To see the other types of publications on this topic, follow the link: Musiker (Motiv).

Journal articles on the topic 'Musiker (Motiv)'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 47 journal articles for your research on the topic 'Musiker (Motiv).'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Kleinertz, Rainer. "Richard Wagners Begriff der "dichterisch-musikalischen Periode"." Die Musikforschung 67, no. 1 (2021): 26–47. http://dx.doi.org/10.52412/mf.2014.h1.65.

Full text
Abstract:
Gemessen am Gesamtumfang des Schrifttums über Wagner nehmen Studien zu grundsätzlichen Fragen der Analyse von "Form" / "Formen" seiner Musik einen zahlenmäßig untergeordneten Rang ein. Dies könnte nicht zuletzt auch ein Problem der Begrifflichkeit sein, mit der sich das Spezifische der Musik Wagners überhaupt beschreiben ließe. Neben dem Begriff "Motiv" beziehungsweise "Leitmotiv" ist derjenige der "dichterisch-musikalischen Periode" der einzige von Wagner geprägte Begriff. Seiner Bedeutung für die Analyse von Wagners Werken wird im Folgenden nachgegangen. - Ausgehend von Wagners Verwendung von Begriffen wie "Versmelodie" und "Tonart" wird zunächst herausgearbeitet, dass in seinen Opern "musikalische Modulation" stets in Verbindung mit dem Versinhalt auf Empfindungen zurückleitet. Aus entsprechend sprachlich motivierten Modulationen aus einer Grundtonart heraus eröffnen sich neue Möglichkeiten des musikalischen Ausdrucks. Im nächsten Schritt werden Auffassungen von Wagners Periodenbegriff in der Forschungsliteratur erörtert (Alfred Lorenz, Carl Dahlhaus, Peter Petersen, Thomas S. Grey, Werner Breig). Diese werden anhand von Wagners Opern (insbesondere "Der Ring des Nibelungen") sowie den musiktheoretischen Äußerungen des Komponisten (vor allem in "Oper und Drama") auf ihre Tragfähigkeit überprüft. Dabei wird festgehalten, dass das Problem der Motivation von Modulationen durch das Drama für Wagner ein zentrales harmonisches Effektmittel war. Bereits in "Oper und Drama" betonte er, dass der Musiker bei Versen gleicher Empfindung keinen Grund habe, die Tonart zu verlassen. Diesen Grund liefert erst der Wechsel der Empfindungen, die er in seinen Ausführungen zur "dichterisch-musikalischen Periode" formuliert. Der von Wagner geprägte Begriff taugt nicht nur zu Beschreibung einzelner, tonal mehr oder weniger geschlossener Gebilde, sondern vermag auch das Bewusstsein für ein Grundprinzip Wagners im "Ring" zu schärfen: die aus dem "Drama" motivierte Modulation.
 bms online (Beatrix Obal)
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Sitompul, Amiruddin. "Metamorfosis Kupu-kupu: Sebuah Komposisi Musik." PROMUSIKA 5, no. 1 (2017): 17–24. http://dx.doi.org/10.24821/promusika.v5i1.2283.

Full text
Abstract:
Gagasan menciptakan karya seni terkadang berasal dari lingkungan sekitar, di antaranya yang banyak digunakan sebagai ide ialah kupu-kupu yang perkembangbiakannya melalui proses metamorfosis. Metamorfosis Kupu-kupu dipilih sebagai gagasan komposisi musik karena memiliki metamorfosis sempurna, atau holometabolisme. Penerapan gagasan Metamorfosis Kupu-kupu dalam komposisi ini menggunakan unsur ekstra-musikal sebagai gagasan dasar penciptaannya. Elemen ekstra musikal tersebut ditransformasikan ke dalam ide musikal dengan menggunakan unsur musikal di wilayah musik tonal. Karya ini dibuat oleh sumber program musik apelatif, yaitu yang dapat menempatkan karakter tertentu menjadi judulnya. Musik program musikal ini dibudidayakan dengan mengeksplorasi bentuk dan harmonisasinya. Pada karya ini penulis memperdalam ide dengan konsep-konsep harmoni, melodi, dinamika dan timbre. Penggunaan ukuran elemen eksplorasi dan pengolahan konsep-konsep tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap orisinalitas karya. Metamorfosis Kupu-kupu dilambangkan dengan catatan kunci soprano yang tenang pada bagian awal, kemudian menjadi lebih kompleks, dan didasarkan atas harmoni dan ritme yang dipertahankan sebagai iringan dengan penggunaan arpeggio sehingga menciptakan amosfir tenang pada proses tahap metamorfosis. Pemilihan alat musik yang tepat, penggunaan teknik-teknik kontrapung stretto, modus, polikordal, metrik, dan juga motif ekspansi maupun penyempitan yang digunakan dalam budidaya, diharapkan dapat memberi warna baru dalam penciptaan karya seni musik dan orisinalitasnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Roch, Eckhard. "Undine-Motiv in Richard Wagners Dramenkonzeption." Die Musikforschung 51, no. 3 (2021): 302–15. http://dx.doi.org/10.52412/mf.1998.h3.945.

Full text
Abstract:
Theorie und Kunst durchdringen in Richard Wagners musikdramatischen Werken einander wechselseitig. Die mythologischen Werke sind Resultat der dramatischen Theorie, aber diese Theorie ist selbst schon mythologischen Ursprungs. Ein zentraler Topos Wagners ist das Undine-Motiv, das einerseits das Verhältnis der weiblichen Musik zur männlichen Dichtung theoretisch begründet, andererseits aber auch im Drama selbst aufscheint: So entpuppt sich das perverse Spiel der Rheintöchter im <Rheingold> als Allegorie der italienischen, französischen und deutschen Oper, während die Erlösung der hohen Paare vom <Fliegende Holländer> bis zum <Parsifal> als Allegorien der Einheit von Musik und Dichtung in Wagners musikalischem Drama zu deuten sind.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Josi, Gabriel Putra, Weni A. Arindawati, and Nurkinan Nurkinan. "Motif Penggunaan Aplikasi Musik Spotify pada Generasi-Z di SMA XYZ Bekasi." Warta ISKI 3, no. 02 (2020): 154–59. http://dx.doi.org/10.25008/wartaiski.v3i02.64.

Full text
Abstract:
Penelitian ini berfokus pada para siswa SMA XYZ Bekasi, merupakan generasi-z yang menggunakan aplikasi musik Spotify sebagai aplikasi pemutar musik. Penelitian ini membahas enam orang siswa SMA XYZ Bekasi untuk memahami motif penggunaan aplikasi musik spotify. Penelitian ini merupakan studi deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pengamatan nonpartisipatif berdasarkan perpektif tindakan sosial. Hasil penelitian menunjukkan, terdapat empat motif yang melatarbelakangi para siswa menggunakan Spotify. Pertama, motif interaksi sosial yaitu motif yang timbul untuk memenuhi kebutuhan individu dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya. Kedua, motif hiburan yaitu hal-hal yang berkenaan untuk mendapatkan rasa senang. Ketiga, motif informasi yaitu memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum serta memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan para siswa. Keempat, motif identitas pribadi yaitu menemukan penunjang nilai-nilai pribadi dalam media, menemukan model dalam berperilaku, mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain dalam media, serta meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri dalam menggunakan suatu media.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Walidaini, Birul. "Analisis Tekstual Koyunbaba Karya Carlo Domeniconi: Bentuk dan Struktur Bagian I Moderato." Musikolastika: Jurnal Pertunjukan dan Pendidikan Musik 2, no. 2 (2020): 94–104. http://dx.doi.org/10.24036/musikolastika.v2i2.53.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan struktur musik bagian I Moderato dari Koyunbaba karya Carlo Domeniconi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini yaitu teks atau partitur lagu Koyunbaba (Suite Für Gitarre Op.19) karya Carlo Domeniconi. Penelitian difokuskan pada bentuk dan struktur musik dari koyunbaba bagian pertama yaitu I Moderato. Data utama dalam penelitian ini adalah teks atau partitur dari koyunbaba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah birama dalam bagian pertama I Moderato ini adalah empat puluh dua birama. Setelah dianalisis strukturnya berdasarkan ilmu bentuk dan analisis musik, maka terdapat delapanperiode atau kalimat yang didalam setiap periode berisikan anak kalimat dan motif. Pada bagian pertama I Moderato, motif-motif yang dituliskan merupakan motif yang berpotensi diulang pada bagian-bagian selanjutnya. Bagian pertama ini juga berfungsi sebagai introduction atau pengenalan terhadap karya koyunbaba ini. Dalam bagian pertama ini ditemukan motif-motif yang cukup beragam karena dalam sejarahnya karya ini merupakan hasil improvisasi yang dituliskan ke dalam partitur.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Kusumawati, Heni, G. R. Lono Simatupang, and Victor Ganap. "CIRI-CIRI MUSIKAL LAGU ANAK KARYA A. T. MAHMUD." Imaji 17, no. 1 (2019): 27–34. http://dx.doi.org/10.21831/imaji.v17i1.24820.

Full text
Abstract:
Abstrak Kebertahanan lagu-lagu AT. Mahmud yang hingga saat ini masih dinyanyikan di sekolah maupun di luar sekolah memiliki daya tarik untuk dianalisis secara musikal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri musikal lagu anak karya AT Mahmud. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Analisis data menggunakan 5 lagu anak ciptaan AT. Mahmud yaitu lagu Cemara, Pemandangan, Ruri Abangku, Kereta Apiku, dan Burung Layang-layang dengan fokus ciri-ciri musikal lagu-lagu ciptaan AT Mahmud. Hasil analisis menunjukkan bahwa ciri-ciri musikal lagu-lagu AT. Mahmud adalah: 1) gerakan melodi lebih banyak menggunakan gerakan melangkah (interval M2 dan m2), 2) Teknik pengolahan motif menggunakan teknik sekuens dan harafiah, 3) Progresi akor menggunakan akor pokok I, IV dan V (mayor/minor), serta kadens, 4) tanda birama yang digunakan 2/4, 3/4, dan 4/4, dan 5) lagu-lagu AT. Mahmud masuk dalam kategori lagu bentuk 2 bagian.Kata Kunci: lagu anak, ciri-ciri musikal Abstract Defense of AT. Mahmud songs, who until now is still sung at school and outside of school, has the attraction to be analyzed musikally. The purpose of this study was to find out the musikal characteristics of AT Mahmud's children's songs. This research uses a descriptive method. Data analysis uses 5 children's songs created by AT. Mahmud is a song called Cemara, Pemandangan, Ruri Abangku, Kereta Apiku, and Burung Layang-layang with a focus on the musikal characteristics of the song created by AT Mahmud. The results of the analysis show that the musikal characteristics of AT songs. Mahmud is: 1) more melodic movements using step movements (M2 and m2 intervals), 2) Motif processing techniques using sequence and Harafiah techniques, 3) Chord progressions using the main chords I, IV and V (major / minor), and kadens , 4) the sign of the times used 2/4, 3/4, and 4/4, and 5) AT. Mahmud songs is included in the category of two-part songs.Keywords: children's songs, musikal characteristics
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Tyasrinestu, Fortunata. "Lirik Musikal pada Lagu Anak Berbahasa Indonesia." Resital: Jurnal Seni Pertunjukan 15, no. 2 (2014): 163–68. http://dx.doi.org/10.24821/resital.v15i2.850.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengkaji bahasa lagu anak berbahasa Indonesia. Lagu anak berbahasa Indonesia adalah lagu yang diperuntukkan dan dinyanyikan oleh anak-anak sesuai dengan perkembangan anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik lagu anak (LA) secara musikal dengan memperhatikan kata-kata atau lirik yang ada dalam lagu anak berbahasa Indonesia. Karakteristik lirik dan karakteristik musikal yang saling menyatu merupakan harmoni yang indah dalam lagu anak. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Analisis yang diterapkan adalah metode holistik yang dipergunakan untuk melihat LA dari beberapa perspektif melalui wawancara dan angket yang diperoleh dari praktisi musik dan praktisi pendidikan, guru, orangtua, siswa dan awam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lagu anak berbahasa Indonesia mempunyai beberapa karakteristik secara lirik dan musikal yaitu 1) pola ritme yang diulang secara musikal, 2) melodi yang diulang secara musikal, 3) motif yang diulang secara musikal, dan 4) kata-kata yang diulang secara musikal. Fungsi lagu anak berbahasa Indonesia selain untuk belajar bahasa juga mengandung nilai pendidikan dan karakter positif untuk anak dengan kata-kata bermakna positif pada lirik-liriknya. The Characteristics of Musical Lyrics on Indonesian Children Songs.The study tries to examine the discourse of Indonesian children songs. Indonesian children songs are songs that are composed for and sung by children in accordance with the child development stages. The purpose of this study is to describe the discourse of Indonesian children songs which describe their musical characteristics by giving more attention on words or lyrics of the songs. The characteristics of lyrics and musical characteristics that belong to each other are mainly a beautiful harmony in children songs. This study uses a descriptive method. The holistic method is employed to analyze children songs from some perspectives by doing the interview and distributing questionnaires to musicians, educators, teachers, parents, students, and common people in terms of composition background, the actual condition, and the resulted effect. The result shows that the Indonesian children songs have their own lyrics and musical characteristics as the followings: 1) the pattern of repeated musical rhythm, 2) the musically-repeated melody , 3) the repeated musical motives, and 4) the musically-repeated words. The function of Indonesian children songs is to learn a language of which the songs may also contain positive education values and characters for children by showing the meaningful words in the lyrics.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Eger, Manfred. "Mär vom gestohlenen Tristan-Akkord." Die Musikforschung 52, no. 4 (2021): 436–53. http://dx.doi.org/10.52412/mf.1999.h4.909.

Full text
Abstract:
Das Liebestrank-Motiv, das mit dem Tristan-Akkord beginnt und die Keimzelle von Richard Wagners epochemachendem Werk ist, kommt auch in Franz Liszts Lied <Ich möchte hingeh'n> vor, das 1845 konzipiert wurde, 15 Jahre vor <Tristan und Isolde>. Generationen von Musikwissenschaftlern und Publizisten rühmten Liszt deshalb als den eigentlichen Bahnbrecher der neuen Musik. Das Lied wurde jedoch zum ersten Mal 1859 veröffentlicht, nachdem Liszt sich bei Wagner für den Druck des ersten <Tristan>-Aufzugs bedankt und im Druckmanuskript des Liedes einige Korrekturen vorgenommen hatte. Dabei fügte er auch das Liebestrank-Motiv als freundschaftliche Anspielung ein, veränderte jedoch offenbar versehentlich den Tristan-Akkord.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

I Wayan Rai S. "TIFA DI TANAH PAPUA DALAM PERSPEKTIF ETNOMUSIKOLOGI." Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat 12, no. 2 (2021): 115–32. http://dx.doi.org/10.24832/papua.v12i2.290.

Full text
Abstract:
Tifa adalah salah satu jenis alat musik tradisi di Tanah Papua. Sampai saat ini studi tentang Tifa masih sangat terbatas, walaupun ada beberapa artikel tentang alat musik ini, namun tulisan-tulisan tersebut masih sangat ringkas dan tidak lengkap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang musik Tifa di Tanah Papua. Tifa dipandang sebagai instrumen musik penting bagi masyarakat Papua yang telah diwarisi sejak masa yang lampau. Selain itu juga untuk mengetahui konteks sosial-budaya tifa itu pada masyarakat pendukungnya di Tanah Papua. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah musik Tifa itu sendiri, para informan terpilih antara lain kepala suku, para pemain, dan budayawan daerah setempat. Seluruh data yang telah dikumpulkan melalui observasi partisipasi, wawancara, dan rekaman, dianalisis dengan menggunakan teori musik dan teori fungsional struktural. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: (1) Tifa adalah instrumen musik tradisi di Tanah Papua yang terbuat dari kayu dengan membrane dari kulit binatang dan tergolong single-headed frame drum. Asal usul Tifa terkait erat dengan foklor. Badan Tifa dihiasi dengan motif-motif tertentu sesuai kepercayaan masyarakat pendukungnya Alat musik ini dimainkan oleh seorang pemain dengan jalan memukul bagian membrane nya dengan basis empat pola ritme. (2) Dalam konteks sosisal budaya, tifa memiliki fungsi sebagai atribut kebesaran Ondoafi (kepala suku), sebagai sarana komunikasi, sarana penghubung kepada Tuhan, leluhur, serta kekuatan alam lainnya. Sebagai hasil kebudayaan ekspresif, alat musik ini dipergunakan sebagai pengiring nyanyian wor dan pengiring tari. Masyarakat Papua memaknai tifa sebagai karya budaya yang dijadikan simbol jati diri, pemberi identitas, dan sarana penguat ikatan relasi sosial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Ryabova, Olga. "MUSIKAL-AUDITORY NOTIONS AS THE MAIN FORM OF MUSICAL THINKING OF A PERSON." Aesthetics and Ethics of Pedagogical Action, no. 13 (March 9, 2016): 60–68. http://dx.doi.org/10.33989/2226-4051.2016.13.171539.

Full text
Abstract:
The article deals with some peculiarities of musical-auditory notions as the main form of musical thinking and observes their intonational essence in the context of intensive musical activity of a person. The author emphasizes the great importance of the musical thinking studies of B. Asafyev, M. Aranovsky, B. Teplov, Y. Zagarelly and others, takes into consideration general laws of psychology as well, in accordance with the above-mentioned researchers’ works: musical thinking is an artistic thinking within the framework of the art of music. The form of musical thinking is the musical- auditory notions that are formed in the process of musical activity as a result of interpretation of acoustic impressions.The author points out that the sound nature of music art causes the peculiarities of music impressions, being formed on the ground of the personal music-listening experience. Sound images are produced by the music previously perceived. The essence of these images is music inflection that, in the course of comprehension of music phenomena, becomes the base for the musical-auditory notions emergence.The author states that the musical-auditory notions formation, motive and visual images appear on the ground of personal sensory perceptions and cognitive experience in the course of music activity. Based on the musicological works the author defines the substance of the musical-auditory notions as intonational process that reflects the features of musical thinking in the sociocultural context of the historical development of musical art.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Setiyawan, Muhammad Budhi. "MUSIK TARBANG DALAM UPACARA BEPACAR MASYARAKAT TANJUNG REDEB, BERAU, KALIMANTAN TIMUR." IKONIK : Jurnal Seni dan Desain 2, no. 1 (2020): 9. http://dx.doi.org/10.51804/ijsd.v2i1.606.

Full text
Abstract:
Tarbang merupakan sebuah alat musik tradisional, sedangkan betarbang merupakan aktifitas memainkan alat musik tarbang / rebana. Ansambel musik ini masih eksis di Berau sampai saat ini. Salah satu alasan musik ini masih eksis sampai saat ini karena masih banyak upacara adat yang menggunakan alat musik ini. Salah satu contoh upacara adat yang menggunakan musik ini adalah bepacar. Tulisan ini fokus kepada pengungkapan keterkaitan antara musik tarbang dan upacara bepacar. Tarbang dimainkan oleh 4 orang menggunakan tarbang / rabana, tiap - tiap orang memiliki motif ritmis yang berbeda. Dalam upacara bepacar, tarbang digunakan sebagai media untuk berdoa. Karena sebagian masyarakat percaya bahwa melalui tarbang doa mereka bisa tersampaikan.Tarbang is a traditional music that still exist until this time in Berau East Borneo. Once reason that make this music still exist because still many activity using tarbang. For example is bepacar.Tthis text are concern to search an conection between tarbang and bepacar. Tarbang played by 4 person by using tarbang/rebbana. Each person play diferent type of rhytm. In case of bepacar, tarbang used as a way to pray. Because the civilization believe that tarbang can send their pray to their God.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Pamungkas, Putra Jalu. "LABUH LABET: PENGABDIAN PRAJURIT KERATON YOGYAKARTA DALAM KARYA TARI." Joged 17, no. 1 (2021): 17–29. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v17i1.5600.

Full text
Abstract:
ABSTRAKLabuh labet memiliki makna pengabdian. Di dalam karya tari ini, pengabdian yang dimaksud adalah pengabdian seorang prajurit kraton Yogyakarta atau yang dikenal dengan Bregada. Bregada prajurit kraton biasanya disajikan pada upacara-upacara adat di kraton. Banyak para prajurit kraton yang sudah berusia lanjut namun masih tetap memiliki semangat untuk ikut berpartisipasi dalam acara kraton. Dasiyo (77 tahun) sebagai salah satu contohnya, beliau adalah seorang prajurit kraton yang mengalami awal dibentuknya kembali prajurit kraton Yogyakarta. Beliau pernah masuk di tiga bregada prajurit kraton yang berbeda yaitu prajurit Dhaeng, Patangpuluh, dan Wirabraja dengan pangkat yang berbeda-beda. Bregada prajurit kraton Yogyakarta sebagai inspirasi penciptaan karya tari, berawal dari ketertarikan saat melihat barisan prajurit kraton Yogyakarta. Dalam setiap kesatuan masing masing bregada memiliki ciri khusus yang berbeda, baik dalam segi kostum, gerakan dan musik. Ada sebuah motif gerak berjalan yang dilakukan oleh setiap bregada prajurit yaitu lampah macak dan lampah mars. Prajurit identik dengan pengabdian, kedisiplinan, dan kesetiaan. Sifat dan karakter dari prajurit ini dijadikan spirit dalam pengolahan dan pengekspresian setiap motif gerak yang ditemukan. Karya tari ini merupakan koreografi garap kelompok dengan delapan orang penari laki-laki. Enam penari sebagai visualisasi figur tokoh prajurit kraton, satu orang penari sebagai visualisasi masa lalu dari tokoh prajurit tersebut, satu penari lagi sebagai visualisasi figur pak Dasiyo. Lampah macak dan lampah mars menjadi motif awal untuk menciptakan gerak, dengan beberapa variasi dan pengembangannya. Melalui karya ini diharapkan generasi-generasi muda dapat melestarikan sejarah dan tradisi kebudayaan yang ada di wilayah masing–masing.ABSTRACT Terms or word as titles, has the same meaning as dedication. In this dance work, the purpose of dedication is soldiers of the Yogyakarta palace dedication. The soldiers of Yogyakarta palace usually served in the palace ceremony. A lot of older people soldiers of the palace however still have a spirit for participation in the palace event. Dasiyo (77 years old) as one of example, he is soldier of Yogyakarta palace to have experience ever since early reshaping soldiers of Yogyakarta palace. He ever in the three of different soldier of palace which name is Dhaeng, Patangpuluh and Wirabraja with different grade. The soldiers of Yogyakarta palace as inspiration for create this dance work, starting from the interest when looking the line up soldiers of Yogyakarta palace. In the every unity have different special feature, as a costume, movement and the music. Every soldiers have the one of walking movement motive that is lampah macak and lampah mars. The soldiers identic as dedication, discipline and loyalty. Human nature and character of this soldiers to be a spirit in processing and expression every found movement motive. This dance work is a group choreography with eight male dancer. Six dancer as a visualisation figure soldier of palace, one dancer as a visualisation past from soldier of palace, one dancer as a visualisation of Dasiyo. Lampah macak and lampah mars become early motive to create the movement, with the some of variation and development. Through this dance work expected young generation can preserve history and culture of tradition in the each other region.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Nafiah, Hidayatun, and Salsabila Azzahra. "Budaya Populer Musik dalam Realita Sosial (Analisis Genre Lagu Pilu Membiru Kunto Aji dan Untuk Hati yang Terluka Isyana Sarasvati )." Jurnal Ilmiah Komunikasi Makna 8, no. 1 (2020): 55. http://dx.doi.org/10.30659/jikm.v8i1.9659.

Full text
Abstract:
Lagu merupakan salah satu wadah bagi musisi dan pendengarnya untuk saling berbagi. Belakangan ini banyak lagu bernuansa sedih yang menarik perhatian di belantika musik tanah air, misalnya lagu Pilu Membiru oleh Kunto aji dan Untuk Hati yang Terluka oleh Isyana Sarasvati. Di balik sebuah karya musik sebagai budaya populer yang diminati banyak orang, terdapat motif yang melatarbelakanginya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana esensi sebuah lagu dalam kehidupan. Penelitian ini meggunakan metode kualitatif� dan berpedoman pada teori John Fiske tentang budaya populer. Penelitian ini berhasil mengelaborasi tentang lagu bernuansa sedih sebagai resistensi dari kerasnya kehidupan.��
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Sinulingga, Putri Octavia. "ANALISIS LAGU THE MAJESTY AND GLORY OF YOUR NAME KARYA TOM FETTKE STUDI KASUS CRESCENDO STUDIO CHOIR." Grenek Music Journal 2, no. 2 (2013): 53. http://dx.doi.org/10.24114/grenek.v2i2.3838.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stuktur komposisi lagu yang didalamnya terdapat motif dan frase pada lagu the majesty and glory of your name karya Tom Fettke, dan sebagai kasusnya adalah Crescendo Studio Choir, juga untuk mengenal biografi Tom Fettke. Analisis merupakan suatu ilmu menguraikan sebuah pokok bahasan untuk mencari dan meneliti isi dari pokok bahasan tersebut. Demikian halnya dengan analisis musik yang memiliki pengertian memotong dan memperhatikan detail dari keseluruhan sebuah karya atau segi strukturnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif, yaitu metode penelitian yang menggambarkan secara rinci dan jelas tentang sesuatu hal yang menjadi fokus penelitian. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah partitur lagu yang berjudul The Majesty And Glory Of Your Name karya Tom Fettke, pelatih sekaligus kondaktor Crescendo Studio Choir dan anggota Crescendo Studio Choir. Pengerjaan analisis ini memakai program finale untuk memindahkan dari partitur ke komputer agar memudahkan peneliti dalam mengerjakan analisis lagu, untuk meneliti motif, frase dan interpretasi.Lagu ini adalah sebuah lagu bertemakan keagamaan.Terdiri dari 79 birama yang memiliki motif asli dan pengembangan, sekwens naik dan turun, interval naik dan turun.Frase yang dimiliki lagu ini sebanyak 24 frase dengan kalimat pertanyaan dan jawaban.Interpretasi lagu yang dijabarkan memiliki 3 bagian yang setiap bagian memiliki pesan berbeda-beda.Setelah dilakukan analisis, maka peneliti menyadari bahwa sesungguhnya musik kaya dengan unsur-unsurnya khususnya pada lagu paduan suara.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Lestari, Devi Rianti. "STUDI MOTIF PENGGUNAAN INSTASTORY PENGURUS KINESIK PERIODE 2015-2016." KINESIK 6, no. 2 (2019): 127–39. http://dx.doi.org/10.22487/ejk.v6i2.76.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui motif pengunaan fitur Instastory dalam Akun Media Sosial Instagram pada komunitas Intektual Mahasiswa Ilmu Komunikasi Periode 2015-2016 menggunakan teori motif penggunaan media milik Papacharissi dan Rubin yaitu Motif Utility, Motif Passing Time, Motif Seeking Information, Motif Convienence Dan Motif Entertainment. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe deskriptif kualitatif. Dasar penelitian pada penelitian ini adalah studi kasus dengan jumlah informan sebanyak 6 orang, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yakni reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa, motif penggunaan fitur Instastory pada mahasiswa ilmu komunikasi meliputi: (a) Motif Utility dimana fitur Instastory digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan diri, mengekspos kegiatan sehari-hari, membagikan informasi, mencari hiburan bahkan sebagai alat untuk mendukung kehiduapan sosial para penggunanya dalam bentuk interaksi seperti mengirim pesan, berkomentar, berkirim foto maupun video untuk saling berukar pendapat. (b) Motif Passing Time pengguna memanfaatkan fitur Instastory untuk mengisi waktu luang dengan membagikan moment lucu saat berkumpul bersama teman-teman, saat ada kegiatan, saat liburan, bermain game, upload musik, atau hanya sekedar melihat story pengguna lain. (c) Motif Seeking Information dimana fitur Instastory digunakan untuk mencari informasi tentang ekonomi, politik, kehiduapan artis, fenomena yang terjadi serta berita terkini dan aktual (d) Motif Convience dimana Informan memanfaatkan fitur Instastory sebagai alat penyaluran emosi dengan tujuan melapaskan diri dari permasalahan yang sering terjadi dengan cara mengupload foto, video, game atau quotes agar dapat menghubungkan ke sesama penggunaanya sehingga memungkinkan mengatasi permasalahan yang ada. (e) Motif Entertainment dimana mahasiswa memanfaatkan fitur ini untuk menghilangkan kebosanan dan kejenuhan dengan memanfaatkan fitur boomerang, superzoom, face filter atau fitur lainnya untuk sekedar menghibur diri.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Dandes, Surya. "MANGAJI: REINTERPRETASI SASTRA LISAN DALAM KOMPOSISI MUSIK." IKONIK : Jurnal Seni dan Desain 3, no. 1 (2021): 28. http://dx.doi.org/10.51804/ijsd.v3i1.866.

Full text
Abstract:
Komposisi “Mangaji” merupakan bentuk pengkaryaan programa, yang dilatar belakangi oleh sastra lisan pasambahan Minangkabau sebagai ide penciptaan karya. Sastra lisan yang merupakan sajian yang selalu bersentuhan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau digarap secara reinterpretasi oleh pengkarya dengan melihat aspek-aspek yang dimiliki sastra lisan, mampu menjadi penawaran baru dalam penggarapan komposisi musik. Penyusunan karya “Mangaji” menggunakan empat tahapan sampai karya menjadi rangkaian yang utuh, yaitu,: rangsangan awal, observasi dan pengumpulan data, eksplorasi, dan terakhir penyusunan hasil dari ekplorasi sebagai materi komposisi. Proses explorasi pada komposisi terdiri atas dua bentuk, yaitu pencocokan sumber dengan ide garap dan penyusunan materi dari hasil pencocokan sebelumnya, dengan menggunakan proses musikal. Proses ini meliputi menentukan tema, sub tema, penentuan aspek komposisi seperti dinamika, pengembangan motif dan penggarapan rasa pada setiap bagian. Komposisi “Mangaji” diharapkan menjadi alternatif, referensi, dan rujukan dalam penggarapan karya baru dalam ranah akademisi maupun dalam lingkup luas, sebagai manfaat yang edukatif dalam lingkup penciptaan musik baru.The composition of "Mangaji" is a form of program work, which is based on the Minangkabau post-added oral literature as the idea of creating works. Oral literature, which is a presentation that always touches the life of the Minangkabau people, is reinterpreted by the author by looking at the aspects of oral literature that can become a new offering in the cultivation of musical compositions. The creation of "Mangaji" uses four stages until the work becomes a complete series, they are: Initial Stimulation, Observation and Data Collection, Exploration, and finally composing the results of the exploration as material composition. The process of exploration in the composition consists of two forms, namely matching the source with the working idea and arranging the material from the previous matching results using the musical process. This process includes determining themes, sub themes, determining aspects of composition such as dynamics, developing motifs and cultivating tastes in each section. The composition of Mangaji is expected to be an alternative, reference, and recomendation in the cultivation of new works in the academic real or in a broad scope, as an educational benefit in the scope of new music creation..
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Devung, Katarina. "BENTUK DAN STRUKTUR PENYAJIAN TARI TINGANG NELISE PADA SUKU DAYAK BAHAU BUSANG SUB SUKU LONG GELAAT DI ULU MAHAKAM." Joged 16, no. 2 (2020): 202–14. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v16i2.4682.

Full text
Abstract:
Tari Tingang Nelise merupakan tari tradisional yang berkembang di desa Long Tuyoq khususnya Sub Suku Long Gelaat. Tarian ini merupakan tarian rakyat yang dibawakan secara khusus pada saat acara Nemlaai, acara adat anak, pernikahan, dan Dangai. Tari Tingang Nelise terinspirasi dari keseharian burung Enggang yang sedang merapikan bulunya, memperindah serta mempercantik dirinya. Tari Tingang Nelise adalah salah satu tarian yang memiliki banyak variasi dari tarian-tarian Karang Sapeq. Tingang Nelise awalnya dikenal dengan nama Tari Tingang Mate, namun karena itu memberikan makna yang kurang tepat terlebih lagi karena gerakannya lebih tepat disebut dengan Nelise (berhias). Penelitian ini akan mengupas bentuk dan struktur penyajian tari Tingang Nelise dilihat dari tari tradisional yang menggabungkan motif-motif dari setiap gerakan-gerakannya. Dengan pendekatan koreografi dan struktur. Pendekatan koreografi melihat tema, pelaku, gerak, rias busana, properti, musik iringan dilihat dari bentuk tariannya dibawakan sebagai tari hiburan atau rakyat yang tumbuh di kalangan masyarakat. Pendekatan struktur mengupas tari Tingang Nelise dilihat dari analisis struktural dimulai dari unsur gerak, frase gerak, kalimat gerak dan gugus gerak. Tari Tingang Nelise memiliki ciri khas yang terlihat dari motif-motif geraknya. Gerak yang paling dominan adalah kaki dan tangan. Secara struktur tari Tingang Nelise terbagi ke dalam 4 gugus, dan memiliki 7 motif gerak yang khas yaitu motif gerak Ngaset yang melompat ke kanan dan kiri dengan posisi jongkok, Nyebeb, Nyegung, Nyebib, Lemako, Nyelut, dan Nelise. ABSTRACT Tingang Nelise dance is a traditional dance of Dayak community, Long Gelaat tribe in Long Tuyoq village. This dance is a folk dance that is performed specifically at Nemlaai events, children's traditional events, weddings, and Dangai. Tingang Nelise dance is inspired by the daily activities of hornbills that are grooming their feathers and beautifying themselves. Tingang Nelise dance is one of the dances that have many variations of the Karang Sapeq dances, which is the embodiment of Tingang Nelise or the result of a change in name which was originally known as the Tingang Mate Dance, but because it gives less meaning and also because the movement is more accurately called Nelise (decorated). This research will explore the form and structure of the presentation of the Tingang Nelise dance with a choreography and structure approach. The choreography approach looks at themes, dancers, movements, dress and make-up, properties, and music accompaniment. While the structural approach of the Tingang Nelise dance is seen from the structural analysis of dance in the language analysis which analyzes from the smallest movement. Starting from the elements of movement, motives movement, phrases movement, sentences, and group movement. The results of the analysis conclude that the Tingang Nelise Dance has a characteristic that can be seen from the motives of the movement which are dominated by foot and hand movements. Structurally, the Tingang Nelise dance is divided into 4 groups and has 7 characteristic motive movement, namely the Ngaset that jumps to the right and left in a squatting position. The other motives are Nyebeb, Nyegung, Nyebib, Lemako, Nyelut, and Nelise.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Pasaribu, Dedi Saputra, and Theodora Sinaga. "ANALISIS BENTUK, MAKNA DAN FUNGSI LAGU RURA SILINDUNG ARANSEMEN ERIZON RASIN KOTO KARYA GURU NAHUM SITUMORANG." Grenek Music Journal 10, no. 1 (2021): 15. http://dx.doi.org/10.24114/grenek.v10i1.23539.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk, makna, dan fungsi lagu Rura Silindung aransemen Erizon Rasin Koto. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Hasil penelitian membuktikan bahwa bentuk lagu Rura Silindung memiliki 6 motif dengan penambahan coda pada bar 33-36, memiliki 4 frase yang terdiri dari dua frase pertanyaan dan 2 frase jawaban, lagu ini juga merupakan lagu dua bagian yang terdiri dari A (a-a’) dan B (b-b’). Melodi, harmoni, dan ritme memiliki gaya dan karakteristik musik Samba, namun tetap dikolaborasikan dengan intrumen musik etnis Batak Toba, sehingga kesan dan nilai tradisi dari musik Batak Toba masih terlihat jelas. Namun terdapat kekurangan pada aransemen ini yaitu pada melodi m1 yang mengalami ketidaksesuain dengan makna syairnya. Lagu Rura Silindung yang diaransemen oleh Erizon Rasin koto ini merupakan karya dari komponis besar yang berasal dari Tanah Batak yaitu Guru Nahum Situmorang. Lagu ini memiliki makna akan keindahan alam Lembah Silindung, mewakili hati dan kehidupan masyarakat Silindung yang hidup damai, tentram dan saling berdampingan, lagu ini melambangkan ciri khas masyarakat Silindung. Lagu ini berfungsi sebagai lagu iringan pada berbagai acara adat, dan berfungsi sebagai lagu iringan pada pesta tahunan pada acara Panen Raya di Silindung, Tarutung.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Krisnayana, Riefky. "REALITAS BUDAYA NGOPI DI CAFE PADA REMAJA." DIALEKTIKA 7, no. 1 (2020): 51–64. http://dx.doi.org/10.32816/dialektika.v7i1.1423.

Full text
Abstract:
Motif tujuan budaya ngopi di café pada remaja di Bandung adalah untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup milenial remaja perkotaan. Café menjadi ruang publik bagi remaja dengan tujuan yang berbeda yaitu untuk minum kopi, menunggu seseorang, bertemu dengan teman, mengerjakan tugas, diskusi dengan rekan bisnis, brainstorming, berkumpul dengan keluarga, reuni, sekedar arisan, chatting, bermain game online, streaming film youtube, nongki, melarikan diri dari aktifitas yang melelahkan, menghindari terjebak kemacetan lalu lintas dan me time. Motif penyebab budaya ngopi di café pada remaja di Bandung karena lokasi café yang strategis, lahan parkir, ruangan ber-AC, sofa yang nyaman, fasilitas steker listrik dan free wi-fi, smoking area, kehandalan barista dalam menciptakan varian rasa kopi olahan, harga terjangkau, desain interior dan eksterior ruangan yang instagramable, warna, furniture, musik, toilet. Remaja di café menghabiskan waktu selama 1 jam hingga 2 jam. Suasana yang nyaman membuat remaja betah dan berlama-lama di café
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Fatmala, Rahma. "ANALISIS KOREOGRAFI TARI MELINTING LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR." Joged 13, no. 1 (2019): 91–101. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v13i1.2810.

Full text
Abstract:
Tari Melinting adalah tari tradisional Lampung yang diciptakan oleh Ratu Melinting di Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur pada abad ke-16. Tari ini ditarikan oleh delapan orang penari yang terdiri dari empat orang penari putra dan empat orang penari putri dengan pola lantai yang unik. Keunikan lainnya adalah kostum yang dipakai, yakni siger Melinting yang menutupi sebagian wajah penari perempuan, musik iringan, dan properti yang dipakai yaitu kipas, Cara menggerakkan kipas, serta henjutan kaki penari menjadikan penulis tertarik untuk menganalisis koreografi tari ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan pendekatan koreografi dengan menganalisis teks koreografi melalui aspek bentuk, teknik dan isi, serta digunakan pendokumentasian motif gerak melalui notasi Laban. Aspek bentuk Tari Melinting terbagi menjadi empat bagian, bagian ini dapat ditandai dengan perubahan musik iringan, pola lantai, dan motif geraknya. Tari Melinting memiliki dua belas motif gerak. Gerak tersebut meliputi gerak babar kipas lapah tebeng, jong sumbah, balik palau, kenui melayang, mapang randu, ngiyau bias nginjak lado, sughung sekapan, salaman, timbangan, babar kipas suali, ngiyau bias nginjak tahi manuk, dan luncat kijang. Gerak Tari Melinting memiliki makna tentang kegagahan dan kelembutan putra putri Lampung. Gerak pada penari putra yang gagah dan lincah merupakan bentuk tanggung jawab lakilaki untuk menyejahterakan dan melindungi keluarga. Gerak pada penari putri yang lembut dan halus melambangkan kelembutan wanita Lampung. Serta gerak Tari Melinting memiliki ciri khas dalam geraknya yaitu terdapat efek enjutan ketika melakukan gerak Tari Melinting. Melinting Dance is a traditional dance created by Lampung Ratu Melinting in Labuhan Maringgai East Lampung Regency in the 16th century. Melinting dance is categorized as a group dance composition, because it can be seen from the form of performances that are danced by eight dancers. Melinting Dance uses the fan property held by the dancers. Melinting Dance describes the valor of Lampung princess. Along with its development, Melinting Dance has changed the function of dance ceremony to dance entertainment. From the change of the function Melinging Labuhan Maringgai Dance undergoes choreography changes but does not eliminate the basic movements that have been there since the first. Clothing on Melinting Dance wearing traditional clothes Lampung with corrective makeup. The accompaniment of Melinting Dance uses three types of percussion / Lampung accompaniment. In this case the main problem is the choreography analysis Dance Melinting Labuhan Maringgai East Lampung regency. To answer the problem then used a choreography approach by analyzing choreographic texts through aspects of form, technique and content, and used documentation motion motion through Laban notation. Aspects of the form Melinting Dance is divided into four parts, this section can be marked by changes in music accompaniment, floor patterns and motion motifs. Melinting Dance has twelve motive motifs. The motion includes babar kipas lapah tebeng, jong sumbah, balik palau, kenui melayang, mapang randu, ngiyau bias nginjak lado, sughung sekapan, salaman, timbangan, babar kipas suali, ngiyau bias nginjak tahi manuk, lompat kijang. On the motion of Melinting Dance has a meaning about the valor of Lampung daughter. The motion of a handsome and agile male dancer is a form of male responsibility for the welfare and protection of the family. The motion of the soft and delicate female dancer symbolizes the softness of the Lampung woman. As well as the motion of Melinting Dance has a characteristic in motion that there are effects of driving when doing motion Dance Melinting.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Fatmala, Rahma. "ANALISIS KOREOGRAFI TARI MELINTING LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR." Joged 10, no. 1 (2019): 91–101. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v10i1.2810.

Full text
Abstract:
Tari Melinting adalah tari tradisional Lampung yang diciptakan oleh Ratu Melinting di Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur pada abad ke-16. Tari ini ditarikan oleh delapan orang penari yang terdiri dari empat orang penari putra dan empat orang penari putri dengan pola lantai yang unik. Keunikan lainnya adalah kostum yang dipakai, yakni siger Melinting yang menutupi sebagian wajah penari perempuan, musik iringan, dan properti yang dipakai yaitu kipas, Cara menggerakkan kipas, serta henjutan kaki penari menjadikan penulis tertarik untuk menganalisis koreografi tari ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan pendekatan koreografi dengan menganalisis teks koreografi melalui aspek bentuk, teknik dan isi, serta digunakan pendokumentasian motif gerak melalui notasi Laban. Aspek bentuk Tari Melinting terbagi menjadi empat bagian, bagian ini dapat ditandai dengan perubahan musik iringan, pola lantai, dan motif geraknya. Tari Melinting memiliki dua belas motif gerak. Gerak tersebut meliputi gerak babar kipas lapah tebeng, jong sumbah, balik palau, kenui melayang, mapang randu, ngiyau bias nginjak lado, sughung sekapan, salaman, timbangan, babar kipas suali, ngiyau bias nginjak tahi manuk, dan luncat kijang. Gerak Tari Melinting memiliki makna tentang kegagahan dan kelembutan putra putri Lampung. Gerak pada penari putra yang gagah dan lincah merupakan bentuk tanggung jawab lakilaki untuk menyejahterakan dan melindungi keluarga. Gerak pada penari putri yang lembut dan halus melambangkan kelembutan wanita Lampung. Serta gerak Tari Melinting memiliki ciri khas dalam geraknya yaitu terdapat efek enjutan ketika melakukan gerak Tari Melinting. Melinting Dance is a traditional dance created by Lampung Ratu Melinting in Labuhan Maringgai East Lampung Regency in the 16th century. Melinting dance is categorized as a group dance composition, because it can be seen from the form of performances that are danced by eight dancers. Melinting Dance uses the fan property held by the dancers. Melinting Dance describes the valor of Lampung princess. Along with its development, Melinting Dance has changed the function of dance ceremony to dance entertainment. From the change of the function Melinging Labuhan Maringgai Dance undergoes choreography changes but does not eliminate the basic movements that have been there since the first. Clothing on Melinting Dance wearing traditional clothes Lampung with corrective makeup. The accompaniment of Melinting Dance uses three types of percussion / Lampung accompaniment. In this case the main problem is the choreography analysis Dance Melinting Labuhan Maringgai East Lampung regency. To answer the problem then used a choreography approach by analyzing choreographic texts through aspects of form, technique and content, and used documentation motion motion through Laban notation. Aspects of the form Melinting Dance is divided into four parts, this section can be marked by changes in music accompaniment, floor patterns and motion motifs. Melinting Dance has twelve motive motifs. The motion includes babar kipas lapah tebeng, jong sumbah, balik palau, kenui melayang, mapang randu, ngiyau bias nginjak lado, sughung sekapan, salaman, timbangan, babar kipas suali, ngiyau bias nginjak tahi manuk, lompat kijang. On the motion of Melinting Dance has a meaning about the valor of Lampung daughter. The motion of a handsome and agile male dancer is a form of male responsibility for the welfare and protection of the family. The motion of the soft and delicate female dancer symbolizes the softness of the Lampung woman. As well as the motion of Melinting Dance has a characteristic in motion that there are effects of driving when doing motion Dance Melinting.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Becker-Glauch, Wulf. "Zum Menschenbild von Modersohn-Becker um 1900 (in memoriam 20.11.1907)." Musik-, Tanz- und Kunsttherapie 18, no. 4 (2007): 170–99. http://dx.doi.org/10.1026/0933-6885.18.4.170.

Full text
Abstract:
Zusammenfassung. Anknüpfend an den Tod und Leben vereinigenden Orakelspruch des ersten Teils 1 Musik-, Tanz- und Kunsttherapie, 18 (1), 1–16 (2007). wird versucht zu zeigen, wie dieser Leitfaden des Labyrinths in der Kunst zu verschiedenen Zeiten auftaucht und auch im Menschenbild von Paula Modersohn-Becker und in ihrer Arbeit am „Allgemeinen Menschen” (Ziegler) weiterwirkt, der durch das Individuum symbolisiert wird. Als Beispiele dienen „Die Gänsemagd” (Radierung), drei gezeichnete Frauenbildnisse, die „Frau mit Mohnblumen” (Gemälde) und die Entwicklung des Motivs „Bauernmädchen auf einem Stuhl”. Dabei ergeben sich transzendentale Spuren im Werk der Künstlerin.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Jahn, Bernhard, and Alexander Košenina. "Literatur & Musik. : Einleitung." Zeitschrift für Germanistik 31, no. 2 (2021): 7–10. http://dx.doi.org/10.3726/92169_7.

Full text
Abstract:
Als beim Thronwechsel von Saul an David der frühere König des Volkes Israel von der Melancholie befallen wird, musiziert David für ihn – je nach Übersetzung – auf der ,,Zither“ oder ,,Harfe“: ,,Dann fühlte sich Saul erleichtert, es ging ihm wieder gut, und der böse Geist wich von ihm.“ (1 Sam 16, 23) Diese wohl schon im 8. Jahrhundert v. Chr. entstandene biblische Geschichte gehört nicht nur zu den ältesten Begegnungen zwischen Musik und Literatur in unserem Kulturkreis, sondern auch zu den künstlerisch folgenreichsten. In der Kunst Rembrandts, den Lustigen Schaubühnen eines Erasmus Francisci (1663) oder in Gedichten vom 17. Jahrhundert bis zu Rilke (David singt vor Saul) wurde das Motiv dieser musikalischen Heilung immer wieder aufgegriffen und variiert. Auch andere poetisch- musikalische Urszenen aus der Bibel, den Homerischen Epen oder aus Tausendundeine Nacht durchdrangen immer neue Bereiche der Weltliteratur.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Nuraryo, Imam. "PELANGGARAN HAK CIPTA DALAM BISNIS DAN INDUSTRI MUSIK: SUATU TINJAUAN KOMUNIKASI MASSA." Sociae Polites 15, no. 2 (2017): 161–76. http://dx.doi.org/10.33541/sp.v15i2.455.

Full text
Abstract:
AbstractMusic is used as a medium to teach norms andrules that apply in the society. Music isconsidered as a communication medium, it hasrules, ethical and technical guidelines thatshould be considered by the composer.Unfortunately, copyright law which is stillprevailing in Indonesia gives less attention to thecompetition of the creative industries. Copyrightis one of the intellectual property rights that themost vulnerable to breaches and it is alsobecoming more susceptible in accordance withthe development of information technology.Many cases a number of Indonesian artists doplagiarism controversy. Actually the result ofmusic plagiarism sold well in the Indonesianmarket and many Indonesian musiciansadmitted that they deliberately made such musicbased on business reason. Mass communicationstudies contribute to identifying plagiarism inmusic area, and the advancement of technologyand information makes the public easier todetect plagiarism practice.Keywords: Music, Plagiarism, CopyrightInfringement, Mass Communication
 AbstrakMusik digunakan sebagai media untukmengajarkan norma-norma dan aturan-aturanyang berlaku di tengah masyarakat. Oleh karenamusik dianggap sebagai media komunikasi yangmemiliki kaidah, etika dan rambu-rambu teknistertentu yang harus diperhatikan dan dipatuhioleh composernya. Namun, undang-undang hakcipta yang berlaku di Indonesia dinilai masihkurang memperhatikan persaingan danpesatnya pertumbuhan industri kreatif dunia.Hak cipta merupakan salah satu obyek hakkekayaan intelektual yang paling rentanterhadap pelanggaran yang semakin canggihdilakukan sejalan kecanggihan perkembanganteknologi komputer. Banyak kasus yangmelanda sejumlah musisi di Indonesia karenakontroversi plagiarisme yang telah dilakukan.Musik-musik hasil plagiarisme itu malah lakukeras di pasaran dan banyak juga musisi yangmengaku sengaja membuat musik yang semiripmungkin karena motif bisnis. Kajian komunikasimassa bekontribusi mengidentifikasi plagiarismeyang terjadi di dunia musik, dan kemajuanteknologi dan informasi semakin memudahkankhalayak mendeteksinya.Kata kunci: Musik, Plagiarisme, PelanggaranHak Cipta, Komunikasi Massa
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Kharisma, Bethoven. "Analisis Komposisi Soundtrack dalam Video Game “Genshin Impact”." Indonesian Journal of Performing Arts Education 1, no. 2 (2021): 12–15. http://dx.doi.org/10.24821/ijopaed.v1i2.5432.

Full text
Abstract:
Role-playing games merupakan merupakan salah satu genre utama dari sebagian banyak game dan ada dalam bentuk dan format yang berbeda. Dalam sebuah game cenderung menggunakan musik cinematic yang mampu membawa suasana dan emosi kepada pemain game tersebut. Pemilihan soundtrack Genshin Impact pada “Main Theme: from The Wind and The Star Traveler” sebagai objek penelitian dikarenakan penataan musik cinematic yang megah. Penelitian kualitatif deskriptif ini memiliki tujuan untuk menganalisis teknik pengolahan komposisi dari soundtrack tersebut. Metode yang digunakan adalah studi diskografi, studi literatur, dan observasi. Hasil menunjukkan bahwa soundtrack “Main Theme” pada Genshin Impact dimainkan dakam tonalitas D Mayor dengan tempo 82 bpm. Dalam soundtrack Main Theme terdiri dari beberapa bagian yaitu, intro, verse, chorus, dan outro. Elemen musik pada soundtrack Main Theme juga diketahui berdasarkan ritme, dinamika, harmoni, tekstur, dan bentuk. Musik soundtrack tersebut mengandung suasana yang sederhana tapi megah dari penggunaan tonalitas mayor, poliritme, dan pengembangan motif utama yang memperkaya. Role-playing games are one of the main genres of many games and come in many different forms and formats. A game tends to use cinematic music that can bring atmosphere and emotions to the game's players. The selection of the Genshin Impact soundtrack on "Main Theme: from The Wind and The Star Traveler" as the object of research is due to the magnificent cinematic music arrangement. This descriptive qualitative study aims to analyze the compositional processing techniques of the soundtrack. The method used is discography study, literature study, and observation. The results show that the “Main Theme” soundtrack on Genshin Impact is played in a D Major tonality with a tempo of 82 bpm. The Main Theme soundtrack consists of several parts: intro, verse, chorus, and outro. The musical elements in the Main Theme soundtrack are also known based on rhythm, dynamics, harmony, texture, and form. The soundtrack's music contains a simple but majestic atmosphere of the enriching use of major tonality, polyrhythm, and development of central motifs.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Harianto, Harianto. "BASIR BELIAN." Joged 12, no. 2 (2019): 783–95. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v12i2.2545.

Full text
Abstract:
Basir Belian merupakan judul karya tari yang terinspirasi dari upacara Berayah, yaitu sebuah ritual pengobatan suku Dayak Jalai yang menganut kepercayaan Kaharingan yang dipimpin oleh seorang Belian. Basir berarti laki-laki yang menjadi seorang Belian. Jadi, Basir Belian dipilih sebagai judul karya agar dapat mewakili rangkaian dari upacara ritual itu sendiri, serta sosok pemimpin atau Belian Bancir yang juga diartikan sebagai seorang Basir, juga seorang Belian dalam ritual pengobatan. Karya Basir Belian menyampaikan beberapa hal yaitu fenomena keperempuanan dalam sebuah upacara ritual yang dilakukan oleh Belian Bancir dan aktivitas yang dilakukan Belian Bancir dalam upacara ritual.Gerak dasar dalam karya tari ini banyak terinspirasi dari gerak-gerak tradisi Kalimantan Tengah dengan kualitas gerak keras sebagai penggambaran sisi maskulin laki-laki Dayak dan kualitas gerak lembut visual dari roh gaib yang memiliki sifat feminin. Motif vibrasi dan stakato yang dipadukan dengan beberapa gerak tradisi Kalimantan Tengah menghasilkan beragam motif gerak baru yang memperkaya garapan ini. Selain itu aktivitas yang terjadi dalam sebuah upacara ritual melengkapi dramatisasi yang dibangun dari awal hingga akhir tarian.Karya tari Basir Belian disajikan dalam garap koreografi kelompok besar, sembilan penari laki-laki dengan format musik live music dipentaskan di proscenium stage Jurusan Tari ISI Yogyakarta. Tata rias dan busana merupakan hasil kreasi penata yang tetap mengacu pada bentuk asli dari tata rias dan busana yang dikenakan Belian Bancir pada saat upacara ritual.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Harianto, Harianto. "BASIR BELIAN." Joged 9, no. 2 (2019): 783–95. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v9i2.2545.

Full text
Abstract:
Basir Belian merupakan judul karya tari yang terinspirasi dari upacara Berayah, yaitu sebuah ritual pengobatan suku Dayak Jalai yang menganut kepercayaan Kaharingan yang dipimpin oleh seorang Belian. Basir berarti laki-laki yang menjadi seorang Belian. Jadi, Basir Belian dipilih sebagai judul karya agar dapat mewakili rangkaian dari upacara ritual itu sendiri, serta sosok pemimpin atau Belian Bancir yang juga diartikan sebagai seorang Basir, juga seorang Belian dalam ritual pengobatan. Karya Basir Belian menyampaikan beberapa hal yaitu fenomena keperempuanan dalam sebuah upacara ritual yang dilakukan oleh Belian Bancir dan aktivitas yang dilakukan Belian Bancir dalam upacara ritual.Gerak dasar dalam karya tari ini banyak terinspirasi dari gerak-gerak tradisi Kalimantan Tengah dengan kualitas gerak keras sebagai penggambaran sisi maskulin laki-laki Dayak dan kualitas gerak lembut visual dari roh gaib yang memiliki sifat feminin. Motif vibrasi dan stakato yang dipadukan dengan beberapa gerak tradisi Kalimantan Tengah menghasilkan beragam motif gerak baru yang memperkaya garapan ini. Selain itu aktivitas yang terjadi dalam sebuah upacara ritual melengkapi dramatisasi yang dibangun dari awal hingga akhir tarian.Karya tari Basir Belian disajikan dalam garap koreografi kelompok besar, sembilan penari laki-laki dengan format musik live music dipentaskan di proscenium stage Jurusan Tari ISI Yogyakarta. Tata rias dan busana merupakan hasil kreasi penata yang tetap mengacu pada bentuk asli dari tata rias dan busana yang dikenakan Belian Bancir pada saat upacara ritual.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Yunadika, Dwiki, and I Ketut Muryana. "Pucuk Bang, A Balinese Musical Composition Komposisi | Pucuk Bang, Sebuah Komposisi Karawitan Bali." Jurnal Riset dan Pengabdian Masyarakat 1, no. 2 (2021): 280–89. http://dx.doi.org/10.22373/jrpm.v1i2.1256.

Full text
Abstract:
Bunga pucuk bang masih dibutuhkan untuk kepentingan upacara keagamaan. Selama agama Hindu masih tetap tegak di Bali, bunga pucuk bang akan tetap dibutuhkan. Tidak sekedar memenuhi kebutuhan sarana upakara, bunga pucuk bang juga memiliki nilai yang khusus, yang patut kita jaga dan lestarikan keberadaanya. Pucuk bang merupakan judul dari karya tabuh kreasi ini, yang menggunakan media ungkap gamelan gong kebyar. Karya ini terinspirasi darimelihat tanaman bunga pucuk bang yang ada di pekarangan rumah. Dari pemaknaan bunga pucuk bang secara etimologis, terciptalah karya pucuk bang ini. Metode yang digunakan dalam garapan ini ialah metode yang dikemukan oleh Alma M. Hawkins, dalam penciptaan tari yaitu Tahap Penjajagan (eksplorasi), Tahap Percobaan (improvisasi), dan Tahap Pembentukan (forming). Konsep dari garapan ini berpedoman pada konsep Tri Angga (kawitan, pengawak, pengecet) dan masih menggunakan pola-pola tradisi. Pola-pola tradisi tersebut dikembangkan baik dari struktur lagu, teknik permainan/motif permainan dengan penataan unsur-unsur musikal seperti: nada, melodi, ritme, tempo, harmoni dan dinamika. Karya tabuh kreasi yang berjudul pucuk bang ini memiliki durasi 11 menit kurang 12 detik dengan menggunakan 28 pendukung termasuk penata. Karya tabuh kreasi pucuk bang ini disajikan secara konser, yang di rekam di Green Kubu, Br. Sebunibus, Nusa Penida.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Hommes, Marie-Therese. ""Wider das Vergessen"." Die Musikforschung 58, no. 2 (2021): 151–74. http://dx.doi.org/10.52412/mf.2005.h2.617.

Full text
Abstract:
Karl Amadeus Hartmann, während des Dritten Reichs in der inneren Emigration und nach eigener Aussage Verweigerer jeglicher Öffentlichkeit in Hitlerdeutschland, schrieb die Schauspielmusik zu William Shakespeares "Macbeth" für eine Produktion des Bayerischen Staatsschauspiels im März 1942. In der gesamten Münchner Presse wurde Hartmanns Musik mit hoher Anerkennung aufgenommen; man sprach von einer Veroperung der Inszenierung. Hartmanns musikalische Dramaturgie, die sich inhaltlich auf die "Macbeth"-Interpretation Gustav Landauers stützt, konstituiert sich in einer Vielzahl flexibler musikalischer Motive und kleiner Nummern, für die er eine Instrumentalbesetzung symphonischen Ausmaßes vorsah, fallweise erweitert durch solistische und chorische vokale Elemente. Mit diesem Netzwerk stand Hartmann ein Instrumentarium zur Verfügung, das ihm auf der musikalischen Ebene, über die Vorgaben der Textebene hinaus, ein entschiedenes Eingreifen in den szenischen Text und damit eine eigenständige Interpretation jenseits der Lesart des Regisseurs ermöglichte, um in einer zweiten Schicht über der ersten eine deutlich auf das aktuelle nationalsozialistische Zeitgeschehen bezogene politische Stellungnahme zu etablieren. Durch Zitate verknüpfte Hartmann die "Macbeth"-Musik mit seinen ab 1933 entstandenen Werken und den in ihnen eingekapselten Kodierungen, die seine Art des Widerstands gegen das NS-Regime reflektieren. Gleichwohl musste er den Vorwurf riskanter Subversion nicht fürchten: einerseits, weil die wenigen Uraufführungen seiner Werke dieser Zeit im europäischen Ausland stattfanden, demnach nicht an die deutsche Öffentlichkeit gelangt waren, andererseits, weil er in einer geschickten Doppeldramaturgie seine eigentliche, chiffrierte Botschaft hinter einem äußeren Konzept verbarg, das den Normen der NS-Ästhetik nicht zuwiderlief.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Purnama, Dwi. "NGIDAK CINCING." Joged 11, no. 1 (2019): 677–90. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v11i1.2499.

Full text
Abstract:
Ngidak Cincing terispirasi dari upacara Cing Cing Goling. Cing Cing Goling adalah sebuah rangkaian upacara adat Rasulan yang diselenggarakan di Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Sejarah Cing Cing Goling diawali dari peperangan tentara Keraton Majapahit dengan Keraton Demak. Cing Cing Goling berasal dari kata cincing yang berarti menyingkapkan kain dalam bahasa Jawa, dan goling yang berarti ngglimpang.Melihat fenomena di atas muncul ide untuk menciptakan sebuah karya tari yang bersumber dari upacara adat Cing Cing Goling. Keunikan seorang penari yang menyincingkan kainnya dalam upacara adat Cing Cing Goling menjadi hal yang menarik dan menjadi fokus perhatian. Karya tari ini menyajikan rasa ketakutan, kebersamaan dan ritual yang ada dalam prosesi upacara adat Cing Cing Goling dengan menggunakan motif gerak cincing.Karya koreografi Ngidak Cincing ini ditarikan oleh tujuh penari putri. Adapun jumlah penari sebagai pertimbangan untuk komposisi koreografi, sedangkan untuk pemilihan jenis kelamin karena yang terjadi dalam cerita Cing Cing Goling adalah seorang istri Raja. Karya koreografi mengangkat konsep tentang ritual khusus dari upacara adat Cing Cing Goling. Musik yang digunakan dalam karya tari ini adalah Gamelan Jawa Laras Slendro.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Purnama, Dwi. "NGIDAK CINCING." Joged 9, no. 1 (2019): 677–90. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v9i1.2499.

Full text
Abstract:
Ngidak Cincing terispirasi dari upacara Cing Cing Goling. Cing Cing Goling adalah sebuah rangkaian upacara adat Rasulan yang diselenggarakan di Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Sejarah Cing Cing Goling diawali dari peperangan tentara Keraton Majapahit dengan Keraton Demak. Cing Cing Goling berasal dari kata cincing yang berarti menyingkapkan kain dalam bahasa Jawa, dan goling yang berarti ngglimpang.Melihat fenomena di atas muncul ide untuk menciptakan sebuah karya tari yang bersumber dari upacara adat Cing Cing Goling. Keunikan seorang penari yang menyincingkan kainnya dalam upacara adat Cing Cing Goling menjadi hal yang menarik dan menjadi fokus perhatian. Karya tari ini menyajikan rasa ketakutan, kebersamaan dan ritual yang ada dalam prosesi upacara adat Cing Cing Goling dengan menggunakan motif gerak cincing.Karya koreografi Ngidak Cincing ini ditarikan oleh tujuh penari putri. Adapun jumlah penari sebagai pertimbangan untuk komposisi koreografi, sedangkan untuk pemilihan jenis kelamin karena yang terjadi dalam cerita Cing Cing Goling adalah seorang istri Raja. Karya koreografi mengangkat konsep tentang ritual khusus dari upacara adat Cing Cing Goling. Musik yang digunakan dalam karya tari ini adalah Gamelan Jawa Laras Slendro.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Widiyastuti, Diyah. "ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PROGRAM ACARA THE LADY WHO SWINGS DI RADIO HARD ROCK FM JAKARTA." Arkhais - Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia 6, no. 2 (2015): 89. http://dx.doi.org/10.21009/arkhais.062.05.

Full text
Abstract:
Abstrak
 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan alih kode dan campur kode pada program acara The Lady Who Swings di radio Hard Rock FM Jakarta. Subjek penelitian ini adalah bahasa yang digunakan penyiar dan bintang tamu pada program acara The Lady Who Swings di radio Hard Rock FM Jakarta. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. Penelitian ini difokuskan pada alih kode dan campur kode, yang mencakup jenis, bentuk, serta penyebabnya. Objek penelitian ini adalah siaran The Lady Who Swings di radio Hard Rock FM Jakarta yang ditranskripsikansebanyak enam rekaman siaran. Kemunculan jenis alih kode terbanyak adalah alih kode ekstern sebanyak 118 data ujaran (100%). Penguasaan bahasa asing memengaruhi penyebab alih kode dengan kemunculan terbanyak, yaitu alih kode karena penutur sebanyak 65 data (45,2%). Selain itu ditemukan pula hal lain penyebab alih kode, yaitu alih kode karena keharusan menyebut nama acara, produk, dan fitur dengan 24 data (16,3%) dan alih kode karena keinginan mengajak penutur lain dengan 1 data (0,8%). Sementara untuk campur kode ditemukan bahwa campur kode ekstern merupakan jenis campur kode dengan kemunculan terbanyak, yaitu 340 data ujaran (99,4%). Kata merupakan bentuk campur kode yang paling banyak muncul, yaitu sebanyak 218 data (53,3%). Kemudian untuk penyebab campur kode yang yang paling banyak muncul ialah penyebab karena motif prestis, yaitu sebanyak 223 data (57,9%). Pada campur kode juga ditemukan hal lain yang dapat menyebabkan campur kode terjadi, yaitu campur kode karena keharusan menyebut nama acara, fitur, produk, dan musik 78 data (20,3%), dan campur kode karena keharusan menyapa 37 data (9,6%). Kata Kunci: Kode, Alih Kode, Campur Kode, Program Acara, Sosiolinguistik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Tampubolon, Rines Onixy. "Hahomion Na Tolu." Joged 10, no. 2 (2018): 499–516. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v10i2.1885.

Full text
Abstract:
Dalihan Natolu adalah pandangan hidup dalam masyarakat Batak yang memiliki nilai-nilai yang bersifat universal. Dalihan Natolu terbagi menjadi tiga kedudukan fungsional di dalam masyarakat Batak yaitu, Somba Marhulahula (hormat kepada keluarga dari pihak istri), Elek Marboru (mengayomi wanita), dan Manat Mardongan Tubu (bersikap sopan/hati-hati kepada teman semarga). Tiga kedudukan yang menjadi penyokong adat inilah yang disimbolisasikan ke dalam bentuk visual Dalihan Natolu (tungku berkaki tiga). Tungku yang memiliki tiga kaki, memiliki keseimbangan yang mutlak, karena tungku tersebut tidak dapat berdiri dan tidak dapat digunakan apabila salah satu kakinya rusak. Berdasarkan makna tersebut, leluhur suku Batak memilih tungku berkaki tiga sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara atau satu marga dengan kelompok pemberi istri dan kelompok penerima istri. Segala kegiatan adat masyarakat Batak tidak dapat berjalan dan terlaksana apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada.Dalam karya Hahomion Na Tolu, penggunaan tiga orang penari yang terdiri dari satu penari perempuan dan dua penari laki-laki dianalogikan sebagai gambaran konsep keseimbangan nilai tiga yang terkandung dalam Dalihan Natolu. Koreografi dalam garap tari kelompok ini memanfaatkan media gerak hasil pengembangan beberapa motif tari Tor-Tor Batak. Pengolahan motif ditekankan pada kualitas gerak tegas, kuat, dan perwujudan desain yang menunjukkan keseimbangan melalui gerak-gerak saling menyangga dan lifting. Busana dalam koreografi ini menggunakan bahan Ulos dan pilihan warna lebih pada warna merah, hitam dan putih, ketiganya merupakan warna yang digunakan dalam setiap kegiatan adat Batak. Musik tari adalah pengembangan pola-pola Gondang Uning-uningan Batak. Dalihan Natolu is considered as a view of life in Bataknese society's that has values which are universal. Dalihan Natolu is divided into three functional positions namely, Somba Marhulula (respect to the family of the wife), Elek Marboru (nursing women), and Manat Mardongan Tubu (be polite / careful to clan members). Those three positions that serve as proponent of the tradition are symbolized in the visual form of Dalihan Natolu (three-legged fireplace). The three-legged fireplace has an absolute balance, because the fireplace can not stand and can not be used when one of its legs is damaged. Based on that meaning, Bataknese ancestors chose a three-legged fireplace as a philosophy of life in a kinship arrangement between a brothers or a clan with a wife giver and wife receiver groups. All the activities of Bataknese's traditions can not be run and executed if one of the three elements are not there. In the work of Hahomion Na Tolu, the use of three dancers consisting of one female dancer and two male dancers is analogous to the concept of the balance of three values contained in Dalihan Natolu. Choreography in the working on this group of dance is utilizing the motion media development of several motifs from Tor-Tor Bataknese Dance according to the stylist's design. The Motif processing is emphasized on the quality of motion firm, strong, and the embodiment of design that shows the balance through the motion of mutual support and lifting. Clothing in this choreography using Ulos material and more color choices on red, black and white, all three are the colors used in every Bataknese's tradition activities. The music for the dance is formatted live with patterns of bataknese's Gondang Uning-uningan's development.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Tampubolon, Rines Onixy. "Hahomion Na Tolu." Joged 8, no. 2 (2018): 499–516. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v8i2.1885.

Full text
Abstract:
Dalihan Natolu adalah pandangan hidup dalam masyarakat Batak yang memiliki nilai-nilai yang bersifat universal. Dalihan Natolu terbagi menjadi tiga kedudukan fungsional di dalam masyarakat Batak yaitu, Somba Marhulahula (hormat kepada keluarga dari pihak istri), Elek Marboru (mengayomi wanita), dan Manat Mardongan Tubu (bersikap sopan/hati-hati kepada teman semarga). Tiga kedudukan yang menjadi penyokong adat inilah yang disimbolisasikan ke dalam bentuk visual Dalihan Natolu (tungku berkaki tiga). Tungku yang memiliki tiga kaki, memiliki keseimbangan yang mutlak, karena tungku tersebut tidak dapat berdiri dan tidak dapat digunakan apabila salah satu kakinya rusak. Berdasarkan makna tersebut, leluhur suku Batak memilih tungku berkaki tiga sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara atau satu marga dengan kelompok pemberi istri dan kelompok penerima istri. Segala kegiatan adat masyarakat Batak tidak dapat berjalan dan terlaksana apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada.Dalam karya Hahomion Na Tolu, penggunaan tiga orang penari yang terdiri dari satu penari perempuan dan dua penari laki-laki dianalogikan sebagai gambaran konsep keseimbangan nilai tiga yang terkandung dalam Dalihan Natolu. Koreografi dalam garap tari kelompok ini memanfaatkan media gerak hasil pengembangan beberapa motif tari Tor-Tor Batak. Pengolahan motif ditekankan pada kualitas gerak tegas, kuat, dan perwujudan desain yang menunjukkan keseimbangan melalui gerak-gerak saling menyangga dan lifting. Busana dalam koreografi ini menggunakan bahan Ulos dan pilihan warna lebih pada warna merah, hitam dan putih, ketiganya merupakan warna yang digunakan dalam setiap kegiatan adat Batak. Musik tari adalah pengembangan pola-pola Gondang Uning-uningan Batak. Dalihan Natolu is considered as a view of life in Bataknese society's that has values which are universal. Dalihan Natolu is divided into three functional positions namely, Somba Marhulula (respect to the family of the wife), Elek Marboru (nursing women), and Manat Mardongan Tubu (be polite / careful to clan members). Those three positions that serve as proponent of the tradition are symbolized in the visual form of Dalihan Natolu (three-legged fireplace). The three-legged fireplace has an absolute balance, because the fireplace can not stand and can not be used when one of its legs is damaged. Based on that meaning, Bataknese ancestors chose a three-legged fireplace as a philosophy of life in a kinship arrangement between a brothers or a clan with a wife giver and wife receiver groups. All the activities of Bataknese's traditions can not be run and executed if one of the three elements are not there. In the work of Hahomion Na Tolu, the use of three dancers consisting of one female dancer and two male dancers is analogous to the concept of the balance of three values contained in Dalihan Natolu. Choreography in the working on this group of dance is utilizing the motion media development of several motifs from Tor-Tor Bataknese Dance according to the stylist's design. The Motif processing is emphasized on the quality of motion firm, strong, and the embodiment of design that shows the balance through the motion of mutual support and lifting. Clothing in this choreography using Ulos material and more color choices on red, black and white, all three are the colors used in every Bataknese's tradition activities. The music for the dance is formatted live with patterns of bataknese's Gondang Uning-uningan's development.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Situmeang, Mona Wenni. "Kajian Syair dan Bentuk Struktur Lagu Kekuatan Serta Penghiburan Pada Prodi PMG IAKN Tarutung." Areopagus : Jurnal Pendidikan Dan Teologi Kristen 19, no. 1 (2021): 143–51. http://dx.doi.org/10.46965/ja.v19i1.503.

Full text
Abstract:
AbstrakKajian syair dan bentuk struktur lagu No. 332 Kekuatan Serta Penghiburan pada prodi PMG IAKN tarutung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih banyak mengenai pengembangan kajian yang terdapat dalam lagu kekuatan serta penghiburan dan mengetahui bentu-bentuk dan struktur lagu yang di teliti. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dengan pendekatan kualitatif. Adapun proses kerja yang dilakukan yaitu pengamatan, wawancara, dokumentasi, studi pustaka (online) dan analisis. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan informasi melalui penelitian di lapangan untuk memproleh hasil yang diolah menjadi data pasti. Dalam hal ini untuk pengembangan dalam bernyanyi dan memainkan organ. Dalam aspek musikologi, penulis mengambil salah satu lagu yang di nyanyikan oleh jemaat dalam ibadah yaitu lagu kekuatan serta penghiburan dengan nada dasar es=do, birama 4/4 tempo andante, (Mm 69) dan perubahan moderato (Mm80).lagu tersebut ditulis lagi dengan not balok kemudian di analisis dengan melihat aspe-aspek musik yaitu : melodi, tangga nada, ambitus, frase, motif, tempo, dan gaya vocal.Kata kunci : Kerajaan Allah, Kebenaran dan Pemeliharaan. Abstract The purpose of this study is to find out more about the development of studies that are in the song of strength and consolation and to know the forms and structures of the songs under study. This research uses literature review method with a qualitative approach. The work process carried out is observation, interview, documentation, literature study (online) and analysis. The Research Was Conducted By Gathering Information Through Field Research To Get Results That Are Processed Into Certain Data. In This Case For Development In Singing And Playing The Organ. In the aspect of musicology, the author of one of the songs sung by the congregation in worship is the song of strength and consolation with the basic tone of Es = Do, Birama 4/4 Tempo Andante, (Mm 69) and Moderato Changes (Mm80). The notes are then analyzed by looking at musical aspects, namely: melody, scale, ambitus, phrases, motifs, tempo, and vocal style.Keywords: Poetry study, form, song structure
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Andeska, Niko, and Rahmawati Rahmawati. "KAJIAN ESTETIKA PADA RUMAH ADAT ACEH BESAR TAMAN RATU SAFIATUDDIN." Gorga : Jurnal Seni Rupa 10, no. 1 (2021): 80. http://dx.doi.org/10.24114/gr.v10i1.24736.

Full text
Abstract:
Traditional houses in Indonesia have their own characteristics with various physical forms to the aesthetic of the ornaments engraved on each part, one of which we can see in the traditional house of Aceh. The traditional house in Aceh province is called Rumoh Aceh. The traditional house is identical to the elongated rectangle with various carvings. One of the uniqueness of Aceh's traditional house is the form of carved ornaments that have differences in each district, both in terms of the shape of the ornament, the placement and the meaning contained in the ornament. The form of the traditional house studied was the Aceh Besar traditional house located in Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. This research was conducted because of the lack of available references relating to the carving of traditional Aceh Besar house ornaments, so that it became an attraction for the author to conduct this research. The method used in this research uses qualitative methods. This qualitative method is carried out by collecting information by determining objects and topics, observation, determining informants, interviews, collecting data to analyzing data related to carving ornaments found in traditional houses of Aceh Besar. The data analysis stage uses aesthetic studies as a surgical theory in researching the form of carving ornaments of traditional houses of Aceh Besar. Keywords: ornaments, traditional, house, aesthetic study.AbstrakRumah adat di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dengan bentuk fisiknya yang beragam hingga estetik ornamen yang terukir di setiap bagiannya, salah satunya dapat kita lihat pada rumah adat Aceh. Rumah adat di provinsi Aceh disebut dengan Rumoh Aceh. Rumah adat yang identik dengan persegi empat memanjang dengan ukiran yang beragam. Salah satu keunikan rumah adat Aceh yaitu bentuk ukiran ornamen yang memiliki perbedaan pada setiap Kabupatennya, baik dari segi bentuk ornamen, penempatan dan makna yang terkandung pada ornamen tersebut. Bentuk rumah adat yang diteliti adalah rumah adat Aceh Besar yang terdapat di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Penelitian ini dilakukan karena minimnya referensi yang tersedia berkaitan dengan ukiran ornamen rumah adat Aceh Besar, sehingga menjadi daya tarik bagi penulis untuk melakukan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode Kualitatif ini dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dengan penentuan objek dan topik, observasi, penentuan informan, wawancara, pengambilan data hingga analisis data yang terkait dengan ukiran ornamen yang terdapat pada rumah adat Aceh Besar. Tahap analisis data menggunakan kajian estetika sebagai teori pembedah dalam penelitian bentuk ukiran ornamen rumah adat Aceh Besar. Kata Kunci: ornamen, rumah, adat, kajian estetika. Authors: Niko Andeska : Institut Seni Budaya Indonesia AcehRahmawati : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh References:Andeska, N., Setiawan, I., & Wirandi, R. (2019). Inventarisasi Ragam Hias Aceh pada Iluminasi Mushaf AL-Quran Kuno Koleksi Pedir Museum di Banda Aceh. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 8(2), 351-357. https://doi.org/10.24114/gr.v8i2.15134.Ghifari, Muhammad. (2020). “Foto Rumah Adat Aceh Besar”. Hasil Dokumentasi Pribadi: 2020, Taman Ratu Safiatuddin.Kartika, Dharsono Sony. (2016). Kreasi Artistik: Perjumpaan Tradisi Modern dalam Paradikma Kekaryaan Seni. Karanganyar: Citra Sains.Leigh, Barbara, (1989). Tangan-Tangan Trampi: Seni Kerajinan Aceh. Djambatan: Jakarta.Maulin, S., Zuriana, C., & Lindawati, L. (2019). Makna Motif Ragam Hias pada Rumah Tradisional Aceh di Museum Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Seni, Drama, Tari & Musik, 4(1), 78-96. Paramita, N. C., Azmi, A., & Azis, A. C. K. (2020). Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Menggambar Bentuk Buah Teknik Krayon. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 3(1), 171-177. https://doi.org/10.34007/jehss.v3i1.245.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

MK, Asri. "PEMBELAJARAN MUSIK TALEMPONG UNGGAN BERBASIS LITERATUR." Ekspresi Seni 13, no. 1 (2011). http://dx.doi.org/10.26887/ekse.v13i1.189.

Full text
Abstract:
Ensambel musik Talempong Unggan termasuk klasifikasi jenis Talempong Duduak (Rea) Minangkabau yang terdapat di daerah Unggan, Sumatera Barat. Berdasarkan konsep musikal dan teknik permainan melodinya yang khas, musik tradisional ini terpilih menjadi salah satu mata kuliah praktik di Program Studi Seni Karawitan ISI Padangpanjang semenjak tahun 1993 yang lalu. Sistem pembelajaran Talempong Unggan untuk sekitar 30 orang mahasiswa digunakan metode dan teknik pembelajaran yang berbasis literatur untuk mencapai sasaran kompetensi mata kuliah ini. Namun, sistem oral penting digunakan dosen agar terbangun komunikasi pembelajaran yang lebih berkesan. Semua melodi Talempong Unggan yang menjadi materi praktiknya ditranskripsi dengan sistem notasi angka. Motif ritme gendang dan Aguang ditulis dalam bentuk simbol-simbol notasi khusus. Segala data musikal diformulasikan ke dalam metode, teknik, dan etude pembelajaran musik Talempong Unggan yang berbasis literatur di PS Seni Karawitan ISI Padangpanjang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Firdaus, Ade Surya, Hendra Santosa, and Ni Wayan Ardini. "Transformasi Musik Balaganjur Teruna Goak Ke dalam Musik Jazz." Panggung 29, no. 3 (2019). http://dx.doi.org/10.26742/panggung.v29i3.1008.

Full text
Abstract:
ABSTRACT The Megoak-goakan tradition from a Panji Village is played with Balaganjur Teruna Goak music, both of which are very interesting when they are transformed into jazz because they have the same basic musical form. This article aims to provide an overview of the process of transformation of Balaganjur Teruna Goak Village in Panji Village into jazz music. The process of transformation into jazz music was carried out with the creation method of exploratory which began with a literature study on the Megoak-goakan tradition in Panji Village, Buleleng, and then conducted participant observations, interviews, and continued with experiments on various musical motifs which were considered suitable with a jazz music. The results are obtained from observing and analyzing the process using the theory of basic form of music of Pono Banoe and Prier’s. It is found that Balaganjur Teruna Goak's music had a lively expression with the phrases of antecedent (question) and consequent (answer). Furthermore, the experimental stage begins with pouring musical inspiration that is used in this work in several stages through writing notation. The formation step is done by assembling existing motifs and then formed into a unified whole composition. The creation of jazz music is based on Balaganjur music, and in its creating processes does not neglect the work of others so that it is possible that in its motifs and patterns on musical arrangements have adopted the previous works.Keyword: Teruna Goak, Balaganjur, Jazz Music, Transformation, Panji VillageABSTRAK Tradisi Megoak-goakan dari Desa Panji dimainkan dengan musik Balaganjur Teruna Goak. Keduanya sangatlah menarik jika ditransformasikan ke dalam musik jazz karena memiliki bentuk dasar musik yang sama. Artikel ini bertujuan memberikan gambaran bagaimana proses transformasi musik Balaganjur Teruna Goak Desa Panji ke dalam musik jazz. Proses transformasi ke dalam musik jazz dilakukan dengan metode penciptaan dari penjajakan yang diawali dari studi literatur tentang tradisi Megoak-goakan di Desa Panji Buleleng, kemudian melakukan pengamatan langsung, wawancara, dan dilanjutkan dengan percobaan berbagai motif musik yang diperkirakan cocok dengan musik jazz. Hasil yang didapat dari pengamatan dan proses analisis menggunakan teori bentuk dasar musik Pono Banoe dan teori bentuk musik dari Prier. Musik Balaganjur Teruna Goak memiliki ekspresi yang bersemangat dengan frase antiseden (tanya) dan konsekuen (jawab). Selanjutnya, pada tahap percobaan dimulai dengan cara menuangkan inspirasi musik yang akan digunakan dalam garapan ini secara bertahap melalui penulisan notasi. Tahap pembentukan dilakukan dengan merangkai motif-motif yang telah ada kemudian dibentuk menjadi suatu kesatuan komposisi yang utuh. Penciptaan musik jazz yang berdasarkan musik Balaganjur ini, pada penggarapannya tidak mengabaikan hasil karya orang lain sehingga kemungkinan dari segi motif dan pola garap musikal mengadopsi yang sudah ada sebelumnya.Kata Kunci: Teruna Goak, Balaganjur, Musik Jazz, Transformasi, Desa Panji
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Ediwar, Ediwar, Hanefi Hanefi, Rosta Minawati, and Febri Yulika. "Saluang Dendang Sirompak dalam Tradisi Ritual Magis di Payakumbuh: Satuan Kajian Karakteristik Musikal." Panggung 30, no. 4 (2020). http://dx.doi.org/10.26742/panggung.v30i4.1369.

Full text
Abstract:
Saluang dan Dendang Sirompak merupakan bagian tidak terpisahkan dari pertunjukan Sirompak.Pertunjukan difungsikan untuk mempengaruhi orang lain melalui kekuatan magi. Tradisi ba-Sirompak diidentifikasi sebuah komposisi musik bersifat free rhythm. Mantera disajikan melaluikalimat yang disusun untuk mendatangkan kekuatan gaib. Ba-sirompak difungsikan untuk‘mengguna-gunai’ wanita secara ilmu kebatinan (magis). Penelitian ini dilakukan denganmenggunakan metode kualitatif, yaitu data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dandokumentasi. Dalam pengumpulan data digunakan tiga tahap penelitian. yaitu: Pertama,studi kapustakaan untuk mengumpulkan bahan tertulis yang diperlukan sesuai masalah yangditeliti. Kedua, penelitian lapangan untuk mungumpulkan data dengan teknik observasidan wawancara langsung secara mandalam, dengan difokuskan pada rekonstruksi ritual Basirompak.;Ketiga, pengolahan data, dilakukan berupa transkripsi music dalam bentuk notasi,deskripsi, dan analisis data yang siap dijadikan laporan. Tujuan penelitian adalah untukmengetahui karakteristik musical Saluang Dendang Sirompak dengan mengkaji unsur-unsurmusikal pada pusaran motif, frase, dan periode melodis.Kata Kunci: Ba-sirompak, Karakter musikal, Ritual Magi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Ediwar, Ediwar, Hanefi Hanefi, Rosta Minawati, and Febri Yulika. "Saluang Dendang Sirompak dalam Tradisi Ritual Magis di Payakumbuh: Satuan Kajian Karakteristik Musikal." Panggung 30, no. 4 (2020). http://dx.doi.org/10.26742/panggung.v30i4.1369.

Full text
Abstract:
Saluang dan Dendang Sirompak merupakan bagian tidak terpisahkan dari pertunjukan Sirompak.Pertunjukan difungsikan untuk mempengaruhi orang lain melalui kekuatan magi. Tradisi ba-Sirompak diidentifikasi sebuah komposisi musik bersifat free rhythm. Mantera disajikan melaluikalimat yang disusun untuk mendatangkan kekuatan gaib. Ba-sirompak difungsikan untuk‘mengguna-gunai’ wanita secara ilmu kebatinan (magis). Penelitian ini dilakukan denganmenggunakan metode kualitatif, yaitu data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dandokumentasi. Dalam pengumpulan data digunakan tiga tahap penelitian. yaitu: Pertama,studi kapustakaan untuk mengumpulkan bahan tertulis yang diperlukan sesuai masalah yangditeliti. Kedua, penelitian lapangan untuk mungumpulkan data dengan teknik observasidan wawancara langsung secara mandalam, dengan difokuskan pada rekonstruksi ritual Basirompak.;Ketiga, pengolahan data, dilakukan berupa transkripsi music dalam bentuk notasi,deskripsi, dan analisis data yang siap dijadikan laporan. Tujuan penelitian adalah untukmengetahui karakteristik musical Saluang Dendang Sirompak dengan mengkaji unsur-unsurmusikal pada pusaran motif, frase, dan periode melodis.Kata Kunci: Ba-sirompak, Karakter musikal, Ritual Magi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Christianata Putra, Fabianus Deny. "INTERAKSI MUSIKAL MELALUI GESTUR DAN VERBAL DALAM MUSIK JAZZ." Sorai: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Musik 11, no. 1 (2019). http://dx.doi.org/10.33153/sorai.v11i1.2347.

Full text
Abstract:
ABSTRACT This paper explains a process of musical interaction in jazz music performances, on the performances of Solo Jazz Society musicians in Surakarta. The focus of this paper is about (1) how the process of musical interaction between Sojazz musicians occurs and (2) what factors cause musical interaction between Sojazz musicians. With the aim (1) to know how the process of musical interactions between Sojazz musicians occur and (2) to know the factors that cause the musical interactions between Sojazz musicians. The research method used is qualitative with descriptive analysis approach. n the performance, Sojazz musicians perform musical interactions between musicians through two forms of process. Gesture interactions that include eye contact, hand code, head jerking, lip reading and overall body posture are applied as cues while improvising. The second form of the process is through the musical interaction itself which is Accompaniment, melodic phrase and rhythmic motif, tension growth, and trade four. The process of musical interaction applied by Sojazz musicians as mentioned above, is through gesture used to create mutual interaction between musicians. Kata kunci : Solo Jazz Society, interaksi musikal jazz,
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Supeno, M. Yoga. "Komposisi Kala." Resital: Jurnal Seni Pertunjukan 13, no. 1 (2013). http://dx.doi.org/10.24821/resital.v13i1.514.

Full text
Abstract:
Komposisi ini merupakan representasi dari sebuah perubahan pola pikir manusia yang dari zaman ke zaman selalu bergerak maju. Kala yang berarti waktu merupakan refl eksi garis panjang sejarah dari terbentuk dan berkembangnya peradaban pada masa lampau. Perkembangan waktu tersebut kemudian dijadikan tiga bagian waktu (prasejarah, sejarah, modern) untuk menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap waktu khususnya di provinsi Lampung. Secara garis besar penyajian Kala adalah memadukan instrumen musik Barat dan etnis yang sebagian besar instrumen terdiri dari instrumen perkusi seperti marimba, vibraphone, xylophone, chime, drumset, bonang Sunda, cetik, rebana serta ditambah dengan instrumen melodis seperti akodion, biola, gambus, dan electric bass. Motif dan teknik permainan merupakan salah satu penggambaran dari ketiga zaman tersebut yang menghasilkan suasana liar, agamis, dan modernisasi dan bernuansa etnis Lampung dan Melayu.Kata kunci: Kala/waktu, sejarah Lampung.ABSTRACTThe Kala Music Composition. This composition is a representation of a human mindset change which is alwaysmoving forward from time to time. Kala which means time is a refl ection of a history starting from when the history andthe civilization were formed and developed in the past. Then, the time development is divided into a three-part time(prehistory, history, modern) to describe the changes that may occur at any time, especially in the province of Lampung.Basically, the presentation of Kala is combining the western and ethnic musical instruments that most of the them consistof percussion instruments such as marimba, vibraphone, xylophone, chime, drum set, bonang Sunda, cetik, tambourines, and melodic instruments such as accordion, violin, harp, and electric bass. The motive and technique of the performance is one of the three depictions of the era that produces the wild and religious atmosphere, modernization, and that is nuanced by Lampung and Malay ethnics.Keywords: Kala /time, history of Lampung
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Rozak, Abdul, Martarosa Martarosa, and Asep Saepul Haris. "Ikan Sati: Komposisi Musik Programa." Besaung : Jurnal Seni Desain dan Budaya 4, no. 2 (2019). http://dx.doi.org/10.36982/jsdb.v4i4.792.

Full text
Abstract:
<p align="center"><strong>ABSTRACT</strong></p><p><em>Ikan Sati is a grouping of a prose of the people (legend) contained in the Sungai Janiah. The existence of the legend story Ikan Sati has an important role in society, formerly the story is considered as something unseen and sacred, but now the community and the government work together to utilize the story of legend Ikan Sati is to serve as a tourist destination. The community is consciously aware of the transformation of the legend story of the Ikan Sati, including changes in values, functions, and changes in the shape / structure of the existence of the legend. Background of the transformation of the legend of the Ikan Sati, inspired workers created a work of the composition of descriptive music by collaborating the instrument of convention (orchestra) with traditional instruments. In the use of motive processing techniques using conventional techniques (such as: repetition, sequence, imitation, augmentation, and diminuisi), and wearing a modern harmony. Creation methods undertaken in the realization of this work of art are carried out with several work groupings: Concept Development Method (Observation, Interview, Data Collection, and Concept Formulation); and Conceptualizing Methods (Exploration, Experimentation, and Applications). In the depiction of the transformation of the legend, the work of this musical composition is made in three parts, each titled: Ikek Janji, Salisiah (value transformation, and function), and Inok-an (transformation of form and structure). Furthermore, the work of this composition is presented in the hope of raising awareness of the existence of an oral culture contained in the community, in this case the story of the legend of Ikan Sati Sungai Janiah itself, and as a preservation (revitalization) of local artistic traditions.</em></p><p><strong><em>Keywords</em></strong><strong><em> </em></strong><strong><em>: </em></strong><em>Ikan sati, Transformation, Legend, Programe Music Composition</em></p><p align="center"><strong>ABSTRAK</strong></p><p><em>Ikan Sati merupakan sebuah pengelompokan sebuah prosa rakyat (legenda) yang terdapat di Sungai Janiah. Cerita legenda ini dianggap masyarakat benar-benar terjadi pada dahulunya dan diturunkan secara turun-temurun di dalam masyarakat Sungai Janiah. Masyarakat secara sadar menyadari perubahan (transformasi) terhadap cerita legenda Ikan Sati tersebut, perubahan tersebut meliputi perubahan nilai, fungsi, dan perubahan bentuk/struktur terhadap keberadaan cerita legenda. Berlatar belakang dari perubahan (transformasi) terhadap cerita legenda Ikan Sati, pengkarya terinspirasi menciptakan sebuah karya komposisi musik programa/suasana (descriptive) dengan mengkolaborasikan instrumen konvensi (orkestra) dengan instrumen tradisi. Dalam penggunaan teknik pengolahan motif memakai teknik konvensional (seperti: repetisi, sekuen, imitasi, augmentasi, dan diminuisi), serta memakai garapan harmoni modern. Metode penciptaan yang dilakukan dalam perwujudan karya seni ini dilakukan dengan beberapa pengelompokan kerja: Metode Pengembangan Konsep (Observasi, Wawancara, Pengumpulan Data, dan Perumusan Konsep); dan Metode Mewujudkan Konsep (Eksplorasi, Eksperimentasi, dan Aplikasi). Dalam penggambaran transformasi terhadap cerita legenda, karya komposisi musik ini dibuat dalam bentuk tiga bagian, yang masing-masing diberi judul: Ikek Janji, Salisiah (transformasi nilai, dan fungsi), dan Inok-an (transformasi bentuk, dan struktur). Selanjutnya karya komposisi ini disajikan dengan harapan menimbulkan kesadaran terhadap keberadaan sebuah kebudayaan lisan yang terdapat di masyarakat, dalam hal ini cerita legenda Ikan Sati di Sungai Janiah itu sendiri, dan sebagai pelestarian (revitalisasi) terhadap kesenian tradisi lokal.</em></p><strong><em>Kata kunci : </em></strong><em>Ikan sati, Transformasi, Legenda, Komposisi Musik Programa</em>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

ROPIAH, OPAH, and DR RUHALIAH. "WAWACAN SIMBAR KANCANA (Kajian Struktural, Budaya, dan Etnopedagogik)." LOKABASA 6, no. 1 (2015). http://dx.doi.org/10.17509/jlb.v6i1.3155.

Full text
Abstract:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) struktur Wawacan Simbar Kancana, 2) unsur-unsur budaya dalam Wawacan Simbar Kancana, dan 3) nilai etnopedagogik yang ada dalam Wawacan Simbar Kancana. Sumber data dari penelitian ini adalah Wawacan Simbar Kancana yang ditulis oleh K.Tisnasujana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka. Struktur Wawacan Simbar Kancana terdiri dari struktur formal dan struktur naratif. Struktur formal Wawacan Simbar Kancana terdiri dari guru lagu dan guru wilangan pupuh, watak/karakter pupuh, dan terdiri dari empat sasmita pupuh. Struktur naratif Wawacan Simbar Kancana meliputi: 1) alur cerita campuran dan ada sepuluh episode, 2) terdapat tujuh motif cerita, 3) tokoh cerita dalam Wawacan Simbar Kancana terdiri dari tujuh tokoh, 4) latar cerita meliputi latar tempat, waktu, dan suasana, dan 5) tema cerita dalam Wawacan Simbar Kancana yaitu perjuangan. Unsur budaya di Wawacan Simbar Kancana meliputi: 1) sistem kepercayaan (religi) meliputi tiga aspek, 2) organisasi sosial/organisasi kemasyarakatan terdiri dari tiga aspek, 3) ilmu pengetahuan terdiri dari delapan aspek, 4) bahasa meliputi dua bahasa, gaya bahasa, dan babasan paribasa Sunda, 5) kesenian meliputi seni suara dan seni musik, 6) sistem mata pencaharian terdapat petani, dan 7) sistem tekhnologi meliputi lima aspek. Nilai Etnopedagogik dalam Wawacan Simbar Kancana terdiri dari catur jatidiri insan yang meliputi pengkuh agamana, luhung élmuna, jembar budayana, dan rancagé gawéna yang dikaitkan dengan moral manusia. AbstractThe aim of this study was to describe (1) the structure of Wawacan Simbar Kancana, (2) the elements of culture in the Wawacan Simbar Kancana, and (3) the ethnopedagogical value of the Wawacan Simbar Kancana. The data source of this research is Wawacan Simbar Kancana, written by K.Tisnasujana. This research used descriptive method, with literature review techniques. The structure of Wawacan Simbar Kancana consists of formal and narrative structure. The formal structure consists of guru lagu and guru wilangan pupuh, characters/characterizations of pupuh, and including four sasmitas of pupuh. The narrative structure includes (1) a mixture storyline of ten episodes; (2) seven storyline motifs; (3) seven characters; (4) the background of the story including location, time, and atmosphere; and (5) the struggle theme. The cultural elements include (1) the three aspects of the belief (religious) system, (2) three aspects of social/community organizations, (3) eight aspects of science, (4) two languages, the language style, and the Sundanese babasan-paribasa, (5) the arts of sound and music, (6) the system of livelihood (farmers), and (7) five aspects of technological system. The ethnopedagogical values in Wawacan Simbar Kancana consist of catur jatidiri insan (including pengkuh agamana, luhung élmuna, Jembar budayana, and Rancage gawéna) that is associated with human morality.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Fajar Sari, Putri Maylandani, and I. Nyoman Putra Adnyana. "KREATIVITAS SUSIATI DALAM KARYA TARI LENGGASOR." Greget: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Tari 17, no. 2 (2019). http://dx.doi.org/10.33153/grt.v17i2.2306.

Full text
Abstract:
Tari Lenggasor merupakan karya tari kreasi Banyumasan yang berpijak pada Lengger Banyumasan dan tari Baladewa yang sudah dikembangkan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis yaitu memberikan deskripsi atau gambaran dengan cara memaparkan data yang diperoleh dari lapangan mengenai koreografi tari Lenggasor, serta kreativitas Susiati dalam menyusun tari Lenggasor. Untuk menjawab permasalahan mengenai koreografi tari Lenggasor, dijelaskan menggunakan elemen-elemen dasar koreografi berdasarkan pendapat Sumandiyo Hadi. Selain itu untuk Kreativitas Susiati dijelaskan menggunakan konsep 4P yang dikemukakan Rhodes dikutip oleh Utami Munandar yaitu (1) Pribadi (person) (2) Pendorong (press) (3) Proses (process) (4) Produk (product). Pada kreativitas Susiati ini terdapat pembentukan gerak tari Lenggasor yang didalamnya menggunakan konsep effort-shape yang dilakukan penari. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu kreativitas Susiati dalam karya tari Lenggasor banyak dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai penari maupun koreografer. Kreativitas tersebut diwujudkan dalam motif gerak yang terinspirasi dari gerak Lengger Banyumasan dan tari Baladewa yang sudah dikembangkan. Kemudian digarap menggunakan musik tari bernuansa Banyumas, sehingga muncul rasa Banyumasan yang khas. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu hasil kreativitas Susiati yang mengadopsi dari beberapa vokabuler gerak Lengger dan gerak tari Baladewa yang sudah dikembangkan.Kata kunci: Kreativitas, Lenggasor, Susiati.AbstractThe Lenggasor dance is a new creation of Banyumas style dance which is founded on and developed from Lengger Banyumasan and the Baladewa dance. This research uses a qualitative research approach with an analytical descriptive approach which presents a description of the data collected in the field about the choreography of the Lenggasor dance, and Susiati’s creativity in composing this new dance. In order to address the questions about the choreography of the Lenggasor dance, the basic elements of the choreography are explained using a concept introduced by Sumandiyo Hadi. In addition, Susiati’s creativity is explained using Rhodes’ 4P concept, quoted by Utami Munandar, which is (1) Person (2) Press (3) Process and (4) Product. Susiati’s creativity includes shaping the movements of the Lenggasor dance using the effort-shape concept performed by the dancers. The research results show that Susiati’s creativity in the Lenggasor dance is greatly influenced by her experience as a dancer and choreographer. Her creativity is realized in the motifs of movement that are inspired by the movements of Lengger Banyumasan and the Baladewa dance which she then develops further. These movements are accompanied by dance music with a Banyumas nuance, thus giving rise to a characteristic Banyumas flavour. The conclusion of the research is that Susiati’s creativity is the result of her adoption of a variety of vocabulary of movement from the Lengger and Baladewa dances which she develops further in this new dance.Keywords: Creativity, Lenggasor, Susiati.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Saputra, I. Putu Bagus Bang Sada Graha. "Taru Tari Tara." JOGED 8, no. 1 (2017). http://dx.doi.org/10.24821/joged.v8i1.1593.

Full text
Abstract:
“Taru Tari Tara” adalah judul dari karya tari yang menunjuk pada konsep dasar yang diwujudkan ke dalam sebuah koreografi kelompok. Taru dalam bahasa Bali memiliki arti kayu, kemudian Tari berarti tari atau apabila dilihat dari substansi dasarnya adalah gerak atau perilaku, selanjutnya Tara yang berasal dari kata ketara dalam bahasa Bali berarti terlihat. “Taru Tari Tara” berarti bagaimana gerak dan perilaku (Tari) yang terlihat (Tara) dalam mengolah sebuah kayu (Taru). Ide karya tari ini muncul dari ketertarikan penata terhadap gerak dan perilaku seorang maestro seniman pembuat topeng di Bali bernama I Wayan Tangguh, yang merupakan kakek penata sendiri.Karya tari ini secara struktural dibagi ke dalam lima adegan (introduksi, adegan satu, dua, tiga, ending) dengan lebih berfokus pada aktivitas I Wayan Tangguh sebagai seorang petani, pembuat topeng, dan pemangku. Gagasan tersebut muncul berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual kemudian berkembang menjadi sebuah ide. Hasil dari pengamatan yang dilakukan terhadap proses pembuatan topeng dijadikan sebagai bahan acuan untuk melangkah pada tahap ekpslorasi, meliputi pencarian gerak, pembuatan properti, setting, kostum tari, dan musik tari.Karya tari yang disajikan dalam bentuk koreografi kelompok ini melibatkan enam orang penari laki-laki, menggunakan properti tari berupa topeng Bali, dan dipentaskan di proscenium stage. Gerak tari yang digunakan berdasar pada hasil eksplorasi gerak membuat topeng seperti menyerut kayu, memukul kayu, memegang topeng, dan menjepit topeng menggunakan kaki, serta divariasikembangkan dengan sikap serta motif gerak tari tradisi Bali seperti agem, malpal, ngaed, dan nayog. "Taru Tari Tara" is the title of a created dance piece. The title is pointing to the basic concepts that are embodied into a choreography group. Taru in Balinese language means wood, then Tari or dance means when seen from the substance or behavior is essentially the motion, then Tara is derived from the word in the language of Bali means striking looks. “Taru Tari Tara” means how movement and behavior (Tari) are visible (Tara) in processing a timber (Taru). The idea of this dance work arises from interest from the choreographer against the motion and behavior of a master artist mask maker in Bali named I Wayan Tangguh, choreographer's own grandfather.This dance piece is structurally divided into five scenes (introduction, scene one, two, three, ending) with a focus on the activities of I Wayan Tangguh as a farmer, mask makers, and stakeholders. The idea arose based on observations made visually and then developed into an idea. The results of observations made on the process of making a mask used as a reference material for stepping on stage ekploration, includes motion search, the manufacture of the property, setting, costume dance, and dance music.Dance works presented in the form of the group choreography involving six male dancers, using the property Balinese dance masks, and staged in a proscenium stage. Dance movement that is used, based on the results of exploration motion that makes the masks like shaving wood, hitting the wood work, holding the mask, and clamping the mask using the feet, as well as attitudes and motives varied and develop with traditional Balinese dance like agem, malpal, ngaed, and nayog.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Saputra, I. Putu Bagus Bang Sada Graha. "Taru Tari Tara." Joged 7, no. 1 (2017). http://dx.doi.org/10.24821/joged.v7i1.1593.

Full text
Abstract:
“Taru Tari Tara” adalah judul dari karya tari yang menunjuk pada konsep dasar yang diwujudkan ke dalam sebuah koreografi kelompok. Taru dalam bahasa Bali memiliki arti kayu, kemudian Tari berarti tari atau apabila dilihat dari substansi dasarnya adalah gerak atau perilaku, selanjutnya Tara yang berasal dari kata ketara dalam bahasa Bali berarti terlihat. “Taru Tari Tara” berarti bagaimana gerak dan perilaku (Tari) yang terlihat (Tara) dalam mengolah sebuah kayu (Taru). Ide karya tari ini muncul dari ketertarikan penata terhadap gerak dan perilaku seorang maestro seniman pembuat topeng di Bali bernama I Wayan Tangguh, yang merupakan kakek penata sendiri.Karya tari ini secara struktural dibagi ke dalam lima adegan (introduksi, adegan satu, dua, tiga, ending) dengan lebih berfokus pada aktivitas I Wayan Tangguh sebagai seorang petani, pembuat topeng, dan pemangku. Gagasan tersebut muncul berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual kemudian berkembang menjadi sebuah ide. Hasil dari pengamatan yang dilakukan terhadap proses pembuatan topeng dijadikan sebagai bahan acuan untuk melangkah pada tahap ekpslorasi, meliputi pencarian gerak, pembuatan properti, setting, kostum tari, dan musik tari.Karya tari yang disajikan dalam bentuk koreografi kelompok ini melibatkan enam orang penari laki-laki, menggunakan properti tari berupa topeng Bali, dan dipentaskan di proscenium stage. Gerak tari yang digunakan berdasar pada hasil eksplorasi gerak membuat topeng seperti menyerut kayu, memukul kayu, memegang topeng, dan menjepit topeng menggunakan kaki, serta divariasikembangkan dengan sikap serta motif gerak tari tradisi Bali seperti agem, malpal, ngaed, dan nayog. "Taru Tari Tara" is the title of a created dance piece. The title is pointing to the basic concepts that are embodied into a choreography group. Taru in Balinese language means wood, then Tari or dance means when seen from the substance or behavior is essentially the motion, then Tara is derived from the word in the language of Bali means striking looks. “Taru Tari Tara” means how movement and behavior (Tari) are visible (Tara) in processing a timber (Taru). The idea of this dance work arises from interest from the choreographer against the motion and behavior of a master artist mask maker in Bali named I Wayan Tangguh, choreographer's own grandfather.This dance piece is structurally divided into five scenes (introduction, scene one, two, three, ending) with a focus on the activities of I Wayan Tangguh as a farmer, mask makers, and stakeholders. The idea arose based on observations made visually and then developed into an idea. The results of observations made on the process of making a mask used as a reference material for stepping on stage ekploration, includes motion search, the manufacture of the property, setting, costume dance, and dance music.Dance works presented in the form of the group choreography involving six male dancers, using the property Balinese dance masks, and staged in a proscenium stage. Dance movement that is used, based on the results of exploration motion that makes the masks like shaving wood, hitting the wood work, holding the mask, and clamping the mask using the feet, as well as attitudes and motives varied and develop with traditional Balinese dance like agem, malpal, ngaed, and nayog.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography