To see the other types of publications on this topic, follow the link: Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.

Journal articles on the topic 'Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Yunizaf, Rahmanofa, Elvie Zulka, Susyana Tamin, and Guntur Surya. "Penggunaan esofagoskopi transnasal di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo." Oto Rhino Laryngologica Indonesiana 47, no. 1 (July 10, 2017): 65. http://dx.doi.org/10.32637/orli.v47i1.197.

Full text
Abstract:
Latar belakang: Esofagoskopi transnasal merupakan teknik diagnostik baru yang memberikankesempatan kepada spesialis Telinga Hidung Tenggorok untuk melakukan pemeriksaan traktus aerodigestif,dari vestibulum nasi sampai kardia. Tindakan ini dilakukan di poliklinik rawat jalan, dengan anestesi lokaltopikal dan tanpa sedasi.Tujuan: Mendapatkan gambaran tentang penggunaan esofagoskopi transnasaldi Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo.Laporan kasus: Dilaporkan 32 pasien yang dilakukan esofagoskopi transnasalselama Februari 2014 hingga Maret 2015, terdiri dari 20 laki-laki (63%) dan 12 perempuan (37%),dengan rentang usia 11-82 tahun. Keluhan terbanyak adalah sulit menelan sebanyak 18 pasien. Indikasiterbanyak adalah disfagia, globus atau refluks sebanyak 12 pasien. Diagnosis terbanyak adalah akalasiaesofagus sebanyak 7 pasien.Metode: Pencarian literatur dilakukan pada database EBSCO Host Medline,Cochrane dan Pubmed Medline sesuai pertanyaan klinis. Setelah dilakukan penapisan dengan kriteriainklusi dan ekslusi, didapatkan didapatkan 2 jurnal yang relevan.Hasil: Dari jurnal yang didapatkan,merupakan laporan kasus serial yang dilakukan esofagoskopi transnasal pada pasien dengan keluhantraktus aerodigestif.Kesimpulan: Esofagoskopi transnasal telah menghasilkan layanan satu pintu yangmengurangi keterlambatan diagnosis, pembiusan umum dan pemeriksaan menelan barium.Kata kunci: Esofagoskopi transnasal, esofagoskopi kaku, esofagoskopi transoral, anestesi lokal topikal ABSTRACTBackground: Transnasal esophagoscopy (TE) is a new diagnostic technique that provides theopportunity for ENT specialists to examine the aerodigestif tract, from the nasal vestibulum until the cardia,at the outpatient clinic, with topical local anesthesia and without the need for sedation. Purpose: To obtaindata of transnasal esophagoscopy in Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Department, CiptoMangunkusumo Hospital. Cases: Reported 32 patients which had undergone transnasal esophagoscopyfrom February 2014 to March 2015, consisted of 20 male and 12 female, age ranged between 11-82years. Most chief complaints were difficulty of swallowing in 18 patients. Most common indications ofTE were dysphagia, globus or reflux in 12 patients. Most common diagnosis was achalasia esophagus in7 patients. Methods: The evidence based literature were searched from EBSCO Host Medline, Cochraneand Pubmed Medline database according to clinical question. After filtered with inclusion and exclusioncriteria, we found 2 journals that relevant to our case. Results: From the journals, we found reports ofserial cases of transnasal esophagoscopy on patiens with aerodigestive problems. Conclusion: Transnasalesophagoscopy provides an ‘one stop’ diagnosis service, reducing diagnostic delays, the need for endoscopyunder general anaesthesia and barium swallows.Keywords: Transnasal esophagoscopy, rigid esophagoscopy, transoral esophagoscopy, topical localanesthesia
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Agasani, Febrini, Soedjatmiko Soedjatmiko, and Endang Windiastuti. "Kualitas Hidup Anak dengan Hemofilia di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo." Sari Pediatri 21, no. 2 (September 6, 2019): 73. http://dx.doi.org/10.14238/sp21.2.2019.73-80.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Hemofilia merupakan salah satu penyakit kronik yang dapat memengaruhi kualitas hidup. Tujuan. Mengetahui prevalensi, gangguan kualitas hidup, kesesuaian kualitas hidup berdasarkan laporan anak dan laporan orangtua serta pengaruh faktor medis terhadap kualitas hidup anak hemofilia di RSCM.Metode. Penelitian potong lintang pada pasien hemofilia usia 5-18 tahun di Poliklinik Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM selama September-Desember 2016. Pengisian kuesioner PedsQLTM 4.0 dilakukan dengan wawancara. Faktor risiko dianalisis secara multivariat. Hasil. Gangguan kualitas hidup menurut laporan anak 52,9% (rerata 64,37±11,75) dan menurut orangtua 60,8% (rerata 64,37±13,87) dari total 102 anak hemofilia. Dimensi yang paling terganggu adalah dimensi fisik menurut kelompok 5-7 tahun, sedangkan menurut kelompok 8-18 tahun adalah dimensi fisik dan sekolah. Terdapat ketidaksesuaian antara laporan kualitas hidup anak dan orangtua pada kelompok usia 5-7 tahun. Kekakuan sendi merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kualitas hidup menurut laporan anak (p=0,005, RP 4,335, IK 95% 1,550-12,126) dan orangtua (p=0,04, RP 2,902, IK 95% 1,052-8,007).Kesimpulan. Terdapat 52,9% (laporan anak) dan 60,8% (laporan orangtua) anak hemofilia yang kualitas hidupnya terganggu. Kekakuan sendi merupakan faktor yang paling memengaruhi kualitas hidup. Untuk menilai kualitas hidup anak usia 5-7 tahun diperlukan laporan anak dan orangtuanya, sedangkan anak usia 8-18 tahun cukup laporan anak atau orangtua saja.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Suwarba, I. Gusti Ngurah, Dwi Putro Widodo, and RA Setyo Handryastuti. "Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta." Sari Pediatri 10, no. 4 (November 30, 2016): 255. http://dx.doi.org/10.14238/sp10.4.2008.255-61.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Perkembangan anak meliputi aspek motorik halus, motorik kasar, bahasa/berbicara, personal sosial, kognitif, dan aktivitas sehari-hari. Keterlambatan perkembangan global (KPG) adalah keterlambatan bermakna pada lebih dari dua domain perkembangan. Etiologi sangat bervariasi, angka kejadian sekitar 1%-3% anak-anak di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan.Tujuan. Mengetahui prevalensi, karakteristik, etiologi, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan etiologi KPG di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.Metode. Penelitian retrospektif dilakukan pada 151 anak KPG di Poliklinik Neurologi anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada Januari 2006-Juli 2008. Kriteria inklusi anak didiagnosis KPG, berumur <5 tahun.Hasil. Prevalensi KPG di Poliklinik Neurologi Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada Januari 2006-Juli 2008 didapatkan pada 151(2,3%) dari 6487 kunjungan. Keluhan terbanyak, belum bisa berjalan dan berbicara 71 (47,1%) kasus, 84 (55,6%) laki-laki, dan rerata umur (21,8 ± 13,1) bulan. Riwayat kelahiran 33(21,9%) kurang bulan, 45(29,8%) BBLR, 125(79,2%) lahir pervaginam, 46(30,%) tidak segera menangis. Gangguan perkembangan dalam keluarga ditemukan pada 20(13,2%) kasus. Karakteristik klinis 81(53,6%) mikrosefali, 67 (44,4%) kasus gizi kurang dan gizi buruk. Gambaran dismorfik 19 (12,6%) kasus, riwayat kejang 57(37,7%) kasus. Etiologi dapat diidentifikasi pada 97(64,2%) kasus. Lima etiologi terbanyak 33(21,9%) disgenesis cerebral, 18(11,9%) palsi cerebral, 15(9,9%) infeksi TORCH, 11(7,3%) sindrom genetik, dan 7(4,6%) kelainan metabolik kongenital. Analisis bivariat, ditemukan perbedaaan bermakna pada riwayat kejang, jenis kelamin, mikrosefali, dan gambaran dismorfik antara etiologi yang diketahui dan etiologi tidak diketahui dengan p=0,025; 0,016; 0,018; <0,0001. Analisis multivariat, ada hubungan bermakna antara keberhasilan identifikasi etiologi dengan jenis kelamin, mikrosefali, dan gambaran dismorfik dengan p=0,003; <0,0001 dan 0,006.Kesimpulan. Prevalensi keterlambatan perkembangan global di poliklinik anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 2,3%. Karakterisitik klinis yang berhubungan bermakna dengan keberhasilan identifikasi etiologi adalah jenis kelamin laki-laki, mikrosefali, dan adanya gambaran dismorpik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Hustrini, Ni Made. "Pengelolaan Predialisis Pasien Penyakit Ginjal Kronik." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 7, no. 2 (June 30, 2020): 78. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v7i2.440.

Full text
Abstract:
Hingga saat ini, fenomena memulai dialisis kronik dalam situasi emergensi untuk pasien penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir/gagal ginjal masih banyak ditemukan. Hal ini dikonfirmasi dengan temuan Lydia, dkk. bahwa di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) – Jakarta, sebagai rumah pusat rujukan nasional, persentase pasien PGK stadium 5 yang memulai dialisis tidak terencana sangat tinggi, yakni sebesar 90%.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Indrawan, Doddy Kurnia, Antonius H. Pudjiadi, and Abdul Latief Latief. "Insidens Kandidemia di Paediatric Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo." Sari Pediatri 18, no. 3 (January 22, 2017): 182. http://dx.doi.org/10.14238/sp18.3.2016.182-6.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Kandidemia menjadi salah satu masalah di PICU, angka ejadiannya meningkat setiap tahun dengan angka kematian yang tinggi, serta memperpanjang masa rawat di rumah sakit. Sampai saat ini, data insidens kandidemia pada anak masih terbatas.Tujuan. Mengetahui insidens kandidemia di PICU RSCM.Metode. Penelitian retrospektif dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo dengan mencatat data rekam medis pasien kandidemia pada anak periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014. Hasil. Didapatkan 32 kejadian kandidemia dalam kurun waktu pengambilan data. Median usia pasien 12,8 bulan, 57,7% berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar pasien mengalami gizi kurang, 69,2% kasus bedah dan 30,8% non bedah. Penggunaan steroid 11,5%. Selama perawatan di PICU, 96,2% pasien menggunakan ETT, 100% menggunakan kateter vena sentral dan kateter urin. Pasien yang menggunakan antibiotik >15 hari 80,8%. Median skor awal PELOD adalah 12. Median waktu pemberian anti jamur 15,8 hari perawatan di PICU, luaran hidup 65,4%, rerata lama rawat PICU 25,8 hari. Penyakit yang mendasari perawatan di PICU 7,7% infeksi saluran pernapasan, 3,8% infeksi sistem saraf, 19,2% syok sepsis, 3,8% pascabedah kepala leher, 11,5% pasca bedah dada, dan 53,8 pasca bedah abdomen. Rerata lama pemggunaan ETT 10,04 hari, kateter vena sentral 15,65 hari, dan kateter urin 11,15 hari. Jenis kandida terbanyak adalah kandida parapsilosis. Lebih dari dua antibiotik diberikan pada 76,8% pasien sebelum mendapatkan anti jamur.Kesimpulan. Kejadian kandidemia serupa dengan negara berkembang lainnya dan ditemukan meningkat pada pasien dengan status gizi kurang, pasacabedah, penggunaan alat medis invasif, dan penggunaa antibiotik >15 hari.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Ismandari, Fetty, and Helda Helda. "Kebutaan pada Pasien Glaukoma Primer di Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta." Kesmas: National Public Health Journal 5, no. 4 (February 1, 2011): 185. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v5i4.140.

Full text
Abstract:
Glaukoma adalah penyebab kebutaan permanen nomor dua di Indonesia yang sering tidak disadari oleh penderita. Proporsi pasien baru glaukoma yang datang ke RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam kondisi buta cukup tinggi. Tujuan penelitian ini mengetahui berbagai faktor yangberhubungan dengan kebutaan tersebut. Penelitian ini dilakukan terhadap 420 pasien glaukoma primer yang berkunjung di poliklinik penyakit mata RSCM pada Januari 2007-Oktober 2009 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Metode analisis yang digunakan adalah analisis Cox’s Proportional Hazard Model untuk mendapatkan nilai prevalence ratio (PR). Penelitian ini didapatkan hubungan bermakna antara antara kebutaan akibat glaukoma primer tekanan intraokular (PR = 1,01; 95% CI = 1,01-1,02), jenis glaukoma, pengobatan sebelumnya dan interaksi antara jenis glaukoma dan pengobatan sebelumnya (PR 2,09 95% CI 1,36-3,22 ). Untuk sudut terbuka yang pernah mendapat pengobatan sebelumnya (PR = 1,72; 95% CI = 1,20-2,46) untuk sudut tertutup yang belum mendapat pengobatan; PR= 1,79 untuk sudut tertutup yang pernah mendapat pengobatan; dibandingkan sudut terbuka yang belum mendapat pengobatan) serta pendidikan (PR = 1,49; 95% CI = 1,06-2,08 untuk pendidikan rendah dan PR = 1,37; 95% CI = 0,97-1,92 dibandingkan dengan pendidikan tinggi). Kata kunci: Glaukoma, buta, mataAbstractGlaucoma is the second largest cause of blindness in Indonesia. Blindness caused by glaucoma is irreversible and most of the patients are unaware of the symptoms. The proportion of blindness in new glaucoma patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta was found high, resulting the need to explore factors related to it. The Study involved 420 samples consisted of new primary glaucoma patients visiting Eye Clinic of this hospital from January 2007 to October 2009, who fulfilled inclusion and exclusion criteria. To calculate the Prevalence Ratio (PR), Cox’s ProportionalHazard Model Analysis was used. As result, variables that is significantly associated with blindness among new patients with primary glaucoma at this hospital were intraocular pressure (PR = 1,01; 95% CI = 1,01-1,02), glaucoma type, treated patients, interaction between glaucoma type and treated patients (PR = 2,09; 95% CI = 1,36-3,22 for POAG-treated patients; PR = 1,72; 95% CI = 1,20-2,46 for PACG-untreated patients; PR = 1,79 for PACG-treated patiens; compared with POAG-untreated patients), and education level (PR = 1,49; 95% CI = 1,06-2,08 for low level education and PR = 1,37; 95% CI = 0,97-1,92 for no answer compared with high level education).Key word: Glaucoma, blindness, eyes
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Sihombing, Tumpal Y., Endang Windiastuti, and Djajadiman Gatot. "Osteosarkoma pada Anak di RS. Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta." Sari Pediatri 11, no. 3 (November 24, 2016): 179. http://dx.doi.org/10.14238/sp11.3.2009.179-83.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Osteosarkoma merupakan tumor primer tulang yang paling sering dijumpai terutama pada remaja. Tata laksana osteosarkoma saat ini meliputi modalitas operasi dan kemoterapi yang diberikan pada preoperasi/neoajuvan maupun pasca operasi/adjuvan.Tujuan. Mengetahui karakteristik pasien osteosarkoma untuk membantu mengembangkan pengelolaan pasien anak dengan osteosarkoma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.Metode. Penelitian retrospektif terhadap seluruh anak dengan osteosarkoma yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dari tahun 1998-2008. Data dikelompokkan berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi tumor, pemeriksaan penunjang, pemberian kemoterapi, metastasis, dan hasil akhir/outcome.Hasil. Ditemukan 23 kasus osteosarkoma, yang berusia 9-16 tahun. Kadar alkalin fosfatase (ALP) dan laktat dehidrogenase (LDH) diperiksa pada 22 pasien, 20 pasien dengan ALP tinggi dan 15 pasien LDH tinggi. Pada 22 pasien dilakukan kemoterapi, 15 neoadjuvan, 5 adjuvan dan 2 mendapat kombinasi kemoterapi neoajuvan dan ajuvan. Sepuluh pasien diamputasi, 4 meninggal. Pada 5 pasien dilakukan limb sparing. Pada akhir pengamatan terdapat 10 pasien hidup terdiri dari 2 pasien telah selesai pengobatan dan 8 pasien masih dalam pengobatan. Lima pasien dengan metastasis ke paru, satu di antaranya meninggal.Kesimpulan. Pada umumnya pasien datang dengan keadaan inoperable, meskipun demikian kemoterapi memberikan outcome yang lebih baik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Putranto, Rudi, Laksono Trisnantoro, and Yos Hendra. "Penghematan Biaya Perawatan Pasien Kanker Terminal Dewasa melalui Konsultasi Tim Paliatif di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 4, no. 1 (March 30, 2017): 35. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v4i1.111.

Full text
Abstract:
Pendahaluan. Meningkatnya penderita kanker terminal di Indonesia akan meningkatkan kebutuhan perawatan paliatif dan akhir kehidupan (palliative and end of life care). Pelayanan kesehatan pada pasien kanker membebani rumah sakit, karena menyebabkan biaya tinggi dan lama rawat memanjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan lama rawat inap dan tarif pelayanan rawat inap pasien kanker terminal dewasa dengan intervensi paliatif di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).Metode. Penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan desain kasus kontrol dan dilakukan di ruang rawat inap RSCM Jakarta selama bulan Januari–Desember 2015. Subjek adalah pasien kanker terminal dewasa di rawat inap kelas III pada tahun Januari-Desember 2015 dengan penjamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Data diperoleh dari data rekam medis dan billing dan dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney.Hasil. Diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intervensi paliatif dengan pengeluaran pasien sesuai tarif RS (p=0,041), sedangkan tidak terdapat hubungan signifikan antara intervensi paliatif dengan lama hari rawat (p=0,873). Terdapat hubungan bermakna antara intervensi paliatif dan tarif pengeluaran kamar, visite, tindakan dan obat dan intervensi paliatif.Simpulan. Terdapat hubungan yang signifikan antara intervensi paliatif dengan pengeluaran pasien sesuai tarif RS. Terdapat hubungan bermakna antara intervensi paliatif dan tarif pengeluaran kamar, visite, tindakan dan obat dan intervensi paliatif.Kata Kunci: intervensi, lama rawat, perawatan paliatif, tarif Cost of Care Saving of Terminal Cancer Adult Patient Using Palliative Care Consultation in Cipto Mangunkusumo HospitalIntroduction. Terminal cancer patients was increasing in Indonesia, and need attention to approach palliative and end of life care. Terminal cancer management was burden the hospital, because it causes high costly and the length of stay This study aimed to get a general picture of service palliative at Cipto Mangunkusumo, then to evaluate the relationship hospitalization and rates of inpatient services people with terminal cancer adults who received the intervention palliative care and to evaluate the relationship variable rates for accommodation (room), doctor visit, procedure/surgery, medicines and consumables, laboratory and radiology to palliative interventions in patients with terminal cancer in inpatient Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. This research was descriptive study with case control design and performed in the inpatient unit, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, during the month of January to December 2015. The subjects were medical records and billing of terminal cancer patients were .hospitalized adults in class III in January - December 2015 with National Health Insurance (BPJS). Inclusion criteria are terminal cancer patients, beusia ≥ 18 years, received palliative care consultation team while exclusion criteria are patients receiving palliative consultation on treatment days ≥ 25 days.Results. It is known that there is a significant relationship between palliative interventions to patients with hospital rates (p= 0.041), whereas there was no significant relationship between palliative interventions by the length of stay (p = 0.873). There is a significant relationship between palliative interventions and expenditures room rates, visite, action and medicine and palliative interventions.Conclusions. There is a significant relationship between palliative interventions with hospital rates. There is a significant relationship between palliative interventions and expenditures room rates, visite, action and medicine and palliative interventions. These data showed that palliative care intervention was saving money for hospital.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Alfiansyah, Gamasiano, Andar Sifa’il Fajeri, Maya Weka Santi, and Selvia Juwita Swari. "Evaluasi Kepuasan Pengguna Electronic Health Record (EHR) Menggunakan Metode EUCS (End User Computing Satisfaction) di Unit Rekam Medis Pusat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo." Jurnal Penelitian Kesehatan "SUARA FORIKES" (Journal of Health Research "Forikes Voice") 11, no. 3 (April 3, 2020): 258. http://dx.doi.org/10.33846/sf11307.

Full text
Abstract:
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo is one of the hospitals whose services have used Electronic Health Record (EHR). The implementation of EHR is frequent loading and errors during service and lacking for several menus. The research purpose was to evaluate user satisfaction related to reporting on the Electronic Health Record (EHR) in the central medical records unit Dr. RSUPN. Cipto Mangunkusumo. This research was quantitative descriptive with population of all Electronic Health Record users in the central medical record unit, with 50 sample of respondents. The sampling technique was conducted by sistematic random sampling. Data was analyzed through scoring and presented in table form. The results showed that the dimension of accuracy was 73.28%, format was 71.6%, ease of use was 69.2%, content was 69.2 %, and timelines was 65.66%. These dimension scores indicated good criteria or the user was satisfied with the current Electronic Health Record (EHR) condition, but it requires the development of information systems by adding and adjusting modules contained in the EHR so that user satisfaction continues to increase. Keywords: evaluation; electronic health record (HER); end user computing satisfaction (EUCS) ABSTRAK Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu rumah sakit yang pelayanannya sudah menggunakan SIMRS yang disebut Electronic Health Record (EHR). Penggunaan EHR sering loading dan error pada saat pelayanan dan ada beberapa menu yang masih kurang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kepuasan pengguna terkait pelaporan pada Electronic Health Record (EHR) di unit rekam medis pusat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan populasi seluruh pengguna Electronic Health Record di unit rekam medis pusat, dan sampel berjumlah 50 responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan sistematic random sampling. Analisa data dilakukan melalui skoring dan disajika ndalam bentuk tabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi keakuratan memiliki nilai tertinggi, yaitu 73,28%, tampilan 71,6%, kemudahan pengguna 69,2%, isi 69,2%, dan waktu 65,66%. Skor dalam dimensi tersebut termasuk dalam kriteria baik atau pengguna puas terhadap konsisi Electronic Health Record (EHR) saat ini, namun masih diperlukan pengembangan sistem informasi serta menambahkan dan menyesuaikan modul yang ada di dalam EHR sehingga kepuasan pengguna terus meningkat. Kata kunci: evaluasi; electronic health record (HER); end user computing satisfaction (EUCS)
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Nurleili, Rezky Aulia, Intan Airlina, and Anna Mira Lubis. "Problem Diagnostik dan Tata Laksana Primary Sclerosing Cholangitis." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 3 (January 23, 2017): 158. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i3.27.

Full text
Abstract:
Primary sclerosing cholangitis (PSC) merupakan penyakit hati kolestasis kronik dengan insiden yang cukup tinggi di Amerika yaitu sebesar 1/100.000 penduduk namun angka kejadiannya di Indonesia belum pernah dipublikasikan. Belum didapatkan tatalaksana yang terbaik pada penyakit ini. Pada artikel ini akan dibahas mengenai kasus PSC pada pasien laki-laki berusia 49 tahun di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan tatalaksana yang dilakukan.Kata Kunci: PSC, tata laksana Diagnostic and Treatment Problems of Primary Sclerosing CholangitisPrimary sclerosing cholangitis (PSC) is a chronic cholestatic liver disease with high incidence reported in America (1/100.000 population), but there is still no data available in Indonesia. The best management of this disease is still not found. Thus, in this article author will discuss about the case of PSC in 49-years male patients hospitalized in Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta and its treatment. Keywords: PSC, treatment
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Kusumawardhani, A. A. A. A., Laksono Trisnantoro, and Andreasta Meliala. "Organizational Culture and Risk of Burnout at Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo." Advanced Science Letters 23, no. 7 (July 1, 2017): 6690–93. http://dx.doi.org/10.1166/asl.2017.9373.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

MS, Msy Rita Dewi, Irawan Mangunatmadja, and Yeti Ramli. "Karakteristik Klinis Trauma Kepala pada Anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta." Sari Pediatri 9, no. 5 (November 30, 2016): 354. http://dx.doi.org/10.14238/sp9.5.2008.354-8.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab anak dibawa ke rumah sakit. Pada umumnyatrauma terjadi karena kecelakaan lalu lintas. Di Amerika sekitar 300.000-400.000 anak dirawat karenacedera. Di Indonesia hanya ada data sporadis.Tujuan. Mendapatkan gambaran karakteristik klinis pada anak dengan cedera kepala di RS Dr. CiptoMangunkusumo.Metode. Studi deskriptif retrospektif dengan data sekunder diambil dari data catatan medik dari bulanJanuari 2004 - Juli 2005.Hasil. Selama kurun waktu penelitian ditemukan jumlah kasus trauma kepala pada anak usia <15tahun 503 kasus. Usia terbanyak antara umur 6-10 tahun, rasio laki-laki: wanita adalah 1.7: 1. Keluhanterbanyak adalah nyeri kepala (25,6%), dan muntah (20,9%). Mekanisme cedera banyak yang tidakdiketahui (61,6 %). Skala koma Glasgow (SKG) 13-15 yang paling banyak dijumpai (91,8%), gangguansaraf kranialis dan gangguan motorik (1,2%), dan Jejas hematom 9,5%. Pemeriksaan radiologiksederhana jarang dikerjakan. Enam puluh persen pemeriksaan rawat inap, 61% dan 36,4% hiduptanpa cacat.Kesimpulan. Kasus trauma kepala pada anak usia <15 tahun, lebih sering terjadi pada anak laki-lakidibanding anak perempuan kelompok usia terbanyak antara 6-10 tahun. Fraktur tengkorak dan perdarahanintrakranial jarang terjadi pada anak-anak
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Danasasmita, Gantira Wijayakusumah, Lie Khie Chen, Robert Sinto, and Pringgodigdo Nugroho. "Profil Pasien Demam Neutropenia Tidak Terkait Kemoterapi di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 7, no. 4 (January 1, 2021): 210. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v7i4.384.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Prasetyawaty, Findy, Lugyanti Sukrisman, Bambang Setyohadi, Siti Setiati, and Marcel Prasetyo. "Prediktor Kualitas Hidup terkait Kesehatan pada Pasien Hemofilia Dewasa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 3 (January 23, 2017): 116. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i3.19.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Salah satu fokus perawatan pasien hemofilia adalah meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan. Akibat keterbatasan biaya kesehatan, kebijakan pemberian faktor VIII di Indonesia saat ini masih dilakukan secara on demand. Hal ini akan meningkatkan komplikasi muskuloskeletal dan menurunkan kualitas hidup pasien hemofilia dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kualitas hidup pada pasien hemofilia dewasa di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinyaMetode. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan selama bulan Maret–Mei 2012. Subjek penelitian adalah pasien hemofilia dewasa berusia 18 tahun atau lebih yang kontrol ke Poliklinik Hematologi Onkologi Medik Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Kualitas hidup dinilai menggunakan kuesioner SF-36 dengan sistem penilaian berdasarkan nilai normal. Subjek dikategorikan berdasarkan kadar faktor VIII atau IX dan derajat hemofilia secara klinis (jumlah perdarahan sendi selama 12 bulan terakhir). Penilaian keterlibatan sendi berdasarkan pemeriksaan radiologis menggunakan skor Arnold-Hilgartner.Hasil. Sejumlah 66 subjek hemofilia dewasa berusia 18–57 tahun mengikuti studi ini, dengan median usia 28 tahun. Didapatkan median nilai subjek untuk kedelapan area SF-36 berkisar dari 42,1 sampai 60,9. Sedangkan median nilai komponen kesehatan fisik dan mental adalah 40,0 dan 57,7. Dari berbagai variabel yang dianalisis, derajat hemofilia secara klinis (p=0,001) dan keterlibatan sendi (p=0,034) memengaruhi kualitas hidup secara bermakna. Area under curve (AUC) untuk keterlibatan sendi dan derajat hemofilia secara klinis adalah 63% dan 73%. Sedangkan, AUC gabungan keterlibatan sendi dan derajat hemofilia secara klinis adalah 76,6%.Simpulan. Gambaran kualitas hidup terkait kesehatan subjek hemofilia dewasa di Indonesia berdasarkan SF-36 menunjukkan hasil lebih rendah pada komponen fisik dibandingkan komponen mental. Derajat hemofilia secara klinis yang berat dan keterlibatan sendi yang berat merupakan fakto prediktor kualitas hidup buruk pasien hemofilia dewasa. Gabungan derajat hemofilia secara klinis dan keterlibatan sendi memiliki nilai prediksi yang lebih baik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pasien hemofilia dewasa.Kata Kunci: hemofilia dewasa, kualitas hidup terkait kesehatan, prediktor Predictors of Health-Related Quality of Life in Adult Hemophilia Patients in Cipto Mangunkusumo HospitalIntroduction. Currently, one of the main focus of hemophilia treatment is to increase health-related quality of life. Due to financial constraints, factor VIII substitution is used only on demand in Indonesia, which might contribute to musculoskeletal complications and affect the quality of life of adult hemophilia patients. This study aimed to evaluate quality of life of adult hemophilic patients and its related factors. Methods. A cross-sectional study on hemophilia patients aged 18 years or older was conducted at the Hematology-Medical Oncology outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from March to May 2012. The radiologic assessment for arthropathy used the Arnold-Hilgartner score and health-related quality of life was assessed by the SF-36 questionnaire, using norm-based scoring system with normal value of 45 (individual) and 47 (group scale score). Subjects were categorized based on the level of factor VIII or IX and clinical severity ( the number of bleeding episodes during the last 12 months). Results. In 66 subjects aged 18-57 (median 28) years old, the scores of the SF-36 ranged from 42.1 (role physical) to 60.9 (vitality). The physical and mental component summary scored 40.0 and 57.7. Clinical severity (p=0.001) and the severity of arthropathy (p=0.034) significantly influenced the SF-36 scores. The multivariate analysis showed that clinical severity significantly influenced the SF-36 scores (p=0.004; AUC 73%). The combination of clinical severity and severity of arthropaty increased the AUC to 76.6%. Conclusions. Health-related quality of life in adult hemophilia showed poor results in physical components. The clinical severity and arthropathy were predictors of health-related quality of life in adult hemophilic patients. The combination of clinical severity and arthropathy had better value in predicting health-related quality of life in adult hemophilia. Keywords: adult hemophilia, health-related quality of life, predictor
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Megatia, Ika, and Patrianef Darwis. "Keberhasilan Venoplasti untuk Mengatasi Stenosis Akibat Pemasangan CDL pada Vena Sentral di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo." Jurnal llmu Bedah Indonesia 46, no. 1 (June 9, 2020): 41–61. http://dx.doi.org/10.46800/jibi-ikabi.v46i1.32.

Full text
Abstract:
Latar Belakang: Dalam lima tahun terakhir, pengunaan kateter pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) di RSCM kerap diikuti stenosis vena sentral (SVS, 60-70%). Sejak 2013 SVS ditangani melalui prosedur venoplasti, namun belum ada evaluasi keberhasilan. Penelitian ini ditujukan melakukan evaluasi keberhasilan venoplasti dan faktor risiko terjadinya stenosis. Metode: Dilakukan studi deskriptif analitik dengan desain potong lintang melibatkan pasien PGK stadium 4-5 yang terdiagnosis simptomatik SVS, secara klinis dan radiologis, yang memiliki risiko stenosis, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta menjalankan venoplasti. Variabel independen yaitu onset gejala, jenis, lokasi, durasi dan frekuensi pemasangan kateter. Variabel dependen adalah keberhasilan venoplasti dinilai dengan residual stenosis <30%. Data dianalisis secara statistik dengan p = 0,05. Hasil: Tercatat 34 subjek, 73,5% berusia >60 tahun, 61,8% laki-laki dan 70,6% memiliki hipertensi sebagai etiologi PGK. Angka berhasilan venoplasti 85,3%, nilai rerata initial stenosis adalah 79,1±13,8% dan median residual stenosis 24,5% dengan range 10-90%. Letak stenosis terbanyak di vena subklavia (47,1%). Tidak didapatkan hubungan bermakna terhadap keberhasilan venoplasti, namun angka ketidakberhasilan venoplasti yang lebih tinggi ditemukan pada lokasi di vena subklavia (OR 2,45; p = 0,627) dan frekuensi pemasangan kateter >2 kali (OR 1,85; p = 0,648). Simpulan: Keberhasilan venoplasti pada SVS 85,3% dengan keberhasilan ditemukan dua kali lebih tinggi pada implantasi di vena subklavia dan frekuensi > 2 kali. Namun pada studi ini tidak bermakna secara statistik. Ketidakberhasilan venoplasti lebih sering ditemukan pada subjek dengan pemasangan kateter di vena subklavia, durasi pemasangan panjang, onset gejala lambat dan riwayat pemasangan berulang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

HP, Ringoringo, Endang Windiastuti, and Djajadiman Gatot. "Hepatoblastoma di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta: peran kemoterapi preoperatif." Sari Pediatri 7, no. 4 (December 5, 2016): 207. http://dx.doi.org/10.14238/sp7.4.2006.207-13.

Full text
Abstract:
Latar belakang: hepatoblastoma adalah tumor yang jarang ditemukan, namunmerupakan tumor ganas primer hati yang paling banyak pada masa kanak-kanak. Sejakdiperkenalkan rejimen kemoterapi untuk penanganan hepatoblastoma, angkakelangsungan hidup pasien meningkat.Tujuan penelitian: untuk mengetahui profil hepatoblastoma anak di DepartemenIlmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan menilai efektifitaskemoterapi preoperatifBahan dan Cara: sampel penelitian adalah semua pasien hepatoblastoma baru yangdirawat di Divisi Hematologi Onkologi Departemen IKA FKUI RSCM, Pebruari 1999sampai dengan Pebruari 2005. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran histopatologijaringan tumor. Sebelum mendapatkan kemoterapi, dilakukan pemeriksaan kadar alfafeto protein serum (AFP) dan pemeriksaan radiologis untuk menentukan stadiumpenyakit. Semua pasien mendapat kemoterapi menurut protokol PLADO yang terdiridari sisplatin (80 mg/kgBB/hari) dan doksorubisin (30 mg/kgBB/hari). Evaluasi responspengobatan dilakukan setelah pasien mendapat kemoterapi minimal sebanyak 2 siklus,berupa pemantauan klinis, pemeriksaan kadar AFP, dan pemeriksaan USG / CT scanabdomen. Operasi pengangkatan tumor dilakukan bila setelah pemberian kemoterapimassa tumor dianggap dapat direseksi.Hasil: selama kurun waktu 6 tahun terdapat 14 pasien hepatoblastoma rentang usiaantara 3 bulan sampai 54 bulan, dengan median 7 bulan. Enam pasien laki-laki dan 8pasien perempuan. Semua pasien datang dengan keluhan utama perut yang semakinmembesar. Kadar AFP meningkat pada semua pasien dengan median 323 ng/ml.Pemeriksaan USG, CT scan dan MRI abdomen menunjukkan massa tumor ditemukanpada kedua lobus hati pada 7 pasien, sedang pada 7 pasien lainnya massa tumor hanyapada 1 lobus. Semua pasien datang pada stadium III. Biopsi hati yang dilakukan,menunjukkan gambaran histopatologi jenis epitelial fetal (9), epitelial mesenkimal (2),epitelial fetal-embrional (1), dan 1 jenis mesenkimal. Pada 1 pasien konfirmasi diagnosishanya berdasarkan pemeriksan CT scan abdomen dan kadar AFP. Pemberian kemoterapipreoperatif (protokol PLADO) pada 8 pasien menunjukkan respons yang cukup baik,yang ditandai oleh pengecilan massa tumor dan penurunan kadar AFP.Kesimpulan: Umumnya pasien hepatoblastoma datang dalam stadium lanjut danpemberian kemoterapi preoperatif menunjukkan respons yang baik untuk selanjutnyadapat dilakukan tindakan pembedahan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Mariko, Rinang, Sri Rezeki S. Hadinegoro, and Hindra Irawan Satari. "Faktor Prognosis Terjadinya Perdarahan Gastrointestinal dengan Demam Berdarah Dengue pada Dua Rumah Sakit Rujukan." Sari Pediatri 15, no. 6 (November 9, 2016): 361. http://dx.doi.org/10.14238/sp15.6.2014.361-8.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Infeksi virus dengue masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Angka kematian akibat dengue syok sindrom (DSS) yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal hebat dan ensefalopati masih tetap tinggi. Oleh sebab itu, perlu diketahui faktor prognosis terjadinya perdarahan gastrointestinal sehingga diharapkan dapat mengantisipasi dini kejadian perdarahan gastrointestinal pada anak demam berdarah dengue (DBD)Tujuan. Mengetahui faktor prognosis perdarahan gastrointestinal pada pasien demam berdarah dengue anak.Metode. Dilakukan penelitian cross sectional retrospektif di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUP Dr. M Djamil dengan mengambil data rekam medik pasien DBD yang dirawat dari Januari 2010 sampai Juni 2011. Diukur parameter klinis (lamanya syok, hepatomegali) dan laboratoris (jumlah trombosit, hemokonsentrasi, pemanjangan sistem koagulasi) pada pasien DBD. Data dianalisis dengan program statistik SPSS versi 17.Hasil. Didapatkan 228 pasien yang menderita DBD. Pasien dengan nilai hematokrit 40,7% mempunyai sensitivitas 58,3% dan spesifisitas 59,8% untuk meramalkan terjadinya perdarahan gastrointestinal. Durasi anak yang mengalami renjatan >1 jam 45 menit mempunyai faktor prognosis untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal 14,4 kali dibanding anak yang mengalami renjatan ≤1 jam 45 menit dengan sensitivitas 57,1% dan spesifisitas 91,5%.Kesimpulan. Durasi renjatan dan hematokrit (hemokonsentrasi) merupakan faktor prognosis terjadinya perdarahan gastrointestinal pada pasien DBD
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Albertina, Mathilda, and Sari Febriana. "Kelengkapan Imunisasi Dasar Anak Balita dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Poliklinik Anak Beberapa Rumah Sakit di Jakarta dan Sekitarnya pada Bulan Maret 2008." Sari Pediatri 11, no. 1 (November 29, 2016): 1. http://dx.doi.org/10.14238/sp11.1.2009.1-7.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Program pengembangan imunisasi sudah berjalan sejak tahun 1974. Namun menurut survei kesehatan nasional 2003, cakupan imunisasi lengkap hanya 51% pada laki-laki dan 52% pada perempuan.Tujuan. Mengetahui kelengkapan imunisasi dasar anak balita, alasan ketidaklengkapan imunisasi, serta hubungan pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, pengetahuan, dan sikap orangtua dengan kelengkapan imunisasi di beberapa rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya.Metode. Penelitian potong lintang menggunakan kuesioner dengan subjek orangtua dari anak usia 1-5 tahun yang berkunjung ke poliklinik anak RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, RS. Fatmawati, RS. Tarakan, dan RS. Mary Cileungsi Hijau Bogor.Hasil. Didapatkan kelengkapan imunisasi dasar 61%. Ketidaklengkapan imunisasi umumnya disebabkan orangtua tidak tahu jadwal imunisasi (34,8%) dan anak sakit (28,43%). Terdapat hubungan antara pengetahuan orangtua dengan kelengkapan imunisasi. Tidak terdapat hubungan antara pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, serta sikap orangtua dengan kelengkapan imunisasi.Kesimpulan. Kelengkapan imunisasi dasar anak balita di tempat penelitian 61%. Faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi ialah pengetahuan orangtua.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Satriani, Liku, Audrey Audrey, Piprim B. Yanuarso, and Mulyadi M. Djer. "Perbandingan Luaran dan Biaya Penutupan Defek Septum Ventrikel Perimembran secara Transkateter dan Pembedahan." Sari Pediatri 17, no. 1 (November 8, 2016): 9. http://dx.doi.org/10.14238/sp17.1.2015.9-16.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Terapi baku emas dalam penutupan defek septum ventrikel (DSV) adalah pembedahan. Prosedur pembedahanmempunyai morbiditas yang terkait dengan torakotomi, pintasan jantung paru, komplikasi prosedur, jaringan parut bekas operasi, dantrauma psikologis. Oleh karena itu, timbul usaha pendekatan transkateter untuk menutup DSV yang bersifat relatif kurang invasif.Tujuan. Mengetahui perbandingan hasil penutupan DSV perimembran, komplikasi prosedur, lama rawat di rumah sakit, dan totalbiaya prosedur antara prosedur transkateter dengan prosedur pembedahan.Metode. Penelitian retrospektif analitik dengan data berupa rekam medis pasien anak dengan DSV perimembran yang datang kePelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo dan dilakukan penutupan defek dengan salah satu prosedurdalam periode Januari 2010-Desember 2013.Hasil. Didapat 69 kasus anak dengan DSV perimembran, terdiri atas 39 kasus dengan prosedur pembedahan dan 30 kasus denganprosedur transkateter. Prosedur pembedahan dan prosedur transkateter mempunyai tingkat keberhasilan yang serupa (89,7% vs 96,7%,p=0,271). Prosedur pembedahan mempunyai komplikasi yang lebih banyak dibandingkan prosedur transkateter (46,7% vs 7,7%,p<0,001). Prosedur pembedahan juga mempunyai lama rawat di rumah sakit yang lebih panjang dibandingkan prosedur transkateter(8 hari vs 3 hari, p<0,0001), dan semua prosedur pembedahan membutuhkan perawatan di ruang rawat intensif. Tidak ada perbedaantotal biaya antara prosedur transkateter dengan prosedur pembedahan (Rp. 55.032.636 vs Rp. 58.593.320 p=0,923).Kesimpulan. Prosedur penutupan DSV perimembran secara transkateter mempunyai efektivitas dan biaya yang sama dengan prosedurpembedahan dan mempunyai komplikasi yang lebih sedikit serta lama rawat di rumah sakit yang lebih pendek.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Garniasih, R. Dina, Endang Windiastuti, and Djajadiman Gatot. "Karakteristik dan Kesintasan Neuroblastoma pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo." Sari Pediatri 11, no. 1 (November 29, 2016): 39. http://dx.doi.org/10.14238/sp11.1.2009.39-46.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Neuroblastoma merupakan salah satu penyakit keganasan yang sering terjadi pada anak yang memiliki spektrum klinis serta perjalanan penyakit yang sangat bervariasi, mulai dari regresi secara spontan hingga penyebaran secara menyeluruh.Tujuan. Untuk mengetahui karakteristik, tata laksana, luaran, dan kesintasan neuroblastoma pada anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta.Metode. Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada semua anak dengan neuroblastoma yang berobat/dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta dalam kurun waktu Januari 2000 sampai Desember 2007.Hasil. Didapatkan 62 pasien baru neuroblastoma, terdiri dari 36 (58%) laki-laki dan 26 (42%) perempuan. Usia terbanyak pada saat diagnosis adalah 1-<5 tahun, (56%). Demam (74%) dan pucat (74%) merupakan keluhan tersering pada pasien neuroblastoma diikuti dengan lemah (68%), nafsu makan menurun (63%), proptosis (47%), masa di dalam abdomen (44%), dan limfadenopati (35%). Sebagian besar pasien datang dalam stadium yang lanjut, yaitu stadium 3 dan 4 (72%). Jumlah pasien yang mengalami event (meninggal) 23 (37%), lost to follow up 23 (37%), dan hidup 16 (26%). Penyebab kematian tersering adalah sepsis (44%), diikuti oleh penyebab kematian lainnya yaitu perdarahan (30%), infiltrasi ke susunan saraf pusat (22%), dan infiltrasi ke mediastinum (4%). Hasil analisis kesintasan berdasarkan pelbagai karakteristik klinis dan laboratoris dengan metode Kaplan-Meier dan uji log-rank menunjukkan bahwa baik usia maupun stadium tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam kesintasan.Kesimpulan. Usia terbanyak pada saat diagnosis adalah 1-<5 tahun. Keluhan tersering adalah demam dan pucat. Penyebab kematian tersering adalah sepsis. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam kesintasan baik berdasarkan usia maupun stadium penyakit.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Kalista, Kemal Fariz, Cosmas Rinaldi Adithya Lesmana, Andri Sanityoso Sulaiman, Rino Alvani Gani, and Irsan Hasan. "Profil Klinis Pasien Sirosis Hati dengan Varises Esofagus yang Menjalani Ligasi Varises Esofagus di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 6, no. 1 (March 31, 2019): 36. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v6i1.300.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Wibowo, Rahmadi, and Soepardi Soedibyo. "Kepatuhan Berobat dengan Antibiotik Jangka Pendek di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta." Sari Pediatri 10, no. 3 (November 30, 2016): 171. http://dx.doi.org/10.14238/sp10.3.2008.171-6.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Kepatuhan berobat (compliance) merupakan masalah kompleks dan multifaktor yang dapat mempengaruhi hasil pengobatan. Sedangkan dampak dari ketidakpatuhan berobat (non-compliance) pada seseorang dapat mengakibatkan kesalahan dalam menilai efektivitas obat, uji diagnostik, perubahan atau penggantian obat, dan perawatan di rumah sakit yang sebenarnya tidak diperlukan.Tujuan. Mengetahui karakteristik pasien rawat jalan dalam kepatuhan menjalankan pengobatan antibiotik jangka pendek.Metode. Studi analitik deskriptif secara potong lintang, dilakukan di Poliklinik Umum Departemen IKA RSCM selama 12 minggu (Februari-April 2008) pada semua orangtua/wali pasien berusia 1 bulan-18 tahun yang mendapat pengobatan antibiotik jangka pendek. Sampel diambil secara consecutive sampling, data diolah dengan program SPSS ver 12 for windows.Hasil. Delapan puluh dua subjek ikut serta dalam penelitian. Angka kejadian kepatuhan berobat (compliance) dalam melaksanakan pengobatan antibiotik jangka pendek 75,6%. Terdapat korelasi kuat antara ”lupa” (adjusted OR 0,086, IK 95%; 0,019-0,378, p=0,001) dan ”sibuk” (adjusted OR 0,023, IK 95%; 0,003-0,153, p=0,000) dengan ketidakpatuhan berobat seseorang.Kesimpulan. Angka kejadian kepatuhan berobat dalam melaksanakan pengobatan antibiotik jangka pendek di Poliklinik Umum IKA RSCM adalah 75,6%. Lupa dan sibuk merupakan dua faktor yang sangat mempengaruhi kepatuhan berobat pasien.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Sinaga, James L. Alvin, Soepardi Soedibyo, Harry S. Purwanto, and Aman B. Pulungan. "Tingkat Kepuasan Orangtua Pasien di Pediatri Rawat Jalan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta." Sari Pediatri 8, no. 2 (December 5, 2016): 135. http://dx.doi.org/10.14238/sp8.2.2006.135-41.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Sejak tahun 2000 hingga kuartal I tahun 2005 angka kunjunganpasien rawat jalan mengalami penurunan secara gradual di Unit Rawat Jalan DepartemenIlmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo (URJDepartemen IKA RSUP CM) Jakarta. Kecenderungan penurunan angka kunjunganpasien merupakan indikator bagi pengelola untuk meninjau kembali strategi pelayanandi Pediatri Rawat Jalan.Tujuan Penelitian. Meneliti tingkat kepuasan orangtua pasien yang membawa anaknyaberobat jalan di URJ Departemen IKA RSCM.Metoda penelitian. Studi survai deskriptif dengan metode potong lintang (crosssectional) dilakukan di URJ Departemen IKA RSCM dalam kurun waktu Agustus –Nopember 2005. Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner yang terstrukturberisi 30 pertanyaan.Hasil penelitian. Dari 144 orang tua pasien, enam puluh dua persen orangtua pasienmerasa puas terhadap kualitas pelayanan, skor kepuasan total terhadap dimensi kualitaspelayanan 3,55 (puas). Bukti fisik (tangibility) memberi skor kepuasan tertinggisedangkan kehandalan pelayanan (reliability) memberi skor kepuasan terendah bagiorangtua pasien.Kesimpulan. Kualitas pelayanan di URJ Departemen IKA RSCM memuaskan (skor3,55) dan persentase orangtua pasien yang puas 62%.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Irene, Irene, Soepardi Soedibyo, and Hindra I. Satari. "Pengalaman Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat V di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta." Sari Pediatri 10, no. 5 (November 29, 2016): 285. http://dx.doi.org/10.14238/sp10.5.2009.285-91.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Evaluasi yang berkesinambungan mengenai komponen-komponen dalam proses pembelajarandi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mutlak dibutuhkan, yang berguna untukmelakukan perbaikan dan pengembangan yang dianggap perlu.Tujuan. Membahas tentang paparan mahasiswa FKUI klinik terhadap kasus dan prosedur inti bidangpediatri selama menjalani rotasi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA), serta mengetahui persepsimereka mengenai peran supervisor.Metode. Penelitian merupakan survei, deskriptif, potong lintang pada mahasiswa FKUI tingkat V tahunajaran 2007–2008, yang telah melalui rotasi kepaniteraan IKA.Hasil. Lebih 50% dari 160 mahasiswa pernah menghadapi 10 dari 55 kasus yang terdapat dalam daftarkasus inti secara mandiri dan atau bersama-sama setidaknya satu kali. Lebih dari 50% mahasiswa pernahmelakukan 7 dari 17 prosedur inti secara mandiri dan atau asistensi setidaknya satu kali. Lebih dari 50%mahasiswa setuju dengan cara mengajar supervisor, dan menilai bahwa hubungan supervisor dengan mahasiswaadalah baik.Kesimpulan. Paparan mahasiswa terhadap kasus dan prosedur inti bidang pediatri masih rendah. Rataratamahasiswa setuju dengan cara mengajar supervisor, dan menilai bahwa hubungan supervisor denganmahasiswa adalah baik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Rajabto, Wulyo, Djumhana Atmakusuma, and Siti Setiati. "Profil Pasien Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI) dan Respon Pengobatan Pasca Terapi Kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 4 (January 27, 2017): 206. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i4.54.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Anemia hemolitik auto imun (AHAI) merupakan salah satu penyakit imunologi yang menyebabkan hemolisis. Data mengenai karakteristik demografi dan respon pengobatan AHAI, khususnya pemberian kortikosteroid belum banyak didapatkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil pasien-pasien AHAI dan respon pengobatannya setelah mendapatkan kortikosteroid. Metode. Desain studi potong lintang dilakukan menggunakan status rekam medik pasien AHAI yang berobat jalan di Poliklinik Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama 5 tahun (2004- 2008). Variabel yang diteliti meliputi karakteristik demografi, klasifikasi AHAI dan etiologinya, serta respon pengobatannya setelah mendapatkan kortikosteroid dosis inisial setara prednison 1-1,5 mg/kgbb/hari selama 3-4 minggu, respon positif ditandai oleh meningkatkan kadar Hb ≥10 g/dL. Hasil. Dari total 50 subjek, didapatkan 92% AHAI tipe hangat, 6% tipe dingin dan 2% campuran. Etiologi AHAI tipe hangat adalah idiopatik atau primer (54,3%), sedangkan etiologi tipe sekunder adalah lupus eritematosus sistemik/LES (41,3%), hepatitis autoimun (2,2%) dan leukemia limfositik kronik (2,2%). Karakteristik serologis tes Coombs pada AHAI tipe hangat adalah kombinasi anti-IgG + anti-C3 (84,8%) dan anti IgG (15,2%). Proporsi subjek AHAI tipe hangat yang memiliki positif dengan kortikosteroid adalah 71,7%. Etiologi AHAI tipe dingin adalah idiopatik atau primer (66,7%) dan mieloma multipel (33,3%). Tes Coombs menunjukkan anti-C3 dan ditemukannya cold antibody. Semua subjek AHAI tipe dingin berespon negatif setelah mendapatkan kortikosteroid. Didapatkan etiologi AHAI tipe campuran primer yang berespon positif setelah mendapatkan kortikosteroid dan tes Coombs menunjukkan anti-IgG + anti-C3 disertai antibody non-specific dengan titer yang tinggi. Simpulan. Mayoritas subjek AHAI adalah AHAI tipe hangat. Proporsi subjek AHAI tipe hangat yang berespon positif setelah mendapatkan kortikosteroid 71,7%, AHAI tipe campuran juga berespon positif, sedangkan semua subjek AHAI tipe dingin berespon negatif. Kata Kunci: AHAI tipe dingin, AHAI tipe hangat, AHAI tipe campuran, kortikosteroid, respon pengobatan Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) Patients Profile and Treatment Response to Corticosteroids in Cipto Mangunkusumo HospitalIntroduction. Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) is one of the immunological diseases that causes hemolysis. Data on demographic characteristics and treatment response of AIHA patients has not available in Indonesia. This study was conducted to identify the profile of autoimmune hemolytic anemia (AIHA) patients and their response of treatment after receiving corticosteroid treatment.Methods. This cross-sectional study used data from the medical records of AIHA patients in the outpatient clinic division of the Hematology-Medical Oncology, Department of Internal Medicine, Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital between 2004-2008 which included: patient demography characteristics, AIHA classification and etiology, as well as the response of treatment to initial dose of corticosteroid, equivalent to prednisone 1-1,5 mg/kgbw/day for 3-4 weeks; with positive response marked by increase of Hb >10 g/dL. Results. From total of 50 subjects, the proportion of warm type, cold type and mix type were 92%, 6% and 2%, respectively. Most of the etiology of AIHA warm type was idiopathic or primary (54.3%), whereas the etiology of secondary type were systemic lupus erythematosus/LES (41.3%), autoimmune hepatitis (2.2%) and chronic lymphocytic leukemia (2.2%). Characteristics of serological Coombs tests on AIHA warm type were combination of anti-IgG + anti-C3 (84.8%) and the anti-IgG (15.2%). Meanwhile, the proportion of subjects with AIHA warm type that has a positive response to corticosteroids were 71.7%. This study found that the etiology of AIHA cold type were idiopathic or primary (66.7%) and multiple myeloma (33.3%). Coombs tests showed an anti-C3 and cold antibody and all subjects had negative response to corticosteroids. This study also found the etiology of AIHA mixed type was primary, had positive response to corticosteroids and Coombs test demonstrated anti-IgG + anti-C3 accompanied by a non-specific antibody with high titer. Conclusions. The majority of AIHA subjects are warm type AIHA, with a small portion being cold and mixed type. The proportion of warm type AIHA that respond positively to corticosteroids is 71,7%. All cold type AIHA subjects do not respond to corticosteroids while mixed type AIHA subjects show positive response. Keywords: cold type AIHA, mixed type AIHA, response to steroid treatment, warm type AIHA
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Pardede, Sudung O., Eka Laksmi Hidayati, Cahyani Gita Ambarsari, Henny Adriani Puspitasari, Partini P. Trihono, and Taralan Tambunan. "Pengalaman Transplantasi Ginjal pada Anak di Jakarta." Sari Pediatri 21, no. 1 (August 5, 2019): 44. http://dx.doi.org/10.14238/sp21.1.2019.44-9.

Full text
Abstract:
Latar belakang.Transplantasi ginjal merupakan terapi yang efektif untuk penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 atau gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal di dunia pertama kali dilakukan pada tahun 1950an. Di Indonesia, transplantasi ginjal pada orang dewasa telah dilakukan pada tahun 1977 dan semakin berkembang dan telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Transplantasi ginjal pada anak pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo pada bulan Maret 2013, terhadap seorang anak lelaki berusia 13 tahun dengan gagal ginjal terminal yang disebabkan sindrom nefrotik, dengan ginjal yang diperoleh dari non-related living donor. Ini merupakan transplantasi ginjal yang pertama kali dilakukan pada anak di Indonesia.Tujuan. Melaporkan data tentang kegiatan transplantasi ginjal yang dilakukan di Jakarta.Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang mengambil data dari catatan medis. Hingga tahun 2018 telah dilakukan 11 kali transplantasi ginjal pada 10 orang anak terdiri atas 9 laki-laki dan 1 perempuan, dengan 1 kasus re-transplan. Rentang usia adalah 8-18 tahun, dengan penyakit dasar terdiri atas sindrom nefrotik (3 anak), dan ginjal hipoplasia (7 anak). Donor untuk kesebelas transplan anak tersebut terdiri atas 4 non-related living donor dan 7 orang related living donor, yaitu 5 orang donor ayah dan 2 orang donor ibu. Hasil. Di antara 10 pasien transplan, 3 orang menggunakan biaya pribadi atau asuransi swasta dan 8 orang dengan biaya dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hingga bulan Agustus 2018, di antara kesepuluh anak tersebut, 7 orang hidup dan di antaranya 2 orang mengalami rejeksi pada tahun ke-3 (1 orang konversi kembali ke hemodialisis dan 1 orang telah menjalani re-transplan). Tiga pasien meninggal akibat infeksi berat.Kesimpulan. Transplantasi ginjal di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo dimulai pada tahun 2013, dengan donor hidup yang sebagian besar berasal dari orangtua, dengan pembiayaan sebagian besar menggunakan BPJS.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Setiawan, Andreas Arie, Marulam Panggabean, M. Yamin, and Siti Setiati. "Kesintasan Lima Tahun Pasien Penyakit Jantung Koroner Tiga Pembuluh Darah dengan Diabetes Melitus yang Menjalani Bedah Pintas Koroner, Intervensi Koroner Perkutan atau Medikamentosa di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 2 (January 18, 2017): 60. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i2.10.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Hasil revaskularisasi pada pasien diabetes melitus (DM) dengan penyakit jantung koroner 3 pembuluh darah (PJK 3PD) dengan bedah pintas koroner (BPK) lebih baik dibandingkan intervensi koroner perkutan (IKP) atau medikamentosa. BPK tidak selalu menjadi prosedur yang dikerjakan meskipun sudah direkomendasikan sesuai Skor Syntax. Selain itu, tidak semua pasien bersedia menjalani BPK atau IKP. Perlu diketahui apakah pilihan revaskularisasi tersebut mempengaruhi kesintasan 5 tahun.Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan untuk meneliti kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD DM yang menjalani tindakan BPK, IKP atau medikamentosa. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder 126 pasien PJK 3PD DM yang menjalani BPK, IKP, maupun medikamentosa di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 2006-2007 dan diikuti sampai dengan tahun 2011-2012 dengan dilihat adakah kejadian meninggal.Hasil. Kesintasan terbaik diketahui yaitu pada kelompok BPK (93,5%). Proporsi kematian terbesar terdapat pada kelompok medikamentosa (36,1%). Selain itu, hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok IKP memiliki kesintasan yang lebih baik dibanding medikamentosa (69,5% vs 63,9%). Meskipun tidak bermakna secara statistik, namun pada kelompok IKP proporsi keluhan yang ditemukan setelah tindakan lebih sedikit dibanding kelompok medikamentosa (52% vs 38%). Skor Syntax yang berperan menilai kompleksitas stenosis diketahui turut menentukan kesintasan (p=0,039).Simpulan. Kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD dengan DM yang paling baik didapatkan pada kelompok yang menjalani BPK. Kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD dengan DM yang menjalani IKP lebih baik dibandingkan medikamentosa, namun secara statistik tidak bermakna. Faktor yang berpengaruh pada kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD adalah kompleksitas stenosis yang dilihat dengan menggunakan skor Syntax.Kata kunci: DM, kesintasan 5 tahun, PJK 3PD Five-Year Survival in Patients with 3-Vessels Coronary Artery Disease and Diabetes Mellitus Undergoing Coronary Artery Bypass Graft, Coronary Percutaneus Intervention, or Receiving Pharmacological Therapy in Cipto Mangunkusumo HospitalIntroduction. Revascularization results in patients with diabetes mellitus (DM) and coronary artery disease involving 3 vessels (CAD 3VD) undergo coronary artery bypass surgery (CABG) are better compared with those undergo percutaneous coronary intervention (PCI) or medical therapy. However, CABG is not always done despite being recommended in accordance with Syntax Score because some patients unwilling to undergo CABG or PCI . This trial determined whether the choice of revascularization affect 5-years survival. Methods. This was a retrospective cohort study with survival analysis to examine the 5-years survival rate of CAD 3VD DM patients undergoing CABG, PCI, or medical therapy. The study was conducted using secondary data of 126 CAD 3VD DM patients who underwent CABG, PCI, or medical therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2006-2007 and followed up to 2011-2012 if there any incident died. Results. Best survival was seen in the CABG group (93.5%). The largest proportion of death occured in the medical therapy group (36.1%). The CABG survival was significantly better than the IKP (p=0.01) and medical therapy (p=0.001). PCI group had better survival than medical therapy (69.5% vs. 63.9%). Although not statistically significant, but the proportion of complaints after revascularization in PCI group were found less than medical therapy group (52% vs. 38%). Syntax score that assesses the complexity of stenosis had a significant association with survival (p 0.039). Conclusions.5-years survival of CAD 3VD DM patients is best obtained in the group that underwent CABG. 5-year survival of CAD 3VD DM patients who underwent PCI better than medical therapy but was not statistically significant. Factor that affect the 5-years survival is the complexity stenosis viewed by the Syntax score. Keywords: 5-years survival, CAD 3VD,DM
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Bektiwibowo, Supriyadi, Zakiudin Munasir, and Sri Sudaryati Nasar. "Pemberian Nutrisi Enteral kasus Bedah Anak: Pengaruh pada Status Nutrisi." Sari Pediatri 7, no. 3 (December 5, 2016): 136. http://dx.doi.org/10.14238/sp7.3.2005.136-42.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Malnutrisi terjadi akibat pemenuhan zat gizi yang tidak optimal.Dilaporkan keadaan malnutrisi pada sekitar 40-50% kasus bedah dan nonbedah yangdirawat di rumah sakit. Hal yang sama dijumpai di Departemen Ilmu Kesehatan AnakRS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).Tujuan. Mengetahui efektifitas pemberian nutrisi enteral serta respons jangka pendeknyapada anak pasca tindakan operasi yang dirawat di RSCM.Metoda. Penelitian eksperimental dengan desain the one group pretest-posttest,pemberian nutrisi enteral selama 5 hari pasca operasi pada anak derajat sedang denganklasifikasi ASA (The American Society of Anesthesiologists) I dan II usia 1-10 tahun diruang rawat Bedah Anak FKUI-RSCM. Dilakukan pemeriksaan antropometri sederhana,albumin dan prealbumin serum.Hasil. Subyek penelitian 20 orang, usia rerata 3,9 + 2,2 tahun. Nutrisi enteral yangdiberikan diterima dengan baik oleh 18 dari 20 subyek dan dapat ditoleransi denganbaik oleh semua subyek. Tidak ada subyek yang mengalami penurunan berat badan.Terjadi kenaikan rerata berat badan sebesar 130 + 100 g, peningkatan nilai rerata albuminsebesar 0,16 + 0,35 g/dl, dan peningkatan nilai rerata prealbumin sebesar 2,37 + 3,88mg/dl.Kesimpulan. Nutrisi enteral diterima, ditoleransi, serta memberikan respons yang baikterhadap status nutrisi. Nilai prealbumin dan albumin serum meningkat pada sebagianbesar subyek dan tidak terjadi penurunan berat badan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Putra, Deddy S., Muzal Kadim, Pramita GD, Badriul Hegar, Aswitha Boediharso, and Agus Firmansyah. "Diare Persisten: Karakteristik Pasien, Klinis, Laboratorium, dan Penyakit Penyerta." Sari Pediatri 10, no. 2 (November 30, 2016): 94. http://dx.doi.org/10.14238/sp10.2.2008.94-9.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Diare persisten menjadi perhatian setelah WHO berhasil menurunkan kejadian diare akut dengan upaya rehidrasi oral. Sepuluh persen diare akut karena infeksi berlanjut menjadi diare persisten dengan angka kematian pada balita 35%.Tujuan. Mengetahui karakteristik pasien, manifestasi klinis, laboratorium, dan penyakit penyerta diare persistenMetode. Studi prospektif terhadap anak dengan diare persisten yang berobat di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sejak 1 Juni sampai 31 Agustus 2005. Data diperoleh dengan mengisi formulir kuesioner yang ditanyakan kepada ibu pasien dan catatan medis pasien saat pertama datang.Hasil. Didapatkan 41 anak menderita diare persisten, usia terbanyak di bawah 5 tahun. Pendidikan ibu terbanyak sekolah menengah atas (48,7%) dengan tingkat ekonomi rendah (80,5%). Sebagian besar anak telah mendapat antibiotik sebelumnya (48,2%). Demam ditemukan pada 63,4% anak, mual dan muntah 48,8%, dan tinja berlendir 53,7%. Penyakit penyerta, gizi buruk 36,6% anak, alergi susu sapi 31,7%, infeksi saluran kencing 24,4%, dan infeksi HIV 19,5%. Anemia dan hipoalbuminemia ditemukan beturut-turut pada 71,4% dan 64,7% anak.Kesimpulan. Diare persisten terutama mengenai balita dengan tingkat ekonomi keluarga dan pendidikan ibu rendah. Demam dan tinja berlendir merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai, sedangkan gizi buruk, alergi susu sapi, infeksi saluran kemih dan infeksi HIV merupakan penyakit yang paling sering menyertai diare persisten. Anemia dan hipoalbumineia merupakan kelainan laboratorium yang paling sering ditemukan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Lubis, Anna Mira, Aru W. Sudoyo, Shufrie Effendy, TB Djumhana, and Kuntjoro Harimurti. "Hubungan Antibodi Anti Trombosit terhadap Respon Transfusi Trombosit pada Pasien Hemato- Onkologi yang Mendapatkan Multitransfusi Trombosit di RS Dr. Cipto Mangunkusomo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2, no. 4 (February 1, 2017): 200. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v2i4.86.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Multitransfusi donor random dan paparan terhadap konsentrat trombosit yang termasuk non-leukocyte depleted diketahui sebagai faktor risiko terjadinya alloimunisasi (HLA dan HPA) yang dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan transfusi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antibodi anti trombosit tersebut dengan kegagalan respon transfusi trombosit pada pasien hemato-onkologi sehingga dapat dilakukan metode seleksi donor dan crossmatching trombosit donor dan resipien.Metode. Studi observasional dilakukan pada pasien hemato-onkologi dewasa yang mendapatkan multitransfusi trombosit di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Pengamatan dilakukan pada respon transfusi dengan mengukur corrected count increment (CCI) 1 jam post transfusi dengan batas 7.500 m2/mL. Keadaan lain yang dapat mempengaruhi CCI dieksklusi dari penelitian. Antibodi (Ig G) dideteksi dari serum pre transfusi terhadap antigen HLA kelas 1, epitop GP IIb/ IIIa, Ib/IX dan Ia/IIa dengan teknik ELISA secara kualitatif. Pengukuran ini menggunakan kit ELISA komersial Pak-2 LE. Analisis statistik dilakukan dengan uji chi-square dan regresi logistik untuk ditentukan PR dengan IK 95%.Hasil. Selama periode Maret–Juni 2008 terkumpul 36 transfusi yang diberikan pada 21 pasien dengan berbagai diagnosis hemato-onkologi. Sebanyak 33,3% memberikan respon transfusi yang tidak memuaskan (CCI <7.500). Dari seluruh transfusi, ditemukan antibodi HLA kelas 1 positif sebanyak 38,9% dari pasien, sedangkan antibodi GP IIb/IIIa hanya ditemukan pada 1 orang (2,8%). Didapatkan hubungan antara antibodi HLA kelas 1 dan kegagalan respon transfusi dengan nilai PR 4,7 (IK 95% 1,535–14,474, p=0,003) dan adjusted PR 11,4 (IK 95%, 2,219–58,557, p=0,004)Simpulan. Pasien yang memiliki antibodi HLA kelas 1, memiliki kecenderungan kegagalan transfusi trombosit 11,4 kali lebih besar. Namun, hubungan antibodi GP IIb/IIIa dengan respon transfusi belum dapat ditentukan, sehingga dibutuhkan studi lanjutan dengan sampel yang lebih besar.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Wahidiyat, Pustika Amalia, Elida Marpaung, and Stephen Diah Iskandar. "Characteristics of Acute Transfusion Reactions and its related factors in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia." Health Science Journal of Indonesia 10, no. 1 (July 26, 2019): 15–20. http://dx.doi.org/10.22435/hsji.v10i1.1847.

Full text
Abstract:
Latar belakang: Reaksi transfusi akut (RTA) merupakan sekelompok kejadian yang tidak diinginkan akibat pemberian transfusi darah. Manifestasi dari RTA bervariasi dari yang ringan hingga mengancam nyawa. Saat ini, data mengenai reaksi transfusi di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam studi ini, kami bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik RTA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Studi ini merupakan studi retrospektif yang melibatkan 288 subyek dengan RTA. Studi dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, dimulai sejak Januari hingga Desember 2017. RTA dikelompokkan berdasarkan sistem tubuh yang mengalami manifestasi, serta derajat manifestasinya. Hasil: Sel darah merah merupakan produk darah utama yang ditransfusikan ke subyek, diikuti dengan konsentrat trombosit, plasma segar beku, dan kriopresipitat. Lima gejala utama dari RTA adalah gatal, demam/kenaikan suhu tubuh, menggigil, urtikaria, dan angioedema. Berdasarkan sistem tubuh yang terkena, umumnya RTA bermanifestasi sebagai gejala pada kulit (56.6%). Berdasarkan derajat manifestasinya, RTA umumnya dikategorikan dalam derajat ringan (55.9%). Anak-anak cenderung mengalami manifestasi yang ringan (64.8%) dan utamanya bermanifestasi pada kulit (65.4%). Riwayat transfusi mempengaruhi derajat RTA secara signifikan. RTA derajat sedang dan gejala konstitusional lebih banyak ditemukan pada subyek yang mendapat PRC dibanding produk darah lainnya. Kesimpulan: Umumnya RTA bermanifestasi sebagai gejala dermatologi. Hanya sedikit kasus RTA yang disebabkan oleh reaksi inkompatibilitas. Manifestasi dan derajat RTA juga dipengaruhi oleh umur, riwayat transfusi, dan jenis komponen darah. Kata kunci: Transfusi darah, reaksi transfusi akut, riwayat transfuse, usia Abstract Background: Acute transfusion reactions (ATRs) are a group of adverse events caused by blood transfusions. Manifestations of ATRs vary from mild to life threatening. At present, data about transfusion reactions in Indonesia are still limited. In this study, we aim to determine the characteristics of ATRs and its related factors. Methods: This was a retrospective study of 288 subjects with ATRs. The study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, started from January to December 2017. ATRs were categorized based on the body systems affected and degree of manifestations. Results: Packed red cells (PRC) was the predominant blood product (51.4%) which was transfused to subjects, followed by thrombocyte concentrate (TC), fresh frozen plasma (FFP), and cryoprecipitate. Five most common predominant symptoms of ATRs were pruritus/itch, febrile/increased temperature, chills, transient urticaria, and angioedema. Based on the affected body systems, the majority of ATRs manifested as dermatologic symptoms (56.6%). Based on the degree of manifestations, the majority of ATRs were categorized as mild degree (55.9%). Children tended to have milder symptoms (64.8%), which mostly manifested as dermatologic symptoms (65.4%). History of transfusion affected the degree of ATR significantly. Moderate degree of ATRs and constitutional symptoms were found more common in subjects who received PRC than other blood products. Conclusion: Most of ATRs manifest as dermatologic symptoms, which represent allergic reactions. Only a small portion of ATRs are caused by incompatibility reactions. The manifestation and degree of ATRs are also affected by age, history of transfusion, and type of blood components. Keywords: Blood transfusion, acute transfusion reaction, transfusion history, age
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Trisnawaty, Indah, Elvie Zulka, and Susyana Tamin. "Gambaran disfagia pada anak dan karakteristiknya." Oto Rhino Laryngologica Indonesiana 46, no. 2 (December 30, 2016): 165. http://dx.doi.org/10.32637/orli.v46i2.164.

Full text
Abstract:
Latar belakang: Disfagia pada anak merupakan kelainan yang sering ditemukan. Beberapa kelompok bayi dan anak dengan kelainan perkembangan dan/atau kondisi medis tertentu berisiko mengalami disfagia. Kondisi patologis yang melibatkan lokasi anatomi yang berperan dalam proses menelan, dapat berdampak negatif terhadap koordinasi fase-fase menelan. Hal ini dapat menimbulkan gejala disfagia ataupun kesulitan makan (feeding difficulties) yang akan berdampak buruk apabila tidak ditangani secara optimal. Tujuan: Mendapatkan gambaran tentang disfagia pada anak di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Studi deskriptif dengan desain potong lintang berdasarkan hasil pemeriksaan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) pada 19 pasien anak dengan disfagia. Data diambil dari status rekam medik pasien. Hasil: Didapatkan 7 feeding difficulties, 4 disfagia mekanik, 5 disfagia neurogenik, 1 disfagia campuran (disfagia mekanik dan neurogenik), 1 fungsi menelan normal sesuai usia, dan 1 disfagia neurogenik yang masih didiagnosis banding dengan disfagia mekanik fase esofageal dan feeding difficulties. Penyakit penyerta yang terbanyak adalah cerebral palsy, global delay development, hipertrofi tonsil dan adenoid, serta ensefalopati. Kesimpulan: Disfagia neurogenik pada anak paling banyak disebabkan oleh kelainan neurologik seperti cerebral palsy. Disfagia mekanik pada anak dapat disebabkan oleh hipertrofi tonsil dan adenoid.Kata kunci: Anak, disfagia, feeding difficulties, flexible endoscopic evaluation of swallowingABSTRACT Background: Dysphagia in the pediatric population are becoming more common. Certain groups of infants and children with specific developmental and/or medical conditions have been identified as being at high risk for developing dysphagia. If it does not managed properly, pathologic conditions involving any of the anatomic sites associated with the phases of swallowing can have negative impact on the coordination of these phases and lead to symptoms of dysphagia and feeding difficulties. Purpose: To obtain data in pediatric dysphagia in Otohinolaryngology-head and neck surgery, Medicine Faculty of Universitas Indonesia, dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods: A cross sectional and descriptive study of Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) results in 19 pediatric patients with dysphagia. Data were collected from medical records. Results: Seven feeding difficulties, 4 mechanic dysphagia, 5 neurogenic dysphagia, 1 mixed (mechanic and neurogenic), 1 normal swallowing function and neurogenic dysphagia with the possibility of esophagea dysphagia. The comorbids were cerebral palsy, global delay development, adenoid-tonsil hypertrophy and ensephalopaty. Conclusion: The most common etiology of neurogenic dysphagia was cerebral palsy. Adenoid and tonsil hypertrophy were the common cause of mechanic dysphagia.Keywords: Children, dysphagia, feeding difficulties, flexible endoscopic evaluation of swallowing
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Hudayani, Fitri, and Ratu Ayu Dewi Sartika. "Knowledge and Behavior Change of People Living with HIV through Nutrition Education and Counseling." Kesmas: National Public Health Journal 10, no. 3 (February 1, 2016): 107. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v10i3.947.

Full text
Abstract:
HIV, AIDS and nutrition are interconnected. In the HIV Integrated Care Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Public Hospital, nutrition education and counseling services are provided within a collaborative service for people living with HIV (PLWH). This study aimed to determine influence of nutrition education and counseling to knowledge and behavior of PLWH. This study was conducted with quasi experimental design using treatment and control groups. The treatment group consisted of 25 samples and 29 samples for control group. Samples were adults between 18 – 50 years old selected by applying inclusion and exclusion criteria. A pretested questionnaire was used to assess knowledge. Paired t-test sample was used to analyze data. This study was conducted on May – July 2014. Based on results of this study, there was effect in form of knowledge change (p value = 0.000) with score 6.38 point lower on the control group and any significant differences in behavior change (p value = 0.048) for the treatment group after receiving nutrition education and counseling. This study shows that nutrition and counseling using media of education which is more complete and continuously provided may improve knowledge and change behavior of PLWH.Perubahan Pengetahuan dan Perilaku Orang yang Hidup dengan HIVmelalui Konseling dan Edukasi GiziHIV, AIDS, dan gizi saling berhubungan. Pada Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, layanan edukasi dan konseling gizi disediakan secara kolaboratif untuk orang yang hidup dengan HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan dan konseling gizi terhadap pengetahuan dan perilaku orang yang hidup dengan HIV. Penelitian ini dilakukan dengan desain kuasi eksperimental menggunakan kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan terdiri dari 25 sampel dan 29 sampel untuk kelompok kontrol, dilakukan sebelum dan setelah perlakuan. Sampel berusia dewasa antara 18 – 50 tahun dipilih dengan menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel uji-t berpasangan digunakan untuk menganalisis data. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2014. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa adanya efek berupa perubahan pengetahuan (nilai p = 0,000) dengan nilai 6,38 poin lebih rendah pada kelompok kontrol dan terdapat perbedaan yang signifikan dalam perubahan perilaku (nilai p = 0,048) untuk kelompok perlakuan setelah menerima edukasi dan konseling gizi. Penelitian ini menunjukkan bahwa edukasi dan konseling gizi menggunakan media edukasi yang lebih lengkap dan diberikan secara berkelanjutan dapat meningkatkan pengetahuan dan mengubah perilaku orang yang hidup dengan HIV.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Istanti, Yusrina, Antonius Pudjiadi, Abdul Latief, Sri Martuti, Moh Supriatna, and Pudjiastuti Pudjiastuti. "Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Nutrisi Akut Pascabedah." Sari Pediatri 16, no. 3 (November 9, 2016): 215. http://dx.doi.org/10.14238/sp16.3.2014.215-20.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Malnutrisi sering ditemukan pada pasien pascabedah dan berhubungan dengan penurunan fungsi otot, respirasi, imun serta penyembuhan luka yang terganggu. Tindakan pembedahan merupakan stresor yang memicu respons metabolik sehingga berpengaruh terhadap luaran, termasuk status nutrisi.Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi status nutrisi akut pascabedah.Metode. Penelitian observasional analitik dilakukan di ICU anak tiga rumah sakit, yaitu RS Cipto Mangunkusumo, RS Dr Kariadi, dan RSUD Dr Muwardi. Dilakukan pemeriksaan kadar retinol binding protein (RBP) hari ke-1 dan ke-5 pascabedah sebagai indikator status nutrisi, kortisol, dan C-reactive protein (CRP) sebagai marker respons inflamasi. Status nutrisi berdasarkan antropometri dinilai, jenis, dan lama pembedahan dicatat. Dilakukan uji korelasi untuk melihat hubungan antara kortisol, CRP, dan RBP dengan kadar RBP hari ke-5. Uji kai kuadrat untuk melihat hubungan status nutrisi, jenis dan lama pembedahan dengan kadar RBP hari ke-5.Hasil. Selama kurun waktu 6 bulan didapatkan 39 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan 4 subjek dieksklusi. Penurunan kadar RBP hari ke-5 dijumpai pada 12 (34,4%) subjek. Didapatkan hubungan antara kadar kortisol, CRP, dan RBP hari ke-1 dengan kadar RBP hari ke-5 [r=-0,35 (p=0,04); r=-0,53 (p=0,001); r=0,42 (p=0,01)]. Tidak terdapat hubungan antara status nutrisi berdasarkan antropometri serta jenis dan lama pembedahan dengan kadar RBP hari ke-5 (p>0,05).Kesimpulan. Terdapat hubungan antara kadar RBP hari ke-1 dan ke-5 sebagai parameter status nutrisi akut pascabedah. Kadar RBP hari ke-5 tidak dipengaruhi oleh status nutrisi prabedah serta jenis dan lama pembedahan, tetapi oleh kadar kortisol dan CRP sebagai marker respons stres.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Solang, Albert Daniel, Antonius Pudjiadi, Abdul Latief, Sri Martuti, Yusrina Istanti, Magdalena E. Sahetapy, Pudjiastuti Pudjiastuti, and Moh Supriatna. "Perbedaan Kadar IL-6 dan C-Reactive Protein pada Anak Pascabedah Perut dengan Bedah Saraf." Sari Pediatri 16, no. 3 (November 9, 2016): 157. http://dx.doi.org/10.14238/sp16.3.2014.157-60.

Full text
Abstract:
Latar belakang. Kadar interleukin 6 (IL-6) dan C-reactive protein (CRP) meningkat pascabedah. Peningkatan kadar CRP diinduksi oleh IL-6. Peningkatan kadar keduanya berhubungan dengan lama pembedahan, tetapi penelitian lain mendapatkan luas trauma jaringan yang lebih berpengaruh. Jenis pembedahan bedah perut berhubungan dengan transient endotoksemia. Endotoksemia akan meningkatkan kadar IL-6 secara signifikanTujuan. Mengetahui apakah terdapat perbedaan respon fase akut berupa kadar IL-6 dan CRP pada pascabedah bedah saraf dan bedah perut.Metode. Penelitian analitik observasional dilakukan di tiga rumah sakit, yaitu RS Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Dr. Kariadi, dan RSUD Dr. Moewardi pada Januari 2014-Juni 2014. Pemeriksaan darah CRP dan IL-6 dilakukan pada hari ke-1 dan ke-5 pascabedah di laboratorium. Dilakukan pencatatan usia, jenis kelamin, lama pembedahan, jumlah perdarahan, dan skor ASA serta penilaian status nutrisi prabedah. Analisis data menggunakan Program SPSS versi 17.0, analisis parametrik menggunakan uji t tidak berpasangan. Apabila syarat tidak terpenuhi digunakan metode uji Mann-Whitney.Hasil. Terdapat 30 subjek selama kurun waktu penelitian, sebagian besar jenis operasi adalah bedah saraf (56%) dan bedah perut (38%). Median kadar IL-6 pada hari ke-1 pascabedah perut 156 pg/mL dan bedah saraf 88 pg/mL (p>0,05), sedangkan median kadar IL-6 hari ke-5 pascabedah berturut-turut 22 pg/mL dan 14 pg/mL (p>0,05). Median kadar CRP hari ke-1 pascabedah didapatkan lebih tinggi pada jenis bedah perut 25 mg/L, sedangkan pada bedah saraf 10 mg/dL. Sementara itu, median kadar CRP pada hari ke-5 pascabedah masing-masing 17 mg/dL dan 9 mg/dL (p>0,05)Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan bermakna respon fase akut bedah saraf dan bedah perut baik berupa peningkatan kadar IL-6 maupun kadar CRP pada hari ke-1 dan ke-5 pascabedah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Tambunan, Marihot, Endang Susalit, Dharmeizar Dharmeizar, and C. Martin Rumende. "Perbedaan Pola Sirkadian Tekanan Darah pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Pra dan Pasca Transplantasi Ginjal Di RSCM." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2, no. 4 (February 1, 2017): 208. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v2i4.87.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Meningkatnya tekanan darah (TD) 24 jam dan nondipper merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Prevalensi hipertensi dan nondipper pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 dalam Terapi Dialisis (PGK 5D) masih sangat tinggi. Transplantasi ginjal akan memperbaiki TD dan nondipper. Namun demikian, satu bulan pasca transplantasi ginjal, kebutuhan dosis obat imunosupresan masih cukup tinggi yang dapat mengakibatkan hambatan penurunan TD. Perlu dilakukan studi untuk mengetahui seberapa dini perubahan pola sikardian, sehingga dapat dijadikan pertimbangan penatalaksanaan hipertensi yang lebih tepat pada pasien PGK 5D pra dan pasca transplantasi ginjal.Metode. Studi Pre experimental dengan before and after design dilakukan pada 15 pasien PGK 5D/ Pra Transplantasi Ginjal berusia 18–60 tahun di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada Oktober-Desember 2014. Dilakukan pengumpulan urin 24 jam, pemeriksaan LFG dan pengukuran TD 24 jam dengan 24 hrs ABPM pada pra dan satu bulan pasca transplantasi ginjal.Hasil. Terdapat 12 subjek nondipper dan 3 subjek dipper pada pasien PGK Pra Transplantasi Ginjal. Satu bulan pasca transplantasi ginjal, seluruh subjek (15 orang) memperlihatkan keadaan nondipper. Uji McNemar tidak dapat dilakukan karena seluruh subjek PGK satu bulan pasca transplantasi ginjal nondipper (homogen). Penurunan rerata TD sistolik 24 jam pasien PGK satu bulan pasca transplantasi ginjal tidak bermakna (p >0,05), namun demikian penurunan rerata TD diastolik 24 jam bermakna (p <0,05).Simpulan. Berdasarkan hasil studi, dapat disimpulkan bahwa belum terdapat perbaikan nondipper pada pasien satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Yogani, Indria, Teguh Harjono Karyadi, Anna Uyainah, and Sukamto Koesnoe. "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kenaikan CD4 pada Pasien HIV yang Mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy dalam 6 bulan Pertama." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2, no. 4 (February 1, 2017): 217. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v2i4.89.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. HIV adalah infeksi yang menyerang sistem kekebalan tubuh dengan CD4 sebagai sel targetnya. Ditemukannya Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) diharapkan mampu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas HIV. Namun, kenaikan CD4 tidak sama untuk setiap pasien serta terdapat faktor lain yang berhubungan dengan kenaikan CD4 pada pasien HIV.Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien HIV rawat jalan di Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta selama Mei- Juni 2014.. Data penelitian didapatkan dari rekam medis selama Januari 2004-Desember 2013. Analisis data menggunakan program SPSS dengan uji Mann Whitney, uji Chi Square atau Fisher serta analisis multivariat dengan teknik regresi logistik.Hasil. Sebanyak 818 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Sebanyak 368 (45%) subjek tidak mengalami kenaikan CD4 seperti yang diharapkan. Median CD4 awal sebelum terapi 56 sel/mm3 dan setelah 6 bulan terapi 130 sel/mm3. Terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah CD4 awal, infeksi tuberkulosis dan tingkat kepatuhan dengan kenaikan CD4 dengan nilai p masing-masing <0,001, 0,010 dan <0,001. Hasil analisis multivariat didapatkan bahwa jumlah CD4 awal (p<0,001; OR: 0,996; IK 95% 0,995-0,998), tidak patuh minum obat (p<0,001; OR:2,907; IK 95%: 2,162-3,909), dan infeksi tuberkulosis (p=0,021; OR: 1,527; IK 95%: 1,065-2,190) berhubungan dengan kenaikan CD4 pada pasien HIV yang mendapat HAART.Simpulan. Jumlah CD4 awal, kepatuhan minum obat, dan infeksi tuberkulosis mempengaruhi kenaikan CD4 pada pasien HIV yang mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy setelah 6 bulan pertama.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Darwanty, Juandra. "HUBUNGAN KONSUMSI FE TERHADAP KEJADIAN AMENIA PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2014." Jurnal Kebidanan 7, no. 1 (February 13, 2018): 14. http://dx.doi.org/10.26714/jk.7.1.2018.14-22.

Full text
Abstract:
Menurut United Nation yang dikutip oleh Soegianto (1993), tingginya prevalensi anemia pada kehamilan melatarbelakangi terjadinya kematian ibu sewaktu hamil. Hasil riskesdas tahun 2013 ditemukan angka kejadian amenia pada kelompok ibu hamil sebesar 37,1 %. Di Jawa barat angka kejadian aneia 40-43%. Sedangkan angka kejadian anemia pada ibu hamil yang ada di Kabupaten Karawang adalah sebesar 45% . Hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan dipuskesmas Tanjung pura ditemukan 40 % ibu hamil dengan anemia, sedagkan cakupan pemberian FE pada ibu hamil mencapai 87,6%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoo Swie Tjiong di Rumah Sakit (RS) Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi anemia dalam kehamilan banyak 18,5% , Pseudonemia 57,9% dan wanita hamil dengan Hb 12gr% atau lebih sebanyak 23,6%, Hb rata-rata 12,3 gr% pada trimester satu, 11,3 gr% pada trimester dua dan 10,8 gr% pada trimester tiga. Penelitian lain yang dalakukan Nurhayati (2014) ada pengaruh pembeian FE terhadap kejadian Anemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana hubungan antara konsumsi FE pada ibu hamil dengan kejadia anemia pada kehamilan di kabupaten karawang. Desain penelitin ini adalah metode penelititan deskriptif analitik. Dengan pendekatan crossecsional. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah dengan teknik simple rondeon sampling pada ibu–ibu hamil trimester tiga puskesmas, dengklok, pedes, karawang kota dan purwasari kabupaten karawang, dengan jumlah sampel 111. analisa univariat dan bivariat menggunakan uji statistik uji Chi Square dengan derajat kemaknaan 95%. Ada hubungannya kejadian anemia adalah Jumlah Fe yang dikonsumsi ibu selama hamil.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Ramadhini, Fitri Ayu. "Three Years Retrospective Study of Melanocytic Lesion in Tertiary Hospital: Comparing Benign & Malignant Data." eJournal Kedokteran Indonesia 9, no. 1 (May 5, 2021): 24. http://dx.doi.org/10.23886/ejki.9.10.24.

Full text
Abstract:
Abstract Melanocytic lesion is defined as skin symptom due to proliferation of melanocytes. It may be considered benign, commonly diagnosed as melanocytic nevus (MN), or may also be malignant as malignant melanoma (MM). Publication of epidemiologic data about melanocytic lesion in Indonesia is limited. The aim of this study was to evaluate the epidemiologic findings of melanocytic lesion based on histopathology and clinical data. This descriptive study was done by collecting retrospective pigmented lesion from histopathology database at Department of Anatomical Pathology dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital from 2014 - 2017. Retrieved data were analyzed descriptively for MN and MM include clinical diagnosis, age, sex, location, size and clinical working diagnosis. There were 121 cases of melanocytic lesions consisting of 87.6% MN. Females were more frequent for benign lesions. MN cases were mostly seen at the age below the fourth decade, while from 12 cases of MM found above fourth decade. MN was located mostly on the head and neck, while MM mostly in the lower extremities and soles. There were 75 lesions size and 4 lesions location were unknown data missing. MM is still considered rare. Completing clinical finding in the histopathology request form by surgeons will aid in defining better characteristic of melanocytic lesion in our population. Keyword: epidemiology, melanocytic lesion, nevus melanocytic, malignant melanoma. Studi Retrospektif Lesi Melanositik dalam Tiga Tahun di RS Tersier: Perbandingan Data Jinak dan Ganas Abstrak Lesi melanositik didefinisikan sebagai lesi kulit akibat proliferasi melanosit. Lesi melanositik dapat dianggap jinak, umumnya didiagnosis sebagai nevus melanositik (NM), atau merupakan ganas yaitu melanoma maligna (MM). Publikasi data epidemiologi tentang lesi melanositik di Indonesia masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi gambaran epidemiologis lesi melanositik berdasarkan data histopatologi dan klinis. Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan mengumpulkan data retrospektif lesi berpigmen dari basis data histopatologi di Departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Nasional dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 2014 - 2017. Data dianalisis secara deskriptif untuk NM dan MM termasuk diagnosis kerja, usia, jenis kelamin, lokasi, ukuran, dan diagnosis klinis. Terdapat 121 kasus lesi melanositik yang terdiri atas 87,6% NM. Lesi jinak lebih banyak ditemukan pada wanita. Terdapat 75 dan 4 kasus dengan data ukuran lesi dan lokasi tidak tercantum. MM masih dianggap jarang. Kasus NM sebagian besar terlihat pada usia di bawah dekade keempat, sedangkan dari 12 kasus MM di atas dekade keempat. NM sebagian besar terletak di kepala dan leher, sedangkan MM ditemukan di ekstremitas bawah dan telapak kaki. Melengkapi temuan klinis dalam formulir permintaan histopatologi oleh dokter bedah akan membantu dalam menentukan karakteristik lesi melanositik lebih baik pada populasi ini. Kata kunci: epidemiologi, lesi melanositik, nevus melanositik, melanoma maligna
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Simatupang, Lydia D., Endang Susalit, and Ika Prasetya Wijaya. "Peran Kombinasi Hidrasi dan N-Acetyl Cysteine terhadap Nefropati akibat Kontras 48 Jam Pasca Percutaneous Coronary Intervention pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 3." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 3 (January 23, 2017): 125. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i3.22.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) stadium 3 merupakan faktor risiko tinggi untuk nefropati akibat kontras (NAK) setelah percutaneous coronary intervention (PCI). NAK belum dapat diobati sempurna tetapi dapat dicegah. Hidrasi dan N-Acetyl Cysteine (NAC) merupakan modalitas mencegah NAK walaupun efek proteksinya masih kontroversial.Metode. Studi kohort prospektif terhadap 38 pasien PGK stadium 3 di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (PJT RSCM) Jakarta selama Agustus 2013-Januari 2014. Pada pasien, dilakukan pengukuran kreatinin plasma sebelum dan 48 jam sesudah PCI, serta diidentifikasi ada tidaknya perlakuan pemberian hidrasi dan NAC pada pasien PGK stadium 3 tersebut.Hasil. 43,4% pasien PGK stadium 3 diberikan hidrasi dan NAC. Insidens NAK adalah 5.26% dan terjadi pada kelompok yang tidak mendapat hidrasi dan NAC. Berdasarkan uji Fischer Exact test, tidak didapatakan hubungan yang bermakna antara pemberian hidrasi dan NAC dengan NAK (p=0,486). Nilai RR tidak dapat dihitung, namun demikian didapatkan nilai Attributable Risk (AR) sebesar 100%, artinya kejadian NAK dapat dihilangkan 100% apabila diberi hidrasi dan NAC.Simpulan. Hidrasi dan NAC memiliki indikasi dapat memproteksi terhadap kejadian NAK pada populasi PGK stadium 3 yang menjalani PCI.Kata Kunci: hidrasi, N-acetyl cysteine, nefropati akibat kontras, percutaneous coronary interventionThe Role of Hydration and N-Acetyl Cysteine Combination in 48 Hours Contrast-Induced Nephropaty after Percutaneous Coronary Intervention in Stage Three Chronic Kidney Disease PatientsIntroduction. Contrast Induced Nephropathy (CIN) after percutaneous coronary intervention (PCI) is common in stage 3 chronic kidney disease (CKD) patients. While there is no cure for CIN and some cases are fatal for the kidney or even life, it is preventable. Eventhough controversial, hydration and N-Acetyl Cysteine (NAC) are modalities to prevent CIN. Not having a certain guideline to prevent CIN in Integrated Cardiac Services (ICS) Cipto Mangunkusumo Hospital for PCI patients generates interest to study it. Methods. A prospective cohort is conducted to evaluate plasma creatinine before and 48 hours after PCI, meanwhile recording whom is given combined hydration and NAC and which not. Results. 43,4% of stage 3 CKD patients are given hydration and NAC, and incidence of CIN occurred in 5.26% patients all belonging to the non hydration and NAC group. Attributable risk is 100% means CIN can be prevented with hydration and NAC. Conclusions. Hydation and NAC is indicated to be protective against CIN in s tage 3 CKD patients undergoing PCI. Keywords: contrast induced nephropathy, hydration, N-Acetyl Cysteine, percutaneous coronary intervention
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Tamin, Susyana, Elvie Zulka, Iman Pradana Maryadi, and Rahmanofa Yunizaf. "Disfagia fase oral dan faring pada anak sindrom Down." Oto Rhino Laryngologica Indonesiana 48, no. 1 (June 28, 2018): 102. http://dx.doi.org/10.32637/orli.v48i1.261.

Full text
Abstract:
Latar Belakang: Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang terjadi akibat trisomi seluruh atau sebagian dari kromosom 21, yang terjadi kurang lebih 1 dari 700 kelahiran hidup. Berbagai studi mendapatkan bahwa gangguan makan (feeding difficulty) dan disfagia merupakan masalah yang umum terjadi dan terkadang persisten pada anak sindrom Down. Tujuan: Memaparkan karakteristik kelainan disfagia fase oral dan fase faring yang dapat timbul pada anak dengan sindrom Down menggunakan instrument pemeriksaan Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES). Laporan kasus: Dilaporkan 8 pasien anak dengan sindrom Down yang didapatkan dari rekam medis pasien sejak Oktober 2016 hingga September 2017, yang dilakukan pemeriksaan FEES di Poli Endoskopi Bronkoesofagologi Departemen Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Pencarian literatur secara terstruktur dilakukan dengan menggunakan Pubmed, ClinicalKey, Cochrane, dan Google scholar, sesuai dengan pertanyaan klinis berupa bagaimana karakteristik disfagia pada pasien anak dengan sindrom Down melalui pemeriksaan FEES. Pemilihan artikel dilakukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil didapatkan 1 artikel yang relevan. Hasil: Artikel yang didapat merupakan suatu studi retrospektif yang melaporkan gambaran deskriptif karakteristik disfagia pada anak dengan sindrom Down. Kesimpulan: Kelainan anatomis pada sindrom Down berperan pada terjadinya gangguan makan dan disfagia. ABSTRACTBackground: Down syndrome is an autosomal chromosomal disorder caused by entire or partial trisomy of chromosome 21, which occurs in approximately 1 out of 700 live births. Several studies had found that feeding difficulty and swallowing disorder (dysphagia) are common and persistent problems in children with Down syndrome. Purpose: to describe characteristics of abnormalities that can occur in children with Down syndrome using the Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) examination. Case report: 8 Pediatric patients with Down syndrome, obtained from medical record of FEES examination in Endoscopic Bronchoesophagology Clinic of Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Department (ENT-HNS) Cipto Mangunkusumo Hospital, from October 2016 up to September 2017. Method: A structured literature search was performed using Pubmed, ClinicalKey, Cochrane, and Google scholar, according to clinical question of how the characteristics of dysphagia in pediatric patients with Down syndrome through FEES examination? The selection of articles is based on inclusion and exclusion criteria which resulted in 1 relevant paper. Results: The article obtained was a retrospective study reporting descriptive characteristics of dysphagia in children with Down syndrome. Conclusion: Anatomical abnormalities in children with Down syndrome play a role in eating disorders and dysphagia. Keywords:
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Azies, Herawati, Elly Nurachmah, and S. Notoatmojo. "Persepsi Kepala Ruangan Dan Perawat Pelaksana Tentang Permasalahan Manajemen Dalam Menerapkan Pendokumentasian Proses Keperawatan Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusomo Jakarta 2001." Jurnal Keperawatan Indonesia 6, no. 2 (April 24, 2014): 61–69. http://dx.doi.org/10.7454/jki.v6i2.120.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui secra mendalam persepsi kepala ruangan dan perawat pelaksana tentang permasalahan manajemen dalam menerapkan pendokumentasian proses keperawatan di RSCM. Desain penelitian kulitatif adalah deskriptif-eksploratif dengan menggunakan pendekatan fenomenologikal dan melibatkan 24 responden dari dua kelompok kepala ruangan dan perawat pelaksana, masing-masing terdiri dari empat orang dari setiap kelompok untuk wawancara mendalam, dan delapan orang dari tiap kelompok untuk kelompok diskusi terfokus. Hasil penelitian menunjukkann ada beberapa tema yang muncul dari setiap variable yang diteliti yaitu untuk variable pemahaman dokumentasi keperawatan diperoleh tema catatn, aspek legal, alat komunikasi dan informasi, serta dokumentasi sebagai penelitian. Pada variable fungsi manajeman, fungsi perencanaan diperoleh sumber belum optimal, fungsi pengorganisasian diperoleh uraian tugas belum jelas, fungsi pengarahan diperoleh tema pendelegasian, dan dari fungsi pengawasan diperoleh penampilan kinerja belum terlaksana secara berkesinambungan, standar praktik belum difungsikan secara optimal, pendidikan kepala ruangan belum selesai, dan tema spek psikososial. Rekomendasi ditujukan pada bebrapa pihak yang terlibat dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit agar mendukung terwujudnya sistem pendokumentasian yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan agar pendokumentasian keperawatan dapat leih dipertanggungjawabkan baik secara legal, social, maupun professional. The purpose of the research was to identify the in-depth perception of the head as nursing managers and the clinical nurses on the management problems to implement nursing process documentation at RSCM. The design of the qualitative research was descriptive explorative using a phenomenological approach. Twenty-four respondents were participated in the study: consisted of two groups, which were the group of head nursing and the group of clinical nurses equally. These groups were divided into eight persons in the group for in depth interview and sixteen persons for focus group discussions. The result of the study showed several themes from each variable. The variable of understanding the nursing documentation had themes of documentation as notes, legal aspect, communication and information media, and as a material of research study. The variable of management function produced varies of themes such as resource planning has not been implemented optimally, job description is unclear, delegation of tasks, work performance has been monitored consistently, standard of practice has not been conveyed to several components of nursing service in the hospital to support a better nursing documentation. A further research should be done to achieve more comprehensive findings lead to a nursing documentation that can be legally, social, and professionally accountable.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Sanjaya, Nur Arief. "GANGGUAN FONOLOGI KELUARAN WICARA PADA PENDERITA AFASIA BROCA DAN AFASIA WERNICKE: SUATU KAJIAN NEUROLINGUISTIK." Arkhais - Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia 6, no. 2 (December 30, 2015): 53. http://dx.doi.org/10.21009/arkhais.062.01.

Full text
Abstract:
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bunyi-bunyi konsonan apa saja yang terjadi kesalahan pengucapan pada penderita afasia Broca dan afasia Wernicke yaitu pada kasus kesalahan kata yang diucapkan pada tipologi tunggal. Selanjutnya menyimpulkan persamaan dan perbedaan kesalahan bunyi konsonan pada kedua penderita afasia tersebut. Penelitian ini dilakukan pada semester akhir bulan Januari 2014 – Mei 2014 di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Fokus penelitian ini pada gangguan fonologi pengucapan bunyi konsonan yang diujarkan pasien penderita afasia Broca dan afasia We rnicke, terutama pada penggantian tipologi bunyi-bunyi tunggal. Gangguan fonologi terdiri dari tiga aspek, yaitu penghilangan, penambahan, dan penggantian bunyi konsonan. Objek penelitian yang diteliti adalah tuturan 2 penderita afasia Broca dan 2 penderitan afasia Wernicke yang mengalami kesulitan berbicara disaat pengucapan bunyi konsonan sehingga pasien mengalami gangguan fonologi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mendeskripsi dan menganalisis berdasarkan rangkuman analisis yang diturunkan dari teori fonologi bahasa Indonesia. Instrumen pada penelitian ini adalah peneliti sendiri dibantu dengan tabel analisis data, yaitu TADIR untuk mengetahui jenis afasia apa yang diderita pasien dan hasil Tes Pemeriksaan Kemampuan Wicara untuk mengetahui kesalahan fonologi yang telah diderita pasien. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa gangguan fonologi pada penderita afasia Broca sebanyak 151 kata, antara lain: penghilangan bunyi konsonan 50 data dengan rata-rata 44,73, penambahan bunyi konsonan 18 data dengan rata-rata 50,44, penggantian bunyi konsonan 83 data dengan rata-rata 29,55. Pada afasia Wernicke sebanyak 208 kata, antara lain: penghilangan bunyi konsonan 69 data dengan rata-rata 36,49, penambahan bunyi konsonan 22 data dengan rata-rata 29,89, penggantian bunyi konsonan 117 data dengan rata-rata 29,40. Persamaan gangguan fonologi dari dari kedua pasien tersebut sebanyak 32 data dan perbedaan dari gangguan fonologi tersebut sebanyak 13 data yang dihasilkan afasia Broca dan sebanyak 24 data yang dihasilkan afasia Wernicke. Kata Kunci: Neurolinguistik, Afasia Broca, Afasia Wernicke, dan Gangguan Fonologi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Ikhsan, Muhammad, Sally Aman Nasution, Ika Prasetya Wijaya, and Cleopas Martin Rumende. "Peran Duke Treadmill Score sebagai Prediktor Penyakit Jantung Koroner pada Pasien dengan Uji Treadmill Positif The Role of Duke Treadmill Score as a Predictor of Coronary Artery Disease in Patients with Positive Treadmill Test Results." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 2 (June 1, 2016): 81. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i2.95.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Coronary Artery Disease (CAD) merupakan penyakit yang masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Uji treadmill merupakan modalitas diagnostik untuk CAD yang tersedia secara luas di Indonesia, namun performa ketepatan diagnostiknya masih perlu ditingkatkan. Penelitian yang dilakukan ini menggunakan Duke Treadmill Score (DTS) sebagai prediktor Coronary Artery Disease.Metode. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang yang dilakukan pada subjek dengan CAD stabil berusia 18-75 tahun yang menjalani uji treadmill dengan hasil positive ischemic response dan sudah dilakukan korangiografi di Poliklinik Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam kurun waktu Januari 2011 hingga Desember 2013.Hasil. Didapatkan 103 subjek dengan 37,9% diagnosis CAD signifikan dari corangiografi. Dari ROC (Receiver Operator Curve) ditentukan titik potong DTS pada nilai -8,85. Didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP) dan nilai duga negatif (NDN) DTS masing-masing sebesar 28% (IK 95%: 17%-44%), 95% (IK 95%: 87%-98%), 79% (IK 95%: 52%-92%) dan 69% (IK 95%: 58%-77%).Simpulan. Disimpulkan DTS dapat memprediksi CAD yang signifikan pada titik potong -8,85 untuk pasien uji treadmill positif dengan nilai duga positif yang cukup baik.Kata Kunci: CAD, DTS, uji treadmillThe Role of Duke Treadmill Score as a Predictor of Coronary Artery Disease in Patients with Positive Treadmill Test ResultsIntroduction. Coronary Artery Disease (CAD) is one of the disease entity that leading cause of morbidity and mortality in worldwide. Treadmill test is part of the diagnostic modality which readily available to assess possibility of narrowing coronary artery and guiding us whether we need for the further investigation. Despite of that, treadmill test has limitation in diagnostic accuracy. Duke Treadmill Score (DTS) was also tested as a diagnostic score, and shown to predict significant CAD better than the ST-segment response alone.Methods. This is a cross-sectional study performed in adult patients with stable CAD that underwent treadmill test and coronary angiography in outward patient clinic of the Integrated Cardiac Service in Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2011 and December 2013.Results. A total of 103 patients in this study, thirty nine patients (37,9 %) had significant CAD in coronary angiography. Briefly, mean age was 54,71 years and 55 patients (53,4 %) were females. The most common CAD risk factor was hypertension (51,5 %). A mean of DTS score was -3.53, which mostly categorized as intermediate risk (89,3 %). Based on DTS results, cut-off point was determined by using Receiver Operator Curve (ROC) method, in which value of -8,85 considering as a cut-off point. Sensitivity and specificity value of DTS were 28 % (CI 95 %: 17 % to 44 %), and 95 % (CI 95 %: 87 % to 98 %). Positive and negative predictive value were 79 % (CI 95 %: 52 % to 92 %) and 69 % (CI 95 %: 58 % to 77 %). Positive and negative likelihood ratio were 6.02 and 0.75.Conclusions. DTS has a good performance in predicting significant CAD at cut-off point -8,85 in patients with positive treadmill test.Keywords: CAD, DTS, treadmill test
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Poerwantoro, Pramita G. D., and Yuni Astria. "Penyakit Refluks Gastroesofageal Berat (PRGE) pada Anak dengan Riwayat Gizi Buruk dan Kelahiran Prematur." Majalah Kedokteran UKI 36, no. 2 (June 28, 2021): 63–70. http://dx.doi.org/10.33541/mk.v36i2.3095.

Full text
Abstract:
Abstrak Penyakit refluks gastroesofageal berat (PRGE)adalah gerakan retrograd isi lambung ke kerongkongan. Pada prematuritas, kelemahan peristaltik esofagus terjadi akibat kurangnya relaksasi reseptif bersihan material refluks ke esofagus. Penyakit ini menyebabkan penurunan kualitas hidup dan komplikasi. Laporan ini bertujuan menggambarkan kasus PRGE parah pada anak marasmik dengan kelahiran prematur. Kasus berasal dari seorang anak perempuan berusia tiga tahun dirawat di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo karena menderita muntah terus-menerus setiap kali setelah menyusu. Pasien lahir prematur pada usia kehamilan 31 minggu dengan berat lahir 900 gram, mengalami malnutrisi berat dan keterlambatan perkembangan. Pasien menjalani prosedur endoskopi, pemeriksaan histopatologi dan didapatkan esofagitis berat, gastritis erosif, striktur pilorik, dan refluks laringofaringeal (LPR).Pasien diberikan proton pump inhibitors (PPIs), menjalani dilatasi pilorik satu kali dan pemasangan nasogastricjejunal feeding tube (NJFT), serta susu formula khusus medium chain tryglyceride (MCT) enam kali sehari. Dalam 18 bulan masa tindak lanjut, pasien menunjukkan peningkatan skor Z berat-berdasarkan-panjang badan, panjang berdasarkan usia dan lingkar kepala berdasarkan usia.Dalam menangani bayi prematur, harus mempertimbangkan PRGE sebagai salah satu etiologi pertumbuhan yang terganggu. Prosedur endoskopi dan pemasangan NJFT untuk terapi nutrisi jangka panjang mengurangi komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup.Follow up intensif diperlukan agar mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal. Kata kunci: anak, komplikasi, GERD, lahir prematur, proton pump inhibitors Severe Gastroesophageal Reflux Disease in Malnourished Children with History of Prematurity Abstract Gastroesophageal reflux disease (GERD) is an involuntary retrograde propulsion of gastric contents to esophagus. In prematurity, esophagus peristaltic weakness due to lack of receptive relaxation contribute to inadequate cleaning of material reflux to esophagus which become GERD predisposition. Furthermore, GERD can cause a decline of quality of life and various complications. This report aimed to describe severe GERD case in a marasmic child with premature birth. A 36-month-old girl was hospitalized at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital because of persistent vomitus after every milk feeding. She was prematurely born at 31 weeks of gestation with birthweight of 900 grams, and become severely malnourished with developmental delayed. She then underwent gastrointestinal endoscopic procedure and histopathology examination that revealed a severe esophagitis, erosive gastritis, pyloric stricture, and laryngopharyngeal reflux (LPR).She was treated with proton pump inhibitors (PPI) and underwent one-time pyloric dilatation with nasogastricjejunal feeding tube (NJFT) insertion and continued with medium chain triglycerides formula six times a day. At 18-month follow-up, weight-for-length Z score, length-for-age and head circumference Z score are increased.In dealing with premature baby, we should consider GERD as one of growth faltering etiologies. Endoscopy procedure followed by NJFT insertion for long-term nutrition therapy in severe GERD are the cornerstones to reduce complications and to improve quality of life. Moreover, close follow up for optimal growth and development should be done in such case. Keywords: children, complications, GERD, premature birth, proton pump inhibitors
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Dewi, Stephanie, Purwita W. Laksmi, Ari Fahrial Syam, Esthika Dewiasty, and Euphemia Seto. "Pengaruh Penggunaan Proton Pump Inhibitor Jangka Panjang terhadap Sindrom Frailty pada Pasien Usia Lanjut." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 3 (September 1, 2016): 143. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i3.115.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Sindrom frailty berkaitan dengan angka morbiditas dan kematian yang lebih tinggi, sehingga dipakai sebagai prediktor kesehatan pada orang usia lanjut (usila). Polifarmasi sebagai salah satu faktor risiko sindrom frailty dapat berkaitan dengan obat Proton Pump Inhibitor (PPI) yang sering diberikan pada usila atas indikasi adanya keluhan gangguan saluran cerna bagian atas. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mempelajari hubungan PPI jangka panjang dan sindrom frailty pada usila.Metode. Studi kasus kontrol pada pasien usila di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Kelompok kasus adalah usila terdiagnosis Frailty menurut FI-40 item dan kontrol adalah usila yang tidak frail berdasarkan instrumen yang sama. Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari data sekunder status frailty berdasarkan penelitian sebelumnya dan data rekam medis poliklinik Geriatri dan poliklinik diabetes RSCM.Hasil. Didapatkan 225 subjek (75 kasus: 150 kontrol), 59,6% berjenis kelamin perempuan (rerata usia 72,14 tahun; simpang baku ± 6,4 tathun) dan 47,1% berpendidikan tinggi. Subjek yang berpendidikan rendah, berstatus cerai mati, berstatus nutrisi lebih buruk, tidak mandiri, memerlukan caregiver, hidup tidak berkecukupan dan kondisi kesehatan yang lebih buruk lebih banyak didapatkan pada kelompok frail dibandingkan kelompok yang tidak frail. Proporsi pengguna PPI Jangka Panjang sebesar 40,9%. Penggunaan PPI jangka panjang meningkatkan risiko sindrom frailty (Crude OR 2,15; IK 95% 1,22- 3,78; p<0,007) dengan adjusted OR 1,83 (IK 1,0-3,36) terhadap variabel nutrisi dan merokok.Simpulan. Penggunaan PPI jangka panjang (≥ 6 bulan) secara independen meningkatkan salah satu risiko sindrom frailty pada usila.Kata Kunci: frailty, geriatri, proton pump inhibitor jangka panjang, usia lanjutThe Effect of Long-Term Proton Pump Inhibitor Use on Frailty Syndrome in Elderly PatientsIntroduction. Frailty syndrome, the newest elderly health predictor, associated with higher morbidity and mortality. PPI are often used in elderly due to presence of upper gastrointestinal complaints, and relates with polypharmacy as one of the risk factor for frailty syndrome. There is no study of the relationship between long term PPI use and frailty syndrome in elderly.Methods. A case control study included subjects 60 years and above with good cognitive status. All subjects with history of hypersensitivity of PPI were excluded. Elderly who were frail based on FI-40 item were defined as cases, while individuals that were not frail were classified as control. Primary data (included frailty status) was collected on March-June 2013 by Seto E and Sumantri S, et al. Secondary data used in this current study were gathered from the primary data of previous research and from the medical record taken from geriatric and diabetic outpatient clinics Cipto Mangunkusumo Hospital.Results. There were 225 subjects collected (75 cases: 150 controls), 59,6% were female (mean age 72,14 years old, SD ± 6,4 years) and 47,1% with higher education. Lower education, divorced, poor nutrition, dependent, needed caregiver, economically insufficient, more comorbidity and poor health condition were seen in frail group. The proportion of long term PPI use were 40,9%. Long term PPI medication increased the risk of frailty syndrome (Crude OR 2,154; CI 95% 1,225-3,778; p<0,007) with adjusted OR 1,83 (CI 95% 1,02-3,37) after adjusting with nutrition and smoking variables.Conclusions. Long term use of PPI significantly increase the risk of frailty syndrome compared to the non-users.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Indra, Tities Anggraeni, Aida Lydia, Dyah Purnamasari, and Siti Setiati. "Asosiasi antara Status Vitamin D 25(Oh)D dengan Albuminuria pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 4, no. 1 (March 30, 2017): 16. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v4i1.108.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Angka kejadian nefropati diabetik di Indonesia dilaporkan meningkat. Defisiensi vitamin D juga cukup tinggi. Berbagai faktor telah diidentifikasi turut memperberat kejadian nefropati diabetik salah satunya status vitamin D 25(OH)D. Namun demikian, bekum ada studi yang mengidentifikasi hubungan keduanya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi antara status vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.Metode. Dilakukan studi potong lintang pada 96 pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 yang berobat ke poliklinik MetabolikEndokrin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Jakarta pada November-Desember 2012. Pemeriksaan kadar vitamin D 25(OH)D diilakukan dengan menggunakan kit Diasorin dengan metode CLIA, sedangkan albuminuria dinilai berdasarkan kadar albumin pada sampel urin sewaktu. Uji statistik yang digunakan meliputi uji chi square pada analisis bivariat dan regresi logistik pada analisis multivariat.Hasil. Prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 sebesar 49% dengan nilai median kadar vitamin D 25(OH)D adalah 16,35 (4,2-41,4) ng/mL. Tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara defisiensi vitamin D dengan albuminuria, baik pada analisis bivariat maupun multivariat (OR 0,887; IK95% 0,3352,296). Faktor perancu yang memengaruhi hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian albuminuria pada pasien DM tipe 2 adalah kontrol gula darah yang buruk dan berat badan lebih.Simpulan. Studi ini belum dapat menyimpulkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien DM tipe 2 di Indonesia.Kata Kunci: albuminuria, defisiensi vitamin D 25(OH)D, DM tipe 2 The Association between Vitamin D 25(OH)D Level and Albuminuria in Type 2 Diabetes MellitusIntroduction. Vitamin D 25(OH)D deficiency was reported as a possible risk factor for the development of diabetic nephropathy in several epidemiologic studies. Whether vitamin D 25(OH)D deficiency plays a role in the development of diabetic nephropathy in Indonesia is unknown. This study aims to determinate the association between vitamin D 25(OH)D level with albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia. Methods. A cross-sectional study was conducted in 96 patients with type 2 diabetes mellitus at outpatient clinic of MetabolicEndocrine Cipto Mangunkusumo Hospital. Serum vitamin D level was assessed using Diasorin kit with CLIA method, while albuminuria was assessed using random urine sample. Statistical analysis was conducted using chi square for bivariate analysis and regression logistic method for multivariate analysis. Results.The prevalence of vitamin D 25(OH)D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus was 49% with a median value 16,35 (4,2-41,4) ng/mL. There was no significant correlation between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria (OR 0,887; 95% CI 0,335 to 2,296). Confounding factors such as poor blood glucose control and overweight strongly influenced the association between vitamin D deficiency with the incidence of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus. Conclusion. The results of this study showed that there was no association between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Yasmine, Elizabeth, Arif Mansjoer, Dyah Purnamasari, and Hamzah Shatri. "Hubungan Variabilitas Glukosa 72 Jam Pertama Perawatan ICU dengan Mortalitas ICU pada Pasien Kritis." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 1 (January 16, 2017): 14. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i1.4.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Hiperglikemia saat perawatan merupakan faktor risiko yang dapat ditatalaksana dengan optimal untuk menurunkan mortalitas. Penelitian hubungan variabilitas glukosa terhadap mortalitas telah diteliti, namun menggunakan indikator yang bervariasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hubungan variabilitas glukosa yaitu rerata perubahan glukosa absolut (mean absolute glucose change, MAG) dan simpang baku glukosa terhadap mortalitas pasien kritis.Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan pada 280 pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU) dan high care unit (HCU) Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta periode Januari 2012-Agustus 2013. Variabel MAG dan simpang baku glukosa dibagi menjadi 4 kuartil. Analisis hubungan antara MAG dan simpang baku glukosa dengan mortalitas dilakukan dengan uji chi Square. Untuk mengeluarkan faktor perancu (skor MSOFA, indeks komorbiditas Charlson,hipoglikemia, dan hiperglikemia) dilakukan uji regresi logistik.Hasil. Nilai median MAG dan simpang baku gukosa masing-masing adalah 3,3 mg/dL/jam dan 38,3 mg/dL. Proporsi mortalitas yang lebih tinggi didapatkan pada kuartil atas MAG dan simpang baku glukosa dibandingkan kuartil bawah. Berdasarkan uji chi square, didapatkan hasil OR MAG kuartil atas terhadap mortalitas OR 4,26 (IK 95% 1,98-9,15) dan OR simpang baku glukosa kuartil atas terhadap mortalitas OR 2,78 (IK 95% 1,35-5,71). Setelah dilakukan uji regresi logistik didapatkan fully adjusted OR 3,34 (IK 95% 1,08-10,31) untuk MAG dan 0,90 (IK 95% 0,28-2,88) untuk simpang baku glukosa.Simpulan. Proporsi mortalitas MAG kuartil atas (>8,1 mg/dL/jam) lebih tinggi daripada kuartil bawah (<1,3 mg/dL/jam). Proporsi mortalitas simpang baku glukosa kuartil atas (>59 mg/dL) lebih tinggi daripada kuartil bawah (<22,7 mg/dL). Namun demikian, hasil tersebut tidak bermakna secara statistik.Kata kunci: mortalitas, rerata perubahan glukosa absolut, simpang baku glukosa, variabilitas glukosa Association of Glucose Variability in the First 72 Hours of ICU Care with ICU Mortality in Critically-III PatientsIntroduction. Hyperglycemia during hospitalization is a risk factor that can be managed in order to reduce mortality. Inspite of hyperglycemia, glucose variability also brings negative outcome to cells. Studies about glucose variability effect to mortality had been studied using many variables of glucose variability. Methods. Retrospective cohort study is done to 280 critical ill patient in ICU and HCU in Cipto Mangunkusumo Hospital who admitted to critical care between January 2012-August 2013. MAG change and glucose standard deviation are divided into 4 quartiles. Relationship between MAG change and glucose standard deviation are analyzed using Chi Square test. To control the confounders (MSOFA score, Charlson comorbidities index, hypoglycemia, and hyperglycemia), logistic regression is done.Results. Median of MAG change is 3.3 mg/dL/hour and median of glucose standard deviation is 37.63 mg/dL. Mortality proportion is higher in upper quartile of MAG change and glucose standard deviation compared to lower quartile. OR of upper quartile MAG change to ICU mortality is OR 4.26 (95% CI 1.98-9.15) and OR of upper quartile glucose standard deviation to ICU mortality is OR 2.78 (95% CI 1.35-5.71). These results are adjusted to MSOFA score, hypoglycemia, and hyperglycemia. In logistic regression test, fully adjusted OR are 3.34 (95% CI 1.08-10.31) and 0.90 (95% CI 0.28-2.88) for MAG change and glucose standard deviation, respectively. Conclusions. Mortality proportion of upper quartile of MAG change (>8.1 mg/dL/hour) is higher than lower quartile (<1.3 mg/dL). Mortality proportion of upper quartile glucose standard deviation (>59 mg/dL) is higher than lower quartile(<22.7 mg/dL), but the difference is not statistically significant. Keywords: glucose standard deviation, glucose variability, mean absolute glucose change, mortality
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Yussac, Muhammad Artisto Adi, Dharmeizar Dharmeizar, Murdani Abdullah, Dono Antono, and Muhadi Muhadi. "Nilai Diagnostik dan Peran Pemeriksaan Indeks Kolapsibilitas Diameter Vena Kava Inferior dalam Menilai Berat Kering pada Pasien Hemodialisis." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3, no. 2 (January 18, 2017): 88. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i2.14.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Dalam praktek klinis, status cairan pada pasien hemodialisis (HD) sangat berkaitan dengan berat kering. Penentuan berat kering yang dilakukan secara klinis tidak akurat sehingga diajukan berbagai metode untuk menilai berat kering secara noninvasif diantaranya yaitu pemeriksaan analisis bioimpedansi dan pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena kava inferior. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara pengukuran indeks kolapsibilitas diameter vena kava inferior dan pemeriksaan analisis biompedansi. Sehingga, dapat diketahui peran pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena kava inferior dalam mengevaluasi berat kering pada pasien dialisis.Metode. Studi potong lintang dilakukan di unit HD Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada bulan Juni 2011 dengan metode pengambilan sampel konsekutif. Berat kering dinilai dengan analisis bioimpedansi dan pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena kava inferior dinilai dengan menggunakan USG.Hasil. Dari 30 subyek penelitian dengan rentang usia 24-69 tahun dan rerata 52 tahun , 18 (60%) subyek di antaranya mengalami kelebihan cairan menurut analisis bioimpedansi, sedangkan menurut pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena kava inferior didapatkan 21 orang kelebihan cairan. . Terdapat korelasi negatif sedang antara pemeriksaan indeks kolapsibilitas diameter vena kava inferior dengan analisis bioimpedansi (r= -0,597, p<0,0001). Nilai sensitivitas dan spesifisitas untuk pemeriksaan indeks kolapsibilitas diameter vena kava inferior yaitu 94,4% dan 66,7%. Pada kedua operator USG didapatkan nilai κ (kappa) sebesar 0,92, artinya memiliki kesesuaian yang sangat kuat.Simpulan. Pemeriksaan indeks kolapsibilitas diameter vena kava inferior mempunyai peran sebagai alat skrining yang cukup baik dalam menilai berat kering pada pasien hemodialisis.Kata kunci: analisa bioimpedansi, berat kering, hemodialisis, indekskolapsibilitas vena kava inferior, korelasiDiagnostic Value and the Role of Inferior Vena Cava Diameter Collapsibility Index to Evaluate Dry Weight in Hemodialysis PatientsIntroduction. In daily clinical practice, fluid status in Hemodialysis (HD) patients is well correlated with dry weight calculation. Dry weight calculation is commonly practiced by clinical observation, which is not accurate. Because of these, few methods has been suggested to calculate the dry weight non-invasively. Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) is widely available in overseas but not readily available in all dialysis center in Indonesia, while inferior vena cava diameter is a relatively inexpensive method, and readily available in all dialysis center because it can be performed with ultrasonography (USG) instrument. Methods. A cross-sectional study was performed in a group of regular HD patients at the Haemodialysis Unit, Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta, June 2011. Dry weight was evaluated with bioelectrical impedance analysis, while the inferior vena cava collapsibility index was evaluated using USG performed by two different observer. Results. We have recruited 30 HD patients, in which 18 (60%) of the subjects were overload according to the bioelectrical impedance analysis, while 21 (70%) were overload according to the inferior vena cava collapsibility index. The mean age of the subjects is 52 years old with the minimum 24 and maximum 69 years. In this research, we found negative correlation (r = -0.957, P<0.0001) between inferior vena cava colapsibility index and BIA. We found a 94.4% sensitivity and 66.7% specificity for inferior vena cava colapsibility index. Both of USG operators showed a κ coefficient value of 0.92, which reflected a very strong agreement between them. Conclusions. The inferior vena cava colapsibility index have a good role as a screening method in determining dry weight in dialysis patients. Keywords: Hemodialysis, dry weight, bioelectrical impedance analysis, correlation, inferior vena cava colapsibility index.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Khomaini, Ayatullah, Siti Setiati, Aida Lydia, and Esthika Dewiasty. "Pengaruh Edukasi Terstruktur dan Kepatuhan Minum Obat Antihipertensi terhadap Penurunan Tekanan Darah Pasien Hipertensi Usia Lanjut: Uji Klinis Acak Tersamar Ganda." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 4, no. 1 (March 30, 2017): 4. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v4i1.106.

Full text
Abstract:
Pendahuluan. Hipertensi masih menjadi permasalahan penting pada usia lanjut. Edukasi dan kepatuhan minum obat antihipertensi adalah salah satu faktor yang menjadi bagian tata laksana hipertensi secara holistik dan komprehensif. Penelitian ini dilakukan untuk menilai pengaruh edukasi terstruktur dan kepatuhan minum obat antihipertensi terhadap penurunan tekanan darah pada pasien usia lanjut.Metode. Uji klinis acak tersamar ganda pada Oktober 2012-Februari 2013 dilakukan pada pasien usia lanjut dengan hipertensi di tiga poliklinik di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Subjek dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok I yang mendapat edukasi terstruktur dan checklist, kelompok II yang mendapat edukasi terstruktur dan kelompok III tanpa edukasi terstruktur dengan checklist. Edukasi terstruktur dan checklist diberikan sebanyak 3 kali per bulan selama 90 hari. Dilakukan analisis dengan uji anova untuk melihat perbedaan tekanan darah pada ketiga kelompok setelah intervensi dengan prinsip analisis per protokol.Hasil. Didapatkan total 182 subjek yang memenuhi kriteria penelitian dan mengikuti penelitian sampai akhir, yang terdiri dari 60 subjek pada kelompok I, 61 subjek kelompok II dan 61 subjek kelompok III. Pada akhir pengamatan, tekanan darah sistolik (TDS) kelompok I, II dan II mengalami penurunan secara berturut-turut menjadi 130 (rentang 90-179) mmHg, 135 (rentang 80-174) mmHg dan 133 (rentang 102-209) mmHg (p=0,04). Sementara itu, tekanan darah diastolic (TDD) kelompok I, II dan III secara berturut-turut turun menjadi 70 (rentang 48-100) mmHg, 74 (rentang 45-103) mmHg dan 78 (rentang 60- 102) mmHg (p <0,001).Simpulan. Edukasi terstruktur memiliki pengaruh bermakna terhadap penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik pada kelompok hipertensi usia lanjut, sedangkan kepatuhan minum obat antihipertensi dalam bentuk checklist tidak memiliki pengaruh yang bermakna.Kata Kunci: edukasi terstruktur, checklist antihipertensi, hipertensi, usia lanjut Effect of Structured Education and Antihypertensive Medications Adherence to Decrease Blood Pressure for Hypertension in Elderly: a Randomized Controlled TrialIntroduction. Hypertension is one of the important problems in elderly due to high impact of cardiovascular complications. Education and antihypertensive medication adherence are considered as influence factors in a holistic and comprehensive hypertension treatment. This study was conducted to determine the effect of structured education and antihypertensive medication adherence in decreasing blood pressure as part of the hypertension treatment in elderly patients. Methods. A randomized clinical trial was conducted in October 2012 to February 2013 on hypertensive elderly patients at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta. Subjects were divided into 3 groups: group I was received structured education and checklist, group II was received structured education, and group III was received checklist without structured education. Structured education was given 3 times per month for 90 days. Systolic and diastolic blood pressure (SBP and DBP) were measured on day-1 and day-90, then analyzed with anova test.Results. A total of 182 subjects that consisted of 60 subjects in group I, 61 subjects in group II and 61 subjects in group III was included in this study. Analysis results showed a decrease of SBP in group I, II and III to 130 (range 90-179) mmHg, 135 (range 80-174) mmHg and 133 (range 102-209) mmHg, respectively (p=0.04). Diastolic blood pressure (DBP) in group I, II, and III decreased to 70 (range 48-100) mmHg, 74 (range 45-103) mmHg and 78 (range 60-102) mmHg, respectively (p <0.001). Conclusions. Structured education significantly decreased systolic and diastolic blood pressure in elderly hypertensive patients, while adherence to antihypertensive medication did not affect signicifantly.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography