ditinjau dari ciri-khasnya kesenian ronggeng teramati bahwa, bentuk seni pertunjukannya banyak kemiripannya dengan aspek musikal yang terkandung diluar ranah budaya masyarakat Pasaman seperti, dijumpai dalam pemakaian alat musik, sistem nada dan penggunaan teknik dalam permainan alat musik tradisi masyarakat Pesisir Sumatera Barat yang disebut garitiak dan gayo atau ornamentasi yang terkandung dalam kesenian rabab pasisie dan musik gamat. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah dibawah payung disiplin musikologi dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan interpretatif yang terdiri dari dua aspek (tekstual dan kontekstual). Hasil akhir dari penelitian ini ditemukan bahwa, tumbuh dan berkembangnya tradisi kesenian Ronggeng Pasaman disamping menggunakan alat musik biola Eropa (Barat) juga dapat dikatakan sebagai salah satu hasil produk budaya apropriasi musikal antara Barat (Portugis dan Belanda) dan Timur (Arab, India, Melayu, Minangkabau, Mandailling dan Jawa imigran).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Januar. "Meretas Jalan Damai di Perbatasan Panti Rao Pasaman Sumatera Barat." Dinamisia : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 3 (July 3, 2019). http://dx.doi.org/10.31849/dinamisia.v3i2.2860.

Full text
Abstract:
The Pao Rao Pasaman area is a multi-ethnic area that is not only inhabited by Minangkabau ethnic as an indigenous ethnic group, but some ethnic migrants such as Mandailing, Malay and Toba Batak. In addition to ethnic diversity, in Rao there is also a diversity of religious beliefs embraced by ethnic groups that inhabit this border area. Islam is a religious identity for Minangkabau and Mandailing in Rao. While the Toba and Javanese Batak ethnic groups adhered to Catholicism and Protestant Christianity. The problem that arises in this Panti is that understanding understanding diversity still contains sentiments and considers them the most correct, cultural and religious dialogue spaces between plural community communities are still lacking and have not yet formed a peaceful community in the Panti community based on places of worship and social institutions. The results of the empowerment of the multicultural and religious communities showed that there was an understanding of the workshop participants living harmoniously between religious communities and not the community did not consider it the most correct, and the formation of inter-community cultural and religious dialogue at the Pasaman Home. Keywords: hacking, peaceful way, border Daerah Panti Rao Pasaman merupakan daerah multi etnik yang tidak hanya dihuni oleh etnik Minangkabau sebagai etnik asli, tetapi beberapa etnik pendatang seperti Mandailing, Melayu dan Batak Toba. Di samping keragaman etnik, di Rao juga terdapat keragaman keyakinan agama yang dianut oleh etnik-etnik yang mendiami daerah perbatasan ini. Islam merupakan identitas keagamaan bagi etnik Minangkabau dan Mandailing di Rao. Sedangkan kelompok etnik Batak Toba dan Jawa menganut agama Katolik dan Kristen Protestan. Permasalahan yang muncul di Panti ini adalah pemahaman keagaman masih mengandung sentimen dan menganggap mereka paling benar, ruang dialog budaya dan agama antar Komunitas masyarakat plural masih Minim dan belum terbentuk komunitas damai dalam masyarakat Panti yang berbasis rumah ibadah dan lembaga social. Hasil pemberdayaan komunitas multicultural dan agama menunjukan bahwa adanya pemahaman peserta workshop hidup rukun antar umat beragama dan tidak komunitas tidak menganggap paling benar, dan terbentuknya ruang dialog budaya serta agama antar Komunitas di Panti Pasaman. Kata Kunci: Meretas, Jalan damai, Perbatasan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Suharyanto, Agung, Armansyah Matondang, and Taufik Wal Hidayat. "Aktualisasi dan Filosofi Konsep Kepemimpian Tradisional bagi Generasi Muda di Bale Marojahan Medan." JUPIIS: JURNAL PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL 8, no. 2 (December 28, 2016). http://dx.doi.org/10.24114/jupiis.v8i2.5164.

Full text
Abstract:
Tujuan dari pengabdian ini adalah aktualisasi dan filosofi kepemimpinan tradisional yang diberikan kepada generasi muda di Bale Marojahan Medan. Metode yang digunakan adalah dengan membantu salah satu acara yang tidak bisa dilaksanakan karena tidak adanya dana untuk menjalankan rencana kegiatan tersebut. Acara yang diselenggarakan adalah dengan mendanai acara seminar aktualisasi dan filosofi kepemimpinan tradisional yang tema kali ini memfokuskan pada tradisi Mandailing Angkola dan Minangkabau. Penyelenggaraan cara seminar ini diselenggarakan di Bale Marojahan Medan yang yang menjadi tempat berkumpulnya beberapa komunitas yang terdiri dari generasi muda untuk bisa meningkatkan rasa cinta terhadap tradisi dan nasionalisme bangsa. Target yang dibidik adalah generasi muda untuk tidak mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal tentang kepemimpinan. Evaluasi kemudian dilakukan 3 bulan sesudah acara diselenggarakan untuk melihat bagaimana aplikasi dan semangat dari generasi muda untuk menggali konsep kepemimpinan tradisional sebagai salah satu alternative dan pilihan diantara berbagai bentuk pola kepemimpinan yang ada kepada komunitas masing-masing.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Tribudiarti, Melly, Syamsuardi Syamsuardi, and Nurainas Nurainas. "STUDI ETNOBOTANI JENIS REMPAH YANG DIGUNAKAN DALAM BUMBU MASAKAN TRADISIONAL ADAT DI KERAJAAN ROKAN KABUPATEN ROKAN HULU, RIAU." BERITA BIOLOGI 17, no. 2 (November 1, 2018). http://dx.doi.org/10.14203/beritabiologi.v17i2.2882.

Full text
Abstract:
Rokan Kingdom was a small kingdom that is now located in Rokan Hulu regency of Riau Province. This region is bordered by North and West Sumatra Province to the north. Rokan Kingdom has a diversity of Indigenous cultures and traditional as an influence of Malay, Minangkabau, Mandailing and Java ethnics. Cultural differences effect people to use variety of herbs as spice in cooking. This study aims to determine the species of plants used as spices in the traditional cuisine within Rokan Palace, Riau and to understand the use value (UV) of each plant. A field survey and interviews were conducted to obtain plant materials and determine its utilization. The voucher specimen stored at Andalas University Herbarium (ANDA), Padang, West Sumatera. Total species obtained in this study is 29 species from 17 families. All of collected plants are used in 16 traditional cuisines. Allium cepa (shallot) has the highest UV = 0.91 as the most common species used as a traditional cooking spice in Rokan Palace.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Erawadi, Erawadi. "PUSAT-PUSAT PERKEMBANGAN TAREKAT NAQSYABANDIYAH DI TAPANULI BAGIAN SELATAN." MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 38, no. 1 (June 9, 2014). http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v38i1.53.

Full text
Abstract:
<p>Abstrak: Tulisan ini menelusuri perkembangan tarekat Naqsyabandiyah di wilayah Tapanuli Bagian Selatan melalui beberapa pusat tarekat Naqsyabandiyah dengan menggunakan prinsip sejarah lokal. Tarekat ini di kawasan tersebut datang dari dua sumber, yaitu dari Minangkabau, Sumatera Barat, dan Babussalam, Langkat, Sumatera Utara. Pengaruh dari Minangkabau terutama melalui Syaikh Ibrahim Kumpulan, sedangkan dari Babussalam, Langkat melalui Syaikh Abdul Wahab Rokan. Namun demikian, sebagian Syaikh Naqsyabandiyah asal Tapanuli Bagian Selatan, setelah belajar pada Syaikh setempat, pergi dan belajar di Haramain. Sebagian mereka belajar langsung pada Syaikh Sulaiman Zuhdi atau Syaikh Ali Ridha di Jabal Abu Qubaisy. Di antara pusat-pusat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah di Tapanuli Bagian Selatan adalah Hutapungkut, Aek Libung, Sayurmatinggi, Nabundong, Sipirok, Pudun, Aek Tuhul, Ujung Padang, dan Batu Gajah. Kebanyakan organisasi tarekat ini telah bertahan selama beberapa generasi, namun sebagiannya tidak bertahan karena faktor-faktor tertentu.</p><p><br />Abstract: The Centres of Tarekat Naqshabandiyah in South Tapanuli Region. Using the principles of local history, this article traces the developments of Thariqat Naqshabandiyah in Southern Tapanuli through its many centers of activities. This thariqat reached the region by ways of Minangkabau West Sumatra and Babussalam Langkat North Sumatra with Syaikh Ibrahim Kumpulan and Syaikh Abdul Wahab Rokan being the central figures. However, some of the region’s Naqshabandiyah syaikhs, after learnign under local masters, continue their learning to Haramayn, Hijaz. Mostly, they learn under the celebrated Syaikh Sulayman Zuhdi or Syaikh Ali Ridha at Jabal Abu Qubaysh. The most important Naqshabandiyah center of the region are to be found in Hutapungkut, Kotanopan, Mandailing Natal; Aek Libung, Sayurmatinggi, Nabundong, Sipirok, Tapanuli Selatan; Pudun, Aek Tuhul, Ujung Padang, Padang- sidimpuan; and Batu Gajah, Barumun, Padang Lawas. Most of these centers have survived for generations; some, however, have not survived for different reasons.</p><p><br />Kata Kunci: tarekat Naqsyabandiyah, pusat tarekat, Tapanuli Selatan</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography