Academic literature on the topic 'Potensi Desa'
Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles
Consult the lists of relevant articles, books, theses, conference reports, and other scholarly sources on the topic 'Potensi Desa.'
Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.
You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.
Journal articles on the topic "Potensi Desa"
1
Larasati, Stephani Rangga. "Potensi Desa Pulutan." Jurnal Atma Inovasia 2, no. 3 (2022): 309–16. http://dx.doi.org/10.24002/jai.v2i3.4741.
Full textAbstract:
The group service program 52 Period 79 raised the potential of Pulutan Village and divided this potential into 3 aspects: (1) Agricultural Potential, (2) Processing Industry Potential, and (3) Natural Tourism Potential, as well as a pocketbook work program on the topic of Production and Cassava Chips Distribution. The results of the two programs are in the form of e-books and videos. The program objectives, such as the development of an urban farming system and the production and distribution of cassava chips, are in line with the vision and mission implemented by Pulutan Village. The mission of Pulutan Village is to create an orderly, cultured village towards a society that is competitive, advanced, independent, and prosperous. This program can increase the productivity of citizens, broaden residents' insights, and support the welfare of residents. The program is expected to inspire the people of Pulutan Village to develop the potential of their village. The method used in data search is through cultural studies via the internet and discussions with groups. For data processing, we carry out documentation from studies that we have obtained from the internet. The results of this service program are the development of urban farming techniques, development of agritourism, innovation of processed peanut products, and processed potato chips production and distribution. It is hoped that from this program, residents of Pulutan Village and readers will gain insight into the development of a village.Keywords — agriculture, production, distribution
2
Purba, Minda, Aknes Marsela, Ririn Mustika, Ririn Subakti, Suci Khairani, and Adi Bejo Suwardi. "Potensi POTENSI PENGEMBANGAN AGROFORESTRI BERBASIS TUMBUHAN BUAH LOKAL." Jurnal Ilmiah Pertanian 17, no. 1 (2020): 27–34. http://dx.doi.org/10.31849/jip.v17i1.4113.
Full textAbstract:
Agroforesi merupakan suatu system pengelolaan lahan yang dibuat untuk mengatasi masalah yang timbul akibat alih guna lahan untuk mengatasi masalah pangan. Agroforestri bertujuan agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Beragamnya tumbuhan buah lokal yang tumbuh di Aceh Timur sangat berpotensi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Aceh Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi agroforestri tumbuhan buah-buahan local di kecamatan Birem Bayeun, kabupaten Aceh Timur, Indonesia. Penelitian ini dilakukan di 5 desa di Kecamatan Birem Bayeun, Kabupaten Aceh Timur yaitu desa Jamur Labu,desa Buket Seuleumak,desa Bukit Tiga, desa Blang Tualang dan desa Keude Birem. Penelitian dilakukan menggunakan metode observasi, survey, eksporasi, dan wawancara yang terstruktur melalui kuesioner. Sebanyak 125 orang responden yang tediri atas 25 orang per desa dipilih secara acak. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisi persepsi masyarakat terhadap pengembangan buah lokal. Hasil penelitian telah menemukan sebanyak 30 jenis tumbuhan buah yang terdiri dari 20 famili dan 29 genus. Citrus sinensis merupakan jenis tumbuhan buah yang berpotensi dikembangkan di Kecamatan Birem Bayeun, Kabupaten Aceh Timur.
3
Wula, Handrianus V. M. "Potensi Desa Wisata Rende." Jurnal Poros Politik 1, no. 1 (2019): 17–22. http://dx.doi.org/10.32938/jppol.v1i1.335.
Full textAbstract:
Desa wisata dibentuk sebagai salah satu perwujudan pemerintah Indonesia dalam memberdayakan masyarakat pedesaan melalui pengembangan sektor pariwisata. Desa Rende merupakan salah satu dari dua desa wisata yang ada di kabupaten Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran terkait potensi yang dimiliki oleh desa wisata Rende sebagai desa adat di Sumba Timur. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Desa ini memiliki kekayaan budaya seperti kampung adat, kuburan megalitik serta kerajinan tenun ikat. Kekayaan budaya dari desa ini dapat dinikmati di Kampung adat Praiyawang. Pemerintah dan penduduk desa setempat perlu bekerjasama dalam mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat melalui program desa wisata.
4
Simbolon, Marlina Eliyanti, Aan Nurhasanah, and Lilis Lismaya. "Pemanfaatan Potensi Desa Kertawana Menuju Desa Unggul." Jumat Keagamaan: Jurnal Pengabdian Masyarakat 4, no. 2 (2023): 72–77. http://dx.doi.org/10.32764/abdimasagama.v4i2.3644.
Full textAbstract:
Permasalahan yang terjadi dalam pemberdayaan masyarakat adalah menggali potensi lokal desa, karena masih terdapat keengganan masyarakat untuk diberdayakan dalam perbaikan kehidupan sosial ekonom dan juga masih belum berjalannya pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah desa. Masyarakat desa baik sebagai individu maupun kelompok haruslah memahami arti penting serta manfaat untuk membangun diri, dengan mendayagunakan potensi yang ada pada dirinya maupun lingkungannya, sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupan yang lebih baik. Sebagai suatu proses kemandirian mengandung segi-segi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan sehingga dengan demikian meliputi semua aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pengabdian masyarakat yang dilakukan di Desa Kertawana, Kecamatan Kalimanggis, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat ini adalah pendampingan menggali potensi-potensi yang terdapat di desa, sehingga terwujudlah desa sejahtera dan mandiri. Peran serta aparat desa serta masyarakat sangat penting dan saling mendukung untuk melangkah bersama demi satu tujuan yaitu desa unggul.
5
Asbeni, Asbeni. "Strategi Pengembangan Ekonomi Desa Menuju Desa Mandiri." PATANI (Pengembangan Teknologi Pertanian dan Informatika) 4, no. 2 (2020): 21–25. http://dx.doi.org/10.47767/patani.v4i2.12.
Full textAbstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan potensi ekonomi yang dapat mendukung pengembangan ekonomi di desa Sekura, dan mengkaji faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya terhadap pengembangan potensi desa, serta mengkaji bagaimana langkah pemerintah desa dan masyarakat dapat menentukan strategi pengembangan ekonomi menuju desa mandiri, yaitu desa yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak tergantung dengan bantuan dari pemerintah. Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Melalui kegiatan FGD Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT dan QSPM. Dari identifikasi, terdapat faktor-faktor internal yang menyebabkan Desa Sekura dapat mendorong pengembangan potensi ekonomi desa antara lain: Pertama, adanya keinginan untuk berkembang dari masyarakat itu sendiri. Kedua, Masyarakat memiliki kapasitas atau kemampuan untuk berwirausaha. Ketiga, kepala desa yang mampu mengorganisir masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa potensi ekonomi di Desa Sekura meliputi: sektor perdagangan, kewirausahaan dan industri, sedangkan, faktor pendukung utama adalah keadaan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat desa yang sudah memadai. Adapun strategi pengembangan berdasarkan SWOT adalah : a) Pendirian BUMDes dengan memanfaatkan SDM dan SDA yang dimiliki; b) Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola potensi yang dimiliki; c) meningkatkan kualitas masyarakat melalaui pelatihan tentang kewirausahaan; d) Peningkatan pemahaman masyarakat tentang potensi wirausaha. Tingkat kepentingan dari berbagai macam strategi yang didapatkan dari hasil SWOT, adalah sebagai berikut : 1)Pendirian BUMDes dengan memanfaatkan SDM dan SDA yang dimiliki; 2)Meningkatkan kualitas masyarakat melalaui pelatihan tentang kewirausahaan; 3)Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola potensi yang dimiliki; dan 4) Peningkatan pemahaman masyarakat tentang potensi wirausaha.
6
Kurniawan, Bagus Eka, Leni Ria Saputri, Lilis Nur Aini, and Rohim Rohim. "Pemberdayaan Masyarakat Melalui BUMDES." Majalah Ilmiah Pelita Ilmu 5, no. 1 (2022): 1. http://dx.doi.org/10.37849/mipi.v5i1.294.
Full textAbstract:
Potensi Desa di Desa Kertonegoro Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember masih butuh perhatian dari pemerintah desa. Dimana pengembangan potensi Desa dibidang Pertanian, sumber Daya Alam, Produksi usaha, dan bidang Wisata belum dikembangkan secara keseluruhan serta Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Desa untuk berpartisipasi dalam pengembangan potensi Desa di Desa Kertonegoro masih belum maksimal. Pengembangan Potensi Desa dibidang Pertanian dengan kondisi lahan dan jenis pertanian yang sangat banyak masih belum maksimal dikembangkan oleh Pemerintah Desa Kertonegoro, hasil pertanian masyarakat susah untuk dikembangkan sehingga masyarakat harus berjuang untuk mengelola pertanian secara pribadi . Pengembangan Potensi Desa dibidang Sumber Daya Alam secara program sudah berjalan dengan baik dimana pemerintah Desa Kertonegoro mampu menciptakan saluran air bersih bagi seluruh masyarakat dan potensi ini sudah dirasakan masyarakat kegunaannya dan masyarakat sangat puas dengan kinerja pemerintah untuk pengembangan potensi Desa ini, dan perlu dikembangkan pemerintah Desa kembali.Namun saat ini masih sangat sedikit desa yang mampu mengembangkan potensinya. Hal ini di sebabkan selama ini desa lebih banyak di posisikan sebagai objek pembangunan sehingga sangat menggantungkan pemerintah pusat. Rendahnya kreatifitas sentralistik pada masalalu banyak potensi yang di biarakan terbengkalai tidak di kembangkan sumber kemakmuran masyarakat, sekarang saatnya kita membangun desa berbasis pada potensi desa yang dimiliki. Pembagunan desa hakekatnya merupakan basis dari pembangunan nasional,apabila setiap desa telah mampu melaksanakan pembangunan secara mandiri maka kemakmuran masyarakat akan mudah terwujud dan secara nasional akan meningkatkan indeks kemakmuran masyarakat Indonesia. Untuk bisa mewujudkan semua ini maka pemerintah desa bersama sama dengan segenap lembaga dan tokoh masyarakat perlu mengenali potensi apa saja yang ada baik fisik maupun non- fisik dan memahami bagaimana strategi dan cara mengembangkan potensi tersebut agar bisa di manfaatkan sebesar- besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Pemetaan potensi desa sangat penting peranannya guna mendukung upaya pemerintah melakukan swasembada desa melalui pembuatan potensi desa dengan baik. Kendala yang dihadapi yaitu Kurang optimalnya pengelolaan dan pengembangan BUMDes dan potensi desa, Minimnya kolaborasi BUMDes dengan pihak-pihak terkait, kurangnya kesadaran untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam mengelola BUMDes dan potensi desa.Pengembangan Potensi Desa dibidang Wisata belum dikembangkan secara maksimal oleh pemerintah Desa, dimana ada objek wisata yang seharusnya bisa meningkatkan perekonomian Desa namun tidak dikembangkan dengan baik dan pemerintah Desa Kertonegoro perlu mengembangakn potensi Desa dibagian Wisata dengan melibatkan masyarakat supaya lebih berkembang dan maksimal. Potensi Desa yang bisa dikembangakan di Desa Kertonegoro terdiri dari bidang pertanian, sumber daya alam, produksi usaha, dan bidang wisata. Namun untuk pengembangannya masyarakat hanya sebagian kecil yang ikut terlibat berpartisipasi masyarakat lebih mementingkan pekerjaannya sendiri dibandingkan ikut berpartisipasi dalam pengembangan potensi Desa, masyarakat yang tinggal di Desa Kertonegoro sendiri yang kurang perhatian atau memberi hati supaya berpartisipasi dalam Pengembangan Potensi Desa. Dan pemerintah Desa harus menambah program yang bisa mengupayakan seluruh masyarakat supaya terlibat dan berpartisipasi dalam pengembangan Potensi Desa. Dimana menggunakan metode pelaksanaan yaitu analisis SWOT karena dapat mengukur dan mengetahui kelemahan, kekuatan, ancaman, keuntungan yang dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengetahui keungulan potensi desa. dalam pengembangan Potensi Desa di Desa Kertonegoro Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember masih butuh perhatian dari pemerintah desa. Dimana pengembangan potensi Desa dibidang Pertanian, sumber Daya Alam, Produksi usaha, dan bidang Wisata belum dikembangkan secara keseluruhan serta Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Desa untuk berpartisipasi dalam pengembangan potensi Desa di Desa Kertonegoro masih belum maksimal. Pengembangan Potensi Desa dibidang Pertanian dengan kondisi lahan dan jenis pertanian yang sangat banyak masih belum maksimal dikembangkan oleh Pemerintah Desa Kertonegoro, hasil pertanian masyarakat susah untuk dikembangkan sehingga masyarakat harus berjuang untuk mengelola pertanian secara pribadi .
7
Kristiawan, Yanuarius Benny. "Pemetaan Potensi Desa Ngestirejo." Jurnal Atma Inovasia 1, no. 3 (2021): 409–16. http://dx.doi.org/10.24002/jai.v1i3.3991.
Full textAbstract:
The village potential mapping was carried out in Ngestirejo Village, Gunungkidul Regency which was selected in accordance with the decision of the Institute for Research and Community Service (LPPM) Atma Jaya University Yogyakarta (UAJY). The purpose of this paper is to see and describe the potential that exists in Ngestirejo Village that can be developed by the local community which can be found through various sources on the internet and written works of other sources. Ngestirejo Village has several village potentials that can be developed, such as in the tourism sector, which consists of natural and cultural tourism and agriculture.
8
Visnhu, Bartolomeus Galih. "Kekayaan Potensi Desa Pengasih." Jurnal Atma Inovasia 1, no. 2 (2021): 130–37. http://dx.doi.org/10.24002/jai.v1i2.3904.
Full textAbstract:
Tanaman jagung memiliki hasil panen yang paling besar di Desa Pengasih, pada sektor peternakan, pengolah limbah ternak berupa urin dan kotorannya untuk dijadikan pestisida dan biogas. Secara khusus tujuan penyuluhan ini adalah untuk melakukan pengembangan tanaman jagung menjadi lebih baik dengan memanfaatkan semua unsur yang ada pada tanaman jagung dan upaya agar produksi dan penjualan dapat dilaksanakan secara maksimal, serta pemanfaatan limbah hewan ternak sebagai barang produktif yang dapat menunjang pertanian dan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Desa Pengasih. Segala bentuk observasi yang dikerjakan untuk memperoleh data yang diperlukan ialah dengan menggunakan metode atau cara observasi secara daring atau online. Dengan memanfaatkan potensi desa dalam bidang pertanian, kelompok mengolah tanaman jagung menjadi beberapa olahan. Olahan-olahan tersebut terdiri dari beras jagung dan emping jagung yang terbuat dari biji jagung, pupuk kompos yang terbuat dari tongkol jagung, serta pakan ternak dari tanaman jagung.
9
Akhmad Mulyadi and Teguh Imam Rahayu. "PENGEMBANGAN POTENSI DESA MENUJU DESA WISATA DI DESA BERMI." Public Service and Governance Journal 3, no. 1 (2022): 45–52. http://dx.doi.org/10.56444/psgj.v3i1.632.
Full textAbstract:
Isu desa dengan segala sumber daya yang dimiliknya sudah bergulir sejak lama, untuk menjawab itu semua maka, pemerintah mengeluarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan segala optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang ada sehingga menjadi solusi terhadap permasalahan desa, Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan serta menganalisa Pengembangan Potensi Desa Menuju Desa Wisata Di Desa Bermi kecamatan Mijen Kabupaten Demak dengan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif, dengan mengacu pada teori dan analisis SWOT (Strength, Weaknesess, Opportunity, dan Threath). Pengembangan potensi desa sebagai upaya meningkatkan pendapatan asli desa, tumbuh dan berkembangnya desa wisata bukan semata-mata peran dari satu stakeholder saja, namun perlu adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Keinginan Pemerintah Desa Bermi bersama masyarakat dalam pengembangan potensi desa menuju desa wisata belum dapat terwujud. Hal ini dikarenakan pemerintah desa belum membuat aturan baik berupa Peraturan Desa ataupun Peraturan Kepala Desa tentang desa wisata. Potensi yang dapat dikembangkan sejak lama ada adalah Sumur Gandeng, ini bisa menjadi modal utama sebagai maskot, icon, dan jargon Desa Bermi, “ke Sumur Gandeng, Pasti ke Bermi”, Inovasi desa menuju desa wisata belum tertata, hanya penambahan bangunan pintu gerbang masuk ke halaman Sumur Gandeng. Pengunjung yang datang ke Sumur Gandeng hanya orang yang memiliki kepentingan khusus (ritual) bukan menjadi pengunjung yang menikmati keindahan lokasi wisata. Partisipasi masyarakat Desa Bermi masih dipengaruhi oleh sesepuh desa dan masih bersifat partisipatif pasif atau “sendiko dawuh”. Pengelolaan desa wisata dilakukan oleh Pemerintah Desa, hanya dibantu beberapa orang dari masyarakat yang tugasnya hanya bersifat menjaga kondisi lingkungan di sekitar Sumur Gandeng.
10
Adyantari, Api. "Kajian Potensi Desa sebagai Pembangunan Sentra Wisata Desa Donotirto Kapanewon Kretek Kabupaten Bantul." Jurnal Atma Inovasia 2, no. 6 (2022): 644–51. http://dx.doi.org/10.24002/jai.v2i6.5230.
Full textAbstract:
Dalam Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat 17 Kapanewon (Piyungan, Dingo, Imogiri, Pleret, Banguntapan, Sewon, Pundong, Kretek, Bambanglipuro, Bantul, Jetis, Kasihan, Pajangan, Pandak, Sanden, Srandakan, dan Sedayu). Salah satu desa yang terdapat di dalam Kapanewon Kretek adalah Desa Donotirto. Sumber daya desa yang dapat dirasakan manfaatnya bagi kepentingan desa, serta warganya disebut sebagai potensi desa. Tujuan program ini adalah untuk mencari Potensi desa yang terdapat pada Desa Donortirto. Terdapat dua macam potensi desa, yaitu potensi fisik dan non-fisik. Potensi desa fisik adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki desa yang berhubungan dengan sumber daya alam, sedangkan potensi desa non-fisik adalah potensi-potensi dalam suatu desa yang berhubungan dengan aspek sosial masyarakat desa. Potensi desa Donotirto yang dapat dikembangkan adalah letak strategis dan tersedianya lapangan kosong yang dapat dimanfaatkan menjadi sebuah sentra wisata yang dapat memikat perhatian masyarakat sekitar. Sentra wisata ini nantinya akan digunakan oleh masyarakat desa sendiri untuk menjual produk dan/atau sumber daya alam yang dimiliki desa, kepada para pengunjung. Potensi Desa Donotirto ini dikembangkan melalui pembangunan sentra wisata yang dapat berfungsi sebagai sumber penghasilan dan juga media bagi masyarakat desa untuk melakukan promosi secara offline.
Dissertations / Theses on the topic "Potensi Desa"
1
Gibier, Mathieu. "Fondation des lois du mouvement dans la "Dynamica De Potentia" de G. W. Leibniz : traduction et commentaire." Thesis, Nantes, 2016. http://www.theses.fr/2016NANT2012/document.
Full textAbstract:
Je propose dans ce mémoire une traduction et un commentaire du traité posthume Dynamica de Potentia, rédigé en latin par Leibniz en 1689-90 au cours de son voyage en Italie. Une attention particulière a été portée, dans ce commentaire, sur la structure de l’argumentation et sur les nombreux liens qui rattachent ce traité aux autres oeuvres de Leibniz : ses publications sur la dynamique, mais aussi ses ouvrages métaphysiques et ses méditations concernant les fondements des mathématiques. J’ai cherché également à replacer la dynamique leibnizienne dans le contexte scientifique qui l’a rendue possible, en comparant l’approche de Leibniz à celle de ses grands prédécesseurs : Archimède, Galilée, Descartes, ou de ses grands contemporains : Wallis, Huygens, Newton. La première partie du traité est principalement d’ordre mathématique, et appelle une explication technique dans certains chapitres, pour laquelle j’ai souvent recouru au formalisme du calcul infinitésimal : la mise en oeuvre de ce calcul dans le domaine mécanique (et non plus seulement dans celui de la géométrie où il a vu le jour) est en effet un des points que le commentaire s’efforce de mettre en lumière. La seconde partie du traité soulève tous les problèmes de fond posés par la mécanique classique : signification des invariants fondamentaux, harmonie de lois de la nature, énigme de la cohésion des corps, relativité du mouvement. Le mémoire s’efforce de les éclairer, non seulement dans les notes qui accompagnent le texte, mais aussi dans des textes introductifs et des appendices placés à la fin des chapitres les plus denses<br>This memoir offers a translation and a detailed commentary of Leibniz’s posthumous work Dynamica de Potentia, composed in Latin in 1689-90 during his trip to Italy. A special attention has been cast to the structure of the arguments and to the numerous topics linking this treatise to Leibniz’s other works : non only his published texts about dynamics, but also his meditations about metaphysics and the foundation of mathematics. I have also tried to replace Leibnizian dynamics into the scientific context which has made its birth possible, comparing Leibniz’s methods both with those of his great predecessors, Archimedes, Galileo, Descartes, and with those of his great contemporaries, Wallis, Huygens, Newton. The first part, called “abstract dynamics”, mainly deals with mathematical issues requiring technical explanations and a frequent use of the calculus.One of the principal issues is indeed, how to extend calculus outside the boundaries of geometry and make it an appropriate tool to formalize mechanics. The second part of the treatise raises almost all the major questions attached to classical mechanics : the meaning of the laws of conservation and their harmony, the enigma of the cohesion of matter, the relativity of motion. It tried to elucidate them in the notes running besides Leibniz’s text, but also in longer analyses conceived as introductions or appendices to the chapters
2
Reimann, Christian. "In-vitro Generation of potent T-lymphoid Progenitors in a feeder-cell-free DL-4 system." Phd thesis, Université René Descartes - Paris V, 2012. http://tel.archives-ouvertes.fr/tel-00771452.
Full textAbstract:
Human leukocyte antigen (HLA)-mismatched haematopoietic stem cell transplantation (HSCT) represents an important therapeutic option for patients lacking suitable donors. Delayed posttransplant immune recovery constitutes one of its major complications and is most pronounced in the T cellular compartment. A novel strategy to promote de novo thymopoiesis from donor derived HSCs and to accelerate T cellular reconstitution in patients after HSCT consists in the adoptive transfer of in vitro generated T cell progenitor cells. Identification of Notch1 as the key regulator of early T-lineage development has allowed the generation of Notch ligand-based culture systems, which provide a powerful tool to generate T-lymphoid progenitors in vitro. The efficacy of murine T-lymphoid progenitors to promote T cell reconstitution has been well demonstrated in conventional mouse models. In consistency, in vitro-generated human T cell progenitors were demonstrated to promote thymic recovery in humanized mice. Yet, positive effects of in vitro generated human T cell precursors on peripheral T cell reconstitution have not been demonstrated. Moreover currently used Notch-based co-culture systems consist of genetically modified murine cell lines. With view to establishing a clinically applicable system, feeder-cell-free Notch-ligand culture systems for the generation of T-lymphopoietic progenitors are warranted. During my PhD project I developed a new culture system based on the immobilized Notch ligand Delta-like-4 (DL-4). Exposure of human CD34+ cord blood cells to immobilized DL-4 enabled the in vitro generation of high number of T cell progenitors, which harboured the phenotype of immature early thymic progenitor cells (ETP) and prothymocytes (proT). ETP and proT cell generated during DL-4 culture upregulated essential genes involved in early T-lymphoid development (i.e. IL7Rα, PTα, RAG1 and BCL11b) and had undergone stage-specific recombination of the T cell receptor (TCR) locus in a similar way as in native human thymopoiesis. In limiting dilution analysis after secondary OP9/DL-1 co-culture, DL-4 progenitors displayed a highly increased T-lymphoid potential, which could be entirely attributed to the ETP and proT subset. When transferred into NOD/SCID/γc-/- mice, DL-4 primed T cell progenitors migrated to the thymus and accelerated intrathymic T cell differentiation and emergence of functional, mature and polyclonal αβ T cells in the periphery. In a co-transplantation approach, which more closely mimics a clinical setting, DL-4 progenitors and untreated CD34+ cells from HLA-disparate donors were simultaneously injected in the same recipient. This procedure allowed even more rapid and more robust T cell reconstitution. HLA-tracking of the distinct graft sources further showed, that DL-4 progenitors specifically reconstituted the T-lymphoid compartments. This work provides further evidence for the ability of in vitro-generated human T cell progenitors to promote de novo thymopoiesis and shows for the first time, that these cells accelerate peripheral T cell reconstitution in humanized mice. The availability of the efficient feeder-cell-free DL-4 culture technique represents an important step towards the future clinical exploitation translation of in vitro generated T-lymphoid progenitor cells to improve posttransplant immune reconstitution
3
Yaacoub, Katherine. "c-FLIP as a potent anticancer target : Enhancement of cancer cell apoptosis by compounds identified through virtual screening." Thesis, Rennes 1, 2017. http://www.theses.fr/2017REN1B011/document.
Full textAbstract:
FLIP (FLICE inhibitory protein) est une protéine anti-apoptotique qui a des identités de séquence partagées avec la protéine pro-apoptotique caspase-8. FLIP se trouve en compétence avec caspase-8 pour se fixer sur la protéine adaptatrice FADD, ce qui empêche l’activation de caspase-8 bloquant ainsi l'apoptose. Lors du développement des molécules interférant avec des protéines anti-apoptotiques, la recherche d'inhibiteurs de la protéine FLIP qui est surexprimée dans un très grand nombre de cancers, a échoué. Cela s'explique en partie par le fait que peu d'information structurelle de FLIP est actuellement disponible TRAIL est une cytokine de la famille TNFα. Elle est décrite pour activer des voies de signalisation conduisant à la mort cellulaire par apoptose. TRAIL a montré un grand intérêt dans la thérapie anticancéreuse, grâce à sa capacité d’induire la mort des cellules tumorales sans aucun effet sur les cellules normales. Cependant, l’efficacité de TRAIL est limitée par plusieurs mécanismes moléculaires. Un de ces mécanismes est la surexpression de FLIP qui fait compromettre l’utilisation thérapeutique de TRAIL. Le but principal de ce projet est de développer des nouvelles molécules capables d’inhiber la protéine FLIP dans les cellules tumorales, sans aucun effet sur la protéine homologue caspase-8. Après modélisation des protéines FLIP et caspase-8 sur la base de la structure cristallographique de FLIP viral et FADD respectivement, des premières expériences d’ancrage ou “docking” utilisant une banque de composés chimiques du «National Cancer Institute NCI » ont été réalisées. Les 9 molécules les plus intéressantes, étant comme sélectives pour FLIP et non caspase 8, ont été sélectionnées et testées sur des lignées de cancer de poumons surexprimant la protéine FLIP. Une co-administration de chacune des molécules inhibitrices de FLIP avec TRAIL a été faite pour vérifier la restauration de la voie apoptotique dans les cellules cancéreuses. Un test moléculaire de « Pull down assay » a été fait afin de confirmer l’inhibition de l’interaction de FLIP avec FADD. Finalement, l’évaluation de l’activité enzymatique des caspases a été étudiée pour vérifier la réactivation de la voie apoptotique après la combinaison de TRAIL avec les inhibiteurs de c-FLIP. En conclusion, la combinaison de TRAIL avec les inhibiteurs de FLIP aboutit à la restauration de la voie apoptotique dans des cellules cancéreuses. Ces composés nouvellement identifiés, peuvent servir ultérieurement comme des potentiels éléments des stratégies utilisées dans le domaine du traitement du cancer<br>FLIP (FLICE Inhibitory Protein) is an anti-apoptotic protein which shares sequencesimilarity with the pro-apoptotic protein caspase-8. FLIP competes with caspase-8 for binding to the adaptor protein FADD (Fas-associated death domain), thus it inhibits caspase-8 activation, thereby blocking apoptosis. During the development of molecules interfering with anti-apoptotic proteins, searching for inhibitors of FLIP protein which is overexpressed in a very large number of cancers, has failed. This is partly due to the fact that little FLIP structural information is available at present. TRAIL is a member of TNFα superfamily. It has been described to activate the apoptotic signaling pathways. TRAIL showed great interest in anti-cancer therapy, due to its ability to induce tumor cell death without any effect on normal cells. However, the efficacy of TRAIL is limited by several molecular mechanisms. One of these mechanisms is the overexpression of FLIP which is able to compromise the therapeutic use of TRAIL. The main goal of this project is to develop novel inhibitory molecules able to interfere with FLIP in tumor cells without any effect on the homologous protein caspase 8. After the construction of FLIP and caspase-8 proteins on the basis of the crystallographic structure of the viral FLIP and FADD respectively, the first docking experiments using a chemical library of the National Cancer Institute NCI have been carried out. The most interesting molecules, being selective for FLIP versus caspase 8, were selected and tested on lung cancer cell lines that overexpress FLIP protein. Co-administration of FLIP inhibitors with TRAIL was performed to verify the restoration of the apoptotic pathway in cancer cells. A molecular test of "Pull down assay" was done in order to confirm the inhibition of the FLIP/FADD interaction. Finally, the evaluation of caspases activity was carried out to confirm the reactivation of the apoptotic machinery after TRAIL/FLIP-inhibitors combination. In conclusion, the combination of TRAIL with FLIP inhibitors resulted in apoptosis restoration in resistant tumor cells. These newly identified compounds may serve later as potential elements in cancer treatment field
4
Fournier, Kevin. "Construction d'indicateurs de toxicites cumulees : cas des composes organiques semi volatils dans les environnements interieurs." Thesis, Rennes 1, 2015. http://www.theses.fr/2015REN1B019/document.
Full textAbstract:
Les composés organiques semi volatils (COSV) sont largement présents dans les environnements intérieurs et sont suspectés d’être repro- ou neurotoxiques, mais peu de données sont disponibles quant à leur toxicité en mélanges. L’objectif de cette thèse est de proposer des indicateurs de toxicité cumulés pour les COSV détectés dans les logements français, dans un cadre d’évaluation des risques sanitaires cumulés. Les COSV ont été regroupés en fonction de leurs modes d’action communs, en lien avec les effets reprotoxiques (diminution de la concentration de testostérone sérique) et neurotoxiques (diminution de la viabilité neuronale). Des benchmark doses (BMD) ont ensuite été estimées par modélisation (modèle de Hill, PROAST, RIVM) des relations dose-réponse de la littérature décrivant la réponse d’intérêt. Des BMD comparables ont pu être estimées seulement pour 6 des 19 COSV reprotoxiques induisant une diminution de testostérone de 10 ou 50 % chez le rat adulte exposé par voie orale. Les facteurs de toxicité relatifs (RPF) estimés à partir des BMD sont sensiblement les mêmes en fonction du niveau de réponse (de 1600 pour le B(a)P à 0,1 pour le BBP), excepté pour le biphénol A qui passe de 7E+6 à 180. Considérant la mort neuronale in vitro, des BMD ont pu être estimées pour 13 COSV neurotoxiques, à partir de données provenant de différentes lignées et espèces. Les BMD équivalent à un niveau de réponse de 10 % s’échelonnent de 0,07 (PCB-153) à 95 µM (diazinon). L’originalité de ce travail repose sur le regroupement de composés de familles chimiques différentes qui constituent des contaminations réelles de notre environnement. Si l’estimation des quelques BMD a été possible à partir des données de la littérature, de nombreuses limites méthodologiques conduisent à émettre des recommandations en particulier sur la standardisation des protocoles expérimentaux et la disponibilité des résultats sous une forme adaptée à la modélisation de la relation dose-réponse<br>Semi-volatile organic compounds (SVOCs) are widely present in indoor environments and are suspected to be repro- or neurotoxic but little is known on the health impact on SVOC mixtures. The objective of this work is to derive cumulative toxicity indicators for SVOCs detected in French dwellings in carrying forward a cumulative health risk assessment. SVOCs were grouped according to their repro- and neurotoxic common modes of action (i.e. decrease in serum testosterone concentrations, decrease in neuronal viability). Benchmark doses (BMDs) were then estimated by modeling dose-response relationships from scientific literature (Hill models, PROAST, RIVM). Comparable BMDs were estimated only for 6 of the 19 reprotoxic SVOCs which are responsible to 10 or 50% decrease in testosterone in adult male rats orally exposed. Estimated relative potency factors (RPFs) from BMDs are similar according to the response level (from 1600 for the B(a)P to 0.1 for the BBP), excepted for bisphenol A moving from 7E+6 to 180. For in vitro neuronal death, BMDs were estimated for 13 neurotoxic SVOCs using data from different cell lines and species. BMDs equivalent to a 10% of response range from 0.07 (PCB-153) to 95 µM (diazinon). The originality of this work is the grouping of compounds from different chemical families which we are really exposed to. BMDs estimation from published data was possible but many methodological limitations lead us to put forward recommendations especially on the standardization of experimental protocols and the availability of results in adapted format for dose-response relationship modeling
5
Martínez-Patón, Víctor. "Análisis histórico de la responsabilidad penal corporativa." Thesis, Paris 10, 2016. http://www.theses.fr/2016PA100063/document.
Full textAbstract:
La thèse présente un historique complet sur la responsabilité pénale des personnes morales depuis les récits de la Genèse jusqu’aux sentences de la Cour Suprême espagnole prononcées en 2016. Cette histoire n’est pas simplement une description des différents auteurs ou des différents moments historiques, mais c’est plutôt une reconstruction critique construite principalement pour identifier et pour démêler la doctrine qui trouve dans l’expression latine societas delinquere non potest l’argument le plus important pour nier la possibilité d’attribuer la responsabilité pénale aux groupements. Une fois établis les concepts et les idées selon le système philosophique appelé « matérialisme philosophique », dont l’auteur est l’espagnol Gustavo Bueno, une étude de la sentence latine, d’origine inconnue jusqu'à présent, est présentée ; c’est donc pour la première fois que nous identifions et expliquons cette origine: elle a été inventée par Franz von Liszt en 1881. Après cela une reconstruction complète de l’histoire de l’idée est réalisée et l’on découvre deux nouveautés fondamentales : que la Révolution française n’a jamais prétendu refuser la responsabilité pénale des groupements et que la Cour Suprême espagnole avait prononcé des sentences condamnatoires aux groupements au XIXe siècle. Sur la base de ces faits, on situe à la fin de la Seconde Guerre Mondiale le moment dans lequel la sentence latine prend le sens d’impossibilité ontologique des groupements quant à commettre un crime et qui se base sur une idée politique et non juridique : la décision des puissances victorieuses du fait que l’Allemagne n’avait pas été coupable, mais seulement certains hiérarques et groupements Nazis<br>This thesis provides a comprehensive history of corporate criminal liability, from the Book of Genesis up to the rulings handed down by the Spanish Supreme Court in 2016. However, this history is not limited to a mere descriptive survey of authors or historical periods: instead, it constitutes a powerful critique of a doctrinal tradition which purports to find in the Latin maxim societas delinquere non potest the best argument to deny that corporations can be held criminally liable. Once that the concepts and ideas which lie at the basis of this thesis are established following the philosophical system known as “philosophical materialism”, founded by Spanish philosopher Gustavo Bueno, I present an inquiry on the heretofore unknown origins of the Latin maxim which I have been able to trace back to 1881, when its originator, Franz von Liszt coined it. After it I undertake a comprehensive reconstruction of the history of this idea, from which two major findings emerge: firstly, that the French revolutionaries never intended to reject corporate criminal responsibility and secondly, that the Spanish Supreme Court issued convictions against societies in the 19th century. On the basis of these facts, the end of World War II emerges as the key turning point in History when the Latin maxim acquired the status of a philosophical principle denying the ontological possibility of a society to be criminally responsible. A principle whose roots are not to be found in legal doctrine but in a political idea: the decision by the Allied powers that it was not Germany that was to be held responsible for war crimes, but rather only those Nazi Party organizations and hierarchy directly involved<br>La tesis presenta un estudio histórico completo sobre la responsabilidad penal de las personas jurídicas, desde el libro del Génesis hasta las sentencias del Tribunal Supremo de 2016. Este estudio no se plantea únicamente como una mera descripción de diferentes autores o momentos históricos, sino como una reconstrucción crítica construida principalmente para identificar y destruir la doctrina que encuentra en la expresión latina societas delinquere non potest el argumento más importante para negar la responsabilidad penal corporativa. Una vez establecidos los conceptos y las ideas según el sistema filosófico llamado "materialismo filosófico", cuyo autor es el filósofo español Gustavo Bueno, se presenta un estudio de la frase latina, de origen desconocido hasta ahora. Por primera vez se identifica y se explica este origen: fue inventada por Franz von Liszt en 1881. Tras ello se presenta una reconstrucción completa de la historia de la idea en la que se descubren diversas novedades historiográficas, entre las que destacan el hecho de que la Revolución Francesa nunca pretendiera rechazar la responsabilidad penal corporativa y que el Tribunal Supremo español hubiera pronunciado sentencias condenatorias a empresas en el siglo XIX. Sobre la base de estos hechos, situamos al final de la Segunda Guerra Mundial el momento en el que la sentencia latina toma el sentido de imposibilidad ontológica de las corporaciones de cometer delitos y que según entendemos se basa en una idea política y no jurídica: la decisión de las potencias vencedoras de que Alemania no había sido culpable, sino solamente algunos jerarcas y corporaciones nazis
6
Rasheed, Muhammad Faisal. "Purchasers’ responses to ethical dilemmas in B2B markets : a study of individual, psychological, and organizational variables." Electronic Thesis or Diss., Aix-Marseille, 2021. http://theses.univ-amu.fr.lama.univ-amu.fr/210129_RASHEED_111jns949qu484taxewz764dyfp_TH.pdf.
Full textAbstract:
La présente étude s'est concentrée sur les réponses des professionnels des achats et de la chaîne d'approvisionnement face à 18 situations éthiques de référence. La thèse menée a émis l'hypothèse que les démographie personnelle et organisationnelle, religiosité, idéologies éthiques, puissance morale, et intensité morale sont liées aux quatre étapes de la prise de décision éthique (Jones, 1991) l'importance perçue de la question éthique, la reconnaissance, le jugement et l'intention dans un contexte d'achat. L'étude actuelle utilise principalement un modèle de recherche expérimentale de type quantitatif. Tout d'abord, six scénarios représentant six dimensions de l'intensité morale ont été construits et validés par des discussions avec des experts en achats. Les dimensions de l'intensité morale ont été manipulées par des scénarios. Les réponses ont été recueillies auprès de 364 professionnels des achats pour les six scénarios en réalisant une enquête. En ce qui concerne la vérification des hypothèses, l'étude actuelle a utilisé des statistiques univariées et multivariées pour analyser les données. L'analyse de variance a révélé des résultats significatifs en ce qui concerne l'intensité morale, la religiosité, les idéologies éthiques et potencé morale, qui sont hétérogènes en fonction des caractéristiques démographiques personnelles et organisationnelles. De plus, l'analyse de la méthode des équations structurelles a largement confirmé que l'intensité et puissance morale sont les antécédents clés des étapes de prise de décision éthique, soit indépendamment, soit dans le cadre nomologique de prise de décision éthique (importance perçue, reconnaissance, jugement et intention)<br>The present study focused on responses of purchasing and supply chain professionals faced with certain ethical situations. Individual (personal demographics, religiosity, ethical ideologies), psychological (moral potency), issue contingent (moral intensity), and organizational (firm size, activity, code of ethics) variables are hypothesized to the four stages of ethical decision making (EDM) including perceived importance of ethical issue, recognition, judgment, and intention in a purchasing context. The current study majorly employed a quantitative experimental research design. Firstly, six purchasing scenarios representing six dimensions of moral intensity were constructed and validated through detailed discussions with purchasing experts. Moral intensity dimensions were manipulated through scenarios. Responses were collected from 364 purchasing professionals for all six scenarios by conducting a survey. Firstly, all categorical variables and manipulations were examined through ANOVA. Then overall model was then tested in a multivariate space by using SEM path analysis for all six scenarios. The variance analysis revealed significant findings for moral intensity, religiosity, ethical ideologies, and moral potency and are heterogeneous across personal and organizational demographics. Moreover, the SEM analysis largely confirmed that moral intensity and moral potency are the key antecedents to EDM stages either independently or in the nomological serially mediated framework of EDM (perceived importance, recognition, judgment, and intention). Finally, the present research concluded with future directions for researchers and implications for managers as well
7
Body, Simon. "Physiopathologie du lymphome à cellules du manteau : de la mécanistique aux modèles précliniques." Thesis, Normandie, 2017. http://www.theses.fr/2017NORMC419/document.
Full textAbstract:
Le lymphome à cellules du manteau (LCM) est une hémopathie maligne B mature, appartenant à la famille des lymphomes non hodgkiniens. Le LCM est caractérisé par la translocation t(11;14)(q13;q32) qui provoque une expression aberrante de cycline D1. C’est une pathologie rare mais à haut risque de rechute, et qui reste le plus souvent incurable suite à l’apparition de clones chimiorésistants. L’acquisition de résistance est intimement liée aux interactions entre les cellules tumorales et leur microenvironnement. Afin de mimer de la manière la plus pertinente possible ces interactions, nous avons mis en place un modèle murin de xénogreffe en utilisant les lignées cellulaires de LCM JeKo1, REC1, Z138 et Granta-519 que nous avons modifiées afin qu’elles expriment un fluorophore (GFP ou m-cherry) et/ou le gène codant pour la luciférase. Après injection aux souris du substrat de la luciférase, la luciférine, nous sommes en mesure de suivre au cours du temps la progression tumorale. Nous pouvons également évaluer le degré d’infiltration tumorale dans la moelle osseuse, la rate, le cerveau et le sang après euthanasie des animaux, par des techniques de cytométrie en flux et d’immunocytochimie. Ce modèle nous a permis de montrer l’intérêt thérapeutique d’un inhibiteur de l’exportine 1 (XPO1) : le KPT 330 (ou selinexor) qui est capable de contenir cycline D1 uniquement au niveau nucléaire. Nous avons montré que la localisation subcellulaire de cycline D1, est retrouvée majoritairement cytoplasmique dans certaines lignées cellulaires de LCM (2/7) et chez un certain nombre de patients (6/42, 14%), et est associée à un fort potentiel d’invasion, de migration et à un phénotype agressif. Par ailleurs, grâce à ce modèle, nous avons pu objectiver le manque d’efficacité in vivo d’agonistes aux récepteurs aux œstrogènes de type β (ER β). Ces récepteurs, présents sur les lymphocytes B étaient supposés inhiber la prolifération cellulaire et provoquer la mort des cellules par apoptose. L’utilisation de deux agonistes des ER β, le diarylpropionitrile (DPN) et l’ERB-041 a montré une absence d’effet de ces molécules, lorsque les cellules tumorales sont au contact de leur microenvironnement. D’autre part, afin de mieux comprendre les mécanismes de résistance aux chimiothérapies, nous avons étudié la résistance de la lignée cellulaire REC-1 traitée par des agents génotoxiques. Nous avons montré que cette lignée présentait une anomalie de dégradation de cycline D1 associée à une activité diminuée du protéasome 26S. Enfin, nous avons montré dans des travaux préliminaires que la protéine fused in sarcoma (FUS) pourrait, lorsqu’elle est associée à cycline D1, être capable de réguler les voies de réparation des dommages à l’ADN. Des anomalies de ces voies induisent une grande instabilité génétique responsable de l’échappement des tumeurs aux traitements, le ciblage de FUS pourrait par conséquent présenter un intérêt thérapeutique.Pris dans leur ensemble, ces résultats permettent de renforcer ou d’infirmer l’intérêt de certaines cibles thérapeutiques dans l’espoir de pouvoir continuer à améliorer la prise en charge des patients. Ils fournissent également un outil pour l’évaluation de nouvelles molécules dans un modèle murin prenant en compte les interactions entre la cellule tumorale et son microenvironnement<br>Mantle cell lymphoma (MCL) is a mature malignant hemopathy, belonging to the non-Hodgkin's lymphoma family. The MCL is characterized by the translocation t(11;14)(q13;q32) which causes an aberrant expression of cyclin D1. It is a rare disease but at high risk of relapse, and it is most often incurable due to the appearance of chemoresistant clones. The acquisition of resistance is intimately linked to the interactions between the tumor cells and their microenvironment. In order to mimic, in the most relevant way, these interactions, we have implemented a mouse xenograft model using the MCL cell lines JeKo1, REC1, Z138 and Granta-519 which we have modified so that they express a fluorophore (GFP or m-cherry) and / or the gene encoding the luciferase. After injection to the mice of the luciferase substrate, luciferin, we are able to follow over time the tumor progression. We can also assess the degree of tumor infiltration in bone marrow, spleen, brain and blood after euthanasia of animals, by flow cytometry and immunocytochemistry. This model allowed us to show the therapeutic interest of an inhibitor of exportin 1 (XPO1): the KPT 330 (or selinexor) which is able to contain cyclin D1 only on the nuclear level. We have shown that the subcellular localization of cyclin D1 is mainly cytoplasmic in some LCM (2/7) cell lines and in a number of patients (6/42, 14%), and is associated with a high potential Invasion, migration and an aggressive phenotype. Moreover, thanks to this model, we have been able to objectify the in vivo lack of efficacy of agonists to β-type estrogen receptors (ER β). These receptors, present on B lymphocytes, were thought to inhibit cell proliferation and cause cell death by apoptosis. The use of two ER β agonists, diarylpropionitrile (DPN) and ERB-041 showed an absence of effect of these molecules, when the tumor cells are in contact with their microenvironment. On the other hand, in order to better understand the mechanisms of resistance to chemotherapies, we studied the resistance of the REC-1 cell line treated with genotoxic agents. We have shown that this line has an abnormality of cyclin D1 degradation associated with decreased activity of the 26S proteasome. Finally, we have shown in preliminary work that the fused in sarcoma protein (FUS) could, when associated with cyclin D1, be able to regulate the repair pathways of DNA damage. Abnormalities of these pathways induce a great genetic instability responsible for the escape of tumors to treatments, the targeting of FUS could therefore be of therapeutic interest.Taken as a whole, these results reinforce or invalidate the interest of certain therapeutic targets in the hope of continuing to improve the management of patients. They also provide a tool for evaluating new molecules in a murine model that takes into account the interactions between the tumor cell and its microenvironment
8
Rousseau, Vincent. "Le fonctionnement interne des équipes de travail : conceptualisation, mesure et validation." Thèse, 2003. http://hdl.handle.net/1866/14694.
Full textBooks on the topic "Potensi Desa"
1
Indonesia. Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta., ed. Potensi desa. Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Propinsi D.K.I. Jakarta, 1988.
Find full text
2
Statistik, Indonesia Biro Pusat, ed. Statistik potensi desa. Biro Pusat Statistik, 1987.
Find full text
3
Statistik, Indonesia Biro Pusat, ed. Statistik potensi desa. Biro Pusat Statistik, 1995.
Find full text
4
Tengah, Indonesia Kantor Statistik Propinsi Sulawesi. Potensi desa Propinsi Sulawesi Tengah. Kantor Statistik, Propinsi Sulawesi Tengah, 1994.
Find full text
6
(Indonesia), Kalimantan Timur, ed. Potensi desa Kalimantan Timur, 1986. Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur, 1989.
Find full text
7
Indonesia. Kantor Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur., ed. Potensi desa Nusa Tenggara Timur. Kantor Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur, 1989.
Find full text
8
Riau (Indonesia : Province). Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, ed. Potensi desa per kecamatan Riau. Kerja sama Kantor Statistik dan Bappeda Propinsi Riau, 1985.
Find full text
9
Indonesia. Kantor Statistik Propinsi Sulawesi Utara., ed. Potensi desa: Sensus pertanian, 1983. Kantor Statistik Prop. Sulawesi Utara, 1988.
Find full text
10
Indonesia. Kantor Statistik Kabupaten Sukabumi. Potensi desa: Sensus Pertanian 1983. Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Sukabumi, 1985.
Find full textBook chapters on the topic "Potensi Desa"
1
Casagrande, Carla. "Sermo potens. Rhétorique, grâce et passions dans la prédication médiévale." In Le pouvoir des mots au Moyen Âge. Brepols Publishers, 2014. http://dx.doi.org/10.1484/m.bhcma_eb.1.101903.
Full text
2
Buyck, Margaux. "Larmes et fureur aux pieds de la potence. L’expression des émotions dans la littérature d’échafaud italienne (xvie-xviiie siècles)." In La palette des émotions. Presses universitaires de Rennes, 2021. https://doi.org/10.4000/13sfa.
Full text
3
Slamet Rahmat Topo Susilo and Habibullah. "Mendata Lampung, Menemukan Potensi." In Mencatat untuk Membangun Negeri: Narasi Emik Registrasi Sosial Ekonomi Jilid 2 Indonesia Tengah-Barat. Penerbit BRIN, 2023. http://dx.doi.org/10.55981/brin.777.c710.
Full textAbstract:
Kabupaten Lampung Selatan merupakan Pintu Gerbang Pulau Sumatera, letaknya strategis sebagai pintu masuk ke Pulau Sumatera. Meskipun posisinya strategis dan merupakan salah satu Kabupaten tertua di Provinsi Lampung namun tingkat kemiskinan peringkat ketiga di Provinsi Lampung. Selain itu, Kabupaten Lampung Selatan penduduknya sangat heterogen dengan karakteristik yang khas campuran Jawa Sumatera. Penulisan book chapter ini bertujuan untuk menggambarkan proses pelaksanaan Regsosek di Kabupaten Lampung. Kegiatan Regsosek di Kabupaten Lampung Selatan tidak mengalami kesulitan apabila dilihat dari bentang alam akan tetapi pada saat kegiatan Regsosek terjadi banjir dan beberapa penduduk Kabupaten Lampung Selatan di Kecamatan Natar, Jati Agung dan Tanjung Bintang secara de facto bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Lampung Selatan namun secara administrasi kependudukan, beberapa penduduk tercatat memiliki KTP dan KK Kota Bandar Lampung. Pelaksanaan Regsosek juga mendapat dukungan penuh dari desa, yaitu dengan dilibatkannya aparat desa (Kasie Pelayanan) sebagai PPL. Demikian juga masyarakat mendukung kegiatan pendataan ini. Bentuk dukungannya adalah memberikan informasi yang benar mengenai kondisi sosial ekonominya. Bahkan, penduduk yang didata menunjukan dokumen-dokumen yang sebetulnya bersifat rahasia, seperti dokumen sertifikat tanah dan bangunan. Pengkategorian awal keluarga sangat miskin, miskin dan tidak miskin hanya berasal dari informasi perangkat desa/RT/ RW setempat, akan tetapi juga melihat kondisi keluarga tersebut baik yang disampaikan melalui wawancara atau berdasarkan observasi tempat tinggal serta melihat data penerima bantuan sosial melalui https://cekbansos.kemensos.go.id/.
4
"6. Friedrich Nietzsche: Potentia oder Potestas?" In Kritik des reaktionären Denkens. transcript Verlag, 2023. http://dx.doi.org/10.1515/9783839469798-007.
Full text
5
Sousa, Ellen Karine Saraiva de, Manuela Sobral Bentes de Melo, Ranyere Nobre da Silva, et al. "Uso da Cetamina na Analgesia Preemptiva como forma de Alívio da Dor no Pós-Operatório Imediato." In Pesquisa em Saúde: Novos Contextos Sociais. Even3 Publicações, 2024. http://dx.doi.org/10.29327/5382904.1-9.
Full textAbstract:
Os momento pós-operatório é tão relevante quanto o ato operatório em si, demandando manejo das dores advindas dessa atividade. Estudos têm demonstrado que a analgesia no pós-operatório, em muitos casos, era realizada de forma inadequada. Este estudo objetiva analisar a o uso da cetamina na analgesia preemptiva como forma de alívio da dor no pós-operatório imediato, em estudos experimentais através de uma revisão na literatura. Os resultados dos estudos experimentais e clínicos aqui apresentados, apontaram que a S(+) cetamina é mais potente do que sua forma racêmica, indicando a superioridade daquela para fins de bloquear a sensibilização central, bem como que o uso da cetamina em pequenas doses na analgesia preemptiva, consiste no método mais eficaz no controle da dor do período pós-operatório. No entanto, ainda é muito restrito os artigos disponíveis sobre a temática, para fins de confirmar-se ou não, a efetividade dessa droga na analgesia preemptiva.
6
Damasceno, E. I. T., N. C. S. Reis, L. J. O. Mindelo, A. S. O. Pinto, and B. Y. B. Ribeiro. "DOCE DE GOIABA (TIPO GOIABADA) DIETÉTICO: DESENVOLVIMENTO E ESTUDO SENSORIAL." In Ciência e Tecnologia de Alimentos: o avanço da ciência no Brasil - Volume 4. Editora Científica Digital, 2023. http://dx.doi.org/10.37885/230613288.
Full textAbstract:
A goiaba (Psidium guajava) é um fruto que apresenta um grande valor nutricional. Porém devido ao seu caráter perecível, o excedente de produção deve ser processado rapidamente para evitar perdas. A produção de doce a base de goiaba é uma alternativa para muitos produtores. Recentemente a procura por produtos dietéticos vem aumentando sistematicamente, o que faz com que a indústria de gênero alimentício invista pesadamente em pesquisas orientadas para a elaboração de novos produtos. O objetivo desta proposta é agregar valor a um doce tradicional (goiabada), desenvolvendo produtos sem adição de açucares (sacarose). Os frutos adquiridos em feiras livres na cidade de Castanhal (Pará) foram higienizadas e em seguida obtidas as polpas (com casca, para o aproveitamento da pectina). Os doces de goiaba foram desenvolvidos em três formulações: com adição de sacarose (tradicional), sucralose/acessulfame e xilitol. Em seguida, foram envasados a quente em potes de vidro, pasteurizados e armazenados sob refrigeração até a utilização na análise sensorial. Os testes de aceitação (escala hedônica) e de intenção de compra foram realizados com 100 provadores não-treinados. As amostras foram analisadas quanto à presença de coliformes totais e bolores e leveduras com a finalidade de analisar as condições higiênico-sanitárias do produto. Os resultados mostraram bons índices de aceitação sensorial, de intenção de compra, além de apresentarem excelentes condições higiênico-sanitárias. Dessa forma, demonstraram o potencial mercadológico desse produto, servindo como alternativa para melhoria de renda para famílias que vivem da agricultura familiar.
7
Lopes, Lorrana Eller, Lorena Eller Lopes, Elberth Henrique Miranda Teixeira, et al. "AÇÃO E EFEITO DA LUTEOLINA NA INFLAMAÇÂO DO TECIDO ADIPOSO UMA REVISÃO NARRATIVA: LUTEOLINA NA INFLAMAÇÂO DO TECIDO ADIPOSO." In Plantas Medicinais: Sabedoria Tradicional e Ciência Moderna - Volume 1. Editora Científica Digital, 2024. http://dx.doi.org/10.37885/240616864.
Full textAbstract:
A luteolina (LU) é um flavonoide natural presente em dietas ricas em temperos, vegetais, hortaliças, ervas, frutos como açaí, plantas medicinais e em certos medicamentos naturais. Mesmo que estudos recentes apontem a importância dos flavonoides para a saúde e combate a certas doenças, é cada vez menor a sua presença nas dietas atuais, o que gera um impacto negativo na saúde. A luteolina (5,7-3′5′-tetrahidroxiflavona) é considerada um potente antioxidante e anti-inflamatório, podendo impedir a diferenciação adipogênica e o acúmulo do tecido adiposo. A preponderância de inflamação do tecido adiposo ocasionando doenças crônicas não transmissíveis salienta a necessidade de obter estratégias para precaver o acúmulo de gordura e entender suas vias regulatórias associadas. Mesmo não havendo um consenso na literatura sobre a influência deste flavonoide no tecido adiposo, ficou latente a importância da luteolina na diferenciação da adipogênese, seus efeitos regulatórios no metabolismo e acúmulo de lipídios em protocolo in vitro e em modelos animais. Desta forma, o objetivo desta revisão é relatar, identificar e compreender as ações e efeitos da luteolina na inflamação do tecido adiposo.
8
Silva, Paula Cristina Pereira, and Sérgio Silva. "Design-educação e pluralidade epistêmica: um potente diálogo para experiências de aprendizagem específicas e diferenciadas." In Anais do XV Congresso Brasileiro de Pesquisa e Desenvolvimento em Design - P&D Design. Edua, 2024. https://doi.org/10.29327/5457226.1-26.
Full textAbstract:
Estudos sobre Design-Educação têm sido feitos há algum tempo em outros países. No Brasil, existe uma lacuna principalmente no que tange investigações que dialoguem com outras epistemologias. Assim, neste artigo, apresentamos uma forma indígena Tikmu'un_Maxakali de se fazer escola destacando alguns ensinamentos dessa educação escolar específica e diferenciada. Nosso objetivo é mostrar como o diálogo pluriepistêmico se apresenta como um potente caminho para outras abordagens do Design-Educação. Este trabalho se justifica na fértil aproximação do Design com a Educação e na necessidade de colaborar com o enfrentamento dos inúmeros desafios impostos à educação escolar pela pandemia de Covid-19, especificamente, à melhoria dos processos de ensino-aprendizagem. Palavras Chave: Educação Escolar, Escola Indígena Tikmu'un, Design-Educação e Diálogos Pluriepistêmicos.
9
MATALLO, M. B., S. D. B. ALMEIDA, D. A. S. FRANCO, S. C. N. QUEIROZ, and A. L. CERDEIRA. "PRODUÇÃO DE ÁCIDO CHIQUÍMICO A PARTIR DE FONTES ALTERNATIVAS AO ILLICIUM SPP." In Ciência das Plantas: desafios e potencialidades em pesquisa. Editora Científica Digital, 2023. http://dx.doi.org/10.37885/230312549.
Full textAbstract:
O interesse pelo ácido chiquímico (SA) tem apresentado um forte incremento nos últimos anos devido à crescente demanda da indústria farmacêutica e cosmética. O SA é utilizado como um precursor para a síntese do fosfato de oseltamivir (Tamiflu®), um potente inibidor viral. Este ácido é extraído principalmente da planta Illicium verum Hook. A disponibilidade desta planta é um fator limitante para o crescimento do mercado no futuro próximo. Este artigo propõe fontes alternativas e viáveis para a produção do SA como Eichornia crassipes, Ginkgo biloba, Criptomeria japonica, Urocloa plantaginea, Zea mays, Glycine max e Pinus silvestrys. Assim, mais atenção deve ser dada ao desenvolvimento de tecnologias eficientes para a produção de ácido chiquímico, bem como encontrar fontes alternativas para sua extração e purificação.
10
NIGRA SALGADO, GABRIELE, and MAYANA LACERDA LEAL. "RECEITA CULINÁRIA COMO ANALOGIA NO ENSINO DE BIOLOGIA CELULAR." In Itinerários de resistência: pluralidade e laicidade no Ensino de Ciências e Biologia. Editora Realize, 2021. http://dx.doi.org/10.46943/viii.enebio.2021.01.487.
Full textAbstract:
O ENSINO DE BIOLOGIA CELULAR NA EDUCAÇÃO BÁSICA, MUITAS VEZES, CARECE DE RECURSOS DIDÁTICOS QUE AUXILIEM NA APRENDIZAGEM DE UMA GRANDE QUANTIDADE DE TERMOS E CONCEITOS ABSTRATOS RELACIONADOS A ESTRUTURAS MICROSCÓPICAS, SENDO NECESSÁRIA A FORMULAÇÃO DE ESTRATÉGIAS ALTERNATIVAS DE ENSINO. NESTE SENTINDO, APRESENTAMOS UMA PRÁTICA PEDAGÓGICA REALIZADA COM EDUCANDOS DO PRIMEIRO ANO DO ENSINO MÉDIO EM UMA ESCOLA DE FLORIANÓPOLIS-SC, NA QUAL FOI EXECUTADA UMA RECEITA CULINÁRIA COMO ANALOGIA E RECURSO DIDÁTICO PARA O ENSINO DE BIOLOGIA CELULAR. A UTILIZAÇÃO INTENCIONAL DESTA ANALOGIA, SOMADA À MEDIAÇÃO PEDAGÓGICA, MOSTROU-SE UMA EXPERIÊNCIA DIDÁTICA POTENTE E CONCLUÍMOS QUE O USO DE UM RECURSO DIDÁTICO LÚDICO PROMOVEU A ABERTURA POR PARTE DOS DISCENTES, FACILITANDO O DESPERTAR DA CURIOSIDADE SOBRE COMO OCORREM OS PROCESSOS CELULARES.
Conference papers on the topic "Potensi Desa"
1
Hanafi, Mohamad Hamid Mahmud, Elida Novita, and Idah Andriyani. "Analisis Potensi Lahan Desa Tanah Wulan Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso Untuk Perkebunan Kopi Arabika dan Kopi Robusta." In Implementasi IPTEKS Sub Sektor Perkebunan Pendukung Devisa Negara dan Ketahanan Energi Indonesia. Agropross : National Conference Proceedings of Agriculture, 2019. http://dx.doi.org/10.25047/agropross.2019.89.
Full textAbstract:
Desa Tanah Wulan Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu desa yang berada di lereng pegunungan Argopuro. Mayoritas penduduk di Desa Tanah Wulan berkerja sebagai petani kopi. Perkebunan kopi rakyat di Desa Tanah Wulan terletak lahan perhutani dengan ketinggian antara 600-1300 m dpl. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui potensi lahan untuk tanaman kopi arabika dan kopi robusta, mengetahui status pengelolaan lahan untuk budidaya kopi di Desa Tanah Wulan, dan mengetahui kesesuaian jenis tanah untuk budidaya kopi di Desa Tanah Wulan. Metode yang digunakan yaitu dengan analisis ketinggian dan kelerengan lokasi perkebuanan dengan menggunakan sistem informasi geografis. Hasil dari analisis perkebunan kopi menggunakan metode sistem informasi geografis menghasilkan peta yang memuat beberapa informasi. Informasi tersebut berupa lokasi lahan yang berpotensi untuk dijadikan kebun kopi arabika dan robusta. Informasi tentang kondisi lahan tersebut disajikan dalam bentuk peta potensi lahan yang dapat dijakan sebagai acuan untuk membuka lahan baru untuk dijakan kebun kopi. Dari hasil analisis potensi lahan didapatkan hasil lahan yang berpotensi untuk perkebunan kopi arabika hanya terkelola sebanyak 49% sedangkan untuk lahan robusta sudah dikelola sebanyak 95%.
2
Elviana, Eva, Fairuz Mutia, and Adibah N. Yunisya. "Upaya Pengembangan Potensi Lokal Kawasan Kalanganyar Sidoarjo menjadi Desa Wisata." In Seminar Nasional Archimariture. Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, 2018. http://dx.doi.org/10.32315/sem.3.a023.
Full text
3
Gading, Besse Mahbuba We Tenri, Sudi Nurtini, and Mujtahidah Anggriani Ummul. "Kinerja Usaha Pemeliharaan Sapi Bali (Bos sondaicus) Secara Ekstensif Pada Musim Penghujan dan Kemarau Oleh Peternak Lokal." In Kedaulatan Pangan Nasional Melalui Pengembangan Potensi Ternak Lokal di Era Kenormalan Baru. Animal Science : Polije Proceedings Series, 2020. http://dx.doi.org/10.25047/proc.anim.sci.2020.27.
Full textAbstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja usaha pemeliharaan sapi Bali secara ekstensif pada musim penghujan dan kemarau oleh peternak lokal di Desa Ajuraja, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tiga puluh orang peternak di Desa Ajuraja. Pengambilan sampel di Desa Ajuraja menggunakan metode purposive convinience sampling. Data diambil dengan cara survey dan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan. Data yang di ambil meliputi karakteristik peternak, biaya dan penerimaan dari usaha pemeliharaan sapi Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per peternak per bulan per unit ternak (UT) pada musim kemarau lebih besar dari musim penghujan yaitu sebesar Rp 115.608,00 dan musim penghujan Rp 3.562,00. Kegiatan pemeliharaan sapi Bali pada musim kemarau dan musim penghujan termasuk menguntungkan karena memiliki R/C lebih dari 1 yaitu berturut-turut 22,01 dan 1,03.
4
Lidiyawati, Anna, Binti Khopsoh, and Riska Faradila. "Kejadian Mastitis Subklinis Pada Induk Sapi Perah Laktasi di Desa Sumbersari Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar." In Kedaulatan Pangan Nasional Melalui Pengembangan Potensi Ternak Lokal di Era Kenormalan Baru. Animal Science : Polije Proceedings Series, 2020. http://dx.doi.org/10.25047/proc.anim.sci.2020.12.
Full textAbstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jumlah induk sapi perah laktasi yang terindikasi mastitis subklinis di Desa Sumbersari Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar. Metode survei dan wawancara dilakukan terhadap 12 peternak sapi perah dengan kriteria responden adalah peternak sapi perah yang telah memelihara sapi perah selama 2 tahun. Jumlah sapi perah yang diperiksa menggunakan uji mastitis California (CMT) adalah 136 ekor dan dilakukan wawancara terhadap peternak tentang cara pencegahan yang sudah dilakukan dalam mengurangi kejadian mastitis subklinis. Data yang terkumpul kemudian dianalisa menggunakan Analisa deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan 41,91% induk laktasi ternyata terindikasi mastitis subklinis. Sisanya 58,08 % induk laktasi dalam kondisi yang sehat tidak ditemukan mastitis klinis. Pencelupan antiseptik pasca pemerahan dilakukan kepada 20 induk sapi sebagai perlakuan sedangkan sisanya 116 ekor hanya dilakukan pembilasan. Belum ditemukan peternak sapi perah yang memberikan treatment pada masa kering dan cek mastitis secara berkala, peternak hanya berfokus pada penambahan pakan untuk induk sebagai persiapan sebelum melahirkan. Untuk mengurangi kejadian mastitis maka perlu adanya edukasi ditingkat peternak berkaitan dengan penanganan susu, teat dips, treatment masa kering dan tes mastitis secara berkala.
5
Triasih, Dyah, Erik Febrianto, Nurul Aqila Maulidya, and Laily Tahajjudy. "Peran Serta Peternak Sapi Perah dalam Pengelolahan Biogas Menuju Daerah Zero Waste." In Kedaulatan Pangan Nasional Melalui Pengembangan Potensi Ternak Lokal di Era Kenormalan Baru. Animal Science : Polije Proceedings Series, 2020. http://dx.doi.org/10.25047/proc.anim.sci.2020.31.
Full textAbstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran serta peternak dalam pengelolahan biogas menuju daerah zero waste desa Glagahagung, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2020, dengan mengambil sampel sekitar 35 responden dari peternak sapi perah sekaligus melakukan pendampingan tentang bagaimana cara pembuatan biogas dan pupuk yang berasal dari slurry biogas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran peternak dalam pengelolaan limbah kotoran sapi cukup baik, hal ini dapat dilihat dari inisiatif yang sudah terbentuk, serta antusiasme peternak dalam mengolah limbah kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk dari slurry dan keberhasilan peran masyarakat dalam mengelola limbah kotoran sapi secara komprehensif.
6
Rahayu, Ayu, Shinta Ratnawati, Rahma Wulan Idayanti, Budi Santoso, and Nadia Ade Luthfiana. "Bobot Telur (BT), Haugh Unit (HU), Indeks Kuning Telur (IKT), dan Kekentalan Telur (KT) Pada Itik Magelang di Dusun Sempu, Desa Ngadirojo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang." In Kedaulatan Pangan Nasional Melalui Pengembangan Potensi Ternak Lokal di Era Kenormalan Baru. Animal Science : Polije Proceedings Series, 2020. http://dx.doi.org/10.25047/proc.anim.sci.2020.24.
Full textAbstract:
Penelitian tentang kualitas telur itik yang mencakup Indeks Kuning Telur (IKT), Haugh Unit (HU), Bobot Telur (BT) dan Kekentalan Telur (KT) Itik Magelang penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan genetik Itik Magelang sebagai upaya untuk menyediakan dan meningkatkan bahan pangan sumber protein hewani yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas telur dari Itik Magelang, ditinjau dari nilai IKT, HU, Bobot Telur dan Kekentalan Telur. Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Sempu, Desa Ngadirojo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Penelitian dilakukan dengan mengukur kualitas telur dari masing-masing itik yang berada pada fase layer. Sampel telur diambil dari tiga peternak itik yang berbeda dengan total telur sebanyak 100 butir. Data dianalisis menggunakan standar deviasi dengan Microsoft excel. Hasil analisis menunjukkan BT Itik Magelang berada pada kisaran 64,65-66,63 gram/butir. Nilai HU 102,49-105,26 dan nilai IKT 0,38-0,44 sedangkan KT menunjukkan hasil yang seragam. Perbedaan setiap analisis kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya pakan yang diberikan, tempat pemeliharaan, dan lama penyimpanan telur. Semakin lama penyimpanan telur akan berpengaruh terhadap BT, HU, IKT dan KT. Kesimpulan dari penelitian ini adalah antara nilai BT, HU dan IKT menunjukkan hasil yang saling berkaitan.
7
Subagja, Hariadi, Mohammad Hasan Basri, and Rizki Amalia Nurfitriani. "Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Itik Petelur Intensif di Kabupaten Pasuruan." In Kedaulatan Pangan Nasional Melalui Pengembangan Potensi Ternak Lokal di Era Kenormalan Baru. Animal Science : Polije Proceedings Series, 2020. http://dx.doi.org/10.25047/proc.anim.sci.2020.30.
Full textAbstract:
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui besarnya pendapatan, Efisiensi usaha dan faktor pendapatan (Pakan, Tenaga Kerja, OVK, Skala Usaha, dan Pengalaman Beternak) terhadap pendapatan peternakan itik petelur sistem pemeliharaan intensif di Desa Kejapanan Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan. Metode penelitian yang digunakan ialah metode survey dengan wawancara langsung kepada 30 peternak. Teknik analisis data yaitu dengan menghitung biaya, penerimaan, pendapatan dan efisiensi. Pendapatan tertinggi diperoleh oleh peternak yang mempunyai skala usaha 1000 ekor sebesar Rp. 7.581.866 sedangkan pendapatan terendah diperoleh oleh peternak yang mempunyai skala usaha 100 ekor sebesar Rp. 267.459 yang diperoleh dalam satu bulan. R/C ratio terendah 1,06 dengan skala usaha 150 ekor dan tertinggi 1,39 dengan skala usaha 550 ekor. ROI terendah 5,8 % dengan skala usaha 150 ekor dan tertinggi 39 % dengan skala usaha 550 ekor.
8
Azizah, Siti Nur, Elida Novita, and Dian Purbasari. "Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Proses Pengolahan Kopi Arabika Di Agroindustri Maju Mapan Desa Kemiri Kecamatan Panti Kabupaten Jember." In Implementasi IPTEKS Sub Sektor Perkebunan Pendukung Devisa Negara dan Ketahanan Energi Indonesia. AGROPROSS, National Conference Proceedings of Agriculture, 2019. http://dx.doi.org/10.25047/agropross.2019.128.
Full textAbstract:
Kecamatan Panti merupakan penghasil kopi terbesar kedua di Kabupaten Jember setelah Kecamatan Silo. Perkebunan kopi di Kecamatan Panti tahun 2016 memiliki luas lahan sebesar 1096ha, dengan ketinggian 50-1.340mdpl. Dengan ketinggian rata-rata tersebut salah satu tanaman kopi yang ditanam yaitu kopi arabika. Berdasarkan banyaknya perkebunan kopi yang ada, maka pada pengolahan kopi olah basah akan menghasilkan banyak limbah cair dan limbah padat. Limbah buah kopi berupa daging buah secara fisik komposisi mencapai 48%, terdiri dari kulit buah 42% dan kulit biji 6%. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui proses pengolahan kopi arabika, menentukan potensi penerapan produksi bersih yang dapat diterapkan dan menentukan prioritas utama berdasarkan analisis kelayakan ekonomi. Metode yang digunakan yaitu mengukur produk, limbah, dan lain-lain menggunakan analisis neraca massa. Hasil analisis neraca massa dalam 1ton kopi merah dan input air 3146,63 liter menghasilkan rendemen biji kopi 40%, limbah padat 38,4%, limbah cair 2946 liter. Limbah padat diperoleh dari proses pulping dan limbah cair diperoleh dari proses sortasi rambang, pulping, dan washing. Berdasarkan analisis neraca massa tersebut potensi penerapan produksi yang dapat diterapkan pada limbah padat yaitu pembuatan teh (cascara), pakan ternak, kompos blok, pada limbah cair yaitu pembuatan biogas dan pupuk organik cair. Berdasarkan alternatif tersebut, pembuatan teh (cascara) merupakan prioritas utama untuk diterapkan pada limbah padat karena memiliki nilai NPV Rp 997.230.980, IRR 40%, PBP 7,85 dan B/C Rasio 3,70 ; sedangkan pembuatan biogas merupakan prioritas utama untuk diterapkan pada limbah cair karena memiliki nilai NPV Rp 7.344.691.114 , IRR 45%, PBP 1,51 dan B/C Rasio 1,51.
9
Tosida, Eneng Tita, Indra Permana Solihin, Roni Jayawinangun, and Deden Ardiansyah. "Implementation of Multiple Discriminant Analysis (MDA) for Clustering Smart Village in West Java Based Podes (Potensi Desa) Database." In 2022 International Conference on Informatics, Multimedia, Cyber and Information System (ICIMCIS). IEEE, 2022. http://dx.doi.org/10.1109/icimcis56303.2022.10017815.
Full text
10
Khotijah, FNU, Elida Novita, and Dian Purbasari. "Analisis Kelayakan Penerapan Produksi Bersih di Agroindustri Kopi Wulan Berpotensi Indikasi Geografis (Studi Kasus di Desa Tanah Wulan Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso)." In Implementasi IPTEKS Sub Sektor Perkebunan Pendukung Devisa Negara dan Ketahanan Energi Indonesia. AGROPROSS, National Conference Proceedings of Agriculture, 2019. http://dx.doi.org/10.25047/agropross.2019.129.
Full textAbstract:
Kecamatan Maesan merupakan sentra kopi arabika terbesar kedua di Kabupaten Bondowoso. Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya sebaran luas tanaman kopi arabika sebesar 1.743,15 ha. Permintaan pasar nasional terhadap komoditi arabika sebesar 60% dan 40% kopi robusta. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu perluasan areal tanam dan peningkatan mutu kopi melalui perubahan proses pengolahan kering menjadi pengolahan basah. Pengolahan kopi secara basah dapat menghasilkan kopi dengan mutu yang lebih baik, namun pengolahan kopi secara basah relatif tidak ramah lingkungan karena menghasilkan limbah padat, cair dan gas. Agroindustri Kopi Wulan menjadi salah satu agroindustri yang menerapkan metode olah basah dan berpotensi memperoleh sertifikasi Indikasi Geografis (IG). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses pengolahan kopi arabika di Agroindustri Kopi Wulan, menentukan potensi penerapan produksi bersih dan menentukan prioritas berdasarkan aspek finansial (PBP, NPV, IRR, Net B/C). Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil perhitungan kesetimbangan massa menunjukkan dalam 1000 kg produksi menghasilkan limbah padat sebanyak 605 kg, limbah cair 1329 liter dan biji kopi HS kering 258 kg dengan rendemen sebesar 25,8 %. Hasil analisis potensi penerapan produksi bersih pada limbah padat yaitu pembuatan teh cascara, pakan ternak dan pupuk kompos sedangkan penanganan limbah cair yaitu pupuk organik cair dan biogas. Berdasarkan alternatif tersebut, pakan ternak merupakan skala prioritas utama penanganan limbah padat dengan nilai NPV =Rp.156,739,790 ; IRR=47 % ; Net B/C= 6.83 dan PBP=1.35 sedangkan pada penanganan limbah cair yang menjadi prioritas utama adalah biogas dengan nilai NPV=Rp 1,300,637,526 ; IRR=51 % ; Net B/C=19.66 dan PBP sebesar 8,24.
Reports on the topic "Potensi Desa"
1
Ritprajak, Patcharee, Teerawut Nedumpun, and Sanipa Suradhat. Generation of in vitro porcine monocyte-derived dendritic cells (MoDcs) by new modified protocol. Faculty of Dentistry, Chulalongkorn University, 2016. https://doi.org/10.58837/chula.res.2016.18.
Full textAbstract:
The derivation of dendritic cells (Des) in vitro is an alternative system to overcome the low frequency of primary DCs and the difficulty of isolation techniques for study of DC immunobiology. To date, conventional culture protocol of porcine monocyte-derived DCs (MoDCs) has been widely used. However, this protocol is sometimes not practical due to the requirement of substantial monocyte number from the blood sample, and the process often interferes with DC maturation. To improve the protocol for porcine MoDC generation, we altered the previous conventional protocol, based on the human MoDC and mouse bone-marrow derived DC (8M-DC) culture system, and compared phenotypic and functional features of MoDC derived from the modified protocol to the conventional protocol. The modified protocol consumed less amount of monocytes but generated higher CD1 + cells with DC-like morphology and ability of maturation. In addition, MoDCs from the modified protocol exhibited increased antigen uptake capability and cytokine gene expression in response to LPS stimulation. Our findings indicate that the modified protocol is expedient and reliable for generating potent MoDCs that substitute for primary DCs. This will be a valuable platform for future research in antigen delivery, vaccine and immunotherapy in pigs, as well as relevant veterinary species.
2
Palhares Neto, Luiz, Leilane Gomes, José Marangon, Genilton Santos, and Cecílio Caldeira Júnior. Protocolo de micropropagação de Cattleya milleri, espécie endêmica do quadrilátero ferrífero criticamente ameaçada de extinção. ITV, 2022. http://dx.doi.org/10.29223/prod.tec.itv.ds.2022.12.palharesneto.
Full textAbstract:
A espécie Cattleya milleri é uma orquídea endêmica dos Campos Rupestres Ferruginosos do Quadrilátero Ferrífero em Minas Gerais. Esta espécie é atualmente classificada como criticamente ameaçada de extinção sobretudo devido a restrição geográfica de sua ocorrência, degradação de seu habitat natural e reduzidas populações naturais. O estabelecimento de métodos de propagação e cultivo que possibilitem a rápida multiplicação desta espécie é etapa crucial para a conservação ex situ e também para o enriquecimento em áreas naturais e a manutenção da espécie em seu habitat. A micropropagação ou a propagação in vitro consiste na multiplicação em larga escala de plantas através do cultivo de células, tecidos, órgãos ou a planta inteira em meio nutritivo sob condições controladas de temperatura e luminosidade. As etapas da micropropagação são constantemente ajustadas de acordo com as necessidades das diferentes espécies. Diante disso, o objetivo do relatório foi descrever as etapas desenvolvidas para estabelecer o protocolo de micropropagação de C. milleri. O protocolo estabelecido foi dividido em quatro etapas: (1) coleta e assepsia do material vegetal, (2) estabelecimento e desenvolvimento in vitro, (3) aclimatização e rustificação e (4) reintrodução e monitoramento das mudas. Sementes de C. milleri foram retiradas de cápsulas maduras e transferidas para seringas. As seringas contendo as sementes foram preenchidas totalmente com a solução de hipoclorito de sódio (NaClO) a 0,3%. Após 12 minutos, em câmara de fluxo laminar, aproximadamente 1 mL da solução contendo as sementes foi adicionada em potes contendo 22 mL do meio de cultivo previamente esterilizado. O meio utilizado foi composto de sacarose (15g/L), fertilizante B&G® (3mL/L), carvão ativado (1,5g/L) e ágar nutriente (5g/L). A germinação foi observada em quase todas as sementes inoculadas, tendo início aos 25 dias. O processo de propagação in vitro de C. milleri teve duração de 18 meses, com dois episódios de repicagem durante esse período. As plantas responderam positivamente as condições in vitro, apresentando crescimento satisfatório da parte aérea e de raízes. Na etapa de aclimatização, as plantas enraizadas tiveram suas raízes lavadas e foram transplantadas para embalagens plásticas contendo musgo chileno e fragmentos de isopor. Após 450 dias de cultivo em estufa coberta com sombrite 80 (80% de interceptação) foi observada uma reduzida mortalidade de mudas. Posteriormente, plantas aclimatadas foram transplantadas para recipientes contendo substrato natural (contendo canga granular) e cultivadas em estufa com sombrite 80 e posteriormente em sombrite 50, onde permaneceram por 1.095 dias. Ao final da etapa de rustificação foram obtidas aproximadamente 3.000 mudas de C. milleri aptas para o plantio em ambiente natural. A reintrodução destas mudas ocorreu através do plantio das mudas na Serra da Calçada (MG). O monitoramento das plantas ocorre mensalmente com a quantificação das mudas sobreviventes. Após 2 anos de acompanhamento observou-se baixa taxa de mortalidade (-30%) e crescimento satisfatório das plantas. O processo de monitoramento continuará sendo realizado com o objetivo de avaliar os processos de floração e frutificação e recrutamento de novas plantas. Os resultados obtidos evidenciam que a técnica de propagação in vitro é uma alternativa viável para a produção em larga escala de mudas de qualidade da espécie C. milleri. Uma vez que esta é uma espécie criticamente ameaçada de extinção, a reintrodução de plantas em ambiente natural contribui para o enriquecimento das populações existentes e, consequentemente, a conservação da espécie em seu ambiente natural. Uma próxima etapa importante será avaliar a diversidade genética da espécie para determinação das matrizes prioritárias para propagação
3
Informe sobre o proxecto para a implantación dunha industria de fibra téxtil a base de celulosa e as súas infraestruturas asociadas. Consello da Cultura Galega, 2024. http://dx.doi.org/10.17075/piiftbcia.2024.
Full textAbstract:
O 4 de marzo o Diario Oficial de Galicia (DOG, núm. 45 de 2024) publicou o anuncio do 20 de febreiro de 2024, da Secretaría Xeral de Industria, polo que se someten a información pública a solicitude de autorización ambiental integrada (AAI), o estudo de impacto ambiental (EIA), a declaración de utilidade pública e o proxecto para a implantación dunha industria de fibra téxtil a base de celulosa e as súas infraestruturas asociadas, promovido por Greenfiber, S.L. e declarado proxecto industrial estratéxico (PIE) polo Acordo do Consello da Xunta de Galicia, do 29 de decembro de 2022, que se vai implantar no concello de Palas de Rei. O artigo 80.4 do Decreto lexislativo 1/2015, do 12 de febreiro, especifica que, «[s]imultaneamente ao trámite de información pública, o órgano responsable da tramitación efectuará a petición de todos os informes ás administracións e aos órganos sectoriais afectados, tanto os exixidos pola normativa reguladora da autorización sectorial como os exixidos para os efectos da tramitación ambiental». Ao Consello da Cultura Galega non lle foi solicitado informe ningún por parte dos poderes públicos da comunidade autónoma galega. O Decreto 162/2008, do 10 de xullo, polo que se aproba o regulamento de organización e funcionamento do Consello da Cultura Galega, establece no seu artigo 1.2 que «[o] Consello da Cultura Galega goza de plena autonomía orgánica e funcional, e actúa con independencia e obxectividade respecto dos poderes da comunidade autónoma e da súa Administración». Establece entre as súas competencias e fins, entre outros, «[a]nalizar cantas cuestións se refiran ao patrimonio cultural de Galicia», «[a]sesorar e consultar os poderes da comunidade autónoma no que xulgue preciso para a defensa e promoción dos valores culturais do pobo galego», ou «[e]levar aos poderes da comunidade autónoma informes e propostas a favor da defensa e promoción dos valores culturais do pobo galego». Igualmente, o Consello da Cultura Galega, segundo establece o artigo 7.1 da Lei 5/2016, do 4 de maio, do patrimonio cultural de Galicia, «é o máximo órgano de asesoramento e consulta dos poderes públicos» da Comunidade Autónoma con relación ao patrimonio. Ao non recibir ningunha solicitude de informe por parte dos poderes públicos sobre as posibles afeccións patrimoniais e ambientais do devandito proxecto, por unha parte, o CCG solicitou á Consellería de Economía e Industria a apertura dun prazo extraordinario para poder elaborar ese informe; e, por outra, o CCG decidiu facer un informe por iniciativa propia que avaliase os potenciais impactos no patrimonio cultural e natural do proxecto industrial estratéxico (PIE) para a implantación dunha industria de fibra téxtil a base de celulosa e as súas infraestruturas asociadas, promovido por Greenfiber, S. L. (proxecto Gama). A resposta da Secretaría Xeral de Industria e Desenvolvemento, asinada o 31/7/2024 e na que se rexeitaba a solicitude do CCG, foi recibida cando este informe estaba rematado e xa fora aprobado pola Comisión Executiva do CCG. O proxecto Gama é, en si mesmo, singular, polo tipo e características do proceso industrial que vai desenvolver, que pode producir impactos relevantes no 6 medio ambiente, no territorio e na sociedade que o habita. A área da comarca da Ulloa na que se pretende implantar a fábrica, e outras veciñas, contan con importantes valores patrimoniais que poden ser afectados polas transformacións que o proxecto vai producir e que incluso se poden estender fóra dos límites do espazo que vai ocupar. Como recolle a Guía práctica para a análise dun sector clave na gobernanza do futuro, editada polo Consello da Cultura Galega (Blanco-Rotea, Nieto Freire e Sánchez- Carretero, 2021)1: A conservación e a xestión dos recursos naturais e do patrimonio cultural é un dos obxectivos a nivel europeo das políticas de desenvolvemento territorial — Estratexia Territorial Europea 1999—. Estas demandan a harmonización das necesidades da economía e do desenvolvemento con estratexias coherentes de mantemento do patrimonio cultural e natural recorrendo a orientacións e instrumentos axeitados ao patrimonio, tanto a aquel sometido a medidas de protección rigorosas como ao resto dos bens aos que non alcanza esa protección, singularmente considerados ou como elementos das paisaxes culturais. Evitar as actividades e usos prexudiciais para as paisaxes, que están indisolublemente vinculadas ás formas de utilización do territorio, require recorrer a estratexias que definan os usos desexables e os non desexables e que limiten as repercusións negativas. (Blanco-Rotea, Nieto Freire e Sánchez- Carretero, 2021: 49) No ámbito europeo estableceuse na normativa unha concepción integral do patrimonio cultural na que se potencia a relación entre o patrimonio e a súa contorna e na que a protección non se limita ao material dos bens, senón que se estende á conservación integrada, co obxectivo de ponderar as distintas políticas e que estas teñan en conta os aspectos específicos derivados da protección e xestión do patrimonio cultural. Na Recomendación do Comité de Ministros aos Estados membros sobre a estratexia para o patrimonio cultural en Europa no século XXI aténdese especialmente á compoñente do desenvolvemento territorial e económico, que se centra na relación do patrimonio cultural co desenvolvemento territorial, a economía e a gobernanza territorial. Aplicar o principio de conservación integrada e garantir que se teña en conta o patrimonio nas políticas de desenvolvemento, uso do solo, medio ambiente e enerxía, require adoptar políticas e medidas lexislativas que faciliten o enfoque integrado dende e cara ao patrimonio. (Blanco-Rotea, Nieto Freire e Sánchez-Carretero, 2021: 60) Enténdase medio ambiente como «conxunto de compoñentes físicos, químicos, biolóxicos e sociais capaces de causar efectos directos ou indirectos, nun prazo curto ou longo, sobre os seres vivos e as actividades humanas», como o definiu 1 https://consellodacultura.gal/publicacion.php?id=4423. 7 a Conferencia das Nacións Unidas sobre Medio Ambiente (1972); a mesma organización que recoñeceu en 2022 o dereito das persoas a un medio ambiente saudable como un dereito humano. A complexidade do proxecto Gama e dos posibles efectos sobre o medio ambiente, entendido dese xeito, fixo necesario contar para a elaboración deste informe con especialistas dotados de competencia para analizar os distintos aspectos que atinxen á implantación do proxecto —sociais, económicos e da produción industrial, e os seus efectos— e mais atender ás súas sinerxías, polo que o CCG acordou a creación dunha Comisión técnica temporal (CTT) para a elaboración dun informe sobre o proxecto para a implantación dunha industria de fibra téxtil a base de celulosa e as súas infraestruturas asociadas, coa seguinte composición: • Teresa Nieto Freire: coordinadora da CTT e responsable da análise dos efectos sobre o patrimonio cultural e as cuestións sociais • Eduardo Corbelle Rico: coordinador técnico e responsable da análise dos efectos sobre o patrimonio natural e o medio ambiente • Rebeca Blanco-Rotea: paisaxe cultural • María Josefa Fernández Sanjurjo: edafoloxía • Ana Isabel García Arias: economía, socioloxía e política agraria • Horacio García: impacto hidrolóxico • Juan Manuel Lema Rodicio: emisións e contaminación ambiental • Edelmiro López Iglesias: desenvolvemento rural • Xosé Manuel Santos Solla: turismo • Sonia Villapol Salgado: efectos sobre a saúde O corpo do informe intégrano os textos técnico-científicos elaborados polos compoñentes da Comisión, que de maneira xeral asinan individualmente; dous capítulos foron elaborados en parzaría por varios membros, ao consideraren que as materias requirían unha análise integradora. O número final de traballos redactados é de oito, aos que se engade esta «Introdución», unha «Contextualización» do debate técnico e social arredor do proxecto Gama e unha síntese coas «Conclusións» acadadas. Naqueles traballos nos que os autores contaron con colaboradores externos á Comisión, a participación destes está recollida no texto correspondente. 8 Para a elaboración do informe contouse coa documentación do expediente sometida a información pública o 20 de febreiro de 2024 pola Secretaría Xeral de Industria, dispoñible na ligazón (https://economia.xunta.gal/transparencia/infor macion-publica/proxectos-industriais-estratexicos?content=expediente_0005.html), e coa documentación da memoria xustificativa económica presentada pola empresa para solicitar a declaración de proxecto industrial estratéxico (PIE).