Academic literature on the topic 'MMM Firmian'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the lists of relevant articles, books, theses, conference reports, and other scholarly sources on the topic 'MMM Firmian.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Journal articles on the topic "MMM Firmian"

1

Suparmin, Suparmin. "REKONSILIASI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DARI PERSPEKTIF HUKUM AGAMA." Masalah-Masalah Hukum 44, no. 2 (April 24, 2015): 169. http://dx.doi.org/10.14710/mmh.44.2.2015.169-177.

Full text
Abstract:
Reconciliation , " Ham Serious Violation " is one form of " political crime " , in which between the perpetrator and the victim there is a relationship of power , the perpetrator was a " ruler " while the victim is " people" . Settlement will not be finished , as long as the structure and power systems perpetuate oppression and arbitrary action . According to Galtung , ' violence is also referred to as structural violence ' , which is unlawful . God's Word , the placement of man as caliph in the earth is Allah 's mandate was responsible for creating consensus for peace , tranquility , order and welfare of the nation and stateRekonsiliasi, “Pelanggaran Ham Berat” adalah salah satu bentuk “Kejahatan Politik”, dimana antara pelaku dan korban ada hubungan kekuasaan, yaitu pelaku adalah “penguasa” sedangkan korban adalah “rakyatnya”. Penyelesaian tidak akan selesai, selama struktur dan sistem kekuasaan melanggengkan penindasan dan tindakan sewenang-wenang. Menurut Galtung, ‘kekerasan yang terjadi juga disebut sebagai kekerasan struktural’, yang melanggar hukum. Firman Allah, penempatan manusia sebagai khalifah dimuka bumi adalah amanat Allah untuk bertanggung jawab menciptakan musyawarah untuk mewujudkan perdamaian, ketenteraman, ketertiban dan kesejahteraan hidup dalam berbangsa dan bernegara
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Menezes Filho, Luiz A. D., Mário L. S. C. Chaves, Mark A. Cooper, Neil A. Ball, Yassir A. Abdu, Ryan Sharpe, Maxwell C. Day, and Frank C. Hawthorne. "Brandãoite, [BeAl2(PO4)2(OH)2(H2O)4](H2O), a new Be–Al phosphate mineral from the João Firmino mine, Pomarolli farm region, Divino das Laranjeiras County, Minas Gerais State, Brazil: description and crystal structure." Mineralogical Magazine 83, no. 02 (June 29, 2018): 261–67. http://dx.doi.org/10.1180/mgm.2018.121.

Full text
Abstract:
AbstractBrandãoite, [BeAl2(PO4)2(OH)2(H2O)4](H2O), is a new Be–Al phosphate mineral from the João Firmino mine, Pomarolli farm region, Divino das Laranjeiras County, Minas Gerais State, Brazil, where it occurs in an albite pocket with other secondary phosphates, including beryllonite, atencioite and zanazziite, in a granitic pegmatite. It occurs as colourless acicular crystals <10 µm wide and <100 µm long that form compact radiating spherical aggregates up to 1.0–1.5 mm across. It is colourless and transparent in single crystals and white in aggregates, has a white streak and a vitreous lustre, is brittle and has conchoidal fracture. Mohs hardness is 6, and the calculated density is 2.353 g/cm3. Brandãoite is biaxial (+), α = 1.544, β = 1.552 and γ = 1.568, all ± 0.002; 2Vobs = 69.7(10)° and 2Vcalc = 71.2°. No pleochroism was observed. Brandãoite is triclinic, space group P$\bar{1}$, a = 6.100(4), b = 8.616(4), c = 10.261(5) Å, α = 93.191(11), β = 95.120(11), γ = 96.863(11)°, V = 532.1(8) Å3 and Z = 2. Chemical analysis of a 4 µm wide needle-shaped crystal by electron microprobe and secondary-ion mass spectrometry gave P2O5 = 28.42, Al2O3 = 20.15, BeO = 4.85, H2O = 21.47 and sum = 74.89 wt.%. The empirical formula, normalised on the basis of 15 anions pfu with (OH) = 2 and (H2O) = 5 apfu (from the crystal structure) is Be0.98Al1.99P2.02H12O15. The crystal structure was solved by direct methods and refined to an R1 index of 7.0%. There are two P sites occupied by P5+, two Al sites occupied by octahedrally coordinated Al3+, and one Be site occupied by tetrahedrally coordinated Be2+. There are fifteen anions, two of which are (OH) groups and five of which are (H2O) groups. The simplified ideal formula is thus [BeAl2(PO4)2(OH)2(H2O)4](H2O) with Z = 2. Beryllium and P tetrahedra share corners to form a four-membered ring. Aluminium octahedra share a common vertex to form an [Al2φ11] dimer, and these dimers are cross-linked by P tetrahedra to form a complex slab of polyhedra parallel to (001). These slabs are cross-linked by BeO2(OH)(H2O) tetrahedra, with interstitial (H2O) groups in channels that extend along [100].
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Khususiyah, Khususiyah. "KENAL DIRI SECARA QUR’ANI MELALUI PROSES TERCIPTANNYA MANUSIA SEBAGAI MODAL PENGUATAN KARAKTER." Nusantara of Research : Jurnal Hasil-hasil Penelitian Universitas Nusantara PGRI Kediri 5, no. 1 (April 30, 2018): 19–28. http://dx.doi.org/10.29407/nor.v5i1.12089.

Full text
Abstract:
Kenal diri secara Qur’ani melalui proses terciptannya manusia merupakan cara yang sangat sederhana dan mendasar untuk penguatan karakter individu. Dengan demikian, key concept dalam penulisan artikel ini adalah kenal diri secara Qur’ani. Dengan harapan kenal diri secara Qur’ani akan memahamkan setiap in-dividu agar mampu memerankan dan memposisikan diri dengan baik dan benar (berkarakter). Sebagaimana yang telah tertulis di dalam Kitab Suci Al-Qur’an (Qs. 51: 21) yang artinya,“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak mem-perhatikan?” Dari ayat tersebut jelas diterangkan bahwa kenal diri merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh setiap individu. Kenal diri yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah upaya untuk memahami potensi - potensi yang sangat potensial dalam diri individu berdasarkan/dengan cara melalui proses terciptanya manusia sebagai penguat karakter individu agar di-jadikan upaya untuk menghindari mal praktek yang ber-kelanjutan/berkepanjangan dalam memberdayakan potensi diri -yang mampu melemahkan penguatan karakter individu itu sendiri. Dalam arti dengan kenal diri, setiap individu akan mampu mem-berdayakan potensi-potensi yang ada dalam dirinya dengan jujur, cerdas, tangguh dan peduli. Hal tersebut, merupakan satu paket dalam satu rangkaian yang utuh demi terjaminnya penguatan karakter individu. Potensi - potensi yang sangat potensial tersebut, tidak selamanya mampu sebagai penguatan karakter apabila tidak memahami terlebih dahulu jenis dan cara memerdayakannya (potensi diri) bahkan bisa jatuh sebaliknya yakni justru me-lemahkan karakter. Sebagaimana Firman ALLOH S.W.T dalam (QS. 91:7-10). Oleh karena itu, kita harus bisa menentukan pola atau metode atau cara baca yang tepat agar proses memahami ini dapat menghasilkan pribadi berkarakter. Salah satu metode yang akan digunakan dalam artikel ini adalah metode Bismi Robbik (QS.96:1) yang akan membantu kita dalam proses kenal diri secara utuh dan benar. Pada artikel kali ini, penulis berupaya memapaparkan secara global meskipun dengan segala keter-batasan kemampuan dalam hal upaya memahami proses terciptanya manusia secara Qur’ani sebagai modal penguatan karakter.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Krisanti, Susan Hanuningrum, and Endang Triningsih. "Performance Assessment on Porous Paving Made with Fly Ash as Landscape Architecture Element in Bandung Urban Area." Materials Science Forum 1005 (August 2020): 31–38. http://dx.doi.org/10.4028/www.scientific.net/msf.1005.31.

Full text
Abstract:
This paper discusses the performance of locally made porous paving that has been applied in West Bandung, Indonesia, for almost one year. The porous paving uses fly ash and bottom ash produced by a local coal mining industry to minimize the use of cement and to reuse the industry’s waste. The porous properties of the paving corresponds substantially to the context of the high yearly rainfall in the tropical region up to 442 mm3 and to the high terrain of Lembang in 1080 meters above sea level which is best to immediately recharge ground water. In this paper, the paving’s performance is assessed for its role as a landscape architecture element by applying Vitruvius’ design theories of beauty: firmitas (by the ability to maintain shape or strength), utilitas (by its ability to infiltrate water) and venustas (by its physical appearance or signs of deterioration). The results show that the porous fly-ash paving demonstrate environmentally landscape architectural element. It will significantly contribute to the degrading quality of spatially dense urban environment of Bandung
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Menin, Ana Maria da C. S. "O momento é de avaliar: o quê, por que, para quem, como?" Revista Ibero-Americana de Estudos em Educação 2, no. 1 (December 6, 2007): 46–55. http://dx.doi.org/10.21723/riaee.v2i1.456.

Full text
Abstract:
Ao propor o título para esta comunicação, veio-me à mente a discussão histórica sobre a avaliação e os rumos que este processo vem tomando, no espaço ─ Escola ─ onde deveria encontrar ambiente favorável para fundar seus alicerces e firmar-se como uma nova ciência. Contudo, e contrariamente ao que se esperava, é justamente na escola que o processo avaliativo encontra seus maiores entraves. Tais percepções vêm promovendo no interior do grupo de pesquisa coordenado por mim, reunindo alunos da graduação, da pós-graduação, meus orientados, ex-orientados (mestres) e professores do ensino fundamental e médio uma discussão profícua sobre os instrumentos utilizados para avaliar os alunos e os usos de seus resultados com vistas a garantir uma aprendizagem significativa e um ensino de qualidade. Discute-se e investiga-se ainda, a prática da avaliação em cursos de formação de professores que visam a preparar profissionais para atuarem junto ao ensino fundamental de 1ª a 4ª séries.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Torlone, Gaetano. "Le sperimentazioni internazionali Il dibattito sugli studi placebo-controllati." Medicina e Morale 53, no. 3 (June 30, 2004): 555–88. http://dx.doi.org/10.4081/mem.2004.638.

Full text
Abstract:
Il lavoro proposto prende spunto da un articolo apparso sul New England Journal of Medicine del 1997 a firma di P. Lurie e S.M. Wolfe. In questo articolo gli autori descrivevano come non etici alcuni studi sull’efficacia di dosi ridotte di AZT nella trasmissione materno-fetale dell’HIV. Tali studi erano sponsorizzati da organizzazioni occidentali e realizzati in paesi dell’Africa subsahariana e in Asia. Il nodo etico più importante messo in luce era l’utilizzo di un braccio placebo-controllato anche se era già nota l’efficacia del trattamento a base di zidovudina per la riduzione della trasmissione perinatale dell’infezione grazie ad uno studio (ACTG 076) effettuato negli USA e in Francia e che aveva indicato la zidovudina come terapia standard. Nella prima parte del presente lavoro analizziamo la letteratura scientifica internazionale nei quinquenni precedente e successivo alla pubblicazione dell’articolo di Lurie e Wolfe. Da tale analisi appare un incremento statisticamente significativo delle pubblicazioni sull’etica della ricerca clinica nei paesi in via di sviluppo negli ultimi anni. Nella seconda parte del lavoro invece si cerca di analizzare il tema specifico della giustificazione etica dell’uso del braccio placebo-controllato in sperimentazioni effettuate nei paesi in via di sviluppo pur esistendo una terapia standard. Si approfondiscono pertanto le posizioni favorevoli e quelle contrarie, soprattutto facendo riferimento agli strumenti interpretativi elaborati da A.J. London. Le conclusioni raggiunte forniscono indicazioni generali sulla non eticità, dal punto di vista etico e logico, dell’utilizzo del braccio placebo-controllato nelle sperimentazioni nei paesi in via di sviluppo quando si conosca una terapia standard per la patologia in studio. Tuttavia rimane aperta la discussione per quel che riguarda la “generalizzabilità” dei risultati di un trial a popolazioni di differente identità storica e culturale.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Vera Parra, Nelson Enrique, Danilo Alfonso López, and Héctor Cristyan Manta Caro. "Modelo test-bed de simulación y evaluación de criptografía de curva elíptica en redes IPv6 de próxima generación." Revista Tecnura 18, no. 41 (July 1, 2014): 27. http://dx.doi.org/10.14483/udistrital.jour.tecnura.2014.3.a02.

Full text
Abstract:
En la actualidad, las redes móviles e inalámbri­cas de nueva generación, tales como las redes de área personal IPv6 de baja potencia (6LoWPAN), redes de sensores inalámbricos sobre IPv6 y re­des móviles IPv6 jerárquicas se encuentran bajo rigurosa investigación y desarrollo, pues repre­sentan el paso por seguir en la evolución de las redes Machine-to-Machine (M2M), al tiempo que apoyan el acceso de banda ancha de la próxima generación de tecnologías y sistemas inteligentes sobre Internet futuro.Estas redes de nueva generación imponen res­tricciones en cuanto al poder de procesamiento, ancho de banda y recursos de energía, lo que re­presenta una gran limitante en la implementación de mecanismos de seguridad. En este sentido, en lo últimos años han surgido diversas propuestas para la administración de claves, procedimien­tos de firma digital y cifrado de datos basados en curvas elípticas e híper-elípticas, que logran ni­veles de seguridad equivalentes a los algoritmos convencionales basados en algoritmos Diffie-Hellman y Rivest-Shamir-Adleman (RSA), pero que reducen la longitud de clave y, por ende, los recursos computacionales y de red asociados.Este artículo examina los algoritmos basados en criptografía de curvas elípticas (ECC) y su apli­cación a redes móviles e inalámbricas de nueva generación habilitadas para IPv6. Así mismo, describe un modelo de simulación para la eva­luación de ECC, donde se comparan los recursos computacionales necesarios y las limitaciones en mecanismos ligeros de seguridad.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

O'Cinneide, M. S., Mark Keane, and M. Cawley. "Industrialization and Linguistic Change among Gaelic-Speaking Communities in the West of Ireland." Language Problems and Language Planning 9, no. 1 (January 1, 1985): 3–16. http://dx.doi.org/10.1075/lplp.9.1.02oci.

Full text
Abstract:
Industriigo kaj lingvoŝanĝiĝo inter gaelparolantaj komunumoj en la okcidenta regiono de Irlando Oni identigis la procedon de lingva malkresko inter gaelparolantaj komunomoj kiel parte rezulton de elmigrado kaj perdoj de enloĝantaro. Per politiko de ekonomia evo-luigo oni celis reekvilibrigi la demografian malkreskon kaj sekve la malkreskon de ling-voutiligo. Ne estis klara en la apliko de tiu politiko la rilato inter la enkonduko de nova industrio kaj lingva konservado. Tiu ĉi studo argumentas per trarigardo de la litera-turo, ke ekonomia evoluigo, dum ĝi pligrandigas la enloĝantaron en difinita regiono, eventuale negative efikas ĉe la lingvo. Tiuj negativaj efikoj fluas tra pluraj kanaloj. La manko de gvidaj kaj teknikaj laborantoj necesigas dungon de anglaparolantoj el ekster la regiono. La foresto de taŭgaj teknikaj terminoj en la gaela lingvo antaŭenigas utili-gon de la angla. Kelkaj novaj industriaj postenoj estas plenigataj de iamaj elmigrintoj, kiuj revenas al la regiono kun junaj familianoj. Ĉehejma utiligo de la irlanda lingvo jam mankas en tiuj familioj, kaj tio pluire efikas en la loka komunumo. Aparte kaj in-terage, ĉiuj tiuj faktoroj kontribuas al lingvoŝanĝiĝo. Estas ankaŭ vere, ke multaj aliaj facetoj de socia kaj ekonomia evoluigo kontribuas al tiu ŝanĝoprocedo. Oni ne povas senigi gaelparolantajn komunumojn je okazoj por evoluigo, kaj la vera defio kuŝas en tio, ke oni liveru tiun evoluigon en formo, kiu plifortigu la pozicion de la irlanda. Udaras na Gaeltachta ricevis tiun apartan respondecon kaj per sia industri-iga programo ĝi multon atingis. En la dua duono de tiu ci studo oni raportas pri la rezultoj de enketo pri la lingvaj efikoj de tri industriaj entreprenoj starigitaj en la Gael-tacht. Unu superteknologia firmao, kiu uzas neindiĝenajn rimedojn, kun multnombraj anglalingvaj fakaj laborantoj, esence tunkcias per la angla. La irlanda dominas en la aliaj firmaoj, kie la proporcio de Gaeltacht-aj laborantoj kompare al ne-Gaeltacht-aj estas multe pli granda kaj la prilaborado de surlokaj krudaj materialoj estas pli ema al priskribiĝo en la irlanda. Empiriaj donitaĵoj indikas, ke la industriigo de komunumoj en la Gaeltacht ne nepre havas negativajn efikojn je la irlanda lingvo. Ili tamen ja sugestas, ke necesas zorgo en dungado de laboristoj por labori en la industriaj entreprenoj. Oni forte rekomendas politikon, kiu strikte diskriminacias favore al parolantoj de la irlanda. Ĝenerale la studo konkludas, ke evoluigo en si mem ne sufiĉos por sekurigi la pluvivon de la Gaeltacht. Necesas klara lingva strategic La verkintoj esprimas dubon pri la politika vol-forto bezonata por apogi tian politikon.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Schubert, Klaus. "Ausdruckskraft und Regelmäßigkeit." Language Problems and Language Planning 12, no. 2 (January 1, 1988): 130–47. http://dx.doi.org/10.1075/lplp.12.2.03sch.

Full text
Abstract:
RESUMO Esprimivo kaj reguleco: Kio igas Esperanton taůga por perkomputila tradukado En la esplora kaj evoluiga projekto Distribuita Lingvotradukado (DLT) ce la programaren-trepeno BSO en Utrecht Esperanto estas uzata kiel interlingvo en perkomputila tradukado. La firmao kaj la nederlanda Ministerio pri Ekonomio investas en tiun projekton 17 milionojn da guldenoj. De kie originas tioma fido al projekto, kies sukceso senpere dependas de la kvalitoj de Esperanto? Oni uzas interlingvon interalie por igi traduksistemon multlingve plukonstruebla. Tutaǔtomata altkvalita tradukado montriĝis neebla, pro kio ciuj nuntempe uzataj kaj evoluigataj sistemoj bezonas heipon fare de homo antaǔ, dum aǔpost la tradukproceso. En in-terlingva sistemo oni kvazaǔ dufoje tradukas la tekston, tiel ke necesus dufoja homa helpo. Tio tamen estas tre nedezirinda pro praktikaj problemoj, des pli se la sistemo havas disigitajn duonojn de la duobla tradukproceso, kiel ekzemple en multlingve konsultebla informbanko. Tial oni strebas al tre speciala interlingvo: Lingvo el kiu eblas tutaǔtomate plutraduki, post kiam okazis traduko al ĝi el iu origina lingvo. Tiu postulo premisas lingvon kun pli ol kutime klara kaj regula forma strukturo, kiu tamen samtempe disponas pri la plena esprimivo de homa lingvo. Etna lingvo ne taǔgas por tiu funkcio pro troa nereguleco. Artefarita formäla simbolsistemo ne povas atingi la bezonatan esprimivon. Ci tion montris Hjelmslev per lingvoteoria tezo pri la diferenco inter homa lingvo (dagligsprog) kaj artefarita simbolaro. En DLT Esperanto (en milde modifita formo) plenumas la funkcion de interlingvo. En ĝi okazas la plej komplikitaj kaj laborintensaj laborpaŝoj de la tradukproceso, nome cio semantika kaj pragmatika. Tiel Esperanto estas la lingvo de Artefarita Inteligento en DLT. Ĉu Esperanto vere posedas la necesan kombinon de reguleco kaj esprimivo? Rilate regulecon la DLT-laborgrupo enkondukis unu esencan modifon, igante sian version de Esperanto sintakse neam-bigua. Sed jam normäla Esperanto havas multajn tradukfaciligajn trajtojn, al kiuj apartenas ĝia regula vortfarado. La vortgramatika teorio de Saussure kaj Kalocsay estas bone adaptebla al perkomputila analizo de kompleksaj vortoj. Rilate esprimivon ekzistas multaj studoj, cefe pri literatura uzo. Cu ekzistas pli bona planlingvo aǔ cu eblus fari por ci tiu apliko ankoraǔ pli taǔgan ol estas Esperanto? Ne, car esenca eco, nemalhavebla ce interlingvo, estas ĝia aǔtonomeco, akirita dum multjara uzado en internacia lingvokomunumo. Tiun akirajon, kiu distingas la nunan Esperan-ton de artefaritaj simbolsistemoj, ne eblas krei por nova aǔ jama projekto. Gi nur povas estigi per longdaüra evoluo. DLT kaj parencaj projektoj grave dependas de la scienca fakscio pri planlingvoj. Estas dezirinde ke la ĝenerala lingvoscienco konsciiĝu pri la unika fenomeno, observebla en la evoluo de Esperanto (kaj la ekevoluoj de aliaj planlingvoj) de artefaritajo per uzo al lingvo. Tiu evoluo estas interesega studobjekto en si mem, sed krome ĝi pli fokuse montras ecojn de etnaj, piĝmaj kaj interetnaj lingvoj, observeblajn en Esperanto kvazaǔ sub laboratoriaj kondicoj. SUMMARY Expressiveness and Formal Regularity: What Makes Esperanto Suitable for Machine Translation The multilingual machine translation system DLT makes use of Esperanto as an intermediate language in which a substantial part of the translation subprocesses are carried out, especially all applications of Artificial Intelligence such as semantic disambiguation by means of a knowledge bank and a word expert system. The requirements for such an intermediate language and the reasons for preferring Esperanto to both ethnic languages and other planned languages and artificial symbol systems in this function are described. The motivation for this choice is found in a combination of formal regularity, subtle expressiveness, and semantic autonomy. These three properties do not combine with each other except in a purposefully planned language system that after the phase of deliberate system design has passed through a sufficiently long period of practical, unreflected use in a speech community. This condition reflects the development from a planned language project to a human language.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Marques Neto, Floriano Peixoto de Azevedo. "Do contrato administrativo à administração contratual." RDAI | Revista de Direito Administrativo e Infraestrutura 3, no. 9 (June 30, 2019): 341–52. http://dx.doi.org/10.48143/rdai/09.fmn.

Full text
Abstract:
Não é exagero dizer que vivemos uma transformação radical no papel que o instituto contrato cumpre no Direito Administrativo. Desde o final da primeira metade do século passado até os dias de hoje, a ideia de um contrato de que participe o Poder Público percorreu uma longa trajetória, que vai desde a rejeição de que o Poder Público pudesse travar relações obrigacionais com os privados (BANDEIRA DE MELLO, 1979, p. 681; 1967, p. 25 e ss.) até o momento atual, em que se pode falar no contrato como instrumento para exercício das atividades-fim da Administração, e não apenas como instrumento para suas atividades-meio. Não é objetivo do presente texto aprofundar essa discussão complexa e polêmica. Alguns autores já o têm feito com grande êxito (MOREIRA NETO, 2008; ALMEIDA, 2008; ESTORNINHO, 2009). Meu objetivo aqui é apenas delinear a trajetória da ideia de contrato de que participa a Administração Pública, apontando para a importância do instituto na construção de uma Administração menos autoritária e mais consensual. Para isso, iniciarei expondo como a doutrina enfrentou o tema da Administração partícipe da relação contratual. Em seguida, tocarei os principais elementos caracterizadores e darei uma noção de contrato administrativo. Feito isso, passarei a tratar do regime jurídico desses contratos, analisando criticamente a unicidade desse regime. No tópico final, procurarei enunciar algumas manifestações da nova contratualidade, em que o Poder Público participa não em condição sobranceira, mas como parte da relação obrigacional. 2. A gênese da noção de contrato administrativo A ideia de contrato administrativo nem sempre foi pacífica na doutrina. No século passado, importantes autores rejeitavam essa ideia alegando que tal fórmula continha uma contradição. Se a Administração, centro da autoridade, participava da relação, não poderia haver contrato. Este pressupunha autonomia da vontade e equivalência entre partes contratantes. E o Estado-Administração, portador do poder soberano, nem tinha vontade, nem poderia ser nivelado à outra parte contratante. Partia-se aí da concepção de que, em se tirando as hipóteses de o Estado, autorizado por lei, firmar contratos regidos pela legislação civil (os chamados contratos privados da Administração), nos demais contratos não haveria que se falar na existência de um tipo peculiar de contrato administrativo, mas sim de um ato jurídico bilateral. Por essa visão, somente poderíamos falar de contrato no núcleo da relação econômico-financeira. Embora ainda hoje haja autores que mantenham essa posição crítica ao conceito (BANDEIRA DE MELLO, 2002, p. 563), o debate restou superado a partir dos anos de 1960 do século passado, firmando-se a doutrina por entender que o instituto contrato pertenceria à Teoria Geral do Direito e que, no âmbito do Direito Administrativo, o contrato seria revestido de certas características peculiares, que conformariam o contrato administrativo. As principais peculiaridades dessa espécie de contrato corresponderia à presença de cláusulas exorbitantes (MEIRELLES, 1990, p. 191) e ao fato de não existir na sua origem nem a liberdade em contratar, pois a escolha do privado seria submetida em regra ao dever de licitar, ne, propriamente uma autonomia da vontade, pois a finalidade pública vincularia o agir da Administração contratante (Dl PIETRO, 2008, p. 242; MEIRELLES, 1990, p. 190). A doutrina brasileira consolidou-se em torno da tese de que os contratos administrativos são espécies do gênero contrato bilateral, tendo por objeto o fornecimento de bens, a prestação de serviços, a execução de uma obra por um particular (pessoa física ou jurídica) ou, ainda, a alienação de bens públicos ou a delegação da prestação de um serviço público ou a outorga de direito privativo de uso. Para a formação desse vínculo, seria necessário o atendimento de determinados requisitos (dotação orçamentária autorização específica, licitação pública), limitadores da margem de liberdade da Administração para contratar. Na execução desse contrato, haveria uma posição de supremacia da Administração, caracterizada pelas chamadas cláusulas exorbitantes (ENTERRIA; FERNÁNDEZ, 1997, p. 692), predicadoras da prerrogativa para unilateralmente alterar, rescindir, intervir, fiscalizar e punir o particular. De outro lado, haveria, em favor do particular, uma reserva quanto às chamadas cláusulas econômicas da avença (preço, condições de pagamento, preservação da equivalência monetária, balanço entre obrigações e remuneração, etc.), de tal sorte que estas seriam não apenas vinculantes para a Administração, mas também incólumes diante das alterações ditadas pelo Poder Público ou mesmo daquelas decorrentes de fatores imprevistos (TÁCITO, 1971). Essas concepções foram gradualmente incorporadas pela jurisprudência e, depois, pelo Direito Positivo. Vêm hoje refletidas em diversos dispositivos da Lei 8.666/1993 (LGL\1993\78), dentre os quais se destacam os arts. 58, 65, 67 e 79, inciso I (prerrogativas exorbitantes), e pelos arts. 57, § 1º, 65, inciso II, alínea d, e § 6º (preservação do núcleo econômico pactuado). 3. A consequência: contrato administrativo como fonte relativa de obrigações Ao se afastar das teorias que negavam a existência do contrato administrativo, contraditoriamente a doutrina brasileira acabou por esvaziar o contrato como fonte de obrigação para a Administração. Como se costumou asseverar, descaberia obrigar a Administração a cumprir o quanto pactuado num contrato, exigir a execução da norma contratual em favor do particular em muitas situações, porquanto não seria possível que "o interesse público ficasse vergado ao interesse particular" (BANDEIRA DE MELLO, 2002, p. 568). Com efeito, a Teoria do Contrato Administrativo no Brasil, para consagrar o conceito, não refutou a tese de que a Administração poderia igualar-se ao privado na relação obrigacional. Ao contrário, tomou por pressuposto que a participação da Administração numa relação contratual não lhe retiraria a posição sobranceira, superior, assimétrica. Sendo a Administração, por definição, tutora do interesse público, não poderia ela igualar-se ao privado. Disso decorreria: (a) a ausência de igualdade entre as partes; e (b) as prerrogativas de intervenção unilateral nas condições pactuadas (subjacentes às cláusulas exorbitantes). Sendo, em qualquer hipótese, a relação obrigacional assimétrica, e só podendo a Administração obrigar-se pela Lei, jamais poderia o particular contratado invocar o contrato para exigir que a Administração cumprisse o quanto se houvera obrigado. No século XX, o contrato administrativo aproximou-se da expropriação diferida. Fácil foi a difusão da concepção de relativa desvinculação da Administração das obrigações contratuais. O contrato administrativo, visto assim, não seria uma verdadeira fonte de obrigações para a Administração, mas sim uma pactuação provisória, sujeitando seu cumprimento à permanente análise de conveniência e oportunidade pelo agente público, compreendido como o único guardião do interesse público (seja lá o que isso signifique). Mesmo para sua obrigação de pagar e de preservar as condições econômicas avençadas, a fonte da obrigação seria a lei, e não o contrato. Malgrado a doutrina do equilíbrio econômico e financeiro e de sua incolumidade, o grau de vinculação das partes ao seu respectivo plexo de obrigações também seria desigual: o particular, óbvio, não poderia descumprir o quanto a que se obrigara; a Administração (sempre sob o pálio do interesse público), eventualmente, poderia esquivar-se ou postergar sua obrigação de pagar o preço ajustado. Comuns tornaram-se as situações em que o Poder Público, alegando insuficiência de recursos ou dificuldades orçamentárias, impingiu aos seus contratados reduções unilaterais de valor sem equivalente diminuição de encargos, desrespeitando sobranceiramente o próprio âmago econômico da avença. Tal assimetria mostrava-se mesmo no âmbito da obrigação de pagar (núcleo tido como incontroversamente obrigacional, pois que inerente ao núcleo econômico do contrato). Bons exemplos são os entendimentos doutrinários que refutavam a aplicação da cláusula de exceção do contrato não cumprido, por muito tempo tida pela doutrina como inaplicável ao contrato administrativo (MEIRELLES, 1990, p. 190). Apenas com o advento da Lei 8.666/1993 (LGL\1993\78) (art. 78, inciso XV) passou-se a permitir que o particular suspendesse a execução de suas obrigações caso a Administração deixasse de pagar as parcelas do preço contratado. Mesmo assim, essa possibilidade dependia da perduração da mora (por pelo menos 90 dias), não sendo aplicável a todos os contratos administrativos, como demonstra o art. 39, parágrafo único, da Lei 8.987/1995 (LGL\1995\43). É célebre episódio ocorrido há alguns anos. A Administração de um grande Município estava inadimplente há meses no pagamento das tarifas pelo fornecimento de luz. A distribuidora, amparada pela Lei, decidiu cortar o fornecimento a algumas repartições administrativas. E, assim o fez, não sem aviso prévio. Indignado, o Prefeito foi ao Judiciário combater a suspensão parcial do fornecimento, alegando que isso feria o interesse público (sempre ele), como se repartir a inadimplência contratual gerada pela má gestão municipal por lodos os usuários do serviço público também não fosse ferir o interesse público. Naquela oportunidade, célere, o Judiciário fez lembrar a todos que contratos com o Poder Público, afinal de contas, não devem ser levados a sério! Determinou o imediato restabelecimento do fornecimento. Não determinou o imediato pagamento das contas em atraso, pois isso, afinal, iria contra o interesse público. Em suma, durante muito tempo nossa cultura jurídica sustentou que a Administração não deveria estar submetida ao contrato se e quando isso contrariasse o interesse público. Como essa é uma dicção dúctil, aberta e suscetível de ser preenchida ao alvedrio administrador (AZEVEDO MARQUES NETO, 2002), o contrato administrativo transformou-se conjunto de obrigações vinculantes apenas do privado. Sob a influência do caráter autoritário da concepção de supremacia incondicional do interesse público, abriu-se campo para a relação obrigacional desigual, a partir da qual o privado deve cumprir estritamente tudo a que se obrigou (sob o risco de sofrer severas penas unilateralmente aplicadas), mas a Administração cumprirá o pactuado se e quando o interesse público (por ela revelado, também unilateralmente) permitir. Segue daí que, entre nós, o contrato administrativo, ao longo do século passado, convolou-se numa expropriação de bens ou serviços, com escolha isonômica do expropriado (por licitação, bem dito) e sem prévia indenização, mas diferida em parcelas. 4. A maldição do regime único Se, de um lado, o mantra da supremacia do interesse público levou a um esvaziamento do caráter obrigacional da Administração, o itinerário do contrato administrativo no Brasil padeceu de outro mal, também bastante peculiar ao nosso Direito. Aludo ao que chamo de maldição do regime jurídico único. Esta mazela, tenho comigo, é fruto de uma aplicação irrefletida do regime jurídico administrativo como eixo demarcador do campo temático e metodológico desse ramo do Direito. Não cabe aqui aprofundar as premissas dessa crítica. Basta apenas dizer que tal vezo decorre da sorna de três vetores: (i) o metodológico, que tem a ver com a afirmação metodológica do Direito Administrativo e da necessidade vivida no fim do século XIX para demarcar seus lindes em relação a outros ramos do Direito; (ii) a influência forte do Direito Administrativo francês, em que a segregação entre regime comum e administrativo é fundamental por força da dualidade de jurisdição; e iii) a influência corporativa, das mais distintas origens e propósitos, que sempre tende a unificar o tratamento jurídico dos institutos e a rejeitar modulações e matizes de regimes. Para mim, a questão aqui não reside na existência ou não de um regime jurídico específico para os atos e os negócios jurídicos travados pelo Poder Público. O problema está em pretender submetê-lo, em cada segmento do Direito Administrativo a um único regime, a um único e uniforme tratamento. Essa tendência (seria mesmo uma maldição) leva a doutrina a predicar um único regime jurídico para os cargos e os empregos públicos (rejeitando modulações necessárias a tão diversificadas funções hoje exercidas pelos agentes públicos); a defender que o estatuto das licitações deve ser uno, invariável, não obstante as compras governamentais serem diversificadas ao extremo; a sustentar que as entidades da Administração indireta devem seguir um figurino único, independentemente da Constituição, a qual expressamente determina que a Lei é que deverá criá-los ou autorizar sua criação em seu art. 37, inciso XIX, (o que supõe dispor sobre seu regime jurídico) ou, ainda, faz-nos dizer que os bens públicos seguem um único regime jurídico, malgrado a discrepância de utilidades públicas a que podem servir. Tal unicidade é a origem de várias mazelas. Impede a modulação de regime em virtude da finalidade da ação administrativa. Obsta a maior eficiência da máquina pública. Tende a tornar todas as relações de que participa o Estado relações de autoridade, marcadas pelo poder extroverso, em detrimento dos direitos dos administrados. Pois bem. Tal maldição recai também sobre os contratos administrativos. Embora possamos cogitar de uma enormidade de tipos distintos de contratos de que o poder público pode participar, nosso Direito Administrativo (aqui não só a doutrina, mas também a Lei) procura reduzir tudo a um único regime contratual. E, pior, inspirado num tipo de contrato: a empreitada para obras de engenharia, molde das disposições da Lei 8.666/1993 (LGL\1993\78). Ou seja, esteja a Administração a contratar um singelo fornecimento de água mineral, encomendar um projeto de arquitetura, comprar um sofisticado equipamento feito sob encomenda, contratar a construção de uma usina hidrelétrica ou delegar um serviço público ou a prestação de um serviço social, deveria ela se submeter a um único modelo de contrato, observar regras de um regime jurídico monolítico. E nem se diga que existem já na legislação aberturas para regimes legais diferençados, como as concessões de serviços públicos (8.987/1995), os contratos de gestão com as organizações sociais (Lei 9.637/1998 (LGL\1998\93)) ou as parcerias público-privadas (Lei 11.079/2004 (LGL\2004\2877)). Tal refutação não calha, seja porque tais leis não contemplam um regime específico completo para esses contratos, contendo lacunas; seja porque a doutrina sempre procurará interpretar as disposições específicas previstas para esses contratos a partir do regime jurídico geral, como se a Lei 8.666/1993 (LGL\1993\78) tivesse urna prevalência (como regime geral dos contratos administrativos) ou, então, como se ela servisse de pauta hermenêutica para interpretar o regime especial. Essa tendência, digamos, unicista e uniformizadora traz grandes malefícios ao terna dos contratos administrativos. Primeiro, porque faz perder a maior vantagem do instituto contrato: dispor de normas específicas, vinculantes entre as partes numa dada relação específica. Normas estas, presume-se, melhor amoldadas para aquela situação concreta, adequadas à consecução de objetivos específicos. Veja-se, por exemplo, o tema da alocação de riscos. Em cada empreendimento alvitrado pelo poder público, a distribuição dos riscos entre as partes seguirá urna matriz diversa. É impossível à Lei capturar todas as variáveis, normatizar de forma abstrata e, ao mesmo tempo, adequada o regime de alocação de riscos para todas as situações possíveis. No regime único, porém, recorre-se a certo padrão de distribuição de riscos, que, em diversas oportunidades, não corresponderá ao padrão mais vantajoso para a Administração. Segundo, porque o regime jurídico único dos contratos administrativos jamais conseguirá abarcar todas as modalidades de ajustes obrigacionais que podem interessar à Administração. O que nos leva a defender a importância dos contratos administrativos atípicos, como faz também parte da doutrina (JUSTEN FILHO, 2005, p. 488). No Direito Comparado é comum termos leis de contratos administrativos prevendo uma gama bastante diversificada de contratos típicos e cometendo à Administração Pública uma margem de liberdade para adotar contratos atípicos conforme as necessidades contingentes e específicas, devidamente justificadas. São exemplos as Leis mais recentes na Espanha (Decreto Legislativo 2/2000; ver MUNAIZ, 2000) e em Portugal (Decreto-Lei 18/2008). Note-se que não estamos a dizer que os contratos firmados pela Administração Pública não mereçam tratamento legal distinto do Direito Civil. O fato de haver um núcleo de dispositivos do Código Civil (LGL\2002\400) que (por corresponderem ao contrato como instituição da teoria geral do Direito e não apenas do Direito Privado) são aplicáveis também aos contratos administrativos não elide que o Direito Público contenha regras específicas, seja para assegurar o exercício das funções públicas dependentes do ajuste seja para conferir proteção ao particular contra a exorbitância do uso da autoridade. Contudo, essas regras deverão corresponder em cada distinta modalidade de contrato ao quanto necessário para adaptar o regime obrigacional às peculiaridades da ação estatal. Nada mais. 5. As novas configurações da contratualidade administrativa Marcado por essa herança e por essas influências, porém, o tema do contrato administrativo vive entre nós um curso de importantes mudanças. Primeiro, há uma forte tendência na doutrina de, superando as concepções autoritárias subjacentes à supremacia absoluta do interesse público (BINENBOJM, 2006; BARROSO, 2009; SARMENTO, 2005; ÁVILA, 1999), apontar os riscos da teoria das cláusulas exorbitantes, especialmente quando transformadas em vetor do autoritarismo governamental (JUSTEN FILHO, 2005, p. 480). Embora tais posições sejam minoritárias na doutrina e, surpreendentemente, pouco acatadas na jurisprudência (que segue a desaperceber que sob o pálio de defender o interesse público, muita vez se está a favorecer o abuso de poder), é nítida a evolução do tratamento do tema na produção doutrinária mais recente (por todos, ver SOUTO, 2004). O contrato administrativo vive um curso de importantes mudanças. De outro lado, assistimos na prática da Administração a mudanças relevantes. Há inegável aumento na complexidade das relações contatuais de que participa o Poder Público. A busca por soluções de financiamento das utilidades públicas (decorrência menos da crise fiscal, e mais da crescente demanda pelo provimento de direitos fundamentais) leva a uma busca de arranjos contratuais criativos e inovadores, o que pressiona por novas formas de relacionamento contratual. O engrandecimento da atuação do Estado como empresário (em campos tão diversos como o fomento à cultura, a exploração de petróleo ou ó desenvolvimento de pesquisas no campo da inovação tecnológica), a seu turno, torna absolutamente superados os modelos contratuais tradicionais, impondo a necessidade de modelos mais flexíveis, adaptáveis às múltiplas circunstâncias da atuação estatal. Esses campos de atuação contratual do Poder Público, aliados à importação de modelos de negócio jurídico do mundo privado, colocam em discussão algumas das premissas da doutrina tradicional do contrato administrativo. A própria relação assimétrica entre o Poder Público e o Privado perde força como pressuposto do contrato administrativo diante de contratos da parceria, contratos de consórcio ou mesmo contratos de delegação de serviço público controlados por entidades reguladoras autônomas: A contratualidade administrativa está presente também no exercício da autoridade estatal. Resulta que podemos identificar alguns elementos conformadores dessa nova contratualidade administrativa. Algumas tendências já podem ser notadas, a saber: (i) maior deslocamento da norma da lei para o contrato, na medida em que as leis reitoras de contratos do poder público deleguem para o contrato a normatização concreta em cada negócio jurídico; (ii) maior margem de consensualidade, inclusive na estipulação de cláusulas contratuais no âmbito de uma fase pré-contratual de negociação entre o adjudicatário do certame prévio e o Poder Público; (iii) introdução mais frequente de contratos atípicos, com a multiplicação de objetos; (iv) mais recorrente utilização de contratos por desempenho, em que o particular vincula-se não a objetos previamente estipulados, mas a metas de desempenho, ensejadoras inclusive de remuneração variável; (v) maior flexibilidade na alocação de riscos, com deslocamento de maior parcela de riscos para o privado e clara estipulação da repartição dos ganhos de eficiência com o Poder Público; (vi) flexibilização do regime de equilíbrio econômico e financeiro, com a limitação de situações de aplicação da teoria da imprevisão; e, por fim, (vii) multiplicação das hipóteses de contratos de cooperação. Certo deve estar que essas tendências estão longe de demonstrar a superação da doutrina do contrato administrativo tradicional. Elas, porém, ilustram o fato de que, no âmbito da Administração Pública em geral e dos contratos administrativos em particular, podemos vislumbrar um deslocamento o eixo da autoridade para a consensualidade. Como nos mostram autores mais descortinados, “como reflexos das novas relações juspolíticas entre Estado e sociedade, a consensualidade passa a ser urna nova forma privilegiada de administrar interesses públicos nas relações entre Administração e administrados" (MOREIRA NETO, 2008, p. 583). Veja-se que esse traço da consensualidade hoje é presente não apenas na atuação contratual do Poder Público, mas até mesmo em funções em que a autoridade é mais central. Tomemos o campo do poder de polícia, típica função em que é inerente a imperatividade. Instrumentos como a negociação regulatória (ARAGÃO, 2006, p. 3-21), a regulação contratual ou os termos de ajustamento de conduta (AZEVEDO MARQUES NETO, 2000; DALLARI, 2001; MOREIRA NETO, 2008) indicam que a consensualidade, tendo como pressuposto urna relação mais horizontal, ganha espaço em detrimento das relações verticais de submissão, subordinação e supremacia do poder público sobre o particular. Pois se a consensualidade toma lugar da imperatividade mesmo nas funções típicas de autoridade, mais razão ainda há para que no âmbito da atividade contratual da Administração tenhamos a redução do caráter assimétrico e imperativo das posições do Poder Público em detrimento do particular. 6. Manifestações da Administração contratual Nesse contexto, os contratos do Poder Público deixam de ser mecanismos meramente para exercício das atividades-meio do Estado (aquisição de bens e serviços para desempenho das funções públicas diretamente pela Administração) e passam a ser instrumentos para a consecução das próprias atividades-fim. Na atividade de polícia, temos os termos de ajuste de conduta ou a substituição da sanção por compromissos de reparação dos danos causados pela infração; no campo dos serviços públicos, temos os contratos de gestão com organizações sociais, as parcerias público-privadas e mesmo as concessões de serviços públicos de nova geração, todos com alocações de risco mais arrojadas e consentâneas com o Princípio da Eficiência. Na função de fomento, também são inumeráveis as modalidades de contratos aptos a incrementar a atividade dos particulares, como nos dão notícias os contratos de incentivo, os contratos de inovação, os consórcios de desenvolvimento de pesquisas ou os contratos de condomínio em parques ou clusters tecnológicos. Na atividade de regulação, temos, além dos compromissos de desempenho e dos acordos regulatórios, as contratações híbridas e os modelos contratuais de regulação positiva, em que o regulado obtém acessos a mercados mediante o atendimento de metas de atendimento a grupos de usuários social ou geograficamente desatendidos. Por fim, na função de intervenção na economia; há ainda mais campo para o desenvolvimento desses arranjos, mediante contratos de joint ventures, consórcios empresariais ou mesmo parcerias institucionais em que o Poder Público participa como minoritário de uma sociedade, no âmbito da qual pactua mediante acordo de acionistas (o que não deixa de ser uma espécie de contrato, vale dizer) garantias de governança e mecanismos de proteção de seu investimento. Há ainda os contratos de gestão federativa asso ciada (como os consórcios públicos, os contratos de programa e os contratos de rateio previstos na Lei 11.107/2005 (LGL\2005\2652)), bem como os contratos de gestão com entidades da Administração indireta (Constituição, art. 37, § 8º), que, se não são propriamente contratos administrativos no sentido de vincular a Administração a particulares, não deixam de ser contratos do Poder Público que fogem do pressuposto da relação assimétrica entre contratantes. Afinal, entre entes federados não há que existir subordinação hierárquica. E, entre partes de um contrato de gestão constitucional, se existia hierarquia, ela é abrandada, já que é esse o objetivo principal da assinatura dessa espécie de contrato. Vivemos, portanto, um período de transição. Como sói nesses instantes, o novo já se mostra, mas a tradição resiste. Não é incomum nesses momentos, inclusive, que o modelo prevalecente no período anterior pareça se fortalecer. Isso é fruto do último suspiro da velha ordem. Tem sido assim ao longo do tempo. Quanto mais um modelo teórico se esgarça, mais veemente tende a aparentar seu respaldo. Mas, a contratualidade administrativa é um fato. Talvez o que faltava para sepultar, finalmente, o poder de império.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles

Dissertations / Theses on the topic "MMM Firmian"

1

Mendes, Algemira de Mac?do. "Maria Firmina dos Reis e Am?lia Bevil?qua na hist?ria da literatura brasileira : representa??o, imagens e mem?rias nos s?culos XIX e XX." Pontif?cia Universidade Cat?lica do Rio Grande do Sul, 2006. http://tede2.pucrs.br/tede2/handle/tede/2230.

Full text
Abstract:
Made available in DSpace on 2015-04-14T13:39:33Z (GMT). No. of bitstreams: 1 390035_p1_282.pdf: 1312796 bytes, checksum: cb879545e86e3e3f7df9672ac40eb609 (MD5) Previous issue date: 2006-12-21
O presente trabalho, Maria Firmina dos Reis e Am?lia Bevil?qua na hist?ria da literatura brasileira: representa??o, imagens e mem?rias do s?culo XIX e XX, tem como suporte te?rico a Hist?ria da Literatura, Hist?ria, Hist?rias das Mulheres e Teoria Liter?ria. Seu objetivo foi rastrear o processo de inclus?o e de exclus?o das escritoras Maria Firmina dos Reis e Am?lia Bevil?qua na historiografia liter?ria brasileira do s?culo XIX e s?culo XX. Realizou-se estudo extratextual e intratextual das obras ?rsula, de Maria Firmina dos Reis, assim como dos romances Ang?stia e Jeanete de Am?lia Bevil?qua, verificando as mem?rias, imagens e representa??es do estatuto da mulher no contexto sociopol?tico e cultural no qual as obras se inserem.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles

Books on the topic "MMM Firmian"

1

Tappeiner, Georg. Reinhold Messner: Der verzauberte Berg. Lana (Bozen): Tappeiner, 2006.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Pharasi pharamanom ke prakasa mem Mughalakalina Bharata evam Rajaputa sasaka. Bikanera: Rajasthana Rajya Abhilekhagara, Rajasthana Sarakara, 2010.

Find full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles

Conference papers on the topic "MMM Firmian"

1

Tewari, Raj Deo, and Mohd Faizal Sedaralit. "Making Things Right in Development and Management of Highly Contaminated Giant Carbonate Gas Field and Returning the CO2 to Subsurface Sequestration." In International Petroleum Technology Conference. IPTC, 2021. http://dx.doi.org/10.2523/iptc-21474-ms.

Full text
Abstract:
Abstract Natural gas is the noble fuel of 21st century. Consumption increased nearly 30% in last decade. Exploitation of conventional, unconventional, and contaminated gas resources are in focus to meet the demand. There are number of giant gas fields discovered worldwide and some of them with higher degree of contaminants viz. CO2, H2S and Hg. Additionally, they have operating challenges of high pressure and temperature. It becomes more complex when discovery is in offshore environment. This study presents the development and production, separation, transportation and identification & evaluation of storage sites and sequestration and MMV plan of a giant carbonate gas field in offshore Malaysia. Geological, Geophysical and petrophysical data used to describe the reservoir architecture, property distribution and spatial variation in more than 1000m thick gas bearing formation. Laboratory studies carried out to generate the rock and fluid representative SCAL (G-W), EOS and Supercritical CO2-brine relative permeability, geomechanics and geochemical data for recovery and storage estimates in simulation model and evaluating the post storage scenario. These data are critical in hydrocarbon gas prediction and firming up the number of development wells and in the simulation of CO2 storage depleted carbonate gas field. Important is to understand the mechanism in the target field for storage capacity, types of storage- structural and stratigraphic trapping, solubility trapping, residual trapping and mineral trapping. Study covers methodologies developed for minimization of hydrocarbon loss during contaminants separation and utilization of CO2 in usable products. Uncertainty and risk analysis have been carried out to have range of solution for production prediction and CO2 storage. Coupled Simulation studies predict the production plateau rate and 5 Tscf recovery separated contaminants profile and volume > one Tscf in order to have suitable geological structure for storage safely forever. Major uncertainties in the dynamic and coupled geomechanical-geochemical dynamic model has been captured and P90, P50, P10 forecast and storage rates and volumes have been calculated. Results includes advance methodologies of separation of hydrocarbon gas and CO2 like membrane and cryogenics for bulk separation of CO2 from raw gas and its transportation in liquid and supercritical form for storage. Study estimates components of sequestration mechanism, effect of heterogeneity on transport in porous media and height of stored CO2 in depleted reservoir and migration of plume vertically and horizontally. Generation of chemical product using separated CO2 for industrial use is highlighted.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography