To see the other types of publications on this topic, follow the link: Monsun.

Journal articles on the topic 'Monsun'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Monsun.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Imamshadiqin, Imamshadiqin, Imanullah Imanullah, Erniati Erniati, Erlangga Erlangga, Yudho Andika, Salmarika Salmarika, and Roza Yusfiandayani. "VARIABILITAS KONSENTRASI KLOROFIL-a DI BAGIAN BARAT PERAIRAN ACEH, INDONESIA BERDASARKAN PERGERAKAN ANGIN MONSUN." Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 11, no. 2 (December 20, 2021): 211–14. http://dx.doi.org/10.24319/jtpk.11.211-214.

Full text
Abstract:
Perairan Aceh bagian Barat terletak di bagian Timur Samudera Indonesia. Kawasan ini merupakan perairan yang dinamis karena merupakan bagian dari perairan Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera. Konsentrasi klorofil-a bervariasi secara bulanan di perairan ini. Penelitian ini mengamati variasi konsentrasi klorofil-a berdasarkan sirkulasi angin muson. Analisis konsentrasi klorofil-a dapat digunakan untuk membantu perkiraan produktivitas sebuah perairan. Kami menemukan bahwa konsentrasi klorofil-a di Monsun Barat lebih tinggi daripada di Monsun Timur. Sebaliknya, konsentrasi klorofil-a di Monsun Timur lebih rendah dibandingkan di Monsun Barat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Munandar, Muhammad Arif. "KAJIAN CLIMATE SHIFT TERHADAP VARIABILITAS MONSUN DAN UNSUR CUACA DI AUSTRALIA." Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika 17, no. 2 (August 5, 2021): 166. http://dx.doi.org/10.35580/jspf.v17i2.23628.

Full text
Abstract:
Adanya isu perubahan iklim ditandai dengan peningkatan suhu bumi secara global. Peningkatan suhu berkaitan dengan perubahan iklim dimana salah satu masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim yaitu Climate Shift (CS). Fenomena CS telah diketahui mekanismenya dan pengaruhnya terhadap unsur cuaca namun belum ada kajian yang mendalam terkait pengaruh CS terhadap variabilitas indeks monsun dan unsur cuaca di Australia. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh CS terhadap indeks monsun dan beberapa unsur cuaca di Australia. Untuk mengetahui pengaruh CS, terlebih dahulu diklasifikasikan indeks monsun Australia sebelum dan setelah CS. Kemudian dilakukan analisis periodesitas indeks monsun Australia sebelum dan setelah CS dan menganalisis unsur cuaca akibat CS pada wilayah Australia. Diperoleh adanya perubahan variasi dan periodesitias pada indeks monsun Australia pada saat sebelum dan sesudah CS. Selain itu suhu permukaan di Australia terjadi perubahan positif untuk daratan bagian tengah sedangkan perubahan negatif untuk daratan Australia yang berdekatan dengan laut. Untuk unsur tekanan permukaan, hanya terdapat satu pola yaitu perubahan positif untuk seluruh wilayah Australia dan sekitarnya. Adanya pengaruh CS terhadap indeks monsun dan unsur cuaca di Australia menyebabkan perubahan kejadian hujan yang terjadi di Benua Maritim Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Mulsandi, Adi, Ardhasena Sopaheluwakan, Akhmad Faqih, Rahmat Hidayat, and Yonny Koesmaryono. "EVALUASI PERFORMA INDEKS MONSUN AUSMI DAN WNPMI DI WILAYAH INDONESIA." Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 22, no. 2 (December 29, 2021): 61–70. http://dx.doi.org/10.29122/jstmc.v22i2.4705.

Full text
Abstract:
Intisari Iklim di wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh aktivitas monsun Asia-Australia. Variabilitas kedua sistem monsun tersebut dapat direpresentasikan dengan baik masing-masing oleh indeks monsun Australian Summer Monsoon Index (AUSMI) dan Western North Pacific Monsoon Index (WNPMI). Saat ini, BMKG secara operasional menggunakan indeks AUSMI dan WNPMI untuk memonitor aktivitas monsun di wilayah Indonesia sebagai bahan prakiraan musim. Meskipun banyak literatur menyatakan bahwa wilayah Indonesia merupakan bagian dari sistem monsun Asia-Australia, namun kondisi topografi lokal yang kompleks berpotensi memodifikasi sirkulasi monsun sehingga perlu dikaji performa kedua indeks tersebut sebelum digunakan secara operasional. Penelitian ini dilakukan untuk menguji performa indeks monsun AUSMI dan WNPMI dalam menggambarkan variasi antartahunan (interannual), variasi dalam musim (intraseasonal), dan siklus tahunan (annual cycle) hujan monsun Indonesia. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kedua indeks memiliki performa yang sangat baik hanya di wilayah dimana indeks tersebut didefinisikan namun kurang baik untuk wilayah Indonesia seperti yang ditunjukan oleh nilai koefisien korelasi yang tidak signifikan dari hasil uji statistik antara kedua indeks dengan curah hujan dari Global Precipitation Climatology Project (GPCP) pada periode 1981-2010. Selain itu, kedua indeks juga memperlihatkan karakteristik siklus tahunan yang berbeda dengan karakteristik siklus tahunan hujan wilayah Jawa sebagai wilayah kunci monsun Indonesia. Hasil ini mengindikasikan perlunya pendefinisian indeks sendiri untuk memonitor aktivitas monsun di wilayah Indonesia. Abstract The climate of Indonesia is strongly affected by the Asian-Australian monsoon system. The variability of the two monsoon systems can be well represented by the Western North Pacific Monsoon Index (WNPMI) and the Australian Summer Monsoon Index (AUSMI) respectively. For producing seasonal forecast, BMKG uses the WNPMI and AUSMI monsoon index to monitor monsoon activity in Indonesia. Although most literature states that the Indonesian region is part of the Asian-Australian monsoon system, the complex local topography may modify the monsoon circulation. Hence, it is necessary to assess the performance of the two indices before they are operationally used. This study was conducted to evaluate the performance of the AUSMI and WNPMI monsoon indices in describing the annual cycle, intraseasonal and interannual variability of the Indonesian monsoon rainfall. The results revealed that the two indices only performed very well in the areas where the index was defined but lack of skill for the Indonesian region because of insignificant linear correlation based on a statistical significance test between the two indices and the Global Precipitation Climatology Project (GPCP) rainfall in the 1981-2010 period. In addition, both monsoon indices and Java rainfall showed different characteristics of the annual cycle. These results indicate that it is necessary to define a specific index for monitoring monsoon activity in Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Elake, Alexander Y., Merlin Talahatu, and Pieldrie Nanlohy. "KORELASI MULTIVARIABEL ENSO, MONSUN DAN DIPOLEMODE TERHADAP VARIABILITAS CURAH HUJAN DI MALUKU." BAREKENG: JURNAL ILMU MATEMATIKA DAN TERAPAN 12, no. 1 (May 16, 2018): 7. http://dx.doi.org/10.30598/vol12iss1pp7-16ar359.

Full text
Abstract:
Analisis korelasi multivariabel antara curah hujan diMaluku (Ambon, Tual, dan Saumlaki) dengan anomali suhu the El Niño Southern Oscillation (ENSO) di daerah Niño 3.4 Samudera Pasifik, angin Monsun di wilayah Maluku serta anomali suhu Dipole Mode Event (DME) di Samudera Hindia telah dilakukan dengan analisa korelasi parsial dan berganda. Analisis tersebut dilakukan untuk data selama 10 tahun kalender yaitu dari Januari 2005 – Desember 2014 yang meliputi dua periode kejadian El Niño (tahun 2006/07 dan 2009/10), dua tahun fasa ENSO Normal (2005 dan 2013), dan tiga periode La Niña (2007/08, 2010/11, dan 2011/12). Pengaruh interaksi ENSO, Monsun dan Dipole Mode terhadap curah hujan Maluku ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi berganda (rb1) yang berkisar antara 0,748 – 0,999 dan nilai koefisien penentu berganda (rpb1) dengan kisaran 55,9–99,8% pada fasa El Niño. Sedangkan untuk fasa ENSO Normal nilainya berturut-turut rb2 = 0,807–0,905 dan rpb2 = 64,6 – 81,9%, dan untuk fasa fasa La Niña adalah rb3 = 0,674–0,964 dan rpb3 = 45,4– 92,9%. Pengaruh ENSO yang dominan terhadap curah hujan Ambon terlihat pada fasa El Niño dan fasa La Niña, sedangkan Monsun lebih dominan pada ENSO Normal. Untuk Tual, pengaruh ENSO, Monsun, dan Dipole Mode sama-sama terlihat pada fasa El Niño dan fasa La Niña, sedangkan Monsun lebih dominan dari Dipole Mode pada ENSO Normal. Sementara pengaruh Dipole Mode sangat dominan terhadap curah hujan Saumlaki.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Bönsch, Regine. "Vulkane verbessern Monsun-Vorhersage." VDI nachrichten 74, no. 39 (2020): 4. http://dx.doi.org/10.51202/0042-1758-2020-39-4-3.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Santoso, Agung Budi, Tavi Supriana, and Moral Abadi Girsang. "Pengaruh Curah Hujan terhadap Produksi Ubi Kayu di Indonesia." Agro Bali : Agricultural Journal 5, no. 3 (November 30, 2022): 520–28. http://dx.doi.org/10.37637/ab.v5i3.1051.

Full text
Abstract:
Ubi kayu termasuk komoditas tanaman pangan utama sebagai penghasil karbohidrat yang diusahakan di lahan kering. Budidaya di lahan kering mengakibatkan berhubungan langsung dengan perubahan curah hujan. Indonesia memiliki tiga tipe curah hujan yang berbeda; tipe ekuatorial, tipe monsun, dan tipe lokal. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh curah hujan terhadap produksi ubi kayu berdasarkan tipe curah hujan. Lokasi yang dipilih meliputi 7 provinsi yang terdiri dari Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah sebagai perwakilan tipe curah hujan ekuatorial, Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat sebagai perwakilan tipe curah hujan monsun; dan Provinsi Maluku mewakili daerah tipe hujan lokal. Data sekunder yang digunakan meliputi data produksi, luas lahan, dan curah hujan. Data dianalisis menggunakan regresi panel dan uji one way anova. Hasil menunjukkan bahwa curah hujan berpengaruh secara signifikan terhadap produksi ubi kayu di ketiga daerah tipe curah hujan. Rata-rata perubahan curah hujan yang terjadi di wilayah lokal berbeda signifikan dibanding rata-rata perubahan produksi ubi kayu di wilayah tipe hujan monsun dan lokal. Sedangkan rata-rata perubahan produksi ubi kayu di wilayah monsun tidak berbeda nyata dibanding rata-rata perubahan produksi ubi kayu di wilayah ekuatorial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Götz, Klaus-Peter, and Osman Erekul. "Effect of Late 15N-Fertilization and Water Deficit on Allocation into the Gluten of German and Mediterranean Spring Wheat Cultivars." Nitrogen 3, no. 4 (November 22, 2022): 628–35. http://dx.doi.org/10.3390/nitrogen3040041.

Full text
Abstract:
In a split N-application system, the objective was to quantify N/15N in gluten and non-gluten proteins after the late application of 30 or 60 kg N, whereby 10% of the third split was applied as 15N. This fertilization was combined with a reduced water supply for 21 days (well-watered (ww); water deficit (wd)). German spring wheat cultivars, Elite wheat Taifun, Quality wheat Monsun and cultivars from the Mediterranean territory, Golia, Gönen, were examined. The protein content in gluten was for 30 kg N, ww, similar for Taifun, Golia, and Gönen, but markedly lower in Monsun (231, 245, 247, 194 mg protein/g DM). The water deficit increased the protein content in the gluten of Golia and Gönen and was higher than that of Taifun and Monsun (297, 257, 249, 202 mg protein/g DM). Fertilization of 60 kg N, ww, did not result in any change in the protein content in gluten and differences between the cultivars were not detectable. The 15N protein in gluten was for 30 kg N, ww, markedly higher in Gönen (2.32 mg 15N protein/g DM), compared to Golia and Monsun (1.93, 1.50 mg 15N protein/g DM), and similar in Taifun (1.64 mg 15N protein/g DM). 15N fertilizer uptake into gluten was stimulated by water deficit for 30 and 60 kg N, leading to significantly increased 15N protein in Golia and Gönen, (2.38, 2.99, 4.34, 5.87 mg 15N protein/g DM). Fertilization of 60 kg N led to a proportional two-time increase in the 15N gluten protein of the four cultivars, in ww and wd plants. Assessed on the basis of 15N fertilizer allocation under wd conditions into gluten proteins, Golia and Gönen have a stronger sink activity, compared to Taifun and Monsun.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Ma’rufatin, Anies, Ardila Yananto, and Wahyu Widodo Pandoe. "Karakteristik Angin Wilayah Pesisir Utara Pulau Jawa Berdasarkan Variabilitas Monsun." Jurnal Teknologi Lingkungan 25, no. 1 (January 31, 2024): 020–30. http://dx.doi.org/10.55981/jtl.2024.2039.

Full text
Abstract:
The characteristics of near-surface winds correlated with global phenomena such as monsoons have previously been extensively investigated. However, limited wind data investigations have been conducted in the northern coastal region of Java Island. This research aims to analyze the wind characteristics in this region, focusing on monsoon variability. Statistical analysis and wind rose diagrams analysis were conducted using wind direction and speed data spanning from 2013 to 2022 at three Meteorological Station by the Meteorology, Climatology, and Geophysics Agency (BMKG): Tanjung Priok-North Jakarta, Tanjung Mas-Semarang, and Perak II-Surabaya. The analysis results indicate that North Jakarta has experienced an increasing trend in annual average wind speed over a decade, whereas Semarang and Surabaya have seen a decrease. When influenced by the east and west monsoons, wind speeds in North Jakarta and Semarang are higher than during transition periods I and II. Conversely, in Surabaya, the average value was highest during transition period II compared to the west monsoon, east monsoon, and transition period I. Surabaya's average daily wind speed surpassed that of North Jakarta and Semarang. However, Semarang exhibited the highest maximum wind speed among the three regions. The dominant wind direction aligns with the monsoon wind pattern, whether the west or the east. During the transition season, wind direction tends to be more variable, with the frequency of wind events from the south and southwest occurring least frequently compared to other directions. This preliminary study provides the foundation for advancing the knowledge of meteorological studies, particularly wind, as they relate to hydrometeorological disasters. Abstrak Karakteristik angin dekat permukaan yang dikaitkan dengan fenomena global seperti monsun telah banyak dilakukan riset sebelumnya. Akan tetapi, kajian data angin masih sedikit ditemukan di wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Riset ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik angin wilayah tersebut berdasarkan variabilitas monsun. Analisis statistik dan analisis diagram wind rose dilakukan untuk data arah dan kecepatan angin tahun 2013–2022 di tiga Stasiun Meteorologi milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yaitu di Tanjung Priok-Jakarta Utara, Tanjung Mas-Semarang, dan Perak II-Surabaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun tersebut di Jakarta Utara telah terjadi peningkatan tren kecepatan angin rata-rata tahunan, sedangkan di Semarang dan Surabaya terjadi penurunan. Saat dipengaruhi monsun timur maupun barat, kecepatan angin di Jakarta Utara dan Semarang lebih tinggi dibanding saat masa peralihan I maupun peralihan II. Akan tetapi, kecepatan angin di Surabaya saat masa peralihan II memiliki nilai rata-rata tertinggi dibandingkan saat periode monsun barat, monsun timur, maupun saat masa peralihan I. Rata-rata kecepatan angin harian di Surabaya lebih tinggi dibanding Jakarta Utara dan Semarang, namun Semarang memiliki nilai maksimum kecepatan angin yang paling tinggi di antara kedua wilayah lainnya. Dominasi arah angin terlihat mengikuti pola angin monsun baik saat terjadi monsun barat, ataupun saat terjadi monsun timur. Arah angin akan cenderung lebih beragam pada saat musim peralihan dengan frekuensi kejadian angin dari selatan maupun barat daya paling sedikit terjadi daripada arah angin lainnya. Studi awal ini sebagai dasar untuk pengayaan ilmu kajian meteorologi terutama angin untuk dikaitkan dengan bencana hidrometeorologi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Kuntjoro, Wedyanto, Z. A. J. Tanuwijaya, A. Pramansyah, and Dudy D. Wijaya. "KORELASI MUSIMAN ANTARA ZENITH WET DELAY (ZWD) DAN DEBIT SUNGAI DI DAS CIKAPUNDUNG HULU, KAWASAN BANDUNG UTARA, JAWA BARAT." Seminar Nasional Geomatika 3 (February 15, 2019): 741. http://dx.doi.org/10.24895/sng.2018.3-0.1033.

Full text
Abstract:
Kandungan total uap air troposfer (precipitable water vapor) di suatu tempat dapat diestimasi berdasarkan karakteristik bias gelombang elektromagnetik dari satelit navigasi GPS, berupa zenith wet delay (ZWD). Pola musiman deret waktu ZWD sangat penting dalam studi siklus hidrologi khususnya yang terkait dengan kejadian-kejadian banjir. Artikel ini menganalisis korelasi musiman antara ZWD dan debit sungai Cikapundung di wilayah Bandung Utara berdasarkan estimasi rataan pola musimannya. Berdasarkan rekonstruksi sejumlah komponen harmonik ditemukan bahwa pola musiman ZWD memiliki kemiripan dan korelasi yang kuat dengan pola musiman debit sungai. Pola musiman ZWD dan debit sungai dipengaruhi secara kuat oleh fenomena pertukaran Monsun Asia dan Monsun Australia. Korelasi linier di antara keduanya menunjukkan hasil yang sangat kuat, dimana hampir 90% fluktuasi debit sungai dipengaruhi oleh kandungan uap air di troposfer dengan level signifikansi 95%. Berdasarkan spektrum amplitudo silang dan koherensi, kedua kuantitas ini nampak didominasi oleh siklus monsun satu tahunan disertai indikasi adanya pengaruh siklus tengah tahunan dan 4 bulanan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Rahmatullah, Amri, Nuki Widi Asmoro, Muhammad Azis, Widodo Setiyo Pranowo, and Johar Setiyadi. "Karakteristik Struktur Lapisan Termoklin Di Laut Andaman Dalam 4 Monsun Selama 1 Tahun." Buletin Oseanografi Marina 13, no. 1 (December 28, 2023): 79–90. http://dx.doi.org/10.14710/buloma.v13i1.54877.

Full text
Abstract:
Suhu air laut menjadi salah satu parameter penting dalam bidang oseanografi. Salah satunya adalah termoklin, yaitu lapisan perairan dengan perubahan suhu yang cepat diantara lapisan yang berbeda. Karakteristik laut Andaman banyak yang belum diulas terutama pengaruh periodisitas monsun terhadap struktur lapisan termoklin. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif dengan data model dari Copernicus. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik struktur lapisan termoklin di laut Andaman. Hasil pengolahan data menunjukkan lapisan termoklin dalam 4 monsun secara menyeluruh. Sebaran batas atas termoklin berada pada kisaran kedalaman 13,47-109,73 m dan suhu antara 29,87-20.36˚C. Sebaran batas bawah berada pada kisaran kedalaman antara 130,67-155,85 m dan suhu antara 23,85-16,83˚C. Karena didominasi pengaruh monsun sehingga batas atas termoklin terdangkal ditemukan pada monsun Peralihan I dan batas bawah paling dalam pada monsun Timur dan Peralihan II. Struktur lapisan termoklin berada pada rentang ketebalan termoklin dari 17,4-80,28 m dan rata-rata ketebalan termoklin sebesar 47,18 m. Ketebalan maksimum ditemukan pada monsun Peralihan I dengan ketebalan hingga 80,28 m. Peningkatan ketebalan termoklin pada Monsun Peralihan I terjadi akibat pengaruh angin, SPL yang meningkat dan masuknya Equatorial Jet yang membawa arus lebih hangat dan East Indian Current (EIC) yang berputar tetap searah jarum jam di Utara Laut Andaman.The sea temperature is one of the important parameters in oceanography. One of them is the thermocline, which is a layer of water with rapid temperature changes between different layers. Many characteristics of the Andaman Sea have not been reviewed, especially the effect of monsoon periodicity on the structure of the thermocline layer. This research uses descriptive quantitative research methods with model data from Copernicus. This study aims to identify and analyze the characteristics of thermocline layer structure in the Andaman Sea. The results of data processing show the thermocline layer in 4 monsoons as a whole. The distribution of the upper boundary of the thermocline is in the range of 13.47-109.73 m depth and temperature between 29.87-20.36˚C. The lower boundary distribution is in the range of depths between 130.67-155.85 m and temperatures between 23.85-16.83˚C. Due to the dominant influence of monsoon, the shallowest upper thermocline was found in the first monsoon and the deepest lower thermocline in the second monsoon. The thermocline layer structure ranges in thermocline thickness from 17.4-80.28 m, with an average thermocline thickness of 47.18 m. The maximum thickness is found in the Transitional I monsoon with a thickness of up to 80.28 m. The increase in thermocline thickness in Monsoon Transitional I occurs due to the influence of winds, increased SPL and the entry of the Equatorial Jet which brings warmer currents and the East Indian Current (EIC) which rotates clockwise in the North of the Andaman Sea.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Musyayyadah, Hanifah Azzaura, and Mutya Vonnisa. "Analisa Pola Temperatur Udara Permukaan di Sumatera Barat Tahun 1980 - 2017." Jurnal Fisika Unand 8, no. 1 (January 2, 2019): 91–97. http://dx.doi.org/10.25077/jfu.8.1.91-97.2019.

Full text
Abstract:
Temperatur udara permukaan di Sumatera Barat telah diteliti menggunakan data stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk 11 tahun pengamatan (2007 – 2017) di empat lokasi, yaitu Teluk Bayur (Padang), Minang Kabau (batas kota Padang – Padang Pariaman), Sincincin (Padang Pariaman) dan Padang Panjang. Selain itu digunakan juga data re-analisis dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts Re-Analysis interim model data (ECMWF ERA-Interim) untuk 38 tahun pengamatan (1980 – 2017). Osilasi internal temperatur udara permukaan di Sumatera Barat diamati menggunakan transformasi wavelet dengan mother Maxican Hat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur udara permukaan rata – rata di Sumatera Barat meningkat sekitar 0,007⁰C-0,01⁰C/tahun. Temperatur maksimum harian meningkat sekitar 0,058⁰C-0,066⁰C/tahun, sedangkan temperature udara minimum harian meningkat sekitar 0,028⁰C-0,045⁰C/tahun. Periode ulang temperatur udara permukaan di Sumatera Barat yang paling dominan adalah satu tahun, atau biasa disebut osilasi tahunan yang disebabkan oleh monsun. Selain itu, terdapat osilasi 4 dan 8 tahun yang bersesuaian dengan siklus El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa temperatur udara permukaan di Sumatera Barat dipengaruhi oleh monsun dan ENSO. Kata kunci: Temperatur udara permukaan, Sumatera Barat, ERA-Interim, monsun, ENSO
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Che Abd Rahim, Mohamad Arif, Shengfa Liu, Xuefa Shi, and Che Abd Rahim Mohamed. "Pemendapan Sedimen dan Proses 210Pb di Lembangan Melayu dan Selat Melaka." Sains Malaysiana 52, no. 2 (February 28, 2023): 381–98. http://dx.doi.org/10.17576/jsm-2023-5202-06.

Full text
Abstract:
Sebanyak dua teras sedimen diperoleh dari Lembangan Melayu dan Selat Melaka bagi mengenal pasti pemendapan sedimen serta proses 210Pb di Lembangan Melayu dan Selat Melaka. Di kawasan kajian, purata aktiviti 210Pb adalah sebanyak 111.47 ± 15.01 Bq/kg dan 126.38 ± 16.8 Bq/kg di stesen M17 dan M43 dengan perbezaan antara stesen adalah sebanyak 10%. Kedua-dua stesen menerima input yang berlainan melalui saluran air ke arah kawasan persampelan, menyebabkan peningkatan kandungan 210Pb di dalam sedimen. Proses hidrologi yang dikawal melalui perbezaan temporal turut mempengaruhi proses fizikal dan secara tidak langsung, mempengaruhi proses sedimentasi. Proses hidrologi melalui perbezaan temporal yang mempengaruhi proses fizikal dan kemudiannya mempengaruhi kadar proses pemendapan. Memandangkan sistem monsun mempengaruhi daya kitaran hidrologi, mekanisme timbal-balik kesan saiz butiran terhadap 210Pb telah berubah berikutan pengaruh arus monsun bersama dengan lempung sebagai pembawa utama yang menonjol untuk teras sedimen, sekali gus mempunyai kesan serta-merta pada pemendapan sedimen. Di samping itu, inventori dan fluks Lembangan Melayu dan Selat Melaka menunjukkan kesan monsun juga menyumbang kepada perubahan inventori dan fluks 210Pb di Lembangan Melayu dan Selat Melaka apabila daya kitaran hidrologi mengubah keupayaan kesan penggarutan 210Pb di sekitar perantaraan sedimen dan air laut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Schaal, René. "Die schwimmenden Gärten von Bangladesch." agrarzeitung 78, no. 1 (2023): 16. http://dx.doi.org/10.51202/1869-9707-2023-1-016.

Full text
Abstract:
Frankfurt a.M. Hochwasser gehört in Bangladesch zum Alltag. Das Land ist geprägt durch den Monsun, das Mündungsdelta der Flüsse Brahmaputra, Ganges und Meghna, das überwiegend flache Tiefland sowie die Lage am Golf von Bengalen.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Lauridsen, John T. "Monsun og Taifun - tysk strejkebekæmpelse i Danmark." Magasin fra Det Kongelige Bibliotek 20, no. 3 (September 1, 2007): 11–25. http://dx.doi.org/10.7146/mag.v20i3.66963.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Millenia, Yustina Wulan, Muhammad Helmi, and Lilik Maslukah. "Analisis Mekanisme Pengaruh IOD, ENSO dan Monsun terhadap Suhu Permukaan Laut dan Curah Hujan di Perairan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat." Indonesian Journal of Oceanography 4, no. 4 (January 31, 2023): 87–98. http://dx.doi.org/10.14710/ijoce.v4i4.14414.

Full text
Abstract:
Fenomena El-Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) berkaitan erat dengan suhu permukaan laut dan variabilitas curah hujan. Monsun Asia sering menyebabkan hujan lebat termasuk di Sumatera bagian utara sedangkan monsun Australia umumnya menyebabkan kemarau. Perairan Kepulauan Mentawai berada di dekat Samudra Hindia dan dilalui oleh garis khatulistiwa. Hal ini menyebabkan kondisi iklim curah hujan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu muka laut, dipole mode, angin dan Niño 3.4. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data curah hujan (GSMaP), data suhu permukaan laut MUR Level 4 (GHRSST), data angin (ASCAT) yang diolah menggunakan metode komposit serta analisa koefisien korelasi dan koefisien determinasi. Saat fenomena IOD positif, sebesar 60,6% indeks IOD mempengaruhi suhu permukaan laut, sedangkan curah hujan sebesar 21,8%. Saat fenomena ENSO terutama saat La-Niña, indeks ENSO mempengaruhi SPL sebesar 15,8% dan mempengaruhi curah hujan sebesar 6,1%. Monsun asia mempengaruhi SPL sebesar 50,2% sedangkan monsun Australia sebesar 36,7%. Fenomena IOD lebih berpengaruh terhadap SPL dan curah hujan di Perairan Kepulauan Mentawai dibandingkan dengan fenomena ENSO. Saat fenomena El-Niño dan IOD positif suhu permukaan laut menurun diikuti dengan curah hujan rendah. Saat La-Niña dan IOD negatif SPL meningkat diikuti dengan curah hujan yang meningkat. Kecepatan angin yang tinggi menyebabkan SPL merendah.Kata kunci: Curah Hujan, ENSO, IOD, Monsun, SPL Abstract Analysis of Mechanisms of Influence of IOD, ENSO and Monsoon on Sea Surface Temperature and Rainfall in Mentawai Islands Waters, West Sumatra The El-Niño Southern Oscillation (ENSO) and Indian Ocean Dipole (IOD) are closely related to sea surface temperature and rainfall variability. The Asian monsoon often causes heavy rains, including in northern Sumatra, while the Australian monsoon generally causes dryness. The sea of the Mentawai Islands are near the Indian Ocean and are traversed by the equator. This causes the climatic conditions of rainfall to be influenced by several factors such as sea surface temperature, dipole mode, wind and Niño 3.4. This research uses rainfall data (GSMaP), sea surface temperature data from MUR Level 4 (GHRSST), wind data (ASCAT) which is processed using the composite method and analysis of correlation coefficients and coefficients of determination. When the IOD is positive, 60.6% of the IOD index affects sea surface temperature, while rainfall is 21.8%. During the ENSO phenomenon, especially during La-Niña, the ENSO index affects SST by 15.8% and affects rainfall by 6.1%. The Asian monsoon affects SST by 50.2% while the Australian monsoon affects 36.7%. The IOD phenomenon has more influence on SST and rainfall in the Mentawai Islands waters compared to the ENSO phenomenon. When the El-Niño and IOD are positive, the sea surface temperature decreases, followed by low rainfall. When La-Niña and IOD are negative the SST increases followed by an increase in rainfall. The high wind speed causes the SST to decrease.Keywords: Rainfall, ENSO, IOD, Monsoon, SST
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Sariana, Sariana, Muhammad Ishak Jumarang, and Riza Adriat. "Kajian Pola Angin Permukaan di Bandara Supadio Pontianak." PRISMA FISIKA 6, no. 2 (July 11, 2018): 108. http://dx.doi.org/10.26418/pf.v6i2.26478.

Full text
Abstract:
Telah dilakukan sebuah kajian tentang pola angin permukaan yang ada di Bandara Supadio Pontianak, Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola arah angin permukaan dan angin yang memotong landasan pacu di Bandara Supadio Pontianak. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data arah angin permukaan harian di bandara Supadio dengan waktu pengamatan selama 24 jam untuk tahun 2016 yang diperoleh langsung dari BMKG Supadio. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu menghitung distribusi relatif arah angin, membuat diagram windrose dan menghitung komponen crosswind. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa selama tahun 2016 arah angin berhembus dari Timur Laut (12,16%), Selatan (11,22%) dan Barat (13,1%) dengan kecepatan angin rata-rata menunjukkan rentang nilai dari 4 s.d 7 knot, serta sebagian besar didominasi oleh angin teduh (calm) yang memiliki kecepatan sebesar 0 knot dengan persentase 54,98%. Pola angin tersebut dominan dipengaruhi oleh angin monsun dimana pada musim timur arah angin yang melewati Pontianak adalah angin Timur Laut dan Selatan, sebaliknya pada musim barat arah angin yang dominan adalah angin Barat dan Timur Laut. Pada saat monsun barat persentase kecepatan angin yang melebihi 7 knot yaitu 5,21% dan pada saat monsun timur yaitu 4,3%. Crosswind yang kecepatannya melebihi 20 knot sangat berbahaya terhadap aktivitas penerbangan. Perhitungan yang telah dilakukan diperoleh bahwa frekuensi kejadian crosswind yang paling banyak adalah angin dengan kecepatan 5 s.d 10 knot yaitu sebanyak 5,83%, 10 s.d 15 knot sebanyak 0,65% dan 15 s.d 20 knot sebanyak 0,1%. Crosswind yang melebihi kecepatan 20 knot tidak terdapat disepanjang tahun 2016 sehingga aman dilakukannya penerbangan. Kata Kunci : Angin Permukaan, Crosswind dan Windrose
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Hardjono, Soegeng. "Analisa Ukuran Utama Kapal General Cargo Yang Sesuai Dan Aman Untuk Gelombang Tinggi Di Perairan Indonesia." Warta Penelitian Perhubungan 27, no. 3 (January 29, 2019): 167. http://dx.doi.org/10.25104/warlit.v27i3.782.

Full text
Abstract:
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai kondisi gelombang tinggi pada musim-musim tertentu sebagai akibat dari pengaruh angin musiman yaitu angin musim monsun Asia dan monsun Australia. Kedua musim ini mampu menciptakan gelombang laut dengan tinggi antara 3.0 hingga 6.0 meter. Kondisi ini menjadikan ancaman bagi keselamatan armada pelayaran domestik, khususnya armada kapal tipe general cargo yang menduduki urutan kedua kecelakaan di laut menurut data dari KNKT. Untuk mengatasi gelombang tinggi tersebut, maka telah dilakukan penelitian untuk menentukan ukuran utama kapal yang sesuai dan aman untuk gelombang tinggi melalui metode Parametric Ratio Design Approach dari teori Naval Architec dengan suatu asumsi dasar bahwa kapal mempunyai lambung timbul minimum 3 meter seperti direkomendasikan oleh Mahkamah Pelayaran. Hasil penelitian ini mengidentifikasikan bahwa ukuran utama kapal tipegeneral cargo yang sesuai dan aman untuk kondisi gelombang laut tinggi hingga diatas 6 meter adalah kapal dengandisplacement 30.529 tons, panjang (Lbp)185 meter, dengan kecepatan operasional (Vs) 17 knots.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Aji, Tri, Widodo Setiyo Pranowo, Yoyok Nurkarya Santosa, Hendra Hendra, and Choirul Umam. "Analisis Massa Air Musiman di Selat Sunda." Jurnal Chart Datum 8, no. 2 (November 14, 2022): 125–42. http://dx.doi.org/10.37875/chartdatum.v8i2.148.

Full text
Abstract:
Perairan Selat Sunda merupakan bagian dari laut Indonesia dengan memiliki karakteristik yang menarik. Perairan Selat Sunda di pengaruhi oleh pola angin monsun yang menyebabkan Selat Sunda mengalami empat musim yaitu musim monsun barat, peralihan I monsun timur dan peralihan II, selain itu Selat Sunda merupakan jalur dari Indonesian Throughflow (ITF) sehingga menjadi lokasi yang menarik untuk dilaksanakan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik massa air laut di Selat Sunda yang dipengaruhi empat musim selama satu tahun pada kedalaman mix layer, termoklin dan deap layer serta mengidentifikasi masa air laut dari Samudra Hindia. Data yang digunakan adalah data temperatur dan salinitas untuk mengidentifikasai massa air, data bersumber dari situs infrastructure development of space oceanography (INDESO) dengan rentang waktu Desember 2014 sampai dengan Januari 2015. Hasil pengolahan data yang didaapatkan salintas tertinggi di lapisan permukaan terjadi pada musim peralihan II (31,6-33,7 psu) sedang terendah terjadi pada peralihan I (30,5-31,3 psu). Lapisan termoklin memiliki rata-rata tertinggi terjadi pada bulan peralihan I (34,8 psu) dan terendah pada musim hujan (34,65 psu). Pada lapisan dalam rata-rata memiliki salinitas 34,9 psu. Temperatur lapisan permukaan tertinggi pada musim peralihan kemarau (30,2-30,4°C) sedangkan terendah pada musim hujan (29,7-29,5°C). Pada lapisan termoklin rata-rata temperatur tertinggi pada musim kemarau 21,20 °C dan terendah pada musim peralihan I (19 °C). Pada lapisan dalam rata-rata temperatur tertinggi terjadi pada musim peralihan I (10,8 °C) dan terendah pada musim hujan (10,33 °C). Pada perairan ini diduga dilintasi massa air dari Samudra Hindia yaitu Indian Equator Water (IEW), Indonesian Upper Water (IUW) dan South Indian Central Water (SICW).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Tristianto, Galih, Sri Yulina Wulandari, Agus Anugroho Dwi Suryoputro, Gentur Handoyo, and Muhammad Zainuri. "Studi Variabilitas Upwelling di Laut Banda." Indonesian Journal of Oceanography 3, no. 1 (March 31, 2021): 25–35. http://dx.doi.org/10.14710/ijoce.v3i1.9764.

Full text
Abstract:
Laut Banda adalah sebuah cekungan perairan (basin) yang terletak di Kepulauan Maluku, Indonesia. Laut Banda memiliki karakteristik oseanografi yang menarik karena dikelilingi pulau-pulau dan juga selat sebagai jalur perlintasan Arlindo. Sirkulasi dan karakteristik massa air di Laut Banda dipengaruhi kuat oleh angin monsun. Variasi nilai arah dan kecepatan angin monsun berdampak terhadap kejadian coastal upwelling. Tujuan penelitian untuk mengetahui variabilitas upwelling di Laut Banda dan mengetahui hubungan antar parameter upwelling (indeks upwelling,SPL, dan klorofil-a). Penelitian ini menggunakan data komposit bulanan dari satelit Aqua-MODIS level 3 untuk data SPL dan klorofil-a,data angin reanalisis ECMWF,tahun 2003-2019. Hasil penelitian menunjukkan upwelling di Laut Banda terjadi pada periode April-Oktober dengan puncaknya di bulan Agustus. Rata-rata indeks upwelling mencapai 1.86 m3/s. Dampak kejadian upwelling dapat diidentifikasi melalui SPL yang lebih dingin dan konsentrasi klorofil-a tinggi. Nilai SPL mencapai 26.79 oC dan konsentrasi klorofil-a adalah 0.614 mg/m3. Hubungan SPL terhadap indeks upwelling memiliki koefisien korelasi (r=-0.707). Hubungan konsentrasi klorofil-a terhadap indeks upwelling memiliki koefisien korelasi (r=0.661).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Breitwieser, Helmut, and Wolfgang Weber. "MONSUN A Distributed Manipulator Control System Utilizing Network Technology." IFAC Proceedings Volumes 28, no. 20 (September 1995): 141–49. http://dx.doi.org/10.1016/s1474-6670(17)45040-3.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Kurniasari, Erlina Natasya, Gusti Rusmayadi, Totok Wianto, and Idiannor Mahyudin. "PERUBAHAN IKLIM DAN POTENSI ENERGI SURYA DI WILAYAH MONSUN." EnviroScienteae 19, no. 1 (March 1, 2023): 89. http://dx.doi.org/10.20527/es.v19i1.15750.

Full text
Abstract:
Climate change results from global warming, caused by increasing greenhouse gases in the atmosphere, especially CO2 (carbon dioxide). This increase cannot be separated from the excessive use of fossil fuels such as oil and coal in the energy sector. In addition, mining can cause environmental damage, such as reduced air and water quality, and exacerbate future climate change. Renewable energy can be a solution to meet electrical energy needs by minimizing the impact it causes. Solar energy is one environmentally friendly source of renewable energy that will never run out. An analysis of climate change and the potential for solar energy has been carried out in this study. Data processing results for the last 30 years (1992-2021) show that climate change has occurred in the monsoon region. This is marked by a significant increase in the annual average temperature trend and an increase in extreme minimum temperature events until 2021. Based on the results of the projection of solar energy potential using the RCP4.5 scenario for the monsoon region until 2050 of 4.56-5.03 kWh/m2.day with homogeneous data distribution.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Berton, Paulo Ricardo. "The Vietnamese Theatrical Tradition in the Plot of Monsun, by Anja Hillin." Dramaturgias, no. 4 (August 8, 2017): 9–17. http://dx.doi.org/10.26512/dramaturgias.v0i4.8464.

Full text
Abstract:
From the dramatic text Monsun by the German author Anja Hilling, this article analyzes the construction of a plot using elements of the Asian theater, in this specific case the Vietnamese tradition, identifying its presence inthe structure beyond the constant references to the context of that country, starting with the title of the play itself and the trip of one of the characters to Vietnam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Aufar, Teuku Fauzan Zul, Kunarso Kunarso, Lilik Maslukah, Dwi Haryo Ismunarti, and Anindya Wirasatriya. "Peramalan Daerah Fishing Ground di Perairan Pulau Weh, Kota Sabang Menggunakan Indikator Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Serta Hubungannya Dengan Kelimpahan Ikan Tongkol." Indonesian Journal of Oceanography 3, no. 2 (June 11, 2021): 189–96. http://dx.doi.org/10.14710/ijoce.v3i2.11221.

Full text
Abstract:
Fishing ground atau zona penangkapan ikan adalah suatu kawasan perairan yang menjadi sasaran penangkapan ikan. Prediksi zona tangkapan ikan dapat dilakukan dengan cara mendeteksi sebaran klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut (SPL) dari citra Aqua MODIS. Penelitian ini bertujuan mempelajari perkiraan potensi daerah fishing ground pada variasi monsun di perairan Pulau Weh Kota Sabang dan hubungannya dengan kelimpahan ikan tongkol. Data SPL dan klorofil-a yang digunakan didapatkan dari citra MODIS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada monsun Barat-Peralihan I yang terjadi pada Bulan Desember, Januari, Februari, Maret, April, dan Mei merupakan musim dengan jumlah tangkapan ikan tinggi. Bulan Februari merupakan puncak tertinggi hasil tangkapan, dengan luas area tangkapan diprediksi mencapai 455,89 km2. Jumlah hasil tangkapan tongkol tertinggi ditemukan pada musim Barat dan kondisi ini bersamaan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a dan rendahnya nilai SPL. Musim Timur-peralihan II yang terjadi pada Bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, dan November merupakan musim dengan tangkapan tongkol rendah. Bulan Juni memiliki hasil tangkapan ikan tongkol paling rendah, dan dari hasil prediksi penentuan daerah potensi fishing ground diperkirakan hanya mencapai 190,19 km2.. Lokasi prediksi fishing ground pada musim Barat-peralihan I dominan disebelah timur Pulau Weh, Provinsi Aceh dan sebaliknya pada musim Timur sampai peralihan II, lokasi fishing ground dominan di sebelah Barat Pulau Weh.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Buton, Intan, Simon Tubalawony, and Marlin Chrisye Wattimena. "Variabilitas Hidrometeorologi Permukaan Laut Arafura Pada Saat Fenomena Enso." Jurnal Laut Pulau: Hasil Penelitian Kelautan 2, no. 2 (November 22, 2023): 32–50. http://dx.doi.org/10.30598/jlpvol2iss2pp32-50.

Full text
Abstract:
Dinamika Laut Arafura dipengaruhi oleh iklim yang terjadi seperti angin Monsun dan ENSO. Pengaruh iklim terhadap perairan, tentunya juga akan berdampak pada parameter oseanografi yang ada pada perairan tersebut seperti suhu dan salinitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji variasi angin, suhu dan salinitas permukaan saat fenomena Enso di Laut Arafura. Data suhu dan salinitas yang digunakan adalah data dari model Marine Copernicus, data angin dari ECMWF dan data indeks Enso bersumber dari NCEP. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak ODV, Mcrosoft. Exel dan Panoply. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan angin cenderung lebih tinggi saat periode El Nino, sedangkan periode La Nina angin lebih rendah. Variasi suhu selama periode La Nina tahun 2010/2011 cenderung lebih tinggi daripada periode Normal tahun 2013, sementara selama periode El Nino tahun 2015 suhu laut lebih rendah daripada periode Normal. Suhu maksimum selama ketiga periode 31.8 oC dan suhu minimum 23.6 oC, sebaliknya sebaran salinitas selama periode El Nino cenderung lebih tinggi daripada periode Normal, sedangkan periode La Nina memiliki salinitas lebih rendah daripada periode Normal. Salinitas maksimum selama ketiga periode 35.5 psu dan salinitas minimum 22.3 psu. Perubahan suhu dan salinitas diduga dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan pengaruh angin Monsun yang memengaruhi sirkulasi massa air di Laut Arafura.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Kastanya, Philipus, and Dellen N. Matulessy. "ANALISIS JASA LINGKUNGAN PENYEDIA AIR DI KECAMATAN TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA." JURNAL HUTAN PULAU-PULAU KECIL 7, no. 1 (May 22, 2023): 22–32. http://dx.doi.org/10.30598/jhppk.v7i1.8988.

Full text
Abstract:
Jasa Lingkungan Hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan hidup bagi manusia dan keberlangsungan kehidupan yang di antaranya mencakup penyediaan sumber daya alam, pengaturan alam dan lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian nilai budaya. Salah satu jasa lingkungan penting yang tergolong jasa penyedia di Kecamatan Tobelo yaitu jasa ekosistem penyedia air. Tujuan dari penelitian ini pada prinsipnya adalah analisis tutupan lahan, vegetasi alami dan ekoregion (bentang lahan) wilayah Kecamatan Tobelo, serta analisis jasa ekosistem penyedia air wilayah Kecamatan Tobelo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode klasifikasi visual melalui aplikasi ArcGIS untuk pengolahan dan analisis tutupan lahan, vegetasi alami dan ekoregion (bentang lahan). Sedangkan metode join spasial menggunakan ArcGIS bertujuan untuk menghasilkan informasi spasial jasa ekosistem penyedia air di Kecamatan Tobelo. Hasil analisis menunjukkan bahwa area yang yang memiliki jasa ekosistem tergolong sangat tinggi dalam menyediakan air di Kecamatan Tobelo seluas 4.492,23 Ha atau 36,71 % dengan IJE 3,16-4,40, berada pada tutupan lahan hutan kering primer, yang merupakan vegetasi alami Hutan Pamah Monsun maupun Hutan Pegunungan Bawah Monsun, dengan bentang lahan (ekoregion) tergolong Perbukitan Struktural Kompleks Halmahera maupun Pegunungan Vulkanik Kompleks Gamalama. Selain itu, jasa ekosistem kategori sangat tinggi juga terdapat pada pertanian lahan kering, dengan bentang lahan Dataran Vulkanik Kompleks Gamalama. Sedangkan, kemampuan jasa ekosistem wilayah Kecamatan Tobelo terrluas dalam menyediakan air di wilayah tersebut, termasuk dalam kategori sedang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Trawczyński, Cezary. "Reakcja kilku nowych odmian ziemniaka na nawożenie azotem." Biuletyn Instytutu Hodowli i Aklimatyzacji Roślin, no. 246 (December 31, 2007): 73–81. http://dx.doi.org/10.37317/biul-2007-0007.

Full text
Abstract:
Celem doświadczeń przeprowadzonych w Instytucie Hodowli i Aklimatyzacji Roślin, Oddział Jadwisin było poznanie reakcji na nawożenie azotem nowych odmian ziemniaka Bartek, Clarissa, Pirol, Syrena, Monsun, Ślęza, Cekin, Tajfun, Ursus, Gandawa oraz określenie wpływu zróżnicowanego poziomu nawożenia azotem na udział bulw dużych w plonie, a także zawartość skrobi i azotanów w bulwach. Badania przeprowadzono na glebie nawożonej organicznie słomą i poplonem gorczycy białej. W badaniach stosowano 5 poziomów nawożenia azotem: 0, 50, 100, 150 i 200 kg N·ha-1 oraz stały poziom fosforu — 52,3 kg P·ha-1 i potasu 149,4 kg K·ha-1. Dla odmian wyznaczono dawki azotu maksymalne i zalecane oraz określono ich efektywność. Uzyskane wyniki pozwoliły na wyodrębnienie 3 grup odmian: o małych, średnich i dużych wymaganiach w stosunku do azotu. Stwierdzono także, że dla odmian Ursus, Gandawa i Ślęza zalecana dawka azotu wynosiła 100 kg N·ha-1, dla odmian Bartek, Clarissa, Tajfun, Syrena i Monsun — 120 kg N·ha-1, a dla odmian Cekin i Pirol 140 kg N·ha-1. Efektywność agronomiczna maksymalnej dawki azotu wahała się od 34 do 118 kg bulw na 1 kg N i była mniejsza od 3 do 11 kg bulw w porównaniu do dawki zalecanej. Zawartość azotanów w bulwach oraz udział bulw dużych w plonie wzrastały, natomiast zawartość skrobi obniżała się w miarę podwyższania dawki azotu. Największy udział bulw dużych w plonie stwierdzono u odmiany Syrena (22%) a największą zawartością azotanów charakteryzowały się bulwy odmian: Syrena i Cekin.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Kowalczyk, Krzysztof, and Sylwia Okoń. "Analiza zmienności allelicznej w locus Xgwm261 w odmianach pszenicy zwyczajnej (Triticum aestivum L.) zarejestrowanych w Polsce w latach 1978–2006." Biuletyn Instytutu Hodowli i Aklimatyzacji Roślin, no. 252 (June 30, 2009): 61–66. http://dx.doi.org/10.37317/biul-2009-0055.

Full text
Abstract:
Celem pracy była analiza zmienności allelicznej w locus Xgwm 261 w 45 odmianach pszenicy zwyczajnej zarejestrowanych w Polsce w latach 1978–2006. Wyizolowany DNA poddano amplifikacji z parą specyficznych starterów Wms261. Produkty rozdzielano na żelu poliakryla¬midowym. Na podstawie przeprowadzonych badań wykazano dużą zmienność alleliczną w locus Xgwm261 w badanych odmianach. Najczęściej obserwowano fragment DNA o wielkości 174pz. Zaobserwowano również fragmenty o wielkości 165 i 198 pz. Fragment o wielkości 192 pz sprzężony z genem Rht8 stwierdzono w 7 badanych odmianach pszenicy zwyczajnej: Almari, Begra, Gama, Griwa, Monsun, Rada i Saga.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Wattimena, Marlin C., and Simon Tubalawony. "Variasi Parameter Oseanografi di Utara Laut Arafura pada Tahun Super La Nina 2010 dan El Nino 2015." Journal of Coastal and Deep Sea 1, no. 1 (June 15, 2023): 42–50. http://dx.doi.org/10.30598/jcds.v1i1.11325.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui variasi parameter oseanografi di Utara Laut Arafura selama kejadian ekstrim super La Nina 2010 dan El Nino 2015. Data yang digunakan bersumber dari multi-dataset model CMEMS Copernicus, yang telah divalidasi dengan data observasi satelit. Hasil penelitian menunjukkan suhu permukaan dan tinggi muka laut ditemukan lebih rendah selama kejadian super El Nino 2015. Sebaliknya, salinitas permukaan dan ketebalan lapisan tercampur mengalami peningkatan selama kejadian La Nina 2010. Arus lapisan dalam yang mengarah ke timur menyebar sepanjang slope pada periode Monsun Tenggara mengalami penguatan selama kejadian El Nino.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Kwiatkowski, Cezary A. "THE CONTENT OF SOME TECHNOLOGICAL QUALITY COMPONENTS AND MYCOTOXINS IN GRAIN OF FOUR CULTIVARS OF SPRING WHEAT DEPENDING ON GRAIN STORAGE TIME AFTER HARVEST." Pakistan Journal of Agricultural Sciences 56, no. 03 (July 1, 2019): 549–56. http://dx.doi.org/10.21162/pakjas/19.7518.

Full text
Abstract:
The aim of this study was to determine the effect of three grain storage times and the cultivar factor on some parameters used in commodity analysis of spring wheat grains. A field experiment was conducted in Czeslawice (Poland) using the split-plot method in 3 replicates in 27 m2 plots. This paper presents the effect of storage time (3, 15, 27 months) of grain of four spring wheat cultivars (‘Korynta’, ‘Monsun’, ‘Tybalt’, ‘Zadra’) on some technological quality characteristics. After harvest, the grains were dried to the moisture content 14% and subsequently stockpiled in a warehouse. It was observed that grains can be stored for a period of even two years with no risk if all the grain storage rules are followed. Short- and long-term grain storage (3-27 months) resulted in satisfactory values of the grain quality characteristics like grain moisture, protein content, and grain hardness index. The storage of grain did not affect negatively grain contamination with mycotoxins. No significant differences were observed in the response of the cultivars studied (grain moisture content, protein content, grain hardness index) to grain storage time. Significant differences among the cultivars were observed in the grain hardness index after 3-month storage. It was also noted that the cultivars ‘Korynta’ and ‘Tybalt’ were characterized by lower susceptibility to contamination with mycotoxins than cvs. ‘Zadra’ and ‘Monsun’. The results obtained in this study are a good indicator for cereal producers who store grains for a period of even two years, thus becoming independent of changing price conditions in the cereals market and the changing demand for and supply of animal feed and bread grain across other countries.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Adiningsih, Erna Sri, and Kustiyo . "VARIABILITY OF NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDICES IN SUMATRA AND ITS RELATION TO CLIMATE ANOMALIES(KERAGAMAN INDEKS VEGETASI DI SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANOMALI IKLIM)." Agromet 19, no. 1 (June 14, 2005): 21. http://dx.doi.org/10.29244/j.agromet.19.1.21-38.

Full text
Abstract:
Indeks vegetasi yang diperoleh dari data NOAA-AVHRR sudah umum digunakan sebagai indikator kehijauan dan kekeringan vegetasi. Kondisi iklim global dan regional diatas Sumatera mempengaruhi indeks vegetasi di Sumatera. Penelitian ini bertujuan mempelajari keragaman indeks vegetasi terutama di Sumatra dan hubungannya dengan El Nino - Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode Event (DME). LAC NDVI periode 1996-2002 digunakan untuk menganalisa koefisien keragaman dan analisis korelasi kanonik. Keragaman NDVI yang tinggi ditemukan di pantai timur, bagian selatan dan bagian utara Sumatera, sedangkan di bagian barat dan tengah keragamannya rendah. Secara keseluruhan, keragaman NDVI selama monsun barat lebih tinggi daripada periode monsun timur. ENSO dan DME mempangaruhi indeks vegetasi di Sumatera pada lag 0,4,dan 5 bulan (nyata pada taraf 5%). Kontribusi terbesar diberikan oleh variable kanonik lag 1 (R2=70.1%), sisa 29,9 % disebabkan oleh keragaman factor-faktor lainnya. Kerana korelasi dan signifikansi dari parameter iklim secara statistik tinggi, maka dapat digunakan sebagai prediktor NDVI di Sumatera. Diantara 6 time lag , parameter dengan lag 6 bulan mempunyai keragaman yang tertinggi. Namun, uji beda nyata menunjukkan bahwz korelasi kanonik pada lag 0,4,dan 5 yang mempunyai beda nyta tertinggi (pada taraf 95%). Struktur korelasi kanonik untuk parameter iklim pada lag 0 dan 1 didominasi oleh SOI dan anomaly SST. Sedangkan korelasi pada lag 2,5, dan 6 didominasi oleh SOI, anomaly SST, dan DMI. Berdasarkan hasil analisis tersebut, kami menyimpulkan bahwa analisis korelasi kanonik merupakan metode yang optimum untuk memprediksi NDVI di Sumatera pada lag 5 bulan menggunakan SOI, SSTA, dan DMI sebagai prediktor. Hasil ini menunjukkan bahwa parameter iklim dapat digunakan untuk memprediksi NDVI 5 bulan ke depan dengan baik di Sumatera.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Lenc, Leszek, Grzegorz Czecholiński, Dariusz Wyczling, Tomasz Turów, and Arkadiusz Kaźmierczak. "Fusarium head blight (FHB) and Fusarium spp. on grain of spring wheat cultivars grown in Poland." Journal of Plant Protection Research 55, no. 3 (July 1, 2015): 266–77. http://dx.doi.org/10.1515/jppr-2015-0038.

Full text
Abstract:
AbstractEighteen spring wheat cultivars, recommended for commercial production in northern Poland, were assessed for Fusarium head blight (FHB) in natural non-epidemic conditions, from 2011 to 2013. Assessment was based on FHB incidence (proportion of heads with symptoms), disease severity (DS; proportion of bleached spikelets per head), proportion ofFusariumdamaged kernels (FDK), and spectrum ofFusariumspp. colonising the kernels. Fusarium head blight incidence and DS often differed significantly among cultivars and years. There was a strong positive correlation between FHB incidence and DS. Fusarium head blight incidence and DS were not correlated with the June–July temperatures, and were only occasionally correlated with the total June–July rainfall. There was a weak positive correlation between FHB incidence and proportion of FDK. There was a strong positive correlation between DS and proportion of FDK. The cultivar affected colonisation of kernels byFusariumspp.Fusarium poaewas the FHB pathogen isolated most often.Fusarium poaecolonised 6.0% of the kernels, on average, but up to 12.0% on individual cultivars. OtherFusariumspecies were less frequent:F. avenaceumin 5.6% of kernels,F. culmorumin 5.3%,F. tricinctumin 2.8%,F. graminearumin 1.5%, andF. sporotrichioidesin 1.2%.Fusarium equisetioccurred sporadically. The importance ofF. poaein the FHB complex is emphasised. All cultivars expressed ‘moderate FHB resistance’ if evaluated according to FHB incidence. Cultivars Arabella, Izera, Kandela, Monsun, Ostka Smolicka, and Struna expressed ‘moderate susceptibility’, and Bombona, Hewilla, Katoda, KWS Torridon, Łagwa, Nawra, Parabola, Radocha, SMH 87, Trappe, Tybalt, and Waluta expressed ‘susceptibility’ if evaluated by the proportion of FDK. Cultivars differed within the ‘moderately resistant’, ‘moderately susceptible’, and ‘susceptible’ categories. Cultivars Arabella, Izera, Kandela, Monsun, Ostka Smolicka, and Struna were the most promising and their resistance traits may be useful in FHB management.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Frost, Lisa. "Forum: Abschied von Therapiepferd Monsun. Traumasensible Begleitung einer intensivpädagogischen Wohngruppe im Trauerprozess." mensch & pferd international 15, no. 1 (December 19, 2022): 13–20. http://dx.doi.org/10.2378/mup2023.art03d.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Kamp, Ulrich, and Klaus Haserodt. "Quartale Vergletscherungen im Hindukusch, Karakorum und West-Himalaya, Pakistan - Ein Überblick." E&G Quaternary Science Journal 51, no. 1 (January 1, 2002): 93–114. http://dx.doi.org/10.3285/eg.51.1.07.

Full text
Abstract:
Abstract. Für die pakistanischen Hochgebirge Hindukusch (Chitral, Swat, Ghizar-Gebiet), Karakorum (Hunza, Gilgit-Raum, Rakaposhi, Haramosh, Baltistan, K2-Region) und West-Himalaya (Nanga Parbat, Kaghan-Gebiet, Deosai-Plateau) haben glaziologische und glazialmorphologische Forschungen eine lange Tradition. Mit dem vorliegenden Beitrag wird eine Gesamtschau über den bisherigen Erkenntnisstand zu den quartären Vergletscherungen geliefert. Dabei zeigt sich, dass die Ergebnisse über die Ausdehnung und die glazialen Chronologien nach wie vor differieren - insbesondere bezüglich der Rekonstruktion eines ehemaligen Gletschers im Indus-Tal. Verbesserte Datierungsmethoden revidieren hier ggf. bisherige Ansichten, und neuere Erklärungsmodelle, wie das „Wandern" des Monsun-Systems während des Quartärs als entscheidender regionaler Klimafaktor, versuchen asynchrone Chronologien zu verstehen.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Ramadhan, Firman, Kunarso Kunarso, Anindya Wirasatriya, Lilik Maslukah, and Gentur Handoyo. "Perbedaan Kedalaman dan Ketebalan Lapisan Termoklin pada Variabilitas ENSO, IOD dan Monsun di Perairan Selatan Jawa." Indonesian Journal of Oceanography 3, no. 2 (June 16, 2021): 214–23. http://dx.doi.org/10.14710/ijoce.v3i2.11392.

Full text
Abstract:
Perairan Selatan Jawa dipengaruhi oleh beberapa fenomena, yaitu sistem monsun, El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD), fenomena tersebut mempengaruhi nilai temperatur. Termoklin adalah lapisan yang memiliki gradien temperatur vertikal yang signifikan di kedalaman tertentu, sehingga erat kaitannya dengan nilai temperatur. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kedalaman dan ketebalan lapisan termoklin di wilayah pesisir dan laut lepas pada variabilitas ENSO, IOD dan monsun di perairan Selatan Jawa. Penelitian ini menggunakan data temperatur vertikal harian dari argo float (2016 – 2019) untuk mengetahui distribusi temperatur vertikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batas atas dan batas bawah termoklin terdalam di pesisir terjadi saat IOD(-), yaitu tahun 2016 sebesar 60,17 m, 154,58 m dan tahun 2017 sebesar 62,08 m, 154,17 m, sedangkan saat IOD(+) batas atas dan batas bawah termoklin lebih dangkal, yaitu tahun 2018 sebesar 42,92 m, 136,71 m dan tahun 2019 sebesar 39,25 m, 129,63 m. Hasil untuk laut lepas menunjukkan batas atas dan batas bawah termoklin terdangkal di laut lepas terjadi saat IOD(-), yaitu tahun 2016 sebesar 58,92m, 156,25m dan tahun 2017 sebesar 60m, 152,92m, sedangkan saat IOD (+) batas atas dan batas bawah bertambah dalam, yaitu tahun 2018 sebesar 67,08m, 175,42m dan tahun 2019 sebesar 59m, 172,92m. Hal ini karena IOD(-) di tahun 2016 memiliki nilai indeks DMI sebesar -1 dan di tahun 2019 terjadi IOD(+) dengan nilai indek DMI sebesar 2. Kejadian IOD(-) membuat slope muka air laut di Samudera Hindia bagian Timur khususnya yang lebih dekat dengan pantai menjadi lebih tinggi, sehingga tingginya slope muka air laut membuat batas atas dan batas bawah lapisan termoklin menjadi lebih dalam di pesisir Selatan Jawa Kondisi yang berbeda terjadi di laut lepas dimana slope muka air laut yang lebih rendah daripada di Pesisir menjadikan termoklin lebih dangkal dan ketebalannya lebih tipis., begitu juga sebaliknya pada saat fenomena IOD (+).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Pujiastuti, Tyas Tri, and Nurjaman Nurjaman. "PERANAN CROSS EQUATORIAL NORTHERLY SURGE TERHADAP DINAMIKA ATMOSFER DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN BARAT." Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 20, no. 1 (April 3, 2020): 1–11. http://dx.doi.org/10.29122/jstmc.v20i1.3488.

Full text
Abstract:
IntisariPada saat monsun dingin Asia berlangsung pada Oktober hingga Maret, sebagian wilayah Indonesia mengalami peningkatan curah hujan yang signifikan dibandingkan saat periode April hingga September. Selain dari pengaruh monsun, cuaca di wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh sirkulasi skala global dan regional yang terjadi secara simultan. Hal ini dapat memengaruhi dinamika atmosfer di sebagian wilayah Indonesia. Pada penelitian ini, dikaji aktivitas cross equatorial northerly surge yang terjadi pada skala regional serta dampaknya terhadap dinamika atmosfer di wilayah Indonesia bagian barat khususnya Laut China Selatan bagian selatan hingga Laut Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cross equatorial northerly surge pada tahun 2013 terjadi paling kuat pada saat bersamaan dengan cold surge, dan memengaruhi pola divergensi, transpor kelembapan, dan omega, terutama di wilayah utama pada penelitian ini yaitu perairan Laut China Selatan hingga Laut Jawa, yang berpotensi mendukung terjadinya cuaca buruk di wilayah Bangka Belitung dan Jawa bagian barat. AbstractDuring the Asia winter monsoon from October to March, parts of the Indonesian region experienced significant rainfall increases compared to the period from April to September. Apart from monsoon influence, the weather in the Indonesian region was also influenced by global and regional scale circulations, which occurred simultaneously. This can affect atmospheric dynamics in parts of the Indonesian region. In this study, the activities of cross-equatorial northerly surge that occurred on a regional scale and its impact on atmospheric dynamics conditions in western Indonesia, especially the southern South China Sea to the Java Sea, are examined. The results showed that the cross-equatorial northerly surge in 2013 occurred most strongly at the same time as cold surge, and influenced divergence, moisture transport, and omega patterns, particularly in the main research areas including South China Sea to the Java Sea, which have the potential to excite severe weather in Bangka Belitung and Western part of Java.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Wyzer, Jean Irene, Sri Hartini, and Max J. Tokede. "Sanitasi Pantai dan Kualitas Perairan Pulau Mansinam pada Kondisi Arus Permukaan Monsun Timur." Cassowary 1, no. 1 (October 16, 2019): 1–20. http://dx.doi.org/10.30862/casssowary.cs.v1.i1.1.

Full text
Abstract:
Domestic waste caused by human activities in the bay area periodically can accumulate the coast of Mansinam Island and have a negative impact on sanitation and water quality. The direction of sea level currents in the East Monsoon (June-August) is generally moved from the West and come into the bay area. This study aims as follow: 1) To analyze the water quality (physical, biological, chemical and dissolved metals) on the coast of Mansinam Island based on the required quality standards for marine tourism activities; 2) To Analyze the level of coastal pollution on Mansinam Island based on the value of the Pollution Index (PI); 3) To identify the type and volume of pollutants in the coastal area of ​​Mansinam Island in the East Monsoon. The PI indicates that at stations I, III and IV of the waters are lightly polluted, while the waters at the station II has been moderately polluted. The water quality parameter value of Station II has exceeded the quality standard for marine tourism in accordance with Kepmen. LH. No. 51 of 2004 consisting of TSS, nitrate, phosphate, oil and fat, total coliform and faecal coliform. In Station I, the water quality that exceeds the standard for nitrate, phosphate, and copper, while station III and station IV where higher on TSS value of nitrate, phosphate, oil and fat, and total coliform than the standard. Based on the results of the study, TSS values ​​at station I to station IV were 56.67 mg/L, 196 mg/L, 116 mg/L, and 157.33 mg/L respectively, while the fecal coliform value was 20 MPN / 100 ml,> 2400 MPN / 100 ml, 7.8 MPN/100 ml, and 11 MPN/100 ml. Nitrate and phosphate in Mansinam Island waters have an average value of 0.027 mg/L and 0.021 mg /L. The physical, biological, chemical and dissolved metals of Mansinam Island marine waters in East Monsoon from 19 parameters observed by 12 parameters (63%) are within the quality standard threshold and 7 parameters (37%) have been above the standard quality threshold for Marine tourism. Pollution levels based on the Pollution Index of Mansinam Island's marine waters are mildly polluted for marine tourism purposes. The composition and density of waste types are found to be different in conditions of ebb and tide because the seasons in Indonesia are under the influence of monsoons, where the wind determines the occurrence of waves and surface currents in the waters on the bay areas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Bimaprawira, Adikusuma, and Hasti Amrih Rejeki. "KETERKAITAN PERIODISITAS CURAH HUJAN DI DAERAH PESISIR DAN PEGUNUNGAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN VARIABILITAS CUACA SKALA GLOBAL DAN REGIONAL." Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 22, no. 2 (December 29, 2021): 51–59. http://dx.doi.org/10.29122/jstmc.v22i2.4422.

Full text
Abstract:
Intisari Jawa Timur merupakan wilayah yang memiliki variasi curah hujan yang dipengaruhi oleh fenomena cuaca global dan regional seperti Dipole Mode, El Nino Southern Oscillation (ENSO), Intertropical Convergence Zone, Madden Julian Oscillation, dan monsun. Topografi yang beragam juga menjadi faktor yang memengaruhi curah hujan di daerah Jawa Timur. Berbagai indeks digunakan untuk melihat aktivitas-aktivitas fenomena cuaca tersebut, seperti DMI untuk aktivitas Dipole Mode, NINO 3.4 untuk aktivitas ENSO, Indeks RMM untuk aktivitas MJO, WNPMI dan, AUSMI untuk aktivitas monsun. Pada penelitian ini digunakan analisis spektral dengan menggunakan metode Fast Fourier Transform untuk melihat periodisitas indeks masing-masing terhadap periodisitas curah hujan dari data 11 pos hujan yang terbagi menjadi 6 pos hujan daerah pesisir dan 5 pos hujan daerah pegunungan. Hasil dari penyeragaman periodisitas fenomena cuaca dengan curah hujan antara lain Dipole Mode (periodisitas 18 bulan), ENSO (periodisitas 18 dan 40 bulan), dan MJO (periodisitas 2 dan 3 bulan). Fenomena yang memengaruhi curah hujan di daerah pesisir maupun pegunungan secara dominan adalah fenomena monsun dengan diikuti ITCZ. Fenomena lain yang memengaruhi di daerah pesisir antara lain dominan MJO, serta fenomena ENSO dan Dipole Mode yang memengaruhi daerah Lamongan, Bunder, dan P3GI dengan kecenderungan lebih kuat pada fenomena Dipole Mode. Sementara itu, fenomena yang memengaruhi hujan di daerah pegunungan secara dominan adalah ENSO. Adapun fenomena lain yang memengaruhi hujan di daerah pegunungan antara lain fenomena MJO di daerah Tosari, serta daerah Kebon Teh Wonosari yang memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh fenomena Dipole Mode meskipun pengaruhnya tidak signifikan. Abstract East Java is a region whose variations in rainfall are influenced by global and regional weather phenomena such as Dipole Mode, El Niño Southern Oscillation (ENSO), Intertropical Convergence Zone, Madden Julian Oscillation, and monsoons. Diverse topography is also a factor affecting rainfall in the area of East Java. Various indices are used to observe the activities of the weather phenomenon, such as DMI for Dipole Mode activities, NINO 3.4 for ENSO activities, RMM Index for MJO activities, as well as WNPMI and AUSMI for monsoon activities. In this study, spectral analysis was used by utilizing the Fast Fourier Transform method to see the periodicity of each index against the periodicity of rainfall from the 11 rainwater data points, which were divided into 6 coastal data points and 5 mountainous data points. Uniformity of weather phenomena with rainfall result among others Dipole Mode (18 months periodicity), ENSO (18 and 40-month periodicity), and MJO (2 and 3-month periodicity). Phenomena that affect rainfall in coastal and mountainous areas predominantly are monsoon, followed by ITCZ. Other phenomena affecting the coastal area include MJO dominant, and the ENSO and Dipole Mode phenomena that affect the Lamongan, Bunder, and P3GI regions with a stronger tendency to the Dipole Mode phenomenon. Another phenomenon that influences rain in the mountainous area is dominantly ENSO, while other phenomena include MJO phenomena in the Tosari area and Kebon Teh Wonosari region which has a tendency to be influenced by the Dipole Mode phenomenon despite the insignificant effect.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Wisha, Ulung Jantama, Rahaden Bagas Hatmaja, Ivonne Milichristi Radjawane, and Try Al Tanto. "CORRELATION AND COHERENCE ANALYSIS OF SEA SURFACE TEMPERATURE (SST) DISTRIBUTED BY THE SURFACE WIND IN WEST SUMATERA WATERS." Jurnal Meteorologi dan Geofisika 19, no. 2 (July 23, 2019): 81. http://dx.doi.org/10.31172/jmg.v19i2.572.

Full text
Abstract:
<p class="Section">West Sumatera Waters have a tremendous dynamic in ocean characteristics. It directly faces the Indian Ocean exactly located below the equator. Consequently, West Sumatera waters are influenced by the tropical climatic factors such as monsoons, climate variability, and the Indian Ocean Dipole (IOD), controlling sea surface temperature (SST) fluctuation in the Indian Ocean. This study aims to review the correlation and coherence of SST distributed by surface wind in the West Sumatera waters. Wavelet method (cross wavelet transforms and wavelet coherence) was used to analyze the correlation and coherency between SST and surface wind. The annual variation of SST for 365 days period is the strongest event throughout the year caused by either monsoon or the changes of wind speed in the surface. Otherwise, the strongest intra-seasonal SST variation of 35 - 60 days observed from December 2012 to March 2013. The highest surface wind speed occurs in the southern and western waters. During the positive dipole mode in October 2015, the surface wind speed is slightly high resulting in the SST declination. Nevertheless, during the negative dipole mode in July 2016, the condition is inversely proportional. The surface wind plays a role in the SST distribution of 35 - 60 days period (intra-seasonal variability). Besides, surface wind with 6 months period (semi-annual variability) influences the SST distribution, identified only in the southern waters and the Indian Ocean regions. These conditions predicted as the influence of monsoon.</p><p class="Section"> </p><p class="Section"><em>Sumatera Barat merupakan wilayah perairan yang stategis dimana secara langsung berhadapan dengan Samudera Hindia dan tepat berada pada dibawah Garis Katulistiwa. Oleh karena itu, Perairan Sumatera Barat dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim tropis seperti monsun dan variabilitas iklim, sangat terkait dengan Indian Ocean Dipole (IOD) yang mengendalikan fluktuasi suhu permukaan laut (SPL) di Samudera Hindia. Tujuan dari penelitian ini adalah menelaah korelasi dan koherensi antara parameter SPL dan komponen kecepatan angin </em> <em> di perairan Sumatera Barat. Metode wavelet (cross wavelet transform dan wavelet coherence) digunakan untuk menganalisa korelasi dan koherensi dari kedua parameter yang diuji. Variasi tahunan dari SPL pada periode 365 hari merupakan kejadian terkuat sepanjang tahun yang disebabkan oleh monsun atau perubahan pengaruh angin dipermukaan. Sebaliknya, variasi musiman terkuat dari SPL pada periode 35-60 hari ditemukan terjadi pada bulan Desember 2012 hingga Maret 2013. Kecepatan angin tertinggi terjadi di perairan selatan dan barat. Selama dipole mode positif pada bulan Oktober 2015, kecepatan angin permukaan sedikit meningkat yang mengakibatkan penurunan suhu perairan. Namun, selama dipole mode negatif pada bulan Juli 2016, kondisinya berbanding terbalik. Angin permukaan memainkan peran pada peningkatan distribusi suhu permukaan laut pada periode 35-60 hari (variabilistas musiman). Selain itu, angin permukaan dengan periode 6 bulan (tengah tahunan) sangat mempengaruhi distribusi suhu yang teridentifikasi pada wilayah selatan dan Samudera Hindia. Kondisi tersebut diperkirakan sebagai pengaruh dari monsun.</em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Asfahanif, Fikri, and Sayful Amri. "Analisis Peristiwa Angin Kencang dengan Citra Satelit Himawari-8 (Studi Kasus: Bangkalan, 17 Oktober 2021)." Jurnal Geografi : Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian 19, no. 2 (December 1, 2022): 83–91. http://dx.doi.org/10.15294/jg.v19i2.34826.

Full text
Abstract:
Angin kencang di atas 25 knots dapat menyebabkan kerusakan, misalnya infrastruktur dan tumbangnya pohon. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dinamika atmosfer saat kejadian angin kencang di wilayah Bangkalan, Madura tanggal 17 Oktober 2021. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif terhadap variabel cuaca dan citra satelit Himawari-8 menggunakan aplikasi Sataid. Hasil dari penelitian ini menunjukan terjadinya pembentukan awan-awan konvektif di atas Pulau Madura bagian Timur yang bergerak menuju wilayah Bangkalan di Pulau Madura bagian Barat dengan suhu puncak awan mencapai -58 oC. Pada tanggal 17 Oktober 2021, wilayah Madura berada dalam periode transisi, terlihat dari angin dominannya masih dipengaruhi oleh monsun Australia dan mulai menguatnya monsun Asia. Hal ini memicu terbentuknya shearline di wilayah Madura dan sekitarnya. Selain itu, suhu permukaan laut di sekitar wilayah Madura cukup panas, sehingga meningkatkan penguapan dan memicu labilitas udara yang kuat. Kondisi ini memicu terbentuknya awan konvektif yang menyebabkan terjadinya angin kencang di wilayah tersebut.Strong winds above 25 knots can cause damage, for example, infrastructure and fallen trees. This study aims to determine the dynamics of the atmosphere during strong winds in the Bangkalan, Madura October 17, 2021. The method used was a descriptive analysis of weather variables and satellite imagery of Himawari-8 using the Sataid application. The results indicate the formation of convective clouds over the eastern part of Madura that moves towards the Bangkalan area on the western part of Madura, cloud peak temperatures reaching -58oC. On October 17, 2021, the Madura region is in a transition period, as can be seen from the dominant winds that are still influenced by the Australian monsoon also the Asian monsoon is starting to strengthen. The monsoon triggers the formation of a shearline in Madura and surrounding areas. Furthermore, the sea surface temperature around the Madura area is quite hot, thereby increasing evaporation and triggering strong air lability. This condition triggers the formation of convective clouds that cause strong winds.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Siregar, Selvita Nurani, Lintang P. Sari, Noir P. Purba, Widodo S. Pranowo, and Mega L. Syamsuddin. "Pertukaran massa air di Laut Jawa terhadap periodisitas monsun dan Arlindo pada tahun 2015." Depik 6, no. 1 (March 6, 2017): 44–59. http://dx.doi.org/10.13170/depik.6.1.5523.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Bernawis, Lamona Irmudyawati, Iwan Pramesti Anwar, Ahmad Bayhaqi, A'an J. Wahyudi, Mutiara Rachmat Putri, and Muhammad Fadli. "ESTIMASI PERTUKARAN GAS CO2 LAUT-UDARA DI PERAIRAN SIMEULUE PADA MONSUN ASIA MUSIM PANAS." Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 11, no. 3 (December 1, 2019): 713–20. http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v11i3.22662.

Full text
Abstract:
Saat awal monsun Asia musim panas (onset summer of Asia monsoon) di bulan Juni-Juli-Agustus, perairan sekitar Pulau Simeulue, Aceh, terpengaruh oleh kejadian upwelling di Samudra Hindia. Hal ini diduga mempengaruhi siklus gas karbondioksida antara laut dan udara di perairan sekitar Pulau Simeulue, Aceh. Pada kegiatan survei Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) 2017 #coastal chapter yang dilaksanakan bersama Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI bulan Juli 2017 didapat data temperatur, salinitas dan tekanan parsial gas CO2 (pCO2) di laut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat interaksi laut-atmosfer dan menentukan serapan atau luaran karbon di sekitar Pulau Simeulue. Untuk data pendukung berupa kadar CO2 di udara didapat dari Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, Sumatra Barat. Dengan melakukan perhitungan flux CO2 antara laut dan udara, didapatkan hasil bahwa perairan di wilayah barat pulau berperan sebagai penyerap karbon (sink) dengan nilai fluks -0,05 mol C/m2 hari hingga -0,25 mol C/m2 hari. Sementara itu pada wilayah timur pulau memiliki peran sebagai sumber karbon (source) dengan nilai fluks 0,05 mol C/m2 hari hingga 0,2 mol C/m2 hari. Nilai fluks positif berarti laut melepaskan karbon ke udara dan sebaliknya nilai negatif berarti laut menyerap karbon.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Suparta, Wayan. "Pengamatan Badai Cuaca Di Selat Makassar Untuk Mendukung Aktivitas Peluncuran Satelit." WIDYAKALA JOURNAL 6, no. 1 (April 30, 2019): 26. http://dx.doi.org/10.36262/widyakala.v6i1.138.

Full text
Abstract:
Ribut cuaca adalah salah satu parameter terpenting yang perlu diperhatikan dalam skenario peluncuran roket atau peluncuran satelit menuju orbitnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengukur terjadinya ribut badai berdekatan daerah Selat Makassar sebagai langkah awal untuk membangun model badai cuaca dalam rangka peluncuran satelit. Data meteorologi permukaan harian seperti tekanan, suhu, kelembaban relatif, tutupan awan, uap air, kecepatan angin dan arahnya telah dianalisis. Analisis juga mempertimbangkan musim kemarau dan musim hujan di dekat kawasan target peluncuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas ribut badai pada bulan Mei dan Oktober terdeteksi lebih tinggi daripada bulan-bulan lainnya. Investigasi awal ditemukan bahwa aktivitas ribut badai di daerah ini lebih dipengaruhi oleh kelembaban relatif dan uap air, khususnya di musim peralihan (Monsun). Sementara bulan-bulan yang diprediksi aman untuk peluncuran roket adalah Juni, Juli, dan Agustus.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Karmel, Moehammad Ediyan Raza, and Syaulina Azmi. "Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) dari Variabilitas Antartahun dan Dekadal Anomali Tinggi Muka Laut (SSHA) di Laut China Selatan." PRISMA FISIKA 10, no. 1 (June 5, 2022): 94. http://dx.doi.org/10.26418/pf.v10i1.54260.

Full text
Abstract:
Dengan menggunakan metode empirical orthogonal function (EOF) dari anomali tinggi muka laut (SSHA), variabilitas spasial dan hubungannya dengan pola sirkulasi atmosfer serta indeks iklim skala besar akan diteliti. Dari hasil analisis spasial anomali tinggi muka laut (SSHA) menggunakan metode EOF, ditemukan keterkaitan yang kuat antara respon SSHA Laut China Selatan terhadap mode iklim dekadal yakni Pacific Decadal Oscillation. Variabilitas spasial ini turut digerakkan oleh mode musiman dan tahunan seperti monsun dan ENSO, khususnya di beberapa sub-area. Namun, secara umum korelasi spasial dari PDO terhadap SSHA lebih besar dibandingkan nilai korelasi ENSO. Ketika PDO sedang memasuki fase panas atau dingin yang cukup kuat, maka nilai anomali tinggi muka laut menjadi lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Stress angin serta sirkulasi gira skala meso menjadi penggerak utama siklus permukaan di Laut China Selatan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Natasha, Ingga, Yoga Satria Putra, and Riza Adriat. "Keterkaitan Outgoing Longwave Radiation dengan Intensitas Curah Hujan di Paloh Kabupaten Sambas Kalimantan Barat." PRISMA FISIKA 9, no. 2 (December 30, 2021): 160. http://dx.doi.org/10.26418/pf.v9i2.49490.

Full text
Abstract:
Outgoing Longwave Radiation (OLR) adalah radiasi gelombang panjang yang dipantulkan ke angkasa luar. OLR mengindikasikan tutupan awan yang ada, jika nilai OLR rendah maka dapat diindikasikan banyak terbentuk awan, karena radiasi tersebut terserap oleh awan. Penelitian ini bertujuan mengkaji keterkaitan OLR dengan intensitas curah hujan di daerah Paloh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode transformasi wavelet untuk melihat kekuatan sinyal dari masing- masing parameter, serta metode cross wavelet untuk melihat keterkaitan antara OLR dan curah hujan selama 10 tahun (2007- 2017). Berdasarkan hasil penelitian transformasi wavelet diketahui bahwa kekuatan sinyal OLR dan curah hujan tertinggi terjadi pada periode 10- 12 bulanan (satu tahunan) di bulan Juni-Juli dan Desember- Januari. Fenomena monsun Timur dan Barat diduga sebagai penyebab tingginya nilai OLR dan curah hujan di periode tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Separnu, Dibo, M. Syahril Badri Kusuma, and Dantje K. Natakusumah. "The Influence of Sedimentation to The Morfology Change of Serang River Estuary at The National Strategic Area Yogyakarta International Airport (Ksn Yia)." Jurnal Teknik Sipil 30, no. 2 (September 5, 2023): 167–76. http://dx.doi.org/10.5614/jts.2023.30.2.4.

Full text
Abstract:
Abstrak. Bandara Internasional Yogyakarta terletak di Kawasan Strategis Nasional, Kabupaten Kulon Progo. Daerah ini secara geologis merupakan daerah dataran rendah yang diapit oleh Sungai Bogowonto dan Sungai Serang yang menyebabkan banjir tahunan pada musim hujan. Sistem pengendalian banjir dikembangkan untuk menjaga kinerja bandara. Penetapan Kawasan Strategis Nasional juga menyebabkan perubahan tata guna lahan di sekitarnya yang dapat mempengaruhi perubahan morfologi sungai. Perubahan morfologi di kedua sungai tersebut telah diidentifikasi berdasarkan pengamatan di lapangan. Berdasarkan pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan laju sedimentasi merupakan parameter terpenting yang dapat mengubah morfologi kedua sungai tersebut. Pengaruh perubahan morfologi di muara sungai Serang telah dipelajari dengan menggunakan software DELFT3D, sedimentasi di muara sungai Serang telah disimulasikan dengan beberapa skenario antara lain pada saat monsun barat dan monsun timur. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tebal sedimentasi di muara Serang pada kondisi eksisting adalah 3,5 m pada musim barat dengan luas 0,063 ha dan 4,0 m pada musim timur dengan luas 0,437 ha. Kata-kata Kunci: Morfologi, muara, Delft3D Abstract. The Yogyakarta International Airport has located in the National Strategic Area, Kulon Progo regency. This area is geologically a low-lying area flanked by the Bogowonto River and the Serang River which causes annual flooding in the rainy season. A flood control system was developed to maintain airport performance. The determination of the National Strategic Area has also led to changes in the surrounding land use which can affect changes in the morphology of the rivers. The morphological changes in the two rivers have been identified based on field observations. Based on this observation, it can be seen that the increase in sedimentation rate is the most important parameter that can change the morphology of the two rivers. The effect of morphological changes in the Serang river estuary has been studied using DELFT3D software, the sedimentation in the Serang river estuary has been simulated with several scenarios, including during the west monsoon and east monsoon. The modeling results show that the sedimentation thickness in the Serang estuary under existing conditions is 3.5 m in the west season with an area of ​​0.063 ha and 4.0 m in the east monsoon with an area of ​​0.437 ha. Keywords: Morphology, estuary, Delft3D
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Mędelska, Jolanta, and Piotr Wierzchoń. "Wybory translatorskie XIX-wiecznego słownikarza rosyjskiego jako impuls do badań chronologizacyjnych polskiej leksyki zapożyczonej." Przegląd Wschodnioeuropejski 15, no. 1 (June 10, 2024): 325–42. http://dx.doi.org/10.31648/pw.10195.

Full text
Abstract:
Fifty-one entries (with the letter M) in the Russian-Polish dictionary of 1877 which were assigned a discussion of the meaning instead of a real translation, e.g. муссон – wjatr periodyczny [a periodic wind], were examined. These were limited to borrowed Russian units which today correspond to Polish borrowed units, e.g. муссон – monsun [monsoon]. The Polish words are the object of the analysis. In order to discover the reason for their omission from the dictionary, evidence of their use in the corpus of historical texts was sought. It was found that 80% of the borrowings (41 units) occurred in texts before 1876, but some of them were not recorded in the dictionaries of the time and perhaps that is why they did not find their way into the translation dictionary. 20% of the material (10 units) is lexis that entered circulation after the dictionary was published.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Faida, Lies Rahayu Wijayanti, Sutikno Sutikno, Chafid Fandeli, and Sunarto Sunarto. "Rekonstruksi Hutan Purba di Kawasan Karst Gunungsewu dalam Periode Sejarah Manusia." Jurnal Ilmu Kehutanan 5, no. 2 (July 10, 2011): 79. http://dx.doi.org/10.22146/jik.1852.

Full text
Abstract:
Penelitian ini dilakukan di kawasan karst Gunungsewu yang terletak di wilayah kabupaten Gunungkidul, ai Kanigoro hingga Wediombo. Ada dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu (1) menemukenali sejarah flora yang menghuni karst Gunungsewu dan (2) merekonstruksi profil hutan-purba berdasarkan periode sejarah manusia. Pendekatan Paleoetnoforestri digunakan metode dasar untuk rekonstruksi hutan, yang berpijak pada hukum uniformitas dan pendekatan analogi. Analisis polen dan pentarikhan radio karbon menjadi alat untuk rekonstruksi hutan selama periode sejarah kebudayaan manusia pada kala Holosen. Perolehan data di analisis secara komparatif dan asosiatif untuk mendapatkan jawaban secara kausatif, sehingga dapat ditarik kesimpulan induktif tentang kondisi hutan purba. Umur lapisan pengendapan polen dinyatakan dengan BP (Before the Present). Pernyataan umur dengan BP ini biasa digunakan dalam mempelajari sejarah kebumian, dan secara Internasional ditetapkan tahun 1950 sebagai titik awal. Untuk mempelajari sejarah kebudayaan manusia digunakan skala Sebelum Masehi-Masehi (SM-M), yang didasarkan pada kelahiran Kristus sebagai titik awal dalam kalender Masehi. Penelititan ini menghasilkan varisai tiga tipe flora dari jaman prasejarah hingga saat ini, yaitu tipe hutan bagian bawah pada 16.894±440 hingga 9.296±140 tahun BP (18.844-11.246 SM), tipe hujan tropika pada 9.296±140 hingga 1.753±90 tahun BP (11.246-3.703 SM), dan tipe hutan monsun pada 1.753±90 tahun BP hingga tarikh modern (3.703 SM - 1950 M). Kelompok flora Euphorbiaceae merupakan kelompok flora yang masa penghuniannya paling lama, yaitu ditemukan pada 16.894±440 tahun BP hingga sekarang, sedangkan kelompok Moraceae yang saat ini dikenal sebagai flora identitas kawasan karst ditemukan pada 9.296±440 tahun BP. Rekonstruksi profil hutan purba pada jaman prasejarah manusia menunjukkan bahwa hutan pegunungan bagian bawah pernah menghuni kawasan karst sejak sebelum periode Keplek, kemudian memasuki periode Keplek hingga Ngrijangan berubah dihuni oleh hutan hujan tropis, dan pada periode Klepu berubah menjadi tipe monsun. Tipe monsun ini terus berlangsung hingga jaman sejarah, bahkan sampai dengan saat ini. Ciri kebudayaan prasejarah yang subsistem dapat menjelaskan, bahwa bukan faktor antropogenik yang menyebabkan bukan tipe flora, merupakan karena perubahan iklim yang dipicu oleh berakhirnya zaman es yang menandai berakhir kala Pleistoten.Kata kunci: Analisis polen, hutan purba pentarikhan karbon, zaman prasejarah, situs palentologiReconstruction of Paleoforest in Gunungsewu Karst Area in the Period of Human HistoryAbstractThis research was carried out in Gunungsewu Karst area, Gunungkidul District from Kanigoro to Wediombo. The main objectives of this research are (1) to identify floristic history and (2) to reconstruct the palaeoforest profiles in the area. Palaeoecobotanical approach is used as the basis for the reconstruction of palaeoforest. Descriptive-explanatory methods were used to explore, interpret, and reconstruct floristic tracks from pollen analysis, radiocarbon dating, vegetation analysis, and also human cultural history. Explanatory approach was used to describe collected data, to compare, to find association, and to explain the research finding. Hypothetical tests were done by deductive-inductive logics, using general theories for basic foundation to be verified by facts from the fields. This research resulted in three types of flora from Prehistoric times to the present, that is tropical mountainous forest of 16,894±440 - 9,296±140 years BP, tropical rainforests in 9,296±140 - 1,753±90 years BP, and monsoonal forests in 1,753±90 years BP until now. The Euphorbiaceae was the oldest flora occupied the area, existed between 16,894±440 years BP until now, while the Moraceae which is known as the karstic floral identity began to be found since 9,296±140 years BP. Reconstruction of palaeoforest in human prehistory provides information that the tropical mountain forests had inhabited the area before the era of Keplek, then entering the era of Keplek until Ngrijangan the tropical rainforest occupied this area. In the era of Klepu, the forest has been turned into the monsoon type and this type persists through history until now. Cultural traits of prehistoric subsistence can explain that change in the types of flora is not caused by anthropogenic factors, but due to climate change triggered by the ice age expiration that marked the end of the Pleistocen.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Azhari, Ferian, Widodo Setiyo Pranowo, Hendra Hendra, and Choirul Umam. "Karakter Tinggi Gelombang Laut di Laut Natuna Pada Periode Waktu ENSO (Tahun 2012 s/d 2022)." Buletin Oseanografi Marina 13, no. 1 (December 28, 2023): 21–32. http://dx.doi.org/10.14710/buloma.v13i1.54992.

Full text
Abstract:
Laut Natuna merupakan jalur pelayaran internasional yang strategis yang menghubungkan Asia Timur dan Samudera Hindia. Untuk menjamin keamanan dan keselamatan dalam jalur pelayaran dan kegiatan kemaritiman tentu diperlukan diperlukan informasi yang jelas dan akurat tentang parameter fisik kelautan salah satunya kondisi gelombang laut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh El-Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap gelombang laut di perairan Laut Natuna dan menganalisis nilai korelasi antara nilai ENSO dan gelombang laut di daerah tersebut. Penelitian ini menggunakan data gelombang laut (SWH dan Hmax), nilai Southern Oscillation Index (SOI), dan nilai Oceanic Niño Index (ONI). Penelitian menggunakan data dalam rentang waktu dari tahun 2012 hingga 2022, dengan mengambil data saat terjadinya fenomena ENSO. Lokasi penelitian ini terletak di perairan Laut Natuna dengan batas koordinat 2030’ LU – 8045’ LS dan 103018’ BT – 109030’ BT dan mempergunakan 5 (lima) stasiun pengamatan dari 169 stasiun pengatan yang menjadi domain penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ENSO memiliki pengaruh terhadap gelombang laut di perairan Laut Natuna, dengan nilai korelasi antara nilai SOI dengan nilai gelombang memperlihatkan hubungan dengan klasifikasi sangat lemah hingga cukup kuat dengan nilai korelasi tertinggi r = -0,41 pada stasiun pengamatan 27. Untuk nilai korelasi antara nilai ONI dengan nilai gelombang memperlihatkan korelasi yang lebih baik dengan klasifikasi lemah hingga kuat dengan nilai korelasi tertinggi r = -0,74 pada stasiun pengamatan 91. Gelombang tinggi di perairan Laut Natuna lebih cenderung terjadi pada waktu monsun barat / monsun Asia pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara ENSO dan gelombang laut di perairan Laut Natuna. Informasi ini berguna bagi pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan terkait aktivitas di sekitar perairan Laut Natuna, seperti pelayaran dan kegiatan ekonomi maritim lainnya. The Natuna Sea is a strategic international shipping lane connecting East Asia and the Indian Ocean. To ensure security and safety in shipping lanes and maritime activities, clear and accurate information is needed about marine physical parameters, one of which is the condition of sea waves. This study aims to study the effect of El-Nino Southern Oscillation (ENSO) on sea waves in the Natuna Sea waters and to analyze the correlation value between ENSO values and sea waves in that area. This study uses ocean wave data (SWH and Hmax), Southern Oscillation Index (SOI) values, and Oceanic Niño Index (ONI) values obtained from the official website pages of each institution/institution. The study uses data spanning from 2012 to 2022, by taking data when the ENSO phenomenon occurred. The research location is located in the waters of the Natuna Sea with coordinate boundaries 2030' N - 8045' S and 103018' E - 109030' E and 5 (five) shelter stations of 169 control stations which are the research domain. The results showed that ENSO had an influence on sea waves in the Natuna Sea, with a correlation value between the SOI value and the value of the waves emitting a relationship with a very weak to moderately strong classification with the highest correlation value r = -0.41 at observation station 27. For the value the correlation between the ONI value and the wave value reveals a better correlation with a weak to strong classification with the highest correlation value r = -0.74 at observation station 91. High waves in the waters of the Natuna Sea are more likely to occur during the west monsun / the Asian monsoon in December, January and February. This research provides a better understanding of the relationship between ENSO and ocean waves in the Natuna Sea. This information is useful for interested parties in making decisions regarding activities around the waters of the Natuna Sea, such as cruise ships and other maritime economic activities.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Yuni Atmojo, Tri, Tony Bachtiar, Ocky Karna Radjasa, and Agus Sabdono. "EKSISTENSI KOPROSTANOL DAN BAKTERI COLIFORM PADA LINGKUNGAN PERAIRAN SUNGAI, MUARA, DAN PANTAI DI JEPARA PADA MONSUN TIMUR." Jurnal Ilmu Lingkungan 9, no. 1 (February 22, 2012): 10. http://dx.doi.org/10.14710/jil.9.1.10-17.

Full text
Abstract:
Limbah domestik merupakan salah satu sumber utama pencemaran di perairan pantai pada negara yang sedang berkembang, namun kurang mendapatkan perhatian serius dibandingkan dengan pencemaran oleh industri. Dengan terus meningkatnya aktivitas manusia di wilayah pesisir dan kesadaran akan pentingnya lingkungan bersih bagi kesehatan, estetika dan alasan ekologis lainnya, deteksi tentang kontaminasi limbah menjadi penting untuk diketahui secara lebih baik. Selama ini indikator kontaminasi limbah domestik ditentukan berdasarkan jumlah mikroorganisme intestinal khususnya kelompok bakteri coliform. Koprostanol diusulkan sebagai alternatif indikator limbah domestik, sehingga diperlukan kajian eksistensi koprostanol untuk persyaratan kelayakannya sebagai indikator, serta bakteri coliform sebagai pembanding.Penelitian dilakukan lingkungan sungai, muara dan pantai di sungai Ciliwung Jakarta. Hasil menunjukkan bahwa koprostanol dapat terdeteksi pada sedimen dan tidak terdeteksi pada kolom air. Eksistensi koprostanol didapatkan nilai tertinggi pada lingkungan perairan sungai (5,81μg/g) dibandingkan muara (5,63μg/g), dan pantai (2,93μg/g). Bakteri total coliform terdeteksi pada kolom air maupun sedimen pada lingkungan perairan sungai (2,8 x 104 - 4,3 x 104) sel/100 ml, muara (0 - 4 x 103) sel/100 ml, dan tidak terdeteksi pada lingkungan perairan pantai, sementara fecal coliform terdeteksi di lingkungan perairan sungai (2 x 104 - 4,3 x 104 ) sel/100 ml, dan muara (0 - 4 x 104 sel/100 ml), namun tidak terdeteksi pada lingkungan perairan pantai.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Pramesti, Anindya Retno, Nadia Zahrina W., Billy Yanfeto, and Rifqi Noval Agassi. "Pemodelan Arus Pasang Surut dan Gelombang 2D Mengunakan Metode Numerik dengan Flow Model dan Spectral Wave Software Mike 21 Di Perairan Pulau Rote pada Bulan Juni 2023." Jurnal Hidrografi Indonesia 5, no. 2 (January 25, 2024): 81–90. http://dx.doi.org/10.62703/jhi.v5i2.24.

Full text
Abstract:
Pendekatan model hidrodinamik dengan menggunakan software MIKE 21 Flow Model FM diharapkan dapat memberikan gambaran pola arus laut yang efisien dan efektif di perairan sekitar Pulau Rote. Kondisi hidrooseanografi yang ditinjau meliputi arus pasang surut, gelombang, dan pengaruhnya satu sama lain. Pendekatan model hidrodinamik menggunakan software MIKE 21 Flow Model (FM) dan Spectral Wave (SW). Studi literatur terkait software MIKE 21, parameter dan fenomena oseanografi, data masukan yang digunakan, dan penelitian terdahulu. Kondisi arus akan meningkat pada saat kondisi air surut dan air pasang. Pada saat monsun Asia Timur, arah angin berasal dari benua Australia yang sedang mengalami musim dingin, karena adanya perbedaan tekanan udara maka udara akan bergerak dari benua Australia menuju Indonesia. Pemodelan 2D arus pasang surut dan gelombang menggunakan software MIKE 21 merupakan contoh hasil sistem model coupled yaitu menggunakan data keluaran model lain (FM) untuk digunakan pada pemodelan selanjutnya (SW) (ketinggian air, kecepatan arus). Pada bulan Juni atau musim timur, gelombang yang terbentuk cenderung bergerak ke arah barat laut karena angin (pembangkitnya) bertiup dari arah tenggara.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography