To see the other types of publications on this topic, follow the link: Nasab.

Journal articles on the topic 'Nasab'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Nasab.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Abu Yazid Adnan Quthny and Ahmad Muzakki. "Urgensi Nasab dalam Islam dan Silsilah Nasab Habaib di Indonesia." Asy-Syari’ah : Jurnal Hukum Islam 7, no. 2 (June 25, 2021): 131–51. http://dx.doi.org/10.55210/assyariah.v7i2.592.

Full text
Abstract:
Diantara hikmah disyariatkannya pernikahan adalah untuk menentukan status keturunan. Menurut Islam anak yang lahir dengan jalan pernikahan yang sah memiliki status nasab yang jelas. Dalam tulisan ini penulis memaparkan tentang keberadaan habaib di Indonesia, kedudukan nasab dalam Islam, penentuan nasab pada zaman Nabi dan zaman modern serta pandangan orang arab terhadap nasab. Setelah melalui pembahasan didapartkan kesimpulan bahwa Bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat memperhatikan dan menjaga nasab dan hubungan kekerabatan, karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka. Sedangkan dalam hukum Islam, nasab mempunyai peran yang sangat penting. Dengan jelasnya status nasab seseorang, hukum-hukum yang berkait dengan hal ini juga akan jelas. Semisal tentang perkawinan, warisan dan hubungan mahram.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Achmad Beadie Busyroel Basyar. "PERLINDUNGAN NASAB DALAM TEORI MAQASHID SYARIAH." MAQASHID 3, no. 1 (May 11, 2020): 1–16. http://dx.doi.org/10.35897/maqashid.v3i1.286.

Full text
Abstract:
Kemaslahatan sebagai inti dari maqâshid al-syarî‘ah, memiliki peranan penting dalam pengembangan hukum Islam. Sebab hukum Islam diturunkan dengan tujuan untuk menghadirkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu kemaslahatan yang diayomi adalah perlindungan nasab. Nasab adalah fitrah manusia, karena manusia memiliki naluri beregenerasi. Di sisi lain, manusia memiliki fitrah kepatuhan kepada Tuhan. Sehingga dua fitrah tersebut terakumulasi pada perlindungan nasab. Perlindungan nasab berkenaan dengan kuantitas di satu sisi, dan kualitas di sisi lain. Proporsional titik yang tepat dari keduanya dilihat dari lingkup realitas yang terikat. Perlindungan nasab tidak hanya pada regenerasi saja, tapi juga mencakup pada segala perantara (wasilah) yang menunjangnya, baik pada kuantitas maupun kualitas. Pun demikian, perlindungan nasab mengakomodir sisi potensi ke depan (janib al-wujud) untuk dioptimalkan, dan sisi riil terkini untuk dipertahankan (janib al-’adam).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Muzakki, Ahmad. "Kafaah dalam Pernikahan Endogami Pada Komunitas Arab di Kraksaan Probolinggo." Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 1, no. 1 (April 2, 2017): 15–28. http://dx.doi.org/10.35316/istidlal.v1i1.96.

Full text
Abstract:
In Tradition of Habaib obligation similarity nasab in forbidden marriage between syarifah women and non Sayyid men because there is not kufu` between they and not continue of nasab by Rasulullah.The purpose of this study was to determine the views tradition of marriage Syarifah in Arabic village Kraksaan Probolinggo and to determine factor of forbidden marriage between syarifah women and non Sayyid men perspective Islamic law. Based on the results of research the traditional views of marriage Syarifah in Arabic village Kraksaan Probolinggo same of tradition other habaib that is forbidden marriage between syarifah women and non Sayyid men because there is not kufu` between they. And other factor cause obligation similarity nasab in marriage Syarifah in Arabic village Kraksaan Probolinggo is factor of ancestry, social and religion followed. In this problem there is difference between ulama of four madzhab about similarity nasab in marriage Syarifah. According to Malikiyah kafaah just in religion, while three madzhab kafaah nasab is important component in marriage, then Syafi`iyyah and Hanabilah obligation of marriage between Syarifah women and non Sayyid men for keep noble and continue of nasab.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Faisal. "Ketentuan Batas Usia Wali Nasab Dalam Pernikahan." Jurnal Al-Fikrah 11, no. 1 (June 29, 2022): 45–58. http://dx.doi.org/10.54621/jiaf.v11i1.307.

Full text
Abstract:
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah disebutkan salah satu syarat bagi wali nikah adalah baligh (berumur sekurang-kurangnya 19 tahun). Jadi usia baligh menurut ketentuan PMA 11/2007 adalah 19 tahun, seorang wali nasab yang telah baligh tetapi belum berusia 19 tahun, maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Sedangkan Fiqh Syafi’īyah tidak seperti demikian. Berdasarkan hal di atas maka akan nampak sebuah kesenjangan dalam menetapkan usia baligh. Peraturan Menteri Agama (PMA) menentukan usia baligh minimalnya 19 untuk sah seorang menjadi wali nasab. Sedangkan Fiqh Syafi’īyah tidak seperti demikian. Sehingga butuh sebuah analisa terhadap ketentuan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Dari segi jenisnya penelitian ini adalah penelitian kualitatif, bersifat deskriptif analisis, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan usia wali nasab menurut Pasal 18 PMA No. 11 Tahun 2007 adalah 19 tahun, seorang wali nasab yang belum berusia 19 tahun maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Dalam Fiqh Syāfi’iyah tidak ada ketentuan usia wali nasab dalam pernikahan harus mencapai 19 tahun, bahkan orang yang telah berusia 15 tahun pun sah menjadi wali nikah, karena menurut Fiqh al-Syāfi’iyah wali dianggap baligh apabila ia telah mencapai ihtilam yaitu apabila telah mengeluarkan air mani baik dalam mimpi atau dalam keadaan terjaga, sehingga jika seorang wali yang telah berusia lima belas tahun menikahkan saudara perempuannya sedangkan ia belum mencapai umur 19 tahun maka nikahnya dianggap sah, karena perwaliannya dianggap sah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Nurlina and Andi Jusran Kasim. "KETIADAAN PERSETUJUAN WALI NASAB UNTUK MEMPELAI WANITA SEBAGAI ANALISIS PENUNJUKAN WALI HAKIM STUDI DI PENGADILAN AGAMA WATAMPONE KELAS I A." QISTHOSIA : Jurnal Syariah dan Hukum 3, no. 2 (December 16, 2022): 72–85. http://dx.doi.org/10.46870/jhki.v3i2.308.

Full text
Abstract:
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab ketiadaan persetujuan wali nasab untuk mempelai wanita dan prosedur penunjukan wali hakim di pengadilan Agama Watampone. Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang menggunakan metode pendekatan teologis normatif dan pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Adapun sumber data yaitu beberapa hakim di Pengadilan Agama Watampone dan Kepala KUA. Dari hasil penggunaan metode-metode tersebut, peneliti dapat mengemukakan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa faktor penyebab ketiadaan persetujuan wali nasab untuk mempelai wanita yakni dikarenakan mempelai wanita memang tidak memiliki wali nasab, wali nasab tidak bisa dihadirkan, wali nasab yang gaib atau tidak diketahui alamatnya, kemudian wali nasab tidak setuju atas pernikahan tersebut. Sementara untuk prosedur penunjukan wali hakim di Pengadilan Agama Watampone telah berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku seperti perkara permohonan pada umumnya dimulai dari pengajuan permohonan dan berakhir dengan putusan. Kemudian setelah adanya putusan dari Pengadilan Agama maka pernikahan sudah dapat dilangsungkan dengan hak perwalian dialihkan ke wali hakim. Akan tetapi, putusan tersebut secara otomatis batal ketika wali nasabnya sudah setuju menjadi wali nikah atau sudah bisa hadir untuk memberikan hak perwaliannya dalam pernikahan. Kata Kunci : Rukun nikah, Wali, Pernikahan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Sakirman, Sakirman. "Telaah Hukum Islam terhadap Nasab Anak." HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 12, no. 2 (January 22, 2016): 357. http://dx.doi.org/10.24239/jsi.v12i2.398.357-375.

Full text
Abstract:
The classical scholars of jurisprudence agreed that nasab child has only nasab relationship to his parents, nasab determination is one of the most important rights of a child and is something that a lot of impact on the child's personality and future. Fiqh scholars say that the concept nasab is one solid foundation in building a domestic life that can bind between individuals based on the unity of blood. In Indonesia Islamic law, the problem of the origin of the child, there are several different legal provisions. It is influenced by a plurality of the nation, especially in terms of religion and customs, the applicable law is varied. There are laws, ie Islamic law (fiqh) formulated in a fixed rule the Islamic Law Compilation (KHI).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Muhamad Hasan Sebyar and A. Fakhruddin. "PENGAMBILALIHAN WEWENANG WALI NASAB DALAM PERKARA WALI ADHAL PERSPEKTIF PLURALISME HUKUM (Studi Kasus Pandangan Hakim dan Tokoh Masyarakat Kabupaten Pasuruan)." ADHKI: Journal of Islamic Family Law 1, no. 2 (February 4, 2020): 73–91. http://dx.doi.org/10.37876/adhki.v1i2.19.

Full text
Abstract:
Rapuhnya hubungan ayah atau keluarga ayah dengan anak gadis adalah salah satu sebab wali adhal. Menurut tokoh masyarakat putusan wali adhal itu membingungkan, karena mengabaikan wali nasab dalam pernikahan, di sisi lain putusan hakim mengizinkan wali adhal demi maslahat agar terhindar dari zina. Perkara wali adhol di Kabupaten Pasuruan pada tahun 2016 termasuk perkara yang sering terjadi hampir tiap bulan. Adanya perbedaan pandangan antara hakim dan tokoh masyarakat Kabupaten Pasuruan tentang wali adhal perlu dianalisis secara mendalam, agar dapat menjadi bahan pertimbangan tentang wali adhal guna mengurangi kasus wali adhal di Pasuruan. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dan kualitatif deskriptif, data hasil wawancara dan dokumentasi dianalisis dengan teori pluralisme hukum. Hasil penelitian menjelaskan bahwa perkara wali adhal jika ditinjau dari teori pluralisme hukum akan muncul tiga dimensi yaitu pertama, jika seorang wali nasab tidak ada atau meninggal maka hakim dengan bukti yang ada berhak mengambilalih kekuasaan wali nasab dan memindahkannya kepada pihak yang berwenang. Kedua, jika wali nasab masih ada pernikahan itu harus dilaksanakan dengan persetujuan wali nasab. Ketika wali nasab enggan atau tidak hadir maka niat untuk menikah hendaknya dibatalkan. Ketiga, jika wali adhol masih ada, namun karena alasan yang tidak dibenarkan hukum enggan untuk menikahkan anaknya, maka hakim dapat mengizinkan wali adhal untuk menghindari zina dan mewujudkan keadilan bagi anak perempuan yang telah dikucilkan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Nasaiy Aziz, Nasaiy Aziz, and Muksal Mina Muksal Mina. "Nasab Anak yang Lahir di luar Nikah: Analisis Fatwa MPU Aceh Nomor 18 Tahun 2015 dan Keputusan MK Nomor 46/PUU/-VIII/2010." SAMARAH: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 1, no. 1 (July 17, 2017): 72. http://dx.doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1571.

Full text
Abstract:
Status hukum anak luar nikah masih beragam. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan adanya hubungan status keperdataan anak dengan ayah biologisnya. Sementara itu, MPU Aceh juga telah mengeluarkan fatwa yang sebaliknya dengan Putusan MK. Masalah yang diteliti adalah bagaimana status hukum anak luar nikah dilihat dari berbagai perspektif, bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam keputusan Nomor 46/PUU/-VIII/2010 terkait dengan penentuan status keperdataan anak luar nikah dan bagaimana tinjauan fatwa MPU Aceh No 18 Tahun 2015 tentang nasab anak yang lahir diluar nikah (anak zina) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang nasab anak yang lahir diluar nikah. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan studi kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Hasil analisa penulis menunjukkan bahwa dalam hukum Islam, nasab anak terputus dengan laki-laki pezina, begitu juga yang dimuat dalam Undang-Undang Perkawinan. Adapun pertimbangan Hakim MK adalah dengan pertimbangan kemaslahatan dan perlindungan anak. Adapun tinjauan fatwa MPU Aceh terhadap putusan MK yaitu ada dua. Pertama, menetapkan terputusnya nasab anak pada laki-laki pezina yang sebelumnya MK tetap menetapkannya. Kedua, Mahkamah Konstitusi menganggap deskriminasi terkait dengan pemutusan hubungan perdata anak luar nikah dengan ayah biologis, sedangkan MPU Aceh meninjau bahwa pemutusan hubungan nasab dan keperdataan anak dengan laki-laki zina dan menisbatkannya kepada ibu dan keluarga ibu anak, sebagai bentuk perlindungan nasab, bukan sebagai bentuk deskriminasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Fahmi, Mutiara, and Fitiya Fahmi. "Penetapan Nasab Anak Mulā’anah melalui Tes DNA (Studi atas Metode Istinbāṭ Yūsuf al-Qaraḍāwī)." SAMARAH: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 3, no. 1 (August 9, 2019): 133. http://dx.doi.org/10.22373/sjhk.v3i1.5024.

Full text
Abstract:
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini mampu menelusuri jejak nasab yang disebut dengan DNA. DNA merupakan jenis asam nukleat dalam tubuh manusia yang diduga kuat dapat digunakan sebagai alat ukur keterhubungan tali darah antara anak dengan orang tua, baik dalam kasus anak zina maupun anak mulā’anah. Penelitian ini mengkaji pendapat Yūsuf Al-Qaraḍāwī tentang penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA. Masalah yang didalami adalah bagaimana pandangan Yūsuf al-Qaraḍāwī tentang hukum penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA, dan bagaimana metode istinbāṭ yang digunakan Yūsuf al-Qaraḍāwī dalam hal tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan jenis studi pustaka (library research). Data dikumpulkan dari bahan kepustakaan dan dianalisa dengan cara deskriptif-analisis. Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa pandangan Yūsuf al-Qaraḍāwī tentang hukum penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA tidak dapat dilakukan oleh suami. Penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA dapat dilakukan oleh isteri. Isteri dapat meminta hakim untuk tes DNA terhadap anak yang disanksikan. Metode istinbāṭ Yūsuf al-Qaraḍāwī terhadap penetapan nasab anak mulā’anah melalui tes DNA cenderung menggunakan metode penalaran istiṣlāḥiyyah, satu bentuk penalaran yang bertumpu pada pertimbangan kemaslahatan atau tujuan dari pensyariatan. Penggunaan tes DNA menurutnya tidak hanya bermanfaat dan memberi maslahat bagi isteri, tetapi juga suami, dan anak mulā’anah. Terhadap masalah penelitian ini, terdapat beberapa saran bahwa hendaknya, Yūsuf al-Qaraḍāwī mengurai lebih jauh tentang implikasi terkait bukti tes DNA terkait kejelasan status anak bagi suaminya dalam hal hak-ahak anak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Hafas, Imam. "PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN PADEMAWU KABUPATEN PAMEKASAN." Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies 4, no. 1 (August 31, 2022): 74. http://dx.doi.org/10.21154/syakhsiyyah.v4i1.3941.

Full text
Abstract:
Dalam perkawinan yang ada di Indonesia mewajibkan suatu wali nikah. Dimana wali nikah yang dimaksud adalah nasab dari seseorang untuk menjadi wali akan suatu perkawinan tersebut. Berbicara tentang wali nikah yang menjadi syarat wajib dalam suatu perkawinan, tidak memungkinkan akan tidak adanya wali nikah yang secara nasab. Dimana adanya perkawinan dalam hal wali nikah dapat terganti dengan adanya wali hakim, selain wali nasab yang dimaksud, wali hakim adalah sebagai pengganti dan secara hukum Islam dan hukum positif sah dalam penelitian ini mencoba untuk mengkaji akan suatu pelaksanaan yang ada di KUA Pademawu Pamekasan dengan suatu rumusan yaitu bagaimana pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan wali hakim di KUA Pademawu Pamekasan? Dan apa saja faktor penyebab terjadinya pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan wali hakim di KUA tersebut? Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan field reaserch dan metode kualitatif serta analisis yang bersifat diskriptif dengan alur berfikit secara deduktif dan indukti. Sedikit temuan dalam kajian ini menunjukkan bahwa tidak adanya wali nasab, wali nasab telah meninggal dunia. Serta wali adhal yang tidak bisa menjadi wali hakim yang disebabkan karena harus menunggu suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama sebagai suatu acuan hukum dalam menjadi wali hakim dalam suatu pernikahan yang ada di KUA.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Chaq, Moh Dliya'ul. "Nasab Anak dalam Hukum Islam; Membaca Peluang Sains dan Teknologi dalam Penetapan Nasab." Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 6, no. 1 (August 15, 2018): 60–75. http://dx.doi.org/10.52431/tafaqquh.v6i1.130.

Full text
Abstract:
The diversity of opinions about childbirth, especially children resulting from illegitimate relationships (zina), interfaith marriages, marriages that are not registered so that their children are not legally recognized in Indonesia seems to cause practitioners of Islamic law (Indonesia) to still not determine an agreement about the status of the child in the problem. In addition, there is still no courage to use science and technology as one of the mechanisms in determining language. Based on this, the focus of the study of this article is to try to read and explore the opportunities for using science and technology in determining how a child is born into a marriage bond. By using in-depth literature data analyzed content, it can be concluded that science and technology have the opportunity as a medium to determine the language of a child, especially for children born in marital and child ties resulting from marriage under hand
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Jamal, Jamal. "Pergeseran konsep kufu’ menurut masyarakat keturunan Arab." Ulumuddin 11, no. 1 (October 23, 2019): 1. http://dx.doi.org/10.22219/ulum.v11i1.10093.

Full text
Abstract:
This article aims to deal with the questionsof that does the concept of kufu’ influence marriage in the circle of Muslim-Arab creoles society? Why it happens and what are the relevant factors conditioning the phenomenon of marriage? Applying sociology of law in approaching the case, this article finds that although in the Arab-Muslim tradition kufu’ (equity) which means nasab(descent) considered can guarantee and strengthen a harmonic marriage relation, understanding on the nasab concept has shifted significantly. This article argues that nasab in the context of modern society has not become a primary reference in deciding marriage.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Syafi'i, Imam, and Muhammad Ihwan. "Studi Analisis Perbandingan Madzhab tentang Perkawinan Ayah dengan Anak Luar Nikah." HUMANISTIKA : Jurnal Keislaman 7, no. 1 (January 30, 2021): 92–111. http://dx.doi.org/10.55210/humanistika.v7i1.486.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengkaji tentang pandangan fuqaha' empat madzhab terkait anak luar nikah. Lebih spesifik yaitu masalah anak zina terkait nasab dan menikahinya ayah terhadap anak tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu mendeskripsikan pandangan fuqaha' empat madzhab tentang anak luar nikah. Dalam masalah nasab fuqaha' empat madzhab sepakat bahwasannya anak luar nikah tidak dapat hak sedikitpun dari ayah biologisnya. Termasuk sebagai implikasi tidak adanya nasab yaitu tidak berhak juga mengenai warisan dan nafkah. Sedangkan terkait tentang masalah boleh tidaknya seorang laki-laki menikahi anak kandungnya yang dilahirkan dari hubungan zina, fuqaha' empat madzhab berbeda pendapat
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Zamani, Saif 'Adli. "PENGHULU SEBAGAI WALI HAKIM DALAM AKAD NIKAH (Studi Terhadap Penghulu Kantor Urusan Agama di Wilayah Kota Yogyakarta)." Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 12, no. 2 (October 29, 2020): 173. http://dx.doi.org/10.14421/ahwal.2019.12205.

Full text
Abstract:
Penghulu is a civil servant posted in the Office or Religious Affairs who has an obligation to become an marriage registrar. Despite as a marriage registrar, on behalf of the state, penghulu also has a duty to become marriage guardian (wali hakim) of bride candidate who does not have marriage guardian or the guardian refuses to become her guardian (taukil wali) . This paper comes to visit the practice of taukil wali and wali hakim among marriage registrars in Yogyakarta. Based on phenomenological perspective and gocusing on the reasons behind the practice of taukil wali and wali hakim, this article argued that there are two varians of taukil wali, e.i. tawkīl wali bi al-lisān and tawkīl wali bi al-lisān. Meanwhile, some reasons behind the practice of wali hakim are: the bride candidate does not have lineage guardian, missing guardian (mafqūd), the guardian rejects to wed the bride, and the guardian has legal obstacles.[Penghulu merupakan Pegawai Negeri Sipil yang bertugas sebagai pegawai pencatat perkawinan yang berada pada Kantor Urusan Agama (KUA) di setiap Kecamatan. Selain bertugas sebagai Pegawai Pencatat Nikah, penghulu juga mempunyai tugas menjadi wali hakim bagi calon mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali nasab atau karena sebab tertentu wali nasab tidak dapat menikahkannya. Tulisan ini membahas tentang praktik taukil wali kepada penghulu dan penghulu sebagai wali hakim di KUA Kota Yogyakarta. Fokus utama kajian tulisan ini adalah jenis taukil wali dan alasan para penghulu menjadi wali hakim. Data utama dari tulisan ini adalah hasil wawancara terhadap lima belas penghulu yang ada di empat belas KUA Kota Yogyakarta. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi yang berfokus pada pengalaman individu para penghulu, tulisan ini menyatakan bahwa terdapat dua jenis taukil wali kepada para penghulu di Kota Yogyakarta, yaitu taukil wali dengan ucapan langsung (tawkīl wali bi al-lisān) dan taukil wali dengan tulisan (tawkīl wali bi al-kitābah). Selain itu, terdapat beberapa sebab para penghulu menjadi wali hakim yaitu wali nasab habis, tidak mempunyai wali nasab, wali nasab mafqūd (tidak diketahui keberadaannya), wali nasab adhal (tidak mau menikahkan) atau wali nasab berhalangan secara hukum.]
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Al Amruzi, Fahmi. "NASAB ANAK DARI PERKAWINAN SIRI." Al-Adl : Jurnal Hukum 14, no. 1 (January 18, 2022): 1. http://dx.doi.org/10.31602/al-adl.v14i1.5834.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Leder, Stefan. "Nasab as Idiom and Discourse." Journal of the Economic and Social History of the Orient 58, no. 1-2 (April 10, 2015): 56–74. http://dx.doi.org/10.1163/15685209-12341371.

Full text
Abstract:
Contemporary Bedouin-related publications about tribal groups reveal a persistent interest in lineages. This article places this phenomenon within the larger framework of Bedouin self-representation and explores the nature and specific uses of the complex and polysemic notion ofnasabin treatises and speech. The ambiguity resulting from a tension between the pragmatic context of local articulation and circumstantial (re-)definition and the ideological significance, purportedly unchangeable and defined character and moral value ofnasabis reflected in historical and modern discourses as well as in pervasive references to tribal groups as being defined bynasab. The particular concomitance of practical and ideological aspects is the reason for the lasting impact of this notion, as its structure allows for the negotiation of both political issues and individual and collective identities. The publications considered here, mostly from Syria, Jordan, and Iraq, vary between an affirmative stance that often seeks to define prestigious lineages and an attempt to balance the obvious uncertainties of the data with an interest in establishing the identity of tribal groups and narratives referring to descent. As Bedouin lore puts it, the concept of belonging defined by origins in terms of agnatic descent (nasab) is challenged, and sometimes superseded, by the affinity established through locality and cohabitation.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Syahriyati, Laili ‘Izza. "LEGISLASI ANAK BIOLOGIS." Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 15, no. 2 (January 18, 2020): 269–95. http://dx.doi.org/10.24239/rsy.v15i2.486.

Full text
Abstract:
Natural child only have a nasab from his mother. Constitutional Court No.46/PUU- VIII/2010 add a child outside of marriage also connected to the biological father in civil. This provision aims to provide fair legal protection and certainty about child born. But, Indonesian Religious Leader (MUI) provide fatwa No 11/2012 about the position of the natural child and the treatment of it. This research will discuss about Hadith study is related to biological child legislation and legal content in it. The type of research is yuridis-normative. This research analizes law phenomena with nash, hadits and opinion of fiqh scholars about that. The Research result is HR.Abu Daud- 2266, HR.Bukhari ke-6319, HR.Bukhari- 4903 talk about natural child has nasab to the mother only. Next, HR.Bukhari ke-1271 about a child is always born with fitrah and can’t accept guilt of his parents. Jumhur scholars besides Hanafiyyah agreed about natural child has nasab with mother’s. But, Hanafiyyah is explain natural child have conecting nasab with biological father because his father and profeble.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Pradani, Hanif Nur. "Nikah dengan Dua Akad dan Dua Wali yang Berbeda Perspektif Maslahah di KUA Wonokromo Surabaya." AL-HUKAMA' 9, no. 2 (December 17, 2019): 399–432. http://dx.doi.org/10.15642/alhukama.2019.9.2.399-432.

Full text
Abstract:
This paper discusses the implementation of marriage with two different contracts and trustees at the Office of Religious Affairs (KUA) in Wonokromo, Surabaya. The data in this article is collected by documentation and interview with the head of KUA of Wonokromo and witnesses to marriage and analyzed using descriptive analysis technique. In the case of this marriage, the first marriage contract uses a nasab guardian because the marriage officer (penghulu) knows his nasab guardian is Muslim. Then the second contract uses the judge guardian because in the bride’s family card, the guardian is Christian. Even though it has been married by a nasab guardian, the head of KUA of Wonokromo listed in the marriage certificate is the judge guardian that the supporting documents in the marriage require the use of a judge’s guardian. This implementation is included in the maslahah mulghah because the use of the contract with the judge guardian is rejected by the proposition that he knew that the nasab guardian was Muslim. This means that if there is a legal guardian who has the right to marry, then the judge guardian does not need to be used.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Abidin, Zainal. "ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PENGHULU DALAM PENETAPAN WALI PADA PERNIKAHAN DI KUA KECAMTAN." Mamba'ul 'Ulum 16, no. 1 (April 20, 2020): 52–68. http://dx.doi.org/10.54090/mu.5.

Full text
Abstract:
Marriage guardianship is something that is very important and is one of the pillars of marriage. Because the existence of a wali will determine whether a marriage is valid or not. There are two types of guardians in marriage, namely guardians nasab and guardians of judges. Guardianship or guardian in this marriage cannot be separated from nasab or hereditary problems, because with a legal marriage the aim is to maintain the nasab properly, regularly and uninterruptedly. In determining the marriage guardian, the headman has a very important role, which can determine whether a person can be guardian or not, and a marriage is with the guardian nasab or guardian judge. This research is a normative juridical research, with descriptive research type. The method of data collection is done by examining primary, secondary and tertiary legal materials and by making questionnaires to the princes by random means. The method used is descriptive qualitative analysis. The results showed that the prelates were in the same trusteeship issue with the determination of different guardians. The head of the District Aagama Affairs Office stipulates with the guardians of nasab while the other head of the District Office of Religious Affairs determines with the guardians of judges, there is even a determination of trustees based on the results of deliberations between the headman, bride and parents, according to the conscience and awareness of the parties. This can occur because the Marriage Law has not yet explicitly stipulated the determination of guardians, so the princes set it with understanding.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Darmawan, Darmawan. "Kewarisan Anak dalam Kandungan, Anak Zina dan Anak Li’an." Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 21, no. 2 (December 18, 2018): 319–36. http://dx.doi.org/10.15642/alqanun.2018.21.2.319-336.

Full text
Abstract:
Anak yang ada dalam kandungan akan mendapatkan harta warisan apabila (1) terlahir dalam kondisi hidup, dan (2) Anak tersebut sudah ada di dalam kandungan ibunya, pada saat muwarrith tersebut meninggal dunia. Anak terlahir dari hasil perzinaan hanyalah ada kaitan nasab dan waris dengan ibu saja. Anak li’an adalah anak yang terlahir dari wanita yang didakwa (dituduh) oleh suaminya telah berbuat perzinaan, sedangkan anak yang terlahir itu pun statusnya sama dengan anak hasil zina. Tuduhan (pernyataan) tersebut dilaksanakan dalam situasi saling bersumpah antara seorang suami dengan isterinya (ibu anak li’an tersebut) yang menyebabkan rusaknya/terputusnya hubungan suami isteri tersebut, sehingga diharamkan rujuk atau perkawinan lagi untuk selama-lamanya. Anak li’an hanya mempunyai nasab dengan anak ibu yang melahirkannya saja. sedangkan dengan ayah putus hubungan nasab serta kewarisannya
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Hashim, Fatimah Yusro, Anisah Che Ngah, Mohammad Azhan Yahya, and Ahmad Azam Mohd Shariff. "Penentuan Nasab melalui Prinsip Undang-undang Keterangan Islam." Jurnal Undang-undang dan Masyarakat 28, no. 2021 (April 2, 2021): 57–66. http://dx.doi.org/10.17576/juum-2021-28-06.

Full text
Abstract:
Anak tak sah taraf didefinisikan sebagai kelahiran anak hasil daripada perbuatan zina ataupun kehamilan tanpa pernikahan atau suami yang sah, tetapi bukan dari pernikahan syubhah. Terdapat keadaan di mana anak yang tidak sah taraf telah diberikan status sah taraf akibat kelemahan dalam aspek beban pembuktian serta pematuhan terhadap prinsip syariah berkaitan tempoh minima kehamilan enam bulan qamariah tersebut. Penulisan ini memfokuskan tiga objektif. Objektif pertama adalah untuk menganalisis berkaitan kelahiran anak tak sah taraf di sisi prinsip syariah. Objektif kedua adalah untuk mengenal pasti permasalahan berkaitan kelahiran anak tak sah taraf dalam perbicaraan di mahkamah, dan objektif ketiga adalah untuk mencadangkan penyelesaian kepada permasalahan yang telah dikenal pasti. Penulisan ini adalah kajian kualitatif iaitu melalui kaedah penyelidikan perpustakaan, di mana bahan-bahan yang berkaitan dengan penulisan ini telah dianalisis secara kritis. Pengkaji mendapati bahawa seksyen 110 Akta Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) sebagai contohnya, digunakan terutamanya sebagai garis panduan dalam menentukan kesahihan nasab anak dalam perbicaraan mahkamah. Walau bagaimanapun, seksyen tersebut adalah terlalu umum dan tidak berjaya dikaitkan kepada prinsip-prinsip asas dalam syarak berkaitan dengan kelahiran anak tak sah taraf dan penentuan kesahihan nasab. Pada masa yang sama prinsip keterangan Islam yang digunakan semasa perbicaraan berkaitan dengan menentukan status nasab juga tidak dapat menyokong mahkamah untuk membuat keputusan yang baik terhadap kes tersebut. Sehubungan itu pengkaji mencadangkan perlunya matan seksyen 110 ini diperincikan, serta aplikasi keterangan pakar diwajibkan penggunaannya dalam perbicaraan mahkamah bagi menyokong pembuktian terhadap kesahihan nasab anak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Siregar, Abdul Hakim. "Korelasi Qiyafah dan Genetika Dalam Menetapkan Nasab Perspektif Imam Syafi’i." Best Journal (Biology Education, Sains and Technology) 2, no. 1 (October 12, 2019): 26–33. http://dx.doi.org/10.30743/best.v2i1.1773.

Full text
Abstract:
Bahwa Qiyafah merupakan istilah metoda yang dipakai untuk mengenali jejak seseorang dalammenetukan nasab berdaarkan ciri-ciri dan kemiripan. Sedangkan qa`if, adalah orang yangmempunyai keahlian khusus melihat orang lain dalam menghubungkan, menetukan nasabberdasarkan tanda-tanda dan kemiripan antara pihak yang diteliti. Menurut asy-Syafi`i, jasa qa`ifdalam menetapkan nasab seseorang dapat diterima sebagai ketetapan hukum. Oleh sebab itu, jikaditemukan persengketaan nasab dimana tidak ada bukti lain atau para pihak sama-sama memilikibukti yang kuat, maka persoalan itu diselesaikan dengan penelitian qa`if. Dalam mendukungpendapatnya, mazhab asy-Syafi`i beralasan dengan hadits Nabi Muhammad saw.dan atsar parasahabatnya. Oleh sebab itu praktik qiyafah diyakini memiliki justifikasi syariah. Genetika adalahsalah satu cabang dari ilmu biologi yang membahas tentang sifat keturunan yang diwariskan sertavariasi yang mungkin timbul di dalamnya. Praktik qiyafah maupun genetika sama-sama bertujuanuntuk meneliti sifat keturunan yang diturunkan secara turun temurun. Dilihat dari kesamaan fungsidan tujuan ini, maka qiyafah memiliki relevansi dengan ilmu genetika dalam menetapkan nasabseseorang. Dan ketetapan ilmu modern yang berdasarkan hasil tes DNA sama kekuatan hukumnyadengan ketetapan qiyafah perspektik imam Syafi`i.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Nabila Nurdiansari, Anita, and Rahmawati Kusuma. "Pertimbangan Hukum Dalam Mengabulkan Permohonan Wali Adhal Di Pengadilan Agama Sumbawa Besar." Private Law 2, no. 2 (June 8, 2022): 374–80. http://dx.doi.org/10.29303/prlw.v2i2.1168.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam Penetapan Nomor 135/Pdt.P/2021/PA.Sub dalam mengabulkan permohonan wali adhal dan akibat hukum dari penetapan wali adhal. Penelitian ini bersifat normatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa dasar pertimbangan hakim salah satunya adalah penolakan wali nasab kepada pemohon untuk menikahkan pemohon dengan calon suaminya tidak berdasarkan hukum, serta akibat hukum yang timbul dari penetapan wali adhal adalah berpindahnya kewalian dari wali nasab kepada wali hakim yaitu pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku pegawai pencatat nikah dalam wilayahnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Hafidzi, Anwar, and Safruddin Safruddin. "KONSEP HUKUM TENTANG RADHA’AH DALAM PENENTUAN NASAB." Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora 13, no. 2 (September 30, 2017): 283. http://dx.doi.org/10.18592/khazanah.v13i2.1615.

Full text
Abstract:
AbstrakTulisan ini membahas tentang Konsep Radha’ah dalam Penentuan Nasab disertai dalil dan alasan Wahbah Zuhaily dan Sayyid Sabiq mengenai kemahraman dalam radha’ah serta apa saja syarat dan rukun dalam Radha’ah dalam penentuan nasab.Penulisan ini menganilisa tentang radha’ah dalam konsep fikih adilatu dan fikih sunnah tentang radha’ah dalam penentuan nasab menurut pandangan Wahbah Zuhaily Dan Sayyid SabiqPenelitian ini menggunakan bentuk penelitian kepustakaan (Library Research) bahan primernya kitab fikih Adilatu karangan prof Wahbah Zuhaily dan Fikih Sunnah karangan Sayyid Sabiq, sedangkan untuk bahan sekundernya penulis mengunakan literatur-literatur yang terkait tentang pembahasan yang akan dibahas, adapun metode analisa menggunakan metode deskriptif.hasil dari penelitian ini penulis menemukan adanya perbedaan antara kitab fikih adilatu dan fikih sunnah, perbedaannya terletak pada jumlah ukuran susu yang menyebabkan mahram Sayyid Sabiq memahami bahwa satu susuan maksudnya maksudnya susuan dalam ukuran yang sedikit sedangkan wahbah Zuaily mensyaratkan kemahraman sepersusuan ukuranya lima kali susuan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Putra, Restu Ashari, Reza Pahlevi Dalimunthe, and Rizal Abdul Gani. "Konsep Perlindungan Nasab dalam Perspektif Hukum Islam." Mutawasith: Jurnal Hukum Islam 4, no. 1 (July 12, 2021): 32–41. http://dx.doi.org/10.47971/mjhi.v4i1.304.

Full text
Abstract:
Benefit as the core of maqâshid al-syariah has an important role in the development of Islamic law. Because Islamic law was revealed with the aim of presenting the benefit of humans, both in this world and in the hereafter. One of the benefits that are protected is the protection of lineage. Nasab is human nature, because humans have the instinct to regenerate. On the other hand, humans have the nature of obedience to God. So that the two natures accumulate in lineage protection. Lineage protection is concerned with quantity on the one hand, and quality on the other. The exact point proportions of the two are seen from the bounded realm of reality. Lineage protection is not only about regeneration, but also includes all intermediaries (wasilah) that support it, both in terms of quantity and quality. The purpose of this study is to find out what things can damage the lineage, such as adultery, incest marriage, prostitution and so on.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Nasrun, Mahdalena. "Telaah Hadis tentang Nasab Anak Luar Nikah." Ulumuna 18, no. 2 (November 8, 2017): 467–87. http://dx.doi.org/10.20414/ujis.v18i2.886.

Full text
Abstract:
The Indonesian Constitutional Court’ decision Number 46/PUU-VIII/2010 about the legal status of “out-of-wedlock born child” based on argumentum a fortiori or al-mafhūm al-muwāfaqah. According to this principle “if a child whose genealogy is not yet clear could still be ascribed to one who claims him/her through istilhaq”, then why not determine a child’s genealogy whose biological father is known”. The problems, however, arises when a child was born out-of-legal wedlock. Can his/her nasab be ascribed to his/her father? This study examines the Prophetic tradition on this matter using takhrij hadith methods. It shows that ḥadīth “al-walad li al-firāshi wa li al-‘āhir al-ḥajr wahtajibī yā Sawdah” is valid (ṣaḥīḥ). This ḥadīth explains that a child can be ascribed genealogically to one who claim him/her as his child. However, such claim cannot result in maḥram relationship with child’s sister. It seems that the Prophet acknowledges the existence of biological father but his nasab cannot be deduced to his child.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Hanapi, Agustin, Imanuddin Imanuddin, and Khairuddin Hasballah. "Kedudukan Metode al-Qāfah Dalam Penetapan Nasab Anak Menurut Ulama Perspektif Maqashid al-Syariah." De Jure: Jurnal Hukum dan Syar'iah 14, no. 1 (June 29, 2022): 21–37. http://dx.doi.org/10.18860/j-fsh.v14i1.15875.

Full text
Abstract:
Abstract:This study attempts to identify the position of Qāfah method in determining the child's lineage based on the scholars’ perspective using a qualitative approach through descriptive analysis. The results show that the al-qāfahmethod is important in Islam, particularly in certain cases of denial or claims against children. It is because not all people are willing to do a DNA test due to its complicated mechanism and unpreparedness of the parents to admit the child when the DNA test proves positive. Sholars’ views on the position of the al-qāfahmethod in determining the child’ lineage are varied. First, Hanafiyyah scholars absolutely reject this method because it prioritizes the theory of li'an law when the husband denies the lineage of his child. Second, most other scholars (Maliki, Shafi'i, Hambali, Al-Zahiri, and Al-Auza'i) accept the method by referring to Umar’s decision of engaging lineage experts (qā'if) in determining the child claims. Third, the Zahiri school believes that al-qāfah method can be used as a benchmark in determining the case of lineage and atsar (tracing the traces). The last, Ibn Qayyim considers that al-qāfahmethod as one of the laws established by the Prophet Muhammad.Keywords: Al-Qafah; fiqh; child’s lineage.Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk melihat kedudukan metode al-qāfah dalam menetapkan nasab anak menurut ulama dan perspektif maqasid syariah melalui pendekatan kualitatif dengan cara dekriptif-analisis. Data diperoleh dengan cara mencari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analitik, metode komparatif, dan metode analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa ulama fikih termasuk di antaranya jumhur ulama menyepakati metode al-qāfah sebagai cara untuk menetapkan nasab anak dengan merujuk tindakan Umar yang menghadirkan ahli nasab (qā’if) dalam perkara sengketa klaim anak. Juga mazhab Zahiri yang mengatakan bahwa al-qāfah dapat dijadikan patokan dalam putusan perihal nasab dan atsar (menelusuri jejak), serta Ibnu Qayyim yang meyakini al-qāfah menjadi salah satu di antara hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW). Dalam perspektif maqasid syariah metode al-qāfah penting dilakukan terutama pada kasus pengingkaran atau klaim terhadap anak, lantaran tidak semua masyarakat bersedia melakukan tes DNA karena biaya yang mahal, mekanisme yang rumit juga ketidaksiapan untuk mengakui seandainya diketahui bahwa itu adalah anaknya.Kata Kunci: Al-Qafah; fikih; nasab anak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Hidayatulloh, Rohmat. "Tradisi Pernikahan Dengan Kesetaraan Keturunan Dalam Keluarga Para Mas Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya Dan Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo." AL-HUKAMA' 7, no. 1 (June 21, 2017): 26–50. http://dx.doi.org/10.15642/alhukama.2017.7.1.26-50.

Full text
Abstract:
Abstract: Dalam penulisan artikel ini penulis mengambil judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PERNIKAHAN DENGAN KESETARAAN KETURUNAN (Studi Kasus Pernikahan di Keluarga Para Mas Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya dan Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Bagaimana pernikahan kesetaraan keturunan di keluarga para Mas Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya dan Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo. 2) Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pernikahan dengan kesetaraan keturunan dikeluarga para Mas Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya dan Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian Field Research. Teknik pengumpulan data diambil menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Selanjutnya data yang telah dihimpun, dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif Pola pikir yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pola pikir deduktif. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar keluarga Mas di kelurahan Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya sangat mempertimbangkan kekufuan calon suami dan calon istri dalam hal nasab dan agama. Menjadikan nasab dan agama sebagai kriteria kafaah bagi keluarga para Mas merupakan hal yang sangat pokok yang harus dipenuhi. Sebagian besar keluarga Mas di Kelurahan Sidosermo masih menganggap nasab dan agama sebagai ukuran kafaah yang paling pokok dalam perkawinan. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan keturunan Rasulullah saw. Berbeda dengan di Berbek, tradisi pernikahan para Mas di Berbek saat ini tidak memperhitungkan nasab dari calon suami atau istri. Yang paling terpenting adalah ada kecocokan diantaranya, ilmu agama dan akhlaknya. Pada generasi saat ini kriteria kafaah di Berbek adalah agama. Keluarga Mas di Berbek hanya mengutamakan kualitas agamanya karena orang yang mempunyai agama yang bagus, otomatis dia sholeh, dan berakhlak mulia dan tidak ada kekhususan dalam segi nasab karena itu merupakan prinsip zaman dahulu yang telah berubah di zaman sekarang. Sejalan dengan kesimpulan diatas, disarankan pada zaman modern ini banyak dilakukan pemahaman yang mampu mempengaruhi prinsip kafaah masyarakat khususnya para Mas terlebih pada pergaulan anak muda di zaman sekarang yang bebas memilih. Oleh karenanya konsep kafaah tersebut harus di ajarkan kepada anak keturunannya supaya mereka mengerti dan faham serta mampu melaksanakan kafaah yang telah di ajarkan oleh orang tua mereka sehingga menjadi keluarga yang saki@nah mawaddah waroh{mah. Keywords: Hukum Islam, Kafaah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Nasution, Mustafa Kamal, and Awal Kurnia Putra Nasution. "SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT GAYO DAN RELEVANSINYA DENGAN AJARAN ISLAM." Jurnal As-Salam 3, no. 1 (May 31, 2019): 61–75. http://dx.doi.org/10.37249/as-salam.v3i1.120.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep tradisi tutur dalam sistem kekerabatan masyarakat gayo Untuk mengidentifikasi relevansi tradisi tutur masyarakat Gayo dengan konsep pemeliharaan nasab dalam ajaran Islam. penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini berkaitan dengan itu maka subyek penelitian ini diambil secara purposive sampai diperoleh data jenuh. Untuk kepentingan itu maka peneliti menentukan para pakar bidang adat Gayo yang diwakili oleh ketua Majelis Adat Gayo, para petua kampung (Sarakopat) serta tokoh adat Gayo yang dianggap berkompeten. Dalam bidang agama Islam dalam hal ini diwakili oleh MPU Aceh Tengah. Data yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, kemudian dianalisis secara deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 63 jenis tutur Gayo dengan 11 (sebelas) jenjang tutur yang bersifat hierarki vertical. Secara budaya tutur tidak terlalu mengedepankan usia, namun lebih kepada posisi tutur dalam keluarga. Dengan adanya tutur ini, masyarakat memiliki sarana dan chemistry tertentu dalam komunikasi. Penggunaan tutur dalam masyarkat menghadirkan value (nilai) dalam interaksinya. Sistematika tutur ini memiliki tujuan sosial untuk menjaga harmoni yang berkesinambungan dalam masyarakat; dimulai dari keluiarga inti, keluarga besar, hingga masyarakat luas. kaitan antara sistem tutur dan Islam terletak dalam nilai (value) dan tujuan yang terkandung pada sistem tutur ini. pengguanaan tutur masyarkat terkandung nilai-nilai seperti kesopanan, kelembutan, penghormatan, kasih sayang, yang mempunyai tujuan utama untuk menjaga harmonisasi (hubungan baik) antar masyarakat melalui cara tutur kata dan berprilaku yang baik dalam internal keluarga. Dalam kaitan hubungan sistematika tutur masyarakat Gayo dengan sistem Nasab dalam Islam, tidak ada laporan yang memaparkan bahwa sistem tutur ditujukan untuk merawat Nasab, namun terlihat jelas ada hubungan antara sistem sistem tutur ini dapat membantu masyarakat dalam merawat Nasab-nya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Latif, Harun, and Lahaji Lahaji. "Settlement of Missing Guardians in the Office of Religious Affairs Regency of Gorontalo." Al-Mizan 14, no. 2 (December 1, 2018): 311–33. http://dx.doi.org/10.30603/am.v14i2.834.

Full text
Abstract:
Tulisan ini akan membahas penyelesaian masalah wali mafqud di Kantor Urusan Agama (KUA) se-Kabupaten Gorontalo. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis hukum dengan metode pengumpulan data berupa pengamatan, wawancara dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, faktor-faktor terjadinya wali mafqud disebabkan wali nasabnya tidak diketahui keberadaannya, wali nasab jauh ketika anaknya menikah, wali nasab tidak menyetujui pernikahan anaknya, kelalaian petugas KUA dalam memeriksa dokumen calon pengantin; Kedua, penyelesaian masalah wali mafqud oleh KUA di Kabupaten Gorontalo, yaitu: mensosialisasikan akan pentingnya wali nikah; pihak keluarga membuat surat pernyataan tertulis untuk penunjukan wali hakim; mengundang wali mafqud jika telah ada.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Azis, Muh Ilham, Achmad Musyahid, and Fatmawati Fatmawati. "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nilai-Nilai Kafaah dalam Praktik Perkawinan Sayyid di Sulawesi Selatan." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 8, no. 2 (December 13, 2021): 62–76. http://dx.doi.org/10.24252/al-qadau.v8i2.22481.

Full text
Abstract:
Penelitian ini merupakan field research kualitatif deskriptif yang merupakan penelitian lapangan (field research) maka metode Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Teologi Normatif dan Pendekatan Yuridis Empiris. Sumber data yaitu data primer yakni data empiris yang bersumber atau yang didapatkan secara langsung dari Sayyid atau Syarifah. Data sekunder yaitu data pendukung yang telah tersedia dimana penelitian hanya perlu mencari tempat untuk mendapatkannya. Data Tersier Sumber data tersier ini dimaksudkan sebagai bahan penunjang sumber dan primer dan sekunder. Tekhnik pengumpulan data melalui Observasi, Interview (wawancara), dan dokumentasi.Selanjutnya data pada penelitian ini menggunakan Riset Lapangan dengan melalui wawancara serta observasi, sedangkan teknik pengelolahan dan analisis data dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Konsep Kafaah dalam perkawinan keturunan Sayyid di Sulawesi Selatan masih mempertahankan konsep Kafaah nasab. (2) Kriteria Kafaah yang ada dalam masyarakat Sayyid ada tiga, yang pertama agama yaitu seorang Syarifah tidak sekufu dan tidak dibenarkan menikah dengan seseorang yang berbeda agama, yang kedua nasab seorang syarifah tidak sekufu dengan laki-laki yang non sayyid, dan yang ketiga Aliran seorang syarifah ahlussunnah wal jamaah tidak sekufu dengan laki-laki yang yang bukan ahlussunnah wal jamaah . (3) Hukum Islam dalam permasalahan kafaah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mazhab./ Namun semua tetap mendasarkan pada faktor agama yang diharuskan pada kesepadanan dalam perkawinan selain faktor yang lain (nasab, kemerdekaan, pekerjaan, kekayaan).Implikasi Penelitian Konsep (1) kafaah hendaknya dipahami dan dikembalikan pada tujuan awalnya yakni untuk mencapai keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. (2) Dalam sistem perkawinan, persoalan nasab hendaknya tidak menjadi penghalang bagi dua insan yang hendak mengarungi bahtera rumah tangga, asalkan calon mempelainya adalah seorang muslim yang memiliki akhlakul karimah. (3)Perlunya merelevansikan hukum yang berkaitan dengan konsep kafaah dalam fiqih munakahat dengan kafaah yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat serta perkembangan zaman. Kata Kunci : Tinjauan Hukum Islam, Kafaah, Praktik Perkawinan Sayyid
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Ma'mun, Solihul Aminal. "MENTARJIH PENETAPAN NASAB ANAK ZINA KEPADA AYAH BIOLOGIS BERDASARKAN KONSEP ANAK DAN MAQSAD HIFZ AL-NASL." Al-Maslahah : Jurnal Ilmu Syariah 16, no. 2 (February 15, 2021): 198–215. http://dx.doi.org/10.24260/al-maslahah.v16i2.1596.

Full text
Abstract:
Nasab is a bloodline that binds human relations with the father up, children down and sideways. Preservation of nasab including part of the favors of God that has been given to his servant. Because nasab is the basis for protecting people from damage, intricacy and forgery. In the order of Islamic rules nasab child is given to his father. The indication is that a father in Islam is burdened with the responsibility to provide the fulfillment of clothing, food and shelter for his child, or in the general sense a father is obliged to protect, nurture and be a role model for his children. But what if there is a child who is not allowed to rage on his father as the opinion of the majority of Islamic scholars? namely a child born from the result of a relationship outside of marriage (adultery), where at the time of birth his mother had not had time to get married, despite the opinion of a minority of Islamic scholars who disagree with the opinion of the majority. Therefore, the author tries to explain to give priority (tarjih) to the opinion of the minority from the opinion of the majority who have given biological father the opportunity to determine the child he confesses to himself, even without marrying his mother. Because of minority opinion, when viewed in terms of the broad meaning of maqsad hifz al-nasl is very close. This study is a library research and uses a qualitative-inductive approach or in Arabic called tahlili-istiqrai method with theories that are part of the ushul fiqh methodology. The results that the authors take from this study are with al-tarjih baina qaulauini by looking at the most propositions from both opinions. Among them by looking at the perspective of the concept of children and maqsad hifz al-nasl.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Atoilah, Ahmad Nabil, and Ahmad Kamal. "Penggantian Wali Nasab oleh Wali Hakim menurut Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991." Istinbath | Jurnal Penelitian Hukum Islam 15, no. 1 (February 27, 2019): 113. http://dx.doi.org/10.36667/istinbath.v15i1.276.

Full text
Abstract:
The compilation of Islamic Law (KHI) article 19 states that "marriage guardian in marriage is a pillar that must be met for the prospective bride who acts to marry her". The marriage guardian consists of two, namely the guardian of the nasab and the judge's guardian. Wali nasab is a marriage guardian based on blood relation or kinship with the bride of the father's side. While the judge's guardian is a marriage guardian appointed by the Minister of Religious Affairs or an official appointed by him, who is given the right and authority to act as a guardian. Regarding the guardian, if the guardian is not present or does not want to marry a girl under her guardianship, her marriage guardian right falls to the judge's guardian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Nurdiana, Hera. "PENGANGKATAN ANAK DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM." Negara dan Keadilan 10, no. 2 (September 11, 2021): 174. http://dx.doi.org/10.33474/hukum.v10i2.13181.

Full text
Abstract:
Konsep pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya diperbolehkan atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian “nafkah“, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab).Kata kunci: anak, pengangkatan, hukum Islam The concept of adoption in Islamic law does not recognize the adoption of a child in the sense of being an absolute biological child, and that there is only permissible or guardianship for the purpose of treating the child in terms of the love of the provision of "income", education or service in any need not treated as a child bladder (nasab).Keywords: child, rapture, Islamic law
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Jamaa, La. "Kloning Manusia Perspektif Hukum Islam Di Indonesia." SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 3, no. 1 (June 25, 2016): 57–74. http://dx.doi.org/10.15408/sjsbs.v3i1.3163.

Full text
Abstract:
Abstract:Reproductive cloning technology is able to facilitate artificial fertilization by using the husband's body and wife's ovum, as well the embryo transferred to the womb of the wife. So that, human cloning can give benefit to husband and wife to get child. However, human cloning technology has negative implications in case of marriage, jurisprudence, guardianship, inheritance, and investigation of criminal offense, because a person may have children cloned without marital status that can underestimate the institution of marriage. The “Nasab” of cloned child is also unclear, so it affects the guardianship, inheritance, father's responsibility to the child. Therefore, Islamic law in Indonesia prohibits human cloning.Keywords: Human Cloning, Islamic Law, Marriage. Abstrak.Teknologi kloning reproduksi mampu memfasilitasi pembuahan buatan dengan menggunakan sel tubuh suami dan ovum istri, serta embrionya ditransfer ke rahim istri. Sehingga kloning manusia dapat memberikan kemaslahatan terhadap pasangan suami istri yang tidak subur untuk memperoleh keturunan. Namun demikian, teknologi kloning manusia berimplikasi negatif, baik terhadap institusi perkawinan, nasab, perwalian, kewarisan, serta penyelidikan dan penyidikan pelaku tindak pidana. Sebab seseorang bisa punya anak secara kloning tanpa ikatan perkawinan sehingga bisa menyepelekan institusi perkawinan. Nasab anak hasil kloning juga tidak jelas sehingga berpengaruh pada perwalian, kewarisan, tanggungjawab ayah kepada anak dan sebaliknya. Karena itu hukum Islam di Indonesia melarang kloning manusia.Kata Kunci: Kloning Manusia, Hukum Islam, Perkawinan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Gaiser, Adam. "Ballaghanā ʿan an-Nabī: early Basran and Omani Ibāḍī understandings of sunna and siyar, āthār and nasab." Bulletin of the School of Oriental and African Studies 83, no. 3 (October 2020): 437–48. http://dx.doi.org/10.1017/s0041977x20002621.

Full text
Abstract:
AbstractThis paper explores the usages of four concepts – sunna, sīra, āthār, and nasab – mainly in early Ibāḍī epistles, but also in other types of Ibāḍī literature, to examine how early Ibāḍīs understood the legacy of the Prophet Muḥammad, and their relation to that legacy. It argues that before the sixth/twelfth century a notion of communal pedigree occupied pride of place in early Ibāḍī conceptualizations of legality and legitimacy. Thus, Ibāḍī sunna was “communal sunna”. The accumulated weight of Ibāḍī tradition – what is known as āthār in Ibāḍī literature – operated authoritatively as a counterpart to sunna; and the Ibāḍī siyar tradition did not focus on the Prophet exclusively, but rather described the scholarly community as an imagined whole. Moreover, Ibāḍīs explicitly articulated their communal pedigree in “teacher lines” (called nasab al-dīn or nasab al-islām) in Omani literature, and through the structure of their ṭabaqāt/siyar works in North Africa. Appreciating the importance of this communal pedigree, and the nexus of concepts through which it was articulated, helps us to understand the relative lack of emphasis placed on collecting and documenting ḥadīth (Ibāḍīs employ ḥadīth, but they did not use isnāds, nor did they appear to have a ḥadīth collection until the sixth/twelfth century), as well as the general absence of Prophetic biography among them (which also does not appear until the sixth/twelfth century).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Khakim, M. Lutfi, and Mukhlis Ardiyanto. "MENJAGA KEHORMATAN SEBAGAI PERLINDUNGAN NASAB PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH." Nizham Journal of Islamic Studies 8, no. 01 (May 21, 2020): 74. http://dx.doi.org/10.32332/nizham.v8i01.2105.

Full text
Abstract:
Allah created humans with perfect and honorable nature from other creatures. But the honor that is bestowed must be guarded with respectable behavior. both household building honor or personal respect need to be maintained for the creation of quality offspring in accordance with the concept of maqashid asy-shari'ah, one of which is to maintain nasab hifdz nasl. Today guarding the respect of the offspring both in terms of concept or practice, began to be eroded by freedom and Westernization. This study uses library research library research methods, the data used are secondary data that is data obtained by studying library materials in the form of books, documents, regulations, research results, archives and as related to the problems in question. researched. The results of this study indicate that Islam is very careful in maintaining the nasab and honor of each adherent. And do not recommend to damage the honor and one's descendants. All forms of behavior that damage honor and offspring are strictly forbidden and even Islam is firm in providing sanctions for violators.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Conte, Édouard. "« Azmat nasab » ou la filiation mise à mal." Droits 73, no. 1 (April 11, 2022): 61–104. http://dx.doi.org/10.3917/droit.073.0061.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Asman, Asman. "HAMIL DI LUAR NIKAH DAN STATUS NASAB ANAKNYA." Shar-E : Jurnal Kajian Ekonomi Hukum Syariah 6, no. 1 (April 30, 2020): 1–16. http://dx.doi.org/10.37567/shar-e.v6i1.9.

Full text
Abstract:
Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan akibat hamil diluar nikah adalah sah, perkawinan boleh dilangsungkan ketika seorang wanita dalam keadaan hamil. Baik perkawinan itu dilakuan dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Argumen Imam Syafi’i tentang kebolehan perkawinan tersebut adalah karena wanita tersebut bukanlah termasuk golongan wanita yang haram untuk dinikahi. Bayi yang lahir akibat hubungan diluar nikah nasabnya kembali kepadanya. Sedangkan menurut Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa perkawinan hamil di luar nikah dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya tidak boleh. Sedangkan perkawinan hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya itu haram hukumnya. Dari pendapat dua tokoh ulama tersebut ada perbedaan pendapat sehingga menarik untuk dibahas. Jenis penelitian ini adalah library research, penelitian yang digunakan penelitian normatif, yaitu penelitian yang diarahkan dan difokuskan terhadap penelitian bahan-bahan pustaka. Fokus kajian ini adalah bagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal tentang hamil di luar nikah dan status nasab anak. Dari fokus kajian menyimpulkan bahwa setiap mazhab khusus mazhab Imam Syafi’i yang digunakan di Indonesia, sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan, apabila seorang wanita dan laki-laki kawin lalu melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya sebelum enam bulan, maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan dengan nasab atas nama suaminya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Beauvais, Mariella Villasante-de. "La Puissance Politique du Nasab en Mauritanie Contemporaine." Nomadic Peoples 2, no. 1 (January 1, 1998): 277–304. http://dx.doi.org/10.3167/082279498782384531.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Al Amruzi, Fahmi. "HAK DAN STATUS ANAK SYUBHAT DALAM PENIKAHAN." Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran 17, no. 1 (August 5, 2017): 1. http://dx.doi.org/10.18592/sy.v17i1.1539.

Full text
Abstract:
Abstract: Allah has clearly established all good things that are lawful (halal) or forbidden (haram), and between them there is something called syubhat, where most people fall into it and they do not know whether it is halal or haram. If you do not know whether it is halal or haram will a thing, then will arise a phenomenon called as syubhat. A relationship that was made because there is an element of syubhat, whether that happens to a marriage, called syubhat and then to be fasakh, or occurs in watha' which is also called watha' syubhat and consequently bear a child, the child is then called also with “a syubhat child.” Nasab (bloodline or lineage) of a syubhat child, whether resulting from a watha 'syubhat or a syubhat marriage, is set to his father, or a person who has become his/ her watha', because a marriage whether it is shahih or fasid, the nasab (lineage) of a child will remains to his/ her watha', not to his mother, because the Islamic law for a syubhat child is different from that of the illegitimate child. Keywords: Syubhat Marriage, Watha' Syubhat, Syubhat Child, Illegitimate Child. Abstrak: Allah sudah menetapkan semua perkara baik yang halal atau haram jelas dan diantara keduanya ada sesuatu yang disebut syubhat, dimana kebanyakan manusia terjerumus ke dalamnya dan mereka tidak tahu apakah itu halal atau haram. Apabila tidak tahu halal dan haram suatu hal, maka akan timbul suatu penyakit yaitu syubhat. Sebuah hubungan yang dilakukan karena ada sebuah unsur syubhat, baik yang terjadi pada sebuah pernikahan yang disebut syubhat dan kemudian difasakh, atau terjadi pada watha’ yang disebut juga watha’ syubhat dan akibatnya melahirkan seorang anak, anak tersebut pun kemudian disebut pula dengan anak syubhat. Nasab anak syubhat baik yang dihasilkan dari watha’ yang syubhat atau pernikahan Syubhat tetap kepada bapaknya, atau seorang yang telah mewatha’nya. Karena baik nikah shahih atau fasid nasab anak tetap kepada seorang yang mewatha’nya bukan kepada ibunya, karena anak syubhat hukumnya berbeda dengan anak zina. Kata kunci: Nikah syubhat, Watha’ syubhat, Anak syubhat, Anak zina
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Igiris, Muamar P., Naskur Naskur, and Muliadi Nur. "Konsep Gender terhadap Batasan Aurat Anak Angkat Perspektif Hukum Islam." SPECTRUM: Journal of Gender and Children Studies 2, no. 1 (June 30, 2022): 34–45. http://dx.doi.org/10.30984/spectrum.v2i1.398.

Full text
Abstract:
Anak merupakan salah satu karunia terbesar yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia semasa dia hidup. Banyak orang yang telah menikah mendambakan akan hadirnya seorang anak untuk melengkapi kehidupan berumah tangga mereka. Karena peran seorang anak sangat besar bagi kedua orang tuanya, maka banyak dari para orang tua yang merasa cemas jika pernikahan mereka belum di karuniai seorang anak. Maka dari itu tidak jarang ada beberapa orang tua yang merasa tidak memiliki kesempatan untuk mempunyai anak sendiri justru membuat keputusan untuk mengadopsi anak, baik anak itu masih dalam keadaan bayi atau justru telah dewasa. Dalam pengadopsian inilah sering terjadi ketidaktahuan oleh para orang tua yang mengadopsi anak tersebut mengenai batasan aurat diantara anak tersebut dan mereka sebagai orang tua. Dalam penelitian ini metode penulisan yang penulis gunakan adalah studi literatur atau kajian pustaka. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari literatur, penulis menyimpulkan bahwa batasan aurat dari anak angkat terhadap orang tua angkatnya dapat dilihat berdasarkan status nasab dan jenis kelamin dari anak tersebut. Jika anak tersebut masih merupakan keponakan dari salah satu pasangan suami istri itu maka batasan auratnya disesuaikan dengan jenis kelamin. Atau dengan kata lain jika yang di adopsi anak perempuan dari keponakan ayahnya maka batasan auratnya cukup dijaga dengan pakaian yang sopan. Tapi berbeda jika anak tersebut tidak memiliki ikatan nasab maka batasan aurat yang perlu dijaga adalah batasan aurat sama seperti orang yang bukan bagian dari mahram kita. Kesimpulan nya adalah batasan aurat bergantung kepada status nasab yang menyebabkan mahram atau tidak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Al Ghozali, M. Dzikrul Hakim. "Silaturrahim Perspektif Filsafat Islam (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi)." DINAMIKA : Jurnal Kajian Pendidikan dan Keislaman 1, no. 1 (February 3, 2017): 51–66. http://dx.doi.org/10.32764/dinamika.v1i1.104.

Full text
Abstract:
Gathering(silaturrahim) in a language derived from two words namely silah (relationship) and Rahim (Rahim women) that have meaning nasab Relations, as the verse above says al-Arham (womb) is defined as the gathering(silaturrahim). But in essence the relationship is not just a relationship nasab, but further than that relationships among Muslims is part of silaturrahmi, so God mengibarat the Muslims like one body. As the word of God. "Indeed the believers are brothers, therefore make peace between your brothers and fear Allah, that ye may obtain mercy." (Al-Hujurat [49]: 10). Fraternal relationship is what makes the fellow Muslims have an obligation to help each other, mutual respect, to visit when sick, drove up to the grave when he died, pray for one another, each denounced the ban, menghasud and others.Keywords: Philosophy and Gathering(silaturrahim).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Janah, Latifah Nur. "PERUBAHAN PERATURAN MENTERI AGAMA (PMA) NOMOR 19 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN WALI NASAB DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM." Jurnal Al-Hakim: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Studi Syariah, Hukum dan Filantropi 2, no. 1 (May 30, 2020): 106–15. http://dx.doi.org/10.22515/alhakim.v2i1.2502.

Full text
Abstract:
AbstractAmendments To The Regulation Of The Minister Of Religion (PMA) Number 19 Of 2018 Concerning With Provisoin Of The Customers Of Islamic Legal Perspectives. This article discusses the changes in the Minister of Religion's Regulation (PMA) regarding the conditions of a nasab guardian's conditions in marriage, which eliminates the minimum age requirement for age and independence. The terms of independence are considered to be incompatible with the times. As for the changes that occurred regarding balig reviewed using the opinion of Islamic scholars, the opinions of experts in psychology, as well as positive law in Indonesia. According to Imam Hanafi, the age of age is 18 for men, while 17 for women. According to Imam Shafi'i the age limit for men is 15 years while for women 9 years. Imam Hambali provides a limit of 15 years for men and hayḍ for women. Meanwhile, according to Imam Malik, namely the growth of hair in several members of the body. According to experts balig began at the age of 14-17 years in the puberty period and 17-21 years in the adolensation period. According to Law Number 1 of 1974, it is legal for men, 19 years and 16 years for women. Whereas the Compilation of Islamic Law is 16 years old. The difference from the following opinions makes there is no definite measure of when someone has been old. This type of research is a qualitative literary study with data analysis techniques, descriptive analytic.Keywords: Nasab Guardian; Islamic Law; Baligh. AbstrakPerubahan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Wali Nasab Dalam Perspektif Hukum Islam. Artikel ini membahas mengenai perubahan yang ada pada Peraturan Menteri Agama (PMA) perihal ketentuan syarat seorang wali nasab dalam pernikahan, dimana menghapuskan syarat minimal usia balig dan merdeka. Syarat merdeka dianggap telah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun perubahan yang terjadi mengenai balig diulas menggunakan pendapat ulama madzhab, pendapat dari para pakar psikologi, serta hukum positif Indonesia. Menurut Imam Hanafi balig bagi laki-laki yaitu 18 tahun sedangkan 17 tahun bagi perempuan. Menurut Imam Syafi'i batasan balig bagi laki-laki adalah 15 tahun sedangkan perempuan 9 tahun. Imam Hambali memberikan batasan 15 tahun bagi laki-laki dan hayḍ bagi perempuan. Sedangkan menurut Imam Malik yaitu tumbuhnya rambut dibeberapa anggota tubuh. Menurut para pakar balig dimulai pada umur 14-17 tahun pada periode pubertas dan 17-21 tahun pada periode adolensesi. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 balig untuk laki-laki yaitu 19 tahun dan 16 tahun bagi perempuan. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam berumur 16 tahun. Perbedaan dari pendapat-pendapat berikut membuat tidak ada ukuran pasti kapan seseorang telah balig. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif literer dengan teknik analisis data, deskriptif analitik.Kata kunci: Wali nasab; Hukum Islam; Baligh.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Yusuf, Muhammad, and Ismail Suardi Wekke. "Child Adoption Practices in the Bugis Community: Between Bugis Tradition and Ulama Views." AL-'ADALAH 15, no. 1 (January 18, 2019): 73. http://dx.doi.org/10.24042/adalah.v15i1.2270.

Full text
Abstract:
This article reviews the tradition of adoption among Bugis people through the views of Bugis scholars and values of local wisdom. This research is a qualitative research using a content analysis approach. The study finds the fact that Bugis scholars have identified two forms of adoption practices. First, the practice of adoption as it is currently happening which change the nasab (lineage) so that it can inherit each other. Second, adoption practices that do not change the nasab. The first model is adoption that is prohibited in Islam in order to maintain the law and the descent according to the intentions of cultural values of paccing and sticking. The second model is allowed adoption. Such adoption practices are even encouraged if the motives are humanitarian motives and also in accordance with the values of the pesse culture (pacce), namely a deep sense of humanity and sibaliperri (mutual cooperation spirit).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Rokhim, Abdul. "STATUS ANAK LAQITH (ANAK TEMUAN) MENURUT HUKUM ISLAM." Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 8, no. 1 (April 8, 2014): 93–102. http://dx.doi.org/10.24246/jrh.2014.v8.i1.p93-102.

Full text
Abstract:
AbstrakSalah satu dampak menurunnya moral masyarakat ditandai dengan meluasnya pergaulan bebas yang berakibat semakin banyaknya bayi-bayi yang lahir di luar perkawinan. Berkaitan dengan itu maka isu utama yang hendak dibahas di sini adalah konsep anak temuan (anak laqith) menurut perspektif hukum Islam serta implikasinya dalam hal nasab danperwalian. Menurut hukum Islam anak temuan dapat di-nasab-kan kepada orang yang menemukan dengan jalan pengakuan sehingga anak temuan tersebut telah menjadi anak sah sebagaimana anaknya sendiri. Khusus terhadap anak temuan perempuan, perwaliannya tetap berada pada orang yang telah menemukan dan mengakuinya dan jika anak tersebut hendak melangsungkan perkawinan maka yang menjadi walinya adalah orang yang telah menemukan dan mengakuinya.AbstractMoral deterioration in society is characterized by widespread promiscuity resulting in the increasing number of babies born out of wedlock. In this regards, the main issue to be discussed here is the concept of foundlings (laqith in Islamic law) viewed from the perspective of Islamic law and its implications in terms of nasab and guardianship. According to Islamic law, foundlings can be brought a family relationship could be established between a foundling and the person who found the child and recognized that the foundling has become a legitimate child of his own. In a particular case where the foundling is a girl, the guardianship remains in people who have found her and acknowledged her as if she was his own child. When the child is about to enter into marriage, the person who found and acknowledged her would be legitimately her marriage guardian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Hamès, Constant. "La Filiation généalogique (nasab) dans la société d'Ibn Khaldun." L'Homme 27, no. 102 (1987): 99–118. http://dx.doi.org/10.3406/hom.1987.368813.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Gallagher, Amelia. "Shah Isma‘il’s Poetry in theSilsilat al-Nasab-i Safawiyya." Iranian Studies 44, no. 6 (November 2011): 895–911. http://dx.doi.org/10.1080/00210862.2011.570527.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Pawana, Sekhar Chandra. "Pewarisan Kepada Anak Tunggal Atas Kematian Kedua Orang Tua." JATIJAJAR LAW REVIEW 1, no. 1 (March 18, 2022): 25. http://dx.doi.org/10.26753/jlr.v1i1.724.

Full text
Abstract:
Pembagian harta waris kerap menimbulkan berbagai problematika antar ahli waris, terutama dala hal pewaris memiliki harta yang banyak. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab dan menganalisis perbandingan proses pewarisan bagi GS selaku anak tunggal atas kematian kedua orang tua menurut sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian normative dengan pendekatan yang digunakan didalam penelitian adalah pendekatan kasus (case approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statue approach). KHI sebagai hukum materiil bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. Hal ini ditunjukkan dengan pencatatan perkawinan kedua orang tua GS yakni VA dan BA dilakukan ke Kantor Urusan Agama. Kondisi GS yang masih berusia anak tidak cakap hukum untuk melakukan perbuatan hukum. Proses perhitungan waris dengan mencari asal masalah menurut hukum kewarisan Islam yang tertuang dalam KHI belum dapat dilakukan. GS selaku anak sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Dalam hal ini kedua kakek dan nenek GS dari BA merupakan wali berdasarkan garis nasab kebapakan yang melekat kepadanya
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Vera, Nawiroh, Deddy Mulyana, Lukiati Komala Erdinaya, and Nuryah Asri Sjafirah. "Identity, Nasab, and Kafaah in Marital Life: A Look into Indonesian Arab Women in Solo, Central Java, Indonesia." Asian Social Science 14, no. 4 (March 19, 2018): 30. http://dx.doi.org/10.5539/ass.v14n4p30.

Full text
Abstract:
This research aims to reveal the identity of Indonesian Arab women in terms of nasab and kafa’ah marriage. To analyze the research finding the researchers use Social Practice theory from Bourdieu – Habitus and Doxa concept and the Communication Identity theory of Hecht. The lineage of the Arabs is patrilineal; therefore, the Arab men are more flexible in terms of choosing a mate. However, Arab women have to struggle hard if they are going to marry men from different groups. This research uses critical ethnographic methods, and the data is obtained through observations and interviews. The results show that the identity of Arab women is historically formed by Arab ethnic patriarchal culture from its home region of Yemen. The position of Solo Arab women as a subordinate group that is socially marginalized is due to the narrowness of women's space. Women are considered as a group with no extensive knowledge of the tradition of nasab and kafaah marriage.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography