To see the other types of publications on this topic, follow the link: Wayaku.

Journal articles on the topic 'Wayaku'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Wayaku.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Astawa, Gede Wira, I. Gusti Lanang Agung Raditya Putra, and I. Gede Putu Krisna Juliharta. "APLIKASI ANDROID LUKISAN WAYANG KAMASAN MENGGUNAKAN QR CODE SEBAGAI MEDIA PROMOSI INTERAKTIF ( STUDI KASUS: STARTUP WAY’K)." Jurnal Sistem Komputer Musirawas (JUSIKOM) 3, no. 2 (December 5, 2018): 103. http://dx.doi.org/10.32767/jusikom.v3i2.376.

Full text
Abstract:
AbstrakLukisan Wayang Kamasan merupakan salah satu kerajinan yang merupakan warisan budaya Bali. Salah satu startup yaitu Way’K menginovasikan Lukisan Wayang Kamasan menjadi produk modern seperti lukisan jam dinding, lukisan lampu LED, dan souvenir berupa plakat. Namun hal tersebut belum cukup untuk meningkatkan daya jual dari seni lukis wayang kamasan karena berdasarkan hasil wawancara terhadap owner startup Way’K wisatawan kurang tertarik membeli karena wisatawan tidak mengetahui dari makna dan cerita yang terdapat dalam lukisan tersebut, selain itu promosi dan penjualan masih dilakukan secara konvensional mengingat perkembangan zaman memasuki era digital. Maka dari itu penulis membuat suatu aplikasi seni lukis Wayang Kamasan berbasis Android yang dapat menampilkan cerita lukisan melalui kode QR yang dipindai pada lukisan serta terdapat fitur informasi dan pembelian produk secara online melalui aplikasi. Pada pembuatan aplikasi menggunakan metode pendekatan software waterfall dan menggunakan pemodelan Use Case serta Class Diagram dalam perancangan aplikasi. Aplikasi dibangun menggunakan framework React Native dan framework Laravel dan diuji menggunakan metode blackbox testing dan aplikasi telah berhasil dirancang bangun dan berhasil di uji coba dengan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengetahui tingkat kemudahan penggunaan sistem dilakukan dengan metode Usability testing dan didapatkan hasil sangat baik. Kata Kunci : Lukisan Wayang Kamasan, Aplikasi Android, Kode QR AbstractKamasan puppet painting is one of the handicrafts that is a Balinese cultural heritage. One of the startups, Way'K, innovates the Kamasan puppet painting into modern products such as wall clock paintings, LED light paintings, and souvenirs in the form of placards. However, this is not enough to increase the selling power of Kamasan puppet painting because based on the results of interviews with startup owners of Way'K tourists are less interested in buying because tourists do not know the meaning and stories contained in the painting, besides promotion and sales are still done conventional considering the development of the era entering the digital era. Therefore, the author makes an Android-based Kamasan puppet painting application that can display painting stories through scanned QR codes on paintings and there are information features and product purchases online through the application. In making the application using the waterfall software approach method and using Use Case modeling and Class Diagram in application design. The application was built using the React Native framework and Laravel framework and tested using the blackbox testing method and the application was successfully designed to wake up and successfully tested with the results as expected. To determine the level of ease of use of the system carried out by the Usability testing method and obtained very good results. Keywords : Kamasan Puppet Painting, Android Application, QR Code
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Marajaya, Made, and Dru Hendro. "Makna Ruwatan Wayang Cupak Dalang I Wayan Suaji." Mudra Jurnal Seni Budaya 36, no. 1 (February 17, 2021): 63–74. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v36i1.1329.

Full text
Abstract:
Wayang Cupak termasuk pertunjukan langka di Bali, keberadaannya menambah genre pertunjukan Wayang Kulit Bali yang terus berkembang. Pertunjukan wayang kulit berfungsi sebagai wali, bebali, dan balih-balihan. Sebagai seni wali, pertunjukan wayang kulit hadir dalam berbagai jenis upacara termasuk upacara ruwatan. Upacara ruwatan yang paling populer di Bali disebut dengan Sapuh Leger. Selain Wayang Sapuh Leger, Wayang Cupak pun juga difungsikan untuk ruwatan seperti di Kabupaten Badung. Banyak ditemukan dalang wayang kulit di Kabupaten Badung, namun tidak banyak yang khusus mementaskan Wayang Cupak, hanya Dalang I Wayan Suaji yang merupakan keturunan dalang Wayang Cupak mampu meneruskan budaya ruwatan melalui pertunjukan Wayang Cupak. Orang-orang yang diruwat umunnya telah menginjak dewasa yang memiliki sifat loba, rakus, pemalas, dan tidak mengenal etika. Fenomena ruwatan (fenomena budaya) dikaji melalui pendekatan ilmu kajian budaya dengan metode kualitatif yang hasilnya merupakan deskripsi pencatatan hasil pengumpulan data, pengolahan data hingga analisis data tentang gejala atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ruwatan Wayang Cupak yang terpelihara masyarakat hanya di wilayah Desa Adat Kerobokan dan sekitarnya dan sudah menjadi sebuah tradisi. Bentuk ruwatan Wayang Cupak dapat dilihat sarana dan prasarananya, seperti: canang uleman, banten ruwatan, pementasan wayang, proses ruwatan, mantra ruwatan, dan tirta ruwatan. Setelah dikaji bentuk ruwatannya, kemudian maknanya bagi masyarakat Hindu Bali. Beberapa makna ditemukan berupa: makna filosofis, makna religius, makna simbolik, makna pembersihan diri, dan makna budaya. Dapat dikatakan bahwa pertunjukan Wayang Cupak pada umumnya hanya dipentaskan untuk ruwatan dan belum disentuh oleh teknologi canggih, pertunjukannya masih sangat tradisi, dan hanya diganti gamelannya saja sebagai media untuk menciptakan iringan sesuai dengan adegan dalam lakon. Lakonnya bersumber dari cerita panji/malat atau folklore, sehingga secara filosofis wacana dikaitkan dengan konsep rwa belum ditemukan bhineda yang harus dilalui dalam kehidupan untuk menuju moksartam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Goodlander, Jennifer. "Negotiating Gender and Tradition: A Woman Dalang Performs Wayang Lemah in Bali." TDR/The Drama Review 60, no. 1 (March 2016): 50–66. http://dx.doi.org/10.1162/dram_a_00523.

Full text
Abstract:
The dalang, the central figure of wayang kulit performances, is revered in Balinese society both as a teacher and spiritual leader. Until recently, the dalang was always male, but now women in Bali are able to train as dalang. A performance of wayang lemah given by woman dalang Ni Wayan Suratni provides insight into the complex relationships between gender and tradition in Bali.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Wira Astawa, Gede, I. Gusti Lanang Agung Raditya Putra, and I. Gede Putu Krisna Juliharta. "Aplikasi Android Lukisan Wayang Kamasan Menggunakan Qr Code Sebagai Media Promosi Interaktif ( Studi Kasus: Startup Way’K)." Infotronik : Jurnal Teknologi Informasi dan Elektronika 4, no. 1 (June 10, 2019): 1. http://dx.doi.org/10.32897/infotronik.2019.4.1.169.

Full text
Abstract:
Lukisan Wayang Kamasan merupakan salah satu kerajinan yang merupakan warisan budaya Bali. Salah satu startup yaitu Way’K menginovasikan Lukisan Wayang Kamasan menjadi produk modern seperti lukisan jam dinding, lukisan lampu LED, dan souvenir berupa plakat. Namun hal tersebut belum cukup untuk meningkatkan daya jual dari seni lukis wayang kamasan karena berdasarkan hasil wawancara terhadap owner startup Way’K wisatawan kurang tertarik membeli karena wisatawan tidak mengetahui dari makna dan cerita yang terdapat dalam lukisan tersebut, selain itu promosi dan penjualan masih dilakukan secara konvensional mengingat perkembangan zaman memasuki era digital. Maka dari itu penulis membuat suatu aplikasi seni lukis Wayang Kamasan berbasis Android yang dapat menampilkan cerita lukisan melalui kode QR yang dipindai pada lukisan serta terdapat fitur informasi dan pembelian produk secara online melalui aplikasi. Pada pembuatan aplikasi menggunakan metode pendekatan software waterfall dan menggunakan pemodelan Use Case serta Class Diagram dalam perancangan aplikasi. Aplikasi dibangun menggunakan framework React Native dan framework Laravel dan diuji menggunakan metode blackbox testing dan aplikasi telah berhasil dirancang bangun dan berhasil di uji coba dengan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengetahui tingkat kemudahan penggunaan sistem dilakukan dengan metode Usability testing dan didapatkan hasil sangat baik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Gardner, Rhys. "The plants of Waya Island, Fiji." Records of the Auckland Museum 53 (December 20, 2018): 43–76. http://dx.doi.org/10.32912/ram.2018.53.4.

Full text
Abstract:
"An annotated species-list is given for Waya Island (Yasawa Is. Group, Fiji). It contains 38 ferns and lycophytes, 1 cycad, 55 monocotyledons, and 224 dicotyledons. Nearly all these 318 species are indigenous to Fiji or are likely to be ancient (pre-European) introductions. Except for six species, post-European introductions (weeds and cultivated species) have not been included. Two species are endemic to Waya: Embelia deivanuae (Myrsinaceae) and Psychotria volii (Rubiaceae). Five are rare in Fiji: Guettarda wayaensis (Rubiaceae), Mollugo pentaphylla (Molluginaceae), Ormocarpum orientale (Leguminosae), Polystichum pilosum (Dryopteridaceae), and Prosaptia vomaensis (Polypodiaceae). Another two Fijian rarities, Euphorbia plumerioides (Euphorbiaceae) and Sarcolobus stenophyllus (Asclepiadaceae), were found on Waya in 1937 but have not been seen since. Waya’s taller native vegetation is situated mostly on rugged rocky topography and is dominated by members of Leguminosae (Cynometra, Kingiodendron, Maniltoa), Sapindaceae and Sapotaceae. In Fiji at large such “dry zone” cover has been greatly reduced by continual fires, so Waya’s remnants, though small and discontinous, have substantial biodiversity value. "
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Montaño Salas, Leonardo Alberto. "Las ceremonias ancestrales y tradicionales de la etnia Wayúu, un estudio a través de su ceremonial y protocolo / The ancestral and traditional ceremonies of the Wayúu ethnic group, a study through hits ceremonial and protocol." REVISTA ESTUDIOS INSTITUCIONALES 4, no. 6 (June 28, 2017): 165. http://dx.doi.org/10.5944/eeii.vol.4.n.6.2017.18995.

Full text
Abstract:
“Wachuküa müsüka sain wanée a’laülaa joyotüsü spünalu’u ka’i katspüla skujainjatüin sukuwa ipa sumüin wachonyuu ée antüin skal’uu ka’kat”(Texto en “wayuunaiki”…idioma Wayúu)[La tradición es como una anciana que sentada en el camino de los días cuenta a las jóvenes generaciones las experiencias que ella ha vivido.]“Los Wayúu son gente de arena, sol y viento, llevan adentro la moral del desierto, han resistido durante siglos en la península de la Guajira, son grandes artesanos, y comerciantes, luchadores incansables por sus derechos históricos, que han sido muy violentados por la discriminación y el racismo”.Investigar en el mundo mágico y cosmogónico de una etnia ancestral es adentrarse en un espacio lleno de sabiduría e importantes conocimientos, lo cual no permite que el estudio del ceremonial y el protocolo escape a ello. La etnia indígena WAYÙU, ubicada en el espacio geográfico de territorio de 15.300 km2 dentro del departamento de la Guajira, Colombia, y 12.000 km2 dentro del estado Zulia, Venezuela, es un ejemplo importante de la necesidad de buscar en nuestras raíces interrogantes que a simple vista no pareciera tener respuesta. Porque hablamos de ceremonial y protocolo en las Ceremonias ancestrales y tradicionales de la etnia Wayúu? porque todo grupo humano antropológicamente ha demostrado que sus raíces provienen de MITOS, los cuales se transformaron y escenificaron en RITOS, estos evolucionaron a RITUALES que se convirtieron en CEREMONIAS, que con el paso del tiempo se estructuraron en CEREMONIALES y que fueron estructurados y normados como base de lo que hoy denominamos PROTOCOLO. De esta forma logramos llegar a la raíz primigenia del entendimiento antropológico y científico de nuestro conocimiento protocolar.La etnia Wayuu descendiente de los Arawak, presenta casi inalterablemente una serie de ceremonias ancestrales que basados en su estructura social matrilineal (podemos definir el matrilinaje Wayúu como un grupo de descendencia unilineal genealógicamente definido. Estos linajes tienen como elemento común los nexos de consanguinidad, ya que todos los individuos de cada grupo se identifican como descendientes de los mismos antepasados por línea femenina) y sin haber sufrido modificaciones estructurales importantes a través de los años, nos da una visión muy acertada de cómo podemos tras polar sus ceremonias a nuestro saber académico del protocolo actual. La estructura ceremonial de esta etnia se centra en tres hechos sociales específicos, la pubertad, la unión de pareja y en la muerte. Conoceremos como hay un eje central y conductor de estas ceremonias y cuáles son las figuras más relevantes en ella. Descubrir que, aunque no existe de manera formal el uso de términos “protocolares” la acción protocolar en si misma se realiza, como el uso de la precedencia, la etiqueta, el ente organizador, etc.___________________“Wachuküa müsüka sain wanée a’laülaa joyotüsü spünalu’u ka’i katspüla skujainjatüin sukuwa ipa sumüin wachonyuu ée antüin skal’uu ka’kat”(Text in "wayuunaiki”... language Wayúu)[The tradition is like an old woman sitting in the road that has to the younger generations the experiences that she has lived].Them Wayuu are people of sand, Sun and wind, carry in the moral of the desert, have resisted during centuries in the peninsula of the Guajira, are large craftsmen, and merchants, fighters tireless by their rights historical, that have been very violated by the discrimination and the racism.Investigate in the World Magic and cosmogonic of an ethnic ancestral is enter is in a space full of wisdom and important knowledge, which not allows that the study of the ceremonial and the Protocol escape to this. The ethnic indigenous WAYUU, located in the space geographical of territory of 15,300 km2 within the Department of the Guajira, Colombia, and 12,000 km2 within the State Zulia, Venezuela, is an example important of the need of search in our estate questions that to simple view not seems have response. Because talk of ceremonial and Protocol in the ceremonies ancestral and traditional of the ethnic Wayuu? because all group human anthropologically has shown that their estate come of myths, which are transformed and staged in rites, these evolved to RITUAL that is developed in ceremonies, that with the step of the time is structured in CEREMONIAL and that were structured and regulated as base of what today call Protocol. In this way we were able to reach the primordial root of anthropological and scientific understanding of our knowledge Protocol. The Wayuu descendant of the Arawak ethnicity, almost relentlessly presents a series of ancient ceremonies based on matrilineal social structure (we can define the genealogically defined matrilineality Wayuu as a group of unilineal descent. These lineages have common element the ties of consanguinity, since all individuals in each group identify themselves as descendants of the same ancestors by female line) and without having undergone significant structural changes over the years, gives us a very successful vision of how we can after polar ceremonies to our academic knowledge of the current Protocol. The ceremonial structure of this ethnic group focuses on three specific social facts, puberty, the union of couple and in death. We know as a conductor and central axis of these ceremonies and what are the most important figures in it. Discover that, even if it does not exist in a formal way the use of terms "Protocol" action Protocol if same occurs, as the use of precedence, label, the organizing entity, etc.KEYWORDS: Protocol, Ceremonial, Ethnicity, Cosmogony, Rites
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Wicaksandita, I. Dewa Ketut, Hendra Santosa, and I. Ketut Sariada. "Konsep Dasa Paramartha pada Karakterisasi Tokoh Aji Dharma dalam Pertunjukan Wayang Tantri oleh I Wayan Wija." Dance and Theatre Review 3, no. 1 (October 19, 2020): 1. http://dx.doi.org/10.24821/dtr.v3i1.4415.

Full text
Abstract:
The Concept of Dasa Paramartha on the Characterization of Aji Dharma in a Wayang Tantri Performance by I Wayan Wija. Dasa Paramartha, as the teachings of dharma (goodness) in Hinduism, then becomes a material that is flexible enough to be displayed in broadcasting the meaning and value of ethical, moral, and social behavior education. Wayang Tantri, in the play of Sang Aji Dharma Kepastu presents the character of Prabu Aji Dharma with the characteristics trait displayed as a figure of dharma who later becomes a role model for Wayang Tantri audiences. This study aims to reveal the values of Dasa Parartha’s teachings in the characterization of Aji Dharma figures. The qualitative descriptive method with data collection in the form of observation, interviews, and study documentation of the Wayang Tantri video of Sang Aji Dharma Kepastu with a duration of approximately 2 hours, then analyzed by, The Aesthetic Pedalangan Theory supported by Semiotic Theory. The results of the research are the representation of the teachings of Dasa Parmartha, which is in the form of Tapa: physical and mental self-control; Bharata: curb lust; Samadhi: mental concentration on God; Santa: being calm and honest; Sanmata: aspiring and aiming towards goodness; Karuna: affection between living beings; Karuni: compassion for plants, goods and so on; Upeksa: being able to distinguish right from wrong, good and bad; Mudhita: trying to please others; and Maitri: eager to seek friendship based on mutual respect.Keywords: representation; Dasa Paramartha; Aji Dharma; Wayang Tantri
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Castillo Rodas, Andrea, and Andrés Arturo Venegas Segura. "CATEGORÍA NATURALISTA EN EL RECONOCIMIENTO DE HUELLAS REALIZADO POR NIÑOS Y NIÑAS WAYUU, EN EL CONTEXTO ESCOLAR." Revista Bio-grafía Escritos sobre la biología y su enseñanza 10, no. 19 (December 12, 2017): 230. http://dx.doi.org/10.17227/bio-grafia.extra2017-7110.

Full text
Abstract:
El presente artículo presenta las ideas y saberes de los niños y niñas de grado quintode la Comunidad Indígena Wayúu (Loma Fresca y Tocoromana) del resguardoPerrapu en el Municipio de Riohacha, Guajira, con respecto al reconocimiento de losanimales a través de los rastros y huellas. Los Conglomerados de Relevanciasaportaron la metodología de análisis del discurso de los estudiantes. La presentecomunicación se enmarca en la categoría Naturalista que surgió de la investigación“Historias Detrás de una Huella, Reconocimiento de los Saberes Wayúu Relacionadosa la Fauna a Partir de Rastros y Huellas”.En la recuperación de la experiencia de los infantes se presentaron juicios de valor,aspectos físicos, mentales, espirituales, emocionales, éticos, estéticos, y elementos dela naturaleza, los cuales ponen de manifiesto su voz. Donde sus conocimientos son lacristalización de procesos históricos y sociales que han constituido formas particularesde comprender los mundos de la comunidad Wayuu, que configuran dinámicas yrealidades propias. De esta manera, es posible argumentar que los saberestradicionales y ancestrales, deben ser incluidos en la clase de ciencias
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Bolz, Jody. "Wayang." Women's Review of Books 17, no. 12 (September 2000): 21. http://dx.doi.org/10.2307/4023556.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Riviere, Peter, and Francoise Grenand. "Dictionnaire wayapi-francais: Lexique francais-wayapi." Man 25, no. 2 (June 1990): 362. http://dx.doi.org/10.2307/2804600.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Lysloff, Rene T. A., Mallay Kant-Achilles, Friedrich Seltmann, and Rudiger Schumacher. "Wayang Beber." Asian Music 24, no. 1 (1992): 146. http://dx.doi.org/10.2307/834457.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Hadiprayitno, Kasidi. "Estetika Wayang." Jurnal Budaya Nusantara 1, no. 1 (June 1, 2014): 31–39. http://dx.doi.org/10.36456/b.nusantara.vol1.no1.a282.

Full text
Abstract:
The basics are the puppet aesthetic perspective of the relation elements of beauty in the unity of the structure of the wayang. Understanding the true aesthetic beauty rests on the concept of thought that developed and followed by Western thinkers, however, in the operatate of implemeta- tion still refer to terms that are known in the art of traditional puppet convention. Not all data in the beauty of the puppets can be presented in this short article, but limited to the aspects of beauty essentials only such convention and modernity in the universe puppet, puppet or convention in the art of puppetry, in the currency of view of the puppet, and aesthetic concepts in art puppetry and puppetry.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Rahmawati, Femi Eka. "REVITALISASI CERITA PANJI DALAM WAYANG BEBER." Studi Budaya Nusantara 2, no. 1 (June 30, 2018): 34–41. http://dx.doi.org/10.21776/ub.sbn.2018.002.01.04.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Sunardi, Kuwato, and Sudarsono. "Karya Cipta Pertunjukan Wayang Perjuangan Sebagai Penguatan Pendidikan Bela Negara." Mudra Jurnal Seni Budaya 33, no. 2 (May 9, 2018): 232. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v33i2.363.

Full text
Abstract:
Tulisan ini mengungkap tentang pertunjukan wayang perjuangan sebagai penguatan pendidikan bela negara bagi masyarakat Indonesia. Dua persoalan penting yang dibahas yakni: (1) bentuk karya cipta pertunjukan wayang perjuangan; dan (2) fungsi pertunjukan wayang perjuangan bagi masyarakat Indonesia. Bentuk karya cipta pertunjukan wayang perjuangan dikaji dengan konsep estetika wayang, adapun fungsi pertunjukan dikupas dengan teori fungsi kesenian. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa karya cipta pertunjukan wayang perjuangan dibangun berdasarkan beberapa unsur, di antaranya seniman, garap lakon wayang, dan boneka wayang. Pada sisi lain, pertunjukan wayang perjuangan memiliki fungsi sebagai penguatan pendidikan bela negara bagi masyarakat Indonesia.This paper reveals the wayang perjuangan performances as the strengthening of state defense education for the people of Indonesia. Two important issues are discussed, namely: (1) the form of wayang perjuangan performance; and (2) the function of wayang perjuangan for the Indonesian people. The form of wayang perjuangan studied with the aesthetic concept of wayang, while the performance function is analyzed with the theory of art function. The results of the discussion show that the works of wayang perjuangan are built based on several elements, among them artists, working on wayang plays, and puppets. On the other hand, the wayang perjuangan performance has a function as the strengthening of state defense education for the people of Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Hartono, Pramaditya Hendi. "Perancangan Interactive Motion Graphic Tentang Wayang Beber Sebagai Sarana Pengenalan Budaya." MAVIS : Jurnal Desain Komunikasi Visual 1, no. 1 (March 21, 2019): 32–41. http://dx.doi.org/10.32664/mavis.v1i1.276.

Full text
Abstract:
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah-daerah tertentu di Pulau Jawa. Salah satunya adalah wayang beber di daerah Pacitan. Wayang beber Pacitan dimainkan oleh lima orang, empat orang memainkan alat musik yaitu rebab, kendang, kenong laras slendro, dan gong sedangkan satu orang bertindak sebagai dalang. Pertunjukan wayang beber dimulai dengan ritual kecil menggunakan bunga setaman, kemenyan, dan beberapa sesaji lainnya yang digunakan sebagai sarana memohon keselamatan kepada Tuhan. Cara yang dipakai dalam pertunjukan wayang beber, gambar wayang dipertunjukkan satu demi satu sampai selesai satu gulung, kemudian disusul gulungan berikutnya sampai cerita selesai. Dalam perkembangannya wayang beber Pacitan mengalami hambatan dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang apa itu wayang beber sehingga membuat wayang beber jarang dipertunjukkan. Agar wayang beber ini bisa dikenal oleh masyarakat luas, maka dibutuhkan suatu cara yang menarik agar masyarakat tertarik. Sebagai langkah awal untuk mengenalkan wayang ini adalah dengan cara membuat video dalam bentuk interactive motion graphic yang mencakup 3 hal untuk mengenalkan wayang tersebut yakni penjelasan apa itu wayang beber, tokoh-tokoh dalam wayang beber dan cerita wayang beber. Tujuan dari pembuatan interactive motion graphic adalah mengenalkan wayang beber Pacitan kepada generasi muda melalui media yang sering dilihat oleh anak muda. Hasil akhir dari perancangan ini adalah berupa 3 video yaitu motion graphic pengenalan wayang beber Pacitan, motion graphic tokoh-tokoh wayang beber Pacitan, dan motion graphic cerita wayang beber Pacitan. Ketiga video tersebut akan disebarkan melalui situs streaming video di internet yaitu youtube.com dengan kata kunci ‘Interactive Motion Graphic – WayangBeberPacitan’ atau link https://youtu.be/niWdK1if09k. Dengan sebuah interactive motion graphic mengenai wayang beber yang ditujukan untuk generasi muda, diharapkan bisa membuat generasi muda menjadi tertarik dengan budaya dan konten lokal. Melalui motion graphic ini, selain dapat mengenalkan wayang beber kepada generasi muda, sangat memungkinkan untuk membuat konten kreatif lainnya seperti film atau game yang diadaptasi dari wayang beber Pacitan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Junaidi, Junaidi, Bayu Aji Suseno, and Abdul Aziz. "Wayang untuk Dalang Multi Level Usia Sebagai Wahana Pelestarian Seni Tradisional." JURNAL SATWIKA 2, no. 1 (November 12, 2018): 20. http://dx.doi.org/10.22219/js.v2i1.7019.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan wayang tradisi melalui dalang berbagai usia. Wayang tradisi bersifat mono level dan diformat untuk dalang laki-laki dewasa, sehingga kurang sesuai dengan dalang multi level usia. Mengapa model wayang format multi usia dapat dijadikan sebagai wahana pelestarian wayang tradisional? Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh melalui perancangan model wayang berukuran fisik dan jiwa dalang berbagai level usia. Metode eksperimen digunakan untuk menciptakan wayang multi format, sedangkan pembahasannya berdasarkan teori struktur. Lima macam format boneka wayang kulit purwa dapat dihasilkan untuk diterapkan kepada dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa, yaitu: (1) Wayang kaper, untuk dalang tingat anak-anak; (2) Wayang kidangkencanan untuk dalang tingkat anak; (3) Wayang jaranan, untuk dalang tingkat remaja awal; (4) Wayang banthèngan, untuk dalang tingkat remaja akhir; dan (5) Wayang gajahan, untuk dalang tingkat dewasa. Kelima jenis wayang ini dapat dipakai sebagai wahana untuk pelestarian seni tradisional, karena memiliki kesesuaian format fisik dan jiwanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Junaidi, Junaidi, Bayu Aji Suseno, and Abdul Aziz. "Wayang untuk Dalang Multi Level Usia Sebagai Wahana Pelestarian Seni Tradisional." JURNAL SATWIKA 2, no. 1 (November 12, 2018): 20. http://dx.doi.org/10.22219/satwika.vol2.no1.20-35.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan wayang tradisi melalui dalang berbagai usia. Wayang tradisi bersifat mono level dan diformat untuk dalang laki-laki dewasa, sehingga kurang sesuai dengan dalang multi level usia. Mengapa model wayang format multi usia dapat dijadikan sebagai wahana pelestarian wayang tradisional? Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh melalui perancangan model wayang berukuran fisik dan jiwa dalang berbagai level usia. Metode eksperimen digunakan untuk menciptakan wayang multi format, sedangkan pembahasannya berdasarkan teori struktur. Lima macam format boneka wayang kulit purwa dapat dihasilkan untuk diterapkan kepada dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa, yaitu: (1) Wayang kaper, untuk dalang tingat anak-anak; (2) Wayang kidangkencanan untuk dalang tingkat anak; (3) Wayang jaranan, untuk dalang tingkat remaja awal; (4) Wayang banthèngan, untuk dalang tingkat remaja akhir; dan (5) Wayang gajahan, untuk dalang tingkat dewasa. Kelima jenis wayang ini dapat dipakai sebagai wahana untuk pelestarian seni tradisional, karena memiliki kesesuaian format fisik dan jiwanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Junaidi, Junaidi, Bayu Aji Suseno, and Abdul Aziz. "Wayang untuk Dalang Multi Level Usia Sebagai Wahana Pelestarian Seni Tradisional." Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial 2, no. 1 (November 12, 2018): 20–35. http://dx.doi.org/10.22219/satwika.v2i1.7019.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan wayang tradisi melalui dalang berbagai usia. Wayang tradisi bersifat mono level dan diformat untuk dalang laki-laki dewasa, sehingga kurang sesuai dengan dalang multi level usia. Mengapa model wayang format multi usia dapat dijadikan sebagai wahana pelestarian wayang tradisional? Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh melalui perancangan model wayang berukuran fisik dan jiwa dalang berbagai level usia. Metode eksperimen digunakan untuk menciptakan wayang multi format, sedangkan pembahasannya berdasarkan teori struktur. Lima macam format boneka wayang kulit purwa dapat dihasilkan untuk diterapkan kepada dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa, yaitu: (1) Wayang kaper, untuk dalang tingat anak-anak; (2) Wayang kidangkencanan untuk dalang tingkat anak; (3) Wayang jaranan, untuk dalang tingkat remaja awal; (4) Wayang banthèngan, untuk dalang tingkat remaja akhir; dan (5) Wayang gajahan, untuk dalang tingkat dewasa. Kelima jenis wayang ini dapat dipakai sebagai wahana untuk pelestarian seni tradisional, karena memiliki kesesuaian format fisik dan jiwanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Ramadhani, Celine Nadya, and Fauzi Rahman. "Desain Buku Informasi Wayang Ukur sebagai Wujud Pembaharuan Seni Pewayangan Yogyakarta." Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya 1, no. 02 (January 3, 2019): 117–22. http://dx.doi.org/10.30998/vh.v1i02.25.

Full text
Abstract:
Wayang merupakan suatu produk budaya Indonesia yang kini semakin kurang diminati oleh masyarakat karena pakem wayang yang ada dianggap terlalu kaku, baik dari segi tata bahasa yang digunakan maupun lamanya durasi pertunjukan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keadaan zaman. Untuk mengatasi hal tersebut maka para seniman wayang berkreasi dan menciptakan wayang jenis baru, salah satunya adalah Wayang Ukur. Wayang Ukur merupakan wayang kulit inovasi baru yang diciptakan oleh Ki Sigit Sukasman. Inovasi yang dilakukan tidak hanya dari segi bentuk tetapi juga mencangkup seni pertunjukannya. Demi melestarikan Wayang Ukur agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat, maka diperlukannya sebuah media berupa buku informasi yang dapat menampung segala informasi mengenai Wayang Ukur sehingga mempermudah masyarakat, terutama yang tertarik dengan kesenian, budaya, maupun dengan wayang ukur itu sendiri dapat mendapatkan informasi yang lengkap mengenai wayang ukur.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Jb., Masroer Ch. "SPIRITUALITAS ISLAM DALAM BUDAYA WAYANG KULIT MASYARAKAT JAWA DAN SUNDA." Jurnal Sosiologi Agama 9, no. 1 (March 17, 2017): 38. http://dx.doi.org/10.14421/jsa.2015.091-03.

Full text
Abstract:
Wayang kulit merupakan bentuk seni dan kebudayaan tertua di pulau Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Seni wayang kulit pada mulanya merupakan pemujaan agama lokal yang memiliki dimensi spiritualitas yang bertemu dengan estetika budaya. Dimensi spiritualitas wayang kulit terkait dengan pelaku dari kesenian itu, terutama masyarakat yang melahirkan kebudayaan wayang, yaitu seniman dan penikmat wayang. Kedudukan sosial keagamaan seniman dan penikmat wayang sangat berpengaruh dalam corak pertunjukan wayang kulit. Di Jawa, wayang kulit memiliki spiritualitas Islam yang bertemu dengan budaya Kejawen, sehingga keislaman yang diekspresikannya masuk ke dalam kebudayaan “asli” Jawa, melahirkan spiritualitas keislaman yang heterodok. Berbeda dengan wayang kulit di masyarakat Sunda, yang menonjolkan nuansa keislamannya dalam mengeskpresikan spiritualitas wayang kulit baik dalam simbol maupun isi.Hal ini ditunjukkan dari model-model wayang kulit yang dibuatnya yang mengalami improvisasi dan kombinasi dengan budaya Arab dimana tempat agama Islam itu berasal, seperti pakaian sorban Arab pada tokoh wayang, dan munculnya kelompok Punokawanan yang terdiri dari sembilan wali yang mencerminkan sembilan tokoh penyebar agama Islam. Selain itu, ekspresi spiritualitas wayang kulit di Sunda lebih kepada filosofi dan spiritualitas Islam yang berbasis pada ortodoksi agama yang membawa pesan etika dan sosialita secara simbolis. Kata Kuci : Wayang Kulit, Spiritualitas Islam, Simbol Etika dan Estetika.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Nur Awalin, Fatkur Rohman. "SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN FUNGSI WAYANG DALAM MASYARAKAT." Kebudayaan 13, no. 1 (March 25, 2019): 77–89. http://dx.doi.org/10.24832/jk.v13i1.234.

Full text
Abstract:
AbstractWayang art performance that develops in Java is a traditional performing art that is able to survive and adapt to all aspects of its changes. The issue of this research is to know, how does the history of development and change of wayang function in society? The development of wayang art performance is influenced by social conditions, which affect the change of function of wayang art performance. The objective of the research is to explain the history of development and change of wayang function in society.This study uses descriptive method, with the support of literature review and observation on wayang performance. The results show that the history of wayang development is conceptually a combination of several cultural elements that enter in Indonesia (Java), namely Indian culture with Hindu-Buddhism and Islam with sufism. Indicator of changes in wayang function in the community is the change of pakeliran wayang as an industry tomeet the entertainment market. Changes in ritual function can be seen from the waning of guidance or moral values in wayang, so its has only entertainment or spectacle functions and as a popular performances.AbstrakSeni pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa merupakan kesenian tradisonal yang mampu bertahan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan segala aspek perubahan-perubahannya. Masalah dalam penelitian ini adalah mengkaji mengenai bagaimana sejarah perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat? Perkembangan seni pertunjukan wayang dipengaruhi oleh kondisi sosial, yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi seni pertunjukan wayang.Tujuannya adalah menjelaskan sejarah perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dengan dukungan kajian pustaka dan pengamatan (observasi) terhadap pergelaran wayang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejarah perkembangan wayang secara konseptual merupakan perpaduan dari beberapa unsur kebudayaan yang masuk di Indonesia (Jawa), yakni kebudayaan India dengan Agama Hindu-Buddha dan Islam dengan tasawufnya. Indikator perubahan fungsi wayang dalam masyarakat adalah perubahan pakeliran dalam wayang sebagai industri untuk memenuhi pasar hiburan. Perubahan fungsi ritual dapat dilihat dari memudarnya nilai-nilai tuntunan atau moral dalam wayang, sehingga wayang hanya mempunyai fungsi hiburan atau tontonan dan sebagai pertunjukan populer.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Nurdiyana, Tutung. "Wayang Tengul Art Performance: A Study of People’s Appreciation of Wayang Tengul Art." Harmonia: Journal of Arts Research and Education 19, no. 2 (December 13, 2019): 163–71. http://dx.doi.org/10.15294/harmonia.v19i2.23636.

Full text
Abstract:
Wayang tengul is one type of wayang (puppet) belonging to Indonesia existing in Sidobandung Village, Balen Subdistrict, Bojonegoro Regency. This wayang is still preserved and found attractive by society until now. This wayang preservation depends on society’s appreciation as the audience of wayang tengul and is one of the most important factors for the success of a performance. Therefore, this research attempts to describe how people in Sidobandung Village appreciate wayang tengul. This qualitative research was conducted in Sidobandung Village. It shows how the people highly appreciate wayang tengul art since this wayang art is unique, not strictly bound by wayang common practice, performed interactively between dalang (puppeteer), gending (Javanese music) and audience and laden with guidance presented in fresh jokes.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Nurgiyantoro, Burhan. "THE WAYANG STORY IN MODERN INDONESIAN FICTIONS (Reviews on Mangunwijaya and Sindhunata’s Novels)." LITERA 18, no. 2 (July 24, 2019): 167–84. http://dx.doi.org/10.21831/ltr.v18i2.24997.

Full text
Abstract:
The wayang story is the traditional story which influences toward the writing of modern Indonesian literature. This study is aimed at describing the adoption of aspects of stories in the wayang stories plays in modern Indonesian novels with a focus on Mangunwijaya and Sindhunata’s novels; i.e. Burung-burung Manyar, Durga Umayi, and Anak Bajang Menggiring Angin. The study uses the receptional, intertextual, and discourse-analysis approaches. Results show the following findings. Character referencing from shadow-wayang stories included naming and characterizing, viz. complete adoption of names and characters of wayang figures, hypogram of simultaneous naming and characterizing, and characterizing with no naming. The hypogramming of novel plots on the shadow wayang plots includes shadow-wayang show plots and shadow-wayang story plots. Every work has its own uniqueness and it is on this uniqueness that lies the values of a fiction work. This can be seen from the development of characterization of the figures and specific and unique plots. The value substances of the wayang story are related to personal, social, and religious life matters leading to perfect lives. Shadow-wayang values in novels are discharged through signification, comparison, symbolization, characters, life principles, and behaviours functioning more as cultural guidances. Keywords: shadow wayang, modern Indonesian novels, hypogram, characterization, plot, values WAYANG DALAM NOVEL INDONESIA MODERN(Tinjauan Novel Mangunwijaya dan Sindhunata) AbstractCerita wayang adalah adalah cerita tradisional yang berpengaruh terhadap penulisan sastra Indonesia modern. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemunculan aspek cerita wayang dalam novel Indonesia modern dengan fokus pada novel Mangunwijaya dan Sindhunata, yaitu Burung-burung Manyar, Durga Umayi, dan Anak Bajang Menggiring Angin. Penelitian menggunakan pendekatan resepsi, intertekstual, dan analisis wacana. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Perujukan penokohan dari cerita wayang mencakup penamaan dan perwatakan, yaitu pengambilan lengkap nama dan karakter tokoh wayang, hipogram penamaan dengan perwatakan sekaligus, dan perwatakan tanpa disertai penamaan. Hipogram plot novel pada plot wayang mencakup plot pertunjukan wayang dan plot cerita wayang. Tiap karya memiliki keunikannya sendiri dan di situlah antara lain letak nilai sebuah karya fiksi. Hal itu terlihat pada pengembangan karakter tokoh, plot yang khas dan unik. Substansi nilai-nilai cerita wayang berkaitan dengan masalah kehidupan pribadi, sosial, dan religius yang bermuara untuk mencapai kesempurnaan hidup. Nilai-nilai wayang dalam novel disampaikan lewat pembandingan, pelambangan, simbolisasi, karakter, sikap hidup, dan perilaku tokoh yang lebih berfungsi sebagai acuan kultural. Kata Kunci: wayang, novel Indonesia modern, hipogram, penokohan, plot, nilai-nilai
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Mu'jizah, NFN, and NFN Purwaningsih. "MEMORI KOLEKTIF, REKONSTRUKSI, DAN REVITALISASI: STUDI KASUS WAYANG CECAK." Widyaparwa 48, no. 1 (June 30, 2020): 92–105. http://dx.doi.org/10.26499/wdprw.v48i1.486.

Full text
Abstract:
Wayang Cecak is a Malay oral traditions which is almost critically extinc. This puppet remains only in the memories collective. The problem is how to preserve wayang cecak from extinction? The aim is to preserve the wayang's vitality from extinction. The method is done by reconstructing and revitalizing of wayang cecak becomes a living tradition. This qualitative research used an oral literary approach with primary sources of wayang cecak with text and context analysis. The method used literature study and field study technic observations were carried out with in-depth interviews with traditional artists, the representative community, and stakeholders. According to the eye-witnesses, wayang cecak has its unique structures. Reconstruction of wayang cecak involved the researcher, village leader, and traditional artists. Revitalization were carried out by performing wayang cecak in the community. This revitalization has a positive impact the wayang cecak increase their vitality.Wayang cecak merupakan sastra lisan Melayu yang hampir punah dan hanya hidup dalam ingatan ma-syarakat. Permasalahan penelitian ini ialah bagaimana cara melindungi wayang cecak dari kepunahan? Penelitian ini bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan daya hidup wayang itu dari kepunahan. Caranya dengan merekonstruksi dan merevitalisasinya sehingga wayang itu menjadi sebuah tradisi yang hidup kembali. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan sastra lisan dengan analisis teks dan konteks. Sumber data berupa data primer wayang cecak. Metode yang digunakan yakni studi pus-taka dan studi lapangan dengan teknik observasi melalui wawancara mendalam dengan seniman pelaku tradisi, tetua adat, dan para pengambil kebijakan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pewaris aktif sudah tidak ada. Pertunjukan wayang cecak mempunyai struktur yang khas dalam pertun-jukannya. Rekonstruksi pertunjukan wayang cecak dilakukan bersama peneliti, tetua adat, dan seniman pemilik tradisi di Pulau Penyengat. Dari rekonstruksi dilakukan revitalisasi dengan mempertunjukkan wayang cecak dalam masyarakatnya. Revitalisasi ini berdampak positif, yakni meningkatnya daya hi-dup wayang cecak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Kumara, Stefanus Bintang. "TRANSFORMASI WAYANG BEBER DALAM BATIK LUKIS." IKONIK : Jurnal Seni dan Desain 2, no. 2 (July 29, 2020): 51. http://dx.doi.org/10.51804/ijsd.v2i2.733.

Full text
Abstract:
Wayang beber merupakan salah satu artefak budaya Nusantara yang berasal dari Jawa, hingga saat ini wayang beber asli masih dijaga keberadaannya dengan baik. Namun dengan berkembangnya zaman, wayang ini kurang diminati oleh masyarakat dan lebih cenderung memilih produk atau hiburan yang lebih modern. Fenomena tersebut memantik untuk berupaya mempopulerkan dan memperkenalkan kembali wayang beber dengan mengembangkan bentuk visual, tampilan, hingga material. Tujuan penciptaan ini adalah mengembangkan seni tradisi wayang beber melalui media batik dan mewujudkan bentuk visual baru dalam wayang beber. Penciptaan karya dimulai dari pembuatan sketsa perancangan, persiapan alat, bahan, hingga sampai ke proses perwujudan dengan menggunakan teknik tutup celup, lorodan. Tahap berikutnya pemindahan sketsa pada kain, pencantingan, pewarnaan, pelorodan, dan display. Pada proses penciptaan ini diperkuat oleh teori-teori pendukung, yakni teori transformasi dan adaptasi. Karya yang dihasilkan dalam penciptaan ini adalah batik lukis dengan ide wayang beber Pacitan (Joko Kembang Kuning). Karya batik ini mengembangkan bentuk visual dari wayang Pacitan dan mengadopsi adegan cerita pada gulungan gambar. Bentuk figur, warna, komposisi dikembangkan sehingga terdapat bentuk pembeda dari gambar wayang asli. Batik lukis dengan ide wayang beber Pacitan dibuat agar menambah daya tarik masyarakat akan wayang beber, serta memberikan pengetahuan akan pentingnya kesenian budaya Indonesia.The wayang beber is one of the archipelago cultural artifacts originating from Java, until now the original wayang beber still is well preserved. However with the development of the times, this wayang is less attractive to the public and more likely to choose products or entertainment that is more modern. This phenomenon triggers to attempt to popularize and reintroduce wayang beber by developing visual forms, appearance, and material. The purpose of this creation is to develop the art of the wayang beber tradition through batik media and to realize new visual forms in the wayang beber.The creation of this work starts from the making of design sketches, preparation of tools, materials, up to the embodiment process using the technique of dyeing, lorodan. The next step is sketch transfer to fabric, coloring, pelorodan, and display. In the process of creation this is reinforced by supporting theories, namely the theory transformation and adaptation. The workproduced in this creation is apainting with the idea of wayang Pacitan (Jok Kembang Kuning). This batik work develops the visual form of the wayang Pacitan and adopts a story scene on a picture roll. Figure shapes, colors, compositions are developed so there are distinguishing forms from original wayang picture. Batik painted with the idea of Pacitan wayang beber was made in order to add to the appeal of the public about wayang beber, as well as providing knowledge of the importance of indonesian cultural arts.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Sumiyardana, Kustri. "ETIKA WAYANG DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA." Madah: Jurnal Bahasa dan Sastra 6, no. 2 (February 16, 2017): 189. http://dx.doi.org/10.31503/madah.v6i2.382.

Full text
Abstract:
Literary has closed relationship with culture. Authors often include cultural elements to influence it in their literary works. It is also done by. Javanese authors who write Indonesian novels. Some authors include the story of wayang in their novels. By analyzing with textual method, this research described wayang ethics that existed in four Indonesian novels. Based on the analysis, it can be concluded that the authors often include the elements from wayang story due to the fact that wayang is main identity of Javanese people. The wayang elements in Indonesian novels are the plot of the story that identical with wayang acts and the figures are created similarly with the figures in wayang story. The similarities showed there some figures in wayang story who became the idols in society.Abstrak Sastra berhubungan erat dengan kebudayaan. Seringkali pengarang memasukkan unsur-unsur budaya yang mempengaruhinya ke dalam karya-karya ciptaanya. Hal itu juga terjadi pada pengarang Jawa yang menulis novel Indonesia. Ada beberapa pengarang yang memasukkan cerita wayang ke dalam novelnya. Melalui analisis dengan metode tekstual, penelitian ini menguraikan etika wayang yang terdapat dalam empat novel Indonesia. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa para pengarang seringkali memasukkan unsur-unsur dari dunia pewayangan karena wayang adalah identitas utama manusia Jawa. Unsur-unsur pewayangan yang terdapat dalam novel Indonesia antara lain alur cerita yang diidentikkan dengan lakon wayang dan penyamaan tokoh dengan figur dari dunia pewayangan. Penyamaan tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa tokoh dalam dunia wayang yang diidolakan di masyarakat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Sukistono, Dewanto. "Pengaruh Karawitan terhadap Totalitas Ekspresi Dalang dalam Pertunjukan Wayang Golek Menak Yogyakarta." Resital: Jurnal Seni Pertunjukan 15, no. 2 (December 1, 2014): 179–89. http://dx.doi.org/10.24821/resital.v15i2.852.

Full text
Abstract:
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan pengaruh karawitan sebagai salah satu pendukung utama pergelaran wayang dengan kualitas ekspresi dalang wayang golek Menak Yogyakarta. Keberadaan wayang golek Menak di Yogyakarta diawali pada tahun 1950-an yang dipopulerkan oleh Ki Widiprayitna, satu-satunya dalang wayang golek Menak pada waktu itu. Kesederhanaan gaya pedesaan Ki Widiprayitna dalam setiap pergelaran tidak mengurangi keberhasilannya dalam memainkan boneka wayang tiga dimensi tersebut, hingga ia mendapat julukan dhalang nuksmèng wayang. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilannya adalah kesatuan rasa antara gerak wayang dengan karawitan sebagai salah satu pendukung utama pertunjukan. The Influence of Karawitan towards the Expression Totality of Puppeteer in the Performances of Wayang Golek Menak Yogyakarta. This paper is intended to explain the effect of the karawitan as one of a principal supporter of wayang performance to the quality of the puppeteer expression towards wayang golek Menak Yogyakarta. The existence of wayang golek Menak Yogyakarta has been started in the early 1950’s and was popularized by Ki Widiprayitna, the only puppeteer wayang golek Menak at that time. The simplicity of rustic styles of Ki Widiprayitna in every performances does not diminish his success in playing the three-dimensional puppets, until finally he gets the nickname of dhalang nuksmèng wayang. One of the factors that may influence his success is the unity of sense between the puppet motions with the karawitan as one of the principal supporters of performances.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Sofyan, Abdul. "WAYANG SANTRI SEBAGAI MODEL DAKWAH ISLAM BERBASIS KEARIFAN LOKAL." Mozaic : Islam Nusantara 5, no. 2 (October 5, 2021): 151–74. http://dx.doi.org/10.47776/mozaic.v5i2.143.

Full text
Abstract:
This study aims to describe and analyze the model of Islamic da’wah based on local wisdom contained in wayang santri performances. The model of Islamic da’wah is a pattern or approach used in broadcasting Islamic values. Wayang santri is a concept of puppet performances specifically used for the purpose of da'wah. This study uses a qualitative research method with a descriptive approach that describes a model of Islamic da'wah with the resource persons of wayang santri, that include dalang, sinden and music players of wayang santri. This research produced several important points regarding the model of Islamic da’wah based on local wisdom in wayang santri, namely regarding the origin and history of the development of wayang santri, the beauty side contained in wayang santri performances, and Islamic values contained in wayang santri performances
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Muhathir, Muhathir, M. Hamdani Santoso, and Diah Ayu Larasati. "Wayang Image Classification Using SVM Method and GLCM Feature Extraction." JOURNAL OF INFORMATICS AND TELECOMMUNICATION ENGINEERING 4, no. 2 (January 18, 2021): 373–82. http://dx.doi.org/10.31289/jite.v4i2.4524.

Full text
Abstract:
Wayang is a masterpiece of art that has been able to survive centuries of change and development as a reflection of life for the majority of society. Wayang has a high value because it does not only function as a "entertainment" spectacle, but also has many lessons and life values that can be learned from a wayang show. Puppet itself has various types and forms, and these forms have their own uniqueness, because of the many types of Puppet, many people do not know all the names and types of wayang. Therefore, in this research, we will discuss how to recognize wayang objects based on wayang images using the SVM and GLCM methods as feature extraction. The results showed that the classification of wayang using the SVM (Support Vector Machine) method and the GLCM (Gray Level Co-Occurrence Matrix) feature extraction can recognize wayang objects based on wayang images and classify them quite accurately and a maximum total accuracy of 83.2% is obtained.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Purwanto, Agus, Ercilia Rini Octavia, and Sigit Purnomo Adi. "WAYANG GODHONG SEBAGAI MEDIA EDUKASI CINTA BUDAYA DAN ALAM SEJAK USIA DINI." ANDHARUPA: Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia 7, no. 01 (February 28, 2021): 200–208. http://dx.doi.org/10.33633/andharupa.v7i01.4081.

Full text
Abstract:
AbstrakSeiring dengan perkembangan zaman, pertunjukan wayang berfungsi menjadi media pembelajaran. Demikian halnya dengan Wayang Godhong. Wayang kontemporer yang berasal dari godhong (daun) jati, cengkeh, dan kopi ini mencoba menjadikan pertunjukan wayangnya sebagai media edukasi cinta budaya dan alam sejak usia dini di Kabupaten Magelang. Artikel yang disusun melalui metode penelitian kualitatif deskriptif ini, berhasil menemukan visualisasi figur/karakter Wayang Godhong yang representatif untuk anak usia dini dengan pendekatan visual yang ramah dan lucu. Kemudian proses penyampaian dalang Wayang Godhong saat pentas yang harus menggunakan mimik jelas (karena dalang di depan anak-anak, tidak di balik layar), sehingga bahasa yang digunakan pun harus bahasa yang mudah dipahami anak-anak dengan penyampaian humorisme. Setelah melihat pementasan, anak-anak pun berkeinginan melakukan seperti yang dipesankan dalam pementasan yakni menanam pohon sebagai upaya melestarikan alam ini serta menjadi suka/cinta akan wayang. Dengan demikian Wayang Godhong dianggap mampu menjadi media edukasi cinta wayang sebagai hasil dari budaya Indonesia dan cinta alam dengan menanam/merawat pohon sejak usia dini. Kata Kunci: budaya dan alam, media edukasi, anak usia dini, Wayang Godhong AbstractAlong with the times, puppet shows function as learning media. Like wise with Wayang Godhong. Wayang Godhong, a form of contemporary wayang made from leaves of teak, cloves, and coffee, attempts to become a medium for children to foster a sense of love for nature and culture, especially in the Magelang Regency. This article, compiled through descriptive qualitative research methods, has succeeded in finding the visualization of the representative Wayang Godhong figures/characters for early childhood with a friendly and funny visual approach. The performance process of storytelling by the puppeteer must be used a clear facial expression (because the puppeteer stays in front of the children, not behind the scenes), the language must be easy to understand by the children by conveying humorism. After seeing the performance, the children wanted to do as instructed in the wayang performance, such as planting trees as an effort to preserve nature and became interested in wayang. Thereby, Wayang Godhong is considered capable of being a love for wayang educational media as a result of Indonesian culture and love for nature by planting/caring for trees from an early age. Keywords: children, culture and nature, education media, Godhong puppet
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Sugihartono, Ranang Agung, Tatik Harpawati, and Jaka Rianto. "PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: LAKON “JAYAKATONG MBALELA”." Imaji 17, no. 2 (October 26, 2019): 129–40. http://dx.doi.org/10.21831/imaji.v17i2.26404.

Full text
Abstract:
Industrialisasi semakin meminggirkan eksistensi dan fungsi situs-situs warisan kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jombang dan sekitarnya. Mayoritas generasi muda setempat lebih tertarik menjadi buruh pabrik dan mengabaikan seni tradisi. Penyadaran atas potensi kearifan lokal, perlu dilakukan penggalian potensi warisan leluhur, dengan melakukan kreasi wayang beber. Penggunaan jenis penelitian berbasis praktik (practice-based research) ini mencakup tahapan pengumpulan informasi, seleksi, penyusunan, analisis, evaluasi, presentasi, dan komunikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tahapan perancangan wayang beber mampu menghasilkan wayang beber Babad Majapahit lakon Jayakatong Mbalela yang khas dan berbeda dari wayang beber daerah lain, yaitu: visualisasi bentuk tokoh wayang beber menyerupai tokoh pada relief candi peninggalan Majapahit, pewarnaan wayang beber yang kemerahan identik dengan warna batu-bata candi peninggalan Majapahit, ragam hias (ornamen) juga khas seperti relief candi peninggalan Majapahit. Kata Kunci: Pengembangan, wayang beber, dan babad Majapahit. DEVELOPMENT OF ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: STORY “JAYAKATONG MBALELA” Abstract Industrialization is marginalizing the existence and function of Majapahit royal heritage sites in Mojokerto, Jombang and its surroundings. The majority of the local youths are more interested in becoming factory workers and ignoring their traditional arts. Yet, awareness of the potential of local wisdom is necessary to explore the potential of ancestral heritage, by carrying out wayang beber creation. This Practice-Based Research includes the stages of gathering information, selecting, compiling/ arranging, analyzing, evaluating, presenting, and communicating. The results of this study indicate that the stages of wayang beber design are able to produce wayang beber Babad Majapahit story of “Jayakatong Mbalela” that are unique and different from wayang in other regions, namely: its forms’ visualization resembling those on Majapahit heritage reliefs, the reddish coloring of wayang beber is identical to the colors of the bricks at Majapahit heritage temples, and the various ornamentation is also typical to the temple relief from the Majapahit inheritance. Keywords: Developing, puppet/wayang beber, and babad Majapahit.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Sunardi, I Nyoman Murtana, and Sudarsono. "Sunardi KONSEP DASAR PERTUNJUKAN WAYANG SINEMA LAKON DEWA RUCI." PROSIDING: SENI, TEKNOLOGI, DAN MASYARAKAT 2 (January 24, 2020): 57–71. http://dx.doi.org/10.33153/semhas.v2i0.102.

Full text
Abstract:
This paper aims to describe the basic concepts of wayang cinema performance Dewa Ruci play as an alternativeto the development of Indonesian puppets. Wayang Cinema is an innovative wayang performance in awide-screen film. The problems examined are: (1) what lies behind the creation of wayang cinema Dewa Ruciplay; and (2) what is the basic concept and structure of wayang cinema performance Dewa Ruci play. Thestudy was conducted by applying the methods of art creation, namely exploration, design, creation, andpresentation. The results showed that: first, the creation of wayang cinema Dewa Ruci play was motivated bythe decreasing of younger generation’s interest in wayang. The wayang life is marginalized, responding to thechallenges of the era namely the industrial era 4.0., And as a continuation of puppet show experiments.Secondly, the basic concept of wayang cinema Dewa Ruci play is to emphasize the work on the play and thepresence of the song as a driver of plot, characterization, and strengthening the atmosphere, in addition tobeing packaged in the form of widescreen films. Third, the structure of wayang cinema Dewa Ruci playemphasizes the portrayal of the Bima figure in achieving tirta pawitra with a new style.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

I Komang Sudirga, I Gede Yudarta, Ni Made Ruastiti,. "“THE APPRECIATION OF THE INNOVATIVE WAYANG WONG PERFORMING ARTS THROUGH DIGITAL MEDIA." Psychology and Education Journal 58, no. 1 (January 15, 2021): 5241–52. http://dx.doi.org/10.17762/pae.v58i1.2080.

Full text
Abstract:
The paper aims to analyze the appreciation of Innovative Wayang Wong performing arts. It is interesting to know because the Innovative Wayang Wong performing arts through digital media is appreciated by Bali's millennial generation. The primary data obtained through observation and interviews with representatives of the Wayang Wong and Wayang Wong ‘Cupu Manik Astagina’ audience in Denpasar. The data analysis was carried out in qualitative manner. The results show that: (1) The innovative Wayang Wong performance art through digital media is staged by presenting a new Wayang Wong model equipped with advanced technology for the preservation of Balinese culture, the promotion of entertaining and educational culture; (2). The innovative Wayang Wong performance through digital media received a positive response especially Balinese teenagers from the millennial generation. Although audience cannot enjoy Wayang Wong performances directly, they can enjoy them through digital channels.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Hadiprayitno, Kasidi. "Relasitas Lakuan Wayang dengan Iringan Gamelan Gagrag Yogyakarta." Dance and Theatre Review 4, no. 1 (June 13, 2021): 21–35. http://dx.doi.org/10.24821/dtr.v4i1.4923.

Full text
Abstract:
ABSTRAKMaksud dari penulisan ini adalah mengadakan studi terhadap relasitas lakuan gerak wayang gaya pedalangan Yogyakarta dengan musik iringan wayang. Data diperoleh dari pengamatan dan survei pergelaran wayang yang diselenggarakan di Sasana Hinggil Dwi Abad Yogyakarta. Pendekatan masalah dengan metode deskriptif analitis, sedangkan untuk kepentingan pembahasan dengan menggunakan analisis estetika terutama estetika pewayangan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa lakuan gerak wayang dengan iringan wayang membentuk jalinan harmonik. Gending iringan wayang meliputi bentuk gending ageng, ladrangan, ketawang, lancaran, playon dan sampak, sedangkan dari segi estetik memenuhi kesatuan atau keutuhan, kekuatan, dan kerumitan (unity, intencity, dan complexcity).Kata kuci: Pertunjukan wayang, relasi gerak wayang dan gamelan, struktur harmonik ABSTRACTThe purpose of this is to conduct a study of the behavior of Yogyakarta puppet style movements with puppet accompaniment music. Data obtained from observations and surveys of wayang performances held at Sasana Hinggil Dwi Abad Yogyakarta. Approach to the problem with the analytical descriptive method, while for the purpose of discussion using aesthetic analysis, especially puppet aesthetics. Based on the analysis carried out, it is known that the wayang movements with accompaniment form a harmonic structure. Puppet accompaniment gending includes the forms of gending ageng, ladrangan, ketawang, lancaran, playon and sampak, while in terms of aesthetics it takes care of unity or integrity, strength, and complexity (unity, intencity, and complexcity).Key word: Wayang performance, relation of movement and music, harmonic structure.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Akbar, Taufiq, Dendi Pratama, Sarwanto Sarwanto, and Sunardi Sunardi. "Visual Adaptation: From Comics to Superhero Creation of Wayang." Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni 16, no. 1 (May 5, 2021): 11–21. http://dx.doi.org/10.33153/dewaruci.v16i1.3163.

Full text
Abstract:
This article discusses the fusion and blending of the concept of wayang as a traditional culture with comics and films as products of contemporary culture that gave birth to new wayang creations with sources adapted from “Avenger” superhero characters. The making of wayang avenger is to maintain the art of craftsmanship in wayang kulit, namely considering the existence of attributes in traditional wayang with the necessary adjustments to the Avenger superhero outfit. Revealing the results of research on the Avenger Creation Wayang is very important because it can explain the process of changing the shape, appearance and addition of wayang attributes as a manifestation of adaptation to traditional wayang puppets, namely wayang kulit purwa. This article attempts to provide descriptive and interpretive explanations of the visual adaptation process by the creator in the formation of wayang avenger. The approach in this study uses Erwin Panofsky’s iconographic approach with the support of art structure theory and vehicle transfer. The result is the presence of Wayang Kreasi Avenger as a form of fusion between traditional culture and contemporary culture. This development shows the love of the community for the potential of influencing traditional cultural heritage and the interaction with the potential of contemporary culture which is very strong, giving rise to the idea of adaptation as a reflection of the environment and its social structure.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Pramulia, Pana. "PERGELARAN WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA PENANAMAN KARAKTER ANAK." Jurnal Ilmiah FONEMA : Jurnal Edukasi Bahasa dan Sastra Indonesia 1, no. 1 (August 15, 2018): 64. http://dx.doi.org/10.25139/fn.v1i1.1020.

Full text
Abstract:
Salah satu sastra lisan yang paling populer di masyarakat Jawa adalah pergelaran wayang kulit. Lakon wayang kulit Jawa diambil dari epik India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang kulit juga menjadi tuntunan bagi masyarakat yang menonton. Maksudnya, wayang bukan sekadar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, penyuluhan dan pendidikan. Maka, pergelaran wayang kulit dapat dijadikan wahana penanaman karakter yang memuat moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung. Untuk memahami dan menemukan moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung pergelaran wayang kulit dibutuhkan teori yang relevan. Penelitian ini akan menggunakan teori hukum epik Axel Olrix dan menggunakan objek pergelaran wayang kulit lakon Laire Semar dengan dalang Ki. Purbo Asmoro. Hukum Epik Axel Olrix tersebut mempunyai dua belas hukum yang akan digunakan untuk menganalisis. Akan tetapi, dalam penelitian ini Hukum Epik Axel Olrix yang diambil hanya tiga poin yang berkaitan dengan penanaman karakter anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami keterkaitan antara moral dan nilai-nilai di masyarakat dengan yang digambarkan pada pergelaran wayang kulit. Kata Kunci: Pergelaran Wayang Kulit, Hukum Epik Axel Olrix, Karakter Anak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Kurniawan, Bagus. "DEKONSTRUKSI KARAKTER ARJUNA DALAM MAJALAH CEMPALA EDISI JANUARI 1997 DAN EDISI JULI 1996." Haluan Sastra Budaya 33, no. 1 (January 19, 2017): 37. http://dx.doi.org/10.20961/hsb.v33i1.4238.

Full text
Abstract:
<p>Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sejak masa Hindu-Budha telah mengenal dan berkembang tradisi pertunjukkan wayang. Bagi masyarakat Jawa, pertunjukkan wayang mempunyai nilai sosial yang penting. Pertunjukkan wayang tidak hanya dipandang sebagai sebuah tradisi yang harus dijaga dan dilestarikan, tetapi juga suatu bentuk tradisi yang mempunyai nilai sosial yang sakral. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kemudian tradisi wayang digunakan sebagai sarana komunikasi maupun dakwah. Artinya, wayang bukan sekedar sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Pemaknaan terhadap wayang masa kini mulai beragam, tidak hanya melalui dikotomi hitam-putih, tetapi juga melalui berbagai tafsir yang kemudian mendekonstruksi makna yang sudah mapan. Dalam tulisan ini akan diuraikan pembacaan lakon-lakon wayang melalui metode dekonstruksi. Dengan menggunakan beberapa lakon wayang berbahasa Indonesia yang diterbitkan dalam majalah Cempala, dalam tulisan ini akan diuraikan strategi pembacaan secara dekonstruksi terhadap karakter Arjuna.</p><p><strong>Kata kunci:</strong> lakon wayang, Arjuna, lelananging jagad, dekonstruksi </p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Aziz, Denis Abdul, Titin Rohayatin, and Zaenal Abidin As. "PERAN DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA DALAM PELESTARIAN KESENIAN WAYANG GOLEK DI KABUPATEN BANDUNG BARAT." Jurnal Caraka Prabu 3, no. 1 (June 1, 2019): 70–91. http://dx.doi.org/10.36859/jcp.v3i1.337.

Full text
Abstract:
Kesenian Wayang Golek merupakan kesenian yang berasal dari Provinsi Jawa Barat. Akibat perkembangan jaman, kesenian Wayang Golek mengalami penurunan pada paguyubannya, khususnya yang berada di daerah Kabupaten Bandung Barat. Untuk itu perlu ada upaya pelestarian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung Barat. Wayang Golek sendiri sudah diakusi oleh UNESCO sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan informan 2 orang, yaitu : (1) Kepala Seksi Bina Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung Barat,(2) dan Seniman Wayang Golek. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, dokumentasi, dan observasi lapangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelestarian kesenian Wayang Golek yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung Barat dapat dikatakan belum optimal. Hal tersebut dikarenakan (1) belum adanya regulasi yang secara khusus mengatur tentang upaya pelestarian kesenian Wayang Golek (2) pemberdayaan yang dilakukan belum mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian kesenian Wayang Golek (3) belum optimal dalam menyediakan fasilitas berupa sarana dan prasarana penunjang dalam upaya pelestarian kesenian Wayang Golek. Kata Kunci: Peran, Pemerintah, Pelestarian Kesenian, Wayang Golek
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Sutarman, Wayan, I. Nyoman Suparman, and Ketut Yasini. "WAYANG LEMAH DALAM UPACARA NGENTEG LINGGIH DI PURA AGUNG PURNASADHA TOLAI." Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu 12, no. 1 (June 23, 2021): 85–100. http://dx.doi.org/10.36417/widyagenitri.v12i2.343.

Full text
Abstract:
Upacara ngenteg linggih memiliki nuansa religius magis karena terkait dengan keyakinan tentang dewa yadnya. Kekhasan inilah yang menjadikan pelaksanaan upacara ngenteg linggih harus dirangkaikan dengan pementasan wayang Lemah.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1). Fungsi Pementasan Wayang Lemah Dalam Upacara Ngenteg Linggih?. 2). Nilai Pendidikan Agama Hindu Pada Pementasan Wayang Lemah Dalam Upacara Ngenteg Linggih? Penelitian ini memiliki tujuan yaitu: 1). mengetahui fungsi pementasan wayang lemah dalam upacara ngenteg linggih. 2). Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama hindu yang terkandung dalam pementasan wayang lemah. Teori yang digunakan untuk membedah permasalahan adalah Teori Struktural fungsional dan Teori Nilai. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian: dalam Pementasan Wayang Lemah pada Upacara Ngenteg Linggih Di Pura Purnasada Tolai memiliki fungsi yaitu: (1) Wayang Lemah Sebagai Wali Upacara, (2) Wayang Lemah sebagai balih-balihan (hiburan), (3) Wayang Lemah Sebagai Fungsi Sosial. Nilai Pendidikan Hindu yang terkandung yaitu: pertama nilai pendidikan Tattwa pada proses pelaksanaan, nilai pendidikan Etika, yang meliputi tiga aspek, yaitu aspek pikiran, perkataan, dan perbuatan. Hindu mengajarkan bahwa apa yang dihasilkan oleh pikiran (manacika) harus selalu suci (parisudha), dan wacika parisudha dan nilai pendidikan estetika yaitu unsur keindahan pementasan wayang lemah yang dilaksanakan siang hari.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Sudanta, I. Nyoman. "EKSISTENSI PEMENTASAN WAYANG KULIT PARWA SUKAWATI PADA ERA GLOBALISASI." VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia 2, no. 1 (April 10, 2019): 127–41. http://dx.doi.org/10.32795/vw.v2i1.345.

Full text
Abstract:
Artikel ini mengkaji tentang eksistensi Wayang Kulit Parwa Sukawati di Era Globalisasi. Bertahannya wayang kulit Parwa Sukawati pada era Globalisasi meliputi faktor sebagai berikut yakni: (1) Tumbuh Daya Kreativitas dan Inovasi Para Dalang Wayang Kulit Parwa Sukawati Dalam Menghadapi Era Globalisasi, yaitu berkembangnya kreativitas para dalang, namun kekhasan pementasan Wayang Kulit Sukawati yang lebih menonjolkan nilai filosofis dalam kemasan pementasannya, (2) Wayang Parwa Sukawati banyak diminati wisatawan manca negara yang memiliki peranan transformatif pada kesenian ini melalui beragam prototipe yang kemudian dikenal hingga ke Mancanegara, (3) Wayang Kulit Parwa Sukawati mampu beradaptasi menghadapi perkembangan era globalisasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Ardhi, Bagaskoro, Slamet Supriyadi, and Edy Tri Sulistyo. "The Visualization of Wayang Kulit Purwa by Bambang Suwarno." Journal of Urban Society's Arts 6, no. 2 (October 26, 2019): 101–11. http://dx.doi.org/10.24821/jousa.v6i2.3431.

Full text
Abstract:
Visualisasi Wayang Kulit Purwa Karya Bambang Suwarno. Artikel ini membahas tentang visualisasi wayang kulit purwa karya Bambang Suwarno, seorang dalang, guru dalang, dan pengembang pakeliran padat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui visualisasi wayang kulit karya Bambang Suwarno. Metode yang digunakan adalah bentuk deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil kreativitas berkarya ditunjukkan dalam berbagai karya wayang dari kondisi yang ambang, ricuh, dan mencoba sesuatu yang belum ada dari berbagai jenis tokoh wayang. Pengakuan berbagai tanggapan dalang tentang karya kreasi ini menunjukkan kreativitas berkarya yang memiliki konsep, dan mendukung pentas pakeliran. Selain itu, diharapkan wayang semakin indah dilihat, menjadi penghubung antar tokoh dalam lakon, memenuhi sanggit pakeliran, menambah perbendaharaan tokoh wayang, dan memperkuat pengakuan wayang di mata dunia. This article discusses the visualization of wayang kulit purwa by Bambang Suwarno, a puppet master (dalang), a puppet master’s teacher, and a developer of a short shadow puppet performance. The objective of the research is to find out the visualization of wayang kulit by Bambang Suwarno. The method employed was descriptive qualitative one. Techniques of data collection were observation, interview, and documentation. The result of working creativity could be seen in many wayang works from the threshold, chaotic condition to trying something new that has never existed yet in a variety of wayang characters. Recognition of various mastermind’s responses to the work of Bambang Suwarno indicted the creativity of work that has a concept, and supports the performance stage. In addition, it is hoped that wayang will be more attractive to watch, become a liaison between characters in the play, fulfill the sanggit pakeliran, increase the treasury of puppet characters, and strengthen the puppet recognition in the world.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Natalia, Natalia, and Widayatmoko Widayatmoko. "Pelestarian Kebudayaan Peranakan Tionghoa Wayang Potehi melalui Media Digital." Koneksi 2, no. 2 (May 9, 2019): 479. http://dx.doi.org/10.24912/kn.v2i2.3926.

Full text
Abstract:
Indonesia memiliki keberagaman budaya, salah satunya adalah budaya Peranakan Tionghoa “Wayang Potehi” yang merupakan kebudayaan hasil akulturasi migran Cina yang menetap di kepulauan Jawa. Namun, pada saat Orde Baru, Wayang Potehi dilarang untuk dimainkan sehingga sempat mengalami mati suri. Untuk menghidupkan kembali Wayang Potehi bukan suatu hal yang mudah, maka dari itu butuh pelestarian dan dikontekstualkan dengan perkembangan zaman sekarang ini yaitu dengan menggunakan media digital. Penelitian ini menggambarkan pelestarian kebudayaan Peranakan Tionghoa Wayang Potehi dengan menggunakan media digital. Di sini penulis menggunakan metode kualitatif untuk mengetahui bagaimana pelestarian Wayang Potehi menggunakan media digital. Peneliti melakukan observasi dan melakukan wawancara kepada sumber Wayang Potehi yaitu pakar Wayang Potehi, Pembina Asosiasi Peranakan Tionghoa, dalang, dan penonton. Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dan observasi bahwa pelestarian Wayang Potehi tidak hanya secara langsung melalu acara namun juga dengan menggunakan media digital seperti website, Blog, Youtube, dan berbagai penggunaan media sosial juga karena penyebaran yang cepat dan targetnya adalah generasi muda.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Ayu Putri Sastrini, Ni Komang, and Ni Wayan Sri Winarti. "WAYANG WONG DALAM UPACARA DEWA YADNYA DI MRAJAN GDE GRIYA PENIDA, DESA BATUAGUNG, KABUPATEN JEMBRANA." VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia 1, no. 1 (April 2, 2018): 39–52. http://dx.doi.org/10.32795/vw.v1i1.176.

Full text
Abstract:
Tari Wayang Wong merupakan kesenian yang disakralkan yang mana semua penarinya memakai tapel. Dalam pementasan, Tari Wayang Wong merupakan tari wali, dengan demikian bentuk penokohan dan struktur rangkaian pertunjukan menyesuaikan dengan tingkatan upacara yadnya. Dalam bentuk busana tari, Wayang Wong tetap menggunakan busana tradisional namun ada beberapa yang disesuiakan dengan busana kreasi sekarang seperti penggunaan gelung, kain prada. Sedangkan gerak tarinya memiliki ciri khusus dan unik yang tidak dimiliki oleh Wayang Wong yang ada dibeberapa daerah di Bali. Rangkaian pementasan Tari Wayang Wong Dalam upacara Dewa Yadnya di Mrajan Gde Griya Penida desa Batuagung pada tingkat utama, biasanya Wayang Wong dipentaskan dengan rangkaian yaitu dari ngebejian, pentas satu babak sampai dengan Wayang Wong melaksanakan ngidergita. Tabuh yang digunakan adalah gamelan bebatelan Ramayana dengan dipentaskan pada tempat di utama mandala atau tempat dipekarangan yang luas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Rina, Ratna Cahaya. "Arjuna Visualizations in Three Javanese Wayang." New Trends and Issues Proceedings on Humanities and Social Sciences 4, no. 11 (December 28, 2017): 240–48. http://dx.doi.org/10.18844/prosoc.v4i11.2880.

Full text
Abstract:
Arjuna, the third Pandava character in Mahabharata story which originated from India, has different characterisation when it spreads and develops in Java, Indonesia. This character is lovely, delicate, loves to dress up, smart in smooth talking, though mentioned as the most masculine character in the story. In the three different Wayang theaters which play the Mahabharata story such as Wayang Kulit (shadow puppet), Wayang Beber (illustrations on scroll-painted fabrics) and Wayang Wong (theatrical performance by humans), there is a distinct pattern to visualise Arjuna masculinity. The purpose of the research is to show how those three Wayangs visualise Arjuna’s masculinity. In doing so, we observe the artefact of Arjuna character in Wayang Kulit, Wayang Beber, and costume worn by Arjuna cast in Wayang Wong. The result shows that those three Wayang have a similar strategy to visualise Arjuna, they tend to emphasise on the physical subtlety of Arjuna, the softness of his behaviour and speech. It seems that to convey the masculinity of Arjuna, and there is a consistency to visualise it similar to the characteristic of a woman. Keywords: Arjuna, visualisation, character, Wayang, Javanese
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Kusharyani, Maharsidewi, Budi Santoso, and Fifiana Wisnaeni. "EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN WAYANG ORANG SRIWEDARI SURAKARTA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM HAK CIPTA." LAW REFORM 12, no. 1 (March 31, 2016): 60. http://dx.doi.org/10.14710/lr.v12i1.15841.

Full text
Abstract:
Wayang Orang Sriwedari Surakarta merupakan salah satu pertunjukan kesenian budaya yang harus dilestarikan dan dilindungi. Wayang Orang Sriwedari adalah ekspresi budaya tradisional atau folklor yang berhak mendapat perlindungan Hak Cipta. Wayang Orang Sriwedari Surakarta dapat dilindungi apabila pertunjukan tersebut masih tetap eksis Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis eksistensi dan perlindungan Wayang Orang Sriwedari Surakarta ditinjau dari hukum Hak Cipta dan untuk mengetahui peran dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk melestarikan dan melindungi Wayang Orang Sriwedari Surakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris yaitu meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian meneliti data primer di lapangan. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu data yang diperoleh dikumpulkan, disusun, dijelaskan dan dianalisis. Hasil penelitian mengajukan bahwa Wayang Orang Sriwedari Surakarta hingga saat ini masih dapat mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat sebagai salah tontonan pertunjukan tradisional yang masih diminati masyarakat. Wayang Orang Sriwedari Surakarta sebagai ekspresi budaya tradisional atau folklor berhak memperoleh perlindungan hukum Hak Cipta. Unsur-unsur yang ada dalam Wayang Orang Sriwedari Surakarta yang dapat dilindungi Hak Cipta adalah berupa folklor lisan atau tulisan, musik, gerak atau tari, teater, sandiwara, pertunjukan. Peran dan upaya Pemerintah Kota Surakarta dalam melestarikan Wayang Orang Sriwedari Surakarta adalah dengan mengangkat pemain Wayang Orang Sriwedari Surakarta menjadi Pegawai Negeri Sipil dan melakukan regenerasi pemain dengan membuka rekruitmen pemain baru.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Nuryantiningsih, Farida, and Sri Nani Hari Yanti. "Heroic Figures’ Characters in Wayang Wong Dance Drama: A Character Education For The Elementary School Students?" Jurnal Lingua Idea 12, no. 1 (June 24, 2021): 69. http://dx.doi.org/10.20884/1.jli.2021.12.1.3432.

Full text
Abstract:
Wayang Wong is one Javanese traditional dance drama combining drama arts and wayang performance. The stories in Wayang wong performances are taken from Mahabarata and Ramayana. Many stories presented through wayang wong performances give various life examples through each figure’s characters. Of those contained in wayang wong performances, this article only selected the figures from Mahabarata story as not only well known by the society like Gatotkaca, Arjuna, Bima/Werkudara, or Kresna, but also many Mahabarata story figures have good characters appropriate to become the examples for the character education at schools. Love, forgiveness, patience. responsibility, helpfulness, and other good characters belong to the Mahabarata story protagonist figures. This descriptive qualitative research used a cultural approach by identifying wayang wong figures’ characters in both Ramayana and Mahabharata stories. The research data were collected using literature reviews on various relevant references to wayang wong to dig and obtain the descriptions of the wayang wong figures’ characters in both Mahabharata and Ramayana stories as the character education for elementary school students. This article is greatly interesting because by introducing the protagonist figures through wayang wong performances, the children from Javanese ethnicity are expected to have good characters sourced from the local cultures. This is important because by knowing wayang figures, children are taught to love and conserve their nation’s cultures.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Veronica, Monica, and Suzy S. Azeharie. "Studi Komunikasi Budaya pada Paguyuban Wayang Orang Bharata." Koneksi 2, no. 2 (May 9, 2019): 464. http://dx.doi.org/10.24912/kn.v2i2.3924.

Full text
Abstract:
Di era modern, kebudayaan tradisional khususnya Wayang Orang jarang terdengar eksistensinya. Banyak orang tidak mengetahui keberadaan kebudayaan Wayang Orang sebagai bentuk kesenian pertunjukan tradisional Jawa. Sejauh ini belum ada penelitian tentang komunikasi budaya pada Paguyuban Wayang Orang Bharata. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi budaya yang terdapat pada Paguyuban Wayang Orang Bharata. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif fenomenologi secara deskriptif. Data yang dianalisis diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan empat narasumber. Penelitian berfokus terhadap lima elemen budaya yang dikemukakan oleh Samovar. Agama mayoritas di Paguyuban Wayang Orang Bharata adalah Islam. Beberapa individu masih menganut kepercayaan kejawen seperti semedi untuk mencari keselematan dan kelancaran dalam pagelaran. Nilai budaya yang terdapat di Paguyuban Wayang Orang Bharata berasal dari tokoh Wayang orang yang relevan di kehidupan sehari-hari contohnya adalah sifat baik dari tokoh Pandawa. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Wibowo, Anjar Mukti, and Prisqa Putra Ardany. "Sejarah Kesenian Wayang Timplong Kabupaten Nganjuk." AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 5, no. 02 (July 10, 2015): 182. http://dx.doi.org/10.25273/ajsp.v5i02.891.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap Sejarah Kesenian wayang Timplong Kabupaten Nganjuk. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan yaitu bulan Februari sampai Juli. Adapun bentuk penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif. yang menggambarkan, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data yang dipakai yakni sumber data primer dan sumber data Sekunder. Teknik pengambilan data yaitu dengan menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Validasi yang dipergunakan untuk mengkuji kebenaran data yaitu menggunakan Trianggulasi sumber. Analisis data yang digunakan adalah analisis data model interaktif Miles dan Huberman yang didalamnya terdapat tiga tahapan yaitu melalui proses reduksi data, sajian data dan verifikasi data Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Sejarah kesenian wayang Timplong di Kabupaten Nganjuk berasal dari Desa jetis Kecamatan Pace yang di ciptakan oleh Mbah bancol pada tahun 1910 dikarenakan kegemaran mbah Bancol masa kecil senang menonton pertunjukkan kesenian wayang Klithik yang berinisiatif membuat wayang baru yang berbeda dengan wayang lainnya dan semata mata untuk hiburan. Keahlian mendalang mbah Bancol diturunkan kepada putranya Ki Karto Guno hingga Ki Tawar Perkembangannya proses pewarisan mendalang wayang Timplong bukan lagi dari garis keturunan, yang mengakibatkan banyak bermunculan dalang-dalang wayang Timplong yang berasal dari berbagai daerah di Kabupaten Nganjuk luar Desa Jetis. Pada awalnya kesenian wayang Timplong dipentaskan sebagai sarana hiburan namun kini menggalami perubahan kesenian wayang Timplong lebih banyak dipentaskan sebagai sarana ritual upacara seperti ruwatan dan bersih desa. Pada tahun 2005 salah satu dalang wayang Timplong di Kabupaten Nganjuk mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo sebagai apresiasi seniman kesenian Tradisional. Pada saat ini kesenian wayang Timplong tidak hanya dipentaskan di daerah Nganjuk saja tapi di luar Nganjuk dalam acara pentas seni untuk lebih mengenalkan kesenian wayang Timplong.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Ghani, Dahlan Abdul. "Visualization Elements of Shadow Play Technique Movement and Study of Computer Graphic Imagery (CGI) In Wayang Kulit Kelantan." International Journal of Art, Culture and Design Technologies 1, no. 1 (January 2011): 50–57. http://dx.doi.org/10.4018/ijacdt.2011010105.

Full text
Abstract:
In the attempt to preserve and safeguard the unique heritage of Wayang Kulit (Shadow Play), UNESCO has designated it as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on 7th November 2003. Wayang Kulit Kelantan in Malaysia is threatened with imminent extinction. This paper reviews the critical situation of Wayang Kulit Kelantan in Malaysia. The visualization and movement of Wayang Kulit Kelantan is described in four major aspects, which are the puppets, shadows, screen for shadow projection (Kelir), and its light source. It also reviews the comparison methods and techniques between Wayang Kulit Kelantan traditional shadow play and Computer Graphics Imagery (CGI) used as a prototype design in Wayang Kulit Kelantan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Tuhumury, Yoana, and Marno Wance. "Membangun Good Governance Dalam Pemanfaatan Keuangan Desa." Indonesian Governance Journal : Kajian Politik-Pemerintahan 3, no. 1 (April 22, 2020): 37–45. http://dx.doi.org/10.24905/igj.v3i1.1463.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis Perencanaan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban pemanfaatan Desa di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon Kota Ambon. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan desa Wayame dalam pengelolaan DD dan ADD sudah dapat dikatakan transparan. Sedangkan untuk Pelaksanaan dan Pertanggung jawaban pemanfaatan dana desa di Desa Wayame sudah berjalan namun masih belum maksimal. Pemerintah desa wayame telah mewujudkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan Alokasi Dana. Sasaran pemanfaatan dana desa lebih dikhususkan untuk pemberdayaan dibandingkan dengan pembangunan fisik ternyata di desa wayame pemanfaatan dana desa lebih banyak diarahkan ke pembangunan fisik dengan demikian bahwa pemanfaatan dana desa di desa wayame diketahui belum sesuai apa yang diamanatkan Undang-Undang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography