To see the other types of publications on this topic, follow the link: Nabis alternatus.

Journal articles on the topic 'Nabis alternatus'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 36 journal articles for your research on the topic 'Nabis alternatus.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Grasela, James J., and W. W. M. Steiner. "Population genetic structure among populations of three predaceous nabid species: Nabis alternatus Parshley, Nabis roseipennis Reuter and Nabis americoferous Carayon (Hemiptera: Nabidae)." Biochemical Systematics and Ecology 21, no. 8 (December 1993): 813–23. http://dx.doi.org/10.1016/0305-1978(93)90094-8.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Culliney, Thomas W. "PREDATION ON ADULT PHYLLOTRETA FLEA BEETLES BY PODISUS MACULIVENTRIS (HEMIPTERA: PENTATOMIDAE) AND NABICULA AMERICOLIMBATA (HEMIPTERA: NABIDAE)." Canadian Entomologist 118, no. 7 (July 1986): 731–32. http://dx.doi.org/10.4039/ent118731-7.

Full text
Abstract:
On three occasions in late August 1985, during the course of a study of the arthropod community associated with collards (Brassica oleracea var. acephala) (Cruciferae) in central New York State, two species of predaceous Heteroptera, the spined soldier bug, Podisus maculiventris (Say), and Nabicula americolimbata (Carayon), were observed feeding on adult flea beetles of the genus Phyllotreta. Evidence for predation on adult flea beetles is rare. Tahvanainen and Root (1972) and Kareiva (1985) reported practically no predation on adult Phyllotreta cruciferae (Goeze) in central New York, but scattered observations in Canada have documented occasional attacks on adult crucifer-infesting flea beetles by various insect predators (Gerber and Osgood 1975; Burgess 1977, 1980, 1982). This is the first record of predation on adult flea beetles by P. muculiventris and N. americolimbata. Burgess (1982) noted predation on adult P. cruciferae by another nabid, Nabis alternatus Parshley.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Tanureja, Indra Sanjaya. "Kitab Duabelas Nabi Sebuah Alternatif Membaca Kitab Nabi-nabi Kecil." Studia Philosophica et Theologica 20, no. 2 (September 23, 2020): 177–96. http://dx.doi.org/10.35312/spet.v20i2.214.

Full text
Abstract:
Tulisan ini berbicara tentang salah satu bagian dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang biasa disebut dengan Kitab Nabi-nabi Kecil. Bagian ini terdiri dari dua belas kitab yang berasal dari nabi-nabi yang berasal dari periode yang berbeda-beda dalam sejarah Israel. Secara tradisional, dua belas kitab nabi itu diperlakukan sebagai tulisan yang mandiri, dan oleh karena itu, dibaca dan dianalisa satu-satu, masing-masing secara terpisah. Tetapi akhir-akhir ini muncul gagasan alternatif yang mengusulkan untuk membaca kedua belas tulisan itu sebagai satu kesatuan literer. Argumentasi ini didasarkan pada alasan historis dan tekstual serta fakta adanya relasi inter-tekstual antara tulisan-tulisan tersebut, yang menunjukkan adanya proses redaksional dalam sejarah penyusunannya. Tulisan ini berusaha menampilkan gagasan alternatif itu beserta contohnya dan memberikan catatan kritis terhadap usulan tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Tzarum, Netanel, Erick Giang, Rameshwar U. Kadam, Fang Chen, Kenna Nagy, Elias H. Augestad, Rodrigo Velázquez-Moctezuma, et al. "An alternate conformation of HCV E2 neutralizing face as an additional vaccine target." Science Advances 6, no. 30 (July 2020): eabb5642. http://dx.doi.org/10.1126/sciadv.abb5642.

Full text
Abstract:
To achieve global elimination of hepatitis C virus (HCV), an effective cross-genotype vaccine is needed. The HCV envelope glycoprotein E2 is the main target for neutralizing antibodies (nAbs), which aid in HCV clearance and protection. E2 is structurally flexible and functions in engaging host receptors. Many nAbs bind to the “neutralizing face” on E2, including several broadly nAbs encoded by the VH1-69 germline gene family that bind to a similar conformation (A) of this face. Here, a previously unknown conformation (B) of the neutralizing face is revealed in crystal structures of two of four additional E2–VH1-69 nAb complexes. In this conformation, the E2 front-layer region is displaced upon antibody binding, exposing residues in the back layer for direct antibody interaction. This E2 B structure may represent another conformational state in the viral entry process that is susceptible to antibody neutralization and thus provide a new target for rational vaccine development.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Masruri, Muhammad, Faisal Husen Ismail, Arwansyah Kirin, Abd Shakor Borham, Muhammad Misbah, and Mohd Hisyam Abdul Rahim. "KONSEP TERAPI NABI SAW SEBAGAI ALTERNATIF DALAM ME-NANGANI PENYAKIT FIZIKAL DAN SPIRITUAL." Al Hikmah International Journal of Islamic Studies and Human Sciences 4, no. 1 (January 29, 2021): 130–49. http://dx.doi.org/10.46722/hkmh.4.1.21f.

Full text
Abstract:
Berubat daripada segala penyakit samaada fizikal ataupun spiritual merupakan sesuatu perkara yang dituntut oleh Islam. Ia merangkumi pelbagai rawatan menggunakan ubat-ubatan, tanaman herba serta rawatan menggunakan doa daripada al-Quran dan al-Sunnah. Namun dalam kehidupan harian, masih ramai yang belum mengenal perubatan yang telah diasaskan Nabi SAW. Kertas kerja ini bertujuan bagi menjelaskan kaedah Rasulullah SAW dalam menangani pesakit. Analisis konten merupakan fokus utama kajian ini. Ianya berkenaan kaedah terapi yang digunakan Rasulullah SAW dalam menangani penyakit. Kaedah pengubatan Rasulullah SAW ini merupakan terapi alamiah menggunakan herba atau bahan semula jadi dan terapi spiritual. Penggunaan doa-doa daripada al-Quran serta ijtihad Baginda SAW merupakan antara asas dalam rawatan selain penggunaan bahan-bahan yang halal dan tidak terkeluar daripada prinsip syariat. Terapi Nabi juga dilakukan dengan konsep berikhtiar dan bersungguh-sungguh dalam mencari kesembuhan serta menjaga lima perkara asas syariat Islam. Rawatan Islam merupakan antara media dakwah yang sangat memberi kesan baik kepada pesakit dan keluarga pesakit. Konsep terapi Nabi SAW ini diharapkan sebagai antara panduan asas bagi setiap orang Islam dalam menangani penyakit fizikal dan spiritual serta boleh membantu masyarakat yang tertimpa musibah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Gunawan Efendi. "PENDIDIKAN BERMASYARAKAT MODEL NABI MUHAMMAD SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI INDONESIA." Educreative : Jurnal Pendidikan Kreativitas Anak 5, no. 1 (February 17, 2020): 136–49. http://dx.doi.org/10.37530/edu.v5i1.12.

Full text
Abstract:
The model of community education in the form of the prophet Muhammad is community education modeled on the ways of education carried out by the prophet Muhammad SAW. Among the models of the prophet Muhammad SAW education. namely the development of Islamic education, curriculum, materials, methods, institutions, guidance during the time of the Prophet Muhammad SAW. Alternative solutions for social life in Indonesia include Indonesian education that must be designed in such a way as to enable students to develop their potential naturally and creatively in an atmosphere of freedom, togetherness, and responsibility. In addition, education must produce graduates who can understand their community with all the factors that can support success or obstacles that cause failure in social life. One alternative that can be done is to develop an education model of the Prophet Muhammad SAW.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Aflaha, Umi. "KAOS HADIS SEBAGAI MEDIA DAKWAH DAN KOMUNIKASI ALTERNATIF." INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication) 2, no. 2 (December 11, 2017): 247. http://dx.doi.org/10.18326/inject.v2i2.247-274.

Full text
Abstract:
AbstractThis article aims to reveals the phenomena of the raise of Hadits or the Da’wah T-shirts based on Hadits of Prophet Muhammad. This observations is in the framework of living Hadith. Further, it will be examined by using the approach of semiotics communication theory of Chalres Sanders Pierce covering the icon, index, and symbol. At this point, this article is expected to explicate comprehensively about the phenomena and ignite communication creation in wider Islamic preaching without tension of diverse perception.AbstrakArtikel ini ingin melihat mengungkap bagaimana maraknya kaos hadis atau kaos dakwah yang berlandaskan pada hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Pengamatan fenomena ini dalam kerangka living hadis, kemudian akan dikaji dengan menggunakan pendekatan teori semiotika komunikasi Chalres Sanders Pierce yang meliputi ikon, indeks, dan simbol. Dari sini diharapkan tulisan ini mampu memberikan penjelasan secara komprehensif tentang adanya fenomena tersebut, dan memantik kreasi komunikasi dalam dakwah Islam yang lebih luas tanpa tensi dalam memandang ragam persepsi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Ernawati, Ernawati. "Pemanfaatan Media Pembelajaran Audio Visual Untuk Meningkatkan Hasil Belajar PAI Pada Siswa Kelas V SDN Kalianget Timur X." PEDAGOGIA: Jurnal Pendidikan 3, no. 2 (August 1, 2014): 81. http://dx.doi.org/10.21070/pedagogia.v3i2.59.

Full text
Abstract:
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal maupun non verbal.Dalam pembelajaran PAI, agar bahan pelajaran yang diberikan lebih mudah dipahami oleh siswa, diperlukan media yang membantu proses penyampaian tersebut.Melalui media (alat bantu), diharapkan akan terjadi persepsi yang sama antara guru dan siswa. Apalagi Pendidikan Agama Islam yakni pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam mencapai ketentraman bathin dan kesehatan mental padaumumnya.Media CD ini bisa digunakan sebagai salah satu alternatif pembelajaran PAI, khususnya pada materi “menceritakan kisah-kisah Nabi”.Melalui film tentang kisah Nabi yang ada dalam kaset CD, tentunya siswa akan lebih mudah memahami dan lebih mengasyikkan untuk digunakan sebagai sarana belajar daripada menggunakan buku ajar biasa yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar siswa. Tujuan yang ingin dicapai melaluipenelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan media CD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran PAI materi menceritakan kisah Nabi di kelas V SDN Kalianget Timur X.Berdasarkan hasil yang diperoleh dari siklus I sampai II, pemanfaatan media pembelajaran CD pada materi menceritakan kisah Nabi terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan hasil belajar baik secara kelompok maupun secara individu. Pemanfaatan media pembelajaran CDjuga dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa yang meliputi keaktifan, kerjasama, keberanian, kedisiplinan, serta ketelitian siswa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Haryanto, Joko Tri. "TINJAUAN TEORITIS KEBIJAKAN FISKAL ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SAW." ALQALAM 33, no. 2 (December 30, 2016): 122. http://dx.doi.org/10.32678/alqalam.v33i2.396.

Full text
Abstract:
Dewasa ini dunia sedang mengalami kelesuan akibat kegagalan sistem ekonomi konvensional yang diterapkan baik sosialisme maupun kapitalisme. Karenanya banyak pihak kemudian mulai menggagas perlunya sistem ekonomi baru yang mampu menjawab beberapa tantangan di masa depan. Sistem ekonomi Islam (SEI) kemudian diharapkan dapat menjadi salah satu solusi alternatif dalam memenuhi ekspektasi tersebut. Salah satu yang paling signfikan adalah kebijakan fiskal yang Islami baik di periode jaman kepemimpinan Rasulullah SAW maupun para pemimpin sesudahnya. Dengan mengulas tinjauan teoritis kebijakan fiskal Islami dalam periode Rasulullah SAW, dapat dijelaskan bahwa kebijakan fiskal yang diimplementasikan sudah mengandung banyak prasyarat dan praktik-praktik yang bersifat modern. Struktur pendapatan negara di periode pemerintahan Rasulullah SAW misalnya sudah menerapkan praktik-praktik pendapatan modern baik berupa penetapan pajak dan pungutan bea misalnya Jizyah dan Kharaj juga mencerminkan pelaksanaan pengaturan perpajakan modern atas individu dan penguasaan hartanya. Beberapa item yang menjadi sasaran obyek pajak relatif sempurna jika diselaraskan dengan situasi dan kondisi saat itu. Pembagian Belanja Negara menjadi pos belanja primer dan sekunder sekiranya menjadi cikal bakal sistem APBN modern saat ini. Adanya belanja untuk pertahanan seperti persenjataan, unta, kuda dan persediaan, merepresentasikan belanja sektoral pertahanan dan fungsi pelayanan umum. Dari sisi pembiayaan, defisit dapat dihindari karena pengeluaran disesuaikan dengan belanja-belaja yang bermanfaat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Doni, Chaterina Puteri. "Norma dan Aktualisasi Peace Education dalam Dakwah Nabi Muhammad SAW Periode Mekkah dan Madinah: Studi Komparasi antara Materi MA dan SMA." Jurnal Ilmiah AL-Jauhari: Jurnal Studi Islam dan Interdisipliner 2, no. 2 (December 1, 2017): 131–43. http://dx.doi.org/10.30603/jiaj.v2i2.676.

Full text
Abstract:
Secara faktual, moralitas dan karakter bangsa, khususnya di kalangan pelajar tingkat SLTA saat ini telah mulai runtuh. Hal ini terbukti dengan tingginya tingkat kekerasan seperti tawuran, pelecehan seksual dan perkelahian di dunia pendidikan. Isu-isu utama tersebut bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Kasus-kasus yang terjadi di kalangan pelajar saat ini telah masuk dalam kategori sangat memprihatinkan bahkan tidak sedikit yang berurusan dengan aparat hukum. Dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkan adalah melalui pendidikan yang berbasis perdamaian atau pendidikan perdamaian. Dalam hal ini pendidikan perdamaian dianggap sebagai salah satu solusi alternatif dari masalah yang terjadi saat ini. interpretasi nilai peace education dalam dakwah Nabi Muhammad saw periode Mekkah adalah tanggung jawab, persamaan derajat, keadilan, kash sayang dan toleransi. Sedangkan nilai peace education periode Madinah adalah; Hak asasi manusia, persamaan, keadilan, demokrasi, toleransi, empati. Ketiga, dalam aktualisasi nilai pendidikan perdamaian dalam dakwah Nabi Muhammad saw periode Mekkah dan Madinah ditemukan terdapat adanya perbedaan mendasar dalam materi dakwah Nabi Muhammad saw, periode Madinah materi MA lebih komprehensif dan detail sedangkan tingkat SMA lebih bersifat umum dan tidak detail, sehingga beberapa nilai pendidikan perdamaian tidak terangkum di dalamnya. Sehingganya dalam penelitian ini dapat memberikan sumbangsi dalam hal perbaikan kurikulum ataupun materi pelajaran kedepan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Bakka, Bahman. "Penyakit Perspektif Al-Tibb Al-Nabawy." Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law 1, no. 1 (August 5, 2020): 1. http://dx.doi.org/10.33096/altafaqquh.v1i1.10.

Full text
Abstract:
Al-tibb al-Nabawi adalah pengobatan yang meliputi jasmani, sosial, mental dan spritual bagi individu, masyarakat dan kemanusiaan sepanjang masa, Al-Tibb al-Nabawi bukan sekedar pengobatan dalam pengertian sempit, sebagaimana pada istilah penyembuhan dalam kedokteran modern bahkan sering disebut sebagai pengobatan alternatif, al-tibb al-nabawi adalah petunjuk dari Nabi, sebagai Rasulullah saw. yang diberi ilmu dan akhlak, dan dengan wawasan psikologis yang lurus. Beliau mencapai pengetahuan tentang seluruh aspek kejiwaan manusia. Beliau juga sangat berpengalaman dalam memahami segala fenomena kehidupan desa dan kota. Atas semua itu, beliau menerima wahyu ilahi yang melampaui batas kemampuan manusia biasa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Syamsuddin, Syamsuddin. "PENGOBATAN ALTERNATIF SUPRANATURAL MENURUT HUKUM ISLAM." ALQALAM 33, no. 2 (December 30, 2016): 110. http://dx.doi.org/10.32678/alqalam.v33i2.395.

Full text
Abstract:
Fenomena pengobatan medis yang relative cukup mahal, tidak terjangkau oleh semua orang, terlebih lagi bagi yang tarap kehidupannya pas pasan menggiring sebagian masyarakat untuk memilih jalan alternatif berobat yang lebih singkat dan lebih ekonomis. Maraknya praktek pengobatan di luar medis seperti pengobatan supranatural nyaris menjadi pilihan seperti yang terjadi di klinik YPS Serang. Tatacara pengobatan yang dilakukan di klinik YPS ini, selain memijat dengan gerakan variatif, juga menggunakan pendekatan meditasi dengan mengucapkan bacaan-bacaan tertentu secara sir (mantera) kepada pasien dan air untuk diminum dan mandi pasien setelah pulang ke rumah masing-masing. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengobatan Supranatural Menurut Hukum Islam (Studi di YPS Serang)". Pertanyaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana praktek pengobatan supranatural di YPS Serang? 2. Bagaimana pengobatan supranatural di YPS Serang menurut hukum Islam? Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana praktek pengobatan supranatural di YPS Serang. 2. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan supranatural di YPS Serang menurut hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dua sumber data, yaitu: sumber primer : hasil observasi dan wawancara dengan Pimpinan YPS, Penerapi, Pegawai dan Pasien. Sementara sumber sekunder penulis dapatkan dari buku-buku, brosur, pamflet, jurnal maupun tulisan populer, baik yang diakses lewat media cetak maupun elektronika tentang praktek pengobatan supranatural dan hukumnya. Kesimpulan penelitian ini adalah: Pertama: Praktek pengobatan supranatural di YPS Serang lebih bersifat fisik dengan melakukan gerakan pijatan terhadap pasiennya secara variatif diawali dengan bacaan-bacaan tertentu sebelum memulai pijatan, baik yang diucapkan secara sir di hadapan pasien maupun yang dibacakan pada air untuk diminum dan mandi; Kedua: Pengobatan Supranatural di YPS Serang menurut hukum Islam, ada dua kategori, yaitu: yang dibolehkan (mubah) dan ada yang dilarang (haram). Yang dibolehkan (mubah) adalah praktek pengobatan supranatural yang dilakukan dengan gerakan pijatan oleh pemijat yang orangnya sejenis atau muhrimnya dengan bacaan do'a yang bersumber dari Nabi. Sedangkan pengobatan supranatural yang dilarang (haram) adalah pemijatnya laki-laki pasiennya perempuan yang antara keduanya bukan muhrim, bacaan yang diucapkan secara sir baik kepada pasien sebelum dipijat maupun pada air untuk diminum dan mandi pasien, ternyata bukan do'a tapi mantera (yang biasa digunakan oleh dukun), demikian pula nama klinik YPS kepanjangan dari Yang Penting Sembuh mengesankan pasti sembuh dengan cara apa saja, hal ini bertentangan dengan 'aqidah Islamiyah karena yang berwenang menyembuhkan hanya Allah. Praktek pengobatan supranatural di YPS Serang termasuk kategori yang kedua.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Al Anang, Arif, and Ahmad Husein. "Living Qur’an: Magic dalam Tradisi Pengobatan Modern." Jurnal Humanitas: Katalisator Perubahan dan Inovator Pendidikan 7, no. 1 (December 30, 2020): 14–22. http://dx.doi.org/10.29408/jhm.v7i1.3284.

Full text
Abstract:
Fungsi al-Qur’an adalah dengan kandungannya adalah syifa (obat) bagi manusia. Magic adalah seni yang yang menggunakan bantuan mahkhluk gaib oleh penguasaan pasukan rahasia alam, itu sangat bertolak belakang rasional dengan irrasional dan penting untuk manusia. Magic menjadi alternatif dalam praktek pengobatan Modren dengan menggunakan terapi ruqyah syar’iyah dengan media membacakan ayat-ayat al-Qur’an atau Hadist bagi pasien, magic sudah ada pra-Islam dan masa Nabi Muhammad saw adalah salah metode pengobatan yang ada pada zaman itu, Kekecewan masyarakat Modern kepada kesehatan medis yang tidak selalu bisa memberikan solusi untuk pengobatan kesembuhan pasien, langkah yang mereka tempuh adalah dengan menggunakan magic untuk kesembuhan, magic dalam kehidupan modern adalah bentuk transformasi dari dukun ke ruqyah syar’iah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Hack, Daniel. "Introduction." Victorian Literature and Culture 47, no. 1 (December 7, 2018): 93–94. http://dx.doi.org/10.1017/s1060150318001328.

Full text
Abstract:
Catherine Gallagher's importance as a scholar of nineteenth-century British culture and a historian and theorist of the novel makes the appearance of a new monograph by her an event for Victorianists (among others). This is true even when few of the materials she discusses are, strictly speaking, Victorian, as is the case with her new book, Telling It Like It Wasn't: The Counterfactual Imagination in History and Fiction. In Telling It Like It Wasn't, Gallagher traces the emergence and development of analytic and narrative discourses premised on counterfactual-historical hypotheses. As the author explains, these hypotheses are past-tense, conditional conjectures “pursued when the antecedent condition is known to be contrary to fact,” such as, to take her two major examples, What if the South won the Civil War? and What if the Nazis had invaded Britain? Bringing together what Gallagher calls “counterfactual histories,” which are more analytical than narrative and typically consider multiple unrealized possibilities; works of “alternate history,” which describe one continuous sequence of departures from the historical record but draw their dramatis personae exclusively from that record; and “the alternate-history novel, [which] invents not only alternative-historical trajectories but also fictional characters,” Telling It Like It Wasn't explores the distinctive uses and dynamic interactions of these forms over the past two centuries and considers their implications for our understanding of more conventional fiction and historiography.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Taufik, Ahmad. "Argumen Metode Tafsir Mawdu’i." At-Tibyan 2, no. 1 (May 14, 2020): 74–89. http://dx.doi.org/10.30631/atb.v2i1.13.

Full text
Abstract:
Penelitian ini menegaskan bahwa tafsīr mawḍū’i dapat menjadi metode alternatif di tengah keterbatasan metode tafsir tahlili, ijtimali, dan muqaran yang cenderung parsial dan atomis. Sebab, tafsīr mawḍū’i mampu mengidentifikasi ayat-ayat dalam topik yang sama dan dapat mengurai permasalahan secara lebih jelas dan spesifik. Metode seperti itu sangat dibutuhkan, mengingat persoalan sosial-keagamaan yang semakin kompleks dan perlu diselesaikan sesegera mungkin. Penggunaan metode tafsir tematik memiliki argumentasi yang kuat. Sebab, elemen utama tafsir ini disinyalir telah ada sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup dan berlanjut sampai masa Salaf Saleh. Bahkan, dalam kitab tafsir mu’tabar yang ditulis Ibnu Katsir dan Thabari telah ditemukan beberapa unsur penafsiran tematik. Kendati demikian, sistematika tafsir tematik mulai berkembang pada abad XIV dan terus digunakan hingga saat ini. Dalam tulisan ini, penulis akan mengurai geneologi, signifikansi, dan sistematika tafsir tematik, sebagaimana yang telah diformulasikan oleh para sarjana klasik dan kontemporer.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

HS, Muhammad Alwi. "VERBALISASI AL-QUR’AN DAN NILAI PANCASILA:." SUHUF 12, no. 2 (December 31, 2019): 327–46. http://dx.doi.org/10.22548/shf.v12i2.473.

Full text
Abstract:
Artikel ini bertujuan untuk memahami kandungan surah al-Mā’idah/5: 49 berdasarkan metode verbalisasi Al-Qur’an dari Arab ke Indonesia. Upaya ini dihadirkan sebagai alternatif, dengan berangkat dari jati diri Al-Qur’an sebagai teks lisan, dalam menghubungkan spirit Al-Qur’an dengan Pancasila. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pemahaman verbalisasi surah al-Mā’idah/5: 49, dan bagaimana relevansi spirit ayat tersebut dengan Pancasila sehingga Pancasila dapat dilegitimasi oleh ayat ini? Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa surah al-Mā’idah/5: 49 pada penyampaiannya secara lisan sedang merespon upaya diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok pemuka Yahudi terhadap kelompok lain yang lebih rendah darinya, serta mengabaikan sikap adil dalam menetapkan hukum. Allah, melalui ayat ini yang kemudian dilakukan oleh Nabi Muhammad, menolak sikap pemuka Yahudi tersebut. Berdasarkan pedoman hidup surah al-Mā’idah/5: 49 ini, Pancasila yang sejak kelahirannya berangkat dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, keberagaman Indonesia, mendapat porsi untuk dilegitimasi oleh surah al-Mā’idah/5: 49, sebagaimana atas dasar kesamaan spirit yang disuarakan. Terlebih lagi, dalam lima sila Pancasila, semuanya menampilkan nilai-nilai holistik, adil, dan sesuai spirit Al-Qur’an.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Misbah, Aflahal. "POTRET LANSKAP HARMONI DALAM PROSES PROPAGASI SUFISME DI WARUNG KOPI YOGYAKARTA." Harmoni 17, no. 1 (June 30, 2018): 88–104. http://dx.doi.org/10.32488/harmoni.v17i1.286.

Full text
Abstract:
Berangkat dari tesis bahwa sufisme dianggap sebagai media alternatif untuk membangun masyarakat yang ramah, toleran, dan menghargai keragaman, tulisan ini berusaha mencoba melihat kembali sejauh mana kekuatan tesis itu dengan meneropong fenomena baru tentang propagasi sufisme yang berlangsung di warung kopi. Diversitas masyarakat di warung kopi akan semakin memberikan gambaran lebih jelas terkait tesis tersebut. Bagaimana potret akseptasi masyarakat di warung kopi terhadap propagasi sufisme adalah sasaran utama dalam tulisan ini, di samping mendeskripsikan bentuk dan karakteristik sufisme yang di diseminasikan –meski bukan menjadi titik tekan utama. Pada sisi lain, tulisan ini juga semakin memperkuat asumsi tentang fenomena kebangkitan Islam sejak Akhir Abad 20, yang dipandang kian mampu menjangkau berbagai sektor ruang publik yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Hasil akhir studi menunjukkan bahwa bersamaan dengan berlangsungnya propagasi sufisme di warung kopi, ada lanskap yang menarik yang ditampilkan oleh masyarakat warung kopi. Akseptasi di antara pengikut (jama’ah), pengopi, dan pengunjung memberi gambaran bagaimana cara mereka menyikapi keragaman dan perbedaan. Masing-masing melakukan aktivitas dalam satu ruang tanpa ada yang merasa terganggu satu sama lainnya. Beberapa pengunjung dan pengopi -terlepas dari afiliasi organisasi keagamaannya di luar warung kopi- bahkan memberikan penghormatan yang tinggi, seperti; ikut berdiri ketika proses ritual penghormatan dalam sesi Maulid Nabi (mahal al-qiyam). Situasi ini tentu semakin memperkuat tesis di atas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Abubakar, Ali. "HADIS-HADIS HUKUM YANG KONTRA PEMBARUAN AL-QUR’AN: Tinjauan Pola Pemahaman Mu’abbad dan Mu’aqqat." Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies 1, no. 2 (December 1, 2014): 347. http://dx.doi.org/10.20859/jar.v1i2.22.

Full text
Abstract:
<p>Artikel ini ditulis untuk menjawab pertanyaan bagaimana pola pemahaman ulama terhadap hadis-hadis yang tampak kontra dengan semangat al-Qur‟an dan bagaimana alternatif pola pemahaman terhadap hadis-hadis tersebut sehingga produk fikih yang dihasilkan serasi dengan semangat al-Qur‟an? Ini dilakukan mengingat ada ketidaksinkronan antara sebagian teks-teks hadis hukum dengan semangat umum al-Qur‟an. Penelitian ini menggunakan kerangka teori yang mengatagorikan hadis menjadi dua, yaitu mu‟abbad (berlaku universal dan abadi) dan mu‟aqqat (berlaku hanya untuk masa dan kondisi tertentu). Kesimpulannya, ulama mazhab cenderung memahami hadis-hadis yang tampak bertentangan dengan al-Qur‟an hadis-hadis tasyrīʻiyyah dengan pola pemahaman lafẓiyyah; menganggapnya sebagai hadis-hadis mu‟abbad yang berlaku universal, lintas waktu dan tempat, dan berlaku ketat. Dengan pendekatan asbāb al-nuzūl dan asbāb al-wurūd al-ḥadīts dalam makna yang luas—sejarah sosial hukum Islam, ditemukan bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan dengan al-Qur‟an tersebut harus dipahami berlaku berbatas waktu atau pada masa Nabi Muhammad hidup di Semenanjung Arabia abad ke-7 Masehi. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut dikategorikan kepada hadis-hadis mu‟aqqat, yang berlaku temporal; hanya pada masa, kondisi sosial masyarakat pada atau yang sama dengan di Semenanjung Arabia pada abad ke-7 Masehi.</p><p><strong>Keywords:</strong> mu'abbad, mu'aqqat, semangat al-Qur‟an, hadis.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Fanani, Ahwan. "Akar, posisi, dan aplikasi adat dalam hukum." IJTIHAD Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 14, no. 2 (February 3, 2015): 231. http://dx.doi.org/10.18326/ijtihad.v14i2.231-250.

Full text
Abstract:
Adat (custom) is a polemical topic in Islamic law. The development of Islamic law since the era of Prophet Muhammad has shown the important role of adat. Islamic law was formulated in accordance or in opposition to the custom of Arabs. However, classical Islamic legal theory (usul fiqh) does not consider it in legal argumentation. Its role is recognized in qawa‘id fiqhiyyah (principle of practical law) as one of five main principles. It is included in non-agreed legal argument. The paper is aimed to reveal the place of custom in Islamic law from the era of prophet to the contemporary era, especially in Islamic legal theory, in the principles of Islamic law, and in Islamic court according to manual book. This paper concludes that custom plays crucial role in elaborating Islamic law in practice. Custom has been acknowl- edged by Islamic scholars, especially by those of Hanafite and Malikite schools, as important part of Islamic law. However, they limites the role of custom in term of private law. The custom was never be discussed in term of rites and folklore, as it is popular now. The custom can still plays important role in Islamic private law or even in alternative dispute resolutions as far as traditional authority is needed and acknowledge by Islamic communities. Adat (custom) merupakan polemik dalam hukum Islam. Perkembangan hukum Islam sejak zaman Nabi Muhammad telah menunjukkan peran penting dari adat. Hukum Islam dirumuskan sesuai atau bertentangan dengan kebiasaan orang-orang Arab. Namun, teori hukum Islam klasik kita (usul fiqh) tidak mempertimbangkan dalam argumentasi hukum. Perannya diakui dalam qawa ‘id fiqhiyyah (prinsip hukum praktis) sebagai salah satu dari lima prinsip utama. Hal ini termasuk dalam argumen hokum yang tidak disepakati. Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan tempat adat dalam hukum Islam dari era Nabi ke era kontemporer, khususnya dalam teori hukum Islam, dalam prinsip-prinsip hukum Islam, dan di pengadilan Islam menurut buku manual. Tulisan ini menyimpulkan bahwa Adat memainkan peran penting dalam menguraikan praktek hukum Islam. Adat telah diakui oleh ulama Islam, terutama oleh orang-orang dari Mazhab Hanafi dan Maliki, sebagai bagian penting dari hukum Islam. Namun, mereka membatasi peran adat dalam hal hukum privat. Kebiasaan ini tidak pernah dibahas dalam hal ritual dan cerita rakyat, seperti yang populer sekarang. Kebiasaan masih bisa memainkan peran penting dalam hukum privat Islam atau bahkan dalam resolusi sengketa alternatif sejauh otoritas tradisional dibutuhkan dan diakui oleh masyarakat Islam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Kumala, Fika Aufani. "Sewa Rahim Antara Pro dan Kontra." El-Mashlahah 10, no. 2 (December 30, 2020): 26–42. http://dx.doi.org/10.23971/maslahah.v10i2.1938.

Full text
Abstract:
AbstrakMemperoleh keturunan adalah salah satu dari beberapa tujuan perkawinan, hal ini lazim didambakan bagi pasangan suami istri yang baru menikah. Berbagai cara dilakukan untuk dapat memiliki anak, namun nyatanya banyak sekali pasangan suami istri yang belum mampu menghasilkan keturunannya sendiri, hal ini dapat disebabkan karena adanya kelainan atau cacat dan penyakit yang membuat pasangan tersebut tidak dapat mengahasilkan keturunan. Dengan berkembangnya zaman, diiringi pula dengan berkembang pesatnya teknologi lantas memberikan alternatif dengan jalan sewa rahim bagi pasangan yang ingin memiliki keturunannya sendiri namun terhalang oleh suatu penyakit atau kelainan. Namun hadirnya praktik sewa rahim ini juga menjadi perdebatan di berbagai kalangan masyarakat dan ulama, ada yang membolehkan juga ada yang melarangnya, Diantara pendapat yang melarangnya lebih meninjau dari sisi sosial, mereka berpendapat bahwa sewa rahim dapat menarik ke dalam taraf kehidupan hewan dan akan terjadi pencampuran nasab. Kemudian jika dilihat dari segi etika, adalah haram hukumnya bagi siapapun yang memasukkan benih ke rahim wanita lain, karena praktik sewa rahim bagi seorang wanita dapat menghilangkan sifat keibuannya dan dapat merusak tatanan kehidupan hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw. Adapun pendapat yang membolehkan mereka mengatakan bahwa praktik ini dapat dikategorikan sebagai tindakan yang darurat, karena bagi mereka rasa ingin yang tinggi dalam memperoleh keturunan dapat dikategorikan sebagai kedaruratan. Namun hasil dari penelitian ini melihat bahwa praktik sewa rahim tidak dapat dikategorikan sebagai hal yang darurat dan mendesak, karena pelaku praktik sewa rahim ini tidak memenuhi persyaratan sebagai seseorang bisa dikatakan dalam keadaan darurat. Kata Kunci: Sewa Rahim, Anak, Penyakit, Kelainan, Darurat
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Rohman, Anas. "PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN DALAM KAJIAN QUR’AN-HADIS (TELAAH KRITIS)." Jurnal PROGRESS: Wahana Kreativitas dan Intelektualitas 8, no. 1 (June 28, 2020): 122. http://dx.doi.org/10.31942/pgrs.v8i1.3448.

Full text
Abstract:
Abstract Fazlur Rahman is one of the new innovators in Islam that had a great influence in the 20th century, especially in Pakistan, Malaysia, Indonesia, and other countries (Islamic countries), and Chicago America (western countries) who had various thoughts related to problem. He succeeded in thinking critically both Islam and Western traditions. He succeeded in developing methods that could provide alternative solutions to contemporary Muslims. Rahman's thoughts contributed a lot to the development of Islamic studies, especially in the study of the Qur'an-Hadith. the historical-sociological approach above will create a new, dynamic, and creative discourse so that the moral ideal of the Prophet's sunnah. can be realized progressively in a variety of social phenomena and problems, so that the hadith is no longer static but becomes a living sunnah. Keywords: Thought, Fazlur Rahman, Qur'anic Hadith. Abstrak Fazlur Rahman adalah salah satu inovator baru dalam Islam yang memiliki pengaruh besar di abad 20, terutama di Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan negara-negara lain (negara-negara Islam), dan Chicago America (negara barat) yang memiliki berbagai pemikiran terkait dengan masalah. Ia sukses berpikir kritis baik Islam maupun tradisi Barat. Ia berhasil mengembangkan metode yang bisa memberikan solusi alternatif terhadap Muslim kontemporer. Pemikiran Rahman banyak memberikan sumbangsih terhadap perkembangan kajian Islam, khususnya dalam kajian Qur’an-Hadis. pendekatan historis-sosiologis di atas akan menciptakan wacana yang baru, dinamis, dan kreatif sehingga ideal moral dari sunnah Nabi Saw. dapat direalisasikan secara progresif di dalam aneka ragam fenomena dan permasalahan sosial, sehingga hadis tidak lagi statis melainkan menjadi sunnah yang hidup. Kata kunci : Pemikiran, Fazlur Rahman, Qur’an Hadis
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Sadari, Sadari. "OBJEKTIVITAS DAN VALIDITAS ORIENTALISME SEBAGAI PELETAK SUMBER KAJIAN ISLAM DI BARAT : (Studi Hadis Menurut Fazlur Rahman)." MISYKAT: Jurnal Ilmu-ilmu Al-Quran, Hadist, Syari'ah dan Tarbiyah 1, no. 1 (June 5, 2018): 125. http://dx.doi.org/10.33511/misykat.v1n1.125.

Full text
Abstract:
Studi Fazlur Rahman terhadap hadis memiliki arti yang sangat penting terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan oleh studi sanad, yang menurut ia, walau memberi informasi biografis yang kaya, tetapi tidak dapat dijadikan argumentasi positif yang final. Umat Islam dewasa ini, menurut Rahman, membutuhkan upaya yang metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Fazlur Rahman telah menelaah karya-karya intelektual sebelumnya yang terkait dengan studi hadis, antara lain Ignaz Goldziher, Margoliouth, H. Lammens, dan Joseph Schacht. Ruang lingkup studi Rahman adalah hadis yang dimulai kajiannya dari konsep-konsep sunnah pada awal sejarah Islam sampai formalisasi hadis, serta menawarkan sebuah pendekatan historis dalam studi tersebut. Maka kata kuncinya adalah sunnah yang hidup (living sunnah), idea moral (ratio legis), dan legal spesifik. Studi hadis Fazlur Rahman memberikan beberapa kontribusi yaitu pengetahuan baru tentang metode kritik terhadap hadis, memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik dan atomistik, dan memberi sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih feasible terhadap tantangan jaman. Fazlur Rahman mengawali penulisannya dengan memaparkan secara singkat kegelisahan intelektualnya tentang kondisi real umat Islam yang terbelenggu dengan tertutupnya pintu ijtihad. Selanjutnya Rahman menguraikan evolusi historis hadis dari perkembangan awal hadis di masa Nabi. Pada akhirnya Rahman menawarkan metodologi dalam studi hadis untuk mengembalikan kembali hadis menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) melalui pendekatan historis yang dipadu dengan pendekatan sosiologis sehingga hasilnya hadis tetap menjadi objektif untuk dijadikan sumber dalam kajian Islam baik dikalangan Islam itu sendiri maupun di Barat. Kata Kunci : Hadist , Objektivitas-Validitas, dan Hukum Islam
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Saad, Suadi. "KHILAFAH DALAM PANDANGAN 'ALI 'ABD AL-RAZIQ." ALQALAM 20, no. 97 (June 30, 2003): 125. http://dx.doi.org/10.32678/alqalam.v20i97.648.

Full text
Abstract:
Di dalam Islam, persoalan kenegaraan telah menjadi bahan diskusi berkepanjangan sejak wafatnya nabi Muhammad SAW sampai zaman modem ini. Polemik dan perdebatan di sekitar masalah itu terasa semakin seru pada saat kaum Muslimin memasuki periode modern, lebih-lebih ketika berbagai ideologi besar dunia Barat mulai menanamkan pengaruhnya di dunia Islam. Tema-tema diskusi itu dalam garis besarnya berkisar pada wajib tidaknya kaum muslimin mendirikan negara; bagaimana susunan dari bentuk negara; siapa yang berhak menduduki jahatan Kepala negara; bagaimana posisi syari'ah dalam kaitannya dengan mekanisme pemerintahan, dan lain sebagainya. Bahwa pada zaman modern timbul pula persoalan yang menyangkut "apakah agama harus bersatu dengan negara"; apakah Islam memerintahkan umatnya untuk membentuk dan mendirikan "Negara Islam" atau tidak.Dalam hal ini, kita melihat pentingnya kehadiran para tokoh dan pemikir politik muslim guna memecahkan persoalan mengenai sistem ketatanegaraan dalam Islam. Di antara para tokoh tersebut terdapat beberapa pemikir Islam kontemporer, seperli Ali Abd al-Raziq, yang pemikiran-pemikirannya akan dibahas dalam makalah ini. Kehadirannya dengan gagasan-gagasan yang diterangkan di dalam bukut Al-Islam wa Usul al-Hukm -yang merupakan sumber utama penulis -telah menjadi sebuah alternatif bagi pemikiran politik Islam masa kini. Apalagi masa saat-saat terakhir ini di mana isu tentang negara Islam dan khilafah mulai mencuat kembali.Beberapa waktu lalu dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi, Abdul Wahid Kadungga, salah seorang warga Belanda asal Makassar dan menantu Kahar Muzakar (tokoh NII) yang disangka mempunyai hubungan dengan kelompok "teroris" Jema'at lslamiyah, menyatakan bahwa kini saatnya untuk menegakkan kembali khilafah. Sebaliknya, sebelumnya, secara implisit Ulil Abshar-Abdallah, di Harian Kompas, menyatakan hahwa Islam tidak menuntut berdirinya negara Islam atau sistem khilafah --pernyataan yang mengundang munculnya "fatwa hukum bunuh" atas dirinya, dari sebagian ulama.Saya berpikir, buku ini mendapatkan momentumnya kembali saat ini, dan perlu untuk kita kaji.Kata Kunci: Khilajah, Negara Islam, al-Islam wa Usul al-Hukm
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Hasbullah, Hasbullah. "KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM." Jurnal Ta'lim Muta'allim 3, no. 6 (August 20, 2015): 8. http://dx.doi.org/10.18592/tm.v3i6.495.

Full text
Abstract:
Perdebatan soal poligami, bagai perdebatan ayam dan telur. Sebuah persoalan yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya, namun kecenderungan memunculkan jawaban alternatif sama kuat dan ngototnya. Bahkan, dalam suatu waktu, keduanya bisa dengan mudah saling bertukar wajah dan topeng. Sederet argumentasi akan dipergunakan guna mempertahankan ke-egoan nafsunya. Kalau perlu mengatasnamakan Tuhan sebagai penafsir kebenaran tunggal (despotik). Begitu pula akal sehat, terkadang suka tergoda dan tergilincir oleh bujukan egoisme nafsu, sehingga tanpa disadari akal sehat meminta perlindungan pada ego-nafsunya. Fenomena poligami adalah wujud konkrit dari pertarungan antara akal sehat dan ke-ego-an nafsu manusia.Wacana poligami sebenarnya bukan merupakan masalah baru. Poligami dapat dikatakan telah berkembang sejak manusia hidup dalam berkelompok-kelompok, bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan bernegara. Karena itu, praktek poligami pada dasarnya bukan termasuk ajaran Islam sebagaimana diklaim dunia Barat, tetapi sudah menjadi kecenderungan seluruh umat manusia dari berbagai strata sosial.Surat An-Nisa ayat 3 yang sering dijadikan landasan poligami sebenarnya tidak untuk menganjurkan poligami. Ketentuan Poligami ada dalam Islam. Ia dibolehkan oleh syariat seluruh nabi. Ayat tersebut di atas diturunkan ketika banyak wanita Madinah ditinggal mati suami mereka yang gugur di medan perang Uhud dan banyak pula anak-anak yang sudah tidak berbapak lagi. Dihadapkan pada masalah ini, orang Islam diarahkan untuk memecahkannya dengan memanfaatkan lembaga yang telah ada dan lazim, yakni dengan mengawini dua, tiga atau empat wanita di antara janda-janda tersebut. Sebagai akibatnya, janda-janda dan anak-anak yatim tidak terlantar, melainkan terserap ke dalam berbagai keluarga. Ketentuan Allah ini bukanlah pemberian izin berpoligami, melainkan merupakan pengaturan/pembatasan jumlah istri sampai empat saja dan penetapan syarat lebih jauh, yakni bila suami tidak bisa bertindak adil terhadap seluruh istrinya, maka ia harus mempergauli mereka dengan baik atau beristri satu saja. Jika dipaksakan dan menimbulkan kemudaratan lebih besar, maka hukum poligami tidak sah dan haram dilakukan.Kata Kunci: Poligami, Hukum Islam, Adil
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Nurkhanif, Muhammad. "NALAR KRITIS HADIS RUKYAH AL-HILAL : Kajian Hermeneutika dan Dekonstruksi Hadis." Riwayah : Jurnal Studi Hadis 4, no. 2 (December 25, 2018): 265. http://dx.doi.org/10.21043/riwayah.v4i2.4625.

Full text
Abstract:
<p class="06IsiAbstrak"><span lang="EN-GB">Problermatika penentuan penentuan hilal awal bulan Hijriyah terutama awal Ramadhan, Syawal dan Dzulihijjah hingga sekarang masih belum terpecahkan. Problem ini muncul dari bentuk dan corak pemahaman teks-teks hadis nabi SAW tentang Rukyat <em>al hilal </em>yang bervariasi matannya. Salah satu bentuk intepretasi teks hadis tersebut adalah metode Rukyat <em>bi al Fi’li</em> ya<span>n</span>g dilakukan de<span>n</span>g<span>a</span>n carameli<span>h</span>at <span>h</span>il<span>a</span>l ketikamata<span>h</span>ariter<span>b</span>e<span>n</span>amdi ak<span>h</span>ir<span>b</span>ula<span>n Qamariah</span>.<span>Bentuk Intepretasi lain adalah metode Rukyat <em>bi al ‘ilmi</em> atau h</span>i<span>s</span>abyang merupakan bentuk<span>p</span>e<span>r</span><span>h</span>itu<span>n</span>gan <span>po</span><span>s</span>i<span>s</span>i dan keti<span>n</span>g<span>g</span>ian <span>h</span>ilal srcara matematis <span>s</span>aatmata<span>h</span>ari ter<span>b</span>e<span>n</span>am. Jika<span>h</span>ilal tidakda<span>p</span>at terli<span>h</span>at kare<span>n</span>a cuaca maka<span>b</span>ulan disempurnakanme<span>n</span>jadi 30<span>h</span>ari.Teori <span>s</span>e<span>p</span>erti i<span>n</span>i d<span>a</span><span>p</span>at di<span>s</span>e<span>b</span>ut de<span>n</span>gani<span>s</span>tikmal.Cara lain dapat ditempuh dengan cara mengkira- kirakan posisi hilal, teori ini diesebut dengan <em>faqduru lahu. </em>Namun pada implemantasi teks hadis <em>rukyat al hilal</em>, khususnya di Indonesia masih terkesan terkotak-kotakan. Rukyat <em>bi al fi’li</em> adalah tradisi NU dan rukat <em>bi al ‘ilmi</em> adalah tradisi Muhammadiyah, seolah teks hadis nabi sudang terkaplingkan untuk kedua ormas besar tersebut. Penulis menawarkan alternatif pemahaman hadis tersebut dengan teori hermeneutika dan teori dekonstruksi.</span></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Sugiri, Ahmad. "Praktik Sistem Khilafah dalam Lintasan Sejarah Islam." Tsaqofah 17, no. 2 (December 28, 2019): 98. http://dx.doi.org/10.32678/tsaqofah.v17i2.2571.

Full text
Abstract:
Sampai saat ini, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memperlihatkan citra keragaman dalam memilih dan mempraktekkan bentuk-bentuk pemerintahan dan sistem kenegaraan. Sebagian memilih dan mempraktekkan sistem monarki atau kerajaan, sebagian lainnya memilih dan mempraktekkan sistem Republik. Keragaman bentuk kenegaraan dan pengalaman politik “negara-negara Islam” tersebut disebabkan selain bersumber dari perkembangan pemikiran dan perbedaan pendapat di kalangan para pemikir politik Muslim tentang hubungan antara din dan dawlah dalam masa modern, harus diakui juga banyak dipengaruhi oleh tingkat kedalaman pengaruh Barat atas wilayah Muslim tertentu. Dalam sejarah, umat Islam pernah memunculkan sedikitnya tiga buah teori kenegaraan yang kemudian dipraktekkan oleh mereka. Pertama, mengacu kepada teori tentang khilafah yang timbul dari realitas sejarah, segera sesudah Nabi s.a.w. wafat. Kedua, bertolak dari teori imamah yang terutama berkembang di lingkungan kaum Syi‟ah. Dan ketiga, dapat pula berkembang dari teori imarah. Ketiga istilah dalam diskursus politik Islam tersebut, pada prinsipnya terkandung pengertian yang boleh dikatakan sama, yaitu menyangkut pemerintahan yang meliputi kepentingan-kepentingan sekuler maupun keagamaan. Teori khilafah bertolak dari dasar pemikiran tentang keharusan dibentuknya lembaga kekuasaan yang mewarisi, menggantikan dan meneruskan tradisi yang telah dijalankan Rasulullah s.a.w. sistem ini kemudian diyakini oleh sebagian umat Islam sebagai suatu lembaga yang mengganti fungsi pembuat hukum, melaksanakan undang-undang berdasarkan hukum Islam, karenanya diklaim sebagai sebuah alternatif yang paling ideal untuk dipraktekkan. Hanya dengan cara itulah umat Islam dapat menyelesaikan berbagai persoalan atau ketimpangan yang melilit kehidupan umat di negeri ini. Dalam teori negara modern, sedikitnya dapat dikemukakan tiga varian. Pertama, teori yang melihat negara, semata-mata sebagai wadah internasional yang netral dan instrumental. Negara adalah wadah dimana semua kepentingan masyarakat mendapat perhatian yang layak, yang berkompeten memperjuangkan hak-hak masyarakat yaitu individu-idividu yang mewakili kepentingan-kepentingan kelompok dalam masyarakat. Kedua, dalam kenyataannya, hanya segolongan tertentu dalam masyarakat saja yang dominan yang menguasai instrumen negara untuk kepentingan golongan tertentu. Ketiga, dalam masyarakat kapitalis umpamanya, negara hanyalah wadah eksekutif yang menyelenggarakan kepentingan kaum borjuis. Kecuali ada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang terus beroposisi dan mendesak negara untuk mempertimbangkan kepentingan rakyat banyak. Maka negara akan berkembang menjadi arena kepentingan berbagai golongan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Barus, Elida Elfi. "TAUHID SEBAGAI FUNDAMENTAL FILSAFAH EKONOMI ISLAM." JURNAL PERSPEKTIF EKONOMI DARUSSALAM 2, no. 1 (March 17, 2017): 69–79. http://dx.doi.org/10.24815/jped.v2i1.6648.

Full text
Abstract:
Monotheism (Tauhid) is the core teachings of Islam, but also the core teachings of all religions of the Book. Prophets alternated in God sent to earth real duty to communicate the idea of Tauhid. Tauhid basis of the whole concept and activities of Muslims, whether economic, political, social and culture. The world of view which starts from the concept of God will have implications for the activities of human life in the world as a whole. There are demands that any form of formulations or economic concepts that are formulated to be maintained within the framework of the truth of Tauhid, and there is a belief also that there is a responsibility that must be followed ultimately by each economic agent of any economic activity undertaken. Truth in the monotheistic concept in economic activity by always ensuring consistent with the provisions of Allah is the real form of godly someone as a Muslim. In other words, a choice to the economically Islamically is a consequence someone (ideological reasons). Denying the principles of sharia in economic activity will lead to hypocritical (munafiqun), wickedness (mufasiqun) or even shirk (Syirik).Tauhid adalah inti ajaran Islam, bahkan juga inti ajaran semua agama samawi. Para Nabi dan Rasul silih berganti di utus Allah ke muka bumi sesungguhnya bertugas untuk menyampaikan paham tauhid ini.Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya.Pandangan dunia yang dimulai dari konsep ke-Tuhanan atau ke-Esa-an Tuhan akan berimplikasi kepada kegiatan kehidupan manusia didunia secara keseluruhan. Ada tuntutan bahwa apapun bentuk formulasi atau konsep ekonomi yang dirumuskan harus terjaga dalam kerangka kebenaran tauhid., dan ada keyakinan pula bahwa ada pertanggungjawaban yang harus dijalani yang pada akhirnya oleh setiap pelaku ekonomi dari setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan. Kebenaran dalam konsep tauhid adalah mutlak milik Allah SWT.Menjalankan aktivitas ekonomi dengan senantiasa memastikan sejalan dengan ketentuan Allah SWT merupakan bentuk rill dari keberimanan seseorang sebagai seorang muslim. Dengan kata lain, pilihan (choice) untuk berekonomi secara islami adalah merupakan konsekwensi keberislaman seseorang (alasan ideologis). Mengingkari prinsip-prinsip syariah dalam beraktivitas ekonomi akan membawa pada kemunafiqan, kefasikan atau bahkan kesyirikan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Mohd Salleh, Mohd Mahyeddin, and Irwan Mohd Subri. "Pemanfaatan Tanduk Rusa Baldu Untuk Tujuan Perubatan Menurut Perspektif Halal dan Haram." Sains Insani 3, no. 2 (September 7, 2018): 60–67. http://dx.doi.org/10.33102/sainsinsani.vol3no2.47.

Full text
Abstract:
Deer antler velvet is one of the important ingredients used in traditional medicine by many Asean countries including Malaysia. However, there is doubt regarding the halalness of the medicine derived from deer antler velvet taken alive due to the conflict of fatwa. The objective of this paper is to analyse the position of medicine derives from deer antler velvet from Shariah perspectives. The qualitative methode used through documents analysis, interview and observation. The finding shows that the conflict exists because of the different of ijtihad when the deer antler velvet taken from the animal alive. It is due to the issue, whether it hurt the animal or vice versa. Based on the scientific observation, it is proven that deer antler velvet is part of the animal organ and the nerve connected can make the animal suffering if it is taken alive. It is totally different from halal animal fur that remove while they still alive. Thus, any medication derived from deer antler velvet is not permissible and unclean (najs). Alternatively, to make it halal, the animal should be slaughtered before removing the deer antler valvet. Keywords: deer antler velvet, medicine, fatwa, halal, haram ABSTRAK: Tanduk rusa baldu merupakan antara bahan penting yang dimanfaatkan dalam bidang perubatan herba tradisional di kebanyakan negara asia, termasuk di Malaysia. Bagaimanapun, timbul ketidakpastian hukum terhadap ubat tanduk rusa baldu yang dipotong ketika masih hidup, iaitu sama ada ia boleh dikategorikan sebagai produk yang halal atau haram untuk dimanfaatkan, lantaran wujud konflik fatwa di Malaysia mengenainya. Objektif kajian ini adalah bagi menganalisis hukum ubat daripada tanduk rusa baldu menurut perpektif halal dan haram. Bagi mencapai objektif tersebut, kaedah kualitatif digunakan menerusi pendekatan analisis dokumen, temubual dan pemerhatian. Hasil kajian mendapati antara punca perbezaan pendapat fuqaha dalam menentukan hukum tanduk yang dipotong semasa hidup adalah disebabkan ijtihad mereka yang berbeza terhadap tanduk haiwan, iaitu sama ada ia termasuk dalam kategori anggota yang menyakitkan jika dipotong atau tidak menyakitkan. Berdasarkan maklumat saintifik dan pemerhatian, terbukti bahawa tanduk rusa baldu adalah sejenis anggota yang bersaraf dan menyakitkan jika dipotong ketika hidup, dan tidak boleh disamakan dengan kes bulu haiwan halal. Justeru, produk perubatan berasaskan tanduk rusa yang diperolehi secara kaedah pemotongan tersebut adalah haram dan najis. Sebagai alternatif, pengambilan tanduk rusa menerusi kaedah penyembelihan secara syarak boleh menukar statusnya menjadi produk yang halal. Kata kunci: tanduk rusa, baldu, perubatan, fatwa, halal, haram
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Ridwansyah, Ridwansyah, Jajang Jaya Purnama, Hermanto Hermanto, Suhardjono Suhardjono, and Abdul Hamid. "Aplikasi Mobile Sistem Pakar Dalam Mengidentifiaksi Diagnosis Penyakit Kucing." INFORMATICS FOR EDUCATORS AND PROFESSIONAL : Journal of Informatics 5, no. 1 (December 28, 2020): 23. http://dx.doi.org/10.51211/itbi.v5i1.1414.

Full text
Abstract:
Abstrak: Adanya sebuah aplikasi saat ini dapat digunakan dalam beberapa hal khususnya sistem pakar. Sistem pakar penyakit kucing merupakan sistem yang dapat mengidentifikasi penyakit pada kucing, yang dikarenakan hewan tersebut sangat populer di masyarakat khususnya Indonesia sangatlah besar peminatnya. Hewan ini sangat disukai karena bentuknya yang lucu dan perilaku yang menggemaskan, terlebih nabi Muhammad juga menyukai hewan ini dan jika kita merawatnya makan sunah rasul yang kita dapat ini merupakan kepercayaan umat muslim. Dalam memelihara kucing berbagai masalah akan terjadi dimana kucing yang kita pelihara dalam keadaan sakit dan berbagai virus yang menyerang kucing misalnya penyakit kucing scabies, penyakit kucing feline caliviral disease, penyakit kucing helminthiasis, penyakit kucing koksidiosis, penyakit kucing felice panleukopenia, penyakit kucing ektoparasit, penyakit kucing, penyakit kucing feline viral rhinotracheitis dan penyakit kucing Earmite. Dengan adanya aplikasi sistem pakar yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dapat di anggap cukup rumit dan hanya bisa diatasi para ahli atau para pakar tertentu. Pemilik kucing yang tidak mengetahui adanya penyakit yang dialami oleh kucing yang dipeliharanya maka akan menjadi permasalahan yang besar. Oleh karena itu dengan adanya aplikasi sistem pakar tersebut dapat membantu dalam melakukan diagnosis penyakit pada kucing dan memberikan alternatif pengobatan, penanganan dan pencegahannya. Kata kunci: Aplikasi Sistem Pakar, Forward Chaining, Penyakit Kucing. Abstract: The existence of an application today can be used in several ways, especially expert systems. The cat disease expert system is a system that can identify diseases in cats, which is because these animals are very popular in society, especially in Indonesia, and are in great demand. This animal is very popular because of its cute shape and adorable behavior, especially the prophet Muhammad also likes this animal and if we take care of it, eat the Prophet's Sunnah which we get is the belief of Muslims. In keeping cats, various problems will occur where the cat we keep is sick and various viruses that attack cats, for example, scabies cat disease, feline caliviral disease, cat helminthiasis, cat coccidiosis, felice panleukopenia cat disease, ectoparasite cat disease, cat disease feline cat disease, viral rhinotracheitis and Earmite cat disease. With the existence of an expert system application that aims to solve a problem that can be considered quite complicated and can only be overcome by certain experts or experts. Cat owners who do not know about the disease experienced by the cat they keep will be a big problem. Therefore, with the application of this expert system, it can help diagnose diseases in cats and provide alternative treatments, treatments and prevention. Keywords: Cats, Expert Systems, Forward Chaining
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Rosidin, Rosidin. "MEKANISME QUR’ANI PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK." AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam 22, no. 2 (December 6, 2017): 345. http://dx.doi.org/10.32332/akademika.v22i2.817.

Full text
Abstract:
Abstrak Pengelolaan keuangan publik merupakan amanah yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Problematika menyangkut pengelolaan keuangan publik harus segera dituntaskan dengan menerapkan aneka alternatif solusi, baik didasarkan pada studi teoretis, empiris maupun normatif. Tulisan ini bermaksud menyingkap kandungan al-Qur’an terkait mekanisme pengelolaan keuangan publik melalui operasionalisasi metode tafsir tarbawi yang melibatkan tiga tahap teknik analisis, yaitu kebahasaan (lughawi), isi (tahlili) dan kependidikan (tarbawi). Signifikansi studi normatif ini adalah memberikan nuansa aksiologis, sehingga pengelolaan keuangan publik didasarkan pada pertimbangan halal-haram, adil-zhalim, baik-buruk, maslahat-mafsadat, dan sistem nilai Islami lainnya. Nuansa aksiologis inilah yang menjadi distinction antara pengelolaan keuangan publik yang Islami dengan yang non-Islami. Mekanisme Qur’ani pengelolaan keuangan publik yang ditawarkan dalam tulisan ini memuat tiga hal pokok. Pertama, pentingnya relasi korelatif yang harmonis antara pihak pengelola (imam) dengan publik (umat) dalam implementasi kebijakan yang baik, dengan didasarkan pada prinsip good governance, melalui program-program dinamis-kontekstual berbasis kerjasama Islami (ta’awun dan musyarakah) yang melibatkan pihak pengelola dengan publik. Kedua, implementasi sikap moderat melalui tiga model aktivitas ekonomi, yaitu pengelola menyeimbangkan aspek sosial-insaniyah dan spiritual-ilahiah dalam pengelolaan keuangan publik; pengelola terlibat aktif dalam realisasi fungsi sosial keuangan bagi publik; serta pengelola menjadi teladan (role model) bagi publik dalam hal gaya hidup hemat. Ketiga, pengelola meneladani empat kompetensi utama Nabi Yusuf AS yang terbukti berhasil menjalankan amanah sebagai pengelola keuangan publik, yaitu kompetensi Makin (berwenang), Amin (terpercaya), Hafizh (hemat) dan ‘Alim (cermat). Kata Kunci: Pengelolaan, Keuangan, Publik, dan Qur’ani Abstract Public finance management is a duty that must be carried on with full responsibility. Problematics concerning public finance management must be resolved by applying a variety of alternative solutions, based on theoretical, empirical and normative studies. This paper aims to examine the verses of the Holy Qur'an that related to public finance management. This paper based on Tafsir Tarbawi method that involves language analysis (lughawi), content analysis (tahlili) and Islam education analysis (tarbawi). The significance of this research is to provide an axiological shades, so that the public finance management always consider halal-haram, fair-unfair, good-bad, advantage-disadvantage, and other Islamic value system. This axiological shades is the distinction between Islamic and non-Islamic public finance management. This paper proposes three main points of Qur’anic mechanism of public finance management. First, the importance of harmonious relationship between government (imam) and public (ummah). Therefore, government have to manage public finance based on the principle of good governance, through implementation of Islamic cooperation programs (ta’awun and musyarakah) between government and public. Second, implementation of moderate life style on economic activities through three models: government have to balance social and spiritual aspects in public finance management; government actively attempt to realize social functions of public finance; and government become a role model for public in terms of frugal lifestyle. Third, goverment emulate the four core competencies of Prophet Joseph. He is a role model of successful figure in terms of public finance management, because of his competencies, those are Makin (competent authorities), Amin (trustworthy), Hafiz (protector) and ‘Alim (knowledgeable). Keywords: Management, Finance, Public, and Quranic
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Javed, Khalid, Ambrin Amjad, and Muhammad Abdul Aziz. "Experience with Blind Nasotracheal Intubation for Temporomandibular Joint Ankylosis at Mayo Hospital, Lahore." Annals of King Edward Medical University 9, no. 4 (July 15, 2016). http://dx.doi.org/10.21649/akemu.v9i4.1374.

Full text
Abstract:
Temporomandibular joint ankylosis presents a serious problem for airway management. Alternate or additional technique of airway control are required in this condition. Different options include blind nasotracheal intubation, fiberoptic intubation, retrograde intubation or tracheostomy. Moreover, the patient could be awake or asleep. The purpose of our study was to describe our experience with blind nasotracheal intubation after induction of general anesthesia with spontaneous ventilation in patients of temporomandibular ankylosis presenting for corrective surgery. This experience was gained on all the patients of temporomandibular joint ankylosis presenting to fasciomaxillary department at Mayo Hospital, Lahore over a period of 1 1/2 years. The surgery done was gap arthroplasty with genioplasty. Thirty six patients (male:24, female: 12) with age ranging between 3 years to 25 years with a mean of 12.56 years were studied. All the patients received premedication with atropine 10mg/kg body weight to dry up secretion. Patients were deeply anaesthetized with Halothane, Nitrous oxide with 50% oxygen. Thirty four patients were successfully intubated. Blind nasal intubation failed in 2 patients. The successful blind nasotracheal intubation for surgery for TMJ ankylosis needs adequately and deeply anaesthetized patients, relatively small well lubricated endotracheal tube passed through patent naris with atropine as premedication.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Mushodiq, Muhamad Agus, and Ali Imron. "Peran Majelis Ulama Indonesia Dalam Mitigasi Pandemi Covid-19 (Tinjauan Tindakan Sosial dan Dominasi Kekuasaan Max Weber)." SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7, no. 5 (April 14, 2020). http://dx.doi.org/10.15408/sjsbs.v7i5.15315.

Full text
Abstract:
AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengungkap motif-motif Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menerbitkan fatwa peribadatan masyarakat muslim saat Pandemi COVID-19. Dalam mengekskplore motif tersebut, penulis menggunakan teori tindakan sosial dan dominasi kekuasaan yang digagas oleh Max Weber. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, peneliti melakukan deskripsi dan interpretasi data dari sumber primer yang diambil dari situs resmi MUI dan data lain yang mendukung hasil penelitian. Adapun hasil dari tulisan ini adalah: Pertama, melalui sudut pandang tindakan sosial Max Weber, MUI merupakan aktor dari tindakan sosial keagamaan yang mengharapkan masyarakat muslim Indonesia terpengaruh dengan anjuran-anjuran model ibadah saat Pandemi COVID-19 melalui fatwa yang diterbitkan. Kedua, motif tindakan sosial keagamaan MUI melalui fatwa yang diterbitkan mengandung tiga motif dominan, yaitu instrumentally rational, value rational, dan traditional. Ketiga, motif instrumentally rational dalam fatwa mengacu pada berbagai macam model peribadatan yang dianggap paling masuk akal dipraktikkan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 dan mewujudkan daruratu khams. Keempat, dari segi motif value rational, MUI menggunakan nilai-nilai dari Agama Islam yang bersumber dari Alquran, Hadis, dan Kaidah Fikih yang bersifat rasional-dinamis dan sarat akan probabilitas sehingga melahirkan alternatif-alternatif peribadatan yang dapat dijadikan sebagai mitigasi wabah COVID-19. Kelima, dari segi motif tradisional, MUI berupaya untuk meneruskan tradisi para Nabi dan Sahabat ketika menghadapi wabah (taun), sehingga model peribadatan yang mereka anjurkan merupakan upaya meneruskan tradisi sebelumnya dengan pendekatan hermeneutis, Keenam, dominasi Kekuasaan MUI sebagai otoritas yang menentukan hal wajib dan haram dalam peribadatan masa Pandemik COVID-19 dibangun atas dua model, yaitu dominasi kekuasaan legal dan dominasi kekuasaan kharismatik. Ketujuh, untuk konteks keindonesiaan organized religion seperti MUI sangat penting perannya dalam upaya mitigasi Pandemi COVID-19 karena banyak masyarakat muslim yang bersikap teodisi, fatalistic, dan determinan dalam beragama sehingga perlu dibina dan diarahkan.Kata Kunci: Tindakan Sosial; Dominasi Kekuasaan; COVID-19; Mitigasi, Fatwa MUI.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Aulia, Arief. "METODOLOGI FIQH SOSIAL M.A. SAHAL MAHFUDH." El-Mashlahah 7, no. 2 (July 25, 2019). http://dx.doi.org/10.23971/el-mas.v7i2.1428.

Full text
Abstract:
Konstruksi masyarakat yang terdapat suatu tradisi yang tidak mudah dihilangkan yaitu percampuran antara hukum Islam (fiqh) dan budaya lokal atau nuansa sosial yang berkembang di daerah tertentu. Dalam hal ini budaya lokal diartikan lebih spesifik kepada permasalahan sosial yang terjadi, karena dampak yang jelas terjadi dari adanya budaya lokal tersebut adalah pengaruh yang kuat terhadap bentukan karakter sosial masyarakat yang mendiami tempat tertentu. Hal itulah yang menjadi kegelisahan para ahli fiqh di kalangan Indonesia dalam menemukan suatu alternatif hukum yang lebih fleksible dan kontekstual. Fiqh yang dibawa dan disampaikan dari Nabi, kemudian diteruskan para sahabat, tabi’in, kemudian para ulama terasa masih begitu kaku dan tidak selalu sesuai dengan kondisi sosial dan geografis daerah tertentu. Fiqh dipahami oleh masyarakat sebagai suatu yang sangat formal, sehingga tidak jarang masyarakat merasa terbatasi ruang sosialnya. Fiqih sosial M.A Sahal Mahfudz dibuat untuk mendapatkan suatu solusi atas probem-problem fiqh yang sering menemukan kejumudan dan deadlock (jalan buntu) karena nuansa fiqh klasik yang cendrung formalistik. Dalam konteks kenegaraan, kehadiran fiqh sosial bukan diartikan untuk menandingi hukum positif yang ada, namun merupakan tawaran solutif yang ditujukan kepada umat Islam, dan tidak ada keinginan untuk mempositifkan fiqh sosial tersebut. Keberadaan fiqh sosial itu juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang berkembang dalam masyarakat. Bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi pergeseran nilai-nilai sosial yang memuncak pada pembenahan fiqh sosial yang baru karena pengaruh dari kebudayaan masyarakat yang terus berubah.Kata kunci: Fiqh Sosial, Hukum Islam, M.A. Sahal Mahfudh
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Baidowi, Ahmad. "PESAN AL-QUR’AN TENTANG DAKWAH MODERAT." Living Islam: Journal of Islamic Discourses 4, no. 1 (June 21, 2021). http://dx.doi.org/10.14421/lijid.v4i1.2779.

Full text
Abstract:
Sejarah Islam memperlihatkan bahwa keberhasilan dakwah Islam bukan dilakukan dengan cara-cara yang mempergunakan kekerasan. Alih-alih, Islam berhasil berkembang ke berbagai tempat karena disampaikan dengan cara-cara moderat, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat. Sikap moderat dan anti-kekerasan dalam menyampaikan dakwah ini bukan hanya diajarkan oleh agama melalui Al-Qur’an ataupun dicontohkan Nabi Muhammad SAW, namun juga diperankan oleh para penyampai dakwah Islam ke masyarakat. Sebagian muncul dalam konsep-konsep anti-kekerasan yang berhasil diaplikasikan dalam berbagai modelnya kepada masyarakat yang menjadi subyek dakwah. Kajian ini memperlihatkan bahwa adaptasi menjadi nilai yang penting dalam pendekatan dakwah yang moderat, sehingga mendukung keberhasilan dakwah yang dilakukan. Pendekatan psikologi-sosial-budaya dijadikan sebagai alternatif sehingga agama Islam menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat.The history of Islam shows that the success of Islamic da'wa is not through the ways of violence. Instead, Islam has succeeded in expanding to the communities in most places because it has been preached moderately so that the communities can accept Islam more easily. Moderate and non-violent attitude in conveying da'wa is not only taught by Al-Qur'an or exemplified by Prophet Muhammad SAW, but also acted by the preachers of Islam within the communities. These concepts of non-violence have been successfully applied in various models and approaches for the sake of the people as the subject of Islamic da'wa. This study shows that adaptation is an important point in a moderate approach of da'wa that support the success of the da'wa to societies. In other words, the socio-cultural and psychological approach has been the alternative way in Islamic da’wa in order that Islam becomes more easily accepted by the communities.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Khairunnisa, Cut, and M. Fikri Fadli. "PERANAN METODE PENGOBATAN ISLAM CUPPING THERAPY DALAM PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH." MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 40, no. 1 (June 19, 2016). http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v40i1.217.

Full text
Abstract:
<strong>Abstrak: </strong><em>Cupping therapy</em> sudah lama dipakai oleh sebagian umat muslim dan menempati kedudukan populer di antara berbagai metode terapi alternatif lain. Bukti-bukti penelitian medis modern juga menguatkan manfaat terapi yang dianjurkan oleh Nabi. Banyak ahli pengobatan yang mengetahui khasiat <em>cupping therapy</em> dalam mengobati penyakit. Menurut <em>International Diabetes Federation</em> (IDF), pada tahun 2013 Indonesia menempati peringkat ketujuh penderita diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh <em>cupping therapy </em>terhadap kadar glukosa darah pada pasien Klinik Sehat dr. Abdurrahman Medan tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode pra-eksperimental dengan satu kelompok <em>pre-test</em> dan <em>post-test</em> tanpa kelompok kontrol dan sampel diperoleh melalui random dengan sampel 32 orang. Berdasarkan uji Wilcoxon dengan á=0,05 didapatkan <em>p-value</em>=0,021 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata kadar glukosa darah sebelum dan setelah <em>cupping therapy</em> (<em>p-value </em>&lt; á)<em>.</em><br /> <br /><strong>Abstract: The Role of Islamic Treatment Method “Cupping Therapy” to Decrease Blood Glucose Levels</strong>. Cupping therapy has long been used by most Muslims and it has occupied as prominent position among therapeutic approaches.The proof of medical modern research lately have been supports expediency therapy which recommended by the prophet. Nowdays,many medical experts who know the benefits of cupping therapy in treating diseases. Diabetes melitus is a disease that is directly related to blood glucose levels. According to the International Diabetes Federation (IDF) in 2013, there were 382 million people suffer from diabetes melitus worldwide and Indonesia as seventh ranks in the world. This study aims to determine the effect of cupping therapy on blood glucose levels in patients of Klinik Sehat dr. Abdurrahmân Medan in 2014. The Study used pre-experimental method with one group pre-test and post-test without a control group and sample took by randomization with a sample of 32 people. Based on the Wilcoxon test with á = 0.05 obtained p-value = 0.021 that means there were a significant differences in mean blood glucose levels before and after cupping therapy (p-value &lt; á).<br /> <br /><strong>Kata Kunci:</strong> pengobatan Islam, <em>cupping therapy</em>, kadar gula darah
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Larsson, Chari. "Suspicious Images: Iconophobia and the Ethical Gaze." M/C Journal 15, no. 1 (November 4, 2011). http://dx.doi.org/10.5204/mcj.393.

Full text
Abstract:
If iconophobia is defined as the suspicion and anxiety towards the power exerted by images, its history is an ancient one in all of its Platonic, Christian, and Judaic forms. At its most radical, iconophobia results in an act of iconoclasm, or the total destruction of the image. At the other end of the spectrum, contemporary iconophobia may be more subtle. Images are simply withdrawn from circulation with the aim of eliminating their visibility. In his book Images in Spite of All, French art historian Georges Didi-Huberman questions the tradition of suspicion and denigration governing visual representations of the Holocaust, arguing we have abdicated our ethical obligation to try to imagine. This essay will argue that disruptions to traditional modes of spectatorship shift the terms of viewing from suspicion to ethical participation. By building on Didi-Huberman’s discussion of images and the spectatorial gaze, this essay will consider Laura Waddington’s 2002 documentary film Border. Waddington spent six months hiding with asylum seekers in the area surrounding the Red Cross refugee camp at Sangatte in northern France. I will argue that Waddington proposes a model of spectatorship that implicates the viewer into the ethical content of the film. By seeking to restore the dignity and humanity of the asylum seekers rather than viewing them with suspicion, Border is an acute reminder of our moral responsibility to bear witness to that which lies beyond the boundaries of conventional representations of asylum seekers.The economy managing the circulation of mainstream media images is a highly suspicious mechanism. After the initial process of image selection and distribution, what we are left with is an already homogenised collection of predictable and recyclable media images. The result is an increasingly iconophobic media gaze as the actual content of the image is depleted. In her essay “Precarious Life,” Judith Butler describes this economy in terms of the “normative processes” of control exercised by the mainstream media, arguing that the structurally unbalanced media representations of the ‘other’ result in creating a progressively dehumanised effect (Butler 146). This process of disidentification completes the iconophobic circle as the spectator, unable to develop empathy, views the dehumanised subject with increasing suspicion. Written in the aftermath of 9/11 and the ensuing War on Terror, Butler’s insights are important as they alert us to the possibility of a breach or rupture in the image economy. It is against Butler’s normative processes that Didi-Huberman’s critique of Holocaust iconoclasm and Waddington’s Border propose a slippage in representation and spectatorship capable of disrupting the homogeneity of the mass circulation of images.Most images that have come to represent the Holocaust in our collective memory were either recorded by the Nazis for propaganda or by the Allies on liberation in 1945. Virtually no photographs exist from inside the concentration camps. This is distinct from the endlessly recycled images of gaunt, emaciated survivors and bulldozers pushing aside corpses which have become critical in defining Holocaust iconography (Saxton 14). Familiar and recognisable, this visual record constitutes a “visual memory bank” that we readily draw upon when conjuring up images of the Holocaust. What occurs, however, when an image falls outside the familiar corpus of Holocaust representation? This was the question raised in a now infamous exhibition held in Paris in 2001 (Chéroux). The exhibition included four small photographs secretly taken by members of the Sonderkommando inside the Nazi extermination camp Auschwitz-Birkenau in August 1944. The Sonderkommando were the group of prisoners who were delegated the task of the day-to-day running of the crematoria. The photographs were smuggled out of the camps in a tube of toothpaste, and eventually reached the Polish Resistance.By evading the surveillance of the SS the photographs present a breach in the economy of Holocaust iconography. They exist as an exception to the rule, mere fragments stolen from beneath the all-seeing eye of the SS Guards and their watch towers. Despite operating in an impossible situation, the inmate maintained the belief that these images could provide visual proof of the existence of the gas chambers. The images are testimony produced inside the camp itself, a direct challenge to the discourse emphasising the prohibition of representation of the Holocaust and in particular the gas chambers. Figure 1 The Auschwitz crematorium in operation, photograph by Sonderkommando prisoners August 1944 © www.auschwitz.org.plDidi-Huberman’s essay marks a point of departure from the iconophobia which has stressed the unimaginable (Lanzmann), unknowable (Lyotard), and ultimately unrepresentable (Levinas) nature of the Holocaust since the 1980s. Denigrated and derided, images have been treated suspiciously by this philosophical line of thought, emphasising the irretrievable gap between representation and the Holocaust. In a direct assault on the tradition of framing the Holocaust as unrepresentable, Didi-Huberman’s essay becomes a plea to the moral and ethical responsibility to bear witness. He writes of the obligation to these images, arguing that “it is a response we must offer, as a debt to the words and images that certain prisoners snatched, for us, from the harrowing Real of their experience” (3). The photographs are not simply archival documents, but a testament to the humanity of the members of the Sonderkommando the Nazis sought to erase.Suspicion towards the potential power exerted by images has been neutralised by models of spectatorship privileging the viewer’s mastery and control. In traditional theories of film spectatorship, the spectator is rendered in terms of a general omnipotence described by Christian Metz as “an all-powerful position which is of God himself...” (49). It is a model of spectatorship that promotes mastery over the image by privileging the unilateral gaze of the spectator. Alternatively, Didi-Huberman evokes a long counter tradition within French literature and philosophy of the “seer seen,” where the object of the spectator’s gaze is endowed with the ability to return the gaze resulting in various degrees of anxiety and paranoia. The image of the “seer seen” recurs throughout the writing of Baudelaire, Sartre, Merleau-Ponty, Lacan, and Barthes, negating the unilateral gaze of an omnipotent spectator (Didi-Huberman, Ce que nous voyons).Didi-Huberman explicitly draws upon Jacques Lacan’s thinking about the gaze in light of this tradition of the image looking back. In his 1964 seminars on vision in the Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis, Lacan dedicates several chapters to demonstrate how the visual field is structured by the symbolic order, the real, symbolic and the imaginary. Following Lacan, Didi-Huberman introduces two terms, the veil-image and the tear-image, which are analogous with Lacan’s imaginary and the real. The imaginary, with its connotations of illusion and fantasy, provides the sense of wholeness in both ourselves and what we perceive. For Didi-Huberman, the imaginary corresponds with the veil-image. Within the canon of Holocaust photography, the veil-image is the image “where nobody really looks,” the screen or veil maintaining the spectator’s illusion of mastery (81). We might say that in the circulation of Holocaust atrocity images, the veil serves to anaesthetise and normalise the content of the image.Lacan’s writing on the gaze, however, undermines the spectator’s mastery over the image by placing the spectator not at the all-seeing apex of the visual field, but located firmly within the visual field of the image. Lacan writes, “in the scopic field, the gaze is outside, I am looked at, that is to say, I am the picture...I am photo-graphed” (Lacan 106). The spectator is ensnared in the gaze of the image as the gaze is reciprocated. For Didi-Huberman, the veil-image seeks to disarm the threat to the spectator being caught in the image-gaze. Lacan describes this neutralisation in terms of “the pacifying, Apollonian effect of painting. Something is given not so much to the gaze as to the eye, something that involves the abandonment, the laying down, of the gaze” (101). Further on, Lacan expresses this in terms of the dompte-regarde, or a taming of the gaze (109). The veil-image maintains the fiction of the spectator’s ascendency by subduing the threat of the image-gaze. In opposition to the veil-image is the tear-image, in which for Didi-Huberman “a fragment of the real escapes” (81). This represents a rupture in the visual field. The real is presented here in terms of the tuché, or missed encounter, resulting in the spectator’s anxiety and trauma. As the real cannot be represented, it is the point where representation collapses, rupturing the illusion of coherency maintained by the veil-image. Operating as an exception or disruption to the rule, the tear-image disrupts the image economy. No longer neutralised, the image returns the gaze, shattering the illusion of the all-seeing mastery of the spectator. Didi-Huberman describes this tearing exception to the rule, “where everyone suddenly feels looked at” (81).To treat the Sonderkommando photographs as tear-images, not veil-images, we are offered a departure from classic models of spectatorship. We are forced to align ourselves and identify with the “inhuman” gaze of the Sonderkommando. The obvious response is to recoil. The gaze here is not the paranoid Sartrean gaze, evoking shame in the spectator-as-voyeur. Nor are these photographs reassuring narcissistic veil-images, but will always remain the inimical gaze of the Other—tearing, ripping images, which nonetheless demand that we do not turn away. It is an ethical response we must offer. If the power of the tear-image resides in its ability to disrupt traditional modes of representation and spectatorship, I would like to discuss this in relation to Laura Waddington’s 2004 film Border. Waddington is a Brussels based filmmaker with a particular interest in documenting the movement of displaced peoples. Just as the Sonderkommando photographs were taken clandestinely from beneath the gaze of the SS, Waddington evaded the surveillance of the French police and helicopter patrols as she bore witness to the plight of asylum seekers trying to reach England. Border presents her stolen testimony, operating outside the familiar iconography of mainstream media’s representation of asylum seekers. If we were to consider the portrayal of asylum seekers by the Australian media in terms of the veil-image, we are left with a predictable body of homogenised and neutralised stock media images. The myth of Australia being overrun by boat people is reinforced by the visual iconography of the news media. Much like the iconography of the Holocaust, these types of images have come to define the representations of asylum seekers. Traceable back to the 2001 Tampa affair images tend to be highly militarised, frequently with Australian Navy patrol boats in the background. The images reinforce the ‘stop the boats’ rhetoric exhibited on both sides of politics, paradoxically often working against the grain of the article’s editorial content. Figure 2 Thursday 16 Apr 2009 there was an explosion on board a suspected illegal entry vessel (SIEV) 36 in the vicinity of Ashmore Reef. © Commonwealth of Australia 2011Figure 3 The crew of HMAS Albany, Attack One, board suspected illegal entry vessel (SIEV) 38 © Commonwealth of Australia 2011 The media gaze is structurally unbalanced against the suffering of asylum seekers. In Australia asylum seekers are detained in mandatory detention, in remote sites such as Christmas Island and Woomera. Worryingly, the Department of Immigration maintains strict control over media representations of the conditions inside the camps, resulting in a further abstraction of representation. Geographical isolation coupled with a lack of transparent media access contributes to the ongoing process of dehumanisation of the asylum seekers. Judith Butler describes this as “The erasure of that suffering through the prohibition of images and representations” (146). In the endless recycling of images of leaky fishing boats and the perimeters of detention centres, our critical capacity to engage becomes progressively eroded. These images fulfil the function of the veil-image, where nobody really looks as there is nothing left to see. Figure 4 Asylum seekers arrive by boat on Christmas Island, Friday, July 8, 2011. AAP Image/JOSH JERGA Figure 5 Woomera Detention Centre. AAP Image/ROB HUTCHISON By reading Laura Waddington’s Border against an iconophobic media gaze, we are afforded the opportunity to reconsider this image economy and the suspicious gaze of the spectator it seeks to solicit. Border reminds us of the paradoxical function of the news image—it shows us everything, but nothing at all. In a subtle interrogation of our indifference to the existence of asylum seekers and their suffering, Border is a record of the six months Waddington spent hidden in the fields surrounding the French Red Cross camp at Sangatte in 2002. Sangatte is a small town in northern France, just south of Calais and only one and a half hours’ drive from Paris. The asylum seekers are predominantly Afghan and Iraqi. Border is a record of the last stop in their long desperate journey to reach England, which then had comparatively humane asylum seeking policies. The men are attempting to cross the channel tunnel, hidden in trucks and on freight trains. Many are killed or violently injured in their attempts to evade capture by the French police. Nevertheless they are sustained by the hope that England will offer them “a better life.” Figure 6 Still from Border showing asylum seekers in the fields of Sangatte ©Laura Waddington 2002Waddington dedicates the film, “for those I met.” It is an attempt to restore the humanity and dignity of the people who are denied individual identities. Waddington refuses to let “those who I met” remain nameless. She names them—Omar, Muhammad, Abdulla—and narrates their individual stories. Border is Waddington’s attempt to return a voice to those who have been systematically dehumanised, by-products of wars in Iraq and Afghanistan. In his classic account of documentary, Bill Nichols describes six modes of documentary representation (99–138). In Border, Waddington is working in the participatory mode, going into the field and participating in the lives of others (115). It is via this mode of representation that Waddington is able to heighten the ethical encounter with the asylum seekers. Waddington was afforded no special status as a filmmaker, but lived as a refugee among the asylum seekers during the six months of filming. At no point are we granted visible access to Waddington, yet we are acutely aware of her presence. She is physically participating in the drama unfolding before her. At times, we become alert to her immediate physical danger, as she too runs through the fields away from the police and their dogs.The suspicious gaze is predicated on maintaining a controlled distance between the spectator and the subject. Michele Aaron (82–123) has recently argued for a model of spectatorship as an intrinsically ethical encounter. Aaron demonstrates that spectatorship is not neutral but always complicit—it is a contract between the spectator and the film. Particularly relevant to the purposes of this essay is her argument concerning the “merging gaze,” where the gaze of the filmmaker and spectator are collapsed. This has the effect of folding the spectator into the film’s narrative (93). Waddington exploits the documentary medium to implicate the spectator into the structure of the film. It is in Waddington’s full participatory immersion into the documentary itself that undermines the conventional distance maintained by the spectator. The spectator can no longer remain neutral as the lines of demarcation between filmmaker and spectator collapse.Waddington was shooting alone with a small video camera at night in extremely low-light conditions. The opening scene is dark and grainy, refusing immediate entry into the film. As our eyes gradually adjust to the light, we realise we are looking at a young man, concealed in the bushes from the menacing glare of the lights of oncoming traffic. Waddington does not afford us the all-perceiving spectatorial mastery over the image. Rather, we are crouching with her as she records the furtive movements of the man. The background sound, a subtle and persistent hum, adds to a growing disquiet, a looming sense of apprehension concerning the fate of these asylum seekers. Figure 7 Grainy still showing the Red Cross camp in Border ©Laura Waddington 2002Waddington’s commentary has been deliberately pared back and her voice over is minimal with extended periods of silence. The camera alternates from meditative, lingering shots taken from the safety offered by the Red Cross camp, to the fields where the shots are truncated and chaotically framed. The actions of the asylum seekers jerk and shudder, producing an image akin to the flicker effect of early silent cinema because the film is not running at the full rate of 24 frames per second. Here the images become blurred to the point of unintelligibility. Like the Sonderkommando photographs, the asylum seekers exist as image-fragments, shards stolen by Waddington’s camera as she too works hard to evade capture. Tension gradually increases throughout the film, cumulating in a riot scene after a decision to close the camp down. The sweeping search lights of the police helicopter remind us of the increased surveillance undertaken by the border patrols. Without the safety of the Red Cross camp, the asylum seekers are offered no protection from the increasing police brutality. With nowhere else to go, the asylum seekers are forced into the town of Sangatte itself, to sleep in the streets. They are huddled together, and there is a faintly discernible chant repeating in the background, calling to the UN for help. At points during the riot scene, Waddington completely cuts the sound, enveloping the film in a haunting silence. We are left with a mute montage of distressing still images recording the clash between the asylum seekers and police. Again, we are reminded of Waddington’s lack of immunity to the violence, as the camera is deliberately knocked from her hand by a police officer. Figure 8 Clash between asylum seekers and police in Border ©Laura Waddington 2002It is via the merged gaze of the camera and the asylum seekers that Waddington exposes the fictional mastery of the spectator’s gaze. The fury of the tear-image is unleashed as the image-gaze absorbs the spectator into its visual field. No longer pacified by the veil, the spectator is unable to retreat to familiar modes of spectatorship to neutralise and disarm the image. With no possible recourse to desire and fantasy, the encounter becomes intrinsically ethical. Refusing to be neutralised by the Lacanian veil, the tear-image resists the anaesthetising effects of recycled and predictable images of asylum seekers.This essay has argued that a suspicious spectator is the product of an iconophobic media gaze. In the endless process of recycling, the critical capacity of the image to engage the viewer becomes progressively disarmed. Didi-Huberman’s reworking of the Lacanian gaze proposes a model of spectatorship designed to disrupt this iconophobic image economy. The veil-image asks little from us as spectators beyond our complicity. Protected by the gaze of the image, the fiction of the all—perceiving spectator is maintained. By abandoning this model of spectatorship as Didi-Huberman and Waddington are asking us to do, the unidirectional relationship between the viewer and the image is undermined. The terms of spectatorship may be relocated from suspicion to an ethical, participatory mode of engagement. We are laying down our weapons to receive the gaze of the Other. ReferencesAaron, Michele. Spectatorship: The Power of Looking On. London: Wallflower, 2007.Border. Waddington, Laura. Love Stream Productions, 2004.Butler, Judith. Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence.London: Verso, 2004.Chéroux, Clément, ed. Mémoires des Camps. Photographies des Camps de Concentration et d'Extermination Nazis, 1933-1999. Paris: Marval, 2001.Didi-Huberman, Georges. Images in Spite of All: Four Photographs from Auschwitz. Trans. Lillis, Shane B. Chicago: U of Chicago P, 2008.Didi-Huberman, Georges. Ce Que Nous Voyons, Ce Qui Nous regarde.Critique. Paris: Editions de Minuit, 1992.Lacan, Jacques. The Four Fundamental Concepts of Psycho-Analysis.Trans. Sheridan, Alan. Harmondsworth: Penguin, 1986.Levinas, Emmanuel. "Reality and its Shadow." The Levinas Reader. Ed. Hand, Seán. Oxford: Blackwell, 1989. 130–43.Lyotard, Jean-François. The Differend: Phrases in Dispute. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988.Metz, Christian. The Imaginary Signifier: Psychoanalysis and the Cinema. Bloomington: Indiana U P, 1982.Nichols, Bill. Introduction to Documentary. Bloomington: Indiana U P, 2001.Saxton, Libby. Haunted Images: Film, Ethics, Testimony and the Holocaust. London: Wallflower, 2008.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography