Journal articles on the topic 'Otto Kade'

A definition can be seen as a central working tool for researchers, since it leads to a new conceptual construction. At the same time a multitude of definitions, especially if competing with each other, is quite often perceived as a typical symptom of fields of research that have not yet developed their theories to the necessary level of sophistication. A relatively young field of research, Translation Studies and its proponents have repeatedly been the target of criticism in that respect, i.e. working with concepts whose definitions do not comply with commonly accepted standards of definition. That kind of critique serves as the starting point for this paper, which tries to analyze definitions in two seminal publications in the history of German Übersetzungswissenschaft, representing two opposing approaches to translation, namely Zufall und Gesetzmäßigkeit in der Übersetzung by Otto Kade (1968) and Grundlegung einer allgemeinen Translationstheorie by Hans J. Vermeer and Katharina Reiß (1984). The paper gives an account of standards of definition, commonly found in philosophy of science and terminology, addresses central aspects of scientific concepts (theoryboundness, types of concepts, determinacy, vagueness) and presents the findings of a study focusing on defining patterns.

Die Anfänge der Erforschung "alter" Musik im 19. Jahrhundert prägen Missverständnissen und Fehldeutungen, die wiederum Rückschlüsse auf das Wissenschafts- wie Musikgeschichtsbild der ersten Forscher und Sammler zulassen. Als Beispiel dafür, das Konsequenzen sowohl für die Deutung einer Messgattung als auch ihres Komponisten, ihrer unikaten Quelle und nicht zuletzt für die Rolle und Bedeutung deutschsprachiger Komponisten um 1500 hatte, wird hier die Geschichte von Heinrich Fincks Entdeckung als Messkomponist am Beispiel seiner "Missa de Beata Virgine" vorgestellt. Sie gibt in ihrer dokumentarischen Substanz Anlass, über das einzelne Werk oder dessen Kontext hinaus die Frage nach historiographischen Mechanismen, ihren Ausprägungen und wirkmächtigen Definitionen zu stellen, mit denen sich die Messenforschung zur Frühen Neuzeit noch heute auseinandersetzt. Zunächst werden Otto Kades umfangreiche Forschungsarbeiten auf dem Gebiet der alten Musik insbesondere seine Beteiligung am "Projekt Ambros" (August Wilhelm Ambros' unvollendete Geschichte der Musik in vier Bänden) erörtert. Als zentrales Anliegen Kades wird dabei die Frage nach dem Beginn einer "deutschen" mehrstimmigen Musik, die er um 1500 datiert und unter anderem an den Werken Heinrich Isaacs und Fincks festmacht, thematisiert. Anschließend wird das Regensburger Manuskript mit der "Missa de Beatia Virgine" untersucht, wobei zunächst Inhalt, Komponisten und Aufbau der Quelle beschrieben werden, bevor auf Provenienz und Entstehungszusammenhang der Quelle eingegangen wird. Als Ergebnis dieser Untersuchung wird festgehalten, dass die Finck zugeschriebene Messe im Gegensatz zu den übrigen Messen des Manuskripts keine eindeutige liturgische Konnotation aufweist. Womöglich handelte es sich hier um eines der frühesten Beispiele frei paraphrasierender, dreistimmiger Messkompositionen im deutschen Sprachgebiet um 1500. Der Quellenbefund widerlegt die These, dass diese Messe sich auf der Basis des Chorals stilistisch und kulturgeographisch von ihrem Umfeld zu "emanzipieren" trachtete; sie folgt als frühe Form polyphoner Durchkomposition im deutschen Sprachraum klar franko-flämischen Vorbildern. Für Kade, der lebenslang nach dem Ursprung deutscher Musik fahndete, wäre dies sicherlich kaum befriedigend gewesen. Mit dieser Einsicht hätte freilich manche Musikgeschichte der Frühen Neuzeit anders ausgesehen. bms online (Beatrix Obal)

Upaya promotif dan preventif merupakan faktor penting untuk mengurangi angka kesakitan pada lansia. Salah satu upaya preventif promotif untuk penatalaksanaan hipertensi adalah dengan melakukan aktivitas/olahraga fisik. Kegiatan ini bertujuan untuk itu dilakukan upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan pada kader lansia melalui pelatihan relaksasi otot progresif selama 1 hari terhadap 12 kader. Metode yang dilakukan yaitu pemberian penyuluhan mengenai relaksasi otot progresif, demonstrasi dan re-demonstrasi relaksasi otot progresif. Evaluasi dilakukan dengan observasi pre test dan post test ketrampilan relaksasi otot progresif. Dengan teknik ini, terlihat adanya peningkatan keterampilan relaksasi otot progresif kader dari 53% menjadi 84,6%. Setelah pelatihan ini, kader diharapkan dapat mengaplikasikan relaksasi otot progresif sebagai upaya promotif preventif non farmakologis penurunan nyeri hipertensi pada lansia.

Pijat bayi adalah mengurut bagian tubuh untuk melemaskan otot sehingga peredaran darah lancar yang dilakukan pada seluruh permukaan tubuh bayi. Manfaat pijat bayi adalah dapat memberikan jaminan adanya kontak tubuh berkelanjutan yang dapat mempertahankan perasaan aman pada bayi. Sentuhan juga akan merangsang peredaran darah dan akan menambah energi karena gelombang oksigen yang segar akan lebih banyak dikirim ke otak dan seluruh tubuh. Tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader dan ibu yang mempunyai bayi tentang pijat bayi. Sasaran nya adalah kader dan ibu yang memiliki bayi. Metode yang dilakukan adalah ceramah, diskusi dan pemutaran video pijat bayi serta demonstrasi langsung praktik pijat bayi. Kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan kader terlebih dahulu untuk dilakukan pelatihan tentang pijat bayi lalu mengumpulkan ibu-ibu bayi untuk diberikan pelatihan dengan kader sebagai peer teaching pada saat posyandu. Luaran yang dihasilkan adalah booklet tentang pijat bayi. Setelah dilakukan pelatihan pada kader pada bulan November 2017 lalu dilakukan evaluasi dimana kader melakukan sosialisasi ke ibu-ibu yang mempunyai bayi. Sosialisasi itu dilakukan di posyandu pada bulan November 2017 dan Januari 2018.

SENAM DIABETES SEBAGAI UPAYA MENURUNKAN KADAR GULA DARAH Binarti Dwi Wahyuningsih1, Sri Sudarsih2, Moch Zainuddin3 Senam diabetes melitus merupakan jenis senam aerobic low impact yang penekanannya pada gerakan ritmik otot, sendi, vaskuler dan saraf dalam bentuk peregangan dan relaksasi. Senam ini merupakan senam fisik yang dirancang menurut usia dan status fisik serta merupakan bagian dari pengobatan diabetes mellitus. Senam mempunyai efek menaikkan aksi insulin di jaringan, sehingga kebutuhan akan insulin menurun. Latihan jasmani yang berupa olah raga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah, pembuluh kapiler lebih banyak terbuka sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi akan lebih aktif yang akan berdampak terhadap penurunan glukosa darah pada pasien diabetes. Senam diabetes mellitus tipe 2 berperan dalam pengaturan kadar glukosa darah karena glukosa otot yang sedang bekerja dapat mencapai kenaikan sampai 15-20 kali lipat akibat peningkatan laju metabolic pada otot yang aktif dan hal ini dapat memperbaiki profil lemak, meningkatkan sensitivitas insulin sehingga akan menurunkan glukosa darah. Tahapan kegiatan yang akan dilakukan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah menyiapkan materi yang akan disampaikan pada saat penyuluhan dan berkoordinasi dengan kepala Desa Gayaman serta kader keehatan di Desa Gayaman. Rencana selanjutnya adalah melaksanakan senam diabetes bersama penderita diabetes tipe 2.

Senam hamil merupakan program kebugaran yang diperuntukkan bagi ibu hamil. Oleh karena itu senam hamil memiliki prinsip-prinsip gerakan khusus yang di sesuaikan dengan kondisi ibu hamil. Senam hamil sangat penting dilakukan oleh ibu hamil setelah kehamilan mencapai 22 minggu, salah satu manfaat senam hamil adalah dapat mengurangi terjadinya berat badan bayi lahir rendah, mengurangi terjadinya persalinan premature. Tujuan umum senam hamil adalah melalui latihan senam hamil yang teratur dapat dijaga kondisi otot-otot dan persendian yang berperan dalam mekanisme persalinan, mempertinggi kesehatan fisik serta kepercayaan pada diri sendiri dan penolong dalam menghadapi persalinan dan membimbing wanita menuju suatu persalinan yang fisiologis. Metode pemecahan masalah yang dilakukan adalah dengan cara memberikan edukasi mengenai pentingnya senam ibu hamil melalui Presentasi dan juga menyebarkan Leaflet yang berisi tentang senam ibu hamil dan manfaatnya. Pada saat melakukan kegiatan pengabdian masyarakat peserta yang hadir sebanyak 15 orang ibu hamil, WUS, 1 orang Bidan Koordinator, 1 orang Bidan Desa, 3 orang kader, 1 orang bagian Tata Usaha di Puskesmas Nanggalo. Hasil kegiatan didapatkan Peserta antusias terhadap edukasi yang disampaikan, tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan selama proses penyuluhan berlangsung dan Lebih dari 75% dari peserta yang hadir mampu menjawab pertanyaan dari penyuluh tentang materi yang disampaikan. Hal ini membuktikan bahwa peserta memperhatikan materi yang disampaikan. Kesimpulan didapatkan edukasi tentang senam ibu hamil berdampak positif pada masyarakat, sehingga masyarakat paham tentang Pemeriksaan senam ibu hamil.

Dampak dari penggunaan minum jamu adalah Jamu dipercaya memiliki kandungan yang dapat menyeimbangkan kembali ketidakseimbangan unsur-unsur dalam tubuh yang dapat berpotensi menimbulkan penyakit sehingga tercapainya kondisi sehat. Tetapi jika berlebihan dalam mengonsumsi jamu yang berasal dari bahan alami akan memberikan efek yang berarti pada saluran pencernaan, seperti mulut terasa terbakar, perut terasa panas, dan kontraksi otot usus meningkat sehingga merangsang untuk buang air besar lebih sering dalam bentuk cair. Tujuan penelitian diketahuinya faktor – faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu nifas terhadap penggunaan obat-obatan tradisional di Puskesmas Karanggan kabupaten Bogor tahun 2018. Metode penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan desain survey cross sectional. Pengambilan sampel berjumlah 73 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Uji statistik yang digunakan adalah chi square dengan tingkat signifikan α = 0,05. Hasil Analisis bivariat menunjukkan hubungan umur p = 0.0045, pengetahuan p= 0,002 ,jarak p = 0.002, dukungan p = 0,004 dengan pemanfaatan obat obatan tradisional terhadap ibu nifas.Simpulan penelitian adalah ada hubungan antara umur,pengetahuan ibu, jarak ke pelayanan, dan dukungan dengan pemanfaatan obat-obatan terhadap ibu nifas. Saran pada penelitian yaitu bagi kader dan petugas kesehatan dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga untuk meningkatkan pengetahuan terhadap pemanfaatan obat-obatan terhadap ibu nifas.

<p>Terbatasnya jumlah pemain kategori pemula sebagai pelapis pemain kategori kadet dan senior perlu segera diatasi dengan menambah kuantitas calon pemain yang potensial dan sesuai dengan keberadaannya. Pemain kategori pemula diperlukan penyiapan sedini mungkin dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Penyiapan pemain secara tepat masih banyak kendala yang dihadapi utamanya adalah belum tersedianya baterai tes di cabang tenis meja untuk kategori pemula.<br />Teknik pengumpulan data menggunakan tes dan pengukuran fisik pemain tenis meja tingkat pemula. Tes dan pengukuran meliputi: a). Tes antropometrik, yaitu: (1) tinggi badan, (2) rentang lengan, (3) panjang tungkai. b). Tes kemampuan fisik, terdiri: (1) Koordinasi mata tangan, (2) Hand reaction test, (3) Kelentukan: flexcion of thrunk, (5 ) sit and reast, (6) kecepatan lari: 20 m, (7) kelincahan: shuttle run, (8) keseimbangan: stok stand test, power otot tungkai: (9) standing broad jumps, (10) vertical power jumps, (11) power otot lengan: lempar bola medicen, (12) kekuatan: sit-up, (13) daya tahan kardiovaskuler: lari 1200 m. Subyek penelitian: peserta tenis meja kategori pemula (usia 10 – 12 tahun) yang tercatat sebagai pemain pada klub tenis meja di Kota Surakarta dan telah mengikuti latihan di masing-masing klub sekurangnya 2 tahun.<br />Hasil penelitian tes dan pengukuran fisik tenis meja kategori pemula dari sejumlah 15 item tes memiliki rata-rata reliabilitas tes tinggi yaitu 0,87 dan validitas tes 0,89 untuk peserta kategori putra. Sedangkan untuk peserta kategori putri diperoleh rata-rata reliabilita tes 0, 85 dan validitas tes 0,88. Baterai tes fisik pemain tenis meja kelompok pemula untuk putra maupun putri urutan tesnya meliputi: Kecepatan reaksi tangan; Tes lempar tangkap bola tenis; Shuttle run; Kecepatan lari 20 m; Lari 1200 m.</p>

I denne artikel introduceres indledningsvis evolutionsteoriens idéhistorie i korte træk. Efter en kritisk beskrivelse af evolutionspsykologiens antagelser, metoder og foretrukne emner opstilles en alternativ anskuelsesmåde, som afviser dele af evolutionspsykologiens grundlag og som argumenterer for kulturens kausale virkning på den menneskelige kognition og ikke mindst den hominine evolution. Ud fra, hvad vi ved om den menneskelige evolution, ses det, at den hominine evolution har en dybde, som sjældent medtænkes i teorier og hypoteser om den menneskelige evolution. Den menneskelige evolution er begyndt længe før homo-arten, endog før Australopithecus, hvor man finder primitive stenredskaber og tilstedeværelse af (dog ikke kontrol over) ild, og hvor de fysiologiske og genetiske forandringer, som førte til mennesket, også var påbegyndt. Dernæst opstilles otte træk, som kan have været til stede i, hvad man kan kalde en ‛proto-religion’. Den art, som sandsynligvis har besiddet disse træk, er Homo erectus; men der kan have været ansatser til denne proto-religion endnu tidligere. Artiklen afsluttes med en diskussion af de mest kendte teorier og hypoteser, der har forsøgt at forklare, hvorfor mennesket blev religiøst. Hovedtesen i denne artikel er, at mennesket har udviklet sig som hybridt væsen, dvs. som et væsen hvis biologiske udvikling er gået hånd i hånd med dens kulturelle udvikling. De udgør to sider af samme sag, også i kausal forstand. Mennesket er følgelig et biokulturelt og biosemiotisk væsen.

Proses menua merupakan proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan perbaikan kerusakan yang diderita. Masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia salah satunya adalah muskuloskeletal, yaitu penurunan massa dan tonus otot, serat otot berkurang ukurannya, kekuatan otot berkurang. Insiden jatuh di Indonesia tercatat dari 115 penghuni panti sebanyak 30 lansia atau sekitar 43,47%. Salah satu upaya mencegah terjadinya jatuh pada lansia yaitu dengan cara latihan keseimbangan fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh latihan keseimbangan fisik dengan penilaian Tinetti POMA terhadap penurunan kejadian lansia jatuh. Desain penelitian ini menggunakan pre-eksperimental dengan metode one group pretest posttest design. Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan metode simple random sampling dan besar sampel menggunakan Roschoe dengan jumlah sampel 30 responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa Sebelum diberikan intervensi, menunjukan hasil bahwa responden lansia yang memiliki risiko jatuh tinggi sebanyak 9 responden (30,0%), dan responden dengan risiko jatuh sedang sebanyak 21 responden (70,0%). Sedangkan setelah diberikan intervensi menunjukan hasil yang sama besar yaitu sebanyak 15 responden (50%) memiliki risiko jatuh sedang dan 15 responden (50%) memiliki risiko jatuh rendah. Hasil statistik dengan uji paired t test menunjukkan ada pengaruh latihan keseimbangan fisik lansia dengan kajian jatih pada lansia dengan P value 0,000. Perawat diharapkan mampu mencegah risiko jatuh pada lansia dengan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada petugas panti/ kader tentang pengkajian lansia yang beresiko jatuh yang kemudian untuk melakukan pencegahan pada lansia dengan diberikan latihan keseimbangan fisik. Kata kunci : Tinetti POMA, latihan keseimbangan fisik RISK DECREASING FALLS THROUGH TINETTI PERFORMANCE ORIENTED MOBILITY ASSESSMENT (POMA) ASSESSMENT WITH EXERCISEPHYSICAL BALANCE IN ELDERLY ABSTRACT Aging is a process of slowly disappearing the ability of tissue to repair itself or replace and maintain its normal function so it cannot withstand infections and repair damage suffered. Health problems that often occur in the elderly, one of which is musculoskeletal, which is a decrease in muscle mass and tone, muscle fiber decreases in size, muscle strength decreases. The falling incident in Indonesia was recorded by 115 orphanage residents as many as 30 elderly or around 43.47%. One effort to prevent falls in the elderly is by physical balance training. The purpose of this study was to analyze the effect of physical balance training with the Tinetti POMA assessment of the decline in the incidence of elderly falls. The design of this study used a pre-experimental method with one group pretest posttest design. The sampling technique in this study used a simple random sampling method and the sample size used Roschoe with a sample of 30 respondents. The results showed that before the intervention was given, the results showed that elderly respondents who had a high risk of falling were 9 respondents (30.0%), and respondents with a moderate risk of falling were 21 respondents (70.0%). Whereas after being given the intervention showed the same results as many as 15 respondents (50%) had a risk of moderate fall and 15 respondents (50%) had a risk of falling low. Statistical results with paired t test showed that there was an effect of elderly physical balance training with a jatih study on the elderly with P value 0,000. Nurses are expected to be able to prevent the risk of falling on the elderly by providing knowledge to nursing staff / cadres about the study of elderly people who are at risk of falling who then to prevent the elderly by being given physical balance training. Keywords: POMA Tinetti, physical balance training

RESUMENEl presente escrito es una aproximación a la obra del artista colombiano Darío Morales desde la perspectiva dialéctica “vida-muerte”, alentada por el acontecimiento de lo ambiguo y sus implicaciones en la deconstrucción de una corporeidad estable regida por parámetros sociales, jurídicos y biológicos que desembocan en la caracterización de un “otro” en el cual se encuentran figuras como el anormal, el incorregible, el monstruo. Desde ellos pretendo trazar un punto de vista sobre aquellos Rostros de Ana donde se manifiestan figuras como el onanista y la vampira, para desembocar en un comentario que amplíe el espectro de sentido alrededor la obra del artista cartagenero.PALABRAS CLAVESCuerpo ambiguo, vida-muerte, sagrado-profano, onanismo.ÑAWEKUNA KAI WARMI ANA SUTIPA: KIMSA PARIAI KSI RUNA DARIO MORALES SUGLLAPIKai kilkai kame ñalla regcha kai tacha runa colombiano Dario Morales Kilkakasina rimangapa “ kausai- wamui” aida chingapa kaikuna Mana allilla llugsichu tukuikunamanda icharichu llanga “sug manda” Kaipe turrerreme ¡ kauancheme man aillakaska, man allilla rurasla! Kirú. Kaipi pudenchi kauanga imasami kauacheca kai warme Ana paipa ñawekuna Kai ruraikuna sutikame onanista Chasallata vampira, Kaiwa munakume Allilla intendechengapa imasame parlaku sug iacha Cartagenero.IMA SUTI RIMAI SIMI Cuerpo ambiguo, kaugsai, uañui, suma uakachika Kawangapa – mana suma kauador, jiru iuiaiTHE FACES OF ANA: THREE COMMENTS ON DARIO MORALES. ABSTRACTThis paper is an approach to the work of Colombian artist Dario Morales from the perspective of the dialectic of “life and death”, encouraged by the occurrence of the ambiguous and its implications for the deconstruction of a stable corporeality governed by social, legal and biological parameters that lead to the characterization of an “other”, in which figures such as the abnormal, the incorrigible, the monster are to be found. From them, I intend to plot a point of view on those faces of Ana where figures like the masturbator and the vampire make their appearance, in order, at last, to broaden the spectrum of meaning around the work of the Cartagena-born artist.KEYWORDSAmbiguous body, life-death, sacred-profane, onanism.LES VISAGES D’ANA: TROIS COMMENTAIRES SUR DARIO MORALES RÉSUMÉCet essai est une approche de l’œuvre de l’artiste colombien Dario Morales à partir de la dialectique “vie et mort”, encouragée par l’événement de l’ambigu et ses implications pour la déconstruction d’une corporéité stable régie par des paramètres sociaux, juridiques et biologiques qui conduisent à la caractérisation d’un «autre», dans laquelle des personnalités comme l’anormale, l’incorrigible et le monstre se révèlent. C’est de la main d’eux que j’ai l’intention de tracer un point de vue sur les visages d’Ana où des personnalités comme l’onaniste et la vampire se manifestent, pour enfin arriver à un commentaire qui puisse servir à élargir le spectre du sens autour de l’œuvre de l’artiste de Cartagena.MOTS CLÉSCorps ambigu, vie-mort, sacré-profane, onanisme.OS ROSTOS DE ANA: TRÊS COMENTÁRIOS SOBRE DARÍO MORALES RESUMOO presente escrito é uma aproximação à obra do artista colombiano Darío Morales desde a perspectiva dialética “vida - morte”, (Vida e morte) sadia pelo acontecimento do ambíguo e suas implicações na construção de uma corporeidade estabelecida, regida por parâmetros sociais, jurídicos e biológicos que desembocam na caracterização de um “otro” (outro) no qual se encontram figuras como o anormal, o incorrigível, o monstro. Desde eles pretendo traçar um ponto de vista sobre aqueles Rostos de Ana onde se manifestam figuras como o onanista e a “vampira”, para desembocar em um comentário que amplie o espectro de sentido ao redor a obra do artista cartagenero.PALAVRAS CHAVES Corpo ambíguo, vida-mente, sagrado-profano, onanismo.

Na de schipbreuk van het Verdinaso, maakte Jef Van Bilsen (1913-1996) nog kortstondig deel uit van de groep Dinaso's rond Paul Persijn en diens alternatieve Verdinaso-directorium. Ondertussen ging hij ook op zoek naar andere manieren om aan betekenisvolle politiek te doen onder het bezettingsregime. Vanuit de overtuiging dat Duitsland nog lange tijd heer en meester over Europa zou blijven, raakte Van Bilsen in 1941 verwikkeld in een kluwen van nationalistische en royalistische Nieuwe Orde-initiatieven. In die middens ondernamen ook socialistisch voorman Hendrik De Man en de industrieel Tony Herbert afzonderlijke pogingen om iets zinvols te ondernemen in afwachting van het oorlogseinde.Tijdens Van Bilsens reis naar Berlijn in oktober 1940 was de idee ontstaan om een soort eenheidsbeweging rond Hendrik De Man op te zetten. Concreet moest De Man, in de hoedanigheid van een soort kanselier, een kabinet vormen met Dinaso’s. Dit op basis van een gemeenschappelijk programma waarin de Dinaso-ideologie centraal stond. Van Bilsen stond echter alleen met zijn enthousiasme want andere Dinaso's zagen een mogelijke samenwerking met De Man niet zitten. Bovendien stond ook De Man zelf bijzonder sceptisch tegenover het hele opzet. Verder dan een introductiegesprek tussen Van Bilsen en De Man is het aanvankelijk niet gekomen.Pas begin februari 1941 vond een eerste weerzien plaats tussen Van Bilsen en De Man. Deze laatste toonde zich toen bijzonder geïnteresseerd in de ontbinding van het Verdinaso en op 1 maart volgde een tweede ontmoeting in verband met de De Mans voorbereidingen voor de uitgave van Le Travail, dagblad van de Unie voor Hand- en Geestesarbeiders. De Man was op zoek naar enthousiaste medewerkers voor zijn krant en hengelde daarom naar Van Bilsens hulp. Van Bilsen negeerde dit en stelde voor om een Nederlandstalig dagblad 'met standing' uit te geven, los van de Unie voor Hand- en Geestesarbeiders en qua programma vergelijkbaar met dat van het Rexistische Le Nouveau Journal. Een bezoek van Otto Abetz (Duits ambassadeur in bezet Frankrijk en oud-leerling van De Man) aan Brussel, bracht dit voornemen in een stroomversnelling. Met de steun van Abetz zou het mogelijk zijn om een Vlaams dagblad uit te geven dat 'de Belgische thesis' verdedigde. Van Bilsen ging mee in die redenering en werkte alvast een voorstel uit. Van Bilsen wilde een 'politiek, cultureel, economisch informatie- en leidingsblad' uitgeven met als taak het 'negatieve nationalisme, zoals het 'anti-Fransch, anti-Waalsch en anti-Hollandsch', te bestrijden. Het 'België van morgen' zou volgens de ontwerpnota georiënteerd zijn op de vereniging van de Nederlanden en om dit alles te realiseren moest na de bezetting een 'Orde-revolutie van bovenaf' worden doorgevoerd. Er moesten echter nog heel wat praktische zaken geregeld worden vooraleer tot een daadwerkelijke uitgave kon overgegaan worden. In het bijzonder de financiering van het project en het vinden van een geïnteresseerde drukker bleek al snel onmogelijk. Door een gebrek aan middelen is er van een dagblad dan ook niets in huis gekomen.Toch had Van Bilsen de ontwerpnota niet voor niets opgesteld. Tijdens het voorjaar van 1941 vond De Man inspiratie in een initiatief van Robert Poulet en Raymond De Becker, de respectieve hoofdredacteurs van Le Nouveau Journal en de 'gestolen' Le Soir. Zij brachten alle rechtse Waalse groeperingen samen onder de noemer 'Parti Unique des Provinces Romanes de Belgique'. Eind mei 1941 voerde De Man van zijn kant een aantal gesprekken met als doel een soortgelijke organisatie aan Vlaamse kant uit te bouwen. Daartoe werd ook Van Bilsen opnieuw ingeschakeld. Eind mei 1941 werd hem verzocht om de voornoemde ontwerpnota aan De Man over te brengen. Waarschijnlijk hoopte deze de ontwerpnota nu te kunnen gebruiken als politiek-ideologische fundering voor een eventueel blad ter ondersteuning van de nog op te richten nieuwe formatie.Tijdens een eerste samenkomst op 6 juni 1941 deed De Man zijn plannen uit de doeken aan een achttal genodigden, onder wie ook Van Bilsen. De Man wilde samen met de Parti Unique een alternatieve eenheidsbeweging vormen voor de taalgrensoverschrijdende collaboratiecoalitie tussen het VNV en Rex. Daarvoor moest eerst en vooral een Vlaams pendant van de Parti Unique opgestart worden met een aantal 'Vlaamse personaliteiten'. De politiek-ideologische agenda van de op te richten beweging werd voorgesteld in een 'Schets van een Programma voor een Vlaamsche Beweging in het kader van een Belgisch Federale Staat'. De beweging zou zich niet profileren als een nieuwe partij. Het zou louter gaan om een groepering van 'thans geïsoleerde personen, en kernvorming, als mogelijk element van een ruimere constellatie later'. Ten tweede zou de groepering nationaal-socialistisch zijn, voor een socialistische orde en een autoritaire staat. Van Bilsen struikelde echter over De Mans federalistische opvattingen voor de toekomst van het Belgisch staatsverband. Het was duidelijk dat er tussen De Man en Van Bilsen een communautair meningsverschil bestond dat voor die eerste onbelangrijk scheen, maar voor Van Bilsen van onoverkomelijk belang was. Uiteindelijk bleken Van Bilsens reserves ten aanzien van een zoveelste samenwerking met De Man overbodig. De oprichting van een Nationale Bond-Vlaanderen (NBV), zoals het project ondertussen heette, werd namelijk verboden door de Duitse militaire overheid.Voor Van Bilsen was het na deze laatste poging met De Man duidelijk dat een zinvolle aanwezigheidspolitiek onmogelijk was onder de bezetting. Hij sloot zich vervolgens aan bij de clandestiene beweging van Tony Herbert, maar eigenlijk maakte Van Bilsen de mentale overstap al vroeger. Herberts beweging vond zijn wortels in een netwerk van kleine 'morele weerstandsgroepen'. Herbert was een van de weinige figuren die nooit heeft willen twijfelen aan een geallieerde eindoverwinning en vond dat men, gezien 'een Duitse overwinning voor ons land en volk een katastrofe zou zijn, slechts in één hypothese moest werken'. Hij zag het daarom als zijn plicht om tijdens de bezetting een eensgezinde groep mensen klaar te stomen om, onmiddellijk na de bevrijding, de eenheid van het land te verzekeren om zo de economische, sociale en politieke problemen van de naoorlogse periode het hoofd te bieden. De grootste uitdaging hierbij zou volgens Herbert de integratie van Walen en Vlamingen in een nieuw België zijn.Concreet begon Herbert tijdens het najaar van 1940 voordrachten te geven 'over de nationale betekenis van de Vlaamse Beweging'. Toenadering tussen Waalse en Vlaamse elites en de vervlaamsing van de Franstalige Vlamingen stonden hierbij telkens centraal. Met dit 'werk van nationale vernieuwing' oogstte hij al snel succes, ook omdat het patriottisme hoogtij vierde in de middens die hij aandeed. Begin 1941 kon Herbert al een beroep doen op een bescheiden netwerk van geëngageerde studiegroepen, al was het toen nog te vroeg om van een georganiseerde beweging te spreken. Vanaf maart 1941 vertakte dit netwerk zich ook tot in Wallonië en op 19 juni dat jaar, exact een week voordat de oprichting van de NBV verboden werd, had Van Bilsen een beslissend gesprek met Herbert. Qua politiek-ideologische instelling sloot de ultraroyalistische en antiparlementaire actie van de Herbert-beweging goed aan bij Van Bilsens discours. Bovendien was attentisme niets voor iemand met een innerlijke gedrevenheid als die van Van Bilsen. De concrete aanpak van de clandestiene Herbert-groepen moet, na de resem Duitse weigeringen tot erkenning, een heuse verademing geweest zijn.Het staat vast dat Van Bilsen zich vanaf september 1941 volledig aan de Herbert-beweging wijdde. Van Bilsens 'schamele' advocatenpraktijk bleek de ideale dekmantel om 'herbertianen' te ontvangen, vergaderingen te houden en de werking van de beweging te stuwen. Bovendien liet zijn registratie bij de balie hem toe om afspraken te regelen in het Justitiepaleis en de vredegerechten. Herbert zorgde aldus voor een nieuw kantoor op een centrale locatie in Brussel waar Van Bilsen daarna, van september 1941 tot februari 1944, het hart van de Herbert-beweging leidde. Mede omdat zich onder de Herbertianen een groot aantal verzetslieden bevonden, verzeilde ook Van Bilsen geleidelijk in de wereld van het actieve verzet.________Jef Van Bilsen between Hendrik De Man and Tony Herbert. The political search by a former DinasoAfter the failure of the Verdinaso party, Jef Van Bilsen (1913-1996) briefly joined the Dinaso Group led by Paul Persijn with his alternative Verdinaso-directory. Meanwhile he also started searching for different ways of being involved in significant politics during the regime of the Occupation. Based on the conviction that Germany would continue as lord and master of Europe for a long time to come, Van Bilsen was caught up in a tangle of nationalistic and royalist New Order initiatives. The socialist leader Hendrik De Man and the industrialist Tony Herbert also started separate initiatives in that environment to undertake something meaningful while awaiting the end of the war. During his trip to Berlin in October 1940, Van Bilsen conceived the idea of starting a kind of unity movement centred around Hendrik De Man. This meant in fact that De Man, as a kind of chancellor was to constitute a cabinet together with the Dinaso members, based on a common programme focused on the Dinaso-ideology. However, Van Bilsen was isolated in his enthusiasm, for the other Dinaso members did not consider it feasible to cooperate with De Man. Moreover, De Man himself was very sceptical towards the whole concept. At first, Van Bilsen and De Man did not get beyond an introductory conversation. Not until the beginning of February 1941 Van Bilsen and De Man met again. At that time, De Man was very interested in the dissolution of the Verdinaso party and on 1 March, a second meeting took place in view of De Man’s preparations for the publication of Le Travail, a daily paper of the Union of Manual and Intellectual Workers. De Man was searching for enthusiastic collaborators for his paper and he therefore angled for the assistance of Van Bilsen. Van Bilsen ignored this attempt and proposed instead to publish a daily paper ‘of standing’ in the Dutch language that would be separate from the Union of Manual and Intellectual Workers and whose programme would be comparable with that of the Rexist Le Nouveau Journal. A visit by Otto Abetz (the German Ambassador in occupied France and a former student of De Man) to Brussels gave impetus to this intention. With the support of Abetz it would be possible to publish a Flemish daily paper that would defend the ‘Belgian proposition’. Van Bilsen agreed with this line of thinking, and immediately drafted a proposal. Van Bilsen wished to publish a ‘political, cultural, economic informative and leading newspaper that would have the mission to combat ‘the negative nationalism ‘like ‘the anti-French, anti-Walloon and anti-Dutch’ types of nationalism. According to the draft note, the ‘Belgium of tomorrow’ would be geared towards the reunion of the Netherlands, and in order to bring all of this about it would be necessary to carry out a ‘top-down Order-revolution’ after the occupation. However, a large number of practical matters needed to be resolved before a factual publication could be produced. It soon proved that in particular the financing of the project and finding an interested printer was impossible. Because of a lack of finances, the daily paper never saw the light of day. However, Van Bilsen had not composed the draft note in vain. During the spring of 1941, De Man was inspired by an initiative by Robert Poulet and Raymond De Becker, the respective chief editors of Le Nouveau Journal and the 'stolen' Le Soir. They united all right-wing Walloon factions under the common denominator of the 'Parti Unique des Provinces Romanes de Belgique'. At the end of May 1941, De Man had a number of conversations in his turn in order to set up a similar organisation for the Flemish side. Van Bilsen became involved again for this purpose. At the end of May 1941, he was asked to hand over the previously mentioned draft note to De Man. The latter probably hoped to make use of the draft note as a politico-ideological foundation for a future publication for the as yet to be founded formation. During a first meeting on 6 June 1941, De Man revealed his plans to eight invited guests including Van Bilsen. De Man wanted to start an alternative unity movement together with the Parti Unique to achieve a collaboration coalition across the language boundaries between the VNV and Rex. A preliminary to this end was to start up a Flemish counterpart to the Parti Unique that would include a number of ‘Flemish personalities’. The politico-ideological agenda of this future movement was presented in an ‘Outline of a programme for a Flemish movement in the framework of a Belgian Federal State’. The movement was not to be profiled as a new party. It would only concern a grouping of ‘persons that were isolated at present, and could form a core, which might be a possible element of a larger constellation later on’. Secondly, the grouping would be national-socialist, propagating a socialist order and an authoritarian state. However, Van Bilsen considered the federalist concepts of De Man an obstacle for the future of the Belgian Union of state. It was clear that De Man and Van Bilsen had different opinions about the communities. The former considered this of little importance, but for Van Bilsen it was an insurmountable problem. In the end, Van Bilsen’s reservations about yet another attempt of cooperation with De Man proved to be superfluous, as the German military authorities forbade the foundation of a National Union-Flanders (NBV) as the project was called by then. After this last attempt with De Man, Van Bilsen concluded that a meaningful politics of presence was impossible during the occupation. Consequently, he joined the clandestine movement of Tony Herbert, though he really had already switched his allegiance earlier on. Herbert’s movement was based on a network of small ‘moral resistance groups’. Herbert was one of the few people who never wanted to doubt the eventual victory of the Allies and he considered that in view of the fact that ‘a German victory would constitute a catastrophe for our country and our people, you could really only act based on one hypothesis’. Therefore, he considered it his duty to prepare a group of like-minded people during the occupation in order to be able to ensure the unity of the country and thereby confront the economic, social and political problems of the post-war period immediately after the liberation. Herbert considered that the main challenge would then be the integration of the Walloons and the Flemings into a new Belgium. During the autumn of 1940, Herbert started in fact to give lectures about the ‘national significance of the Flemish Movement’. He always focalised on the rapprochement between Walloon and Flemish elites and the process of converting French speaking Flemings into Flemish speakers. He quickly became successful with this ‘work of national renewal’, in part because patriotism reigned supreme among the circles he visited. At the beginning of 194l, Herbert could already call on a modest network of committed study groups, even if it was too early to call it an organised movement. From March 1941, this network also started spreading into Wallonia and on 19 June of that year, exactly one week before the foundation of the NBV was forbidden, Van Bilsen had a decisive discussion with Herbert. The politico-ideological views of the ultra-royalist and anti-parliamentarian action of the Herbert Movement fitted in well with the discourse of Van Bilsen. The concrete approach of the clandestine Herbert-groups must have provided great relief, after the series of German refusals for recognition. It has been established that Van Bilsen dedicated himself completely to the Herbert Movement from September 1941. Van Bilsen’s 'humble’ lawyer’s office proved to be the ideal cover for receiving the members of the Herbert Movement, to organise meetings and to promote the operation of the Movement. Moreover, his registration at the bar allowed him to organise meetings in the Justice Palace and the justice of the peace courts. Thus, Herbert provided a new office in a central location in Brussels, from where Van Belsen led the core of the Herbert Movement from September 1941 until February 1944. In part, because the Herbert Movement counted a large number of members of the resistance, Van Bilsen gradually also ended up in the world of active resistance.

Aisyiyah salah satu organisasi otonom di Muhammadiyah. Aisyiyah merupakan gerakan wanita Islam yang mendobrak kebekuan feodalisme dan ketidaksetaraan gender secara hierarki keorganisasian. Ranting Aisyiyah Prenggan beranggotakan dari usia dewasa hingga lanjut usia. Seiring bertambahnya usia, tubuh mengalami penurunan fungsi pada berbagai sistem, baik masalah pada sistem muskuloskeletal maupun sistem kardiovaskuler. Permasalahan yang dihadapi mitra dalam hal ini Ranting Aisyiyah PRA Prenggan adalah kurangnya pemahaman kesehatan terkait masalah nyeri atau kekakuan otot dan hipertensi sehingga penulis melakukan pengabdian masyarakat yang meliputi pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan. Tujuan dari pengabdian masyarkat ini adalah meningkatkan penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi ibu-ibu Aisyiyah Prenggan. Metode yang dilakukan antara lain penyuluhan tentang pemahaman nyeri, kekakuan otot dan terapi nyeri secara gratis, pelatihan cara mengoperasikan alat terapi infrared, dan penghibahan peralatan kesehatan untuk Kader PRA Prenggan. Program ini meningkatkan pemahaman partisipan tentang nyeri dan terapi nyeri, meningkatkan partisipan dapat mengoperasikan alat terapi infrared, dan meningkatkan kemampuan cek tekanan darah dengan mengunakan tensi digital dan alat terapi infrared.

Tujuan:Untuk mengetahui gambaran kesehatan endong-endong yang berkaitan dengan perilaku kerja yang tidak ergonomis dan upaya penanggulangan risiko PAK (penyakit akibat kerja) dan KAK (kecelakaan akibat kerja ).Konten:Terciptanya kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan untuk semua usia adalah salah satu fokus SDGs. Namun, hal ini belum terlaksana secara menyeluruh di Indonesia. Endong-endong, atau wanita yang berprofesi mengangkut barang di pasar dengan menggendong menggunakan kain jarik. Sejumlah 60 orang diantaranya merupakan lansia, dimana mereka setiap harinya menggendong buah dan sayur seberat 25-98 kg dalam satu kali angkut dengan frekuensi 15 kali atau lebih. Mereka bekerja tanpa memperhatikan faktor ergonomis seperti berat beban maksimal untuk wanita, frekuensi angkat maksimal dalam sehari kerja, teknik mengangkat beban, waktu kerja, dan tidak memperhatikan jarak tempuh mengangkut beban.Perilaku tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan terutama PAK (penyakit akibat kerja) yaitu nyeri pada sistem muskuloskeletal seperti otot-otot punggung, pinggang, juga nyeri pada tangan, lutut, dan kaki. Masalah yang sering dialami lansia endong-endong adalah keluhan low back pain (nyeri punggung bawah). Selain itu, kelelahan akibat kerja akan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan akibat kerja. Risiko masalah kesehatan ini semakin tinggi terlebih pada lansia mengingat bahwa lansia wanita memiliki daya tahan tubuh yang lebih rentan dibandingkan dengan wanita usia produktif. Dari hasil penggalian data, sebagian besar lansia endong-endong mengalami keluhan nyeri pada punggung bawah dan kaki. Dimana keluhan nyeri punggung bawah ringan sebesar 31,5%, sedang 57,5% dan berat 11%. Hal tersebut terjadi karena semakin berat beban yang dibawa seseorang setiap kali menggendong maka tekanan pada tulang belakang menjadi semakin besar, sehingga kemungkinan terjadinya nyeri juga semakin besar terlebih ini terjadi pada lansia. Lainnya juga mengalami kecelakaan akibat kerja seperti terjatuh dan terpeleset karena kelelahan dan lingkungan kerja yang licin saat mengangkat beban.Sebagai pekerja sektor informal, kelompok ini tidak secara khusus mendapatkan perlindungan jaminan kesehatan. Sehingga upaya penanggulangan yang dapat diterapkan adalah Pos UKK yang menyelenggarakan upaya pemberian pelayanan kesehatan bagi pekerja informal dengan pendekatan utamanya promotif dan preventif didukung dengan upaya kuratif dan rehabilitatif sederhana bersumberdaya masyarakat (UKBM). Didalam Pos UKK, terdapat upaya-upaya pencegahan penyakit dan kecelakaan kerja serta upaya pengobatan dan terapi pemulihan sederhana untuk buruh gendong yang beroperasi di Pasar Giwangan Anggota paguyuban sebelumnya diberikan pelatihan upaya pencegahan, pengobatan, dan terapi sebagai kader kemudian keahlian yang didapat tersebut diterapkan pada anggota kelompok Pos UKK Buruh Gendong.

Teesid: 20. sajandil on esile kerkinud mitmeid teatrisuundi, mis on kritiseerinud ja püüdnud ületada Lääne traditsioonilise teatri väidetavat sõnakesksust ning samuti selle võimetust täita n-ö püha kunsti funktsioone. Kuigi seda pühadusedefitsiiti on püütud leevendada ennekõike orientaalsetest teatrivormidest inspiratsiooni ammutades, aitab selle võimalikku tekkelugu mõista ka katoliikliku kultuuri mõjuväljas võrsunud teatrikunsti ning teatrivaenulikuma ortodoksi teoloogia kontekstis välja töötatud ikooniteoloogia võrdlus. Kõrvutades nende kahe konfessiooni teoloogilis-esteetilisi arusaamu, saame analüüsida ka performatiivsuse esteetika seisukohast olulisi kunstiteose loome- ja tajutingimuste vormilisi ja meelelisi aspekte ning nende toimet sakraalse kunsti sihtide seisukohast.SU M M A R YIn the 21st century Western society has seen an increasing interest in topics related to religion. In this context, the connection between the concept of sacrality in Western culture and freedom of verbal and artistic expression has been reconsidered; the very possibility of so-called sacred art within Western culture has been called into question.Already in the 20th century several theatrical movements in the West have expressed the need to strive for religious (or at least quasi-religious) goals by means of the stage. This can already be seen in the work of the symbolists, but such experiments accelerated and became more forceful under the influence of Antonin Artaud’s visions and under the aegis of intercultural theatre. In all of these different quests one can find common elements: discontent with the discursivity of the theatrical canon, a need for a metaphysical dimension in the theatre, and the belief that channels of perception can be opened through contact with exotic ritual cultures.In his book Sacred Theatre Ralph Yarrow has attempted to define the criteria of sacrality in the theatre, drawing upon William S. Haney’s prior determinations, which emphasizes first, that sacred theatre induces a change of consciousness in which the subject and the object merge; second, the liminality of the intersubjective environment surrounding the experience of the sacred, in which the verbal and the transcendental unite. When describing the influence of the logocentrism of Christian culture on the experience of sacredness, Yarrow draws on the views of Mark C. Taylor, Rudolf Otto, Mircea Eliade and Georges Bataille. All of these thinkers critique the rationalism attributed to monotheistic religion, which gives an important place to Christ as the mediator of God’s transcendental truth, the logos, and sacred scripture, all of which differ from the numinous experience of the mystic. The art of so-called sacred theatre, where, at least according to tradition, the performative mission, dramaturgy, stage design, and public reception are all part of a unified contemplative whole seems to be missing in Western culture. Indeed, this is what several Western stage experimenters have been looking for, and in their search they have looked eastward.New viewpoints with respect to the perception of a work of art were gained in the „performative turn“ of the end of the 20th century; besides the text, proponents of this new direction became interested in the sensory and bodily processes of creativity and reception. Erika Fischer-Lichte and others have conceptualized these processes on a more general level and reflected upon the aesthetics of performativity; insodoing they have pointed to a dualism in the Western aesthetics of performativity, recognizing that there is a contradiction between the referential, semiotic pole of art and its performative dimension. Although the reasons for this split can be sought in the very origins of Western art as well as that of medieval Christian art, relations between theatre and the church differ according to confession; Yarrow’s definitions do not apply to Christianity as a whole. As distinct from the Catholic church, which, occasional polemics notwithstanding, has been a good neighbour to theatre from the medieval period onward, Orthodox theology has been more wary of theatre, or at least regarded the media and goals of theatre as incompatible with the goals of sacred art.Despite this difference of context, the iconographer of Eastern art and the theatre avant-gardist who longs for sacrality in Western logocentric theatre focus on similar mechanisms and processes. With respect to the origin and development of medieval religious art one might generalize that while the centre of Orthodox liturgy is the fellowship of holy communion, in the Western Church a drive toward analysis and interpretation arose alongside the experience of communion. This analytic drive facilitated the development of interpretive scholastics which translated theology by means of formal logic. Also, a dramaturgic aspect began increasingly to differentiate itself from the Mass and holy communion, finding more commonality with theatre as an independent art form. In the Eastern Church, which preserved the theological heritage of the Church Fathers was preserved, the theology of the icon was developed. According to this, sacred art could not be regarded apart from its liturgical context, nor could an independent aesthetic value be attached to it. The platonic roots of Orthodox theology led to the perpetuation of the attitude of the Church Fathers: theatre could endanger the health of the soul or prevent the pursuit of spiritual goals, that is theosis, because the fictional world of theatre blurs truth and human identity, drawing both the performer and the viewer toward affectivity and escapism. However, despite its conservative theology of the icon, which deplored realism and emotionality, the Orthodox church had its own aesthetic of performativity, which in addition to content draws attention to the creative, functional and perceptual prerequisites for sacred art.The theological and aesthetic differences between Catholicism and the Orthodox church are also reflected today in the theologically-inclined reception of works with religious content. For example, based on the lively theological feedback to Mel Gibson’s 2004 film, The Sufferings of Christ one might claim that the judgments of Catholics mostly concern the m e s s a g e of the work, the appropriateness of its content, that is the referential pole; Orthodox theologians rather place more emphasis on the appropriateness of the m e d i u m to theological goals, that is, the performative effect of the work of art. Besides differences in pure artistic representation, it is also worth examining such questions as Catholic and Orthodox interpretations of the Trinity or the teaching of Gregorius Palamas (1296–1359) on divine energies, which were later declared to be heretical. Thus Orthodox liturgical practice seems to contradict many of the stereotypes that eastward-turning seekers of sacred theatre have attributed to Western sacral culture as a whole, overlooking aspects of dynamism that can be found in the Eastern Christian church. This topic has been discussed in several recent accounts of iconography, which examine the performativity of the icon, distinguishing its processes of creation and perception from the Western representation-oriented concept of the picture (eg Bissera V. Pencheva, Adrian Gorea).Granted, one should be careful when drawing parallels between the strictly rule-bound theology of the icon and aesthetics of performativity focused on the sensory aspect of art. However, this article takes the position that what should be emphasized are the differences between Orthodox and Catholic views of art, by means of which one can elucidate the points of departure of the Western quest for sacred theatre and the performative level to which it aspires.