To see the other types of publications on this topic, follow the link: Wayang.

Journal articles on the topic 'Wayang'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Wayang.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Rina, Ratna Cahaya. "Arjuna Visualizations in Three Javanese Wayang." New Trends and Issues Proceedings on Humanities and Social Sciences 4, no. 11 (December 28, 2017): 240–48. http://dx.doi.org/10.18844/prosoc.v4i11.2880.

Full text
Abstract:
Arjuna, the third Pandava character in Mahabharata story which originated from India, has different characterisation when it spreads and develops in Java, Indonesia. This character is lovely, delicate, loves to dress up, smart in smooth talking, though mentioned as the most masculine character in the story. In the three different Wayang theaters which play the Mahabharata story such as Wayang Kulit (shadow puppet), Wayang Beber (illustrations on scroll-painted fabrics) and Wayang Wong (theatrical performance by humans), there is a distinct pattern to visualise Arjuna masculinity. The purpose of the research is to show how those three Wayangs visualise Arjuna’s masculinity. In doing so, we observe the artefact of Arjuna character in Wayang Kulit, Wayang Beber, and costume worn by Arjuna cast in Wayang Wong. The result shows that those three Wayang have a similar strategy to visualise Arjuna, they tend to emphasise on the physical subtlety of Arjuna, the softness of his behaviour and speech. It seems that to convey the masculinity of Arjuna, and there is a consistency to visualise it similar to the characteristic of a woman. Keywords: Arjuna, visualisation, character, Wayang, Javanese
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Marajaya, Made, and Dru Hendro. "Makna Ruwatan Wayang Cupak Dalang I Wayan Suaji." Mudra Jurnal Seni Budaya 36, no. 1 (February 17, 2021): 63–74. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v36i1.1329.

Full text
Abstract:
Wayang Cupak termasuk pertunjukan langka di Bali, keberadaannya menambah genre pertunjukan Wayang Kulit Bali yang terus berkembang. Pertunjukan wayang kulit berfungsi sebagai wali, bebali, dan balih-balihan. Sebagai seni wali, pertunjukan wayang kulit hadir dalam berbagai jenis upacara termasuk upacara ruwatan. Upacara ruwatan yang paling populer di Bali disebut dengan Sapuh Leger. Selain Wayang Sapuh Leger, Wayang Cupak pun juga difungsikan untuk ruwatan seperti di Kabupaten Badung. Banyak ditemukan dalang wayang kulit di Kabupaten Badung, namun tidak banyak yang khusus mementaskan Wayang Cupak, hanya Dalang I Wayan Suaji yang merupakan keturunan dalang Wayang Cupak mampu meneruskan budaya ruwatan melalui pertunjukan Wayang Cupak. Orang-orang yang diruwat umunnya telah menginjak dewasa yang memiliki sifat loba, rakus, pemalas, dan tidak mengenal etika. Fenomena ruwatan (fenomena budaya) dikaji melalui pendekatan ilmu kajian budaya dengan metode kualitatif yang hasilnya merupakan deskripsi pencatatan hasil pengumpulan data, pengolahan data hingga analisis data tentang gejala atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ruwatan Wayang Cupak yang terpelihara masyarakat hanya di wilayah Desa Adat Kerobokan dan sekitarnya dan sudah menjadi sebuah tradisi. Bentuk ruwatan Wayang Cupak dapat dilihat sarana dan prasarananya, seperti: canang uleman, banten ruwatan, pementasan wayang, proses ruwatan, mantra ruwatan, dan tirta ruwatan. Setelah dikaji bentuk ruwatannya, kemudian maknanya bagi masyarakat Hindu Bali. Beberapa makna ditemukan berupa: makna filosofis, makna religius, makna simbolik, makna pembersihan diri, dan makna budaya. Dapat dikatakan bahwa pertunjukan Wayang Cupak pada umumnya hanya dipentaskan untuk ruwatan dan belum disentuh oleh teknologi canggih, pertunjukannya masih sangat tradisi, dan hanya diganti gamelannya saja sebagai media untuk menciptakan iringan sesuai dengan adegan dalam lakon. Lakonnya bersumber dari cerita panji/malat atau folklore, sehingga secara filosofis wacana dikaitkan dengan konsep rwa belum ditemukan bhineda yang harus dilalui dalam kehidupan untuk menuju moksartam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Mu'jizah, NFN, and NFN Purwaningsih. "MEMORI KOLEKTIF, REKONSTRUKSI, DAN REVITALISASI: STUDI KASUS WAYANG CECAK." Widyaparwa 48, no. 1 (June 30, 2020): 92–105. http://dx.doi.org/10.26499/wdprw.v48i1.486.

Full text
Abstract:
Wayang Cecak is a Malay oral traditions which is almost critically extinc. This puppet remains only in the memories collective. The problem is how to preserve wayang cecak from extinction? The aim is to preserve the wayang's vitality from extinction. The method is done by reconstructing and revitalizing of wayang cecak becomes a living tradition. This qualitative research used an oral literary approach with primary sources of wayang cecak with text and context analysis. The method used literature study and field study technic observations were carried out with in-depth interviews with traditional artists, the representative community, and stakeholders. According to the eye-witnesses, wayang cecak has its unique structures. Reconstruction of wayang cecak involved the researcher, village leader, and traditional artists. Revitalization were carried out by performing wayang cecak in the community. This revitalization has a positive impact the wayang cecak increase their vitality.Wayang cecak merupakan sastra lisan Melayu yang hampir punah dan hanya hidup dalam ingatan ma-syarakat. Permasalahan penelitian ini ialah bagaimana cara melindungi wayang cecak dari kepunahan? Penelitian ini bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan daya hidup wayang itu dari kepunahan. Caranya dengan merekonstruksi dan merevitalisasinya sehingga wayang itu menjadi sebuah tradisi yang hidup kembali. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan sastra lisan dengan analisis teks dan konteks. Sumber data berupa data primer wayang cecak. Metode yang digunakan yakni studi pus-taka dan studi lapangan dengan teknik observasi melalui wawancara mendalam dengan seniman pelaku tradisi, tetua adat, dan para pengambil kebijakan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pewaris aktif sudah tidak ada. Pertunjukan wayang cecak mempunyai struktur yang khas dalam pertun-jukannya. Rekonstruksi pertunjukan wayang cecak dilakukan bersama peneliti, tetua adat, dan seniman pemilik tradisi di Pulau Penyengat. Dari rekonstruksi dilakukan revitalisasi dengan mempertunjukkan wayang cecak dalam masyarakatnya. Revitalisasi ini berdampak positif, yakni meningkatnya daya hi-dup wayang cecak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Goodlander, Jennifer. "Negotiating Gender and Tradition: A Woman Dalang Performs Wayang Lemah in Bali." TDR/The Drama Review 60, no. 1 (March 2016): 50–66. http://dx.doi.org/10.1162/dram_a_00523.

Full text
Abstract:
The dalang, the central figure of wayang kulit performances, is revered in Balinese society both as a teacher and spiritual leader. Until recently, the dalang was always male, but now women in Bali are able to train as dalang. A performance of wayang lemah given by woman dalang Ni Wayan Suratni provides insight into the complex relationships between gender and tradition in Bali.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Purbasari, Mita, and Donna Carollina. "Traditional Wayang Research Productivity: A Bibliometric Analysis." Humaniora 14, no. 3 (September 1, 2023): 205–14. http://dx.doi.org/10.21512/humaniora.v14i3.9211.

Full text
Abstract:
The aim of the research was to review the productivity of Wayang’s research by using the bibliometric method from the Scopus database. Wayang is a form of traditional art recognized by UNESCO as a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity since 2003. It was not obtained easily, especially in terms of the world community’s introduction of shadow puppets. Puppet research has exploded since it was recognized by UNESCO. However, global indexed publications still needed to be enhanced. Analysis of Wayang research from internationally indexed journals, such as Scopus, was required to recognize this opportunity; the object could be seen from a different perspective. The dataset used was ‘Traditional Wayang’, based on documents during 2015-2021 from the Arts and Humanities areas. The search has found 36 papers related to ‘Traditional Wayang’ research. The number of Wayang studies in Scopus-indexed papers remains limited, retaining the Wayang perspective as a traditional object. This is shown by the 36 documents examined, among which only two clusters are produced: performance and change. In order for Wayang research to have great potential and be considered from a wide range of perspectives, including technological, social, economic, commercial, and other, there are still other types of Wayang as an object material.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Tahalele, Stephany Maria. "THE FUNCTION CHANGE OF POTEHI PUPPET PERFORMANCE IN CHINESE TRADITION IN JAKARTA." Bambuti 3, no. 1 (January 24, 2022): 77–90. http://dx.doi.org/10.53744/bambuti.v3i1.26.

Full text
Abstract:
This paper shows the development of wayang potent in Jakarta, changes in its function, the causes of changes in the function of wayang potent performances in Jakarta, and the impact of changes in the function of wayang potent performances for Chinese culture and society. In this writing, the research used is a qualitative method based on literature study, observation, and interviews. Based on this paper, it can be concluded that the wayang’s potent performance in its development has changed function and its performance has begun to adapt to the local culture. Currently, wayang potehi is not only performed at the temple but has begun to spread to the stage for entertainment outside the temple.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Adiguna, Made Hendra, I. Dewa Putu Gede Budiarta, and A. A. Gede Yugus. "Bali Ornament Motif As A Source Of Inspiration Kamasan Painting Art Creation." CITA KARA : JURNAL PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI MURNI 2, no. 2 (October 24, 2022): 29–38. http://dx.doi.org/10.59997/citakara.v2i2.1837.

Full text
Abstract:
Wayang Kamasan painting is the main topic of thought in the creation of painting works of art, which were inspired by Balinese ornamental motifs. As for the research problems, namely: What are the Balinese ornamental motifs that are applied to the Wayang Kamasan form?, How to apply Balinese ornaments to the Wayang Kamasan form?, What techniques are used in creating paintings inspired by Balinese ornamental motifs?.The author conducted research on Balinese ornamental motifs as a source of inspiration in the creation of Wayang Kamasan painting through field research methods, with a source data source named Ni Wayan Sri Wedari, S.Sn who is the owner and leader of the Wasundari studio, with data collection techniques by observation, interviews and literature review. Art creation is carried out in stages (exploration, experimentation, and execution). Produce works of art with a tendency to contemporary style. The six works produced include: Arjuna Tapa, Sutasoma, Hanoman, Gugurnya Bisma, Lata Mahosadhi, and Kumbakarna.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Santosa, Hendra, Ni Made Ayu Dwi Sattvitri, and Ni Wayan Masyuni Sujayanthi. "Mutusake: Interpretasi Putusnya Ekor Cicak dalam Sebuah Karya Musik Karawitan." PROMUSIKA 10, no. 2 (December 3, 2022): 78–86. http://dx.doi.org/10.24821/promusika.v10i2.7486.

Full text
Abstract:
Mutusake merupakan penggambaran fenomena putusnya ekor cicak yang masih dapat bergerak walaupun sudah terlepas dari badannya. Fenomena tersebut diinterpretasikan melalui sebuah karya karawitan bermedia gamelan Gender Wayang dan Selonding. Adapun permasalahan yang dibahas adalah bagaimana cara mengembangkan pola - pola gending Gender Wayang Cecek Megelut untuk membentuk pola yang baru. Karya ini menggunakan metode penciptaan yang dirancang oleh I Wayan Rai, S dengan enam tahapan yaitu modal pokok, kreatif, pemahaman budaya lokal, konsep, doa, dan proses mewujudkan karya seni. Hasil dan pembahasan, karya Mutusake terdiri dari empat bagian yaitu bagian pertama merupakan pengembangan dari gending Gender Wayang Cecek Megelut, bagian kedua pada karya ini menggambarkan gerak - gerik cicak, bagian ketiga yaitu penggambaran aksi gelut / kejar - kejaran yang dilakukan oleh cicak dan musuhnya dan bagian keempat, menggambarkan ekor cicak yang bergerak lincah walaupun sudah terlepas dari badannya. Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu teknik - teknik permainan yang terdapat dalam karya ini dapat digunakan sebagai acuan untuk berkarya selanjutnya. AbstractMutusake: An Interpretation of the Breakup of the Lizard Tail in a Karawitan Musical Work. Mutusake describes a lizard tail breaking off, which can still move even though it has been separated from its body. This phenomenon is interpreted through this musical work using the gamelan Gender Wayang and gamelan Selonding. The problem that will be discussed is how to develop the patterns of gending Gender Wayang Cecek Megelut to form a new pattern. This work uses the creation method I Wayan Rai, S designed with six stages: essential capital, creativity, understanding of local culture, concepts, prayers, and the process of creating works of art. Accordingly, Mutusake consists of four parts. The first part develops motives from the traditional Gender Wayang piece Cecek Megelut. The second part of this work imitates the movements of lizards. The third part depicts the action of the struggle/chase - the pursuit carried out by the lizard and its enemies. The fourth part describes a lizard's tail that moves nimbly even though it has been separated from its body. The game techniques in this work can be used as a reference for further work.Keywords: cecek megelut; gending; gender wayang; mutusake; selonding
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Andre, Andre. "Adoption of Multiplayer Online Battle Arena to Introduce Wayang Character." Journal of Games, Game Art, and Gamification 6, no. 2 (December 31, 2021): 56–66. http://dx.doi.org/10.21512/jggag.v6i2.7922.

Full text
Abstract:
Wayang is considered a cultural heritage that has been passed down from generation to generation in Indonesia. However, the younger generation known as digital natives shows a lack of motivation and interest in Wayang. Therefore, it became an important matter to introduce traditional Wayang to younger audiences in engaging formats. This paper proposes an adaptation of the multiplayer online battle arena or known as MOBA. This type of multiplayer game for the mobile market is gaining high popularity among the young generation because it embraces quick-paced, strategic, and intense battle scenes. We called our game "Wayang Tarung" or "Wayang Battle" in English. Furthermore, the game has several features supporting the narrative of wayang characters, such as simple digital motion comics and character briefing between loading screens. A mechanic-dynamic-aesthetic framework (MDA) is used as a guideline to assure the game has engaging gameplay. Since the game runs asymmetrically, the starting condition for both players must be considered. Therefore, we also apply a game balancing strategy to ensure that each Wayang character has weak and strong points. In addition, we were adapting artificial intelligence from the Clash Royale game to dictate autonomous character behavior. The implementation of the Wayang Tarung game has been evaluated using a heuristic testing method adapted from the norman Nielsen heuristic usability. We also conducted a direct observation in a controlled-lab condition and gathered the data using a pre-post test that evaluated player knowledge of Wayang's character. Based on the excellent mark pre-post test result, we believe that adopting the multiplayer game platform in introducing wayang characters to the young generation has enriched prominent to explore further.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Gunawan, Wawan Ajen, Dadang Suganda, Reiza D. Dienaputra, and Arthur S. Nalan. "The Structural Transformations of Sundanese Wayang Golek Performance." International Journal of Culture and History 3, no. 1 (June 24, 2016): 16. http://dx.doi.org/10.5296/ijch.v3i1.7364.

Full text
Abstract:
The Sundanese <em>wayang golek </em>performance has transformed over the years. The transformations happen not only in art elements but also in various elements of its performance including performers, equipments, play, language and literature, act composition, <em>sabet </em>(<em>wayang’s </em>movements), time and settings of performance, musical element, stage, and custome players. Regarding these transformations in <em>wayang golek </em>performance, this article tends to study it with the title “The Structural Transformations of Sundanese <em>Wayang Golek </em>Performance”. Specifically, this article focuses on the development of Sundanese <em>wayang golek </em>performance art in Karawang. To study it, this research uses qualitative method. Furthermore, its analysis uses social structuration theory approach of Giddens’ structuration theory (1984). The transformations of structural elements in <em>wayang golek </em>performance refer not only to additional aspects but also to the aspects of decrement, broadening, constringency, accession or degradation in managing many elements which are part of performance structure of the Sundanese <em>wayang golek. </em>The roles and functions of Sundanese <em>wayang golek </em>performance art include not only as performance art and guidance but also as a creative medium to realize Sundanese <em>wayang golek </em>performance art as a cultural tourism attraction which is beneficial to increase people’s welfare.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Neode, Haris Candra, I. Gede Yosef Tjokropramono, and I. Dewa Putu Gede Budiarta. "Figures of Classic Kamasan Painting as Inspiration for the Creation of Modern Painting." CITA KARA : JURNAL PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI MURNI 3, no. 2 (October 28, 2023): 174–89. http://dx.doi.org/10.59997/ctkr.v3i2.2994.

Full text
Abstract:
The classic painting of Wayang Kamasan began when the Modara puppet painting, made by I Gede Mersadi was favored by the king of Klungkung. Then he was given the nickname Modara according to the puppet figure he painted. By king Klungkung Modara was sent to work on many projects so that his puppet painting style spread and until now it is known as Classical Painting Wayang Kamasan. The characteristic of this painting can be seen from the coloring technique that uses the sigar warna and sigar mangsi techniques. (Ni Wayan Sri Wedari, 2022:9). Broadly speaking, the forms of wayang can be distinguished through the shape of the face, body shape or abdomen and coils as well as detailed parts of the eyes, eyebrows, nose, mouth, mustache, and other detailed shapes. (I Made Yasana, Menggambar Wayang Klasik Bali 1). Gede Modara who created the Kamasan Wayang style inspired the author to create puppets with a new style through the figures in the Kamasan Classical Puppet. This creation process aims to preserve the Kamasan Classical Puppet and develop it into a modern painting without eliminating the existing packages. The paintings created are expected to be able to become the characteristics of the author.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Wicaksandita, I. Dewa Ketut, Hendra Santosa, and I. Ketut Sariada. "Konsep Dasa Paramartha pada Karakterisasi Tokoh Aji Dharma dalam Pertunjukan Wayang Tantri oleh I Wayan Wija." Dance and Theatre Review 3, no. 1 (October 19, 2020): 1. http://dx.doi.org/10.24821/dtr.v3i1.4415.

Full text
Abstract:
The Concept of Dasa Paramartha on the Characterization of Aji Dharma in a Wayang Tantri Performance by I Wayan Wija. Dasa Paramartha, as the teachings of dharma (goodness) in Hinduism, then becomes a material that is flexible enough to be displayed in broadcasting the meaning and value of ethical, moral, and social behavior education. Wayang Tantri, in the play of Sang Aji Dharma Kepastu presents the character of Prabu Aji Dharma with the characteristics trait displayed as a figure of dharma who later becomes a role model for Wayang Tantri audiences. This study aims to reveal the values of Dasa Parartha’s teachings in the characterization of Aji Dharma figures. The qualitative descriptive method with data collection in the form of observation, interviews, and study documentation of the Wayang Tantri video of Sang Aji Dharma Kepastu with a duration of approximately 2 hours, then analyzed by, The Aesthetic Pedalangan Theory supported by Semiotic Theory. The results of the research are the representation of the teachings of Dasa Parmartha, which is in the form of Tapa: physical and mental self-control; Bharata: curb lust; Samadhi: mental concentration on God; Santa: being calm and honest; Sanmata: aspiring and aiming towards goodness; Karuna: affection between living beings; Karuni: compassion for plants, goods and so on; Upeksa: being able to distinguish right from wrong, good and bad; Mudhita: trying to please others; and Maitri: eager to seek friendship based on mutual respect.Keywords: representation; Dasa Paramartha; Aji Dharma; Wayang Tantri
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Isa Pramana Koesoemadinata, Mohammad. "Visual Adaptation Of Wayang Characters In Teguh Santosa’s Comic Art." Mudra Jurnal Seni Budaya 33, no. 3 (September 30, 2018): 401. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v33i3.544.

Full text
Abstract:
Wayang tradition with its Indian epics of Mahabharata and Ramayana adaptations is the Indonesian high culture acknowledged by UNESCO since 2003. Its stories and characterizations has become philosophical, moral ethics and character learning for the young generations. Those Indian epics have acculturated in every aspect of theatrical and visual arts which are presented in shadow puppet theatre. As the part of traditional visual art, the visual aspect of wayang puppet consists of particular and systematic patterns (systems), in relation to role and characterization. In accordance with technological development, the famous epics of wayang are presented through popular modern media such as comic. Comic art is a popular media which adored by children and teenagers due to its visual narrative appeal. Many Indonesian comic artists such as Ardisoma, R.A. Kosasih, Oerip and Teguh Santosa adopt wayang epics through their own styles. The later artist, Teguh Santosa with his unique visual styles, has contributed color in wayang genre of Indonesian comic. Mostly, parallelities between Teguh’s style and the visual system of wayang role and characterization are detected. This paper discusses how visual adaptations of protagonists and antagonists wayang characters into Mahabharata comic series created by Teguh take place. Those visual adaptations are compared with the visual system of Javanese wayang puppetry, analyzed qualitative-descriptively with Sociology of Art and Aesthetical Morphology (Art Critic) methods. The results indicate that Teguh comprehends the essence of Javanese wayang’s visual aspect, since he adapted it with his own style yet still retains the visual system of Javanese wayang role and characterization.Tradisi Perwayangan dengan adaptasi wiracarita Mahabharata dan Ramayana adalah budaya adiluhung Indonesia yang sudah diakui UNESCO sejak 2003. Kisah-kisah dan penokohannya dijadikan model pembelajaran filsafat, etika moral dan karakter kepada generasi muda. Kisah-kisah tersebut mengalami akulturasi dalam berbagai aspek seni pertunjukan dan senirupa, di mana mereka disajikan dalam pertunjukan wayang kulit. Rupa boneka wayang kulit sendiri sebagai artefak senirupa tradisi memiliki pola yang khas dan sistematis, terkait dengan aspek perwatakan dan raut peranan tokoh. Seiring perkembangan zaman, kisah-kisah terkenal Perwayangan seperti Mahabharata dan Ramayana disajikan melalui media modern populer seperti komik. Komik adalah media populer yang lazim digemari anak-anak dan remaja karena memiliki daya tarik berupa narasi visual. Banyak komikus Indonesia mengadaptasi kisah perwayangan dengan gayanya masing-masing, seperti Ardisoma, R.A. Kosasih, Oerip, termasuk Teguh Santosa. Teguh Santosa (1942 – 2000) dengan kekhasan gaya visualnya telah memberikan nuansa tersendiri dalam komik indonesia khususnya genre perwayangan. Terlebih lagi penulis mendapati adanya kesejajaran pola visual antara gaya Teguh dengan pola rupa wayang kulit terkait perwatakan atau raut peranan tokoh. Tulisan ini mengkaji bagaimana adaptasi visual pada beberapa tokoh wayang protagonis dan antagonis dalam seri komik Mahabharata (1983-1985, 1986-1987) sisipan majalah Ananda dan terbitan Misurind karya Teguh Santosa. Adaptasi visual tersebut diperbandingkan dengan pola visual wayang kulit Jawa, dianalisis secara kualitatif-deskriptif, dengan pendekatan Sosiologi Seni dan Morfologi Estetik (Kritik Seni). Hasil analisis menunjukkan bahwa Teguh sebagai komikus memang memahami betul esensi rupa wayang Jawa, karena ia mengadaptasinya dalam komik dengan gaya visualnya sendiri namun tetap mempertahankan pola visual raut peranan dari wayang kulit Jawa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Lis, Marianna. "Murwakala – rytualny wayang." Pamiętnik Teatralny 65, no. 1/2 (June 30, 2016): 248–60. http://dx.doi.org/10.36744/pt.1971.

Full text
Abstract:
Tradycyjny jawajski teatr cieni, czyli wayang kulit, prawdopodobnie wywodzi się z animistycznych rytuałów prehistorycznej Jawy, zgodnie z przypuszczeniami kolonialnych badaczy na przełomie XIX i XX wieku. Według mitu opowiadającego o jego początkach pierwszym lalkarzem był bóg Wisnu, który zstąpił na ziemię jako dalang Kandhabuwana. Historia powstania wayangu opowiedziana w lakon Murwakala to także opowieść o narodzinach i życiu Kali, boga czasu i zniszczenia. Lakon wykonywany jest podczas rytuału ruwatan, który ma oczyścić poszczególnych ludzi lub całe społeczności, by przywrócić uniwersalną harmonię. Świat rzeczywisty i świat iluzji współistnieją w spektaklu, a dalang, poprzez obecność mitycznego dalanga Kandhabuwany na ekranie, gromadzi swoją moc, która umożliwi mu dokonanie ceremonialnego oczyszczenia widowni.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Sunardi, Sunardi. "Model Pertunjukan Wayang Sinema Lakon Dewa Ruci sebagai Wahana Pengembangan Wayang Indonesia." Gelar : Jurnal Seni Budaya 17, no. 2 (February 12, 2020): 140–50. http://dx.doi.org/10.33153/glr.v17i2.2748.

Full text
Abstract:
Artikel ini bertujuan mendeskripsikan model pertunjukan wayang sinema lakon Dewa Ruci sebagai wahana pengembangan wayang Indonesia. Model pertunjukan wayang sinema dikreasi untuk menjawab berbagai persoalan dunia pedalangan, yaitu minat generasi muda terhadap wayang menurun dan bahaya kepunahan seni pertunjukan wayang di Indonesia. Ada tiga permasalahan yang dikaji, yaitu: (1) bagaimana konsep dasar inovasi pertunjukan wayang sinema; (2) bagaimana struktur pertunjukan wayang sinema lakon Dewa Ruci; dan (3) mengapa model pertunjukan wayang sinema menjadi wahana pengembangan wayang Indonesia. Metode kajian yang digunakan adalah wawancara, studi pustaka, observasi, dan proses inovasi model pertunjukan wayang sinema. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) model pertunjukan wayang sinema didasarkan pada konsep bentuk, lakon, narasi, sabet, dan musik yang disusun dengan paradigma sinematografi; (2) bentuk pertunjukan wayang sinema merupakan perpaduan antara wayang kulit purwa yang dikemas dengan disiplin sinematografi sehingga berujud film wayang sinema; dan (3) model pertunjukan wayang sinema lakon Dewa Ruci menjadi model pengembangan wayang Indonesia dengan kandungan nilai budi pekerti dan kebaharuan bentuk pertunjukan sesuai perkembangan zaman.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Sunardi. "Sunardi KREASI DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN WAYANG SEBAGAI PENGUATAN PRE-ARTISTIC RESEARCH UNIVERSITY." PROSIDING: SENI, TEKNOLOGI, DAN MASYARAKAT 3 (February 17, 2021): 5–15. http://dx.doi.org/10.33153/semhas.v3i0.131.

Full text
Abstract:
Tulisan ini bertujuan memaparkan hasil kreasi dan inovasi seni pertunjukan wayang sebagai upaya penguatan pre-artistic research university di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Penelitian artistik menjadi penciri utama ISI Surakarta yang terejawantahkan dalam kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kreasi dan inovasi seni pertunjukan wayang sebagai bagian dari penelitian artistik perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Beberapa persoalan yang dibahas pada tulisan ini: (1) pentingnya roadmap penelitian seni pertunjukan wayang; (2) metode kreasi dan inovasi wayang sebagai salah satu model penelitian artistik; dan (3) hasil-hasil kreasi dan inovasi seni pertunjukan wayang sebagai penguatan pre-artistic research university. Roadmap penelitian wayang didasarkan pada problematika eksistensi wayang mulai menurun sehingga diperlukan kajian dan penciptaan wayang dalam berbagai jenis menuju pengembangan wayang Indonesia. Metode kreasi dan inovasi wayang dilakukan dengan eksplorasi, perancangan, proses kreasi-inovasi, dan presentasi karya seni wayang yang mencirikan metodologi penelitian artistik. Beberapa hasil kreasi dan inovasi meliputi wayang babad nusantara, wayang perjuangan, dan wayang sinema diharapkan menjadi penguat fase pre-artistic research university di ISI Surakarta. Kata kunci: kreasi, inovasi, pertunjukan wayang, penguatan, pre-artistic research university
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Sunardi, Kuwato, and Sudarsono. "Karya Cipta Pertunjukan Wayang Perjuangan Sebagai Penguatan Pendidikan Bela Negara." Mudra Jurnal Seni Budaya 33, no. 2 (May 9, 2018): 232. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v33i2.363.

Full text
Abstract:
Tulisan ini mengungkap tentang pertunjukan wayang perjuangan sebagai penguatan pendidikan bela negara bagi masyarakat Indonesia. Dua persoalan penting yang dibahas yakni: (1) bentuk karya cipta pertunjukan wayang perjuangan; dan (2) fungsi pertunjukan wayang perjuangan bagi masyarakat Indonesia. Bentuk karya cipta pertunjukan wayang perjuangan dikaji dengan konsep estetika wayang, adapun fungsi pertunjukan dikupas dengan teori fungsi kesenian. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa karya cipta pertunjukan wayang perjuangan dibangun berdasarkan beberapa unsur, di antaranya seniman, garap lakon wayang, dan boneka wayang. Pada sisi lain, pertunjukan wayang perjuangan memiliki fungsi sebagai penguatan pendidikan bela negara bagi masyarakat Indonesia.This paper reveals the wayang perjuangan performances as the strengthening of state defense education for the people of Indonesia. Two important issues are discussed, namely: (1) the form of wayang perjuangan performance; and (2) the function of wayang perjuangan for the Indonesian people. The form of wayang perjuangan studied with the aesthetic concept of wayang, while the performance function is analyzed with the theory of art function. The results of the discussion show that the works of wayang perjuangan are built based on several elements, among them artists, working on wayang plays, and puppets. On the other hand, the wayang perjuangan performance has a function as the strengthening of state defense education for the people of Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Darsa, Undang Ahmad, Elis Suryani Nani Sumarlina, and Rangga Saptya Mohamad Permana. "KETERKAITAN DALANG DAN LAKON WAYANG PURWA DALAM JEJAK-JEJAK ARKAISME." Jurnal Kajian Budaya dan Humaniora 4, no. 3 (October 7, 2022): 380–85. http://dx.doi.org/10.61296/jkbh.v4i3.73.

Full text
Abstract:
Salah satu seni pertunjukan klasik di kalangan masyarakat Sunda yang masih tetap eksis sampai hari ini adalah seni pertunjukan Wayang Golek. Selain Wayang Golek, pernah tercatat jenis-jenis pertunjukan wayang, seperti wayang bendo, wayang golek papak (cepak), wayang golek modern, wayang kulit, dan wayang topeng. Bahkan, ada jenis wayang yang sudah hampir tidak dikenal lagi di kalangan masyarakat Sunda ialah yang disebut Wayang Lilingong. Seseorang yang berprofesi memainkan pertunjukan para tokoh dalam lakon wayang disebut dalang. Adapun istilah dalang dimaksudkannya sebagai pencerita yang merangkum sebuah kisah yang bersumber dari sebuah otoritas. Dalam kaitan ini, karya yang ditampilkannya tidak saja indah tetapi memiliki otoritas sebagaimana dulunya dikisahkan oleh seorang dalang yang bijaksana dan suci.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Danaswara, I. Putu Gede Budhi, Ni Diah Purnamawati, and I. Ketut Sudiana. "Wayang Bondres Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Inovatif Cenk Blonk Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna." JURNAL DAMAR PEDALANGAN 2, no. 2 (October 31, 2022): 1–9. http://dx.doi.org/10.59997/dmr.v2i2.1859.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengangkat tiga pokok masalah yaitu : 1) Bagaimana bentuk wayang - Bondres dalam pertunjukan wayang kulit inovatif Cenk Blonk ? 2) Bagaimana fungsi wayang Bondres dalam pertunjukan wayang kulit inovatif Cenk Blonk ? 3) Bagaimana makna wayang Bondres dalam pertunjukan wayang kulit inovatif Cenk Blonk ? Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang wayang Bondres dalam pertunjukan Wayang Kulit Cenk Blonk yang merupakan suatu inovasi yang dilakukan oleh seniman dalang Cenk Blonk dengan memunculkan terobosan baru yaitu wayang Bondres yang merupakan salah satu pembaharuan dalam dunia seni pertunjukan wayang kulit khususnya wayang kulit inovatif sehingga wayang kulit inovatif sebagai seni yang popular. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif dengan menggunakan teori estetika. Metode-metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. Seluruh data diolah menggunakan teknik deskriptif.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Hartono, Pramaditya Hendi. "Perancangan Interactive Motion Graphic Tentang Wayang Beber Sebagai Sarana Pengenalan Budaya." MAVIS : Jurnal Desain Komunikasi Visual 1, no. 1 (March 21, 2019): 32–41. http://dx.doi.org/10.32664/mavis.v1i1.276.

Full text
Abstract:
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah-daerah tertentu di Pulau Jawa. Salah satunya adalah wayang beber di daerah Pacitan. Wayang beber Pacitan dimainkan oleh lima orang, empat orang memainkan alat musik yaitu rebab, kendang, kenong laras slendro, dan gong sedangkan satu orang bertindak sebagai dalang. Pertunjukan wayang beber dimulai dengan ritual kecil menggunakan bunga setaman, kemenyan, dan beberapa sesaji lainnya yang digunakan sebagai sarana memohon keselamatan kepada Tuhan. Cara yang dipakai dalam pertunjukan wayang beber, gambar wayang dipertunjukkan satu demi satu sampai selesai satu gulung, kemudian disusul gulungan berikutnya sampai cerita selesai. Dalam perkembangannya wayang beber Pacitan mengalami hambatan dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang apa itu wayang beber sehingga membuat wayang beber jarang dipertunjukkan. Agar wayang beber ini bisa dikenal oleh masyarakat luas, maka dibutuhkan suatu cara yang menarik agar masyarakat tertarik. Sebagai langkah awal untuk mengenalkan wayang ini adalah dengan cara membuat video dalam bentuk interactive motion graphic yang mencakup 3 hal untuk mengenalkan wayang tersebut yakni penjelasan apa itu wayang beber, tokoh-tokoh dalam wayang beber dan cerita wayang beber. Tujuan dari pembuatan interactive motion graphic adalah mengenalkan wayang beber Pacitan kepada generasi muda melalui media yang sering dilihat oleh anak muda. Hasil akhir dari perancangan ini adalah berupa 3 video yaitu motion graphic pengenalan wayang beber Pacitan, motion graphic tokoh-tokoh wayang beber Pacitan, dan motion graphic cerita wayang beber Pacitan. Ketiga video tersebut akan disebarkan melalui situs streaming video di internet yaitu youtube.com dengan kata kunci ‘Interactive Motion Graphic – WayangBeberPacitan’ atau link https://youtu.be/niWdK1if09k. Dengan sebuah interactive motion graphic mengenai wayang beber yang ditujukan untuk generasi muda, diharapkan bisa membuat generasi muda menjadi tertarik dengan budaya dan konten lokal. Melalui motion graphic ini, selain dapat mengenalkan wayang beber kepada generasi muda, sangat memungkinkan untuk membuat konten kreatif lainnya seperti film atau game yang diadaptasi dari wayang beber Pacitan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Bolz, Jody. "Wayang." Women's Review of Books 17, no. 12 (September 2000): 21. http://dx.doi.org/10.2307/4023556.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Muhammad Iqbal, Gusti. "Pertunjukan Wayang Potehi Dan Wayang Daun Sebagai Media Dalam Pembentukan Karakter Budaya Lisan Depok Jawa Barat." Jurnal Locus Penelitian dan Pengabdian 2, no. 3 (March 26, 2023): 271–89. http://dx.doi.org/10.58344/locus.v2i3.930.

Full text
Abstract:
Penelitian ini membahas mengenai pertunjukkan wayang potehi dan wayang daun sebagai media dalam pembentukan karakter budaya lisan Depok Jawa Barat. Dalam penelitian ini membahas mengenai wayang potehi dan wayang daun yang merupakan kedua kebudayaan yang mampu bertahan di era globalisasi masa sekarang ini sebagai sesuatu yang digandrungi di masa perannya kedua wayang sangat menentukan bagaimana jiwa masyarakat Depok itu sendiri. Perayaan pecinaan atau hari besar orang Tionghoa menjadi tonggak sejarah setelah sebelumnya tidak diperbolehkan untuk dipertunjukkan. Kegiatan pelarangan yang massive menyebabkan mereka kehilangan rasa dan karsa dalam jiwa pemain wayang orang tersebut. Berbeda halnya dengan wayang daun sendiri hadir karena adanya inovasi dari wayang-wayang sebelumnya, hal ini merupakan hal baru yang ada di dalam dunia pewayangan karena terbuat dari daun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yakni menggunakan hasil data berupa buku, jurnal, artikel, internet dan bahkan pula melakukan wawancara di lapangan penelitian. Data yang diperoleh dari lapangan penelitian kemudian disajikan dengan apa adanya sehingga data yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan lapangan penelitian. Dengan metode tersebut diharapkan mampu menjawab rumusan masalah yang telah disusun yakni 1) Mengapa wayang potehi dan wayang daun tetap eksis hingga saat ini ? 2) Bagaimana peranan masyarakat dan komunitas pecinta wayang dalam melestarikan wayang potehi dan wayang daun ? 3) Apa implikasi yang diperoleh dari kedua wayang tersebut ?. Dengan adanya pertanyaan tersebut mampu memberikan jawaban yang efesien dalam membahas wayang potehi dan wayang daun terutama dalam eksistensi kedua wayang tersebut dan pembentukan karakter melalui budaya lisan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Junaidi, Junaidi, Bayu Aji Suseno, and Abdul Aziz. "Wayang untuk Dalang Multi Level Usia Sebagai Wahana Pelestarian Seni Tradisional." Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial 2, no. 1 (November 12, 2018): 20–35. http://dx.doi.org/10.22219/satwika.v2i1.7019.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan wayang tradisi melalui dalang berbagai usia. Wayang tradisi bersifat mono level dan diformat untuk dalang laki-laki dewasa, sehingga kurang sesuai dengan dalang multi level usia. Mengapa model wayang format multi usia dapat dijadikan sebagai wahana pelestarian wayang tradisional? Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh melalui perancangan model wayang berukuran fisik dan jiwa dalang berbagai level usia. Metode eksperimen digunakan untuk menciptakan wayang multi format, sedangkan pembahasannya berdasarkan teori struktur. Lima macam format boneka wayang kulit purwa dapat dihasilkan untuk diterapkan kepada dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa, yaitu: (1) Wayang kaper, untuk dalang tingat anak-anak; (2) Wayang kidangkencanan untuk dalang tingkat anak; (3) Wayang jaranan, untuk dalang tingkat remaja awal; (4) Wayang banthèngan, untuk dalang tingkat remaja akhir; dan (5) Wayang gajahan, untuk dalang tingkat dewasa. Kelima jenis wayang ini dapat dipakai sebagai wahana untuk pelestarian seni tradisional, karena memiliki kesesuaian format fisik dan jiwanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Junaidi, Junaidi, Bayu Aji Suseno, and Abdul Aziz. "Wayang untuk Dalang Multi Level Usia Sebagai Wahana Pelestarian Seni Tradisional." JURNAL SATWIKA 2, no. 1 (November 12, 2018): 20. http://dx.doi.org/10.22219/js.v2i1.7019.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan wayang tradisi melalui dalang berbagai usia. Wayang tradisi bersifat mono level dan diformat untuk dalang laki-laki dewasa, sehingga kurang sesuai dengan dalang multi level usia. Mengapa model wayang format multi usia dapat dijadikan sebagai wahana pelestarian wayang tradisional? Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh melalui perancangan model wayang berukuran fisik dan jiwa dalang berbagai level usia. Metode eksperimen digunakan untuk menciptakan wayang multi format, sedangkan pembahasannya berdasarkan teori struktur. Lima macam format boneka wayang kulit purwa dapat dihasilkan untuk diterapkan kepada dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa, yaitu: (1) Wayang kaper, untuk dalang tingat anak-anak; (2) Wayang kidangkencanan untuk dalang tingkat anak; (3) Wayang jaranan, untuk dalang tingkat remaja awal; (4) Wayang banthèngan, untuk dalang tingkat remaja akhir; dan (5) Wayang gajahan, untuk dalang tingkat dewasa. Kelima jenis wayang ini dapat dipakai sebagai wahana untuk pelestarian seni tradisional, karena memiliki kesesuaian format fisik dan jiwanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Junaidi, Junaidi, Bayu Aji Suseno, and Abdul Aziz. "Wayang untuk Dalang Multi Level Usia Sebagai Wahana Pelestarian Seni Tradisional." JURNAL SATWIKA 2, no. 1 (November 12, 2018): 20. http://dx.doi.org/10.22219/satwika.vol2.no1.20-35.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan wayang tradisi melalui dalang berbagai usia. Wayang tradisi bersifat mono level dan diformat untuk dalang laki-laki dewasa, sehingga kurang sesuai dengan dalang multi level usia. Mengapa model wayang format multi usia dapat dijadikan sebagai wahana pelestarian wayang tradisional? Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh melalui perancangan model wayang berukuran fisik dan jiwa dalang berbagai level usia. Metode eksperimen digunakan untuk menciptakan wayang multi format, sedangkan pembahasannya berdasarkan teori struktur. Lima macam format boneka wayang kulit purwa dapat dihasilkan untuk diterapkan kepada dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa, yaitu: (1) Wayang kaper, untuk dalang tingat anak-anak; (2) Wayang kidangkencanan untuk dalang tingkat anak; (3) Wayang jaranan, untuk dalang tingkat remaja awal; (4) Wayang banthèngan, untuk dalang tingkat remaja akhir; dan (5) Wayang gajahan, untuk dalang tingkat dewasa. Kelima jenis wayang ini dapat dipakai sebagai wahana untuk pelestarian seni tradisional, karena memiliki kesesuaian format fisik dan jiwanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Ramadhani, Celine Nadya, and Fauzi Rahman. "Desain Buku Informasi Wayang Ukur sebagai Wujud Pembaharuan Seni Pewayangan Yogyakarta." Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya 1, no. 02 (January 3, 2019): 117–22. http://dx.doi.org/10.30998/vh.v1i02.25.

Full text
Abstract:
Wayang merupakan suatu produk budaya Indonesia yang kini semakin kurang diminati oleh masyarakat karena pakem wayang yang ada dianggap terlalu kaku, baik dari segi tata bahasa yang digunakan maupun lamanya durasi pertunjukan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keadaan zaman. Untuk mengatasi hal tersebut maka para seniman wayang berkreasi dan menciptakan wayang jenis baru, salah satunya adalah Wayang Ukur. Wayang Ukur merupakan wayang kulit inovasi baru yang diciptakan oleh Ki Sigit Sukasman. Inovasi yang dilakukan tidak hanya dari segi bentuk tetapi juga mencangkup seni pertunjukannya. Demi melestarikan Wayang Ukur agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat, maka diperlukannya sebuah media berupa buku informasi yang dapat menampung segala informasi mengenai Wayang Ukur sehingga mempermudah masyarakat, terutama yang tertarik dengan kesenian, budaya, maupun dengan wayang ukur itu sendiri dapat mendapatkan informasi yang lengkap mengenai wayang ukur.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Swara, I. Wayan Kembalyana Budi, and Dru Hendro. "Gerak Wantah Dan Gerak Maknawi Pada Pertunjukan Wayang Ental 3 Dimensi Karya Dalang I Gusti Made Darma Putra." JURNAL DAMAR PEDALANGAN 3, no. 2 (October 26, 2023): 10–15. http://dx.doi.org/10.59997/dmr.v3i2.2847.

Full text
Abstract:
Wayang adalah seni pertunjukan tradisional Indonesia yang telah ada selama berabad-abad. Seni wayang ini biasanya dipentaskan dengan memanipulasi boneka kayu atau kulit yang diproyeksikan padalayar putih menggunakan sinar lampu, disertai dengan dialog yang diucapkan oleh dalang. Wayang ental adalah salah satu bentuk seni wayang yang dibuat oleh Dalang Dr. I Gusti Made Darma Putra.S.Sn.,M.Sn . Wayang ental menggunakan boneka berbahan dasar ental yang dikarakterisasikan dengan bentuk menyerupai manusia. Boneka-boneka tersebut kemudian dipakai oleh dalang untuk memerankan cerita dengan teknik manipulasi yang sangat dinamis. Salah satu hal yang membedakan wayang ental dengan seni wayang lainnya adalah penggerakan dari wayang tersebut yang dimana caramenggerakan wayang itu dengan setiap wayang akan digerakan atau dimainkan oleh satu orang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Dhiaulhaq, Brian Muhammad, and Wiwik Dwi Susanti. "KAJIAN TIPOLOGI FASAD MUSEUM WAYANG KEKAYON YOGYAKARTA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR VERNAKULAR JAWA TENGAH." BORDER 2, no. 2 (June 10, 2021): 117–28. http://dx.doi.org/10.33005/border.v2i2.77.

Full text
Abstract:
Museum Wayang Kekayon Yogyakarta adalah suatu tempat atau fasilitas untuk memamerkan jenis dan bentuk wayang dari berbagai daerah baik dari dalam negeri maupun dalam negeri, seperti wayang kulit, wayang golek, wayang klitik, wayang kaper, wayang beber, wayang potehi, lukisan, gamelan dan peralatan pewayangan lainnya. Museum Wayang Kekayon Yogyakarta terdapat beberapa suatu kegiatan yang bisa diikuti oleh para pengunjung yang datang, seperti halnya kegiatan workshop pembuatan wayang, menonton film dan pertunjukan atau pagelaran wayang. Desain dari sebuah bangunan Museum Wayang Kekayon Yogyakarta terutama pada desain fasad yang memiliki peranan penting dalam sebuah bangunan. Fasad sendiri berfungsi sebagai menilai suatu bangunan menggunakan konsep seperti apa tanpa harus memasuki bangunan tersebut. Melalui metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan keadaan objek Museum Wayang Kekayon Yogyakarta berdasarkan fakta yang tampak dan apa adanya. Penjelasan fasad menggunakan Arsitektur Vernakular Jawa Tengah yang dipadukan dengan teori arsitektur vernakular secara umum dan dipadukan dengan aspek yang ada di arsitektur vernakular. Dari hasil penelitian yang diambil didapatkan beberapa kesimpulan bahwasannya konsep fasad yang terdapat pada Museum Wayang Kekayon Yogyakarta memiliki konsep yang mengandung unsur vernakular Jawa Tengah dengan dominan penggunaan atap yang menyerupai bentuk Joglo.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Pudjastawa, Astrid Wangsagirindra, and Yudit Perdananto. "Penciptaan Wayang Rai Topeng: Upaya Menggagas Wahana Cerita Nusantara." Jurnal Pendidikan dan Penciptaan Seni 3, no. 2 (November 28, 2023): 70–80. http://dx.doi.org/10.34007/jipsi.v3i2.334.

Full text
Abstract:
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep dasar penciptaan wayang kulit rai topeng yang dapat dimainkan sebagai alternative perkembangan wayang di Indonesia. Wayang Rai Topeng adalah pertunjukan wayang yang inovatif dengan pendekatan adaptasi kekayaan ragam topeng di Nusantara sebagai upaya menjadikannya media yang dapat digunakan untuk menceritakan kekayaan cerita di Nusantara. Permasalah yang diteliti adalah: (1) apa yang melatarbelakangi terciptanya wayang rai topeng; dan (2) bagaimana konsep dan struktur dasar pementasan wayang rai topeng. Kajian dilakukan dengan menerapkan metode penciptaan seni, yaitu eksplorasi, desain, kreasi dan presentasi. Hasil penelitian menujukkan bahwa: pertama, penciptaan wayang rai topeng dilatarbelakangi oleh menurunnya minat generasi muda terhadap wayang. Kehidupan wayang terpinggirkan, merespons tantangan zaman yaitu era industry 4.0, dan sebagai lanjutan dari eksperimen pertunjukan wayang. Kedua, konsep dasar karakter wayang rai topeng adalah menekankan pada cerita Panji dimana cerita tersebut menggambarkan Panji yang berkeliling Nusantara sehingga memungkinkan munculnya keragaman budaya yang ada. Ketiga, model pertunjukan Wayang Rai Topeng mengadaptasi pertunjukan pendongeng keliling yang menekankan penggambaran wayang sebagai suatu media yang dapat digunakan dimana saja, dan kapan saja.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

aqrobah, lutfi, Risma Margaretha Sinaga, and Aprilia Triaristina. "Kesenian wayang Sekelik sebagai Media Ekspresi Seni Pertunjukan Multikultur Di Lampung Tengah (Kajian Wayang Sekelik)." Journal of Social Education 3, no. 2 (November 22, 2022): 143–51. http://dx.doi.org/10.23960/jips/v3i2.143-151.

Full text
Abstract:
Kesenian wayang adalah salah satu seni pertunjukan rakyat yang masih banyak penggemarnya hingga saat ini. Pertunjukan wayang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggerakkan tokoh-tokoh pewayangan yang dipilih sesuai dengan cerita yang di bawakan. Kesenian Wayang Sekelik merupakan salah satu Wayang hasil dari adaptasi jenis Wayang Kulit Jawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Kesenian Wayang Sekelik sebagai Media Ekspresi Seni Pertunjukan Multikultur di Lampung Tengah dengan mengumpulkan data dari beberapa informan. Penelitian ini dibuat dengan metode deskriptif dengan data kualitatif. Hasil analisis dari wawancara yang telah penulis lakukan dengan informan yaitu, Wayang Sekelik merupakan suatu bentuk ekspresi dari seni pertunjukan, yang dimaksud ekspresi disini adalah alternatif penyampaian budaya atau mengekspresikan budaya kepada masyarakat Lampung Tengah yang multikultur dengan menggunakan media Wayang Lampung yaitu Wayang Sekelik, yang bentuknya berupa Sastra Lampung, Musik Lampung, Ornamen Lampung serta Tarian Lampung. Wayang Sekelik merupakan pertunjukan seni yang muncul dan di tampilkan dalam pertunjukan yang mana terdapat beberapa komponen meliputi Wayang Kulit, Wayang Orang, Sastra, Musik serta tari-tarian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Devi, Putu Durga Laksmi, Ni Made Purnami Utami, and I. Wayan Sujana. "Transformation Of The Visual Motifs Of The Kamasan Puppets Into Figurative Characters." CITA KARA : JURNAL PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI MURNI 4, no. 1 (April 26, 2024): 40–48. http://dx.doi.org/10.59997/ctkr.v4i1.3634.

Full text
Abstract:
This thesis contains a description of the creation of a work of painting with the theme "Transformation of Visual Motifs of Wayang Kamasan into Figurative Figures" which was inspired by the motifs of Wayang Kamasan paintings on the ceiling of Kertagosa Hall, Klungkung, Bali. The Wayang Kamasan characters already have rules or 'standards' that must be preserved, but for the author when observing the decorative motifs of the Wayang Kamasan characters from the coils to the clothes, it provokes subconscious associations which actually give rise to their own figurative characters. Then deformation and stylization of motifs will be carried out to create imaginary results from icons in order to create figurative character symbols in the style of the author. For this reason, research was carried out to obtain assessment data using four theories, namely Carl Gustav Jung's archetype theory, Janques Lacan's imaginary theory, Susanne K. Langer's symbolic theory and A.A.M.'s aesthetic theory. Djelantik to explain this thesis. The author also uses two creation methods as inspiration originating from the 6 (six) stages of Mr. I Made Wiradana's work and the Mobile Art Labortory (MAL) which provides a Blueprint process for ideas and the formation of Mr. I Wayan Sujana's work 'Suklu'. The author obtained the results of the creation of the deformation and stylization of Wayang Kamasan motifs into figurative figures in the form of paintings using various techniques and media by considering the elements and principles of fine art. From the theme above, there are 6 (six) works that have been realized with narratives originating from the connection between the author's experiences and the side of humanism.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Andini, Yazida Ichsan, Fita Triyana, and Khalidah Fitri. "Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Kesenian Wayang." JURNAL PUSAKA 10, no. 1 (June 27, 2021): 1–12. http://dx.doi.org/10.35897/ps.v10i1.539.

Full text
Abstract:
Kesenian Wayang Kulit sangat penting dilestarikan mengingat banyaknya nilai kehidupan yang ada dalam Wayang Kulit. Nilai-nilai pendidikan Islam juga dapat ditemukan dalam kesenian Wayang Kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang ada dalam kesenian Wayang Kulit dan peran generasi muda dalam melestarikan Wayang Kulit tersebut. Penelitian tentang nilai pendidikan Islam dalam Wayang Kulit ini dilakukan dengan metode studi pustaka. Sejatinya, Wayang Kulit masih lestari hingga kini, namun persoalannya adalah fakta bahwa generasi muda tidak dibangun untuk turut melestarikan Wayang Kulit. Selain itu, nilai-nilai Islam masyarakat Indonesia dapat ditemukan dalam jiwa Wayang Kulit, seperti dalam kisah epik Ramayana dan Mahabharata. Wayang Kulit, akhirnya, bukan seni dengan tujuan menghibur semata, namun perannya dapat dimainkan sebagai metode pendidikan. Hal itu karena dalam kisah Wayang Kulit sendiri terdapat nilai-nilai kebaikan, moral, dan etika.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Sapriawan, I. Putu Pande, I. Gusti Ngurah Gumana Putra, and I. Ketut Kodi. "Teater Pakeliran Inovatif “Cupak Gandrung Sorga”." JURNAL DAMAR PEDALANGAN 3, no. 1 (April 16, 2023): 56–64. http://dx.doi.org/10.59997/dmr.v3i1.2294.

Full text
Abstract:
Eksistensi Wayang Cupak selalu mengalami penurunan, sehingga membuat penggarap tertarik untuk ikut melestarikan dan mengembangkan Wayang Cupak. Keberadaan wayang kulit pada saat ini sudah mulai dikesampingkan bahkan hampir terlupakan oleh masyarakat peminatnya, walaupun dari segi fungsi wayang kulit memang dibutuhkan untuk pengiring atau wali dari keagamaan, namun dari segi hiburan wayang kulit saat ini kurang diminati. Tidak dipungkiri hal tersebut terjadi karena munculnya beberapa teknologi komunikasi seperti televisi dan bioskop yang lebih digemari oleh masyarakat masa kini. Berangkat dari hal tersebut para seniman, khususnya seniman dalang dituntut membuat suatu pembaharuan atau inovasi-inovasi baru dalam seni pewayangan agar dapat ikut bersaing di masa kini. Oleh karena masa kini adalah masa yang semuanya harus ada pembaharuan, sebagaimana zaman teknologi modern, atau juga disebut zaman pembaharuan. Seiring perkembangan zaman, para dalang yang inovatif dan kreatif memunculkan banyak kreasi-kreasi wayang baru seperti Wayang Calonarang, Wayang Babad, Wayang Rareangon, Wayang Tantri, dan Wayang Arja, Wayang Cupak, namun banyak di antara wayang-wayang kreasi tersebut tidak begitu bertahan lama. Penggarap menggarap Wayang Cupak dalam nuansa Teater yang berjudul “Cupak Suarga”, yang di maksud Teater adalah memasukkan Wayang Cupak ke dalam pertunjukan drama tari dan dipadukan dengan wayang, menggunakan sumber pencahayaan LCD Proyektor dengan Scenerry lighting dan penggunaan musik gamelan Bali. Dalam garapan ini pastinya menggunakan metode untuk proses penggarapan yang lebih sistematis, metode yang penggarap gunakan adalah metode yang diajukan oleh Prof. M. Alma Hawkins, yaitu: a. Tahapan Ekploration (Eksplorasi), b. Tahapan Improvisasi (Percobaan), c. Tahapan Forming (Pembentukan). Penggarap berharap dengan diwujudkannya garapan ini mampu menjadi pemantik untuk para dalang, terutama dalang muda agar dapat ikut serta melestarikan Wayang Cupak depannya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Jb., Masroer Ch. "SPIRITUALITAS ISLAM DALAM BUDAYA WAYANG KULIT MASYARAKAT JAWA DAN SUNDA." Jurnal Sosiologi Agama 9, no. 1 (March 17, 2017): 38. http://dx.doi.org/10.14421/jsa.2015.091-03.

Full text
Abstract:
Wayang kulit merupakan bentuk seni dan kebudayaan tertua di pulau Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Seni wayang kulit pada mulanya merupakan pemujaan agama lokal yang memiliki dimensi spiritualitas yang bertemu dengan estetika budaya. Dimensi spiritualitas wayang kulit terkait dengan pelaku dari kesenian itu, terutama masyarakat yang melahirkan kebudayaan wayang, yaitu seniman dan penikmat wayang. Kedudukan sosial keagamaan seniman dan penikmat wayang sangat berpengaruh dalam corak pertunjukan wayang kulit. Di Jawa, wayang kulit memiliki spiritualitas Islam yang bertemu dengan budaya Kejawen, sehingga keislaman yang diekspresikannya masuk ke dalam kebudayaan “asli” Jawa, melahirkan spiritualitas keislaman yang heterodok. Berbeda dengan wayang kulit di masyarakat Sunda, yang menonjolkan nuansa keislamannya dalam mengeskpresikan spiritualitas wayang kulit baik dalam simbol maupun isi.Hal ini ditunjukkan dari model-model wayang kulit yang dibuatnya yang mengalami improvisasi dan kombinasi dengan budaya Arab dimana tempat agama Islam itu berasal, seperti pakaian sorban Arab pada tokoh wayang, dan munculnya kelompok Punokawanan yang terdiri dari sembilan wali yang mencerminkan sembilan tokoh penyebar agama Islam. Selain itu, ekspresi spiritualitas wayang kulit di Sunda lebih kepada filosofi dan spiritualitas Islam yang berbasis pada ortodoksi agama yang membawa pesan etika dan sosialita secara simbolis. Kata Kuci : Wayang Kulit, Spiritualitas Islam, Simbol Etika dan Estetika.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Pratama, Andyka Candra. "Phenomenological study of teenagers wayang fans." Jurnal Sosiologi Dialektika 18, no. 2 (December 29, 2023): 175–88. http://dx.doi.org/10.20473/jsd.v18i2.2023.175-188.

Full text
Abstract:
Recently, there has been a phenomenon of the existence of wayang fan groups as traditional art among teenagers, which is an element supporting the existence of wayang in the postmodern era. The purpose of this study is to explore the meaning of wayang and the activities of wayang art fans among teenagers. This study used a phenomenological approach by conducting interviews as a data search technique to seven teenager members of Sanggar BALADEWA. The results showed that: (1) the identity of wayang art fans was formed from the background as a ‘puppeteer family’ and a ‘fan family’ which created differences in meaning in wayang; (2) wayang fans are divided into active fans and passive fans as seen from their activities in Sanggar BALADEWA as a wayang fandom; (3) the existence of wayang for wayang art fans has shifted its function as entertainment due to mass production through digital platforms; (4) Teenagers who are fans of wayang not only have collections related to wayang, but also become ‘dalang muda’ as a form of wayang performance production. This study concludes that the art of wayang can adapt to the conditions of the times and there is also a shift in the function of religion to become an entertainment function that contains commercial practices.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Qeis, Muhammad Iqbal, Santi Sidhartani, Agung Zainal Muttakin Raden, and Dendi Pratama. "Pelatihan Membuat Hiasan Dinding Kepala Wayang Golek Berbahan Resin di UKM Golek Waris Desa Tegalwaru." Dharma Raflesia : Jurnal Ilmiah Pengembangan dan Penerapan IPTEKS 20, no. 1 (June 28, 2022): 199–211. http://dx.doi.org/10.33369/dr.v20i1.19263.

Full text
Abstract:
Wayang golek identik dengan boneka yang terbuat dari kayu, memakai pakaian lengkap, dan beberapa tokoh memiliki mahkota atau ukiran yang unik. Ukiran pada kepala wayang golek menjadi ciri khas dan identitas tokoh wayang tersebut. Pengrajin wayang golek akan langsung mengukir kepala wayang golek sesuai dengan karakter yang akan dibuatnya. Karya yang dibuat memiliki nilai estetika. Kendala yang dihadapi adalah hanya pengrajin saja yang dapat membuat kepala wayang golek, dilain sisi kurangnya minat generasi muda dalam mempelajari pembuatan wayang golek. Program Pengabdian Kepada Masyarakat dilakukan untuk menarik minat generasi muda dalam mempelajari seni tradisi Indonesia melalui kegiatan pelatihan pembuatan hiasan dinding kepala wayang golek. Teknik yang dilakukan adalah dengan membuat cetakan wayang golek dari silicone rubber, sehingga wayang golek yang dihasilkan bukan lagi berbahan kayu, melainkan berbahan resin dan campuran kalsium. Hiasan dinding wayang golek berbahan resin ini dapat diproduksi secara massal sehingga produksi dapat terpenuhi dengan jumlah yang banyak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Satryowibowo, Dony. "SENIRUPA WAYANG KULIT DAN PERKEMBANGANNYA." Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain 9, no. 1 (February 1, 2012): 35–57. http://dx.doi.org/10.25105/dim.v9i1.955.

Full text
Abstract:
AbstractWayang or shadow pippet is a tradional art that exists in SOutheast Asia. According to research experts, teh world 'wayang' was derived from the Javanese language, which means 'shadow' . Wayang involved with various domains of art. The development of Javanese wayang art produced detailed and complex beauty. wayang is used to express differnt things. Through ages, wayang had embodied the flow of ideas in the form of images. AbstrakWayang adalah kesenian yang hidup di Asia Tenggara . Menurut penelitian para ahli, 'wayang ' berasal dari bahasa Jawa yang bebarti ' bayang-bayang'. Budaya wayang melibatkan berbagai ranah seni, terutama seni rupa. Perkembangan senirupa wayang Jawa, menghasilkan keindahan yang detail dan kompleks. Seni rupa wayang dipakai untuk mengekspresikan berbagai hal. Pada tiap zamannya senirupa wayang menampilkan aliran gaya seni untuk mewujudkan gagasan dalam bentuk gambar
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Sri Martini. "Tradisi Bersih Desa Putukrejo Nganjuk Jawa Timur melalui Kearifan Lokal Wayang Timplong." Jurnal Spatial Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi 23, no. 2 (March 30, 2023): 9–19. http://dx.doi.org/10.21009/spatial.231.10.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan mengkaji tentang Pertunjukan Wayang Timplong dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Putukrejo, Nganjuk Jawa Timur Tahun. Wayang Timplong merupakan kesenian tradisional khas Nganjuk, Jawa Timur. Wayang Timplong memiliki keunikan diantaranya; terbuat dari kayu yang ditatah hingga pipih dengan pahatan membentuk wajah dan ornamen lainnya yang diberi warna. Pertunjukan Wayang Timplong tidak memerlukan bayangan dikarenakan bentuk wayang sudah tergambar jelas sehingga pertunjukan wayang dapat digelar pada pagi, siang, sore atau malam hari. Wayang Timplong pada masa kejayaannya biasa digunakan masyarakat dalam berbagai acara diantaranya; pernikahan, khitanan, syukuran, tradisi bersih desa, ruwatan dan nandar. Seiring perkembangan jaman Wayang Timplong mulai ditinggalkan masyarakat dan hingga saat ini hanya acara-acara tertentu yang masih bertahan menggunakan Wayang Timplong seperti; tradisi bersih desa, ruwatan dan nandar karena berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang diturunkan oleh nenek moyang melalui sebuah tradisi bahwa Wayang Timplong mampu menghalau segala macam bencana pada suatu desa. Wayang Timplong mengandung nilai-nilai kehidupan dan pendidikan karakter yang digambarkan melalui cerita yang bertemakan Panji.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Sri Martini. "Tradisi Bersih Desa Putukrejo Nganjuk Jawa Timur melalui Kearifan Lokal Wayang Timplong." Jurnal Spatial Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi 23, no. 2 (March 30, 2023): 103–13. http://dx.doi.org/10.21009/spatial.232.002.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan mengkaji tentang Pertunjukan Wayang Timplong dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Putukrejo, Nganjuk Jawa Timur Tahun. Wayang Timplong merupakan kesenian tradisional khas Nganjuk, Jawa Timur. Wayang Timplong memiliki keunikan diantaranya; terbuat dari kayu yang ditatah hingga pipih dengan pahatan membentuk wajah dan ornamen lainnya yang diberi warna. Pertunjukan Wayang Timplong tidak memerlukan bayangan dikarenakan bentuk wayang sudah tergambar jelas sehingga pertunjukan wayang dapat digelar pada pagi, siang, sore atau malam hari. Wayang Timplong pada masa kejayaannya biasa digunakan masyarakat dalam berbagai acara diantaranya; pernikahan, khitanan, syukuran, tradisi bersih desa, ruwatan dan nandar. Seiring perkembangan jaman Wayang Timplong mulai ditinggalkan masyarakat dan hingga saat ini hanya acara-acara tertentu yang masih bertahan menggunakan Wayang Timplong seperti; tradisi bersih desa, ruwatan dan nandar karena berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang diturunkan oleh nenek moyang melalui sebuah tradisi bahwa Wayang Timplong mampu menghalau segala macam bencana pada suatu desa. Wayang Timplong mengandung nilai-nilai kehidupan dan pendidikan karakter yang digambarkan melalui cerita yang bertemakan Panji.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Nur Awalin, Fatkur Rohman. "SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN FUNGSI WAYANG DALAM MASYARAKAT." Kebudayaan 13, no. 1 (March 25, 2019): 77–89. http://dx.doi.org/10.24832/jk.v13i1.234.

Full text
Abstract:
AbstractWayang art performance that develops in Java is a traditional performing art that is able to survive and adapt to all aspects of its changes. The issue of this research is to know, how does the history of development and change of wayang function in society? The development of wayang art performance is influenced by social conditions, which affect the change of function of wayang art performance. The objective of the research is to explain the history of development and change of wayang function in society.This study uses descriptive method, with the support of literature review and observation on wayang performance. The results show that the history of wayang development is conceptually a combination of several cultural elements that enter in Indonesia (Java), namely Indian culture with Hindu-Buddhism and Islam with sufism. Indicator of changes in wayang function in the community is the change of pakeliran wayang as an industry tomeet the entertainment market. Changes in ritual function can be seen from the waning of guidance or moral values in wayang, so its has only entertainment or spectacle functions and as a popular performances.AbstrakSeni pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa merupakan kesenian tradisonal yang mampu bertahan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan segala aspek perubahan-perubahannya. Masalah dalam penelitian ini adalah mengkaji mengenai bagaimana sejarah perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat? Perkembangan seni pertunjukan wayang dipengaruhi oleh kondisi sosial, yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi seni pertunjukan wayang.Tujuannya adalah menjelaskan sejarah perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dengan dukungan kajian pustaka dan pengamatan (observasi) terhadap pergelaran wayang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejarah perkembangan wayang secara konseptual merupakan perpaduan dari beberapa unsur kebudayaan yang masuk di Indonesia (Jawa), yakni kebudayaan India dengan Agama Hindu-Buddha dan Islam dengan tasawufnya. Indikator perubahan fungsi wayang dalam masyarakat adalah perubahan pakeliran dalam wayang sebagai industri untuk memenuhi pasar hiburan. Perubahan fungsi ritual dapat dilihat dari memudarnya nilai-nilai tuntunan atau moral dalam wayang, sehingga wayang hanya mempunyai fungsi hiburan atau tontonan dan sebagai pertunjukan populer.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Sumawinata, Shiska, Toto Suryana, and Ganjar Eka Subakti. "Wayang as a Media for Spreading Islam in the Archipelago." El Tarikh : Journal of History, Culture and Islamic Civilization 3, no. 2 (November 30, 2022): 96–111. http://dx.doi.org/10.24042/jhcc.v3i2.8927.

Full text
Abstract:
This article contains a discussion of the history of the spread of Islam through wayang art that developed in Nusantara. The writing of this article aims to explain the early arrival of Islam to Nusantara, the origin of wayang as a medium for the spread of Islam, to the role of wayang in the spread of Islam. In the preparation of this article, the author uses the literature study method to find and collect various relevant sources. Regarding wayang art, there are various Islamic religious values that can be found from wayang. The use of wayang as a medium for spreading Islam is thought to be inseparable from the initial position of wayang as an artistic performance used to spread religious, philosophical, and ethical teachings to humans. In addition, at that time wayang were also very popular with the public. The role of wayang in the spread of Islam is so important and this cannot be separated from the role of Wali Songo. Among them there are Sunan Giri, Sunan Kalijaga, and Sunan Bonang who preach using modified wayang as their medium. Both in terms of form and wayang stories have been adapted to Islamic teachings. When wayang has been adapted to Islamic teachings, people continue to like the art of wayang performed and can accept Islamic teachings easily. Keywords: Spread of Islam, Wali Songo, Wayang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Prasetya, Hanggar Budi, Haryanto Haryanto, Haryanto Haryanto, Retno Dwi Intarti, Retno Dwi Intarti, Ignasius Krisna Nuryanta Putra, Ignasius Krisna Nuryanta Putra, Fujidiana Ignaningratu, and Fujidiana Ignaningratu. "Wayang Beber Priangan: Alih Wahana Cerita Lutung Kasarung ke dalam Wayang Beber." Panggung 33, no. 1 (March 31, 2023): 14. http://dx.doi.org/10.26742/panggung.v33i1.2473.

Full text
Abstract:
Wayang beber merupakan salah satu genre wayang yang telah lama ada di Indonesia. Dibandingkan dengan genre wayang yang lain, wayang ini tergolong kurang berkembang. Sebagian besar literatur wayang beber membahas wayang beber Remeng Mangunjaya dan Jaka Kembang Kuning. Wayang beber masih memungkinkan dikembangkan dengan mengalihwahanakan cerita atau folklor lokal yang berkembang, salah satunya folklor Arya Kamandaka atau Lutung Kasarung. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan proses alih wahana dari buku cerita Lutung Kasarung ke dalam wayang beber priangan dengan lakon Arya Kamandaka. Untuk mewujudkan ini, pengkarya menggunakan teori alih wahana dan teori ruang waktu datar (RWD). Teori alih wahana diterapkan untuk mengalihwahanakan cerita dari (wahana) buku ke dalam (wahana) wayang. Teori ruang waktu datar (RWD) diterapkan dalam mewujudkan cerita ke dalam bentuk wayang beber. Berdasarkan kedua teori ini telah berhasil dibuat wayang beber yang menceritakan kisah Arya Kamandaka kedalam tiga gulungan, setiap gulungan terdiri atas 4 sekuen. Cerita yang ditampilkan dalam wayang beber ini terlalu datar, kurang ada konflik, sehingga kurang menarik untuk dipertunjukkan. Penelitian ini menyarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini. Kata kunci: Wayang Beber Priangan, Arya Kamandaka, ruang waktu datar
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Nasri, Zaenun, I. Made Suyasa, and Ida Nyoman Tri Darma Putra. "PENGEMBANGAN POTENSI BUDAYA WAYANG KULIT SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI DESA BONJERUK KABUPATEN LOMBOK TENGAH." Journal Of Responsible Tourism 3, no. 1 (July 27, 2023): 171–84. http://dx.doi.org/10.47492/jrt.v3i1.2730.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengkaji tentang Potensi budaya wayang kulit dan Strategi pengembangan budaya wayang kulit sebagai daya tarik wisata di Desa Wisata Bonjeruk. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan potensi pengembangan budaya wayang kulit sebagai daya tarik wisata dan strategi pengembangan potensi budaya wayang kulit sebagai daya tarik wisata di Desa Wisata Bonjeruk. Penelitian ini disajikan secara deskriptif yaitu menggambarkan dari informasi tentang Budaya Wayang Kulit di Desa Wisata Bonjeruk. Adapun metode pengumpulan data yang diajukan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa, Budaya Wayang Kuli di Desa Bonjeruk sangat menarik dan layak untuk dikembangkan karena masih kuatnya adat dalam mempertahankan wayang dalam melaksanakan aktivitas perwayangan seperti melakukan ritual khusus. Dalam pengembangan Budaya Wayang Kulit di Desa Wisata Bonjeruk ini ternyata masih mengalami berbagai kendala yang ada, antara lain, Kendala dari kualitas sumber daya manusia terutama dalam kaitan regenerasi wayang kulit, dan fasilitas pendukung kegiatan pertunjukan wayang kulit yang masih belum memadai. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Potensi Budaya Wayang Kulit di Desa Wisata Bonjeruk sangat layak untuk dikembangkan, agar dapat dikenal oleh khalayak umum dan peran masyarakat setempat khususnya generasi muda dan pihak pengelola wayang kulit dalam strategi pengembangan budaya wayang kulit tersebut sangat diperlukan agar tercipta kawasan wisata yang potensial untuk dikunjungi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Cohen, Matthew Isaac. "Ramayana and Animism in "Wayang" Puppet Theatre." AOQU (Achilles Orlando Quixote Ulysses). Rivista di epica 4, no. 2 (December 30, 2023): 227–47. http://dx.doi.org/10.54103/2724-3346/22208.

Full text
Abstract:
Traditions of wayang puppetry in Indonesia realize what Philippe Descola refers to as an «animist ontology». Not only human figures, but also what Tim Ingold calls «nonhuman persons», including personal possessions, landforms, and animals, possess consciousness and interiority. Among wayang’s diverse story sources, the Ramayana stands out for its animistic qualities. Episodes depict interactions between humans, ogres, monkeys, deities, and other nonhuman persons, activating the potential of the medium for representing transformation and theatrically mining the suspension of natural laws. This essay, based on ongoing research into the wayang collection of Yale University Art Gallery, examines how the characters of the Ramayana reflect shifting theatrical styles and animistic beliefs. Analysis of these historical puppets is followed by an exploration of an experimental 2023 Ramayana production originated at the University of Con-necticut hybridizing wayang with the tholpavakoothu shadow puppet tradition of Kerala, India, in which the epic is retold from the perspective of the trees and wood inhabiting it.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Nurdiyana, Tutung. "Wayang Tengul Art Performance: A Study of People’s Appreciation of Wayang Tengul Art." Harmonia: Journal of Arts Research and Education 19, no. 2 (December 13, 2019): 163–71. http://dx.doi.org/10.15294/harmonia.v19i2.23636.

Full text
Abstract:
Wayang tengul is one type of wayang (puppet) belonging to Indonesia existing in Sidobandung Village, Balen Subdistrict, Bojonegoro Regency. This wayang is still preserved and found attractive by society until now. This wayang preservation depends on society’s appreciation as the audience of wayang tengul and is one of the most important factors for the success of a performance. Therefore, this research attempts to describe how people in Sidobandung Village appreciate wayang tengul. This qualitative research was conducted in Sidobandung Village. It shows how the people highly appreciate wayang tengul art since this wayang art is unique, not strictly bound by wayang common practice, performed interactively between dalang (puppeteer), gending (Javanese music) and audience and laden with guidance presented in fresh jokes.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Arif, Novida Nur Miftakhul. "Perancangan wayang Isekai sebagai alternatif pentas wayang untuk generasi muda." Imaji 21, no. 1 (April 24, 2023): 22–29. http://dx.doi.org/10.21831/imaji.v21i1.48114.

Full text
Abstract:
Merespon masalah mental yang kerap dialami oleh generasi muda melalui media pendidikan karakter yang memanfaatkan pentas wayang merupakan tujuan utama riset dan perancangan karya Wayang Isekai. Masalah mental dan menghilangnya pentas wayang selama pandemi Covid-19 merupakan persoalan aktual yang perlu direspon secara kreatif seperti dengan wayang kontemporer. Metode produksi film atau multimedia digunakan dalam eksperimen ini, yaitu pra produksi, produksi dan paska produksi. Di dalamnya juga melibatkan observasi, wawancara, studi pustaka, eksplorasi dan inovasi. Hasil dari riset dan perancangan media ini adalah Wayang Isekai, eksperimen pentas daring yang memadukan pentas wayang, animasi dan live action dengan cerita yang merepresentasikan perjalanan batin menuju self-awarenes. Wayang Isekai mampu menjadi alternatif media penyampai pesan kebaikan seperti pendidikan karakter. Kata Kunci: wayang, kontemporer, generasi muda, masalah mental THE DEVELOPMENT OF WAYANG ISEKAI AS ALTERNATIVE WAYANG PERFORMANCE FOR YOUNG GENERATION Abstract Responding the mental issues that are often experienced by the young generation through the medium of character education that utilizes wayang performance is the main goal of the research and development of Wayang Isekai. A contemporary wayang is a creative way to respons mental issues and the disappearance of puppet performances during the Covid-19 pandemic. Film or multimedia production method was used in this experiment, namely pre-production, production and post-production. It also involved observation, interviews, literature studies, exploration, and innovation. The result of this research is Wayang Isekai, an online performance that combined puppetry, animation and live action with stories that represent the inner journey towards self-awareness. Wayang Isekai is able to become an alternative medium for conveying positive messages such as character education. Keywords: wayang, contemporer, young generation, mental issue
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Majaya, I. Dewa Gede Jana, and I. Gusti Made Darma Putra. "Visualisasi Rupa Dan Ciri Khas Tokoh Raja, Dewa, dan Punakawan Pada Wayang Kulit Bali." JURNAL DAMAR PEDALANGAN 3, no. 2 (October 26, 2023): 9. http://dx.doi.org/10.59997/dmr.v3i2.2850.

Full text
Abstract:
Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Diera modern ini pertunjukan wayang kulit Bali masih sangat eksis sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Bali. Meskipun dengan adanya gerakan wayang inovatif ini menyebabkan generasi muda gemar menonton wayang kulit Bali tetapi disisi lain pengetahuan generasi muda tentang penokohan wayang masih sangat kurang .Oleh sebab itu perludilakukanya pengenalan tokoh tokoh wayang kulit Bali kepada generasi muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengkomparasi perbedaan bentuk wayang kulit Bali pada tokoh raja, dewa, dan punakawan. Agar generasi muda mampu membedakan dan mengenal tokoh wayang kulit Bali. Penelitian ini menggunakan jenis metode kualitatif pada penelitian ini di lakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi yang di lakukan di Banjar Lumajang, Desa samsam, Kecamatan Kerambitan Kabupaten tabanan. Hasil dari penelitian ini adalah dapat diketahui bahwa perbedaan tokoh pada wayang kulit raja ,dewa dan punakawan dapat dilihat melalui gelungan atau hiasan kepala yang dikenakan, selain itu juga dapat dilihat pada atribut yang dikenakan dari tokoh wayang tersebut, serta bila dilihat dari karakter tokoh wayang dapat dibedakan melalui bentuk mata dan proporsi tubuh dari wayang tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Nurgiyantoro, Burhan. "THE WAYANG STORY IN MODERN INDONESIAN FICTIONS (Reviews on Mangunwijaya and Sindhunata’s Novels)." LITERA 18, no. 2 (July 24, 2019): 167–84. http://dx.doi.org/10.21831/ltr.v18i2.24997.

Full text
Abstract:
The wayang story is the traditional story which influences toward the writing of modern Indonesian literature. This study is aimed at describing the adoption of aspects of stories in the wayang stories plays in modern Indonesian novels with a focus on Mangunwijaya and Sindhunata’s novels; i.e. Burung-burung Manyar, Durga Umayi, and Anak Bajang Menggiring Angin. The study uses the receptional, intertextual, and discourse-analysis approaches. Results show the following findings. Character referencing from shadow-wayang stories included naming and characterizing, viz. complete adoption of names and characters of wayang figures, hypogram of simultaneous naming and characterizing, and characterizing with no naming. The hypogramming of novel plots on the shadow wayang plots includes shadow-wayang show plots and shadow-wayang story plots. Every work has its own uniqueness and it is on this uniqueness that lies the values of a fiction work. This can be seen from the development of characterization of the figures and specific and unique plots. The value substances of the wayang story are related to personal, social, and religious life matters leading to perfect lives. Shadow-wayang values in novels are discharged through signification, comparison, symbolization, characters, life principles, and behaviours functioning more as cultural guidances. Keywords: shadow wayang, modern Indonesian novels, hypogram, characterization, plot, values WAYANG DALAM NOVEL INDONESIA MODERN(Tinjauan Novel Mangunwijaya dan Sindhunata) AbstractCerita wayang adalah adalah cerita tradisional yang berpengaruh terhadap penulisan sastra Indonesia modern. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemunculan aspek cerita wayang dalam novel Indonesia modern dengan fokus pada novel Mangunwijaya dan Sindhunata, yaitu Burung-burung Manyar, Durga Umayi, dan Anak Bajang Menggiring Angin. Penelitian menggunakan pendekatan resepsi, intertekstual, dan analisis wacana. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Perujukan penokohan dari cerita wayang mencakup penamaan dan perwatakan, yaitu pengambilan lengkap nama dan karakter tokoh wayang, hipogram penamaan dengan perwatakan sekaligus, dan perwatakan tanpa disertai penamaan. Hipogram plot novel pada plot wayang mencakup plot pertunjukan wayang dan plot cerita wayang. Tiap karya memiliki keunikannya sendiri dan di situlah antara lain letak nilai sebuah karya fiksi. Hal itu terlihat pada pengembangan karakter tokoh, plot yang khas dan unik. Substansi nilai-nilai cerita wayang berkaitan dengan masalah kehidupan pribadi, sosial, dan religius yang bermuara untuk mencapai kesempurnaan hidup. Nilai-nilai wayang dalam novel disampaikan lewat pembandingan, pelambangan, simbolisasi, karakter, sikap hidup, dan perilaku tokoh yang lebih berfungsi sebagai acuan kultural. Kata Kunci: wayang, novel Indonesia modern, hipogram, penokohan, plot, nilai-nilai
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Sudiana, I. Ketut. "Lakon Arjuna Tapa Dalam Perspektif Filsafat Wayang." JURNAL DAMAR PEDALANGAN 3, no. 2 (October 26, 2023): 12. http://dx.doi.org/10.59997/dmr.v3i2.2852.

Full text
Abstract:
Pertunjukkan wayang bukan hanya tontonan seperti yang sering disebut dengan “shadow play”. Melainkan dibalik tontonan itu mengandung tuntunan yang mengarah pada pendidikan moral sebagai mutu seni dan kandungan isi yang disajikan. Kandungan isi dari wayang ditampilkan lewat simbol-simbol. Melalui “bahasa” simbol dapat ditafsirkan nilai-nilai apa yang akan menjadi unsur tuntunan dari pertunjukkan wayang. Karya ilmiah ini membahas filsafat wayang yang didukung dengan penghayatan sastra Kekawin Arjuna Wiwaha serta implementasinya dalam lakon wayang Arjuna Tapa. Penelitian ini menggunakan teori hermeneutika dan semiotika untuk menafsirkan dan mengkaji simbol yang ada dalam sastra lakon wayang, Karena asal mula adanya wayang adalah sebuah simbol.Melalui metode kepustakaan, listening dan heuristika, akan diidentifikasi dan diteliti simbol-simbol yang mendasari filsafat wayang. Tujuannya adalah menggali dan menyusun aspek filsafat wayang sebagai sebuah ilmu akademik, yang bermanfaat untuk pengembangan pengetahuan dalam bidang filsafat wayang. Berdasarkan analisis data primier melalui informasi kepustakaan dapat dihasilkan bahwa jika ditinjau dari kefilsafatan secara umum menyangkut bidang ontologi, epistemologi dan aksiologi, wayang adalah “lawat hidup” yang mengandung pengertian “cermin kehidupan” manusia dengan segala permasalahan yang dihadapinya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Mukti, Muh. "Kiat dan keberhasilan masyarakat Jawa: “Memayu hayuning bawana” dalam bidang budaya seni wayang." Imaji 21, no. 1 (April 30, 2023): 103–10. http://dx.doi.org/10.21831/imaji.v21i1.59299.

Full text
Abstract:
Masyarakat Jawa sejak dulu sampai sekarang, merasa diri bagian dari sistem dunia, hingga merasa wajib memayu hayuning bawana dalam bidang apapun termasuk budaya seni wayang, agar dunia ini menjadi baik, maju, dan lestari. Penelitian dilakukan maksudnya untuk mengetahui kiat dan keberhasilan masyarakat Jawa tersebut dalam memayu hayuning bawana khusus dalam budaya seni wayang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kajian, maksudnya materi dikaji dengan formal dalam hal ini adalah “kiat dan keberhasilan”. Objeknya masyarakat Jawa, datanya diperoleh dari berbagai wawancara, buku, dan clib file yang ada selama ini. Instrumennya peneliti sendiri dengan alat bantu, audiovisual, photo, dan rekam suara. Hasilnya, kiat masyarakat Jawa zaman Hindu memayu hayuning bawanna dalam bidang budaya seni wayang, seni wayang digunakan untuk Tuhan (agama), dalam hal ini adalah untuk ibadah, hasilnya mereka paham agama, dan wayang menjadi baik, maju dan lestari. Kiat masyarakat zaman Islam memayu hayuning bawanna dalam bidang budaya seni wayang, seni wayang digunakan untuk Tuhan (agama), dalam hal ini untuk dakwah, hasilnya mereka paham agama, dan wayang menjadi baik, maju dan lestari. Sedang masyarakat Jawa zaman sekarang memayu hayuning bawanna dalam bidang budaya seni wayang, seni wayang digunakan untuk material—hiburan, ekonomi, dan pertunjukan, hasilnya mereka tidak paham agama, dan wayang juga tidak menjadi baik, maju dan lestari. Kata kunci: kiat, masyarakat Jawa, wayang Wisdom and success of the Javanese community: "Memayu hayuning bawana" in the field of wayang art and culture Abstract The Javanese people, from the past until now, feel themselves part of the world system, to the point where they feel obligated to support hayuning bawana in any field, including wayang art culture, so that this world can be good, advanced, and sustainable. The aim of the research was to find out the tips and success of the Javanese people in embracing hayuning bawana specifically in wayang art culture. The research method used is the study method, meaning that the material is studied formally in this case is "tips and successes". The object is the Javanese people, the data is obtained from various interviews, books, and existing clip files. The instrument is the researcher himself with tools, audiovisual, photos, and sound recording. As a result, the tips of the Javanese people of the Hindu era memayu hayuning Bawanna in the field of wayang art culture, wayang art was used for God (religion), in this case it was for worship, the result was that they understood religion, and wayang became good, advanced and sustainable. Tips for the people of the Islamic era to memayu hayuning bawanna in the field of wayang art culture, wayang art is used for God (religion), in this case for da'wah, the result is that they understand religion, and wayang becomes good, advanced and sustainable. While the Javanese people are currently embracing hayuning Bawanna in the field of wayang art culture, wayang art is used for materials—entertainment, economy, and performances, the result is that they don't understand religion, and wayang also doesn't become good, advanced and sustainable.Keywords: ips, Javanese people, wayang
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography